Dewi Ular Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala seri Dewi Ular Jilid 04 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Dewi Ular Jilid 04

LEE CIN bangkit berdiri, alisnya kerut. Ada yang tidak beres di sini. Jelas pemuda itu amat ketakutan dan yang ditakutinya adalah iblis cantik. Siapakah iblis cantik dan di mana ia? Lee cin memandang ke atas, ke arah lereng di dekat puncak di mana tampak bangunan dengan menara tinggi itu.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Kembali ia memeriksa pemuda itu. Jelas telah mati dan kematiannya bukan karena luka atau karena sakit, melainkan lemah sekali seperti yang kehabisan darah. Tapi tidak ada luka di tubuhnya. Teringat akan sebutan iblis tadi, ia bergidik. Benarkah ada iblis yang menghisap semua darah orang itu?

Kembali ia bangkit berdiri. Ia harus menyelidiki hal ini. Ia maju lagi dengan perlahan, mendaki bukit itu. Belum jauh ia melangkah, ia melihat tubuh tiga orang pemuda di dalam sebuah jurang yang tidak begitu dalam. Ia dapat melihat jelas bahwa tiga orang pemuda itu juga sudah mati dan keadaannya sama seperti pemuda tadi. Apakah tiga orang pemuda itu pun korban iblis cantik?

Tiba-tiba ia mendengar suara orang berkelahi di lereng atas. Suara mendesingnya senjata dan teriakan suara laki-laki yang parau, "Kau iblis terkutuk. Aku harus membasmi kamu dan kaki tanganmu."

Kembali terdengar bunyi desing senjata tajam. Lee cin mencari jalan terobosan agar dapat cepat tiba di tempat itu. Tiba-tiba ia mendengar suara orang menjerit, mengerikan. Jeritan itu terdengar parau seperti suara laki-laki yang bicara dengan marah tadi. Ia mempercepat larinya, berloncatan dan akhirnya ia tiba di tempat itu. Sudah sepi, akan tetapi ada seorang laki-laki rebah miring di situ.

Tangannya masih memegang sebatang golok besar. Ia cepat menghampiri laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan gagah, usianya sekitar empat puluh tahun. Laki-laki itu mengerang lirih, tanda bahwa dia masih hidup. Akan tetapi ketika Lee Cin berjongkok memeriksanya, ia terkejut bukan main melihat baju laki-laki itu robek di bagian dada dan di kulit dadanya tampak cap telapak tangan menghitam.

Ketika laki-laki itu membuka mata melihat Lee Cin, dia membelalakkan matanya dan menggerakkan goloknya untuk menyerang. Akan tetapi begitu mengerahkan tenaga, dia mengeluh dan golok itu pun terlepas dari pegangannya. Dia menuding ke arah Lee Cin dan berseru, "Terkutuk kau... kau iblis cantik...." Dan tiba-tiba saja orang itu terkulai dan tewas.

Lee Cin bangkit berdiri, mengerutkan alisnya memandang kepada pria itu, kemudian ia memandang lagi ke atas, ke arah bangunan yang bermenara itu. Adakah hubungannya bangunan ini dengan peristiwa aneh yang dihadapinya? Ada beberapa orang pemuda tampan tewas secara aneh, dan kini ada seorang laki-laki gagah juga tewas setelah bertempur dengan menderita luka bekas pukulan beracun yang hebat.

Pemuda yang seperti mati kehabisan darah itu, sebelum tewas, seperti juga laki-laki ini, memaki ia sebagai iblis Cantik. Agaknya yang menyebabkan mereka mati adalah seorang penjahat wanita yang cantik dan lihai. Lee cin menjadi waspada. Ia seperti dapat merasakan bahwa ia telah memasuki daerah yang penuh bahaya. Akan tetapi ia tidak takut dan mendaki terus, dengan lambat dan hati-hati.

Tidak sia-sia ia bersikap hati-hati dan waspada. Tiba-tiba ia mendengar angin berdesir dan sinar berkelebat. Cepat ia mengelak dan sebatang piauw (senjata rahasia runcing) menyambar lewat, lalu menancap di batang pohon di belakangnya. Ketika ia menengok memandang, kiranya piauw itu digantungi sehelai kertas. Didekatinya kertas itu yang ada tulisannya, pendek dan tegas berbunyi:

"Kalau tidak ingin mati, cepat tinggalkan tempat ini"

Lee Cin adalah seorang dara yang pemberani dan keras hati. Makin ditantang ia akan semakin maju dengan tabah. Ia tahu bahwa disini terjadi kejahatan dan pelakunya adalah seorang atau banyak orang wanita cantik. Gertakan mengusirnya itu tidak membuatnya takut, bahkan ia lalu memandang ke sekeliling sambil tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya mendaki lereng itu.

Ia masih bersikap waspada kalau-kalau akan terjadi serangan gelap. Ia berhenti sebentar, memperkUat ikatan rambutnya dan memutar gantUng pedangnya dipunggung agar mudah dicabut, lalu mencabut sulingnya dan memegangnya dengan tangan kiri ia sudah siap siaga Untuk bertanding kalau datang serangan.

Tiba-tiba terdengar ledakan di depannya dan asap putih mengepul tebal. Dari dalam kepulan asap tebal itu berloncatan empat orang berpakaian serba hijau dan begitu melompat, mereka sudah mengepung dan menyerangnya dengan senjata pedang mereka.

Lee Cin yang memang sudah siap. berkelebat di antara sinar pedang mereka dan tangan kirinya menggerakkan suling untuk membalas serangan empat orang pengeroyok itu. Ia melihat bahwa mereka berempat adalah empat orang wanita yang mukanya bagian bawah ditutup kain hijau sebagai topeng.

Gerakan mereka memang cukup cepat, akan tetapi bagi Lee Cin mereka itu terlalu lamban sehingga ketika sulingnya digerakkan membalas serangan, empat orang pengeroyok itu terdesak mundur. Mereka berloncatan ke belakang dan ketika Lee cin hendak mengejar, ia berhenti karena ada ledakan lagi di depannya dan asap putih tebal menghalanginya.

