Raja Penyihir Sinting

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Episode Raja Penyihir Sinting Karya Ginanjar
Sonny Ogawa

Raja Penyihir Sinting

Pendekar Naga Merah Dewa Linglung tersentak kaget melihat Tejo mendadak berkelebat cepat dengan tertawa gelak-gelak dengan membawa pedang mustika Naga Merah yang dipinjamnya.

"Hahaha... terima kasih, Dewa Linglung! Pedangmu kupinjam dan akan kukembalikan lagi sepuluh tahun mendatang!" Tentu saja Nanjar tak menyangka Tejo akan bersikap sedemikian itu. Dengan cepat dia berkelebat mengejar sambil berteriak.

"Tejo! Kau telah gila? Aku tak meminjamkan untuk waktu selama itu!"

Akan tetapi Tejo tak memperdulikan teriakan itu. Bahkan dia mempercepat gerakan larinya, dan menyusup masuk ke dalam hutan belantara. Dengan membentak marah si Dewa Linglung cepat memburunya, dan turut merambas masuk ke dalam hutan mengejar si pelukis yang pernah menjadi sahabatnya itu.

Ternyata gerakan Tejo cepat sekali, begitu masuk ke dalam hutan sudah tak ketahuan lagi ke mana arah larinya. Dengan hati mendongkol bercampur marah Nanjar mengubak seisi hutan mencari jejak pemuda gendeng itu. Habis sudah seisi hutan diubak-ubak Nanjar, namun Tejo tak ketahuan kemana lenyapnya.

Disaat Nanjar memutuskan untuk keluar dari rimba belantara itu karena menduga Tejo telah mengecohnya hingga dia berputar-putar di dalam hutan, di saat itulah telinganya mendengar suara orang bersenandung di arah sebelah kanan hutan. Tanpa ayal lagi Nanjar segera berkelebat ke arah suara itu.

Apakah yang terlihat oleh Nanjar? Tampak seorang kakek berjubah putih lusuh duduk men-juntaikan kaki di atas ranting dahan pohon sambil mulutnya menyenandungkan kata-kata,

"Wahai angin, apakah sudah jadi suratan nasib?
Terlalu sukar untuk terbang...
Terlalu jauh untuk dijangkau!
Harapan yang ada cuma menanti....
Dengan ilmu orang bisa jadi pintar.
Tapi juga bisa jadi bodoh!

Pintar karena memiliki ilmu
Bodoh karena terseret hawa nafsu...
Kepintaran hanya digunakan untuk
Membodohi orang!
Oh, oh, oh...
Wahai angin, apakah sudah suratan nasib?"

Demikian kata-kata yang diucapkan si kakek berulang-ulang. Membuat Nanjar berdiri ter-paku memandangnya. Bukan saja dia tak mengerti apa maksud ucapannya, akan tetapi juga heran dan diam-diam kagum menatap si kakek.

"Hm, siapa gerangan kakek ini? Kalau bukan seorang yang berilmu tinggi takkan sanggup ranting sekecil itu menahan tubuhnya. Ilmu meringankan tubuhnya sungguh luar biasa..." berkata Nanjar dalam hati.

Ternyata kakek itu telah mengetahui adanya Nanjar di tempat itu. Dia menghentikan senandungnya, lalu berkata. "Anak muda gagah, apakah kaupun takkan menghiraukan kesusahan hatiku seperti juga semua orang yang tak perduli dengan diriku?"

Mendengar kata-kata itu tahulah Nanjar kalau kata-kata itu ditujukan padanya. Dan dengan sekali lompat dia telah keluar dari rimbunnya semak belukar. "Kakek tua aneh, turunlah dari cabang pohon itu. Siapakah kau ini? Apa yang membuat kau bersusah hati?" kata si Dewa Linglung seraya mendongak ke atas memandang si kakek. Akan tetapi terkejut Nanjar karena tak melihat kakek itu berada di cabang pokok kayu.

Cerita Silat Indonesia Serial Dewa Linglung Karya Ginanjar

Tahu-tahu suara tertawa terkekeh terdengar di belakangnya. Tentu saja membuat Nanjar tercengang karena melihat kakek itu telah duduk di atas sebongkah batu tak jauh di belakangnya. Bagaimana gerakan si kakek ketika meloncat dari cabang pohon itu, dia benar-benar tak mengetahui. Bahkan ranting kayu itupun tak bergerak.

"Hehehe... anak muda, namaku Lolor Gendon. Siapakah namamu bocah gagah?" Kakek itu perkenalkan diri dan ajukan pertanyaan.

"Aku Nanjar, lengkapnya Ginanjar!"

"Oho, nama yang lugu dan bagus! Tampaknya kaupun tak bedanya seperti aku yang sedang kesusahan, bukankah begitu anak muda?"

Nanjar tercengang, tapi segera menyahut. "Pandangan mata kakek sungguh tajam. Aku memang tengah kesusahan, karena kawanku telah membawa lari pedang pusakaku. Apakah kau melihat seorang pemuda seusiaku lewat di tempat ini?"

Kakek bernama Lolor Gendon itu menggeleng. Lengannya mengelus sejumput jenggotnya yang kecoklatan di ujung dagu. "Sayang sekali aku tak melihatnya...! Aneh! Bagaimana sampai pedangmu dilarikan sahabatmu sendiri?" tanya si kakek.

Nanjar menghela nafas, lalu menceritakan asal kejadiannya. Bermula Nanjar berjumpa pada pemuda bernama Tejo, yang kemudian mereka bersahabat. Tejo seorang periang, juga seorang seniman yang pandai melukis. Pertama kali mengenalnya Nanjar telah merasa simpati pada Tejo yang kelihatan polos dan jujur, juga sikapnya sangat lugu.

Mereka berpisah setelah sama-sama menyelesaikan suatu persoalan ketika munculnya seorang iblis wanita yang menyebar kejahatan, yang kemudian dapat mereka tumpas bersama-sama. Kali kedua mereka berjumpa lagi setelah beberapa bulan berpisah. Mereka berjalan dan bercakap-cakap bersama-sama sambil masing-masing menceritakan pengalamannya.

Di suatu tempat tiba-tiba Tejo ingin sekali melihat dan mencoba kehebatan pedang mustika milik Nanjar. Tanpa curiga Nanjar memberikan pedangnya. Tapi mendadak Tejo melarikan pedang itu, dan mengatakan bahwa dia akan meminjamnya. Gilanya Tejo akan mengembalikan pedang itu setelah sepuluh tahun kemudian. Tentu saja Nanjar mengejar pemuda itu untuk meminta kembali pedangnya. Namun Tejo lenyap merambas masuk ke dalam hutan, dan Nanjar tak berhasil menemukan jejak pemuda itu.

"Aku percaya Tejo seorang pemuda yang jujur. Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik keanehan sikap sahabatku itu. Dan yang ku khawatirkan adalah pedang itu digunakan untuk suatu kejahatan..." kata Nanjar mengakhiri penuturannya.

Si kakek Lolor Gendon yang mendengarkan penuturan singkat Nanjar manggut-manggutkan kepala. Tiba-tiba dia berkata. "Tampaknya pedangmu bukan sembarang pedang. Tentu sebuah pedang mustika yang hebat dan memiliki keampuhan luar biasa!"

Tadinya Nanjar akan anggukan kepala, tapi mendadak dia merasa telah sembarangan bicara, sedangkan dia belum mengenal laki-laki tua itu, apakah orang baik-baik atau termasuk golongan hitam. Cepat-cepat dia menyahut sambil tersenyum. "Ah, mengenai hal itu tentu aku tak dapat mengatakannya. Kukira kakek Lolor Gendon bisa menilai setelah melihat atau mencobanya..."

"Hehe... benar, anak muda! Tapi yang perlu kita ketahui adalah, seampuh apapun senjata kalau tak pandai mempergunakannya samalah artinya dengan menggunakan alat tulis untuk menulis huruf di langit! Walau hanya sebatang ranting kalau orang sakti yang melakukannya, akan sama nilainya dengan sebuah senjata mustika!"

Nanjar manggut-manggut mendengar kata-kata si kakek. Diam-diam dia memuji kedalaman pandangan kakek itu. "Aku yang bodoh dan kurang pengalaman ini sangat menghargai pendapat itu, kakek Lolor Gendon! Haih! Sungguh beruntung aku bisa berkenalan dengan anda dari golongan kaum tua..." kata Nanjar sambil menjura. Lalu meneruskan. "Oh, ya! Dari kata-kata dalam sajakmu tadi benda apakah yang dicuri orang yang sedang kau sayang-sayang itu? Sajakmu indah dan tentu artinya sangat dalam sekali"

Mendengar pertanyaan dan pujian Nanjar, Lolor Gendon tertawa tergelak-gelak hingga bercucuran air mata. Mendadak dia berhenti tertawa. Wajahnya berubah menjadi murung. Kecerahan pada wajahnya lenyap tersapu angin, karena kini dia tak lebih dari seperti orang yang baru ditinggal mati anak atau isterinya.

Tentu saja perubahan itu membuat Nanjar jadi tertegun. Diam-diam dia merasa menyesal telah ajukan pertanyaan itu pada laki-laki itu. Nanjar jadi garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, seraya berkata.

"Maafkan aku, kakek Lolor Gendon. Kalau pertanyaanku membuat kau bersedih hati. Tapi bolehkah aku mengetahuinya, siapa tahu aku bisa membantumu dengan apa yang bisa aku bantu untukmu!"

Terjadi lagi keanehan, ketika Nanjar selesai berkata mendadak Lolor Gendon menatap tajam kepadanya seperti tak percaya mendengar kata-kata yang diucapkan Nanjar.

"Hari ini aku jumpa kau bocah gagah adalah hal yang aneh, dan baru kudengar ada orang yang mau membantuku dalam kesusahan. Padahal selama delapan belas tahun tak pernah ada yang memperdulikan diriku..."

Nanjar cuma berdiri mendengarkan. Mendadak Lolor Gendon bangkit dari duduknya. Matanya tajam menatap Nanjar. Lalu berkata. "Tak usah kau mengelabuiku, aku telah mengetahui kalau kau adalah seorang tokoh pendekar muda yang bergelar si Pendekar Naga Merah, dan julukanmu adalah si Dewa Linglung!"

"Akh... dari mana anda me... mengetahuinya?" sentak Nanjar dengan wajah berubah merah karena terkejut. Lagi-lagi dia temukan keanehan pada sikap si kakek.

"Aku memang tengah menantikan seseorang yang mau menolongku! Ternyata nasibmu bagus, bocah gagah!" ujar si kakek tanpa menjawab pertanyaan Nanjar. Dari sela jubah lusuhnya dia mengeluarkan segulung kertas kulit, lalu menggenggamnya dalam kepalan tangannya.

"Ini adalah sebuah Peta tempat aku menyimpan sebuah kitab Ilmu Sihir Putih! Kalau nasibmu bagus, kau akan menemukan tempat itu dan mendapatkannya! Dan berarti kau akan mengemban tugas berat yang harus kau jalankan setelah kau berhasil mempelajari kitab itu. Karena kuciptakan ilmu sihir putih itu adalah untuk mengalahkan ilmu sihir hitam yang telah dikuasai oleh seseorang yang pernah aku cintai, tapi kemudian aku benci karena manusia itu telah dimabuk keduniawian! Terimalah Peta ini anak muda. Aku percayakan padamu karena kaulah orang yang telah bersedia menolong kesusahanku selama delapan belas tahun..."

Benda di tangan Lolor Gendon melayang ke arah Nanjar. Begitu si Dewa Linglung ulurkan lengan menangkapnya, tahu-tahu tubuh kakek itu lenyap sirna dari pandangan matanya. Tentu saja Nanjar jadi terlongong memandang tak mengerti. Di saat dia tengah tertegun sambil menatap ke arah gulungan Peta di tangannya, terdengar suara tertawa terkekeh si kakek tanpa memperlihatkan wujudnya.

"Hehe... heheh... jangan terkejut anak muda. Sebenarnya aku sudah berada di alam lain. Alam halus yang tak dapat dilihat oleh mata manusia...! Di antara Empat Raja-raja Gila dan Raja Siluman Naga, akulah yang bergelar si Raja Penyihir Sinting! Ternyata pilihanku tidak salah. Aku memang menantikan kedatanganmu untuk mewariskan ilmuku. Dengan demikian aku telah puas dan dapat mati meram...! Bila kau suatu saat dapat menemukan jerangkongku di sebuah pulau terpencil dalam sebuah penjara bawah tanah, tolong kau menyempurnakannya..."

Setelah berkata demikian, mendadak bertiup angin kencang. Nanjar tersentak dalam terkejutnya. Dicekalnya erat-erat Peta dalam genggaman tangannya. Selang tak lama angin kembali lenyap. Nanjar terpaku beberapa saat lamanya. Tapi segera tersadar kalau semua itu bukan mimpi. Dan saat itu juga dia jatuhkan tubuhnya berlutut menghadap ke arah bekas lenyapnya kakek itu seraya berkata.

"Kakek Lolor Gendon! Secara tidak langsung, kau adalah Guruku yang ketujuh di antara enam "Raja" Yaitu Empat Raja Gila, Raja Siluman Bangau dan Raja Siluman Naga. Aku Nanjar menghaturkan terima kasih atas kesediaanmu mewariskan ilmu yang kau miliki...! Aku berjanji akan menjalankan tugas yang kau pikulkan pada pundakku, demi tegaknya kebenaran dan keadi-lan di atas jagat ini!"

Baru saja Nanjar menyimpan peta ke balik baju, mendadak cuaca berubah menjadi gelap pekat. Petir menyambar-nyambar di angkasa memekakkan telinga diiringi kilatan-kilatan cahaya berkedipan. Lagi-lagi Nanjar terperangah karena terkejut. Di saat itulah tampak sebuah cahaya merah meluncur dari langit sebelah barat.

