Selubung Awan Hitam
Dewa Linglung - PAGI berkabut. Hawa dingin menyusup ketulang sumsum. Di antara keremangan kabut yang menyelimuti udara di tempat itu, tampak sesosok tubuh muncul dengan terhuyung-huyung.
Ternyata dia seorang gadis yang pakaiannya robek di sana-sini. Rambutnya kusut masai, wajahnya pucat seperti orang yang kehilangan gairah hidup.
Dia terus melangkah walau tertatih-tatih. Keadaannya sangat mengenaskan. Tampaknya gadis ini sudah tak kuat melangkah lagi, dia terjerembab jatuh. Dari mulutnya terdengar suara keluhan. Namun dia masih berusaha untuk bangun.
Kemudian melangkah lagi dengan tersaruk-saruk. Namun tak lama kembali jatuh tersungkur. Kali ini gadis itu tak bangkit lagi. Setelah terdengar suara rintihan dari mulutnya, dia terkapar pingsan...
Kabut masih menyelimuti alam, merambah, menebar ke sekeliling lereng tebing karang terjal dan di sekitar telaga kecil yang berada di tempat itu. Tempat di sisi telaga berhadapan dengan lereng tebing terjal itu, tampak sebuah goa. Ada seseorang yang menyandarkan punggungnya di dinding batu di mulut goa.
Siapa adanya orang itu ternyata tiada lain dari si Dewa Linglung! Kedatangannya ke wilayah itu adalah dalam usaha melacak jejak seorang pemerkosa wanita yang bergelar Awan Hitam. Selain memperkosa wanita, manusia itu juga membunuh dan merampok harta benda. Perbuatan manusia terkutuk itu sudah kelewat batas.
Para korbannya kebanyakan terdiri dari gadis-gadis belia yang sebelum diperkosa lebih dulu disiksa, kemudian dibunuh. Dia pergi tanpa meninggalkan bekas, jejaknya lenyap seperti hantu. Demikian yang didengar Nanjar. Sebagai seorang pendekar penegak kebenaran tentu saja hal itu tak dapat di biarkannya. Sementara ketelengasan dan kebiadaban itu terus berlanjut...
Sejak pagi subuh tadi Nanjar sukar memicingkan matanya. Hawa dingin membuat sekujur tubuhnya bergidik. Rasanya malas untuk bangun, karena matanya terasa masih mengantuk. Untuk mengusir hawa dingin yang dirasakan itu Nanjar menyebarkan hawa hangat dari pusar. Dengan cara demikian dia dapat meneruskan tidurnya.
Namun selang beberapa saat berlalu nalurinya yang peka mendengar suara aneh di sekitar tebing. Tadinya dia tak memperdulikan, karena menganggap paling tidak suara yang didengarnya adalah suara binatang hutan. Siang tadi sebelum dia menemukan goa di dinding tebing itu memang ada dilihatnya beberapa ekor rusa yang sudah kehausan mendatangi telaga yang berair jernih itu.
Tapi rasa penasaran dihatinya untuk membuktikan dugaannya itu dia mengurungkan niatnya untuk tidur lagi. Walau rasa kantuknya masih belum hilang. Dia menggeliatkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, kemudian melompat berdiri.
“Huh! Pantas saja udara dingin sekali. Kiranya aku tidur tak jauh dari sebuah telaga, dan banyak sekali kabut bertebaran disini...” berkata Nanjar dalam hati. Lalu melangkah ke luar dari mulut goa. Matanya tajam menjalari sekitar tempat itu, mencoba menembus kepekatan kabut.
Tiba-tiba Nanjar tersentak. “Sepertinya aku melihat ada sesosok tubuh tergeletak disana...” desis Nanjar. Tanpa ayal segera dia berkelebat ke arah tempat itu. Membelalak mata si Dewa Linglung ketika melihat seorang gadis terkapar tak bergerak di tanah lembab. Cepat dia berjongkok dan memeriksa pernapasannya.
“Ah, apa yang telah terjadi? Siapa gadis ini?” desisnya dengan heran juga terkejut. “Untunglah dia masih hidup, dan cuma pingsan saja! Jangan-jangan...” Jantung Nanjar terlonjak ketika teringat pada si Awan Hitam yang tengah dilacaknya. Dia menduga mungkin gadis itu adalah korban kebiadaban si manusia durjana!
Walau belum bisa mengetahui dengan pasti, tapi melihat pakaian gadis itu yang koyak di sana-sini hingga memperlihatkan sebagian dari aurat-nya yang semestinya tertutup sehingga Nanjar mempunyai dugaan demikian. Tanpa berpikir panjang lagi Nanjar segera memondong tubuh gadis itu. Dibawanya berkelebat masuk ke dalam goa. Goa itu tak seberapa dalam.
Kemudian dibaringkannya pelan-pelan sementara diam-diam Nanjar memperhatikan wajah si gadis. Nanjar menduga gadis itu berusia sekitar sembilan belas atau duapuluhan tahun. Parasnya cukup cantik, bertulang pelipis agak menonjol. Dan dagu yang terbelah dua. Rambutnya hitam namun kusut masai. Pakaiannya hampir dikatakan tak berbentuk lagi, karena telah sobek di sana-sini.
Dugaan Nanjar semakin kuat kalau gadis itu adalah termasuk salah satu korban dari manusia pemerkosa yang bergelar si Awan Hitam itu. Setelah sejenak menatap wajah si gadis, Nanjar menghela napas. Lalu beranjak keluar mulut goa.
“Aku akan menunggunya sampai dia siuman, kemudian menanyakan kejadian apa yang telah menimpa dirinya...” gumam Nanjar lalu melangkah ke tepi telaga.
Air telaga itu terasa sangat dingin seperti es, ketika si Dewa Linglung menyentuhnya. Nanjar membasuh mukanya beberapa kali berusaha menyegarkan wajahnya. Rasa kantuk seketika hilang lenyap. Dia kembali ke mulut goa menatap si gadis yang masih terbaring diam. Kemudian dia jatuh kan pantatnya duduk di atas batu di depan goa. Matanya menatap ke arah telaga.
“Kalau benar gadis ini adalah korban kebiadaban manusia bergelar si Awan Hitam itu tentu dia sudah tewas. Kukira dia telah berhasil meloloskan diri dan sampai di tempat ini ketika dirinya tak kuat berjalan lagi, lalu pingsan. Hem, berarti aku hampir menemui jejak si manusia durjana itu, dan pasti si Awan Hitam tak berada jauh dari sekitar wilayah ini...”
Nanjar menduga-duga dengan mata mendelong memandang ke depan. Sementara waktu terus berlalu, dan kabut mulai menipis. Selang beberapa saat telinga Nanjar menangkap suara keluhan gadis itu. Cepat dia bangkit berdiri lalu beranjak menghampiri. Tampak gadis itu menggerakkan tubuhnya. Sepasang matanya per-lahan-lahan terbuka...
“Oh, di mana aku...?” sentak gadis itu terkejut. Matanya beradu tatap dengan Nanjar yang berdiri di hadapannya. Tampaknya dia terkejut melihat si Dewa Linglung yang tak dikenalnya itu.
“Siapa..kau..?” sentaknya dengan mata menatap tajam. Wajahnya yang sudah pucat itu semakin memucat.
“Tenanglah, nona... kau tak usah khawatir padaku. Aku orang baik-baik. Namaku Nanjar! Aku menemukan kau tergeletak pingsan di luar sana. Kebetulan aku menginap di goa ini. Lalu aku membawamu kemari, dan menunggumu sampai kau sadar dari pingsanmu...” kata Nanjar menjelaskan sambil tersenyum.
“Apakah kata-katamu bisa dipercaya? Kau, kau bukan orang dari komplotan si Awan Hitam?” tanya si gadis dengan curiga, sepertinya dia masih dihantui rasa takut kalau-kalau orang dihadapannya ini telah berdusta.
Nanjar gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Lengannya menggaruk tengkuk, kemudian menyahut. “Hm, aku telah menolongmu, dan membawamu ke goa ini karena merasa khawatir terhadap keselamatanmu. Di sekitar tempat ini banyak dihuni binatang buas yang berkeliaran. Kalau kau tak percaya padaku, baiklah aku akan pergi...”
Seraya berkata Nanjar balikkan tubuh, lalu beranjak melangkah ke luar goa. Sebenarnya Nanjar hanya bersikap pura-pura saja. Meski hatinya terkejut karena si gadis telah menduga, bahwa dirinya adalah salah seorang dari komplotan si Awan Hitam. Ternyata dugaannya tidak meleset! Gadis itu adalah korban kebrutalan manusia durjana yang tengah dicarinya.
“Eh...? Tunggu! Jangan pergi dulu...!” sentak gadis itu terkejut.
Nanjar menoleh. Dia pura-pura mengerutkan keningnya. “Mengapa kau menahanku, nona? Bukankah kau tak yakin kalau aku ini orang baik-baik?” kata Nanjar.
“Aku... aku percaya! Jangan tinggalkan diriku, tuan pendekar! Kalau kau mau pergi ajaklah aku serta. Aku takut...! Si Awan Hitam tentu akan mengejarku. Manusia itu benar-benar biadab! Dia telah menyiksaku...” ujar gadis ini dengan terbata-bata.
“Hm, kalau begitu tenanglah. Untuk sementara kau beristirahat ditempat ini. Jangan khawatir, bila manusia itu muncul di tempat ini, aku yang akan menghadapi!”
“Terima kasih, tuan pendekar! Tapi... manusia itu berkepandaian tinggi. Aku khawatir dia akan membunuhmu...”
Nanjar tersenyum, lalu sahutnya. “Tenanglah adik manis! Sebaiknya kau beristirahat. Hm… perutmu tentu lapar. Aku akan cari makanan. Nanti kita teruskan bercakap-cakap!” Selesai berkata tubuh si Dewa Linglung berkelebat lenyap dari pandangan mata si gadis.
Membuat dara ini jadi tertegun kemudian dia menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya tersenyum dalam hatinya agak tenang. Dari gerakan yang begitu cepat itu dia sudah dapat mengetahui kalau pemuda gondrong itu bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ilmunya tentu tak berada dibawah si Awan Hitam.
Tak berapa lama si Dewa Linglung telah kembali lagi. Sambil tangannya menjinjing seekor ayam hutan. Semula niatnya ingin mencari seekor rusa atau kijang. Akan tetapi yang ditemui ternyata cuma seekor ayam hutan.
Kabut yang menyelimuti di sekitar goa dan danau telah lenyap. Pagi yang sejuk dan berhawa segar itu digunakan Nanjar untuk mencabuti bulu ayam hutan yang ditangkapnya. Kemudian menya-lakan api unggun. Dan sebentar kemudian si Dewa Linglung telah duduk membalik-balik panggang ayam hutan yang wanginya menerbitkan selera dan membuat cacing-cacing perut berkrukukan. Gadis itu duduk diatas batu, tak jauh dari si Dewa Linglung yang asik memanggang binatang tangkapannya.
“Siapa namamu, nona...?” tanya Nanjar tanpa menoleh, cuma melirik dengan sudut matanya.
“Namaku JUMANTI, tuan pendekar. Ah, kau benar-benar seorang yang baik hati...!” sahut gadis itu.
“Ehm, kau selalu memanggilku tuan pendekar. Bukankah telah kuperkenalkan namaku?” kata Nanjar, seraya menoleh. Gadis itu tertunduk dengan wajah bersemu merah. Lengannya membetulkan sobekan kain yang dikenakannya. Diam-diam Nanjar mengakui keelokan paras gadis itu, serta tubuhnya yang padat berisi dan berkulit kuning langsat. Pantaslah kalau si Awan Hitam manusia hidung belang itu menginginkan diri si gadis.
“Maukah kau berjanji?” tanya Nanjar tiba-tiba.
“Janji apa?” sahut Jumanti.
“Untuk seterusnya kau tak kuperbolehkan memanggil dengan kata-kata itu lagi!” ujar si Dewa Linglung.
Gadis itu kerlingkan matanya, seraya menyahut. “Baiklah! Aku akan memanggilmu kakak saja, bukankah kau lebih tua usianya dari aku?” sahut Jumanti dengan tersipu.
“Ya, ya...! Begitupun boleh...!” sahut Nanjar. Kemudian meneruskan memanggang ayam hutan.
Waktu terus merayap tak terasa. Matahari telah memancarkan cahayanya menerangi jagat. Tam-pak keakraban sebentar saja telah terjalin diantara keduanya. Tanpa malu-malu bahkan dengan ra-kus Jumanti melahap panggang daging ayam hu-tan itu. Dia mendapat bagian lebih besar dari Nan-jar. Sedangkan si Dewa Linglung cuma menggero-goti sepertiganya saja.
Dari penuturan Jumanti dapat diketahui di mana adanya manusia yang bergelar si Awan Hitam itu. Si gadis menceritakan bahwa dirinya diculik dari rumah tempat tinggal pamannya dan dibawa kesatu tempat. Di tempat tersembunyi itu Jumanti mengalami siksaan. Sekujur tubuhnya dilecuti oleh cambuk setelah orang itu terlebih dulu merobek pakaiannya.
Untunglah sebelum dia dinodai si Awan Hitam kedatangan seorang temannya. Dia disekap disebuah kamar dalam keadaan terikat, dan pintu kamar dipalang dari luar. Di saat manusia itu pergi, Jumanti berhasil melepaskan ikatan dan meloloskan diri.
Nanjar menatap gadis itu yang bicara polos. Dalam hati Nanjar mengutuk manusia yang menamakan dirinya si Awan Hitam itu. “Manusia itu benar-benar keterlaluan! Kalau gadis ini tak berhasil meloloskan diri, tentu nasibnya tak jauh berbeda dengan gadis-gadis lainnya yang jadi korban nafsu iblisnya...!”
“Kak Nanjar, kuharap kau berhati-hati. Aku khawatir dia akan memperdayakanmu. Manusia itu sangat licik! Dia pandai menggunakan tipu daya untuk menjebak korbannya. Bahkan aku telah mendengar banyak yang telah tewas jika berurusan dengannya...” Tampaknya Jumanti begitu mengkhawatirkan keselamatan Nanjar.
“Terima kasih atas perhatianmu, Jumanti. Sebaiknya aku mengantar kau ke rumah pamanmu yang kau ceritakan tadi, dan dimana kau selama ini menetap. Demi keamanan di wilayah ini aku harus meringkus manusia busuk itu!”
Jumanti menundukkan wajahnya. Terdengar dia berkata lirih. “Kau begitu baik hati terhadapku, entah dengan apa aku harus membalas budimu...?”
“Haha... sudahlah! Jangan berpikir macam-macam. Apakah kau masih sanggup berjalan? Kau sangat letih tampaknya...! Kalau begitu biarlah aku menggendong mu!”
Jumanti tak menjawab. Dia cuma menatap Nanjar dengan pandangan aneh. Lalu menundukkan wajah. Ada getaran aneh didada Jumanti bila beradu tatap dengan pemuda yang telah berbaik hati menolongnya dirinya itu. Seperti ada rasa simpati yang sangat mendalam terhadap Nanjar. Dan... tak ada yang mengetahui hal itu kecuali dirinya sendiri. Tahu-tahu lengan Nanjar telah menangkap pinggangnya, dan...
“Ohh...?” Jumanti tersentak. Dalam sekejap tubuhnya telah berada dalam pondongan pemuda itu.
“Nah! Kini katakan ke arah mana aku harus menuju?” kata Nanjar dengan tersenyum melihat gadis itu terkejut. Kejadian itu begitu cepat, dan sudah terlanjur kalau ditolak. Lagi pula hati gadis ini memang tak menolak untuk dipondong walau sebenarnya dia masih sanggup berjalan menempuh jarak ratusan tombak sekalipun.