Dari dalam asap itu meluncur belasan batang piauw ke arah tubuhnya. Lee Cin meloncat ke atas, tangan kanannya berhasil menangkap sebatang piauw dan dari atas ia melihat bayangan empat orang itu melarikan diri. Cepat tangan kanannya bergerak menyambitkan piauw yang ditangkapnya.

Terdengar orang menjerit lalu sunyi. Lee Cin yakin bahwa sambitannya tadi mengenai sasaran, akan tetapi empat orang itu telah pergi, mungkin yang tiga orang melarikan seorang di antara mereka yang terluka oleh piauw mereka sendiri.

Lee Cin melanjutkan langkahnya mendaki. Ia maklum bahwa bahaya mengintainya. Empat orang wanita tadi tentu anak buah saja dan tentu mereka telah melapor sehingga kini pimpinan mereka sudah mempersiapkan penyambutan untuknya. Akan tetapi di manakah sarang mereka? Di bangunan itu? Ia harus menyelidikinya sampai tuntas.

Kini Lee cin tiba di lereng paling atas di mana terdapat bangunan dengan menara tinggi itu. Dan ia tertegun. Banyak orang dusun mendaki puncak itu melalui jalan besar yang terawat. Ia tadi datang dari lain arah sehingga tidak tahu bahwa banyak orang dusun laki-perempuan menuju ke tempat itu. Tidak kurang dari lima belas orang yang berada di depannya, belum lagi yang sudah masuk dan yang masih berada di belakang.

Ketika Lee Cin ikut dengan rombongan orang itu menuju bangunan, ia tertegun. Bangunan itu ternyata sebuah kuil para pendeta wanita. Ada beberapa orang to-kouw (Pendeta Wanita) menyambut orang-orang dusun yang datang hendak bersembahyang dan mengajukan bermacam-macam permohonan. Agaknya kuil ini laris menarik banyak pengunjung. Tentu sebuah kuil yang manjur, banyak permintaan terkabul dan yang bertobatpun banyak yang sembuh.

Disebelah dalam banyakpula terdapat to-kouw yang melayani para tamu bersembahyang. Disebelah kiri terdapat beberapa meja besar yang dijaga beberapa orang tokouw. Di meja ini diterima sumbangan dari para pengunjung dan Lee Cin melihat bahwa segala macam barang disumbangkan oleh penduduk dusun itu.

Ada hasil sawah ladang, ada ayam sampai babi, bahkan adapula yang memberi potongan emas simpanan mereka. Melihat banyaknya sumbangan, Lee Cin dapat menduga bahwa dalam waktu tidak terlalu lama kuil itu akan berkembang dan para penghuninya dapat hidup serba kecukupan.

Kuil itu memakai nama Kuil Thian-hok-si (Kuil Berkah Tuhan), akan tetapi tidak seperti kuil agama To lainnya, di situ yang dipuja adalah sebuah patung wanita yang indah dan cantik luar biasa. Besarnya seperti ukuran manusia dewasa, dan bukan seperti Patung Dewi Kwan im. Di bawah patung itu terdapat tulis an dengan huruf emas, "Dewi seribu Berkah".

Dan di depannya terdapat meja sembahyang yang besar, penuh dengan suguhan seperti buah-buahan. Akan tetapi ada pula arak dan masakan daging. Agaknya para pemuja patung itu hanya, namanya saja memakai nama agama To, akan tetapi telah bercampur dengan aliran lain yang menyembah roh-roh halus, penuh dengan ketahyulan dan Keanehan.

Semua patung di situ menggambarkan wanita belaka, dan rata-rata patung itu cantik jelita, dengan pakaian mewah. Bau hio harum memenuhi ruangan depan di mana Lee Cin membaur dengan para pengunjung yang sebagian besar wanita.

Akan tetapi Lee cin seperti merasa betapa dirinya diperhatikan orang walaupun para to-kouw yang berada di situ seolah-olah tidak memperhatikan sama sekali. Agar tidak mendatangkan kecurigaan, Lee Cin lalu melangkah ke sudut di mana terdapat sebuah meja yang dipergunakan untuk melayani tamu yang hendak melihat peruntungannya atau minta diramal nasibnya.

Ini merupakan alasan baik sekali bagi Lee Cin untuk keperluan kunjungannya. Ia sudah hampir putus asa melihat betapa keadaan kuil ini sama sekali tidak ada yang mencurigakan. Para to-kouw itu melayani para tamu dengan ramah dan baik dan di antara mereka tidak ada yang kelihatan jahat.

Para to-kouw itu terdiri dari wanita- wanita berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun dan rata- rata mereka memiliki wajah yang halus dan manis walaupun mereka sama sekali tidak memakai riasan muka.

To-kouw yang menjaga meja bagian ramalan itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Wajahnya cukup cantik dan ia pun tidak memakai bedak atau gincu, akan tetapi pandang mata Lee Cin yang tajam melihat bahwa alis wanita ini sebagian dicabuti sehingga nampak melengkung indah. Agaknya to-kouw ini diam-diam suka mempercantik diri.

"Apakah siocia hendak menanyakan tentang nasib? Tentang perjodohan, tentang keturunan, atau tentang rejeki?" To-kouw itu menyambut Lee Cin yang mendekati meja itu.

Pada saat itu, terdapat seorang pemuda tampan yang juga menghampiri meja itu. Melihat ini, Lee Cin melangkah mundur dan menjawab pertanyaan to-kouw tadi, "Aku nanti saja."

To-kouw itu memandang kepada pemuda yang menghampiri meja. Pemuda itu berusia dua puluh tahun lebih, berpakaian seperti seorang pemuda sastrawan yang kaya, wajahnya tampan dengan kulit kemerahan dan sepasang alisnya tebal menghitam, matanya bersinar lembut dan mulutnya tersenyum ramah.

"Selamat pagi, Kongcu. Apakah Kongcu hendak bertanya tentang ramalan nasib? Jodoh? Pekerjaan?"