Jantung Nanjar terasa berhenti berdenyut. Matanya membelalak lebar melihat ke arah cahaya itu. Detik itu juga tubuhnya melesat. Dua puluh tombak lebih luncuran tubuh si Dewa Linglung ke udara, dan lengan pemuda itu dengan gerakan cepat telah terjulur menangkap benda yang mengeluarkan cahaya merah itu.

Ketika tubuh si Dewa Linglung meluncur ke bawah dan berdiri di tanah, tampak lengannya telah mencekal pedang Mustika Naga Merah. Lambat laun cuaca kembali berubah terang benderang. Nanjar berdiri terpaku di tempatnya dengan mata menatap ke arah benda di tangannya. Sesaat dia mendongak ke langit.

"Kakek Lolor Gendon! Terima kasih atas bantuanmu hingga pedang mustikaku kembali ke tanganku...!" berkata Nanjar dengan suara lirih.

Entah mengapa Nanjar berkeyakinan kakek misterius yang berjulukan si Raja Penyihir Sinting itulah yang memulangkan pedang mustikanya. Ya! Nanjar memang berpendapat demikian, karena keanehan demi keanehan dijumpai sejak munculnya si kakek aneh itu. Beberapa saat lamanya Nanjar termangu-mangu di tempat itu, seperti layak nya orang yang baru terjaga dari sebuah mimpi.

"Haih! sayang, sarung pedangnya tertinggal...! Tapi tak mengapa. Agaknya si Raja Penyihir Sinting menginginkan aku mencarinya sendiri... " berkata si Dewa Linglung Setelah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Nanjar segera berkelebat dari tempat itu…

DUA

Tejo termangu-mangu menatap sarung pedang di genggaman tangannya. Kejadian aneh yang telah terjadi pada dirinya membuat dia terlongong tak mengerti. "Gila! Sinting! Mengapa sarung pedang si Dewa Linglung bisa berada di tanganku?" mendesis Tejo dengan keheranan tak putus-putusnya.

"Suatu kejadian yang aneh yang baru kualami selama hidupku, tapi ini suatu kenyataan!" kata Tejo dalam hati. Dalam tercenungnya dia mengingat-ingat kejadian yang baru saja dialami.

Tejo masih ingat ketika dia berjalan bersama-sama dengan Nanjar sahabatnya. Mereka masing-masing menceritakan pengalaman selama mereka berpisah sejak pertemuan mereka hingga mereka mengikat tali persahabatan. Akan tetapi tiba-tiba sesuatu kejadian yang dirasakan Tejo sangat aneh.

Mendadak dia merasa bersyiurnya hawa dingin menelusup ke dalam tubuhnya. Dan anehnya mendadak saja dia tak dapat berpikir lagi secara wajar. Bahkan tanpa disadari mulutnya berkata pada si Dewa Linglung, bahwa dia ingin sekali melihat pedang mustika Naga Merah milik sahabatnya itu. Ternyata dengan senang hati si Dewa Linglung memberikannya.

Akan tetapi tanpa terniat sedikitpun dalam hati, mendadak dia telah berkelebat cepat membawa lari pedang pusaka itu. Bahkan di luar keinginannya dia telah berkata, bahwa dia akan meminjam benda itu dan akan mengembalikannya sepuluh tahun kemudian. Masih terngiang suara si Dewa Linglung ketika mengejarnya sambil berteriak-teriak menyuruh berhenti. Tapi dia tak memperdulikannya. Dia berlari cepat di luar kehendaknya.

Dan anehnya Nanjar tak berhasil mengejarnya, padahal dia mengetahui kehebatan ilmu lari cepat sahabatnya itu. Dan yang membuat lebih aneh lagi adalah, kini dia terduduk di sisi sebuah telaga dengan nafas tersengal-sengal. Tak diketahui lagi dimana adanya si Dewa Linglung saat itu. Yang jelas lengannya menggenggam sebuah sarung pedang, dan dia mengetahui sarung pedang itu adalah milik Nanjar sahabatnya.

"Aneh! Gila! Sinting...!" memaki Tejo dengan wajah merah dan benak diliputi ribuan pertanyaan. Namun sejauh mana dia memeras otak untuk memecahkan keanehan itu, tetap saja dia tak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya hingga dia melakukan perbuatan yang memalukan itu. Yang lebih membuat dia terheran-heran mengapa cuma sarung pedang mustika Naga Merah yang berada di tangannya.

"Benar-benar edan! Seingatku aku telah meminjam pedang si Dewa Linglung tanpa kusadari. Tapi mengapa pula yang ada padaku hanya sarung pedangnya saja...?" gumam Tejo.

"Celaka aku! Jangan-jangan aku telah ketularan penyakit Linglung sahabatku itu..." desis pemuda ini. Tejo bangkit berdiri. Sejenak putarkan mata menatap ke beberapa arah. Lalu pandangannya tertuju pada telaga kecil berair jernih di hadapannya.

"Hm, tempat apakah ini? Apakah telaga tempat pemandian peri?" berkata Tejo dalam hati. "Hm, tempat pemandian peri, manusia atau kerbau tak perduli! Tubuhku letih dan penat, sebaiknya aku pergi mandi. Selesai mandi aku segera mencari sahabatku itu untuk mengembalikan sarung pedangnya. Dan akan kuceritakan kejadian aneh ini padanya. Percaya atau tidak terserah dia, yang penting aku merasa telah melakukan suatu hal yang aku sendiri tak menyadarinya. Tapi mudah-mudahan dia mau mengerti..."

Tejo melangkah ke tepi telaga. Lalu membuka pakaiannya. Dan... "Byurrr..." Dia telah terjun ke air yang jernih itu dengan telanjang bulat. Sarung pedang Naga Merah diletakkan di atas pakaiannya di atas batu. Sedangkan keneron atau keranjang tikar berisi alat-alat lukisnya diletakkan di atas rumput.

Tejo merasa tubuhnya menjadi segar. Otak-nya pun menjadi jernih. Dia memang memerlukan penyegaran tubuh, dan hal itu akan membuat dia bisa tenang berpikir setelah kejadian aneh yang membuat hampir gila memikirkannya.

Setelah puas berendam dan membersihkan tubuhnya. Tejo melompat ke darat. Akan tetapi ketika lengannya terjulur untuk menjumput pakaiannya diatas batu mendadak dia terkejut, karena tak menemukan sarung pedang Naga Merah milik sahabatnya di atas tumpukan pakaiannya.

"Welah! Welah...! Kemana sarung pedang itu...?" sentaknya dalam hati. "Edan, jangan-jangan diambil peri penunggu telaga ini!" desis Tejo dengan bulu tengkuk meremang. Dia pentang mata menatap ke sekeliling, kalau-kalau ada orang berada di sekitar tempat itu.

"Lagi-lagi aneh! Apa aku masih linglung hingga aku lupa meletakkan dimana sarung pedang itu? Tapi... seingatku aku menaruhnya di atas pakaianku..." piker Tejo. Namun dia tak berpikir lebih jauh, karena dia memerlukan lebih dulu mengenakan pakaiannya.

"Untung pakaianku tak turut lenyap! Kalau hilang sudah pasti aku akan jadi seekor kera dengan bertelanjang bulat begini!" pikir Tejo, seraya bergegas mengenakan celana pangsinya. Namun sambil mengenakan pakaian, Tejo tak hentinya berpaling ke kanan dan kiri kalau-kalau melihat bayangan mencurigakan di sekitar tepi telaga itu.

Baru saja selesai berpakaian, sebuah bayangan putih berkelebat muncul, dan sosok tubuh seorang pemuda berambut gondrong telah tegak di hadapannya.

"Dewa Linglung...! Ah, ternyata kau...?" sentak Tejo dengan wajah berubah girang. Akan tetapi sesaat kemudian Tejo tundukkan kepala, seraya berkata. "Sahabatku... kuharap kau mau mendengarkan penuturanku! Kau pasti tak akan percaya kalau aku menceritakannya padamu..."

"Hm, ceritakanlah! Apakah kau mau bergurau untuk kedua kalinya?" berkata Nanjar dengan menatap tajam berpura-pura hatinya mendongkol karena perbuatan yang dilakukan Tejo.

Tejo mengangkat mukanya, menatap Nanjar dalam-dalam. "Kau tak akan terburu-buru marah, bukan?" tanya Tejo, sikapnya seperti seorang gadis yang berkata pada pacarnya.

Dalam hati Nanjar tertawa geli. Tampaknya Tejo sangat khawatir sekali kalau persahabatan mereka retak. Padahal Nanjar telah mengetahui, keanehan yang dialami Tejo pasti tak jauh berbeda dengan apa yang dialaminya. Walau dia belum mengetahui secara jelas karena Tejo belum menceritakannya, tapi dia telah menduga-duga terlebih dulu. Dan dia berharap dugaannya tepat. Nanjar menggeleng seraya menyahut dengan suara datar tanpa secuil senyum pada bibirnya.

"Akan kucoba untuk tidak terburu-buru marah...!"

Tejo tampak menarik nafas lega, dan kembali menunduk. Kemudian melompat ke atas batu dan jatuhkan pantatnya untuk duduk. Kemudian melipat kedua tangannya, dan mulailah dia menuturkan kejadian aneh yang dialaminya. Nanjar hanya berdiri mendengarkan dengan sikap dibuat kaku, tapi dengan penuh perhatian.

"Begitulah, sahabatku...! Hingga sampai saat ini aku tak mengerti mengapa aku melakukan hal itu, dan aku tak mengetahui mengapa aku bisa berada di tempat ini..." kata Tejo mengakhiri penuturannya.

Sesaat Nanjar terdiam. Tapi kemudian berkata. "Kupikir kau hanya menggodaku saja Tejo! Sudahlah! Yang penting pedang mustika Naga Merah telah kembali padaku, termasuk sarung pedangnya. Mengenai kejadian aneh yang menimpamu, kuharap kau harus lebih berhati-hati. Karena saat ini mungkin sedang waktunya para setan, dedemit dan arwah bergentayangan...!"

Tejo hanya manggut-manggutkan kepala mendengar kata-kata Nanjar.


TIGA

Lalala... Lalala... Ahoy... Ahoy...! Lalala... Lalala... Ahoy... Ahoy...!" Suara orang bersenandung terdengar dari balik bukit di sore hari dimana sorot sinar matahari mulai melemah dan hampir menyelinap ke balik gunung.

Suara senandung itu semakin lama semakin jelas terdengar. Selang tak lama tampaklah si pemilik suara itu. Ternyata seorang laki-laki tua katai menunggang seekor keledai yang berjalan santai. Kelihatannya suatu pemandangan yang sangat lucu. Terutama laki-laki katai itu yang bersenandung sambil menimpali langkah kaki keledai yang ditungganginya.

Laki-laki katai itu ternyata seorang yang sudah pantas disebut seorang kakek. Karena usianya bisa ditaksir sekitar enam atau tujuh puluh tahun. Kepalanya besar, rambutnya ceriwis seperti bisa dihitung, dan hampir bisa dikatakan gundul karena begitu tipis dan ceriwisnya. Kumisnya juga tak seberapa lebat.

Tapi jenggotnya panjang sampai ke pusar. Sebenarnya jenggot kakek katai ini sepanjang umumnya jenggot orang-orang tua, tetapi karena tubuhnya yang katai itulah hingga nampak lebih panjang. Karena keadaan pisiknya yang sedemikian itu, hingga jubah yang dipakainya juga tampak pendek dan kelihatan lucu.

Kakek katai ini mencekal sebuah tongkat sepanjang tongkat biasa yang bagian ujungnya melengkung seperti bulan sabit. Suaranya besar dan parau. Sesuai dengan bentuk lehernya yang besar, dan boleh dibilang kakek katai ini hampir tak berleher. Mendadak si kakek katai hentikan suara senandungnya. Tampaknya dia seperti bicara dengan keledai yang ditungganginya, karena di tempat itu memang tak ada siapa-siapa.

"Eh, sobatku! Tahukah kau mengapa aku datang ke wilayah ini? Hehe...heh... kalau kau tak mengetahui, akan kuberitahukan. Kedatanganku ke wilayah ini adalah mengejar seorang manusia busuk yang telah ingkar janji alias tak mau menepati janji padaku, hingga aku merana selama ini! Tahukah kau artinya merana...? Merana artinya sengsara, sengsara artinya selalu gelisah, dan selalu gelisah artinya selalu susah. Yang aku susahkan itu bukan lantaran tidak berharta benda berkecukupan, kurang makan dan sebagainya. Akan tetapi aku merana karena cinta! Hehe... kau tahu cinta? Kukira semua makhluk tak termasuk kau bangsa keledai akan mengenal cinta! Tapi... tampaknya kau lebih berbahagia dari pada aku, sahabatku...!" suara kata-kata si kakek katai mendadak jadi kian lirih.

Keledai tua yang ditungganginya seperti menyahuti kata-kata si kakek katai dengan memperdengarkan suara mendengus dari hidung. Kakek katai kerenyitkan keningnya menatap si keledai.

"Huh! Kau selalu membantah pendapatku! Mengapa kukatakan kau lebih berbahagia dari pada aku? Kau pernah punya isteri, tapi aku tidak! Kau bisa bercinta dengan lawan jenismu, tapi aku...?" kata kakek ini dengan mengeluh sambil mencemberutkan bibirnya.

"Tampaknya tak akan ada perempuan yang sudi menjadi isteriku!" kata si kakek sambil tercenung beberapa saat. Kemudian terdengar dia menghela nafas.