“Kau benar-benar melakukannya, kak Nanjar? Oh, kau sangat baik terhadapku...! Ambillah jalan ke arah utara...” berkata Jumanti dengan senyum menghias bibirnya yang setengah basah.
Nanjar mengangguk. Dan setelah melihat arah jalan yang bakal ditempuh segera Nanjar membawa tubuh dara itu berkelebat meninggalkan tempat itu. Jumanti merasa tubuhnya seperti terbang. Lengannya memeluk erat tubuh pemuda itu dengan mata setengah terpejam. Sementara hatinya turut melayang kebalik mega. Selang beberapa saat Nanjar menghentikan larinya. Dihadapannya terbentang hutan rimba belantara.
“Kemana lagi arah yang harus kutempuh, Jumanti?” tanya Nanjar. Dia agak ragu untuk memasuki hutan dihadapannya.
“Turunkan aku kak Nanjar. Kukira aku sanggup melakukan perjalanan asalkan kau mau menemaniku...!” kata Jumanti.
Kesempatan baik itu tak disia-siakan Nanjar. Dia memang agak risih dengan keadaan tubuh gadis itu yang pakaiannya robek disana-sini hingga sebagian auratnya mau tak mau tertatap olehnya sebagai seorang laki-laki normal tentu saja hal itu menimbulkan hawa rangsangan. Apa lagi Jumanti memeluk erat tubuhnya. Segera Nanjar menurunkan tubuh Jumanti.
“Kau benar-benar sanggup berjalan? Masih jauhkah rumah pamanmu?” tanya Nanjar. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Lengannya menunjuk ke arah hutan dihadapannya, seraya menyahut.
“Setelah melewati hutan itu ada sebuah perkampungan terpencil. Wilayah itu sudah termasuk perbatasan Kota Raja. Rumah pamanku berada di pedesaan itu!” Nanjar manggut-manggutkan kepala.
“Marilah kak Nanjar. Aku berhutang budi padamu. Pamanku tentu senang menerima kedatanganmu...” kata Jumanti seraya mendahului beranjak melangkah, Nanjar mengangguk, lalu mengikuti gadis itu. Mereka merambas masuk ke dalam hutan. Dalam hati Nanjar bertanya-tanya.
“Tampaknya gadis ini seperti memiliki ilmu kepandaian, dan bukan gadis biasa...” Tapi kemudian dia memaki dirinya sendiri. “Bodoh aku! kalau dia tak memiliki ilmu kepandaian mana mungkin bisa meloloskan diri dari cengkeraman si Awan Hitam?”
“Tampaknya kau mengenal sekali jalan-jalan di dalam hutan ini. Kau sering kehutan ini?” tanya Nanjar.
“Tentu saja aku mengenal tempat-tempat ini, karena pamanku sering mengajakku kemari berburu ayam hutan!” menyahut si gadis.
“Pamanmu seorang guru silat?”
“Benar! Dari mana kau mengetahui?”
“Ah, aku hanya menduga-duga saja...” sahut Nanjar.
“Oh, ya! Aku belum menanyakan padamu, siapakah nama pamanmu?” Nanjar bertanya lagi.
Jumanti menoleh sambil tersenyum. “Dia bernama Sawung Kala!” sahut Jumanti.
Nanjar manggut-manggut. Dan dia tak bertanya apa-apa lagi. Lewat sepenanak nasi, mereka telah keluar dari hutan lebat itu. Jumanti mempercepat langkahnya dengan berlari-lari. Nanjar mengikuti. Ada niatnya untuk meninggalkan gadis itu, karena tak sabar hatinya untuk menyatroni sarang si Awan Hitam.
Tapi dia membatalkan maksudnya. Dan dia merasa tak perlu tergesa-gesa. Ada baiknya untuk mengenal laki-laki bernama Sawung Kala, paman gadis itu. Berpikir demikian Nanjar segera menyusul gadis itu. Beberapa saat berlalu mereka telah sampai di pedesaan seperti yang dikatakan gadis itu.
Nanjar tak begitu memperhatikan kalau tak ada seorang pendudukpun berada didesa itu. Sebuah rumah paling besar berada disudut sebelah depan pedesaan. Agak menjorok ke dalam, dan mempunyai halaman yang luas. Nanjar memperhatikan sekitarnya. Tiba-tiba Jumanti menarik lengannya.
“Ayolah kak Nanjar. Kau akan kuperkenalkan dengan pamanku,” kata Jumanti. Sikapnya mendadak kenes dan agak lincah dan manja. Mau tak mau Nanjar menurutkan tarikan lengan dara itu.
Sesaat kemudian mereka telah memasuki be-randa depan. Pintu ruang tengah tampak tertutup. Jumanti mendorongnya perlahan. Pintu itu tak terkunci.
“Ah, pamanku tampaknya sedang pergi...” kata Jumanti. Dia membuka pintu kamar, lalu beranjak melangkah ke ruang belakang.
Nanjar berdiri terpaku dipintu ruang tengah. Dalam ruang itu ada sehelai tikar pandan terbentang dilantai papan. Didinding ruangan ada sepasang pedang dipajang bersilang. Gadis itu kembali lagi menemui Nanjar.
“Duduklah, kak Nanjar! Mungkin pamanku sedang pergi mencariku...! kata si gadis. Tiba-tiba wajahnya berubah. Dia tampak tersentak dan pada wajahnya tampak jelas terlihat perasaan khawatir.
“Celaka..! Aku khawatir paman menyusulku kesarang manusia dajal itu...”
Wajah Nanjar seketika berubah. “Kalau begitu sebaiknya aku menyusul ke sarang si Awan Hitam!”
“Tunggu! Duduklah dulu, kak Nanjar. Ada hal yang belum kujelaskan padamu mengenai manusia jahanam itu. Tapi sebaiknya aku ambilkan kau air minum dulu. Kau tentu haus sehabis melakukan perjalanan. Akupun sangat haus...” Seraya berkata Jumanti kembali beranjak keruang belakang.
Nanjar jatuhkan pantatnya di atas tikar. “Apakah yang akan dikatakan gadis itu? Mengenai si Awan Hitam?” berkata Nanjar dalam hati. Terpaksa dia duduk bersabar menanti kemunculan gadis itu. Nanjar memang merasa tenggorokannya kering.
Tak berapa lama Jumanti telah muncul lagi. Ditangannya tampak sebuah nampan berisi kendi dan dua buah cangkir dari tanah liat. Gadis itu segera menuangkan air kendi ke da-lam dua cangkir tersebut.
“Air teh ini kumasak kemarin... Kau suka air teh?”
Nanjar tak menjawab. Diteguknya air dalam mangkuk tanah liat itu sampai tandas. Gadis itu menatapnya sambil tersenyum. Lalu turut meneguk airnya. “Nah! Katakanlah mengenai manusia telengas yang gemar menyiksa dan memperkosa perempuan itu!” Ujar Nanjar seraya menatap tajam gadis itu.
Jumanti mengangguk. “Baiklah! Kak Nanjar...!” sahut gadis ini dengan sikap sungguh-sungguh. Dara ini merapikan duduknya, lalu mulai membentangkan tentang manusia yang menamakan dirinya si Awan Hitam.
“Dari pembicaraan yang kudengar, saat ini mungkin dia tak berada disarangnya. Akupun belum memastikan kalau tempat itu adalah sarang manusia busuk itu. Dia seorang penjahat ulung yang banyak tipu dayanya. Aku khawatir disaat kau pergi, justru dia muncul ditempat ini...”
Nanjar jadi menggaruk-garuk tengkuknya. “Jadi apa yang harus aku lakukan?” tanya Nanjar.
“Hm, sebaiknya kita tunggu sampai beberapa hari disini, atau paling sedikit dua hari dua malam. Siapa tahu paman keburu datang, dan kalian bisa merundingkan siasat untuk membekuk manusia penebar bala dan keonaran itu!” sahut Jumanti.
Sesaat lamanya Nanjar termenung, kemudian berkata. “Akan kucoba menuruti pendapatmu, adik manis...! Tapi aku tak mau tidur didalam kamar. Aku akan tidur di luar saja!”
“Terserah apa yang kau inginkan, kak Nanjar. Kau bebas berbuat apa saja di rumah ini...!” berkata si gadis dengan tersenyum. Lalu bangkit berdiri.
“Bolehkah aku meninggalkanmu sebentar? Aku mau mandi, dan mengganti pakaianku yang sudah tak keruan ini. Nanti kita teruskan lagi bercakap-cakap.”
Nanjar mengangguk. Dalam hati dia berkata. “Gadis lugu....! Sebenarnya aku enggan berada ditempat ini berdua-dua dengan seorang gadis. Tapi apa boleh buat! Keadaan telah memaksa aku hingga aku harus berdiam di rumah ini...”
JUMANTI melangkah ke arah pintu kamar. Membuka pintunya dan membiarkan pintu kamar terbuka. Lalu menguakkan daun jendela. Cahaya terang menyorot masuk ke dalam kamar. Lalu membuka pintu lemari pakaian. Mengambil sehelai kain panjang. Kemudian mengeluarkan seperangkat pakaian yang akan dipakainya nanti sesudah mandi. Kemudian menutup pintu lemari.
Enak saja dia melepaskan pakaiannya yang compang-camping tak keruan itu dan berdiri tanpa busana. Darah Nanjar tersirap. Mau tak mau dia melihat pemandangan di depannya, karena pintu kamar yang berdekatan dengan ruang tengah itu tak ditutupkan.
Jumanti membentangkan kain panjang itu, dan membelitkan ditubuhnya yang padat berisi. Lalu melangkah keluar tanpa menu-tup pintu kamar. Cepat-cepat Nanjar memalingkan wajahnya menatap ke arah beranda depan.
Aneh! Dia merasa jantungnya berdetak cepat. Dan satu perasaan yang sukar untuk dia menolaknya, yaitu mencuri pandang dan diam-diam memperhatikan keindahan tubuh dara itu.
“Gila...! Mengapa pikiranku jadi tertuju pada gadis itu...?” berkata Nanjar dalam hati. Dia coba menyatukan kekuatan batinnya dengan duduk bersila dan mata dipejamkan.
Tapi yang terlukis dikepalanya justru keelokan paras dan keindahan tubuh polos Jumanti! Makin dia berusaha mengusir bayangan gadis itu, justru semakin kuat sosok tubuh gadis itu menggoda benaknya. Nanjar menghentikan semedinya dan membuka kedua matanya.
“Benar-benar edan...!” berdesis si Dewa Linglung.
Mendadak ada dorongan hasrat yang kuat untuk melihat dimana gadis itu mandi. Dengan detak jantung semakin cepat, Nanjar bangkit berdiri. Lalu beranjak melangkah ke arah kamar. Matanya memandang keluar jendela yang terbuka.
Sesaat Nanjar terpaku bagai orang kena tenung. Matanya memandang tak berkedip. Gadis itu tengah mandi di air pancuran dengan berdiri tanpa pakaian. Jaraknya sekitar lima-enam tombak dari pintu jendela. Ternyata di bagian belakang rumah itu ada sebuah bukit kecil. Dibagian atasnya ditumbuhi pohon-pohon bambu.
Dibawah akar-akar bambu itu terdapat pancuran yang mengucur dari sepotong bambu. Di air pancuran berair jernih itulah gadis ini mandi. Semuanya terpampang jelas, dan begitu jelas. Liku-liku yang indah dan mempesona dari tubuh dara itu membuat Nanjar lama terpaku menatap dengan napas tersengal memburu.
Jumanti seperti tak mengetahui kalau sepasang mata telah memandangnya dengan hawa nafsu bergejolak. Lengannya menyambar kain di atas batu. Lalu digunakan membungkus tubuhnya. Nanjar lenyap dari jendela, dan sesaat telah kembali duduk diatas tikar pandan.
Gadis itu muncul dengan rambut basah, dan langsung masuk ke kamarnya. Jumanti menyeka tubuhnya dan rambutnya yang basah dengan kain panjang yang dipakainya. Semua itu tak luput dari tatapan mata Nanjar yang semakin liar. Betapa sukarnya si Dewa Linglung menepiskan pikiran kotor dari benaknya. Hawa rangsangan kian menebar dan menjalar ke segenap aliran darah dan urat-urat tubuhnya.
Sementara Jumanti seperti memperlambat gerakan menyeka tubuhnya. Gadis ini seperti sengaja membiarkan bagian belakang tubuhnya yang terbuka dengan berdiri menghadap ke arah jendela.
“Tampaknya racun dalam air teh itu telah mulai bekerja...!” berkata Jumanti dalam hati. Bibirnya sunggingkan senyuman. Dan dia menanti reaksi selanjutnya.
Disaat itulah tahu-tahu Nanjar telah berada di belakangnya. Lengannya terjulur memeluk pinggangnya. Jumanti bersikap seperti orang terkejut. “O, kak Nanjar... apa yang akan kau lakukan?”
Jumanti merasakan hembusan napas Nanjar yang menggebu. Dia membisikkan kata-kata lirih menggetarkan di telinganya. “Kau... kau membuat aku gila, Jumanti...! Kau... kau...”
Dan Nanjar telah membalikkan tubuhnya dengan kasar, lalu merengkuh lehernya dengan penuh nafsu membuat Jumanti bergelinjang kegelian. Nanjar sudah tak dapat membendung hawa rangsangan hebat yang mengalir di segenap aliran darahnya. Dia memondong tubuh bugil itu dan melemparkannya keatas pembaringan. Kemudian dengan cepat dia melepaskan pakaiannya...
Disaat itulah tiba-tiba sesosok bayangan berke-lebat masuk ke dalam kamar. Dan... tahu-tahu Nanjar perdengarkan keluhan ketika satu pukulan keras menghantam tengkuknya. Tubuh si Dewa Linglung roboh tersungkur di lantai kamar. Pukulan keras itu telah membuat Nanjar tak ingat apa-apa lagi dan terkapar tak sadarkan diri.
“Bagus! Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik, manisku...!” berkata orang ini. Ternyata dia seorang wanita yang menutup sebagian wajahnya dengan cadar hitam. Sepasang mata wanita ini berkilat-kilat menatap Jumanti yang cuma terpaku, lalu menundukkan wajahnya.
Terdengar suaranya yang tergetar menyahut. “Sesuai dengan perintahmu, aku telah melakukan perbuatan tercela ini. Memperdayakan seorang pendekar yang bergelar si Dewa Linglung. Dan kau telah mendapatkan apa yang kau inginkan...! Kini berilah aku kebebasan seperti janjimu!”
“Tunggu! Kau nyaris tenggelam dalam kenikmatan bersama dia kalau aku tak keburu muncul! Tahukah kau, bahwa aku membenci hal itu? Dan satu hal yang tak dapat kau pungkiri, diam-diam kau mencintai dirinya!” bentak wanita ini. Matanya nyalang menatap Jumanti.
“Maafkan aku, Awan Hitam! Aku memang tak dapat mendustai diriku sendiri. Sebagai manusia yang dilahirkan dalam keadaan normal seperti layaknya seorang perempuan, aku memang mendambakan kehangatan laki-laki! Apakah hal ini bisa kau salahkan?” berkata Jumanti dengan suara tawar.
Kalau saja wanita ini tak memakai cadar penutup wajahnya, jelas akan terlihat perubahan wajahnya mendengar kata-kata gadis itu. Dia mendengus dingin. Api kecemburuan tampak terlihat disepasang matanya yang nyalang menatap Jumanti yang tanpa busana dihadapannya. Dia berkata dingin, sedingin es.
“Hm, diantara sekian gadis hanya kaulah yang masih kuberi waktu untuk hidup lebih lama! Jiwamu kuampuni, Jumanti! Akan tetapi kau tak akan kubebaskan sekarang! Pakailah pakaianmu, dan ikut aku!”