Pemuda itu melirik ke arah Lee Cin, kelihatan malu-malu. Akan tetapi keramahan to-kouw itu membuat dia memberanikan diri berkata dengan bisikan lirih, "Aku ingin bertanya tentang perjodohan."

"Ah, mudah sekali, Kongcu. Dan jawaban dari kuil ini, atas berkah sang Dewi, selalu cocok dan tepat. silakan Kongcu, mari kulayani Kongcu bersembahyang."

Pemuda itu mengikuti to-kouw ke meja sembahyang dan dia segera menyulut belasan batang hio, lalu bersembahyang, dia diberi sebuah tabung bambu di mana terdapat belasan batang potongan bambu yang ada nomornya. Dia berlutut, mengocok tabung bambu itu sampai sebatang diantara potongan bambu itu meloncat keluar dan menyerahkannya kepada to-kouw yang mendampinginya.

"Yang ditanyakan tentang jodoh, Kongcu? Nomornya berapa? Ah, nomor tujuh belas. Tunggu sebentar." To-kouw itu lalu masuk ke dalam untuk mengambilkan ramalan atas batang bambu nomor tujuh belas itu.

Sejak tadi Lee Cin melihat saja dengan penuh perhatian. Sambil pura-pura memandang lukisan yang indah tergantung di dinding, Lee Cin memperhatikan mereka dengan pendengarannya.

"Nah, ini jawabannya, Kongcu. Apakah Kongcu ingin agar saya menerangkan artinya? Biar saya bacakan." To-kouw itu lalu membaca perlahan namun cukup keras sehingga dapat didengar oleh Lee Cin.

"Jodoh sudah ditakdirkan tak dapat dicari dan dipaksakan kalau ingin mengetahui dengan pasti harus mendapat petunjuk sang Dewi."

"Hemm, apa artinya itu, To-kouw? Di sini tidak ditulis jelas siapa jodoh ku." pemuda itu mencela.

"Sabarlah, Kongcu. sudah jelas ditulis bahwa untuk mengetahui rahasia jodoh Kongcu, harus mendapat petunjuk sang Dewi."

"Bagaimana caranya agar bisa mendapatkan petunjuk itu?"

"Syaratnya hanya satu. Kongcu membersihkan diri, mandi dengan air suci di sini, kemudian Kongcu menunggu di kamar bertapa. Di sini disediakan banyak kamar-kamar untuk keperluan itu dan Kongcu duduk bersamadhi dengan tekun. Kalau sang Dewi berkenan Kongcu tentu akan mendapat tanda melalui mimpi atau bahkan dapat melihat sendiri."

Pemuda itu menjadi girang dan segera menyanggupi. To-kouw itu membawa dia ke dalam dan menyerahkan kepada to-kouw lain yang akan melayani segala keperluannya mandi keramas dengan air suci.

Lee cin menjadi penasaran. Benarkah pemuda itu akan mendapat petunjuk Sang Dewi? Ketahyulan yang tidak masuk akal. Akan tetapi hal itu sungguh mencurigakan. ia harus menyelidiki sampai tuntas, siapa tahu di sini letak rahasia iblis Cantik itu.

"Siocia hendak menanyakan sesuatu? Jangan ragu, Nona. Nona pasti akan mendapat jawaban yang tepat kalau Nona minta dengan sungguh hati. sang Dewi tidak pernah mengecewakan para pemujanya," kata to-kouw itu kepadanya.

Lee cin melihat ke sekeliling. Wajah para penduduk dusun yang memuja di situ nampak berseri, tanda bahwa mereka itu puas dan percaya sepenuhnya akan keampuhan dan kesaktian sang Dewi yang mereka puja.

"Aku akan menanyakan sesuatu," kata Lee Cin sambil memandang wajah to-kouw itu dengan tajam.

To-kouw itu tersenyum. "Dapatkah siocia memberitahu apa yang hendak ditanyakan? Jodoh, atau rezeki atau minta obat?"

"Aku hendak menyelidiki suatu rahasia, aku hendak bertanya apakah penyelidikanku akan berhasil." Lee Cin sengaja mengeluarkan alasan ini sebagai sindiran.

Akan tetapi wajah to-kouw itu tidak menunjukkan sesuatu dan ia segera berkata dengan suara biasa, "Ah, itu mudah saja, siocia. Mari kubantu siocia melakukan sembahyang dan mencabut ciam-si (bambu jawaban)."

Seperti halnya pemuda tadi, Lee cin bersembahyang, berlutut lalu mengocok tabung bambu sampai sepotong bambu meloncat keluar. setelah melihat nomornya, to-kouw itu lalu masuk ke dalam untuk mengambilkan jawabannya. Lee Cin menanti dengan hati tegang. Jawaban apa yang akan diterimanya?

Sekali ini agak lama to-kouw itu keluar. Lee Cin menanti sambil duduk di atas sebuah bangku, melihat orang-orang dusun yang hilir mudik dan sibuk bersembahyang. Ruangan itu kini pengap oleh asap dupa yang berbau harum, menimbulkan suasana yang aneh.

Akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul. To-kouw itu membawa sepotong kertas dan menyerahkannya kepada Lee Cin. "Kalau masih belum jelas, saya akan menerangkan," katanya. Lee Cin membaca empat baris kalimat itu penuh perhatian. Pekerjaan yang dikejar-kejar amatlah sulit dan sukar lebih baik dihentikan daripada mengalami kecelakaan.

Tentu saja Lee Cin sudah mengerti benar akan arti kata- kata itu. orang hendak mencegah ia melakukan penyelidikan. Ataukah itu hanya kebetulan saja jawaban yang sudah ditulis lebih dulu? Akan tetapi ia pura-pura tidak mengerti, dan menyerahkan sepotong kertas itu kepada to-kouw.

"Apa sih artinya ini?" tanyanya.

To-kouw itu membacanya sebentar lalu menghela napas panjang. "Ah, Nona. Bahaya besar mengancam keselamatan Nona kalau Nona melanjutkan dengan penyelidikan itu. Menurut jawaban ini, sebaiknya Nona menghentikan penyelidikan itu agar terhindar dari malapetaka."