"Tapi aku tak dapat menyalahkan diriku yang telah ditakdirkan Tuhan dengan keadaan tubuh seperti ini. Aku juga tak percaya kalau aku selamanya tak akan punya jodoh. Buktinya aku bisa menikah dengan seorang perempuan. Tapi sayang... rupanya dia telah terkena goda oleh laki-laki gagah yang membujuknya, hingga dia pergi dan lari dari sisiku...! Tahukah kau sahabatku? Kedatanganku ke wilayah ini adalah untuk mencarikan manusia keparat yang telah melarikan isteriku itu!"

Sampai di sini si kakek katai berhenti bicara. Selang sesaat di menengadah, menatap ke arah Barat.

"Hm, hari telah menjelang sore. Kukira aku telah tak memerlukan kau lagi, sahabatku...!" kata si kakek katai seraya melompat turun dari punggung keledai.

Binatang ini mendengus dua kali dan manggut-manggutkan kepala entah apa maksudnya. Yang jelas keledai tak bisa bicara se-perti manusia. Tapi mungkin mengerti dengan kata-kata si kakek katai. Dia memang telah lelah dan penat berjalan jauh. Ingin sekali rasanya dia beristirahat. Tapi mengetahui kalau saat itu si kakek katai telah tak memerlukan dirinya lagi.

"Nah! Kau pergilah kemana kau suka...!" berkata kakek katai ini. Lengannya mendorong pantat keledai tua itu. Binatang ini meringkik perlahan, kemudian berlari cepat dari tempat itu tak menoleh lagi. Kakek katai menatapnya hingga binatang itu lenyap di balik batu bukit.

Kakek ini putar pandangan ke beberapa arah, seperti menentukan arah yang akan ditujunya. Pandangannya terhenti ke arah sebelah Timur, dimana tampak tumbuh pepohonan lebat. Dan... suatu hal yang aneh dan mengagumkan terjadi. Kakek katai tekan tongkatnya ke tanah. Dilain kejap tampak tubuh sebesar bocah berusia lima tahun itu mencelat ke udara. Dalam beberapa kali melompat, sebentar saja tubuh kakek katai itu sudah lenyap tak kelihatan lagi...


Nanjar melompat ke luar dari balik batu dimana sejak tadi diam membekam mulut dan pentang mata serta pasang telinga mendengarkan ocehan si kakek katai. Sesaat lamanya dia menatap ke arah bekas lenyapnya sosok tubuh kakek katai itu.

"Haih! Tampaknya urusan dunia persilatan tak ada habisnya. Kini seorang kakek pendek, katai tahu-tahu muncul untuk mencari jejak penculik yang telah membawa kabur isterinya. Kakek katai itu tentu seorang tokoh tua yang ilmunya tinggi. Entah siapa gerangan gelarnya. Manusia yang telah berani main gila dengan isteri si kakek katai itu tentu orang yang telah nekat dan berani menempuh resiko besar. Begitu banyak urusan manusia dengan segala kemelut di dalamnya..." berkata si Dewa Linglung dalam hati.

Kalau dia tak sedang ada urusan yang harus diselesaikan, mungkin sejak tadi dia unjukkan diri untuk berkenalan dengan manusia kerdil yang aneh itu. Sayang dia sedang berusaha mewujudkan keinginan hatinya, yaitu mencari dimana tersimpannya Kitab Ilmu Sihir Putih yang tertera dalam Peta pemberian si Raja Penyihir Sinting. Sesaat Nanjar memandang ke arah Barat. Matahari telah tenggelam di balik gunung. Tak lama si Dewa Linglung segera berkelebat pergi dari tempat itu.


EMPAT

Enam bulan telah lewat sejak kepergian Nanjar mengikuti petunjuk Peta mencari kitab ilmu sihir putih. Marilah kita beralih pada sebuah tempat di wilayah Selatan yang berhawa dingin dimana tanah dan pohon hampir setiap saat terbungkus salju.

Gadis berpakaian mantel bulu itu berlari-lari kecil di atas salju, menampakkan bekas-bekas telapak kaki yang ditinggalkannya. Gerakannya tampaknya secara sembunyi-sembunyi seperti khawatir dipergoki orang. Sebentar-sebentar dia berhenti di balik batang-batang pohon yang terbungkus salju, atau di balik-balik batu cadas yang memutih oleh timbunan salju.

Di lengan gadis ini tampak sebuah bungkusan kain yang sebentar-sebentar disembunyikan di balik mantel bulu. Dari celah mantel bulu yang sedikit terbuka di bagian atas, tampaklah seraut wajah yang cantik. Ternyata dia seorang dara berparas cantik dengan bibir mungil dan agak sedikit merekah di bagian tengahnya.

"Sebentar lagi hari gelap! Aku harus cepat mengantarkan makanan ini, dan secepatnya kembali sebelum malam tiba..." desis gadis ini.

Beberapa saat kemudian dia telah tiba di sisi tebing batu cadas. Kemudian merayap di sisi tebing terjal itu dengan hati-hati. Sampai akhirnya dia menemukan sebuah lubang di antara celah tebing yang tertutup rapat dengan batang-batang pepohonan tak berdaun karena tebalnya salju yang melekat. Dara ini menggeser batu penutup celah yang sedikit terbuka itu, kemudian menelusup masuk ke dalam lubang itu.

"Yulian...! Kau datang lagi...?" terdengar suara orang menyapa dari ruangan dalam.

"Aku bawakan makanan untukmu..." menyahut gadis ini sambil melangkah masuk. Ternyata ruangan di dalam lubang itu bertambah lebar. Ada cahaya yang samar-samar menerangi ruangan itu dari sebuah lubang di sebelah atas yang tak seberapa besar.

Tampak seorang pemuda duduk di antara timbunan tanah pasir. Tampaknya dia tengah bekerja menggali tanah di dasar tebing di dalam lubang itu. Dia seorang pemuda berambut gondrong menjela bahu yang tampak kotor penuh butiran pasir hingga mukanya pun celemongan. Di hadapannya tampak sebuah peti besi yang sudah berkarat.

"Kau... kau telah menemukannya, Nanjar...?" sentak gadis ini dengan wajah berubah girang.

Ternyata pemuda berambut gondrong itu tiada lain dari si Dewa Linglung adanya. Ternyata keberangkatan pemuda ini mencari kitab ilmu sihir putih mengikuti petunjuk yang berada di dalam Peta, telah membawa langkah kakinya hingga tiba di suatu wilayah yang berhawa dingin dan selalu diliputi salju.

Suatu hal yang sangat kebetulan adalah Nanjar menemukan kawan seorang dara cantik bernama Yulian. Sebuah nama yang cukup asing bagi telinga si Dewa Linglung, juga bahasa yang berbeda. Tapi berkat keuletan Nanjar mempelajari, diapun berhasil menguasai bahasa gadis itu walaupun agak kaku.

Yulian ternyata seorang gadis berparas cantik, berhidung mancung dan berambut pirang. Dara berkulit putih itu ditemukan Nanjar tersesat di wilayah yang tanahnya berawa-rawa. Untunglah dimusim dingin itu salju turun, hingga rawa-rawa berbahaya itu tertutup salju, dan airnya membeku.

Perkenalan dengan dara berkulit putih itu sangat menyenangkan hati si Dewa Linglung. Dan ternyata dara itu sendiri merasa simpati padanya disebabkan Nanjar mampu menolak hawa dingin, walaupun tanpa mengenakan pakaian bulu. Dan keperkasaan pemuda itu telah membuat dia kagum. Hingga semangatnya untuk melarikan diri semakin kuat, karena dengan adanya pemuda itu pasti akan melindungi dirinya.

Hampir dua pekan sejak pertemuan itu, Nanjar mencarikan makanan dan membawanya bersembunyi di goa-goa dan relung batu. Selama itu mereka saling mempelajari bahasa masing-masing. Ternyata Nanjar cukup cerdas, dan da-lam waktu singkat dapat menguasai bahasa asing dara kulit putih itu.

Barulah Yulian mengerti kalau Nanjar datang ke wilayah itu adalah untuk mencari kitab ilmu sihir putih menurutkan dalam petunjuk sebuah Peta yang dibawanya. Karena rasa simpati yang dalam, serta kesan yang baik terhadap pemuda gondrong berkulit sawo matang itulah, hingga Yulian turut membantu Nanjar mencari dimana disimpannya kitab rahasia ilmu sihir putih tersebut.

Sayang, sementara itu orang-orang Mongol yang mencari Yulian terus melacak ke setiap pelosok daerah bersalju untuk menemukan gadis yang melarikan diri itu. Dari penjelasan dara itu, tahulah Nanjar kalau Yulian adalah puteri seorang kaisar. Kerajaan dan wilayah kekuasaan ayahanda gadis tersebut berhasil dikuasai musuh.

Yulian berhasil melarikan diri. Tapi terperangkap oleh sekelompok orang-orang Mongol. Dan dikesempatan yang baik, gadis itu berusaha melarikan diri, hingga berjumpa dengan si Dewa Linglung. Akhirnya Nanjar berhasil menemukan goa seperti petunjuk dalam Peta. Sayang, Yulian telah dapat diketahui jejaknya oleh orang-orang Mongol yang memburunya.

Ternyata orang yang memburunya merupakan kelompok lain dari kelompok yang pernah menyekap diri Yulian. Salah seorang dikenal Yulian sebagai kepala Suku di salah satu sebuah desa orang-orang Mongol. Nanjar segera bersiasat. Dia menyuruh Yulian keluar dari tempat persembunyian, dan memerintahkan agar Yulian mengikuti kelompok kepala suku itu.

Karena dia memerlukan waktu yang tak diketahui berapa lamanya untuk menemukan kitab ilmu sihir putih. Nanjar yakin kelompok itu akan melindungi diri gadis itu. Yulian tak dapat menolak dan segera keluar dari tempat persembunyian.

Demikianlah, hingga dia berada dalam kelompok tersebut. Akan tetapi ternyata mereka tinggal tak seberapa jauh dari tebing dimana Nanjar menemukan goa tempat menyimpan kitab pusaka yang dicarinya. Hingga telah dua kali secara diam-diam gadis itu menemui si Dewa Linglung.

Hal itu terpaksa dilakukan, karena pertama dia tak dapat menahan rasa rindunya untuk bertemu dengan Nanjar. Kedua, dia ingin mengetahui apakah Nanjar telah berhasil menemukan kitab tersebut. Dan yang ketiga adalah, dia telah mengambil keputusan untuk turut serta bersama pemuda itu. Karena keadaan telah tak memungkinkan lagi baginya untuk kembali ke wilayah Kerajaan ayahandanya yang telah dikuasai musuh. Bahkan menurut berita ayahandanya telah tewas dalam pertempuran.

Kini Dara Cantik Berkulit Putih, Bermata Biru ini, berdiri di depan si Dewa Linglung dengan mulut setengah terbuka. Matanya menatap tajam ke arah peti besi di atas onggokan pasir, di depan pemuda itu. Yulian beranjak melangkah mendekati, lalu berjongkok di depan Nanjar yang tengah berusaha membuka peti besi itu.

Tak terlalu sukar untuk membukanya, disamping peti besi itu telah berkarat, juga Nanjar memiliki kekuatan melebihi orang biasa. Peti itu terbuka, dan tampak sebuah kitab dari kulit berada di dalamnya. Nanjar menjumput benda itu, lalu membuka lembaran-lembaran kitab kulit. Diam-diam dia bersyukur karena dapat memahami tulisannya yang bagi Yulian tampak asing.

Sesaat kemudian Nanjar bangkit berdiri. Yulian turut bangkit berdiri. Matanya yang bulat berbulu lentik itu menatap tajam si Dewa Linglung. Tapi bibir yang tadi melukiskan senyuman, mendadak lenyap seperti tersapu angin.

"Kau... kau telah berhasil mendapatkan kitab itu, Nanjar...! Lalu apakah yang akan kau lakukan selanjutnya...?" bertanya dara ini.

"Haha... tentu saja mempelajarinya sampai aku bisa menguasai ilmu sihir putih itu!" sahut Nanjar sambil tertawa dan menarik nafas lega.

"Setelah kau berhasil mempelajari..." tukas si gadis dengan wajah murung tak bersemangat.

"Tentu saja kembali ke tanah tempat tumpah darahku, dan sebelumnya membakar kitab ini yang tak kuperlukan lagi!" sahut si Dewa Linglung.

"Kau akan meninggalkan aku...?" berkata Yulian dengan menundukkan wajahnya.

Nanjar sesaat tertegun. Dia dapat melihat sepasang mata dara itu berkaca-kaca. "Yulian...! Aku belum lagi pergi dari goa ini, mengapa kau mengatakan aku akan meninggalkanmu?" berkata Nanjar dengan suara lirih. Lengannya menggamit dagu gadis asing itu hingga wajahnya menengadah.

Tiba-tiba dara ini menangis terisak-isak seraya memeluk pemuda di hadapannya. "Nanjar...! Jangan tinggalkan aku...! Aku akan turut kemana kau pergi. Bawalah aku serta bila kau kelak meninggalkan wilayah ini..." berkata Yulian dengan suara menggetar. Terasa ada air hangat yang membasahi dada si Dewa Linglung.

Nanjar membiarkan dara itu memeluknya, sementara lengannya mengelus rambut sang dara. "Yulian... mungkinkah hal itu terjadi? Kau pergi meninggalkan wilayah tempat kau dibesarkan. Apakah kau bisa hidup bersamaku? Bersama orang yang tak tentu kehidupannya?" berkata lirih si Dewa Linglung.

"Mengapa tidak, kekasihku? Aku... aku telah jatuh cinta padamu. Ke mulut Naga atau kesarang Harimau dan kemana kau pergi membawaku, aku akan setia mengikutimu...! Nanjar! Oh, tak mengertikah kau akan perasaan hatiku? Aku sudah tak mungkin lagi tinggal di wilayah ini. Karena kekuasaan ayahandaku telah tumbang.