“Tidak! Kau telah mengkhianati janjimu, Awan Hitam! Aku ingin kebebasan sekarang, seperti janjimu!” berkata gadis itu dengan setengah berteriak.
“Hihi... aku bisa merubah janji apapun yang telah kuucapkan! Aku akan bersikap sebaik mungkin padamu bila kau turuti kehendakku. Dan satu hal yang perlu kau ketahui, keselamatan jiwa ayahmu berada ditanganku!”
Tentu saja keterangan si Awan Hitam membuat wajah Jumanti berubah pucat. “Kau... kau telah menawan ayahku juga?” sentaknya terperanjat.
“Hihi... aku tidak bodoh! Tanpa aku menawan ayahmu si tua bangka kaki buntung itu, mana mungkin kau akan mau menuruti kehendakku?” berkata wanita ini dengan tertawa dingin.
“Kau... kau memang benar-benar iblis licik!” teriak Jumanti dengan mata membelalak besar bersimbah air mata.
“Sudahlah, Jumanti...! Aku berjanji akan membebaskan ayahmu, juga kau sendiri, asalkan kau mau setia menemani diriku sampai beberapa hari lagi...!”
Mendadak suara si Awan Hitam berubah lunak. Wanita bercadar ini menjumput pakaian Jumanti yang berserak diatas pembaringan. Lalu melemparkan pada Jumanti. “Nah! Pakailah pakaianmu!”
Namun gadis itu tak mengacuhkannya. Dia duduk terpaku dengan mata menatap kosong keluar jendela. Mendadak dia menutup wajahnya dengan kedua lengan, dan menangis terisak-isak.
Tampaknya Awan Hitam tak memperdulikan gadis itu lagi. Dia menatap ke arah tubuh si Dewa Linglung yang terkapar pingsan. Lalu membungkukkan tubuhnya. Lengannya mencengkeram rambut si pemuda gondrong.
“Hihi... pendekar Linglung! Kau akan menjadi seorang yang paling dungu setelah kau meminum racun itu! Ternyata kau tak lebih bodoh dari seekor keledai!” Wanita ini menghempaskan kepala Nanjar. Lalu matanya tertuju pada dua buah ben-da yang tergeletak dilantai tak jauh dari onggokan pakaian pemuda itu.
“Hm, ini tentu pedang mustika Naga Merah yang telah membuat namamu menjulang ke seantero jagat! Dan, seruling tulang berkepala Naga ini sangat bagus. Aku akan meniupnya bila malam telah sepi untuk mengingat seorang pendekar tolol yang tak lebih tolol dari seekor keledai!”
Wanita bergelar Awan Hitam ini tertawa berderai. Kemudian selipkan pedang mustika Naga Merah dan seruling milik si Dewa Linglung ke balik jubah. Lalu menoleh pada Jumanti yang masih tenggelam dalam isaknya.
“Ayo cepat, adik manis! Pakailah pakaianmu!” ujar wanita ini Melihat gadis itu masih tak mengangkat wajahnya, wanita ini hilang kesabarannya. Sekali lengannya bergerak, dia telah menotok tubuh gadis itu.
Jumanti mengeluh panjang. Wanita bercadar ini membungkus tubuh gadis itu dengan kain yang teronggok disisi tempat tidur. Lalu memondongnya. Dan beberapa kejap kemudian dia telah memondongnya. Lalu berkelebat keluar dari dalam pondok itu. Sebentar saja tubuhnya telah lenyap ditelan rimbunnya hutan belantara...
SEEKOR TIKUS KECIL BERBULU PUTIH keluar dari onggokan pakaian si Dewa Linglung. Binatang ini mencicit lalu bergerak merayap kearah tubuh Nanjar yang masih terkapar tak bergerak. Dia mulai mendengus-enduskan hidungnya menciumi tubuh si Dewa Linglung.
Lalu merayap naik keatas perut, kemudian merayap kedada dan leher. Kemudian terus merayap kewajah pemuda itu dengan mengendus-enduskan hidungnya sambil mencicit-cicit, dan menjilati wajah sang majikan.
Rasa geli yang menyentuh kulit karena dirayapi kaki tikus putih peliharaannya, membuat Nanjar tersadar dari pingsan. Matanya membelalak terbuka. Dan detik itu juga dia melompat bangun. Alangkah terkejutnya Nanjar ketika merasa tubuhnya begitu lemah tak bertenaga. Dia hanya mampu duduk dengan bersusah payah. Sementara tikus putih itu telah melompat turun. Binatang kecil itu kini merayap dikakinya.
Nanjar tersentak karena melihat keadaan tubuhnya tanpa pakaian. Seketika ingatannya kembali pulih. Sadarlah dia akan apa yang telah dilakukannya. Wajahnyapun berubah memerah. “Gila...! Aku telah melakukan perbuatan diluar kesadaranku..!?” sentak Nanjar dengan berdesis. “Tapi... tapi aku belum melakukannya...” Hatinya membantah. Lalu teringat pada gadis bernama Jumanti.
“Dimanakah gadis itu?” sentak si Dewa Linglung yang tak melihat gadis itu berada didalam ruangan kamar. Sesaat dia tercenung. Matanya menjalari sekitarnya. Lalu menatap pada onggokan pakaiannya yang berserak di lantai kamar. Lagi-lagi dia tersentak kaget, karena tak melihat senjata pusaka dan seruling tulang berkepala Naga miliknya.
“Setan alas! Barang-barang milikku telah dicuri perempuan itu...!” mendesah Nanjar dengan mata membelalak.
Dengan bersusah payah Nanjar berhasil menjangkau pakaiannya. Lalu dengan memeras tenaga dia segera mengenakan kembali pakaiannya. Napas si Dewa Linglung terengah-engah. Sementara tikus kecil itu melompat keperutnya, lalu merayap naik keatas pundak. Nanjar julurkan lengannya menangkap binatang peliharaannya itu.
“Putih... tahukah kau apa yang telah terjadi?” Nanjar mengelus-elus kepala binatang kecil itu, yang cuma bisa mencicit. Sementara ingatan Nanjar menerawang ke saat kejadian yang baru saja terjadi. Dia berusaha sekuat fikirannya untuk mengumpulkan ingatan. Pengaruh apakah yang telah membuat dirinya melakukan hal yang memalukan itu?
Dan yang paling aneh adalah dia telah kehilangan kekuatan tubuhnya. Hal itulah yang membuat Nanjar tak habis pikir. Sementara otaknya seperti beku tak mampu mengingatkan asal peristiwa yang telah terjadi.
“Celaka! Aku telah benar-benar menjadi seorang yang linglung berat! Aku tak mampu mengingat sama sekali...” mengeluh Nanjar dalam hati.
Dalam geramnya Nanjar mengumpulkan segenap kekuatan tenaga dalamnya kearah lengan. Otot-otot tubuhnya mengejang, dan tulang lengannya berkeriutan. Lalu dengan berteriak histeris dia menghantamkan ke arah depan.
BRAKKK!
Dinding ruang kamar itu hancur berserpihan. Bahkan tiang penyangga atap rumah diberanda depan telah patah karena terjangan angin pukulan yang menghambur dari telapak tangan si Dewa Linglung. Angin pukulannya masih menggoncang sebuah pohon dihalaman depan rumah itu hingga batangnya bergoyang-goyang dan belasan daun pohon itu meluruk berhamburan...
Tampak wajah Nanjar berubah mengelam. Matanya memancarkan hawa amarah terhadap kebodohan dirinya sendiri. Dadanya kelihatan turun naik, dan napasnya tersengal-sengal. Tampaknya Nanjar masih belum puas menyalurkan kemarahannya. Kembali dia menghantam kekanan dan kekiri.
Maka sebentar saja terdengar suara gaduh seolah rumah itu dilanda angin ribut. Dinding-dinding papan berterbangan hancur. Tiang-tiang penyangga atap rumah patah berderak. Sesaat Nanjar terpana dengan apa yang telah dilakukannya. Mendadak dia dapat berpikir kembali secara baik.
“Hah!? Tenagaku... pulih kembali?” sentak Nanjar dengan wajah berubah girang.
Sementara itu tikus putih sahabatnya telah menyelinap masuk ke sela bajunya. Disaat itulah bencana kedua muncul di depan mata. Karena beberapa tiang penyangga dan dinding-dinding papan ruangan itu telah hancur dan patah-patah, maka tak dapat dicegah lagi wuwungan rumah itu meluruk kebawah dengan suara berderak-derak.
Nanjar tersentak kaget.... “Celaka..!?”
Tak ampun lagi rumah itupun roboh seluruhnya. Nyaris si Dewa Linglung tertimbun reruntuhan, kalau didetik itu tubuhnya tak berkelebat melompat keluar dari ruangan itu untuk menyelamatkan diri...
Terdengar suara bergemuruh dari reruntuhan rumah yang ambruk itu. Sesaat lamanya si Dewa Linglung menatap dengan mata mendelong melihat rumah yang kini sudah tak berbentuk lagi, dan telah berubah menjadi timbunan kayu dan atap.
Dan secara perlahan ingatan Nanjar pun kembali pulih. Dia mulai dapat mengingat asal kejadian yang dialaminya. Sesaat lamanya dia tertegun dengan bekerjanya kembali sirkuit otaknya.
“Ya, aku ingat! Setelah meminum air teh yang disuguhkan Jumanti, aku merasa ada perubahan dalam aliran darahku. Seperti ada suatu rangsangan yang hebat, sehingga aku tak kuat melawan keinginanku untuk melakukan perbuatan edan dengan gadis itu. Kukira gadis itu telah menaruh semacam ramuan beracun yang membuat aku jadi demikian. Dan bahkan aku telah kehilangan daya kekuatan tubuhku. Celakanya aku seperti tak dapat berpikir secara normal! Cuma beberapa gelintir ingatan saja yang masih secara tersimpan diotakku...” berkata Nanjar dalam hati.
Namun satu kejadian aneh yang membuat Nanjar diam-diam bersyukur adalah dia kembali pulih dari kelemahan daya kekuatan tubuhnya. Nanjar menduga kepulihan tenaga dalamnya adalah akibat secara tak sengaja dia melampiaskan kemarahannya pada dirinya sendiri dengan menghancurkan apa yang berada disekelilingnya. Ternyata hal itu justru memulihkan tenaganya kembali.
Sebenarnya apa yang telah terjadi itu adalah wajar. Dalam tubuh Nanjar sendiri telah ada satu kekuatan yang hebat untuk menolak racun. Semua itu karena Nanjar adalah seorang ahli ramuan, dan entah berapa macam dedaunan yang mengandung khasiat telah digayam masuk keperutnya, dan bersatu dengan darah. Namun setiap racun tentu mempunyai kadar ukuran yang berbeda. Semua itu bisa terjadi, dan Nanjar terkena pengaruh hebat yang kekuatan darahnya tak mampu melawannya.
Namun Nanjar pernah menjadi murid seorang tokoh Rimba Hijau berilmu tinggi, yaitu si Raja Siluman Naga yang telah mewariskan cara mengumpulkan tenaga yang dinamakan Tenaga dalam sungsang. Dengan cara ini bukan saja dia dapat melakukan suatu pukulan hebat yang bernama Pukulan Inti Es, akan tetapi juga punya fungsi ganda. Yaitu mengumpulkan kembali cairan racun dan mengembalikan ketempat asalnya.
Itulah sebabnya disaat dia tengah terlonglong mengingat kejadian yang telah dialaminya, tiba-tiba Nanjar merasa perutnya mual. Ususnya seperti bergolak dan berbunyi berkeributan. Mendadak dia tak dapat menahan keinginan untuk muntah. “Hoaaak..!”
Desakan dari dalam itu begitu kuat. Dua kali dia muntah, maka dia merasakan rasa mual diperutnya perlahan-lahan lenyap. Alangkah terkejutnya Nanjar ketika melihat yang dimuntahkan itu adalah air teh yang telah diminumnya.
Sesaat dia memperhatikan dengan mata tak berkejap. Air teh itu telah tercampur dengan cairan ludah perutnya. Nanjar merasakan mulutnya asam. Sesaat kemudian dia menyengir sendiri sambil menggaruk-garuk tengkuknya.
“Benar dugaanku! Air teh itu mengandung racun. Haih! Benar-benar racun yang sangat berbahaya...” desis si Dewa Linglung. Diam-diam dia bersyukur bisa memuntahkan cairan itu dari perutnya.
Khawatir masih ada sisa racun dalam tubuhnya, Nanjar segera salurkan kekuatan tenaga dalam, dan hawa murni untuk disebar kesegenap tubuh. Dilakukannya dengan duduk bersila. Selang tak lama tampak uap putih mengepul dari ubun-ubun kepala, juga dari segenap lubang pori-pori ditubuhnya. Nanjar menghentikan cara itu ketika merasa tubuhnya telah kembali enteng. Kemudian Nanjar melompat berdiri. Dia mulai mengumpulkan kembali ingatannya
Akhirnya Nanjar dapat mengingat disaat satu pukulan mendarat di-tengkuknya dia roboh tak sadarkan diri. Akan tetapi dalam keadaan setengah sadar telinganya telah mendengar suara orang berbicara. Hal itu karena fikiran dibawah sadarnya terus bekerja.
“Yang membokongku pastilah manusia bergelar si Awan Hitam itu! Akan tetapi aneh! Aku seperti mendengar suara seorang perempuan...? Mungkinkah manusia itu seorang perempuan?” berkata Nanjar dalam hati.
Akhirnya Nanjar mengambil kesimpulan bahwa suara seorang laki-laki bisa saja mirip seperti suara perempuan. Yang penting dia harus mengejar manusia itu. Berfikir demikian Nanjar segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Pengalaman yang baru saja terjadi tak mungkin dapat dilupakan, bahkan akan dijadikan suatu pelajaran, bahwa dirinya tak boleh begitu saja mudah percaya terhadap setiap orang apalagi yang baru dikenalnya.
Jelas gadis bernama Jumanti itu telah menjebak dirinya ketempat itu. Kemungkinan gadis itu adalah anak buah si Awan Hitam! Demikian yang terpikir dibenak si Dewa Linglung. Nanjar merambas masuk kedalam hutan. Sebentar saja tubuhnya lenyap tak kelihatan lagi...
KITA MENENGOK KE SEBUAH PERGURUAN SILAT, yang bernama perguruan Trisula Dewa Ketua perguruan yang beraliran putih ini namanya cukup kondang di wilayah sekitar lereng pegunungan Kendeng. Sang ketua bernama Reka Ananta, bergelar si Pendekar Tangan Kidal. Senjata yang menjadi andalannya adalah sebuah tombak bermata tiga yang disebut Tombak Trisula.
Walaupun dia bertangan kidal, namun tak semua murid-muridnya bertangan kidal. Dan jangan menganggap enteng tangan kanannya. Karena sebelah tangan palsu pendekar tua itu dapat dipergunakan untuk menghantam dan menghancurkan dada lawan dan meremukan batok kepala.
Siang itu tampak Reka Ananta tengah melatih dua belas orang muridnya. Diantara dua belas orang pemuda itu ada terdapat seorang gadis, yang turut berlatih. Siapa adanya gadis itu adalah puteri tunggal Reka Ananta sendiri.
Tampaknya latihan itu tak terlalu lama, karena segera Reka Ananta menyuruh berhenti, dan membubarkan murid-muridnya. Gadis berbaju serba putih berpotongan singsat itu agak terheran. Tak seperti biasa ayahnya menghentikan latihan.
Dia melihat sang ayah beranjak masuk ke ruang pesanggrahan. Segera dia beranjak mengikuti dari belakang. Baru saja Reka Ananta memasuki pintu kamarnya, gadis itu sudah berdiri dipintu kamar dibelakang punggung sang ayah.