Lee Cin pura-pura berpikir, alisnya berkerut dan akhirnya ia berkata, "Aku belum puas. Aku harus minta petunjuk langsung dari sang Dewi sendiri mengapa penyelidikanku harus kuhentikan. Aku akan menyewa sebuah kamar di sini dan bersamadhi untuk mendapatkan petunjuk."

"Ah, hal itu tidak bisa, Nona."

"Mengapa tidak bisa? Aku melihat pemuda tadi kau perbolehkan menanti petunjuk langsung dari sang Dewi Apa kau kira aku tidak akan mampu membayar sewa kamarnya dan semua biayanya?"

"Bukan demikian, Nona. Kalau pemuda tadi, jawabannya jelas mengatakan bahwa dia harus mendapat petunjuk dari sang Dewi, maka kami membolehkan dia bermalam di sini. Akan tetapi jawabanmu sudah jelas dan tidak boleh mengganggu sang Dewi. Engkau akan terkena kutukan kalau melanggar, Nona dan kami pun tidak berani."

Lee Cin memang hanya ingin menjajaki. Kini ia yakin bahwa jawaban pertanyaannya memang sudah diatur dan ia tidak diperbolehkan bermalam di situ juga sudah direncanakan. Kalau para to-kouw di situ terlibat dalam urusan iblis Cantik, tentu sekarang mereka sudah mengetahui bahwa tadi di lereng ia telah mengusir dan melukai seorang di antara empat perempuan bertopeng yang hendak menghalanginya. Dan kalau memang mereka ada hubungannya, maka tentu saja ia akan dihalangi dan tidak boleh melanjutkan penyelidikannya, apa lagi bermalam di situ.

"Ah, begitukah?" Ia berpura-pura takut akan kutukan. "Kalau begitu, memang sebaiknya aku pergi dan tidak melanjutkan pekerjaanku itu. Terima kasih, To-kouw?"

Ia lalu membayar semua biaya sembahyangan itu, memberi sumbangan yang royal dan keluar dari kuil. Dia memandang ke arah menara yang menjulang tinggi dan berada di belakang kuil dan menduga-duga apa rahasia yang terkandung di dalam menara tingkat delapan itu Kuil itu cukup luas, dengan bangunan kamar-kamar untuk tamu di belakang, dan agaknya hanya menara itu yang tidak boleh dimasuki para tamu. Karena merasa bahwa banyak mata mengikuti gerak-geriknya, Lee Cin lalu melangkah pergi menuruni lereng.


Pemuda tampan itu mendapatkan sebuah kamar yang warnanya serba putih. Dindingnya putih bersih dan dipan yang berada di situ pun bertilam dan berbantal putih. oleh to-kouw yang melayaninya, setelah ia mandi keramas dengan air yang disebut air suci, air mawar yang berbau harum, dia dipinjami satu stel pakaian yang longgar dan dari kain putih, lalu ia disuruh duduk bersila dan bersiulian (samadhi) di atas pembaringan itu. Pintu kamarnya ditutup dari luar oleh to-kouw yang melayaninya.

"Kalau sang Dewi berkenan mengunjungimu, engkau harus menurut atas segala petunjuknya, melaksanakan segala perintahnya dan engkau akan diberkati, Kongcu. Akan tetapi kalau engkau membantah, engkau akan dikutuk dan kami tidak mengharapkan hal yang demikian terjadi atas dirimu."

Kata-kata ini masih bergema di telinga pemuda itu. Dia menanti dengan jantung berdebar tegang. Dia adalah seorang tahyul seperti para pengunjung kuil lainnya sehingga dia yakin bahwa sang Dewi pasti akan turun menemuinya dan memberi petunjuk, entah berupa impian atau bisikan.

Malam terang bulan itu amat sunyi di dekat puncak bukit itu. Karena kuil itu dikelilingi hutan dan jauh dari dusun, setelah tidak ada lagi pengunjung, kuil itu sunyi sepi. Juga para to-kouw sudah menutup pintu depan yang tebal, karena mereka akan mengaso dan tidur.

Tengah malam tiba, suasana semakin sepi. Pemuda yang duduk bersamadhi itu merasakan kesepian ini dan hawa dingin malam terang bulan itu menerobos masuk dari celah-celah atap. menerpanya dengan lembut, membuat dia agak gemetar kedinginan.

Dalam kamar itu ada penerangannya, sebatang lilin yang bernyala cukup terang. Tak lama kemudian, api lilin itu bergoyang-goyang seperti tertiup angin. Padahal, tidak ada angin dalam kamar itu, kemudian tampak sesosok bayangan putih berputar-putar di dalam kamar itu, membuat api lilin semakin bergoyang-goyang.

Pemuda itu memberanikan hatinya yang berdebar ketakutan untuk membuka matanya dan... dia melihat seorang gadis yang cantik jelita, bermata seperti sepasang bintang, mengenakan pakaian sutera putih yang tipis dan tembus pandang, bergerak seperti menari-nari di dalam kamar itu, membuat api lilin bergoyang dan tercium olehnya bau yang harum sekali.

Tentu saja dia tidak ragu lagi. Inilah sang Dewi seribu Berkah. Benar-benar muncul dalam kamarnya. Bagaimanapun juga, dia menjadi takut dan cepat dia menjatuhkan dirinya berlutut di atas pembaringan itu dan memberi hormat kepada sang Dewi.

Selubung kain sutera tipis yang lebar itu menyapu wajahnya dan terdengar sang Dewi yang kini berdiri di dekat pembaringan berkata dengan suara halus merdu seperti bernyanyi, "Kwa Tek Ki, jangan takut. Kalau engkau hendak mengetahui jodoh mu, mari ikut aku."

Pemuda itu semakin yakin bahwa wanita cantik jelita itu pasti sang Dewi. Demikian saktinya Dewi itu sehingga sudah mengenal namanya. Dia lupa bahwa tadi sebelum memasuki kamar, dia harus mendaftarkan nama dan alamatnya di buku tamu. Setelah mendengar ucapan sang Dewi, Kwa Tek Ki lalu turun dari pembaringan dan mengikuti dewi itu keluar dari kamarnya, terus berjalan menuju ke belakang. Ke mana pun dewi itu akan membawanya, dia akan ikut.