"Ayahandaku telah tewas. Aku tak tahu akan bagaimanakah nasibku selanjutnya? Dan kelompok orang-orang Mongol itu akan tetap mengejarku. Dan... ahh..." Gadis itu tak meneruskan kata-katanya, karena dia telah terisak-isak membenamkan wajahnya ke dada Nanjar.

Perlahan Nanjar melepaskan pelukan dara itu. Lengannya menggamit dagu Yulian hingga wajah dara itu kembali menengadah. "Sudahlah, Yuhan manis...! Gadis cantik akan jelek kalau menangis. Aku akan..."

"Kau akan membawaku nanti setelah kau berhasil menguasai kitab ilmu sihir putih itu?" potong Yulian dengan wajah berubah cerah.

Nanjar mengangguk sambil tersenyum. Mau tak mau hatinya jadi trenyuh dan ada perasaan aneh yang menggebu dalam dadanya. Hangatnya tubuh dara itu serta harum mulutnya membuat Nanjar seperti terpagut ke dalam suatu perasaan yang mendebarkan jantung.

Dan Yulian berbisik lirih. "Nanjar... Oooh... I Love You... Nanjar..."

Wajah keduanya semakin mendekat, sementara sepasang mata gadis itu telah setengah terpejam dengan bibir yang mungil merekah menantikan lumatan bibir yang semakin mendekat. Akan tetapi ditunggu-tunggu tak terasa ada sesuatu yang menempel di bibirnya, membuat dara ini kembali membuka matanya.

"Nanjar... apakah kau tak mencintaiku...?" berkata Yulian dengan suara lirih berdesis, dan mata masih terpejam.

"Aku... aku mencintaimu, Yulian..." sahut si Dewa Linglung. Dan... tiba-tiba saja dia telah melumat bibir mungil dara itu. Dari itu balas merengkuh dengan gejolak asmara yang menggebu-gebu. Begitu lamanya dia menahan perasaan rindu, membekamnya dalam dada. Kini dia menumpahkan segalanya. Dia telah siap memasrahkan segala-galanya.

Tapi tiba-tiba Nanjar melepaskan pelukan dara ini. Tentu saja membuat Yulian merasa aneh. Dia melihat pemuda itu memalingkan wajahnya menatap ke arah sela lubang. Telinga Nanjar memang mendengar ada suara mendekati ke arah sela lubang. Dara ini jadi berubah tegang. Nanjar memberi isyarat padanya agar tak menimbulkan suara.

Keadaan yang menegangkan itu segera lenyap, ketika yang muncul di sela lubang itu ternyata cuma seekor tikus putih. Binatang itu memasuki celah lubang itu, lalu lari ke sudut, dari, menyelinap lenyap disela batu.

Nanjar menarik nafas lega. Demikian juga dara itu. Sesaat si Dewa Linglung menatap pada gadis itu. Dara ini memeluk erat Nanjar. Hatinya lega karena dia menyangka orang-orang Mongol anak buah kepala suku yang telah mencari dirinya.

LIMA

Dara itu mendadak lepaskan dekapannya... "Aku harus segera kembali, Nanjar...! Saat aku pergi ke mari kepala Suku dan beberapa orang Mongol lainnya sedang pergi. Cuma ada seorang Mongol yang menjaga perkampungan kecil itu dalam keadaan tertidur pulas karena semalam suntuk berjaga-jaga. Aku harus segera kembali ke sana sebelum kepala Suku dan anak buahnya pulang..." berkata Yulian.

Nanjar mengangguk. Matanya menatap dara itu tajam-tajam. Entah mengapa Nanjar merasa mulai merasa khawatir dan sangat memperhatikan gadis asing itu. "Selama ini kau baik-baik saja, Yulian...?"

Dara itu mengangguk. "Mereka semua baik-baik, dan tak seorangpun yang mengganggu aku. Mungkin mereka masih mengharapkan keadaan berubah. Peperangan di beberapa tempat memang masih berlanjut. Seandainya kekaisaran ayahandaku dapat dikembalikan dan musuh dapat dipukul mundur, tentu mereka akan menerima imbalan karena telah melindungi diriku sebagai puteri Kaisar. Akan tetapi aku mengira harapan itu cuma kosong belaka. Dan mereka cuma menantikan hal yang sia-sia..."

Sesaat lamanya Nanjar tercenung. Tapi dia tak berkata apa-apa selain cuma berdiam membisu. Suasana menjadi hening.

"Apa yang kau pikirkan, kasihku...?" tanya Yulian. Lengannya membelai dada telanjang pemuda ini.

"Aku... ah, aku lupa belum memakan makanan yang kau bawakan...!" sahut Nanjar. Yulian tersenyum seraya cepat beranjak dan menjumput bungkusan kain berisi makanan itu. Lalu memberikannya pada Nanjar.

Saat itulah mereka tersentak karena sayup-sayup telinga mereka mendengar suara terompet yang ditiup panjang berulang-ulang. Se-saat keduanya saling tatap. Yulian terperangah. Mendadak wajahnya berubah.

"Suara apakah itu, Yulian...?" bertanya Nanjar.

"Oh... itu... itu suara terompet tanda kemenangan!" sahut dara itu seraya melompat berdiri. Lalu beranjak cepat menuju lubang.

Nanjar ikut memburu keluar. Apakah yang dilihat Nanjar dan dara asing itu? Ternyata tampak ratusan tentara berbaris menuju sebuah perkampungan kecil di dataran salju itu. Di bagian depan ratusan tentara Kerajaan itu tampak dua belas laki-laki orang-orang Mongol yang dikenal Yulian adalah kelompok yang dikepalai oleh kepala Suku. Yulian tertegun menatap seperti tak percaya.

Tampak ratusan tentara Kerajaan berhenti tak meneruskan perjalanan. Tapi dua puluh orang serdadu dengan dikepalai seorang pemuda gagah berkuda meneruskan perjalanan dengan mengikuti dibelakang dua belas laki-laki orang Mongol.

"Oh... tak salahkah mataku? Itu... itu bukankah Pangeran Alamando...?" sentak gadis ini dengan suara berdesis. "Ah, ternyata bala bantuan telah datang...! Begitu cepat...! Ya, mengapa begitu cepat...?"

"Siapakah Pangeran Alamando itu?" tanya Nanjar.

"Dia... dia pangeran dari Kerajaan Thor! Tetangga dari kerajaan ayahandaku yang telah dikuasai musuh. Ternyata keadaan telah berubah sedemikian cepat...!" sahut Yulian dengan suara parau. Suara yang terdengar seperti haru bercampur girang. Akan tetapi juga tercampur rasa sedih.

Karena saat itu terdengar suara genderang dan terompet di kejauhan mengiramakan nada-nada kemenangan. Ternyata bala bantuan dari Kerajaan Thor telah berhasil merebut kembali wilayah Kerajaan ayahanda gadis itu. Dan kedatangan Pangeran Alamando adalah untuk menjemput dirinya.

"Apa maksud kata-katamu Yulian? Apakah yang begitu cepat?" pertanyaan si Dewa Linglung membuat dia tersadar dari tercenungnya.

Dara ini menoleh pada Nanjar. Tampak sepasang matanya basah oleh air mata yang menggenang. "Nanjar...! Tampaknya makanan yang kubawakan padamu adalah makanan yang terakhir...! Karena... karena aku akan segera dijemput untuk kembali ke kerajaan Read Stair Of Thor! Kerajaan Bintang Merah telah dipersatukan dengan Kerajaan Thor! Ternyata kejadian ini sungguh diluar dugaanku...! Bala bantuan dari Kerajaan Thor mendapat kemenangan dan berhasil mengusir musuh. Aku tak menyangka kalau akhirnya kita akan berpisah..." sahut Yulian dengan air mata mengalir membasahi kedua pipi.

Nanjar seperti terjaga dari sebuah mimpi. Ditatapnya wajah dara itu. Ditatapnya bulu mata yang lentik dari sepasang mata yang biru itu. Sesaat lamanya dia tertegun mematung. Akan tetapi tak lama dia segera menghela nafas. Nanjar memegang kedua bahu dara itu seraya berkata.

"Pergilah gadis manis...! Aku bahagia mendengarnya. Kau memang tak berjodoh denganku, dan kukira kehidupanmu kelak akan lebih baik...! Pangeran Alamando tampaknya seorang laki-laki gagah. Dia tentu akan menyayangi kau kelak sebagai permaisurinya!"

"Dari mana kau... kau mengetahui dia akan menjadi suamiku...?" sentak Yulian dengan mata membelalak. Hatinya terkejut karena Nanjar telah mengetahui kalau Pangeran Alamando ada-lah calon suaminya.

"Dari sinar matamu...!" sahut Nanjar dengan tersenyum. Dara ini tundukkan wajahnya. Bibirnya menggetar mengucapkan kata-kata.

"Dengan keadaan yang telah berubah seperti sekarang ini, aku memang tak dapat menolak lamarannya...! Tapi... Nanjar...! Aku... amat mencintaimu...!" kata gadis ini. Dan serta merta dia memeluk Nanjar dengan terisak-isak. Dibenamkan wajahnya ke dada bidang pemuda itu. Walau dia merasa gembira dengan kemenangan itu, akan tetapi dilain pihak hatinya menjadi hancur luluh. Dia telah terlanjur mencintai pemuda berkulit sawo matang itu.

Nanjar melepaskan diri dari pelukan dara ini, menggamit dagunya dan mengecup mata yang basah itu. "Kembalilah segera Yulian! Aku juga mencintai dirimu. Tapi kau tak boleh tidak harus segera pulang! Lihatlah! Mereka pasti akan mencarimu karena kau tak berada dalam perkampungan itu..."

Yulian memandang ke bawah. Tampak dua puluhan serdadu kerajaan Thor dengan dikepalai Pangeran Alamando telah memasuki mulut desa dimana dia berdiam selama ini. "Nanjar...! Aku tak akan melupakan semua yang kualami bersamamu... Baiklah! Aku akan kembali, Nanjar....! I Love You... dear...!"

Sekali lagi Yulian mengecup dan melumat bibir pemuda gagah yang dikaguminya itu. Kemudian melepaskannya dengan mata menatap wajah si pemuda.

"Selamat tinggal, pahlawanku..." katanya berdesis dengan bibir tersenyum kaku. Terasa be-rat rasanya perpisahan itu. Tapi dia memang ha-rus segera kembali. "Selamat jalan, Yulian...! Aku akan selalu mengenangmu, gadisku...!"

Yulian mengangguk. "Ya...! Kita akan saling mengenang...!" sahutnya dengan senyum yang kini nampak telah ikhlas. Dan... diapun balikkan tubuh. Kemudian bergegas cepat menuruni tebing batu berlapis salju itu.

Namun di balik batu besar di bawah sana, dia berhenti. Dipalingkan kepalanya menengadah ke atas tebing. Lengannya diacungkan ke atas dan digapai-gapaikan seperti mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir sekali. Nanjar yang masih berdiri di muka lubang membalas menggapaikan tangannya.

Selang sesaat dara itupun berlari cepat menuju ke arah perkampungan orang-orang Mongol itu tak menoleh lagi. Sesaat an-taranya si Dewa Linglung balikkan tubuh. Lalu memasuki lagi lubang rahasia itu, dan menggeser batu menutup lubang itu...

Nanjar memang telah berniat akan mempelajari isi kitab ilmu sihir putih itu dan berdiam di tempat itu sampai dia berhasil memperoleh ilmu warisan si Raja Penyihir Sinting.

ENAM

Di pertengahan Bulan Kedua Belas... suatu wilayah di Selatan dilanda kegemparan dengan beberapa kejadian aneh yang dialami penduduk di beberapa desa. Kejadian aneh itu adalah munculnya suatu bencana menyeramkan yang menimpa kaum wanita yang dalam keadaan mengandung, atau tengah melahirkan bayi.

Telah belasan jiwa melayang karena kejadian aneh yang melanda seperti sebuah wabah penyakit, atau seperti suatu hal yang diakibatkan dari adanya suatu kutukan! Karena setiap wanita yang tengah mengandung pasti menginginkan darah.

Keinginan menghirup darah itu hampir merata di antara beberapa desa pada setiap wanita yang mengandung. Hingga membuat ketakutan sang suami terhadap keinginan isteri mereka. Karena setelah habis darah ternak yang mereka miliki, tentu akan menginginkan darah manusia.

Di beberapa tempat telah terjadi kepanikan karena seorang isteri yang mengidam meminum darah telah nekat memenggal leher suami atau anaknya sendiri. Sungguh suatu kejadian aneh yang sangat mencemaskan.

Kejadian aneh yang berikutnya adalah bila wanita itu melahirkan, akan menjerit-jerit kesakitan dan sekarat... kemudian tewas! Anehnya bayi yang dilahirkan bukan berbentuk seorang bayi manusia. Melainkan berpuluh ekor kala, kelabang dan bermacam binatang berbisa lainnya yang keluar dari dalam rahim wanita itu.

Hal inilah yang membuat hampir gila penduduk di beberapa desa itu memikirkannya. Hingga masing-masing kepala desa telah berembuk untuk mengambil jalan keluar dari kejadian-kejadian yang mengerikan itu. Hasil musyawarah memupakatkan, para suami tidak diperbolehkan berhubungan dengan isterinya untuk waktu sementara.

Karena dikhawatirkan isteri mereka akan hamil, lalu mengidam meminum darah. Juga dikhawatirkan jika menjelang melahirkan akan tewas, dan bayi yang dilahirkan bukan bayi sewajarnya.

Di tengah keresahan yang melanda dan membuat panik para penduduk desa itu, muncullah seorang nenek tua renta melangkah terbungkuk-bungkuk menuju ke tengah desa. Beberapa warga desa yang melihat munculnya seorang nenek tua asing itu tampak agak mencurigakan. Diam-diam beberapa orang membuntuti nenek tua itu. Sedang yang lainnya dengan cepat melapor pada kepala desa.