“Ada apa ayah? Tampaknya ayah kurang bersemangat hari ini...!” berkata si gadis. Reka Ananta ternyata telah mengetahui kalau puterinya mengikutinya. Dia menyahut tanpa berpaling. Matanya menatap keluar jendela kamarnya.
“Tidak ada apa-apa anakku..! Sengaja ayah menghentikan latihan karena ada keperluan yang harus ayah selesaikan..!”
“Apakah aku tak boleh mengetahui, ayah?” tanya gadis ini. Reka Ananta membalikkan tubuhnya. Matanya menatap gadis itu. Sesat dia terdiam, kemudian menghela napas.
“Andini, anakku yang manis, baiklah ayah akan memberitahukan. Kukira kau mengenal nama per-guruan Matahari, bukan?”
“Tentu ayah! Bukankah nama ketuanya adalah Ki Wikalpa?” potong gadis yang ternyata bernama Andini itu. Reka Ananta mengangguk.
“Benar, anakku! Hari ini ayah akan menemuinya. Mungkin akan memakan waktu sampai beberapa hari. Kuharap kau tak pergi kemana-mana sepeninggalku. Dan beritahukan pada rekan-rekan seperguruanmu yang lain...”
Andini diam terpaku. Entah mengapa sejak beberapa hari ini hatinya selalu berdebar-debar. Dia khawatir ada sesuatu yang bakal terjadi terhadap diri ayahnya. “Bolehkah aku ikut, ayah? Oh, ya! Bukankah Ki Wikalpa mempunyai seorang anak gadis seusiaku? Aku ingin berkenalan lebih akrab dengannya..!” berkata Andini. Bola matanya tampak membesar menatap sang ayah. Andini sangat berharap ayahnya mengizinkan dia turut serta.
Tapi laki-laki tua itu menggeleng. “Jangan, anakku..! Maksudku jangan sekarang! Kapan-kapan kau pasti akan kuajak menemuinya. Nah, pergilah selesaikan latihanmu!”
Tampaknya Andini kecewa karena ayahnya tak mengizinkan dia turut serta. Dengan menundukkan wajah dia segera beranjak meninggalkan ruangan kamar Reka Ananta. Kemudian menghilang diruang belakang pesanggrahan.
Laki-laki tua ini menghela napas. Dia tak dapat menyalahkan sikap anak gadisnya. Selama ini dia jarang mengajaknya keluar dari pesanggrahan. Sehari-hari gadis itu cuma berlatih, dan berlatih jurus-jurus yang diwariskan olehnya. Reka Ananta sangat berharap anak gadisnya menjadi seorang pendekar wanita yang tangguh. Dan memiliki ilmu kepandaian yang sulit dikalahkan orang lain.
Di samping itu dia telah menggemblengnya dengan keras. Kekerasan dalam mendidik dan disiplin yang baik akan menjadikan diri si gadis itu menjadi seorang yang kuat mental dan tahan uji. Karena untuk mengharungi kehidupan di Rimba Persilatan memerlukan ketabahan, keuletan, kegigihan juga kepandaian yang tinggi.
Tadinya Reka Ananta akan pergi dengan meninggalkan surat, dan berangkat secara diam-diam. Tapi ternyata anak gadisnya telah terlanjur mengetahui. Walaupun dia tahu Andini kelihatan agak kecewa, tapi dia yakin anak gadis itu akan mematuhi perintahnya untuk tidak meninggalkan pesanggrahan setelah kepergiannya. Dan memberitahukan pada rekan-rekan seperguruannya atas kepergiannya...
Maka setelah berkemas si pendekar tua yang merupakan ketua dari perguruan Awan Jingga itu segera menyelinap dari jendela kamarnya melesat lenyap keluar tembok pesanggrahan. Gerakannya sangat tangkas dan gesit. Ilmu meringankan tubuhnya telah berada ditingkat tinggi.
Hingga kecepatan seekor kijang yang berlari cepatpun tak akan mampu menandingi kecepatan berlari pendekar Tombak Trisula ini. Ternyata Reka Ananta tak lupa untuk membawa senjatanya. Dengan mengerahkan ilmu lari cepat Reka menuju kearah barat.
HAL APAKAH yang membuat Reka Ananta tampak sangat tergesa-gesa menuju ke perguruan Matahari dengan membekal senjata? Marilah kita ikuti perjalanannya...
Setelah lebih dari sepenanak nasi, dan dalam perjalanan itu Reka Ananta telah melewati dua buah sungai serta sebuah bukit disebelah barat pegunungan Kendeng, maka laki-laki tua ini mulai memperlambat larinya.
Sepanjang jalan benak Reka Ananta terus memikir tiada hentinya. Ternyata yang dipikirkan adalah suatu hal yang selama ini telah merisaukan hatinya. Yaitu kemunculan manusia yang menamakan dirinya si Awan Hitam!
“Perbuatan si manusia itu semakin menggila! Setelah menculik anak gadis Ki Wikalpa, lalu menculik pula laki-laki sahabatku itu...! Aneh! Benar-benar sangat aneh, hingga tak seorangpun ada yang mengetahui diculiknya Ki Wikalpa dari pesanggrahannya. Tampaknya Ki Wikalpa sendiri tak melakukan perlawanan, seperti dituturkan murid-muridnya...!” Demikian pikir Reka Ananta dengan menggigit-gigit gerahamnya.
“Sebagai sahabat baiknya aku tak dapat membiarkan hal itu terjadi. Aku harus menolong Ki Wikalpa, dan entah bagaimana nasib anak gadisnya belum dapat diketahui secara pasti atau mati atau hidupnya. Yang jelas seperti berita yang kudengar, setiap korban yang berhasil diculiknya akan menemui kematian setelah dirinya diperkosa...! Benar-benar perbuatan biadab!” mendesis Reka Ananta.
Ketika Reka Ananta tiba di muka pesanggrahan, tampak belasan orang prajurit berada di tempat itu. Kesemuanya menunggang kuda. Melihat Reka Ananta muncul di pintu gerbang perguruan seorang perwira Kerajaan menghampiri. Setiba di hadapannya langsung melompat turun dari punggung kuda.
“Kalau tak salah, bukankah anda adalah Reka Ananta, ketua perguruan Trisula Dewa sahabat baik ayahku...?” berkata perwira itu sambil menjura.
Reka Ananta terkejut, barulah dia sadar kalau perwira kerajaan itu adalah anak tertua Ki Wikalpa. Ki Wikalpa memang mempunyai dua orang anak keturunan. Yang satu wanita dan satunya lagi seorang anak laki-laki, yaitu anaknya yang sulung. Seperti diketahui dari Ki Wikalpa, anak sulungnya berada di Kota Raja, menjadi seorang abdi Kerajaan. Dari pakaiannya, Reka Ananta sudah dapat menduga kalau perwira itu berpangkat Kepala Prajurit.
Cepat-cepat dia balas menjura seraya berkata. “Benar...! Apakah anda putera sulung Ki Wikalpa sahabatku?” balik bertanya Reka Ananta.
Perwira gagah itu mengangguk. “Tidak salah dugaanmu, paman...! Aku Windu Pati, anak sulung Ki Wikalpa! Kedatangan paman tentu akan membantu kami menangkap manusia keji yang telah menculik adik perempuan dan ayahku!” kata perwira muda itu.
“Ya! Aku telah siap menyambung nyawa untuk menumpas manusia terkutuk itu, dan demi Yang Maha Agung, aku bersumpah akan membunuh manusia keparat itu dengan tanganku, bila manusia terkutuk bergelar si Awan Hitam itu menganiaya dan membunuh sahabatku!” kata Reka Ananta dengan suara agak ditekan.
“Terima kasih atas kesediaanmu, paman. Tapi marilah kita bercakap-cakap didalam. Kukira ada beberapa hal yang paman harus ketahui...!”
Reka Ananta mengangguk. Windu Pati mem-bimbing laki-laki ketua perguruan Awan Jingga itu kedalam ruang pesanggrahan. Sementara seorang murid perguruan menambatkan kuda Windu Pati ditiang kayu. Setelah keduanya duduk berhadapan diruang tengah, Windu Pati mengeluarkan secarik kertas kain dari saku bajunya.
“Manusia misterius bergelar Awan Hitam itu meninggalkan surat ini diatas meja kamar pribadi ayah...!” katanya, sambil memberikan benda yang dipegangnya pada Reka Ananta. Laki-laki ini segera menerimanya, lalu membaca surat itu. Isi surat itu adalah demikian.
AWAN HITAM AKAN MENGEMBALIKAN KETUA KALIAN DENGAN TEBUSAN SEKANTUNG PERHIASAN ATAU UANG EMAS! LETAKKAN APA YANG AKU INGINKAN ITU DIATAS TUGU PERBATASAN SEBELAH TIMUR! INGAT!
JANGAN COBA-COBA MENGELABUI AKU, NYAWA KETUAMU BERADA DITANGANKU! AKU BERJANJI AKAN MEMBEBASKAN PULA GADIS ITU! WAKTUNYA ADALAH DUA MALAM SETELAH AKU MENCULIK KETUAMU!
Merah padam wajah Reka Ananta membaca isi surat ancaman dari si manusia bergelar Awan Hitam itu. “Keparat! manusia itu benar-benar edan!” menggeram Reka Ananta.
Lalu memberikan lagi surat ancaman itu pada Windu Pati. Perwira muda ini tersenyum kaku. Lalu menyimpan surat itu kesaku bajunya. “Lalu bagaimanakah rencanamu, Windu? Apakah anda akan mengabulkan permintaan manusia edan itu?” bertanya Reka Ananta.
Perwira muda itu mengangguk. “Ya! Apa boleh buat. Ketika kemarin seorang dari murid ayahku melaporkan ke Kadipaten dengan menemuiku, aku langsung melaporkan hal ini pada Kanjeng Adipati. Ternyata beliau bersedia memberikan sekantung perhiasan dan uang emas untuk menebus ayah dan adikku yang diculik si Awan Hitam...! Windu Pati memberikan keterangan. Lalu melanjutkan dengan berbisik di telinga laki-laki tua itu.
Tampak Reka Ananta manggut-manggut kepala. Kemudian keduanya meneruskan dengan perundingan singkat mengenai rencana penyergapan terhadap si Awan Hitam malam nanti.
Windu Pati bersama sebelas anak buahnya ternyata baru saja datang ke pesanggrahan itu. Tak lama dia keluar, lalu menyuruh anak buahnya untuk beristirahat dan menyimpan kuda. Ternyata Ki Wikalpa hanya mempunyai sembilan orang murid. Mereka segera membantu laskar Kadipaten untuk mengurus kuda-kuda mereka termasuk kuda Windu Pati.
Dalam kesibukan membantu para prajurit Kadipaten, selain memasukkan kuda dalam sebuah ruangan dibelakang pesanggrahan, para murid perguruan Matahari juga sibuk menyediakan air minum serta makanan seadanya.
Sebelas orang prajurit yang dibawa Windu Pati adalah para prajurit pilihan kelas satu yang rata-rata berkepandaian tinggi dan telah terlatih dalam setiap pertarungan. Atas izin dari Adipati, Windu Pati membawa mereka untuk membantu usahanya dalam meringkus si Awan Hitam yang dikhawatirkan kejahatannya akan merembet ke Kota Raja.
Tentu saja Adipati tidaklah bodoh untuk mempercayakan sepenuhnya pada perwira muda itu. Secara diam-diam dia mengutus seorang Tumenggung untuk membantunya bersama beberapa orang laskar Kadipaten.
Salah seorang dari murid perguruan Matahari tampaknya ada yang bersikap mencurigakan. Laki-laki ini sejak terjadi percakapan Windu Pati dengan Reka Ananta telah sembunyi dibalik pintu. Dan dengan diam-diam dia mencuri dengar pembicaraan. Namun dia tak dapat mendengar seluruhnya, karena Windu Pati berbicara dengan berbisik ditelinga Reka Ananta, dan selanjutnya Windu Pati bicara dengan perlahan sekali.
Laki-laki ini segera menyelinap dan lenyap dari belakang pintu ruangan sebelah dalam yang mempunyai beberapa ruang disebelah belakang. Kini tampak laki-laki itu sibuk membagi-bagikan air minum yang di ciduknya dari dalam ketel besar. Tak sampai selesai dia membagikan air minum yang langsung dibawa oleh kawan seperguruannya dalam nampan untuk disuguhkan pada prajurit kadipaten, laki-laki ini memberikan gayungnya pada kawan seperguruannya. Laki-laki itu berkata.
“Teruskan olehmu, kakang Suta. Perutku mulas, aku mau ke belakang dulu...!”
“Huh! Kau ini ada-ada saja, pakai perut mulas segala...!” gerutu kawan seperguruannya yang bernama Suta. Laki-laki itu hanya menyengir, lalu menyahut.
“Hehe.. perutku memang tak tahu diri, harap kau maklum. Apakah kau ingin aku buang air ditempat ini?”
“Sudahlah, cepat kesana! Jangan sampai bikin malu pada Den Windu Pati!”
Laki-laki ini segera meninggalkan ruangan lalu beranjak kebelakang. Tempat membuang hajat yang terletak dihalaman paling belakang, bersebelahan dengan kandang kuda. Melalui sebuah pintu si laki-laki menyelinap masuk ke dalam sebuah ruang yang terhalang pagar tembok. Ternyata dia tak menuju ke arah tempat membuang hajat, akan tetapi dengan berindap-indap mendekati pintu keluar. Dari mulutnya terdengar suara menggumam.
“Hm, aman...! Untuk sementara aku menghilang dulu...!”
Tapi baru saja dia mau membuka pintu mendadak sebuah bayangan berkelebat. Laki-laki ini tersentak kaget, karena tahu-tahu bahunya ada yang mencengkeram. Alangkah terkejutnya laki-laki ini ketika melihat orang yang muncul secara tiba-tiba dan mencengkeram bahunya tak lain dari Windu Pati!
“Tunggu, keparat! Katakan, apa yang kau masukkan ke dalam cerek berisi air minum yang disuguhkan padaku?” bentak Windu Pati.
Berubahlah seketika wajah laki-laki itu. Tapi segera dia menjawab. “Ah... aku tak memasukkan apa-apa kecuali teh. Ada apakah? Tampaknya raden mencurigai aku? Kami memang selalu menyuguhkan air teh pada setiap tetamu...!”
“Hm, benarkah begitu?” Windu Pati mengerutkan keningnya tanpa melepaskan cengkeramannya. “Siapakah namamu, dan sudah berapa lama kau menjadi murid ayahku?”
“Be... belum lama, Den! baru kurang lebih tiga bulan ini? Namaku... Sakera!” sahut laki-laki itu dengan agak gugup. Windu Pati tampak tersenyum sinis lalu berkata dengan suara dingin.
“Aku memang mencurigai kau. Bukankah kau berdiri di belakang pintu ruang dalam, dan secara diam-diam menguping pembicaraan kami?”
Muka Sakera tampak semakin berubah pucat, dia men-jawab dengan tergagap. “Bukan aku yy... yang berdiri disitu, Den! Mungkin kau salah lihat. Aku dari pagi belum menginjak ruangan dalam...!”
Plak! Satu tamparan keras membuat laki-laki itu menjerit kesakitan.
“Keparat! Kau berani berdusta? Dengarlah penipu! Aku tahu persis di perguruan ini tak menyim-pan bubuk teh. Dan kau tahu? Ayahku selalu me-nyuguhi tetamu dengan air putih, baik terhadap tetamu maupun aku sendiri!” bentak Windu Pati dengan dada berombak-ombak menahan marah. Lalu melanjutkan kata-katanya.