Mereka tiba di bawah menara yang terletak di belakang kuil. Empat orang wanita berpakaian putih yang memakai cadar putih berdiri seperti patung menjaga menara itu. Ketika sang Dewi lewat, mereka membungkuk memberi hormat. Sang Dewi menggapai dan pemuda itu mengikutinya memasuki pintu gerbang dan terus mengikuti masuk pintu depan menara itu.

Sementara itu, Lee Cin yang membayangi mereka mendekam di balik semak-semak. Ia sejak tadi telah datang ke tempat itu dan meloncat naik ke atas kuil untuk melakukan penyelidikan. Tampaknya tenang-tenang saja tidak ada yang mencurigakan sehingga setelah tengah malam, Lee Cin bermaksud untuk meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium bau harum dan tampak olehnya sesosok bayangan putih berkelebat cepat di bawah kuil. Bayangan itu datang dari arah menara dan kini memasuki kuil bagian belakang di mana terdapat banyak kamar yang disediakan untuk para tamu. Tentu saja ia menjadi curiga sekali, akan tetapi sebelum ia dapat melihat dengan jelas, bayangan putih itu telah lenyap. Gerakan bayangan itu menunjukkan bahwa ia seorang yang memiliki gin-kang istimewa.

Dengan hati- hati Lee Cin melayang turun dari atas atap dan berindap menghampiri bagian kamar-kamar itu lalu mengintai dari balik sebatang pohon yang tumbuh di situ. Tidak lama ia mengintai karena tiba-tiba pintu sebuah kamar terbuka dan muncullah seorang wanita yang cantik sekali, mengenakan jubah sutera putih yang tipis dan rambut kepalanya yang hitam lebat digelung ke atas itu berhiaskan sebuah tiara yang indah.

Wanita itu melangkah dengan ringan dan di belakangnya, seperti seekor domba yang ditarik kepenjagalan, berjalan pemuda tampan yang tadi siang minta ramalan tentang jodohnya. Mereka berjalan secara wajar, pemuda itu jelas tidak dipaksa dan mereka berdua berjalan tanpa bercakap-cakap.

Lee Cin menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia lalu membayangi dengan hati- hati karena ia dapat menduga bahwa wanita berpakaian putih itu lihai sekali. sebelum mengetahui dengan jelas persoalannya, tentu saja ia tidak dapat turun tangan.

Ketika mereka menghampiri menara, Lee Cin mendekam di balik semak-semak dan melihat betapa empat orang gadis bercadar dan berpakaian serba putih memberi hormat kepada wanita bertiara yang cantik jelita itu dan wanita itu terus memasuki pintu menara diikuti oleh si pemuda. Lee cin tidak dapat berbuat sesuatu karena tidak melihat ada kejahatan dilakukan orang di situ.

Setelah mereka lenyap di balik pintu yang tertutup kembali, Lee Cin melihat ke sekeliling menara itu. Menara itu, bagian bawahnya berpintu dua, depan dan belakang dan disetiap pintu terjaga oleh empat orang wanita bercadar berpakaian putih.

"Aku harus dapat memasuki menara itu untuk melihat apa yang berada di dalamnya," pikir Lee Cin.

Tidak ada jalan masuk kecuali dua pintu yang terjaga itu. Kalau ia menerjang masuk. tentu akan timbul geger dan ia akan menjadi pihak yang bersalah memasuki tempat orang dengan paksa, apalagi kalau ternyata tidak ada kejahatan apa pun terjadi di tempat itu. Ia harus dapat masuk secara diam-diam dan memeriksa dalam menara.

Kemudian ia menyelinap dan tak lama kemudian tiba di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di dekat menara. Ia meloncat ke atas pohon dan dari situ ia dapat meloncat ke tingkat dua yang dilingkari beranda yang lebarnya sekitar dua meter. Dengan ringan ia melompat dari pohon itu ke beranda tingkat dua. Ia bergerak dengan hati- hati sekali agar jangan sampai menimbulkan suara.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bunyi kerincingan di sebelah dalam menara. Ia tidak tahu bahwa di lantai beranda tingkat dua itu dipasangi tali kecil dan kalau tersangkut sesuatu tali itu akan menarik bunyi kerincingan yang akan memberitahu penghuni menara bahwa ada orang di luar, di beranda tingkat dua.

Pintu-pintu tingkat dua segera terbuka dan bermunculan delapan orang yang memakai cadar sesuai dengan warna pakaiannya, yang berpakaian putih cadarnya putih, demikian pula yang berpakaian hijau cadarnya hijau. Mereka mengepung Lee Cin dan menyerangnya.

Karena beranda itu sempit, Lee Cin kurang leluasa dan karena ia ingin mengetahui bagian dalam menara, ia menerobos memasuki pintu yang terbuka sambil memutar pedang Ang-coa-kiam yang telah ia cabut dari punggungnya.

Putaran pedang Ang-coa-kiam membuat pedang para pengeroyoknya terpental dan di lain saat ia telah berada dalam ruangan tingkat dua menara itu. Ternyata tingkat dua itu dipergunakan sebagai semacam tempat pertemuan karena di situ tidak ada kamar-kamarnya, melainkan sebuah ruangan yang luas, seluas ukuran menara itu.

Dan ia telah mendapatkan dirinya terkepung oleh sedikitnya dua puluh orang wanita yang semuanya bercadar. Mereka itu mengenakan pakaian yang berbeda. Ada yang putih, ada yang merah, dan ada yang hijau.

Agaknya warna pakaian dan cadar ini menunjukkan tingkat mereka. Akan tetapi, mereka tidak lagi menyerangnya, hanya mengepung dan tak lama kemudian, kepungan terbuka dan masuklah seorang wanita yang membuat Lee Cin tertegun dan kagum.