Setiba di tengah desa, wanita tua ini berhenti. Lalu memutar pandangan ke sekeliling arah. Mendadak dia mengacungkan tongkatnya ke atas. Dan terdengarlah suara tertawanya terkekeh-kekeh.

Belasan pasang mata menatap tertuju pada nenek tua aneh itu. Segerombol laki-laki yang mengintai sama terheran karena tak mengenal perempuan tua itu. Dan apa yang akan dilakukan si nenek di tengah desa itu? Setelah puas tertawa, si nenek berkata lantang.

"Hooiiii...! Dengarlah semua penduduk desa! Aku datang untuk menyelamatkan kalian dari musibah di desa ini! Tahukah kalian apa sebabnya terjadi kejadian-kejadian mengerikan di desa ini? Hihik...hik, itulah karena kelalaian kalian memberikan sesajen pada Peri Ratu Kemuning! Saat ini kalian orang-orang lelaki sangat menderita karena tak dapat berhubungan dengan isteri-isteri kalian. Akan tetapi sejauh mana kalian kaum laki-laki akan mampu bertahan? Ketahui-lah! Kutukan ini akan berjalan terus sampai seratus tahun. Kalian dengar itu? Seratus tahun!" teriak si nenek mengulangi kata-katanya.

Sesaat suasana kembali hening. Entah sejak kapan para penduduk desa telah bermunculan, berdesak-desakan di muka pintu, dan melongok keluar dari jendela untuk melihat siapa orang yang berteriak-teriak itu. Juga mendengarkan ka-ta-kata yang diucapkannya. Nenek ini ketukkan tongkatnya tiga kali ke tanah. Kemudian berkata lagi.

"Camkanlah, kata-kataku ini! Dan dengarkan baik-baik! Bila kalian menginginkan musibah ini segera berakhir, lakukanlah apa yang aku perintahkan tadi! Dan... yang kedua, kalian harus memberikan separuh dari hasil sawah dan ladang kalian setiap musim panen!"

Seorang laki-laki beranjak mendekati wanita tua renta itu. Dan dengan memberanikan diri dia berkata. "Apapun syarat itu akan kami penuhi...! Tetapi sampai kapankah kami akan menaruh sesajen dan memberikan separuh dari hasil sawah dan ladang kami? Juga dimana kami harus meletakkan sesajen, dan kemana kami harus membawa separuh hasil bumi itu?"

Laki-laki ini bernama Prawira. Dia baru beberapa hari menetap di desa itu, karena mendengar laporan dari keluarganya mengenai kejadian aneh yang menimpa desa kedua orang tuanya. Prawira adalah murid dari Pesantren Sawung Galing yang berada di kaki Gunung Honje. Orang tuanya adalah kepala desa di desa itu.

Nenek ini tatapkan matanya pada laki-laki berpakaian serba putih itu. Kemudian perdengarkan suara tertawa terkekeh. Lalu menjawab pertanyaan itu.

"Hik hik hik... mengenai lamanya aku belum bisa menentukan. Sesajen itu harap kalian letakkan di samping rumah dengan digantung! Dan hanya dilakukan setiap malam Jum'at saja, dengan mempersembahkan pada Peri Ratu Kemuning yang diniatkan dalam hati dan diucapkan dengan kata-kata. Sedangkan separuh hasil bumi kalian antar ke hutan di sebelah Timur sana. Letakkan di sekeliling sebuah batu besar yang terdapat di situ...!" sahut si nenek tua renta dengan suara nyaring.

Sejurus lamanya Prawira tertegun. Diam-diam hatinya terkejut, karena jelas hal itu merupakan suatu hal yang disebut musyrik dalam agama yang dianutnya. Hal ini serupa dengan menyembah Iblis! Batu besar di dalam hutan itu memang ada terdapat di tempat itu. Apakah batu besar itu kini sudah dikuasai Peri Ratu Kemuning seperti yang dikatakan nenek tua itu. Kalau syarat-syarat yang dikatakan si nenek adalah menjurus ke arah kesesatan, berarti Peri Ratu Kemuning adalah serupa dengan makhluk Iblis!

Diam-diam dia justru mencurigai nenek itu yang tak diketahui dari mana asalnya. Dan dia berpendapat adanya suatu muslihat tersembunyi yang digunakan untuk memeras penduduk, disamping merusak keimanan manusia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Saat itu si nenek kembali perdengarkan suara tertawa terkekeh-kekeh.

"Hihik...hik...hik... tampaknya kau ragu-ragu, orang muda! Bagiku tak soal dengan mau atau tidaknya kalian mengerjakan syarat itu, karena aku hanya akan menolong kalian! Akan tetapi bila kalian tak memenuhi persyaratan itu, aku khawatir musibah lainnya yang lebih menakutkan akan menimpa penduduk desa ini!" kata si nenek.

Selesai berkata mendadak sesuatu telah terjadi di depan mata penduduk desa itu. Tubuh si nenek tiba-tiba lenyap berubah menjadi gumpalan asap putih. Ketika asap melenyap... terdengar suara mengikih tanpa ujud. Suara tertawa itu kian lama kian menjauh, hingga akhirnya lenyap.

Para penduduk serentak berlompatan keluar dari masing-masing pondok. Beberapa orang memburu ke arah Prawira. Diantaranya terdapat ayahnya yaitu kepala desa itu.

"Suatu hal yang sangat aneh, ayah...!" kata Prawira menatap laki-laki tua, ayahnya. "Hal ini sangat aneh! Aku curiga nenek tua renta itu bukannya mau menolong penduduk, akan tetapi justru mau menjerumuskan ke arah kesesatan yang nyata, dan ke lembah kesengsaraan yang lebih parah...!"

"Aku sendiri tak mengetahui siapa nenek tua itu. Tapi jelaslah dia bukan seorang manusia biasa, karena dapat melenyapkan diri seperti hantu. Tapi... hm, marilah kita bicara di rumah saja!"

Pak Bajo membubarkan para penduduk yang mengerumuni mereka, dengan memberi nasihat agar tenang, dan jangan terburu-buru mengambil keputusan seperti yang disarankan nenek tua renta itu. Sementara dia akan mencari jalan keluar dari kejadian ini, serta munculnya musibah di desa itu. Atau mungkin akan meminta bantuan seorang Kyai yang dapat menangkal atau mengu-sir wabah kutukan.

Selesai membubarkan para penduduk, keduanya bergegas kembali ke rumah. Sementara para penduduk segera kembali ke pondoknya masing-masing dengan seribu pertanyaan dalam benak. Siapakah nenek tua aneh itu? Apakah seorang dukun sakti? Ataukah makhluk dedemit penunggu hutan? Dan bermacam tafsiran lainnya memenuhi kepala. Namun semua itu tak mampu mereka memecahkannya...

TUJUH

Sore itu... seekor kuda keluar dari halaman rumah kepala desa, berpenunggang seorang laki-laki. Dialah Prawira. Pemuda berusia tiga puluhan tahun ini membedal kudanya dengan cepat ke arah barat. Agaknya Prawira mengejar waktu, sehingga dia melarikan kudanya dengan melebihi kecepatan yang biasa dia lakukan. Tampak wajahnya diliputi ketegangan yang luar biasa.

"Aku harus cepat tiba di kaki Gunung Honje secepatnya untuk melaporkan kejadian ini. Tapi sebaiknya aku menyimpang dulu ke Desa Bojong Manik, mengabarkan hal ayah sakit mendadak pada paman Gagak Wulung!" kata Prawira dalam hati dengan perasaan tidak tenteram. Dan dilarikan kudanya sekencang-kencangnya bagai dikejar setan.

Saat itu sebuah bayangan putih berkelebat dari dalam hutan bagaikan sebuah bayangan hantu yang bergerak secepat hembusan angin. Prawira tersentak kaget, karena tahu-tahu kudanya meringkik keras dan mengangkat kaki de-pannya. Nyaris dia terjungkal kalau dia bukan seorang yang ahli menunggang kuda. Kejadian aneh itu membuat Prawira terheran juga terkejut.

Tak biasanya kuda tunggangannya berbuat demi-kian. Prawira berusaha menjinakkan binatang itu dengan menghentakkan kaki ke perut kuda serta melecut binatang itu sambil menghardik-hardik. Tapi kuda itu terus melonjak-lonjak dengan memperdengarkan ringkikan tiada henti.

Laki-laki itu hampir hilang akal. Disaat itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik, dibarengi dengan munculnya sesosok bayangan putih di hadapannya. Ternyata bayangan putih itu adalah seorang wanita berbaju serba putih dengan ikat pinggang warna hitam. Rambutnya terurai sampai melebihi bahu. Prawira tersentak kaget.

"Hihihi... kau hendak kemana Prawira....?"

"Siapakah kau?" bentak Prawira. Heran juga terkejut laki-laki ini karena tak mengenali wanita itu, yang mengetahui namanya. Juga kemunculannya yang seperti hantu.

"Hihi... Prawira! Aku tahu kau murid Kyai Rangga Jati! Kau tak mengenalku, tapi aku mengenalmu, karena aku pernah diusir dari Pesantren Sawung Galing!" menyahut wanita itu.

Prawira tersentak kaget. Sepasang matanya membela-lak. "Kau... Galuh Ranti...?" sentak Prawira.

Dia memang ada mendengar Kyai Rangga Jati pernah mempunyai seorang murid yang diusir dari Pesantren Sawung Galing, karena bertingkah laku tidak senonoh, sehingga membuat malu orang tua itu. Kejadian itu telah lewat lebih sepuluh tahun yang silam. Prawira hanya mendengar dari Kyai Rangga Jati yang menceritakan hal kejadian itu kepadanya.

"Benar apa yang kau duga itu! Aku memang Galuh Ranti! Tentu Kyai Rangga Jati telah menceritakan padamu!"

"Hm, apa maksudmu menghadangku?" tanya Prawira. Diam-diam dia sudah punya pirasat tidak baik dengan kemunculan wanita itu.

"Hihi... aku hanya mau bertanya, akan ke-manakah kau? Tampaknya kau sangat tergesa-gesa?" sahut Galuh Ranti dengan sikap sangat genit.

Usia wanita ini kira-kira sekitar tiga puluh lima tahun. Dari sikap dan dandanannya yang berpupur tebal serta alis hitam dan bibir bergincu, sudah dapat diterka kalau dia seorang wanita jalang. Apalagi Prawira telah mengetahui watak serta perbuatannya yang mencemarkan nama Kyai Guru Rangga Jati, hingga sampai mengusir wanita muridnya itu.

"Aku akan ke Pesantren Sawung Galing menemui Kyai Guru! Ada hal penting yang akan aku sampaikan...! Kuharap kau memberi jalan dan tak menggangguku, Galuh Ranti!" sahut Prawira. Sementara kudanya telah kembali tenang. Entah hal apakah yang membuat binatang itu tiba-tiba meringkik keras dan nampak seperti ketakutan.

"Hal penting apakah hingga kau nampak begitu tergesa-gesa? Kalau boleh aku mengetahui. Hm, siapa tahu aku bisa membantumu...?"

"Aku tak dapat mengatakannya! Hm, apakah kau berani datang ke Pesantren Sawung Galing setelah kau diusir oleh Guru?"

Wanita itu tertawa dingin, seraya menyahut. "Mengapa tidak? Mari kita kesana bersa-ma-sama! Sudah lama aku tak melihat pesantren itu, apakah murid Kyai Rangga Jati semakin ber-tambah? Dan tentu keadaan di sana telah banyak berubah sejak aku tinggalkan..."

Prawira jadi melengak. Tak menyangka kalau Galuh Ranti menawarkan diri untuk turut bersama ke Pesantren Sawung Galing. Dan tanpa disadari tatapan mata Galuh Ranti yang mengandung kekuatan ghaib telah bekerja untuk mempengaruhi laki-laki itu.

Saat itu Prawira yang tadinya tak mau memperdulikan wanita itu, mendadak merasa suatu kekuatan aneh yang telah memaksa dia menatap pandangan mata Galuh Ranti, hingga dia tertegun mematung. Kekuatan yang hebat itu ternyata mampu merobah pandangan mata lawan menjadi pudar. Prawira seperti merasa pikirannya menjadi ko-song. Dan satu bisikan halus tiba-tiba menyelinap ke daun telinganya.

"Prawira...! Tak tahukah kau bahwa aku sangat mencintaimu? Aku sudah jatuh hati padamu sejak kau datang ke Pesantren Sawung Galing. Sayang aku dicemburui oleh Somala anak angkat Guru pada sepuluh tahun yang lalu, hingga aku difitnah bahwa aku telah mengadakan hubungan badan dengannya. Padahal tujuannya adalah agar segera dinikahkan padanya. Tapi justru aku telah diusir dari pesantren! Aku tak mencintainya, Prawira...!

"Dan sampai saat ini aku masih mencintaimu. Apakah kau akan membiarkan aku merana mendendam cinta sampai kulit tubuhku menjadi keriput? Lihatlah aku Prawira! Aku masih cantik, bukan? Dan sampai saat ini aku masih perawan. Tak seorang laki-lakipun yang menyentuh diriku. Karena aku masih mengharapkan kau..."

Kata-kata bermadu mengandung bisa itu menyelinap ke telinga Prawira dan menyentakkan hati laki-laki ini hingga terpana. Dan satu kekuatan ghaib telah membuat pemuda ini perlahan-lahan turun dari punggung kudanya. Kemudian melangkah mendekati wanita itu.

"Kau... kau memang masih sangat cantik, Galuh Ranti. Masih cantik seperti dulu..." berkata Prawira dengan suara mendesis dan mata tak berkejap menatap wanita di hadapannya.