“Kau pasti telah memasukkan racun dalam cerek! Dan... hem, kulihat tanganmu celemongan hitam. Pastilah kau yang menulis surat ancaman, dan diletakkan diatas meja kamar pribadi ayahku!“
Tiba-tiba lengan Windu Pati menjulur dan mencengkeram baju dibagian dada Sakera. “Katakan cepat! Kau pasti telah menaruh racun dalam makanan yang disuguhkan pada ayahku. Aku yakin ayah tak segampang itu diculik! Mengakulah, bangsat!”
Tapi Sakera membungkam mulut. Tiba-tiba secepat kilat lengannya menyelinap ke balik baju mencabut sebilah belati yang terselip dipinggangnya. Dengan gerakan kilat dia menusuk lambung Windu Pati. Akan tetapi perwira Kerajaan ini lebih cepat bergerak untuk menepiskan lengan Sakera. Belati ditangan laki-laki itu terlepas, secepat kilat Windu Pati telah menotoknya.
Tak ampun lagi Sakera tersungkur dengan mengeluh, karena tubuhnya seketika menjadi kaku tak dapat digerakkan. Dengan cepat Windu Pati memeriksa pakaian laki-laki itu. Dia menemukan sisa ramuan yang terbungkus kain didalam pa-kaian Sakera.
“Heh! Ingin kulihat, racun apakah yang telah kau gunakan itu?” berkata dingin Windu Pati. Sekali lengannya bergerak dia telah menjambak rambut laki-laki itu, lalu menengadahkan kepalanya.
Disaat Sakera meringis kesakitan, dia menjejalkan serbuk itu ke dalam mulutnya. Kemudian membekap mulut laki-laki itu. Lalu menyeret tubuhnya ke sudut ruangan dekat tempat pembuangan hajat. Windu Pati celupkan kain pembungkus serbuk itu ke dalam bak berisi air. Lalu dijejalkan ke mulut Sakera dan diperasnya kuat-kuat. Sakera megap-megap dengan membelalakkan mata.
Disaat kejadian itu berlangsung, Reka Ananta berdiri dipintu ruang belakang memperhatikan. Dia melihat Windu Pati menghempaskan tubuh la-ki-laki bernama Sakera itu. Lalu membuka totokannya. Mulut Sakera tampak membusah. Matanya mendelik-delik. Lidahnya terjulur. Dia mengurut-urut tenggorokannya.
Dia memasukkan jarinya ke mulut... tampaknya dia berusaha memuntahkan serbuk yang telah diminumnya. Akan tetapi kaki Windu Pati telah bergerak menendang, hingga tubuh laki-laki itu terlempar bergulingan. Sakera mencoba bangkit dengan mengerang. Akan tetapi kembali tersungkur. Dan kali ini tubuhnya tak bergerak lagi.
Reka Ananta melompat menghampiri perwira muda itu. Windu Pati menoleh. Keduanya saling pandang. Namun segera kepala prajurit itu melompat ke arah Sakera. Lalu memeriksa pernapasannya.
“Matikah dia?” bertanya Reka Ananta.
Windu Pati menggeleng. Lalu menghampiri laki-laki sahabat ayahnya itu. “Dia cuma pingsan...! Aneh! Racun apakah yang telah digunakannya?“
“Kita tunggu sampai dia sadarkan diri!” kata Reka Ananta.
Windu Pati mengangguk. Beberapa saat lamanya mereka menanti...
“Untunglah matamu jeli, Windu Pati! Dan kau bertindak cepat!” memuji Reka Ananta.
“Kukira mata paman lebih jeli dari mataku...” tukas Windu Pati sambil tersenyum. Perwira muda ini mengakui kalau saja tak melihat gerak biji mata orang tua itu yang melirik ke arah pintu ruang tengah, mungkin dia tak mengetahui kalau ada orang yang menguping pembicaraan mereka.
Ketika Windu Pati meneruskan berbicara dengan berbisik, dan berkata-kata lebih perlahan, dia mendengar suara tindakan kaki menjauh dari arah pintu ruang tengah itu. Tahulah Windu Pati kalau pembicaraan mereka ada yang mencuri dengar...
Ketika Windu Pati menyuruh para prajuritnya beristirahat, dia sengaja menyelinap ke dalam ruang pesanggrahan. Dan diam-diam memperhatikan kesibukan. Dengan pandangan matanya dia dapat melihat gerak-gerik mencurigakan seorang murid ayahnya.
Diam-diam dia mengingat wajah dan pakaian laki-laki itu. Windu Pati yang jarang berkunjung ke tempat ayahnya memang tak seberapa hapal dengan murid-murid perguruan Matahari. Kemudian Windu Pati kembali ke ruang tengah menemui Reka Ananta.
Ketika seorang murid menyuguhkan air minum dengan cerek dan dua buah cawan ke ruangannya, Windu Pati mengenali laki-laki itulah yang dicurigai. Namun dia tetap bersikap biasa. Dengan membungkuk-bungkuk laki-laki murid ayahnya itu mengundurkan diri, dan lenyap dibalik ruang tengah.
Windu Pati menuangkan air dalam cerek ke dalam kedua cawan. Dia tampak mengerutkan kening, karena yang disuguhkan adalah air teh. Hal itu diluar kebiasaan. Karena dia tahu didapur perguruan itu tak menyimpan serbuk teh. Dia memberi isyarat pada Reka Ananta agar tak meminum air itu.
Lalu Windu Pati bergegas ke ruang dalam. Matanya mencari-cari laki-laki yang dicurigai itu dan barusan mengantarkan minuman. Dia melihat laki-laki itu berada diruang lain, tempat menyimpan air dan makanan bila telah selesai dimasak. Tampak laki-laki itu tengah menuangkan air minum dalam cawan untuk dibagikan pada prajurit-prajurit Kadipaten.
Hatinya syak, dan kecurigaannya semakin besar melihat laki-laki itu berhenti bekerja seraya memegangi perutnya. Dia menyuruh temannya menggantikan pekerjaannya, dan mengatakan akan membuang hajat.
Windu Pati melihat kepura-puraan pada wajah laki-laki itu. Dan dengan diam-diam dia menguntitnya. Hingga kemudian jelaslah kedustaan laki-laki itu, karena bukan menuju ke arah tempat pembuangan hajat, tapi dengan langkah berindap justru menuju ke arah pintu ke luar diruang belakang gedung perguruan itu.
Windu Pati tak sabar menantikan Sakera sadar dari pingsannya. Dia mengambil air dari dalam bak, dan mengguyur kepala laki-laki itu. Tampak Sakera menggerakkan tubuhnya. Akibat guyuran air dingin itu membuat dia sadar dari pingsannya. Tampaknya telah terjadi sesuatu dengan Sakera, akibat dicekok air bercampur serbuk yang ditemukan disaku bajunya. Sementara si perwira muda dan Reka Ananta terus memperhatikan apa reaksi dari serbuk itu.
Laki-laki ini bangkit berdiri. Wajahnya basah kuyup oleh air. Tapi dia tak memperdulikan, bahkan seperti tak mengacuhkan pada Windu Pati yang berdiri dihadapannya atau mungkin dia sama sekali tak melihatnya. Matanya tampak kuyu seperti orang mengantuk. Dia berjalan kesana kemari dengan terhuyung-huyung tak tahu arah mana yang dituju, macam orang linglung.
Windu Pati dan Reka Ananta saling pandang. Kemudian mereka kembali memperhatikan sikap Sakera. Bahkan Windu Pati segera menghampiri dan berdiri dihadapannya. Aneh! Sama sekali dia tak melihat orang dihadapannya. Windu Pati yang penasaran menggoyang-goyangkan tangannya didepan hidung Sakera. Tapi laki-laki ini benar-benar tak melihatnya. Tiba-tiba perwira muda ini mencengkeram baju laki-laki itu, seraya membentak.
“Lihat ke arahku, jahanam!”
Akan tetapi aneh. Sakera kelihatannya tak terkejut. Matanya menatap kosong ke arah depan. Barulah Windu Pati yakin kalau laki-laki itu telah menjadi orang yang tanpa rasa, buta dan tuli. Perlahan dia melepaskan cengkeramannya. Lalu menoleh pada Reka Ananta.
“Racun itu sungguh jahat! Dia telah menjadi manusia tak berguna!” berkata perwira ini lirih. Diam-diam hati Windu Pati bergidik, seandainya tadi dia tak bersikap waspada tentu bukan mustahil dirinya yang akan mengalami hal seperti itu kalau akibatnya tak akan jauh berbeda dengan laki-laki itu. Tiba-tiba hatinya tersentak. Dia menatap Reka Ananta tajam.
“Celaka....! Jangan-jangan di telah menaruh racun pula di air minum yang disuguhkan para prajurit....!”
Tak menunggu jawaban laki-laki tua itu dan si perwira muda melompat dari ruangan itu ke arah ruangan depan. Terlambat! Ketika perwira muda itu tiba diruang depan pesanggrahan, tampak sebelas orang prajurit bawahannya dalam keadaan berjalan terhuyung kesana kemari tanpa tujuan, tak bedanya dengan Sakera laki-laki yang telah dicekok serbuk racun.
Reka Ananta yang menyusul ke belakang Windu Pati hanya bisa membelalakkan mata terperangah. “Kita terlambat, Windu Pati...” berdesis laki-laki tua.
“Ya... kita memang terlambat!” keluh perwira muda ini dengan wajah berubah mengelam.
Saat itu delapan orang murid ayahnya tampak berlari-lari menghadap si perwira muda. Wajah-wajah mereka kesemuanya tampak pucat ketakutan. “Kami.... kami tak tahu mengapa para prajurit jadi demikian...? Kami benar-benar tak mengetahuinya, Raden...!” salah seorang memberi laporan.
Windu Pati mengangkat tangannya. “Bangunlah! Kalian tak bersalah apa-apa. Penyebabnya adalah rekan kalian sendiri yang bernama Sakera! Apakah kalian mengenalnya?”
“Sakera...?” sentak mereka hampir serempak.
“Ya! Dia yang telah menaruh racun jahat itu di air minum. Bahkan juga menyuguhkan air yang telah diberi ramuan kepadaku!“
Seketika delapan murid perguruan Matahari itu terperanjat. “Sakera belum lama menjadi murid di perguruan ini. Rupanya dia seorang penjahat yang menyelundup...?” berkata salah seorang.
“Dialah orang yang memberitahu pertama kali, dan melihat kamar pribadi guru pintunya terbuka. Ketika kami memeriksa, ternyata guru tidak ada. Dan kami menemukan surat ancaman itu tergeletak diatas meja kamar guru...” salah seorang memberikan keterangan.
“Keparat! Dimana manusia itu. Akan kugorok batang lehernya!” Salah seorang murid perguruan Matahari mencabut senjatanya dari pinggang, lalu melompat dari itu.
Tapi segera dicegah oleh Windu Pati. “Tahan! Tak kuizinkan dari kalian membunuhnya. Dia ada diruang belakang. Nasibnya tak berbeda dengan nasib para prajuritku. Mungkin lebih parah lagi. Tangkap manusia itu, dan masukkan dalam kamar tertutup. Dia akan menjadi bukti dihadapan Kanjeng Adipati bahwa dialah manusianya yang telah meracuni para prajurit!”
Selesai Windu Pati berkata, maka berhamburanlah delapan murid perguruan Matahari untuk meringkus laki-laki bernama Sakera itu. Tentu saja dengan mudah tanpa perlawanan sama sekali, Sakera dapat diringkus. Tak urung beberapa orang menghajarnya juga, karena tak dapat menahan rasa geram dan marahnya. Sakera diseret dengan tubuh terikat dan dimasukkan dalam ruangan tertutup, lalu dikunci dari luar.
Windu Pati kemudian memerintahkan mereka membuang semua air minum, dan makanan. Untunglah tak seorang dari murid perguruan Matahari yang sempat meminum air dan memakan makanan yang telah dibubuhi racun oleh laki-laki bernama Sakera itu. Sakera diduga seorang anak buah si Awan Hitam yang sengaja diselundupkan di perguruan itu...
Walaupun belum jelas, karena bisa saja Sakera adalah seseorang yang mengambil kesempatan menangguk diair keruh. Memanfaatkan situasi untuk mengambil keuntungan. Dengan diracunnya semua orang yang berada ditempat itu, bukankah dengan mudah dia menggondol uang emas dan perhiasan yang dibawa oleh Windu Pati...?
WANITA BERCADAR HITAM ITU melemparkan tubuh Jumanti ke atas pembaringan beralas kulit harimau. Dalam keadaan tubuh masih tertotok, sehingga gadis itu tak mampu berbuat sesuatu la-gipula apa artinya perlawanan baginya? Dia tak lebih dari seekor pelanduk yang berada dicengkeram seekor harimau betina.
Sejak berada di atas pundak si Awan Hitam da-lam perjalanan ke tempat itu Jumanti tak habis-habisnya menyesali nasib dirinya, dan mengutuk si Awan Hitam yang telah memperalatnya. Jumanti sadar bahwa dirinya telah berada dalam genggaman tangan seorang manusia yang berjiwa aneh, dan mempunyai kelainan jiwa. Juga berwatak kejam dan sadis!
Selain itu wanita itu juga berilmu tinggi, dan banyak tipu muslihatnya yang licik. Awan Hitam mempunyai beberapa orang anak buah yang kesemuanya laki-laki. Mereka bekerja secara rahasia. Diantaranya ada seorang anak buahnya yang bernama Sakera. Jumanti yang telah disekap selama beberapa bulan ditempat persembunyian itu sangat tahu persis.
Dan kesemua anak buahnya tak ada seorangpun yang berani menyeleweng dari perintahnya. Setiap hasil rampokan akan disetorkan pada si Awan Hitam. Termasuk juga gadis-gadis yang berhasil diculiknya. Gadis yang tertawan biasanya akan di jadikan korban dari pelampiasan nafsu bejat si Awan Hitam yang diluar garis kodrat manusia.
Setelah puas atau bosan, kemudian si gadis baru diserahkan pada anak buahnya. Tentu saja dia memberikan kebebasan pada setiap anak buahnya untuk menikmati kehangatan tubuh gadis-gadis itu. Namun dalam jangka waktu yang telah ditentukan si gadis harus mereka bunuh. Demikian lihai dan licinnya si Awan Hitam dalam memberi petunjuk pada setiap orang-orangnya, hingga sampai saat ini tak seorangpun dari anak buahnya yang tertangkap.
Bahkan sampai saat ini tempat persembunyian wanita itu belum ada seorangpun yang mengetahuinya. Setiap anak buahnya akan dibekali semacam serbuk racun yang dapat membuat orang mati rasa dan tak dapat berpikir apa-apa, tak ubahnya seperti orang dungu.
Jumanti tampaknya sangat diistimewakan oleh si Awan Hitam. Nasibnya bagus, karena sampai saat ini wanita yang punya kelainan jiwa itu belum melemparkan dirinya kepada anak-anak buahnya, yang untuk selanjutnya akan dilenyapkan nyawanya. Seperti nasib para korban lainnya.
Kemunculan Nanjar yang diketahui bergelar si Dewa Linglung alias Pendekar Naga Merah ternyata telah tercium oleh Awan Hitam, atas laporan orang-orangnya. Begitu rapinya wanita itu menyembunyikan jejak, dan rahasia dirinya yang terselubung. Hingga walaupun orang bisa mengetahui gelarnya, tapi tak mengetahui dimana markas persembunyiannya berada. Bahkan orang tak akan mengira kalau dirinya adalah seorang wanita!
Mengetahui kalau jejaknya tengah dilacak oleh pendekar itu, diam-diam dia memasang perang-kap. Hingga dia berhasil memperdayakan si Dewa Linglung melalui umpan yang dilakukan oleh Jumanti. Ternyata Awan Hitam menginginkan pedang mustika Naga Merah Nanjar.