Dengan langkah seperti seekor harimau kelaparan, wanita ini melenggang ke dalam kepungan. Rambutnya hitam panjang dan mengenakan tiara dari batu permata yang gemertapan. Pakaiannya jubah panjang sutera putih yang tembus pandang sehingga memperlihatkan bentuk tubuh yang ramping dan dengan lekuk lengkung yang sempurna.

Wajah itu pun cantik sekali, terutama matanya yang seperti bintang dan mulutnya yang setengah terbuka penuh gairah. Sambil melenggang menghampiri, wanita itu pun mengamati wajah Lee Cin dengan penuh perhatian, lalu terdengar suaranya yang merdu dan lantang,

"Siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke tempat kami seperti seorang pencuri?"

Lee Cin tersenyum mengejek. Sedikit pun tidak merasa jerih. Ia memandang ke sekeliling, kepada anak buah yang bercadar lalu bertanya, "Tempat apakah ini? Di luarnya kuil dan para to-kouw, akan tetapi disebelah dalamnya wanita- wanita berpakaian tipis dan bercadar. Apakah kalian ini pada to-kouw yang siang hari bertugas di kuil tadi?"

"Orang lancang, apa urusanmu dengan kami? Di waktu melayani para tamu kami memang para to-kouw di kuil Thian-hok-si ini, akan tetapi setelah tidak melayani tamu dan berada di rumah sendiri, apa pun yang kami lakukan, pakaian apa pun yang kami pakai, tidak ada hubungannya dengan kamu."

"Hemm, pantas saja jawaban ciamsi itu menyuruh aku menghentikan penyelidikan. Kiranya kalian para to-kouw palsu, menyembunyikan sesuatu di menara ini. Apakah hubungan kalian dengan iblis Cantik?"

Ia menatap tajam wanita cantik di depannya itu dan melihat mulut wanita itu tersenyum. Manis sekali senyumnya akan tetapi mengandung sesuatu yang mengerikan. "Tangkap bocah ini dan sekap ia di lantai tingkat lima."

Wanita itu memberikan perintahnya dan para anak buahnya lalu maju mengeroyok. Karena perintahnya adalah untuk menangkap. Mereka sudah menyimpan pedang masing-masing dan menggunakan tangan untuk membekuk Lee Cin. Gadis ini pun tidak ingin membunuh orang tanpa jelas kesalahan mereka, maka iapun menyimpan pedangnya dan melawan dengan tangan kosong.

Ia melompat ke atas dan ketika turun, kaki tangannya menyambar dan empat orang pengeroyok sudah terpelanting. Lalu Lee Cin mengamuk. Ia tidak menggunakan pukulan beracun, juga tidak menggunakan It-yang-ci, hanya menggunakan kecepatan gerakannya untuk merobohkan para pengeroyok. Dalam waktu singkat saja, delapan orang pengeroyok sudah berpelantingan.

"Tahan" bentak wanita cantik itu. Anak buahnya menghentikan gerakan dan tetap mengepung tempat itu. Wanita itu menghadapi Lee Cin dan kembali mengamati Lee Cin dari kepala sampai ke kaki.

"Hemm, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian, ya? Coba kau lawan aku, ingin kulihat sampai di mana kehebatanmu." setelah berkata demikian, tanpa peringatan lebih dulu tangan kanannya menyerang ke arah muka Lee cin. Tamparan ini mendatangkan angin mengiuk.

"Wuuutt" begitu Lee cin mengelak dengan miringkan mukanya, tangan kiri wanita itu menyambar ke depan, menotok ke arah dadanya. Lee cin kembali mengelak dan kini ia pun membalas dengan pukulan yang tidak kalah ampuhnya.

Terjadilah pertandingan yang hebat, pukul memukul, tangkis menangkis. Lee cin mendapat kenyataan betapa kuatnya sinkang wanita itu, dan juga gerakannya amat cepat. Namun ia mampu mengimbanginya dan mereka bertanding sampai tiga puluh jurus.

Tiba-tiba wanita itu mengebutkan ujung lengan jubahnya yang tipis dan tampak asap kemerahan mengepul dan menyambar ke muka Lee cin. Lee Cin tahu bahwa asap kemerahan itu mengandung racun, akan tetapi asap itu sudah menyambar ke mukanya dan ia pun roboh pingsan.

Tentu saja sebetulnya Lee cin tidak pingsan. Dara perkasa ini adalah puteri dan murid Ang-tok Mo-li seorang datuk yang selain tinggi ilmunya, juga ahli dalam soal racun, terutama racun merah. Maka melihat asap racun kemerahan tadi ia sengaja tidak menyingkir dan pura-pura roboh pingsan. Ia maklum betapa akan sukarnya memasuki menara ini, maka ia berpura-pura pingsan agar dapat disekap dalam tingkat ke lima di mana ia akan dapat menyelidiki keadaan menara ini.

Wanita cantik itu lalu membungkuk dan menanggalkan pedang Ang-coa-kiam dari punggung Lee Cin dan berkata kepada anak buahnya, "Bawa ia ke kamar tahanan tingkat lima. Hati-hati, ia harus dijaga ketat. Setelah dikunci, tingkat lima harus selalu diawasi penjaga. Ilmu silatnya tinggi, ia dapat merepotkan kita."

"Kalau ia berbahaya dan merepotkan, kenapa tidak dibunuh saja, Niocu?" kata seorang diantara para anak buah yang bercadar merah.

"Sayang kalau dibunuh. Ilmu silatnya tinggi, kalau kita dapat membujuknya, ia akan menjadi seorang pembantu yang lebih baik dari kalian semua."

Anak buah gerombolan wanita aneh itu lalu mengangkat tubuh Lee Cin yang lemas naik tangga. Lee Cin diam-diam memperhatikan. Tingkat tiga dan empat juga merupakan ruangan tanpa kamar, terisi penuh prabot dan alat sembahyang, alat dapur dan lain-lain. Agaknya kedua tingkat ini berfungsi sebagai gudang. Setelah tiba di tingkat lima, di situ terdapat kamar-kamar, tidak kurang dari sepuluh kamar sekeliling tingkat itu.