Dalam pandangannya Galuh Ranti bahkan telah berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik luar biasa. Disaat itulah tiba-tiba lengan Galuh Ranti bergerak cepat menotok tubuh laki-laki itu. Akan tetapi sebelum lengannya menyentuh tubuh Prawira, mendadak terdengar bentakan keras.

"Perempuan bejat!"

"Whuuuk...!" Mendadak sambaran angin keras telah membuat tubuh wanita ini terhuyung ke samping hingga gerakan tangannya luput untuk menotok Prawira. Dan tahu-tahu sesosok tubuh telah muncul di tempat itu. Prawira tersadar seketika dari pengaruh kekuatan ghaib wanita itu. Sebaliknya Galuh Ranti berubah pucat wajahnya melihat siapa orang yang telah berdiri di hadapannya.

"Guru...!" teriak Prawira dengan wajah girang.

"Prawira! menyingkirlah! Murid durhaka bukan tandinganmu!" berkata kakek tua berjubah hijau dengan tasbih di tangannya itu.

"Kyai Rangga Jati...!?" sentak Galuh Ranti dalam hati. Akan tetapi dia telah melompat berdiri tegak dengan sikap waspada. "Bagus! Aku tak perlu datang ke Pesantren Sawung Galing untuk membalas perlakuanmu mengusir diriku, kakek tua!" berkata Galuh Ranti dengan suara dingin.

"Hm, setelah kau menuntut ilmu dengan seorang manusia sesat berilmu setan, apakah masih juga mau merusak muridku yang lain?" berkata Kyai Rangga Jati dengan sikap tenang.

"Hihihi.... syukurlah kalau kau mengetahui! Aku bebas menentukan pilihanku setelah kau usir dari pesantren! Dan kau datang hanya akan mengantar nyawa, kakek tua sok suci! Ketahuilah, sejak hari itu kau mengusirku, aku sangat mendendam. Dan dendam itu tak akan lenyap sebelum aku menghancurkan orang-orang Pesantren Sawung Galing termasuk dirimu!" teriak Galuh Ranti dengan suara lantang.

Prawira tersentak dari pengaruh hebat yang telah menyeret dirinya, dan hampir saja dia kena perangkap halus wanita itu, kalau gurunya tak muncul di tempat itu. Sesaat antaranya dia tertegun. Tapi segera melompat ke hadapan Galuh Ranti dengan membentak keras.

"Perempuan setan! Hampir saja kau mempengaruhi diriku untuk berbuat maksiat denganmu! Sebelum kau menghancurkan kami, langkahilah mayatku terlebih dulu!" Prawira secepat kilat mencabut keris di balik bajunya, dan menerjang wanita itu.

Kyai Rangga Jati berteriak memberi peringatan. Akan tetapi terlambat. Galuh Ranti gerakkan sepasang lengannya ke depan. Cahaya kuning membersit. Detik itu juga terdengar teriakan Prawira. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Sepasang mata laki-laki itu membelalak. Dia merasakan sekujur tubuhnya seperti disengat ratusan binatang berbisa. Dan samar-samar pandangan matanya melihat ratusan kala menggerumuti sekujur tubuh.

"Ilmu iblis..." sentak Prawira dengan terperangah. Akan tetapi saat itu juga tubuhnya terjungkal roboh, dan berkelojotan sekarat. Dan dalam waktu singkat setelah meregang nyawa, laki-laki itupun hembuskan nafasnya. Ratusan kala itu lenyap berbareng dengan lenyapnya kabut uap kuning pada tubuh Prawira.

Kyai Rangga Jati terperanjat. Dia sudah mengetahui kalau Galuh Ranti muridnya itu telah menjadi murid seorang tokoh berilmu sesat. Dan dia sudah menduga Prawira bukanlah tandingannya. Akan tetapi dia tak sempat menahan laki-laki itu yang menerjang Galuh Ranti setelah secepat kilat mencabut kerisnya.

"Perempuan bejat! Ternyata hatimu begitu telengas! Kau benar-benar telah menjadi hamba iblis!" bentak Kyai Rangga Jati dengan melangkah mundur setindak. Diam-diam dia mempersiapkan diri dengan membaca kalimat-kalimat suci dalam hati. Jari lengannya tak berhenti menghitung biji tasbih.

"Hihi...hi... kelak nyawamu pun akan menyusul murid-muridmu, Kyai! Saat ini aku membiarkan kau hidup untuk sementara...!" berkata Galuh Ranti. Mendadak tubuhnya lenyap berubah jadi gumpalan asap putih, dan lenyap dari pandangan mata Kyai Rangga Jati.

Laki-laki tua ini terperangah, dalam desis suaranya memuji asma Tuhan. Sesaat dia terpaku menatap pada mayat muridnya. Hatinya diam-diam tersentak mendengar kata-kata Galuh Ranti tadi. Kyai Rangga jati teringat pada anak angkatnya, Somala yang belum kembali ke pesantren sejak mohon diri untuk menyambangi saudaranya ke kampung halamannya. Somala pergi dengan tiga orang murid laki-lakinya. Pada saat itulah sebuah bayangan berkelebat muncul.

"Sobat Kyai...! Pergilah tinggalkan tempat ini. Serahkan perempuan iblis dan gurunya padaku! Biar aku yang menumpas kedua manusia terkutuk itu!" terdengar suara bernada besar dan parau.

Alangkah terkejutnya Kyai Rangga jati ketika melihat di tempat itu telah berdiri seorang kakek katai berjubah putih berkepala besar, mencekal tongkat berbentuk bulan sabit di bagian ujungnya.

"Ah...!? Kiranya anda sobat Badubala, si Tongkat Bulan Sabit!" berkata Kyai Rangga Jati ketika mengenali kakek katai ini.

Kaum dunia Rimba Hijau memang mengenal siapa adanya kakek katai ini. Yaitu seorang tokoh yang sering memisahkan diri dari kemelut dunia persilatan, seperti juga Kyai Rangga Jati. Pergi dan munculnya tak lain karena suatu sebab. Yaitu mencari isterinya yang dilarikan orang, atau melarikan diri dengan orang lain. Selama lebih dari empat puluh tahun hidupnya digunakan untuk mengembara ke setiap pelosok.

Selama puluhan tahun itu telah dua kali dia merambah wilayah ini. Rupanya hanya berputar-putar saja di sekeliling wilayah Pulau Jawa sampai hampir habis usianya. Sungguh dia seorang yang harus dikasihani. Dimana dia muncul selalu membawakan sajak melalui senandungnya.

Hingga bila mendengar suara senandung yang kalimatnya itu-itu juga, orang lan-tas tahu siapa yang datang. Bagi yang sudah sering berjumpa. Kyai Rangga Jati dengan menundukkan kepala. Tiba-tiba dia mengerutkan kening seraya menatap pada kakek katai itu.

"Sobat Badubala... Aku yang lebih banyak menggembleng murid-muridku dalam keagamaan, tak mengerti dan tak banyak mengetahui lagi tentang keadaan dunia Rimba Hijau. Apakah kau yakin kejadian yang melanda di beberapa tempat dalam wilayah ini adalah perbuatan isterimu dan muridnya?"

"Hm, walau aku belum yakin benar, tapi sudah kukatakan aku telah mengendus bau tubuhnya! Maka, kukira sebaiknya kau kembali saja ke kaki Gunung Honje sambil menguburkan jenazah muridmu! Mengenai kejadian di tempat ini adalah urusanku!" kata si kakek katai.

Sejenak Kyai Rangga Jati tercenung, tapi kemudian berkata. "Kalau begitu, baiklah, sobatku...! Dan terima kasih atas bantuanmu.,.!"

Selesai berkata Kyai Rangga Jati melompat menghampiri ke arah mayat Prawira. Kemudian memondong tubuh laki-laki itu, dan dibawanya berkelebat tanpa menoleh lagi.

Kakek katai ini menatap sampai sosok tubuh Kyai tua itu lenyap dari pandangan mata. Se-saat dia menghela nafas, kemudian menekan ujung tongkatnya. Dan bagaikan sebuah boneka sebesar bocah kecil, tubuh kakek katai melayang, kemudian lenyap tak kelihatan lagi...


DELAPAN

Galuh Ranti berkelebat bagaikan sebuah bayangan hantu ke arah hutan setelah sebelumnya menebarkan uap kabut kuning ke arah rumah kepala desa. Sementara tubuh wanita telengas itu lenyap merambas hutan, di dalam rumah kepala desa terdengar suara jeritan seorang wanita.

"Tidak! Oh, tidaaak! Tidaaaaak....!"

Wanita isteri kepala desa ini melihat ratusan kala berkerumun di sekujur tubuh suaminya. Dengan mata membelalak dia melihat kejadian aneh itu. Dan menjeritlah wanita ini ketakutan melihat suaminya meregang sekarat berkelojotan di atas pembaringan. Selang sesaat, nyawa laki-laki kepala desa itupun melayang. Dan robohlah wanita ini tak sadarkan diri setelah mengetahui suaminya tewas.

Beberapa orang penduduk melompat keluar dari dalam pondoknya. Lalu berlari ke arah rumah besar kepala desa. Apa yang dilihat oleh mereka membuat terperanjat beberapa laki-laki ini. Dilihatnya isteri kepala desa dalam keadaan pingsan tergeletak di pintu kamar.

Sedangkan di dalam kamar tampak kepala desa dalam keadaan tewas dengan sekujur tubuh penuh dengan ratusan kala dan binatang berbisa lainnya. Tentu saja mereka segera berlarian keluar, tanpa sempat menggotong tubuh wanita tua itu.

Sesosok bayangan melesat di samping rumah, dan tahu-tahu telah berada di jendela kamar kepala desa itu. Ternyata tak lain dari si kakek katai. Mata kakek katai ini tertuju pada mayat laki-laki kepala desa itu. Bibirnya berdesis.

"Keparat! Murid si Peri Ratu Kemuning sungguh keterlaluan! Hm, kini sudah saatnya memusnahkan kedua manusia guru dan murid itu!" Selesai mendesis geram, tubuhnya berkelebat lenyap dari jendela kamar tanpa seorangpun yang mengetahui.

Menjelang malam tampak suatu kejadian aneh terjadi di dalam hutan itu. Entah sejak kapan berdirinya, tahu-tahu telah tersembul sebuah istana terbuat dari batu-batu yang kokoh kuat, dengan tiga buah menara yang menjulang ke langit. Sebuah istana aneh yang tampak seperti dalam sebuah dongeng. Tapi hal itu tampak jelas di depan mata si kakek katai yang memandang dengan mata membelalak dan terperangah...

"Istana iblis...!" sentak Badubala si Tongkat Bulan Sabit dengan suara mendesis. Berdiri di atas cabang pohon kayu besar dengan mata membelalak lebar, kakek katai ini tertegun mematung.

Di saat yang sama sesosok bayangan berkelebat di sisi hutan. Gerakannya ringan sekali. Akan tetapi si kakek katai telah dapat mengetahui kemunculan orang itu. Matanya yang besar berkejap-kejap memandang ke bawah ke arah sosok bayangan itu.

"Hm, siapa lagi yang muncul di malam begini? Manusia atau dedemit?" Berdesis si kakek katai. Mendadak tubuhnya melesat, dan lenyap di kegelapan.

Sementara itu sosok tubuh yang muncul di sisi hutan itu, tengah tertegun menatap ke celah semak belukar. Di antara keremangan cahaya bulan dia telah melihat adanya sebuah istana aneh yang memiliki tiga buah menara tinggi. Siapa adanya orang ini adalah seorang laki-laki yang membungkus kepalanya dengan kerudung warna hitam. Berkumis dan berjenggot lebat berwarna kecoklatan. Mengenakan jubah berlengan panjang berwarna gelap.

"Istana aneh! Istana gaib! Sungguh menakjubkan!" Terdengar laki-laki itu berkata sendiri.

Mendadak tubuh laki-laki berkerudung ini melesat ke udara, dan bersalto dua kali. Tahu-tahu lenyap tak kelihatan kemana berkelebatnya. Hal itu ternyata tak luput dari pandangan mata si kakek katai yang memperhatikan dari tempat gelap di balik semak.

"He? Begitu cepatnya dia menghilang? Aneh! Kukira mataku masih tajam untuk melihat jelas walaupun keadaan bagaimana gelapnya sekalipun..." berkata si kakek katai dalam hati.

Sebagai seorang tokoh Rimba Hijau yang sudah kawakan dan berilmu tinggi, walau jarang mengalami pertarungan, tapi kakek ini bermata tajam. Gerakan sehalus apapun dapat dilihatnya di dalam gelap. Tapi kali ini dia benar-benar terkejut, karena tak melihat gerakan laki-laki berkerudung itu kemana arahnya. Tahu-tahu lenyap di depan mata.

"Hm, aku tak tahu dia kawan atau lawan. Tapi dari kata-katanya dia juga terheran melihat kemunculan istana aneh itu! Sebaiknya aku tak terburu-buru bertindak. Ingin kulihat, apakah esok pagi istana aneh itu akan lenyap lagi? Dugaanku keras bahwa semua ini adalah ulah perbuatan seorang perempuan tukang sihir yang kuduga adalah isteriku" memikir dan berkata dalam hati si kakek katai. Kemudian diapun berkelebat dari sisi hutan itu.


Sementara itu di atas salah sebuah menara istana aneh tampak tersembul sebuah kepala seorang wanita. Ternyata kepala si nenek tua renta yang tadi siang berteriak-teriak di tengah desa. Tampak nenek ini memandang ke bawah menara, mengawasi hutan yang mengelilingi istana itu.