Dengan serbuk racun yang membangkitkan birahi dicampur dengan serbuk racun yang dapat membuat orang menjadi dungu, dia berhasil memiliki dua buah pusaka si Dewa Linglung. Namun wanita itu ingkar janji untuk membebaskan Jumanti, dan kembali menawan gadis itu. Bahkan sebelumnya telah menculik ayah Jumanti, yaitu ketua perguruan Matahari.
JUMANTI MASIH TERMANGU dengan tubuh kaku tak dapat digerakkan. Ketika selang sesaat wanita itu muncul lagi dari ruang dalam. Tampaknya dia berlebih dulu menyimpan barang-barang rampasan milik Nanjar, baru kemudian kembali ke kamar pribadinya dimana tampak gadis itu masih terbaring seperti tadi dipembaringan.
Melihat kemunculan si Awan Hitam, wajah Jumanti tampak kelihatan pucat. Seperti dia sudah menduga apa yang akan dilakukan wanita itu. Tampak wanita yang telah membuka cadar hitamnya itu menghampiri, sementara gadis ini merasakan jantungnya berdetak keras.
Sepasang matanya menatap tajam gadis itu, dan tampak membinar-binar. Lalu berdiri didepan Jumanti. Gadis ini mengatupkan matanya. Sikapnya tampak tegang menanti apa yang akan terjadi.
“Adik manis...! Aku akan membuka totokan ditubuhmu. Tapi kali ini kau harus melayaniku sebaik mungkin....!” berkata wanita ini lirih.
Jumanti tetap mengatupkan matanya. Dia menyahut dengan suara menggetar. “Tidak! Aku tak mau melakukan perbuatan gila ini! Aku... Aku sudah hampir gila rasanya! Lepaskan aku! atau... lebih baik kau bunuhlah aku sekarang juga!” Setelah berkata demikian, gadis ini menangis terisak-isak.
Wanita ini hanya tersenyum. Senyum yang sangat kaku. Akan tetapi tampaknya dia sudah tak dapat menahan hasrat. Hasrat yang telah ditahan sejak siang tadi ketika melihat kejadian didalam kamar tempat menjebak si pendekar muda Dewa Linglung.
Lengannya bergerak menanggalkan jubahnya. Lalu melepaskan penghalang bagian-bagian tubuhnya yang terlarang. Kemudian dia menggeraikan rambutnya yang panjang lebat. Lalu... dengan sekali sentak dia telah menarik kain penutup tubuh gadis itu.
Jumanti membelalakan mata. Tubuhnya yang kini tak tertutup sehelai benang tampak semakin menggetar. Wajahnya semakin memuncat. Akan tetapi pandangan mata si Awan Hitam kian berkilat-kilat menatap ke sekujur tubuh dara itu. Napasnya memburu...
“Kau harus mau, adik manis... apakah kau tak sayang nyawa ayahmu?” berkata si Awan Hitam. “Aku berjanji akan melakukan kau dengan lembut. Aku tak akan mencambukmu lagi. Dan., aku yakin kau akan merasakan perasaan yang berbeda kali ini!”
Ancaman itu tampaknya membuat gadis ini tak bisa berkata apa-apa. Dia sangat menyayangi ayahnya. Tapi bisakah dia mempercayai mulut wanita yang sudah mendustainya itu? Betapa menyesalnya dia telah men-jebak si pendekar Dewa Linglung bernama Nanjar itu. Mengapa dia tak berterus terang, dan mengatakan yang sebenarnya?
“Awan Hitam! Sadarkah kau bahwa kita sama-sama seorang perempuan? Sadarkah kau bahwa apa yang telah kau perbuat selama ini adalah perbuatan terkutuk? Kau telah melanggar kehendak Yang Maha Kuasa! Hidupmu penuh berlumur dosa! Mengapa kau tak mau menjadi manusia baik-baik. Walau kau dapat menguasai tubuhku dan berbuat sesukamu, tapi hatiku tidak rela!”
Mendengar kata-kata Jumanti yang demikian itu membuat kilatan mata wanita ini agak memudar. Lengannya yang sudah menjamah dada gadis itu dilepaskan. Dia menatap dengan pandangan kosong ke depan. Mendadak dia tertawa dingin, lalu berkata.
“Hihi... kau mengatakan mengapa aku tak mau menjadi manusia baik-baik? Hm, aku telah berusaha menjadi manusia yang paling baik, paling setia pada suamiku. Aku ingin hidup tenteram dan bahagia...! Tapi apa yang kudapatkan? Suamiku menyeleweng dengan gadis lain, dengan perempuan yang lebih cantik dariku! Dia mulai tak mengacuhkan aku. Aku tak dihargai lagi sebagai seorang istri...! Betapa sakitnya hatiku dapat kau bayangkan!
"Dengan hati hancur kutinggalkan suamiku! Aku pergi jauh, jauh sekali... Kemudian aku berguru dan menuntut ilmu. Sejak aku turun gunung, aku telah patah hati dan membenci laki-laki! Kemudian... aku mulai menyelami kehidupan manusia yang berjenis kelamin laki-laki! Ternyata laki-laki lebih tinggi derajatnya dari kaum perempuan! Aku mulai berpikir, mengapa aku tak ditakdirkan jadi laki-laki?
"Laki-laki seenaknya saja me-nyakiti hati perempuan. Dia dapat mempunyai istri banyak, dan bebas melakukan apa saja. Tidak seperti perempuan yang harus menurut perintah suami. Sejak itu pikiranku sering mulai dirasuk keinginan untuk menjadi seorang laki-laki. Kupikir akupun bisa berbuat seperti laki-laki! Kemudian akupun mencobanya.
"Dan ternyata aku bisa mendapat kepuasan lebih dari yang telah aku rasakan. Aku bisa berkuasa seperti laki-laki, dan bersikap kasar seperti laki-laki. Dulu sewaktu aku masih menjadi seorang istri. Aku sering dicambuk dan didera untuk mendapatkan kepuasannya. Kini akupun bisa berbuat seperti itu...! Nah! kau paham bukan...? Betapa sukarnya menjadi orang baik-baik!”
Awan Hitam mengakhiri kata-katanya. Dia menatap gadis itu tajam-tajam, seperti menunggu reaksi atas apa yang telah diceritakannya.
“Kau telah keliru, dan salah jalan, Awan Hitam! Seharusnya kau tak bertindak seperti itu terhadap kaummu sendiri. Bukan saja kau telah menipu dirimu sendiri, akan tetapi juga merusak jiwamu sendiri! Tak semua laki-laki akan bersipat begitu. Dan tak semua laki-laki memandang rendah kaum perempuan. Derajat manusia tak diukur dari perbedaan jenisnya, tapi dari keluhuran budi pekerti...! Kau melihat seekor binatang? Binatang adalah lebih rendah derajatnya dari manusia.
"Tapi kalau manusia bertingkah buruk maka derajatnya akan lebih rendah dari binatang! Mengapa kau sebagai manusia menuruti tingkah laku mirip binatang? Kau bukan saja melakukan kejahatan merampok harta benda, tapi juga membunuh dan mempermainkan sesama jenismu, mengikuti hawa nafsu iblis yang lebih jahat dari binatang.“
Kata-kata tajam Jumanti seperti sebatang jarum yang menancap di ulu hatinya dirasakan oleh si Awan Hitam. Mata wanita ini mendelik lebar.
“Kau-kau menganggap aku lebih jahat dari binatang...” bentaknya dengan suara menggetar menahan marah. Tangannya menjambak rambut Jumanti.
Gadis ini meringis menahan sakit, dengan menggigit bibirnya. Namun matanya tak berkedip menatap wanita dihadapannya. Tampaknya Jumanti telah menantang kematian. Lebih cepat wanita itu menurunkan tangan maut, akan lebih baik baginya dari pada harus tersiksa lahir dan batin.
"CUKUP AWAN HITAM! Kejahatanmu telah melebihi takaran! Jangan kau menambah dosa lagi! Menyerahlah! Kau harus mempertanggung jawab-kan perbuatanmu!”
Bentakan lantang menyambar gendang telinga si Awan Hitam. Tentu saja membuat wanita ini terkejut bagai disambar geledek, dan tanpa sadar dia melepaskan cengkeramannya pada rambut gadis itu.
Ketika dia membalikkan tubuh, alangkah terperanjatnya dia melihat seorang pemuda berambut gondrong telah berdiri dihadapannya. Di lengannya tercekal sebatang pedang yang masih berada dalam serangka, dan sebuah seruling tulang berkepala Naga terselip dipinggangnya.
“Pendekar Dewa Linglung!?” Sentak Jumanti yang mengenali pemuda itu. Akan halnya si Awan Hitam detik itu juga menyambar pakaiannya, dan…
Brak! Lengannya menghantam hancur jendela kamar. Detik selanjutnya tubuhnya berkelebat melesat keluar jendela dan lenyap merambas masuk ke dalam hutan. Melihat si Dewa Linglung tahu-tahu muncul dikamar pribadinya dengan keadaan segar-bugar, Awan Hitam terkejut setengah mati, dan langsung melarikan diri. Ternyata Nanjar tak mengejar. Sekali melompat dia telah mendekati Jumanti, dan lengannya bergerak membuka totokan ditubuh gadis itu.
“Cepat cari pakaianmu, dan tutupi tubuhmu!” ujar Nanjar sambil berpaling.
Jumanti sesaat terpaku. Seperti mimpi rasanya dia melihat pemuda gagah itu ternyata masih segar bugar. Bahkan telah menolong dirinya. Namun tak ayal segera dia melompat dari pembaringan, dan menyambar kain yang teronggok dilantai kamar. Lalu berdiri disudut kamar.
“Kak Nanjar...! Maafkan aku...! Aku.... t... te-lah...”
“Sudahlah! Aku sudah mengetahui semuanya. Kau tak bersalah apa-apa...!” sahut Nanjar, seraya lambat-lambat dia berpaling menatap gadis itu. Melihat Jumanti telah membungkus tubuhnya dengan kain, Nanjar menghela napas lega.
Dan tatapan kedua pasang mata itu saling beradu. Tampak sepasang mata Jumanti berkaca-kaca. Bibirnya tersenyum agak kaku, seperti sukar rasanya dia menggerakkan bibirnya. Akan tetapi tiba-tiba mulut dara ini jadi ternganga. Matanya membelalak. Apakah yang dilihatnya? Ternyata sosok tubuh pemuda gondrong itu perlahan-lahan melenyap, dan sirna dari pandangan matanya.
“Ahh...!? Apakah aku bermimpi?” sentak Jumanti tersentak. Akan tetapi dia merasa tidak tengah bermimpi. Bahkan dia mencoba mencubit lengannya, dan terasa sakit. Tiba-tiba jantungnya melonjak keras. Dalam benaknya terbayang ketika tubuh pendekar muda itu terkapar dilantai kamar, dalam rumah yang dipergunakan untuk memperdayakannya.
Tubuh yang membugil itu ditendang oleh si Awan Hitam, dan terlempar ke sudut ruangan tanpa sedikitpun bergerak lagi. Dia tak mengetahui lagi apakah pendekar muda itu hidup atau mati, atau cuma pingsan saja...? Bisa saja dia mati karena hantaman pukulan si Awan Hitam yang telah membokongnya. Dan kalau pendekar itu memang benar-benar telah mati, tentu yang barusan muncul adalah hantunya....!
Memikir demikian gadis ini keluarkan keringat dingin ditengkuknya. Tapi kemudian memikir lagi, apakah pendekar gagah itu memiliki ilmu halimun hingga bisa melenyapkan diri? Seribu tiga pertanyaan memenuhi benaknya, tapi selang sesaat segera gadis itu melompat cepat memasuki ruangan rahasia si Awan Hitam.
Matanya mencari-cari pakaian wanita itu yang mungkin bisa dipakainya. Dia tahu saat itu wanita itu pasti sudah kabur tunggang langgang. Tampaknya dia sangat ketakutan melihat kemunculan si Dewa Linglung secara tiba-tiba dalam ruangan kamar pribadinya yang tertutup.
Tak memakan waktu lama dia menemukan seperangkat pakaian si Awan Hitam. Dan tanpa buang waktu segera mengenakannya. Baru saja dia mau beranjak keluar, tiba-tiba dia merandek. Benaknya memikir...
“Hm, dikamar inilah iblis perempuan itu menyimpan harta rampokannya...”
Disaat matanya tengah menjalari sekitar ruangan itu memperhatikan barang-barang hasil rampokan, tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada benda yang menggantung di dinding. Mata Jumanti membelalak... dan sekali lengannya bergerak, dia telah menyambar kedua buah benda itu.
“Aneh...! Bukankah ini pedang dan seruling milik pendekar muda itu? Mengapa masih berada disini?” sentak gadis ini dalam hati. Tentu saja dia terheran. Karena jelas tadi dia melihat kedua benda yang dirampas si Awan Hitam telah berada di tangan Nanjar. Dalam herannya dia termangu-mangu.
Tapi segera sembunyikan pedang itu di belakang punggung dibalik pakaiannya. Sedangkan seruling tulang diselipkan dipinggang, dibalik pakaian. Tak membuat waktu Jumanti melompat keluar dari ruangan kamar pribadi si Awan Hitam. Akan tetapi baru saja dia tiba diluar, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Awan Hitam! Manusia iblis kau telah terkurung! Jangan coba-coba melarikan diri!”
Bersamaan dengan terdengarnya bentakan itu, belasan sosok tubuh tahu-tahu telah mengurungnya. Tentu saja membuat gadis ini terperanjat bukan main. Yang membentak ternyata tak lain dari seorang la-ki-laki berpakaian orang Kerajaan. Dialah Tumenggung GALIH PINUTUR yang muncul bersama anak buahnya disarang persembunyian si Awan Hitam.
“Tahan...! Aku bukan si Awan Hitam!” teriak Jumanti.
Akan tetapi Tumenggung ini kembali membentak. “Penipu busuk! Seribu kali kau berganti muka, jangan harap aku tak akan mengenali!” Selesai membentak dia berpaling pada anak-anak buahnya.
“Cepat telan pil penawar racun! Perempuan sesat ini memiliki pukulan uap beracun yang ganas!”
Mendengar perintah itu, segera belasan prajurit anak buahnya merogohkan lengan di masing-masing ke saku bajunya. Tampaknya mereka telah mempersiapkan terlebih dulu. Dan hampir secara berbarengan mereka menelan benda kecil menyerupai butir pel itu. Tumenggung ini kembali membentak Jumanti yang berdiri dengan mulut ternganga karena herannya.
“Kau tak akan dapat mengelabui aku lagi, Awan Hitam. Ternyata perampok ulung dan penculik ga-dis-gadis itu sebenarnya bukan seorang laki-laki? Haha...pantas! Pantas kami orang Kerajaan sukar melacak jejakmu! Tapi kali ini kau tak akan dapat meloloskan diri lagi, iblis betina!”
“Gila! Aku benar-benar disangka si Awan Hitam! Celaka...!? Oh, apakah karena aku mengenakan pakaian si Awan Hitam?” melengak Jumanti.
Namun dia tak dapat berpikir lagi. Dalam saat seperti itu penjelasannya akan sia-sia saja. Tak ada jalan lain baginya selain mempertahankan diri. Mendadak dia teringat pada pedang milik pendekar Dewa Linglung yang terselip dibalik pakaian dibelakang punggungnya. Demi melindungi keselamatan jiwanya terpaksa dia mencabut senjata itu.
Melihat cahaya merah yang memancar dari benda pedang aneh berbentuk seekor naga yang menjulurkan ekornya berada ditangan Jumanti, sepasang mata Tumenggung Galih Pinutur tampak berkilat-kilat.