Ia lalu dimasukkan ke dalam salah satu kamar ini. Kamar ini memiliki pintu besi yang tebal yang bagian atasnya merupakan trali yang kuat. Empat orang anak buah gerombolan wanita itu merebahkan dirinya di atas lantai kamar, lalu mereka meninggalkannya di dalam kamar itu dan menguncikan pintu kamar dari luar.

Kamar itu mendapat cahaya penerangan dari luar yang menerobos masuk melalui besi di atas pintu. Lee Cin membuka matanya. Tidak nampak seorang pun penjaga. Tentu para penjaga itu menjaga di luar pintu dan merasa aman karena pintunya sudah dikunci dari luar.

Lee Cin memeriksa keadaan kamar. Terbuat dari tembok tebal di tiga penjuru dan pintu itu memang kokoh sekali. Sayang bahwa Ang-coa-kiamnya dirampas oleh wanita cantik itu. Kalau tidak, dengan Ang-coa-kiam tentu ia akan dapat memotong jeruji besi itu dan dapat bebas.

Lee Cin bangkit berdiri dan memeriksa daun pintu. Daun pintu itu terbuat dari besi tebal. Bagian atasnya, setinggi dada, merupakan jeruji besi yang sebesar lengan orang, tentu amat sukar untuk dipatahkan, kecuali dengan pedang pusaka yang ampuh. Induk kunci yang besar dipasang di luar, dekat jeruji besi sehingga kalau ia mengeluarkan tangannya melalui celah-celah jeruji, jari-jarinya dapat mencapai induk kunci.

Akan tetapi apa gunanya. Induk kunci itu kuat kokoh sekali, tak mungkin dipatahkan begitu saja dan kuncinya tentu dipegang oleh para penjaga. Ia benar-benar tidak berdaya, Ia harus bertindak cerdik, mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri dan menyelidiki keadaan di kamar-kamar sebelah atau bagian lain dari menara itu.

Akan tetapi percuma saja untuk coba membujuk para penjaga di luar. Mereka semua itu kelihatan taat sekali kepada pemimpin mereka yang ia duga tentulah si iblis Cantik seperti yang dikatakan oleh pemuda yang hampir mati itu dalam saat terakhirnya dan juga oleh laki-laki gagah pemegang golok yang terluka oleh telapak tangan hitam.

Akan tetapi ia harus memperoleh bukti lebih dulu sebelum bertindak. Ia sudah berkorban, membiarkan dirinya ditangkap dan pedang pusakanya dirampas. Kalau hasil pengorbanan itu hanya menjadikan dirinya disekap tak berdaya, maka sia-sialah pengorbanan itu Ia harus mencari akal. Ia teringat akan ucapan, si iblis cantik yang menghendaki agar ia dapat menjadi pembantunya.

Itu berarti bahwa pemimpin gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Ia melihat ke atas. Di langit-langit tengah kamar itu terdapat sebuah paku besar yang tadinya mungkin dipasang untuk menggantung lampu penerangan. Akan tetapi sekarang penerangannya mendapatkan dari luar, cahaya lampu yang menerobos masuk melalui jeruji. Ia berpikir sejenak lalu tersenyum.

Tiga orang penjaga di luar kamar tahanan itu saling bercakap dengan suara berbisik-bisik, "Gadis itu berbahaya sekali."

"Ya, ilmu silatnya tinggi."

"Akan tetapi Niocu tidak menghendaki ia dibunuh."

"Memang kalau ia dapat menjadi pembantu, tentu kedudukannya lebih tinggi dari kita semua."

"Akan tetapi bagaimana dapat membujuknya?"

"Aih, jangan khawatir. Niocu tentu akan dapat membuatkan obat yang membikin ia menjadi seekor harimau yang jinak dan penurut."

"Benar, buktinya para pemuda itu semua menjadi jinak penurut dan melakukan apa saja yang dikehendaki Niocu atau kita, hi-hik,"

"Akan tetapi pemuda baju biru itu sungguh keras hati, tidak pernah mau tunduk."

"Dia sudah dirantai di ruangan bawah, kalau sampai besok tidak mau menyerah, mungkin akan disiksa sampai mati. Sayang, pemuda itu seperti seekor kuda yang jantan dan kuat, kalau dibunuh begitu saja."

Tiba-tiba terdengar suara seperti orang mendengkur dari kamar tahanan. Tiga orang wanita itu terkejut, menengok lalu menghampiri pintu tahanan di mana Lee Cin ditahan. Ketika mereka menjenguk ke dalam mereka terkejut bukan main melihat gadis yang ditahan itu telah menggantung diri dengan sabuk suteranya yang dikaitkan pada paku besar di langit-langit.

"Celaka... ia membunuh diri."

"Cepat buka pintunya, ia belum mati."

"Kalau ia mati, kita akan dihukum!"

Mereka lalu membuka daun pintu itu dan cepat menghampiri tengah kamar di mana Lee Cin menggantung diri, mengeluarkan suara seperti orang tercekik lehernya. Tiga orang penjaga itu lalu menolongnya, seorang naik dengan bantuan temannya dan melepaskan ikatan sabuk sutera itu, lalu beramai menurunkan tubuh Lee CM ke atas lantai.

Akan tetapi pada saat itu, Lee Cin bergerak cepat sekali dan tiga orang itu roboh terkulai, tertotok dan membuat mereka tidak mampu bergerak atau bersuara lagi. Totokan it-yang-ci itu memang ampuh sekali. Dalam waktu sejam wanita-wanita itu akan tidak berdaya sama sekali. Lee Cin cepat keluar dari pintu, memasang lagi induk kunci dan menjenguk ke kamar-kamar yang lain.

Hanya ada tiga kamar yang terisi dan isinya sama, yaitu seorang pemuda yang tampak loyo dan lemas, berwajah tampan akan tetapi pucat sekali. Lee Cin memakai induk kunci ketiga kamar itu sehingga para pemuda itu akan dapat lolos dari kamar tahanan kalau dikehendaki, lalu ia menuruni tangga menuju ke tingkat bawah. Ia ingin membebaskan pemuda yang keras hati dan tidak sudi takluk kepada si iblis Cantik.