"Heheh...hik...hik... tak seorangpun akan mengira Peri Ratu kemuning adalah aku sendiri. Dan takkan seorangpun mengira kalau akulah si penyebar bencana itu! Bagus...! Muridku Galuh Ranti dapat diandalkan untuk melenyapkan manusia-manusia pembangkang yang mau menghalangi cita-citaku! Akan kudirikan sebuah kerajaan di atas kekuasaanku. Kekuasaan seorang manusia penghamba iblis! Karena aku merasa iblis telah banyak membantuku! Semakin banyak pengikutku akan bertambah panjanglah usiaku, dan... hihik...hihik...hik... aku akan kembali menjadi muda dan cantik lagi..!" berkata wanita tua bungkuk itu, dan tertawa terkekeh-kekeh.

Mendadak seekor burung gagak terbang dari arah luar sambil bersuara keras memekik-mekik. Burung gagak ini hinggap di pundak si nenek bungkuk.

"Ada apa, manis...? Mengapa kau berteriak-teriak? Katakanlah! Apakah ada sesuatu yang kau lihat diluar sana?" bertanya si nenek pada burung gagak itu.

Burung gagak bagaikan mengerti pertanyaan nenek tua renta itu sambil memekik-mekik terbang dari jendela menara. Tahulah si nenek bahwa ada sesuatu yang telah membuat burung gagak peliharaannya bersikap demikian. Nenek ini mendengus, dan berdesis.

"Heh! Siapa manusianya yang berani memasuki pintu gerbang istanaku, berarti dia ingin cepat mengantar nyawa...!"

Sekejap tubuh Peri Ratu Kemuning lenyap jadi gumpalan asap putih. Tahu-tahu telah berada di bagian bawah, tepat di depan pintu gerbang. Akan tetapi mendadak sepasang mata nenek tua ini membelalak lebar, dan wajahnya berubah kaget. Apakah yang dilihatnya? Ternyata burung gagak peliharaannya tampak terkapar mati menggeletak di tanah.

"Hah! Apa yang telah terjadi?" sentak wanita tua ini dengan suara berteriak kaget.

"Gagakku... oh, gagakku...???" teriaknya sambil berkelebat dan lengannya menjumput bangkai burung yang barusan terbang ke bawah menara itu. Tapi kini dijumpai dalam keadaan tak bernyawa lagi. Saat itu sebuah bayangan berkelebat dari arah dalam ruangan.

"Apakah yang telah terjadi. Guru...?" Ternyata Galuh Ranti adanya. Tersentak kaget wanita ini melihat bangkai burung gagak peliharaan gurunya telah menjadi bangkai.

"Keparat! Siapakah yang telah melakukannya. Guru? Biar aku membekuk manusianya!" berkata Galuh Ranti dengan wajah geram.

"Heh! Cari keparat itu di sekitar istana!" berkata Peri Ratu Kemuning dengan suara lantang. Burung Gagak ditangannya dibantingnya ke tanah. Akan tetapi terjadi sesuatu keanehan yang seumur hidup baru terjadi di depan matanya. Burung gagak itu ternyata berubah menjadi sebuah batu. Baik si nenek maupun Galuh Ranti sama terkejut.

"Keparat! Aku tertipu! Hm, ternyata ada manusia yang telah memiliki ilmu sihir menelusup kemari. Siapakah dia?" sentak Peri Ratu Kemuning dengan wajah berubah mengelam.

"Siapakah orangnya. Guru? Apakah kira-kira kau mengetahui?"

Sejurus lamanya si nenek tercenung. Mendadak dia berjingkrak dan meng-gerung dengan suara keras. "Keparat! Kurang ajar...! Apakah dia si pemilik sihir putih?"

"Siapa yang kau maksudkan. Guru?" tanya Galuh Ranti.

Nenek ini tak menjawab, tapi segera merapal mantera-mantera. Mendadak bulan seperti lenyap disaput kabut hitam yang datang bergulung-gulung. Dan perlahan-lahan istana aneh itupun lenyap tertutup kabut hitam. Semua jadi gelap pekat.

Ketika rembulan kembali muncul... tampak istana aneh itu telah lenyap sirna. Tempat itu kembali menjadi hutan rimba yang lebat seperti asalnya. Dan kedua perempuan penganut ilmu iblis itupun lenyap pula entah kemana perginya...

Saat itu di atas dahan sebuah pohon besar, tampak si laki-laki berkerudung yang berdiri menjublak terpaku, karena melihat istana aneh yang membuat dia terheran dan terkagum-kagum telah lenyap sirna dari pandangan mata. Laki-laki berkerudung ini garuk-garuk tengkuknya yang tidak gatal, kemudian lengannya mengusap kumis dan jenggotnya.

Aneh! Seketika jenggot dan kumis le-bat berwarna kecoklatan itu tahu-tahu lenyap. Siapa adanya laki-laki ini? Ketika dia melepaskan kerudungnya, ternyata dia seorang pemuda berambut gondrong. Dan siapa adanya orang berjubah ini tiada lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.

"Heh...! Aku tak boleh kehilangan jejak kedua perempuan iblis itu! Jelas nenek tua renta itu adalah si Peri Ratu Kemuning, si penguasa ilmu sihir hitam seperti petunjuk suara gaib si Raja Penyihir Sinting! Sungguh luar biasa hebatnya ilmu hitam perempuan tua itu. Hm, aku harus berhati-hati agar tak terperangkap jebakan mereka..." berdesis Nanjar.

"Rupanya ada seseorang pula yang mengincar nyawa Peri Ratu kemuning dan muridnya. Kakek katai yang pernah kujumpai bersenandung di atas bukit itu, ternyata berada di wilayah ini. Haha... bagus! Dia bisa dijadikan teman untuk melabrak perempuan-perempuan iblis penyebar bala itu!" kata Nanjar dalam hati. Tubuhnyapun berkelebat lenyap dari dahan pohon itu...

SEMBILAN

Kakek Katai Badubala membentak keras. Tubuhnya mendadak berkelebat dari atas wuwungan rumah. "Perempuan kuntilanak! Berhenti kau!"

Bayangan putih yang berkelebat memasuki mulut desa itu mendadak terhenti karena sesosok tubuh telah berdiri menghadang. Tersentak kaget wanita berpakaian serba kuning ini melihat seorang kakek katai telah berdiri dengan tatapan mata tajam bagai menembus jantung menghalangi jalan. Ternyata dia seorang gadis berbaju kuning berwajah cantik.

"Siapakah kau, kakek pendek katai? Aku tak mengenalmu! Mengapa kau menyebutku perempuan kuntilanak? Dan tahu-tahu menghadang langkah orang?" tanya gadis ini dengan menjungkatkan alisnya.

"Heh...heh.... tak perlu kau menyamar segala dengan ilmu sihir hitammu! Aku telah mengenali bau tubuhmu, walaupun sudah empat puluh tahun kau merat (minggat) dari sisiku, karena kabur dengan laki-laki lain!" bentak si kakek ka-tai dengan suara dingin. "Tampakkan wajah aslimu. Papulini! Aku Badubala masih berhak menghukummu karena perbuatanmu itu, dan minta ampunlah kepada Tuhan sebelum aku membunuhmu. Karena kau telah bersekutu dengan iblis, dan menebar bencana di muka bumi ini!"

"Hihi...hi... bagus! matamu tajam, Badubala! Akan tetapi kau cuma inginkan kematian! Persoalan masa silam sudah lama basi! Akan tetapi, aku masih punya rasa kasihan padamu, Badubala! Seharusnya kau tahu diri untuk tak terus mengejarku. Tahukah kau bahwa aku menikah denganmu empat puluh tahun yang lalu adalah cuma berpura-pura saja?" sahut gadis ini.

Selesai berkata tiba-tiba asap putih mengepul. Dan sosok tubuh gadis cantik itu telah berubah menjadi seorang nenek tua bungkuk. "Hihik... hik... Badubala! Lihatlah ujud asliku! Aku telah menjadi seorang tua bungkuk, buruk dan tak enak untuk dipandang. Tapi dengan ilmuku yang hebat, aku bisa merubah diri menjadi seorang gadis jelita berusia belasan tahun...!"

"Perempuan iblis! Tadinya aku mengira kau akan sadar setelah menjelang usia tua! Seandainya kau tak mempelajari ilmu sesat dan menggunakannya untuk kejahatan dan kemaksiatan, mungkin aku masih bisa memaafkanmu. Tapi kau sudah bukan manusia lagi!" bentak si kakek katai dengan mata mendelik. Dan dia sudah tak dapat menahan kemarahannya yang tersimpan selama empat puluh tahun. Kakek ini menggerung keras. Tongkat bulan sabitnya menyambar dahsyat!

"Whuuuk..." "Blasssh!"

Nenek tua bungkuk gerakkan lengannya mengibas. Ujung lengan jubah menghantam mental tongkat si kakek katai. Sebelah lengannya menghantam dengan pukulan yang membersitkan uap kuning. Akan tetapi si kakek katai telah mencelat ke udara. Gerakan itu dibarengi dengan tendangan kaki ke arah kepala si nenek.

Terkejut wanita tua ini karena angin yang membersitkan kekuatan tendangan yang hebat bertenaga dalam penuh dari sebelah kaki kecil si kakek katai. Akan tetapi secepat itu pula rambutnya mendadak menyambar untuk menggubat kaki lawan. Kakek katai terkejut. Secepat kilat dia menahan serangan. Gerakan ini disusul dengan hantaman pangkal tongkat ke arah batok kepala si nenek.

"Keparat!" maki perempuan tua ini. Mendadak dia melenyapkan diri menjadi gumpalan asap.

"Bhuk!" Satu hantaman keras tahu-tahu membuat tubuh si kakek katai terjungkal dan terlempar berguling-guling. Dan terdengar suara tertawa-tertawa terkekeh tanpa ujud.

"Hihik...hik... mampuslah kau, Badubala!"

Kakek katai mengeluh panjang. Sesaat dia terpana dengan wajah menyeringai menahan sakit pada punggungnya yang seperti dihantam palu. Pukulan itu seperti membuat beku aliran darahnya.

"Manusia bejat! Aku akan adu jiwa denganmu!" bentaknya. Kakek katai rentangkan kedua tangannya. Menyambarlah kilatan sinar putih ke arah depan.

"Bhumm!"

Terdengar ledakan keras meng-guntur. Itulah jurus pukulan Halilintar yang telah dilontarkan si kakek katai. Ternyata sepasang mata kakek ini entah menggunakan ilmu apa, dia dapat melihat di mana adanya sosok tubuh si nenek bungkuk. Ternyata wanita tua bekas isterinya itu telah merentangkan pula kedua lengannya. Uap kuning menyambar ke depan, dan terjadilah ledakan tadi.

Bersamaan dengan terdengarnya ledakan itu, tampak tubuh si nenek terhuyung beberapa langkah ke belakang. Tapi akibatnya sangat fatal bagi si kakek katai. Tubuhnya terlempar belasan tombak. Wanita tua bungkuk yang menggelari dirinya si Peri Ratu Kemuning ini tampak menyeringai. Wajahnya agak memucat, dan setetes darah mengalir di sudut bibirnya. Disaat itulah terdengar suara teriakan seorang wanita.

"Guru...!" Dan sebuah bayangan putih berkelebat muncul di tempat itu. Ternyata yang datang adalah Galuh Ranti. Wanita ini menatap gurunya dengan tersentak kaget. "Apa yang terjadi, Guru...? Siapa yang telah melukaimu?"

Belum lagi nenek tua itu menjawab, terdengar gemboran suara bentakan keras dibelakangnya. Wanita ini balikkan tubuh dengan cepat, dan lengannya menghantam...

"Blug!" Terdengar jeritan merobek udara diiringi terlemparnya tubuh. Ternyata entah sejak kapan datangnya seorang laki-laki berbaju hitam telah muncul dan menyerang wanita itu.

"Kau... Somala...?" sentak Galuh Ranti menatap pada laki-laki yang tergeletak di tanah menyeringai kesakitan. Sebuah pedang tampak tergeletak tak jauh di dekatnya. Keadaan laki-laki itu sangat mengenaskan, karena beberapa tulang dadanya remuk. Cairan darah mengalir membasahi bajunya yang hancur di bagian depan.

"Kau... perempuan bejat! Kau... telah membunuh Prawira. Sungguh keji hatimu... perempuan iblis..." terputus-putus suara laki-laki ini ketika berkata menatap Galuh Ranti dengan mata membelalak.

"Hihi... kau terlalu gegabah menyerang dari belakang, Somala,...! Sayang... tadinya aku masih mengharapkan kau, tapi kini tak mungkin lagi!" sahut wanita ini. Sebelah lengannya terulur. Dan menyambarlah uap kuning ke arah laki-laki itu.

Uap kuning yang aneh itu sekejap telah membungkus tubuh Somala. Selang sesaat terjadilah kengerian yang berlangsung di depan mata. Uap kuning mendadak berubah menjadi ratusan ekor kala dan binatang berbisa yang menyengat dan mematuk sekujur tubuh laki-laki itu. Somala berteriak menyayat hati. Tubuhnya berkelojotan meregang nyawa. Selang tak lama jiwa pemuda malang itupun melayang.

SEPULUH

Sementara kejadian tadi tengah berlangsung, seorang pemuda gondrong entah sejak kapan telah berdiri beberapa tombak di tempat itu. Sepasang lengannya menyangga tubuh si kakek katai. Entah bagaimana ketika si kakek katai tadi terlempar belasan tombak akibat benturan pukulan tenaga dalam yang telah dipapaki oleh Peri Ratu Kemuning.

"Pemuda gagah... siapakah kau..." berkata si kakek katai dengan nafas memburu. Dia merasai sekujur tubuhnya seperti digigiti ratusan semut dan sekujur tulang terasa ngilu, akibat benturan kedua arus tenaga dalam tadi. Akan tetapi sesaat antaranya ada hawa aneh yang telah membuat rasa sakit itu lenyap. Ketika membuka mata kakek katai tertegun karena tubuhnya berada dalam pondongan seorang pemuda berambut gondrong.

"Aku adalah orang yang kau temui tadi malam di sisi hutan itu, kakek...!" menyahut si Dewa Linglung.