“Pedang mustika Naga Merah...!?” sentaknya dalam hati. Tapi segera dia membentak dingin. “Bagus! Ternyata kau telah mencuri pedang pendekar muda berjulukan si Dewa Linglung itu? Hm, ternyata kau benar-benar seorang perampok ulung! Tapi jangan harap kau dapat meloloskan diri dari kematian! Pedang mustika itu harus dikem-balikan pada pemiliknya!”
Selesai berkata, laki-laki ini segera beri isyarat pada anak buahnya untuk menerjang. Sementara dia sendiri segera mencabut klewangnya dari pinggang.
Tak ada pilihan lain bagi gadis itu selain mempertahankan jiwanya. Menghadapi serangan dari segala jurusan dari para prajurit Kerajaan itu, Jumanti segera membentak keras dan memutar pe-dangnya.
PULUHAN TOMBAK DARI TEMPAT ITU.... Diatas dahan pohon tampak seseorang duduk bersila. Sepasang matanya terpejam. Siapa adanya pemuda berambut gondrong ini tiada lain dari Nanjar si Dewa Linglung.
Adalah hal yang aneh, karena tangan Nanjar saat itu tampak mencekal dua buah benda miliknya. Yaitu Pedang Mustika Naga Merah, dan seruling tulang kepala naga. Selang sesaat Nanjar tampak membuka matanya. Bibirnya tersenyum menatap pedang dan seruling ditangannya. Kemudian dia melompat bangun.
“Hm, sejak aku memiliki ilmu Sihir Putih warisan si Raja Penyihir Sinting baru kali ini aku menggunakan aji yang disebut Melepas Sukma! Ingin kulihat, apakah gadis itu benar-benar terlepas totokannya. Dan kukira sudah saatnya aku meringkus manusia bergelar si Awan Hitam itu...” mendesis Nanjar.
Setelah menyelipkan seruling tulangnya dipinggang, Nanjar berkelebat turun dari dahan pohon, dan berkelebat cepat merambas hutan belantara...
SEMENTARA ITU pertarungan tak seimbang antara seorang gadis menghadapi serbuan belasan prajurit Kerajaan dibawah pimpinan Tumenggung Galih Pinutur baru saja berlangsung. Ketika Jumanti memutar pedang Naga Merah.
Maka memancar sinar merah berkredepan membuat mata para prajurit yang menerjangnya dengan tombak-tombak terhunus menjadi silau. Akan tetapi tiga orang prajurit telah menyerang dari samping kanan dan kiri serta dari belakang. Tiga batang tombak meluncur deras.
Trangng...!
Gadis itu membalikkan tubuh dan menangkis dengan sambaran pedangnya. Akibatnya membuat mata ketiga prajurit itu membelalak, karena masing-masing tombak mereka telah putus tertabas.
Tumenggung Galih Pinutur yang melihat ketajaman pedang mustika itu sejenak terpaku. Sepasang matanya tambah berkilat-kilat. Tiba-tiba dia membentak nyaring. “Semua mundur!”
Tak sampai dua kali dia memberi perintah, belasan prajurit itu segera melompat mundur. Akan tetapi tiba-tiba terjadilah keanehan ditempat itu. Tampak para prajurit itu sama berteriak dan melepaskan senjatanya. Tubuh mereka terhuyung-huyung dengan mata mendelik dan lidah terjulur.
Masing-masing prajurit memegangi leher dan perut yang mereka rasakan seolah-olah terbakar. Selang sesaat satu persatu menjerit dan roboh bergelimpangan.
Tentu saja kejadian itu membuat Jumanti terheran. Akan tetapi dia segera menemukan jawa-bannya, ketika tiba-tiba Tumenggung Galih Pinutur melompat mendekati dirinya. Gadis ini terkejut dan menyilangkan pedangnya didepan dada. Tapi laki-laki itu segera berkata sambil menyimpan senjatanya.
“Jangan takut, gadis manis...! Simpanlah pedang rampasan itu. Kau dapat memilikinya kalau kau mengingini! Aku tak akan berbuat apa-apa. Kita orang sendiri...!”
“Apa maksudnya semua ini? Mengapa kau membunuh para prajuritmu sendiri dengan menyuruh menelan pel beracun itu? Dan apa maksudmu dengan kata-kata Orang sendiri...?” bentak gadis ini dengan rasa curiga masih belum lenyap.
Tumenggung Galih Pinutur tersenyum mengelus jenggotnya yang cuma sejumput. “Aku tahu bahwa kau sebenarnya bukan si Awan Hitam! Bukankah kau anak gadis Ki Wikalpa ketua perguruan Matahari?” berkata laki-laki ini.
Jumanti melengak. Dia tak mengerti pada sikap dan perbuatan yang dilakukan Tumenggung itu. “Benar! Namaku Jumanti. Aku ditawan dan diperalat oleh si Awan Hitam. Saat ini aku tengah mencari jalan untuk meloloskan diri. Pedang mustika ini adalah milik si Pendekar Dewa Linglung yang telah dirampas oleh si Awan Hitam. Lalu apakah tujuanmu sebenarnya? Aku sama sekali tak menginginkan pedang rampasan ini. Bahkan aku akan mengembalikan pada pemiliknya!”
Tampaknya Tumenggung Galih Pinutur tengah memikir untuk mencari jawaban pertanyaan gadis itu. Disaat itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin, disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan tubuh manusia. Siapa yang muncul ternyata tak lain dari si Awan Hitam.
“Hihi...hik... rupanya kau mengakali aku, adik manis? Sejak kapan kau punya ilmu sihir hingga membuat mataku silap?”
Tentu saja gadis itu terkejut. Ketika dia berpaling, disaat itu pula lengan Tumenggung Galih Pinutur menghantam ke depan.
Plak!
Terlepaslah pedang mustika itu dari tangan Jumanti. Disaat si gadis tersentak kaget, secepat kilat laki-laki ini telah luncurkan lengannya menotok. Tak ampun lagi seketika itu juga dara ini mengeluh, dan roboh dengan tulang persendian kaku tak dapat digerakkan.
“Bagus!” berkata si Awan Hitam. Detik itu juga dia melompat untuk menjumput pedang Naga Merah yang terlempar. Tapi ternyata saat itu Tumenggung Galih Pinutur juga tengah melompat untuk memungut pedang tersebut. Namun gerakannya kalah cepat. Karena wanita itu telah menyambarnya terlebih dulu....
“Berikan pedang itu padaku, Awan Hitam!” bentak laki-laki ini dengan wajah berubah merah padam.
“Huh! Enak saja! Aku yang bersusah payah mendapatkannya, kau yang mau mengenyam hasilnya?” menyahut si Awan Hitam. Kemudian melanjutkan kata-katanya. “Silahkan kau bawa gadis itu untuk pemuas nafsumu! Tapi ingat! Kau hanya boleh pergi dengan tangan kosong. Tak secuilpun harta rampasan yang kukumpulkan kuperbolehkan kau membawanya!”
Berkerot geraham Tumenggung ini. Biji matanya membesar. Laki-laki ini membentak marah. “Kau bicara seenak perutmu saja, Martoleni! Walau kita masih satu perguruan tapi kita berbeda tempat! Kau di tempat kotor, dan aku ditempat bersih!”
“Huh! Percuma saja kau ditempat bersih, kalau ternyata dirimu sendiri kotor!” ejek si Awan Hitam.
Disaat kedua orang ini tengah saling bertengkar, dua sosok tubuh kira-kira lima puluh tombak dari tempat itu tampak berjalan cepat sambil bercakap-cakap dengan suara perlahan. Siapa adanya mereka tiada lain dari si Kepala Prajurit Windu Pati dan seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun lebih. Dialah Reka Ananta.
“Lihat paman! Tapak kaki kuda semakin banyak disini...” desis Windu Pati. Reka Ananta menganggukkan kepala. Lalu memperhatikan bekas-bekas tapak kaki kuda itu yang tampak ditanah dan rumput basah.
“Kukira rombongan berkuda itu rombongan laskar Kerajaan! Aku menemukan tanda pangkat ini..!” kata Reka Ananta seraya menunjukkan benda yang ditemukan diantara rerumputan. Ternyata sebuah lencana.
Hati Windu Pati tercekat. Dia mengambil benda itu dari tangan laki-laki tua itu. Lalu memperhatikan baik-baik. “Hm, ini lencana yang biasa dipakai oleh prajurit bawahan Tumenggung Galih Pinutur!” sentak perwira muda ini.
“Apakah Adipati memerintahkan Tumenggung Galih Pinutur juga untuk meringkus si Awan Hitam?” berkata Windu Pati.
“Bisa juga demikian...! Apakah kau tak mengetahui hal itu.” tukas Reka Ananta. Windu Pati menggeleng.
“Hm, mari kita teruskan pelacakan jejak kaki kuda itu, paman...!” kata perwira ini seraya menyimpan benda itu dalam saku bajunya. Keduanya segera merambas semak belukar mengikuti tapak-tapak bekas kaki kuda.
Reka Ananta yang merambas semak sebelah kanan mendadak merandek, dia berkata perlahan, “Aku melihat banyak jejak kaki berterompah kulit ditempat ini!”
“Tunggu! Beri tanda tempat yang kau temukan itu, paman... dan cepat kemari!” kata Windu Pati.
Reka Ananta mengiyakan. Setelah mematahkan sebatang ranting kayu, dia menemui pemuda itu yang melacak ke sebelah kiri. “Apakah yang kau temukan?” tanya laki-laki ini.
“Aku mendengar suara ringkik kuda dibalik semak sana...!”
“Mari kita melihatnya!” sentak Reka Ananta. Bergegas keduanya merambas semak. Tapak kaki kuda memang tak kelihatan lagi karena tempat itu agak gelap dari rimbunnya pepohonan yang meneduhi.
Akhirnya mereka berhasil menemukan tiga ekor kuda ditengah semak belukar. Ketiga ekor kuda itu dalam keadaan tertambat pada masing-masing tali yang diikatkan ke batang pohon.
“Tak salah dugaanku! Kuda hitam kekar itu milik Tumenggung Galih Pinutur...!” berkata Windu Pati dengan berbisik. Kemudian dia memberi isyarat pada Reka Ananta untuk kembali ke tempat tadi.
Tak lama keduanya telah mengikuti jejak tapak-tapak kaki beralas terompah kulit yang ditemui oleh Reka Ananta. Selang sesaat.... “Tapak-tapak kaki lenyap! Kukira mereka berpencar!” desis Reka Ananta.
Windu Pati mengangguk membenarkan, seraya ujarnya. “Jelaslah kalau Tumenggung Galih Pinutur telah turut serta dalam tugas ini. Bagus! kita telah gagal mengatur rencana membekuk manusia bergelar Awan Hitam itu. Hal ini menguntungkan bagi kita, karena kita tak mengetahui dimana adanya markas si Awan Hitam. Bagiku tak menjadi soal, apakah Tumenggung Galih Pinutur yang berhasil meringkus manusia itu, dan dia yang mendapat penghargaan. Penghargaan yang memang patut diterimanya dari Kanjeng Adipati. Yang penting aku bisa mengetahui bagaimana nasib ayah dan adikku...!”
“Aku setuju dengan pendapatmu, Windu Pati! Keselamatan ayah dan adikmulah yang paling penting!” tukas Reka Ananta. Diam-diam dalam hati laki-laki ini memuji kebersihan jiwa si perwira muda itu.
Keduanya segera beranjak maju. Mereka menduga tempat yang dituju tak jauh lagi. Benar saja mereka telah melihat sebuah bangunan kayu beratap rumbia berada di tengah kerimbunan pohon-pohon besar. Baru saja menindak kurang lebih lima belas langkah, mendadak mereka mendengar suara orang bertengkar mulut.
Cepat-cepat Windu Pati memberi isyarat agar tak bergerak dulu. Terdengar suara seorang wanita membentak. “Tidak! Kau kembalilah ke Kota Raja! Jangan hiraukan aku!”
Kemudian terdengar suara laki-laki. “Aku sudah memutuskan untuk berhenti jadi Tumenggung. Aku bosan diperintah Adipati. Kukira lebih enak jadi petualang! Aku bisa hidup bebas seperti dulu.”
Itulah suara Tumenggung Galih Pinutur. Windu Pati melengak heran. “Siapakah wanita itu, dan apakah yang menyebabkan Tumenggung itu mau mengundurkan diri?” perwira Kerajaan ini berkata dalam hati.
Karena penasaran pemuda ini segera melompat keluar dari tempat persembunyian. Alangkah terperanjatnya Windu Pati ketika melihat belasan prajurit Kerajaan bergeletakan ditempat itu. Dalam terkejutnya dia berteriak tertahan.
Tentu saja teriakan kaget itu membuat Tumenggung Galih Pinutur terkejut dan menoleh kebelakang. Seketika berubah wajahnya melihat Windu Pati si Kepala Prajurit itu muncul bersama seorang laki-laki seusia dirinya. Segera dia mengetahui siapa adanya laki-laki itu.
“Windu Pati... dan si ketua perguruan Trisula Dewa?” desisnya terkejut. “Edan! Apa yang terjadi dengan SAKERA? Apakah dia gagal meracun anjing Adipati ini dan sebelas anak buahnya?” berkata Tumenggung dalam hati. Dalam situasi seperti ini ternyata Tumenggung Galih Pinutur tiba-tiba berubah haluan. Mendadak dia membentak keras pada wanita itu.
“Perempuan bejat hina dina! Dosamu sudah tak terampuni, Awan Hitam! Setelah kau membunuh belasan orang prajuritku, kau mengajak aku bekerja sama dalam kejahatan? Walaupun kau memberikan padaku lebih dari separuh dari harta rampokan itu jangan harap aku sudi mengampuni jiwamu!” Tumenggung Galih Pinutur menutup kata-katanya dengan hantaman keras ke arah batok kepala wanita itu.
Melihat datangnya serangan, Awan Hitam miringkan tubuhnya ke samping. Namun Tumenggung itu kembali merangsak dengan serangan se-rangan susulan. Terpaksa wanita ini gunakan pedangnya untuk menabas dan balas menyerang. Ternyata wanita ini memiliki kegesitan tubuh yang mengagumkan. Beberapa kali jotosan lengan dan tendangan kaki Tumenggung itu berhasil dielak-kan.
Whuuut! Whuuut!
Cahaya merah membias udara. Tumenggung Galih Pinutur tersentak kaget. Terasa hawa dingin menyambar menyentuh kulit tubuh. Kalau saja dia tak lemparkan tubuhnya dan berguling ke samping, mungkin saat itu pinggangnya telah dapat tertabas pedang.
Sementara itu Windu Pati dan Reka Ananta berdiri dengan terpaku menatap kearah pertarungan. Disamping heran karena mendengar disebutnya wanita itu dengan sebutan Awan Hitam, mereka juga kesima melihat pedang berbentuk aneh yang memancarkan cahaya merah ditangan wanita itu. Bahkan mereka terkejut melihat sambaran pedang itu nyaris mencelakai Tumenggung Galih Pinutur.
Disaat itulah tiba-tiba mata Windu Pati terbentur pada sesosok tubuh wanita yang tergeletak tak jauh dari pertarungan. Jantungnya melonjak... dan detik itu juga dia melompat ke arah gadis yang terkapar itu untuk melihat lebih jelas. Membelalak seketika mata Windu Pati mengetahui wanita itu tak lain dari adik perempuannya.
“Jumanti...!?” teriaknya dengan terperanjat.
Disaat itu Tumenggung Galih Pinutur berguling kearahnya. “Dia cuma pingsan saja! Cepat kalian bereskan wanita iblis itu! Dialah si Awan Hitam! Biar aku merawat lukanya. Adikmu telah terkena racun ganas akibat pukulan Uap Beracun wanita telengas itu!” berbisik Tumenggung ini.
Dalam saat seperti itu sukar bagi Windu Pati untuk tidak mempercayai apa yang diucapkan si Tumenggung. Dia bangkit berdiri, dan mencabut sepasang pedang tipisnya dari pinggang. Wajahnya mengelam, giginya berkerot. Pemuda ini membentak keras seraya melompat kedepan wanita itu.
“Benarkah kau si Awan Hitam?!”
Orang yang dibentak tersenyum dingin. Matanya berkilat melihat pemuda dihadapannya. “Tidak salah perwira gagah! Hihi...tentunya kau anak sulung Ki Wikalpa yang berdiam di Kota Raja? Bagus! Kedatanganmu memang telah kunantikan. Ayahmu telah menjadi manusia tak berguna. Aku telah memberi dia minum serbuk racun yang paling ganas! Rupanya kau beruntung tak bernasib buruk seperti sebelas orang anak buahmu...!”
“Keparat! Sudah kuduga laki-laki bernama Sa-kera itu adalah anak buahmu! Kau.... kau benar-benar licik! Tapi aku belum percaya sepenuhnya bila seorang perempuan sepertimu telah melakukan pemerkosaan terhadap sesama jenismu!”
Walaupun saat itu dada Windu Pati rasanya seperti mau meledak karena marahnya mendengar apa yang telah dilakukan wanita itu, tapi dia masih bisa menahan diri.
“Hihi...hik... aku memang punya kelainan jiwa, anak muda! Aku benci pada semua laki-laki, termasuk Tumenggung itu, juga ayahmu sendiri!”
“Ayahku....?” sentak Kepala Prajurit ini.
“Benar! Ayahmu adalah manusia yang paling kubenci. Tahukah kau Windu Pati? Aku adalah bekas isterinya sebelum tua bangka itu memperisterikan ibumu! Dua belas tahun yang lalu aku telah membunuh perempuan yang telah merebut suamiku itu, yaitu ibumu. Aku telah mencekok ibumu dengan serbuk racun yang menghantar nyawanya ke liang kubur.
"Waktu itu nasib ayahmu masih bagus, karena aku tak membunuhnya. Cukup dengan aku memotong sebelah kakinya sebagai pembalasan dendamku terhadap dirinya. Sengaja kubiarkan dirinya tetap hidup. Karena suatu ketika aku akan menyiksanya lebih kejam dari siksaan yang telah kualami semenjak aku menjadi isterinya! Namun hatiku belum puas belum menghancurkan seluruh keturunannya!”
Bagaikan mendengar petir mengguntur disiang hari, Windu Pati tersentak kaget. Dia sama sekali tak menyangka kalau wanita itu ada sangkut paut dengan keluarganya. Disaat itulah tiba-tiba dengan gerakan cepat sekali wanita itu menusukkan pedang ditangannya ke dada Windu Pati.
Akan tetapi pada detik yang sama tiba-tiba sebutir batu kecil telah menghantam badan pedang, bahkan lebih cepat dari gerakan luncuran pedang itu. Seketika pedang Naga merah terlepas dari tangan wanita itu. Windu Pati bagai baru tersadar dari kesimanya. Dia melompat kebelakang dengan jantung menyentak. Nyaris nyawa melayang....
Sesosok tubuh berkelebat dari balik pepohonan. Hal itu tak luput dari mata si Awan Hitam. Dengan cepat dia menyambar pedang yang menancap ditanah tak jauh darinya. Hatinya mencelos ketika melihat siapa yang muncul ditempat itu.
“Pendekar Dewa Linglung...!?” sentaknya dalam hati. Secara tak sadar dia mundur dua langkah. Matanya menatap tajam si pemuda gondrong.
“Haha... rupanya tukang perkosa gadis itu seorang perempuan gendeng? Pantas sukar aku melacak jejak!”
Kalau Windu Pati menatap dengan pandangan kagum melihat pendekar yang bergelar si Dewa Linglung itu ternyata seorang pemuda gagah berambut gondrong. Si Awan Hitam menatapnya dengan terheran. Karena ditangan pemuda itu tercekal juga sebuah pedang yang sama dengan yang berada ditangannya.
“Apakah pendekar ini memiliki sepasang pedang yang sama bentuknya?” berkata si Awan Hitam dalam hati. Mendadak dia teringat pada kejadian tadi dimana pemuda itu muncul dikamar pribadinya. Jelas di melihat pedang dan seruling tulang kepala Naga telah berada ditangan pemuda gondrong itu. Kalau saja dia tak dalam keadaan telanjang bulat mungkin tak nantinya dia kabur dengan mendobrak jendela.
“Hm, Dewa Linglung! Rupanya kau memiliki sepasang pedang mustika! Kalau kau mau bergabung denganku, tentu kita akan menjadi sepasang tokoh Rimba Hijau yang sukar terkalahkan!” berkata wanita ini dengan nada rendah.
Diam-diam wanita ini mengagumi kehebatan pendekar muda ini yang telah mampu memunahkan racun dalam tubuhnya. Padahal racun yang dibekalkan pada Jumanti adalah lebih keras dari racun lainnya. Satu hal yang aneh adalah sosok tubuh yang muncul dikamar pribadinya. Benarkah pemuda itu sendiri yang telah memasuki kamarnya, ataukah dia cuma tertipu pandangan mata saja? Keragu-raguan tampak jelas membayang pada raut muka wanita ini.
“Baik! Aku bersedia bergabung denganmu asalkan kau berikan harta rampasan itu padaku semuanya!” berkata Nanjar sambil tersenyum. Tapi Nanjar meneruskan lagi ucapannya. “Juga sekalian kau serahkan dirimu untuk kuringkus!”
Walau nyalinya agak menciut dengan munculnya pendekar muda yang misterius itu, namun wanita ini masih mampu membentak marah. “Bocah jumawa! Kau hadapi pedangmu sendiri!” seraya membentak wanita ini menerjang dengan sambaran pedang ditangannya.
Akan tetapi disaat itu Dewa Linglung sudah berkelebat ke samping, dan melompat ke atas dahan pohon. Diam-diam Nanjar menggunakan ilmu Sihir Putihnya.
“Haha... Awan Hitam! Kau keliru kalau menyangka aku memiliki sepasang pedang! Apakah kau tak melihat jelas benda yang kau pegang itu seekor kepiting? Apakah kau mau merebusnya untukku?”
Terperanjat seketika si Awan Hitam saat melihat pedang yang berada ditangannya tiba-tiba lenyap. Matanya membelalak lebar ketika dia melihat lengannya menggenggam seekor kepiting. Bahkan terasa binatang itu bergerak-gerak menggelitik telapak tangannya. Tanpa berpikir dua kali, wanita ini melempar binatang itu dari tangannya sambil menjerit terkejut.
Apa yang telah dilemparkan itu adalah masih berbentuk sebuah pedang, yaitu pedang mustika Naga Merah. Dan didetik itulah si Dewa Linglung dengan sebat menangkapnya. “Haha...haha... terimakasih, Awan Hitam. Kau telah mengembalikan pedangku! Tapi masih satu lagi benda yang belum kau kembalikan!”
Melotot mata si Awan Hitam melihat di tangan si Dewa Linglung tampak dua buah pedang yang sama. Tapi pedang Naga Merah satunya tiba-tiba lenyap secara aneh. Tahulah dia kalau dirinya kena tipu. Tapi hatinya tersentak karena mengetahui pemuda gondrong itu memiliki ilmu sihir yang luar biasa hingga dia tertipu oleh pandangan matanya sendiri. Merasa dirinya dalam bahaya, lalu wanita ini mengambil jalan pintas, berkelebat melarikan diri!
Melihat si Awan Hitam menghambur melarikan diri, Reka Ananta yang sedari tadi cuma diam terpaku ditempatnya, terdengar membentak keras, dan mengejar wanita itu. “Perempuan iblis, kau tak akan dapat meloloskan diri lagi!”
Tubuh Reka Ananta si Pendekar tua bergelar si Tongkat Trisula Dewa itu berkelebat bagai seekor alap-alap memburu mangsanya. “Tinggalkan nyawamu manusia terkutuk!” bentak Reka Ananta.
Sesaat saja dia telah menghadang di depan si Awan Hitam. “Kau masih ingat peristiwa enam belas tahun yang lalu? Perhatikan wajahku! Akulah suami orang yang kau bunuh! Kau telah membunuh istriku tanpa sebab, disaat isteriku baru saja melahirkan seorang bayi perempuan! Waktu itu aku berhasil melukai wajahmu dengan goresan pedangku. Tapi saat itu ilmuku terlalu rendah, hingga kau berhasil menabas putus sebelah tangan kananku!” berkata dingin Reka Ananta.
Tentu saja berubah piaslah paras si Awan Hitam. Segera dia mengenali siapa adanya laki-laki itu. Tampaknya Reka Ananta tak dapat membendung kemarahannya lagi. Dia menerjang dengan sambaran tombak Trisulanya. Terjadilah pertarungan yang mendebarkan. Namun baru lewat empat-lima jurus wanita itu membentak keras dan menghamburkan senjata rahasia jarum-jarum beracun.
Suatu hal yang tidak diduga, Reka Ananta sama sekali tak menghiraukan serangan yang mengandung maut itu buat dirinya. Bersamaan dengan menancapnya ratusan jarum ke tubuhnya, tombak Trisulanya pun menembus jantung si Awan Hitam.
Wanita ini mengerang. Tubuhnya terhuyung-huyung. Darah merembes dari dadanya yang terpanggang Tombak Trisula Dewa. Namun tak lama terlihat tubuh wanita itu oleng, lalu roboh terjungkal... Dewa Linglung dan Windu Pati segera melompat memburu ke tempat itu.
“Paman...!?” teriak Windu Pati seraya melompat ke arah tubuh Reka Ananta. Akan tetapi dia tak berani memeluknya, karena melihat ratusan jarum menancap ditubuh laki-laki sahabat ayahnya itu.
Sementara itu Nanjar menatap ke arah si Awan Hitam. Ternyata wanita itu telah melepaskan nyawa. Kematiannya seperti sudah ditakdirkan untuk mati di tangan Reka Ananta. Yaitu suami dari seorang wanita yang telah dibunuhnya belasan tahun yang silam.
Perwira muda itu menitikkan air mata melihat keadaan laki-laki sahabat ayahnya dalam keadaan sekarat. Tampaknya Reka Ananta masih mampu untuk membuka mata. Bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata terputus-putus.
“Windu... Pa... ti... mau... kah... kau... me... me... nu... hi... permin... ta... an... ku...?”
Pemuda ini tersenyum, dan anggukkan kepala dengan terharu. “Tentu, paman...! Katakanlah...! Aku pasti akan memenuhi permintaanmu...” menyahut Windu Pati.
Reka Ananta tampak kelihatan senang. Bibirnya tersenyum. Lalu kembali dia berkata dengan terputus-putus. “Am... bil.. lah... a., n., a., k... ga.. dis... ku... un... tuk... is.. tri... mu...”
Windu Pati menganggukkan kepala. Baru saja perwira muda itu mengangguk, kepala Reka Ananta terkulai. Nyawanya melayang dari raganya. Windu Pati teteskan air bening dari pelupuk matanya. Dia tenggelam dalam keharuan, dan terpaku sampai beberapa saat lamanya. Ketika dia menoleh kearah si Dewa Linglung, terkejut pemuda ini karena melihat pendekar muda itu tak ada disekitar tempat itu.
“Ah, kemanakah pendekar aneh itu...?” sentaknya berdesis. Mendadak dia teringat pada adiknya yang dibawa oleh Tumenggung Galih Pinutur. Ada rasa syak dihatinya terhadap Tumenggung itu.
Setelah menutupi mayat Reka Ananta dengan dedaunan, Windu Pati segera mencari adik perempuannya. Dia memeriksa seluruh ruangan didalam bangunan yang dijadikan markas si Awan Hitam. Alangkah terkejutnya perwira muda ini karena tak mendapatkan Tumenggung berada ditempat itu. Dalam sebuah ruangan dia hanya menemukan secarik kain bertulisan. Cepat dia membacanya.
Aku mengejar Tumenggung itu, kukira dia telah kabur melarikan diri membawa harta rampasan dan adik perempuanmu. Sebaiknya kau kembali saja ke Kota Raja. Urusan itu serahkan padaku!
Dewa Linglung
Wajah Windu Pati membersitkan rasa girang. Segera disimpannya kain bertulisan itu dalam saku baju. “Sebenarnya aku akan mencari dimana ayahku ditawan si Awan Hitam. Tapi baiklah, aku akan ke Kota Raja dulu memberitahukan hal ini pada Kanjeng Adipati...” berkata perwira muda ini dalam hati.
Selesai mengambil keputusan, pemuda Kepala Prajurit ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu....
Malam itu juga Windu Pati tiba di Kota Raja, se-telah sebelumnya menyimpang dulu keperguruan Matahari untuk mengambil kuda. Perwira muda ini langsung menghadap Adipati. Lalu melaporkan semua kejadian. Kemudian dia menunjukkan surat yang ditulis oleh Nanjar si Dewa Linglung.
Keesokan harinya ketika Adipati tengah bersiap-siap untuk meninjau keadaan di markas si Awan Hitam, tiba-tiba tiga ekor kuda muncul di ujung jalan memasuki pintu gerbang Kota Raja.
Duduk dipunggung kuda paling depan adalah seorang gadis belia. Siapa adanya gadis itu tiada lain dari Jumanti. Dipunggung kuda kedua dibelakang gadis itu tampak dua sosok mayat laki-laki tak dikenal.
Dipunggung kuda ketiga adalah sebuah buntalan kain entah berisi benda apa. Dan dibagian belakang sekali tampak seorang laki-laki berjalan tersaruk-saruk mengikuti dibelakang kuda. Kedua lengannya dalam keadaan terbelenggu, dan terikat dengan kuda didepannya.
Siapa adanya laki-laki ini adalah tak lain dari Tumenggung Galih Pinutur. Keadaannya tak ada bedanya dengan sebelas orang prajurit yang berada di perguruan Matahari. Kegembiraan Windu Pati tak terlukiskan. Dia memeluk adik perempuannya dengan terharu.
Adipati segera diperintahkan prajuritnya untuk memasukkan Tumenggung Galih Pinutur ke dalam kamar tahanan. Ternyata buntalan kain diatas punggung kuda adalah benda-benda berharga hasil rampokan si Awan Hitam yang bekerja sama dengan Tumenggung Galih Pinutur.
“Dimana pendekar aneh bergelar Dewa Linglung itu?” bertanya Windu Pati.
“Dia baru saja pergi..! Dan menyuruhku memberikan surat ini pada Kanjeng Adipati!“ sahut Jumanti.
Bergegas pemuda ini memberikannya pada Adipati. Dalam surat itu Nanjar mengatakan di mana disimpannya obat penawar racun dalam kamar Tumenggung. Surat singkat itu dibaca berulang-ulang oleh Adipati. Didengarkan oleh Windu Pati dan Jumanti, serta beberapa orang prajurit kadipaten.
“Pendekar aneh! Menulis suratpun sesingkat ini...!”
Windu Pati dan Jumanti saling tatap dengan tersenyum. Namun kegembiraan dalam hati mereka sungguh tak berlukiskan. Terlebih-lebih Jumanti. Masih teringat ketika pendekar gagah berambut gondrong itu menolong dirinya dari tangan Tumenggung Galih Pinutur yang mau memperkosanya. Kedua mayat itu adalah anak buah Tumenggung itu yang berhasil ditewaskan dalam pertarungan.
“Bagaimana ayah kita, apakah sudah diketemukan?” tanya Jumanti.
“Kita akan mencarinya hari ini di markas si Awan Hitam...!” sahut Windu Pati. Jumanti mengangguk...