Tertegun Badubala mendengarnya. Matanya membelalak lebar menatap wajah si pemuda. "Tapi kulihat wajahmu penuh jembros dan kumis lebat...?" sanggah si kakek katai.

"Haha... aku cuma mengenakan kumis dan jenggot palsu, sobat kakek pendekar... Oh, ya! Bukankah kau yang bergelar si Tongkat Bulan Sabit? Aku pernah menjumpaimu beberapa bulan yang lalu ketika kau naik di punggung seekor keledai tua..." sambung Nanjar. Kemudian menurunkan kakek katai itu ke tanah.

"Dari mana kau mengetahui julukanku?" sentak si kakek katai. Akan tetapi sebelum Nanjar menjawab, mendadak bersyiur angin keras menyambar ke arah mereka.

Nanjar gerakkan lengan mendorong tubuh kakek katai itu, sedangkan dirinya sendiri berkelebat ke samping dengan gerakan terhuyung. Ternyata serangkum angin berhawa panas telah menyerang mereka. Rambasan angin itu disusul dengan bentakan keras si nenek bungkuk.

"Bocah edan! Katakan apa hubunganmu dengan si tua bangka Raja Penyihir Sinting?" Tahu-tahu di hadapan mereka telah berdiri si nenek Peri Ratu Kemuning.

"Hai, nenek bau kentut! Lebih baik kau merubah ujudmu jadi perawan ompong saja kalau mau berhadapan denganku!" teriak Nanjar dengan hati mendongkol. Karena hampir saja dia kena sambaran pukulan uap kuning kalau tak bergerak cepat menghindarkan diri.

"Kunyuk sinting! Jawab pertanyaanku sebelum kukirim jiwamu ke liang Akhirat, atau ku penjarakan seumur hidup seperti si Raja Penyihir Sinting!" bentak nenek tua ini dengan menggeram marah karena ucapan si Dewa Linglung.

Diam-diam dalam hati pemuda ini tersentak mendengar keterangan yang tanpa sengaja keluar dari mulut wanita iblis itu. "Jadi si Raja Penyihir Sinting dipenjarakan seumur hidup oleh nenek bau kentut ini?" berkata Nanjar dalam hati.

Karena yang ditanya diam menjublak, nenek ini membentak lagi. "Bocah gendeng! cepat katakan siapa kau sebenarnya?"

"Nenek sombong! Tak perlu kau mengetahui siapa diriku, dan apa hubunganku dengan orang yang kau sebutkan tadi! Katakan padaku di mana kau menyekap orang tua itu?" kata Nanjar.

Peri Ratu kemuning tertawa terkekeh, kemudian berkata. "Kalau kau mau bergabung dengan diriku, aku akan memberitahukan! Kau pastilah muridnya. Dan kaulah orangnya yang telah mengecoh aku tadi malam! Hihik..hik.. kau cukup tampan untuk menjadi pendampingku, bocah gagah!"

Seraya berkata itu diam-diam Peri Ratu Kemuning mulai mempergunakan ilmu tenungnya melalui pandangan matanya yang menyorot tajam menatap pemuda itu. Diam-diam diapun ingin mengetahui apakah benar pemuda itu yang telah mengecohnya menyihir sebuah batu hingga seperti seekor burung gagak yang telah mati?

Hal itu sangat membuat terkejut dirinya, karena tak pernah dia mengalami kekeliruan dalam penglihatan. Nyata ilmu orang yang mengecohnya tidak di bawah ilmu sihir hitam yang dimiliki. Dia telah menduga suatu kemungkinan orang itu memiliki ilmu sihir putih. Dan ilmu sihir putih itu hanya berada pada sebuah kitab yang sampai saat ini tak diketahui di mana adanya.

Hanya si Raja Penyihir Sintinglah yang mengetahui. Untuk itulah dia telah menyekap si Raja Penyihir Sinting di dalam penjara bawah tanah hingga hampir sembilan belas tahun, karena laki-laki itu tak mau bergabung dengannya.

Saat itu si kakek katai tertegun melihat perubahan sikap gondrong yang tampak terpaku dengan mata menatap wanita iblis bekas isterinya. Rasa khawatir menyelinap di hati Badubala pada pemuda yang telah menolongnya itu. Diam-diam dia mengumpulkan sisa-sisa tenaga dalam yang dimilikinya.

Akibat gempuran tadi telah melenyapkan sebagian tenaga dalam, dan membuat dia terluka dalam. Ternyata dia telah mengetahui kalau nenek tua itu mulai main ilmu hitam untuk mempengaruhi si pemuda dengan kekuatan pancaran matanya.

Dengan membentak keras, tiba-tiba kakek katai menerjang. Kedua lengannya menghantam ke depan, mengirim pukulan Halilintar. Akan tetapi didetik itu sebuah bayangan putih berkelebat. Sebelum sinar putih meluncur dari kedua telapak tangannya, kakek katai perdengarkan jeritan parau. Tubuhnya terlempar ke samping bergulingan.

Ternyata Peri Ratu Kemuning telah gerakkan lengannya menghantam dengan pukulan tenaga dalam yang telah dipersiapkan ke arah si Tongkat Bulan Sabit. Gerakannya ternyata lebih cepat dari serangan si kakek katai, karena diam-diam nenek tua ini sudah menduga akan hal itu.

Berbareng dengan terlemparnya tubuh Badubala, sebuah bayangan putih berkelebat muncul. Ternyata Galuh Ranti. Wanita ini membentak marah. "Kakek katai! Kau mau main curang?"

Ketika itu juga dari lengannya menyambar uap kuning ke arah si kakek katai yang tubuhnya baru saja berhenti berguling. Tak ampun lagi uap kuning merambas tubuh si kakek katai. Namun berbareng dengan kejadian itu, terdengar jeritan menyayat hati ketika didetik yang bersamaan tampak kilatan sinar putih membias udara. Apakah yang terjadi?

Ternyata teriakan menyayat hati itu terdengar dari mulut Galuh Ranti. Gadis ini terhuyung ke depan dan roboh terjungkal. Tampak sebuah keris telah terhunjam di punggungnya. Ketika dengan tak terduga Galuh Ranti bergerak bangkit, tampak ujung keris telah menembus ke dada. Pucat pias wajah wanita ini. Sementara itu di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh berjubah hijau. Siapa adanya orang tak lain dari Kyai Rangga jati.

"Keparat...! kau... kau... kubunuh kau Kyai...!" menggembor Galuh Ranti bagai seekor harimau terluka. Tubuhnya mendadak bangkit berdiri. Sepasang lengannya menggetar terentang untuk mengirim pukulan kearah laki-laki tua bekas gurunya itu. Akan tetapi untaian tasbih di tangan Kyai Rangga Jati telah menyambar terlebih dulu.

"Kau tak layak hidup lagi, murid murtad!" membentak Kyai Rangga Jati. Kilatan sinar tasbih menyambar. Galuh Ranti menjerit sekali lagi. Dan kali ini terkapar tak bangkit lagi.

Sementara itu Peri Ratu Kemuning yang mengadu kekuatan mata dengan Nanjar berhasil memaksa pemuda itu melangkah mendekat. Sayang disaat dia berhasil mempengaruhi pemuda itu dengan kekuatan tenungnya, kakek katai Badubala telah mengecoh, hingga kekuatan ilmu hitamnya mengendur.

Apa yang dihadapi Nanjar ternyata sangat mencengangkan. Karena pemuda itu melihat sosok tubuh di hadapannya berubah sangat menyeramkan. Nenek tua bungkuk itu berubah ujud menjadi makhluk mengerikan berkepala empat. Lidahnya menjulur panjang mengeluarkan lendir yang berbau busuk.

Empat lidah telah menjulur ke arah si Dewa Linglung untuk menggubat tubuhnya. Akan tetapi ketika si kakek katai tadi menerjang wanita itu, tiga lidah mendadak lenyap, juga empat buah kepala yang menyeramkan itu tinggal sebuah lagi.

Hal ini telah menguntungkan Nanjar. Karena disaat yang membuat dia tercengang itu satu gelombang kekuatan dahsyat yang tak terlihat telah merambas dan membelenggu kaki dan tangannya hingga tak dapat digerakkan.

Tatapan mata nenek itu telah menegangkan urat syarafnya hingga dia tak mampu merapal mantera untuk melepaskan diri. Nyaris bahaya besar dialami si Dewa Linglung. Disaat ketiga lidah lenyap, dia berhasil melepaskan diri dari belenggu ghaib dan syarafnya terbuka.

Dilihatnya lidah makhluk yang tinggal sebuah itu menyambar ke arah leher. Sedangkan di lain saat kedua lengan Peri Ratu Kemuning yang telah berubah menjadi sepasang lengan berbulu dengan kesepuluh jarinya yang berkuku runcing mencengkeram ke arah batok kepalanya.

Di detik bahaya maut itulah si Dewa Linglung berkelebat ke samping. Dan secepat kilat dia telah mencabut pedang mustika Naga Merah dari balik punggung. Detik berikutnya tampak kilatan cahaya merah merambas udara...

"Jrosss!" Terdengarlah teriakan parau mengerikan merambah udara. Pedang mustika Naga Merah berhasil menublas punggung makhluk yang mengerikan itu. Darah menyembur dari luka di punggung makhluk itu ketika Nanjar menyentakkan pedangnya.

"Grrr... keparat! Kuremukan kau...!" teriak makhluk itu. Tapi lagi-lagi kilatan cahaya merah berkelebat.

"Cras! Cras! Cras!"

Darah memercik berhamburan. Tampak kejadian yang sangat mengerikan. Tubuh makhluk itu terpotong menjadi beberapa bagian. Akan tetapi bagian kepala makhluk itu yang putus sebatas leher kembali meluncur ke arah si Dewa Linglung. Lidahnya menyambar. Dan dari sepasang matanya meluncur kilatan sinar biru.

Namun sebelum sinar biru itu menyambar ke tubuh si Dewa Linglung terdengar bentakan halus diiringi bacaan suara tasbih memuji kebesaran Tuhan. Sinar hijau menyambar ke arah kepala makhluk itu. Ternyata itulah serangan untaian tasbih di tangan Kyai Rangga Jati yang mengakhiri pertarungan.

Terdengar suara letupan keras. Kepala makhluk itu berubah jadi gumpalan asap hitam. Keadaan tiba-tiba jadi berubah. Cuaca menjadi gelap gulita. Bumi serasa bergoncang. Petir menyambar-nyambar di angkasa, dibarengi bertiupnya angin keras...

Ketika cuaca kembali terang seperti semula, tampak tubuh mengerikan yang terpotong-potong itu telah berubah menjadi potongan tubuh si nenek tua renta. Batok kepalanya hancur, dan wajahnya tak berbentuk lagi.

Sesaat keadaan menjadi hening. Nanjar terpaku menatap dengan hati bergidik ngeri. Kelihatannya kejam, tapi apa boleh buat. Dia terpaksa harus melakukan. Dan kematian manusia iblis itupun telah dibantu oleh Kyai Rangga Jati. Orang tua ini beranjak mendekati Nanjar setelah memungut tasbihnya yang tergeletak di tanah.

"Kyai aku kagum dengan ilmu yang kau miliki. Nyaris aku menemui bahaya, dan aku masih sangsi dan bingung, bagaimana menumpas makhluk yang mengerikan penjelmaan nenek tua itu?" kata Nanjar. Matanya menatap potongan tubuh Peri Ratu Kemuning.

"Ah, tak ada dalam dunia ini ilmu yang hebat! Semua ilmu itu milik Tuhan Pencipta Alam Semesta. Iblis pun diciptakan oleh Tuhan. Maka hanya kemurahan Tuhanlah, hingga kita bisa menumpas manusia yang telah dikuasai iblis ini...!" sahut Kyai Rangga Jati.

Nanjar manggut-manggutkan kepala. Mendadak Nanjar teringat pada si kakek katai yang turut punya andil dalam pertarungan menumpas dua perempuan iblis itu. Segera dia gamit lengan Kyai Rangga Jati, dan mendahului berkelebat. Mereka menjumpai si kakek katai Badubala telah tewas dengan mata meram.

Agaknya kematiannya belum lama, karena di saat pertarungan itu terjadi dia masih bisa pentang mata dengan nafas tersengal menyaksi-kan kejadian di depan matanya. Dan dia merasa puas meninggalkan alam fana, setelah mengeta-hui kematian manusia iblis bekas isterinya yang telah meninggalkan dirinya empat puluh tahun yang silam.


Matahari telah condong di arah Barat. Pegunungan seperti tegaknya pagar biru dan hijau yang menampakkan kedamaian hati. Nanjar berpisah dengan Kyai Rangga Jati, setelah mereka menguburkan jenazah kakek katai Badubala dan seorang murid laki-laki yang juga anak angkatnya bernama Somala itu. Dua mayat perempuan iblis itu juga ditimbun disatu lubang.

"Kini akan pergi kemanakah aku...?" bergumam si Dewa Linglung. Lengannya menggaruk-garuk tengkuknya. Mendadak Nanjar merasa perutnya geli bagai digelitik. Dia merogohkan lengannya ke balik baju, ketika lengannya keluar lagi seekor tikus putih tampak bergelantung dengan kepala di bawah karena ujung ekornya dijepit dua jari lengannya.

"Haha... kau lapar, manis? Hehe... akan kucarikan makanan buatmu!" kata Nanjar sambil tertawa. Nanjar melangkah pergi sambil memasukkan binatang itu ke sela bajunya. Ingatan si Dewa Linglung melayang jauh ke tanah bersalju di mana tikus putih itu telah mengganggu kemesraannya bersama gadis asing bermata biru.

"Ah, Yulian... seandainya kau berada disampingku..." desisnya sambil tersenyum-senyum sendiri....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.