Sampai di lantai bawah, ia tidak menemui halangan, dan untung ia membawa serangkai anak kunci yang ternyata dapat digunakan untuk membuka semua kamar tahanan di menara itu. Berbeda dengan kamar di mana ia disekap tadi, kamar tingkat bawah di mana pemuda itu disekap dipasangi lampu yang digantung di langit-langit.

Ia menjenguk ke dalam kamar itu, satu-satunya kamar di lantai bawah yang ada orangnya dan melihat pemuda dengan pakaian yang compang- camping terikat dengan rantai baja dan kedua tangan itu direntangkan dan dibelenggu pada besi yang ditanam ditembok.

Pemuda itu kelihatan lemas dan kepalanya ditundukkan pada kulit badannya tampak balur-balur merah, tanda bahwa dia telah disiksa dengan lecutan-lecutan. Tubuh pemuda itu memang kokoh kuat, akan tetapi mukanya tidak dapat dilihat jelas oleh Lee Cin karena dia menunduk sehingga kelihatan gelap, tidak menerima cahaya dari lampu di atas kepalanya.

Lee Cin membuka induk kunci dan pintu itu dibukanya. Ia cepat menghampiri pemuda itu untuk melihat keadaan orang. Pada saat itu, si Pemuda mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara penuh geram, "iblis Cantik, jangan harap aku akan tunduk kepadamu dan menuruti nafsu iblismu. Perempuan tak bermalu, kalau hendak bunuh, bunuhlah karena kalau aku sampai terbebas dari sini, aku pasti akan menghancurkan kepalamu yang isinya kotor dan najis itu."

Wajah itu tampan dan karena ia sedang marah, matanya mencorong dan hidungnya kembang kempis sehingga tampak bengis. Melihat wajah itu Lee Cin terbelalak. kemudian bertanya lirih, "Suheng... Thio Hui san...?"

Pemuda itu membelalakkan kedua matanya yang agak bengkak bekas pukulan dan wajahnya berseri ketika dia mengenal Lee cin- "Aih, engkau sumoi Lee cin. Bagus, engkau datang menolongku."

"Tenang, suheng. Akan kucoba membebaskanmu dari borgol- borgol itu."

Lee Cin meraba-raba kedua borgol yang mengikat, kedua pergelangan tangan yang terpentang itu. Borgol yang kokoh sehingga akan sukar dipatahkan. Kembali Lee Cin merasa menyesal mengapa. ia kehilangan pedangnya. Kalau ada Ang-coa-kiam ditangannya, tidak akan sukar mematahkan belenggu itu.

"Akan kucoba untuk mencabut saja borgol ini dari tembok" kata Lee Cin yang segera menangkap borgol yang membelenggu pergelangan tangan kanan pemuda itu.

"Sekarang, kerahkan seluruh tenagamu, suheng, akan kubantu. Hayo, tarik... satu, dua, tiga...." Mereka mengerahkan tenaga dan "broll" rantai itu terlepas dari dinding.

"Kita cabut yang sebelah lagi," kata Lee Cin dan mereka berdua pun berhasil menjebolkan rantai kedua dari tembok.

Kini bebaslah pemuda itu walau rantai masih bergantung di kedua pergelangan tangannya. Mereka lalu duduk bersila untuk menghimpun tenaga sakti.

"Suheng, bagaimana engkau dapat berada di sini?" tanya Lee Cin sambil memandang wajah yang babak belur itu.

Pemuda itu adalah Thio Hui san, berusia dua puluh lima tahun, bertubuh jangkung tegap dan wajahnya tampan gagah. Dia adalah seorang pendekar muda dari siauw-lim-pai, murid In Kong Taisu. Bagaimana Lee Cin menyebut murid siauw-lim-pai ini sebagai suheng (kakak seperguruan).

Sebetulnya agak berlebihan karena Lee Cin hanya menerima pelajaran It-yang-ci saja dari In Kong Taisu. Biarpun hanya menerima ilmu It-yang-ci, namun Lee Cin menganggap In Kong Taisu sebagai gurunya, maka ia menyebut Thio Hui san sebagai suhengnya.

Hui San lalu menceritakan dengan singkat. Pemuda murid siauw-lim-pai ini secara kebetulan saja dalam perantauannya lewat di bukit itu dan dia mendengar dari sebuah dusun bahwa sudah ada tiga orang pemuda dusun itu lenyap dan tidak pernah pulang kembali setelah berkunjung ke kuil Thian-hok-si di dekat puncak bukit.

Dia menjadi penasaran dan segera melakukan penyelidikan ke kuil itu. seperti juga dengan Lee cin, dia tertarik dan merasa curiga terhadap menara di belakang kuil. Malamnya dia lalu melakukan penyelidikan ke kuil itu.

"Aku berhasil masuk ke menara ini dan melihat lima orang pemuda disekap di lantai empat. Ketika aku sedang mencari akal untuk membebaskan mereka, tiba-tiba terdengar bunyi kerincingan dan aku sudah dikepung oleh banyak wanita bercadar. Kami segera berkelahi dan aku tentu dapat merobohkan mereka semua kalau tidak muncul seorang wanita cantik seperti iblis."

"si Iblis Cantik" kata Lee cin.

"Benar, ia patut disebut Iblis Cantik. Wajahnya memang cantik akan tetapi wataknya seperti iblis. Ialah yang menculik dan menyekap para pemuda itu. Pemuda yang menurut kemauannya akhirnya akan mati juga karena setiap hari diloloh obat perangsang yang amat kuat dan harus melayani banyak wanita.

"Pemuda yang menolak akan disiksa, ada juga dipaksa. Iblis itu ternyata lihai sekali. Ilmu silatnya mungkin tidak terlalu lihai dan aku dapat menandinginya, akan tetapi ia memiliki bahan peledak yang beracun. Ia meledakkan sesuatu yang menimbulkan asap merah dan aku tidak ingat apa-apa lagi."

"Hemm, obat pembius merah," kata Lee Cin.

"Ketika sadar, aku sudah berada di sebuah kamar, terbelenggu dan iblis itu merayuku. Akan tetapi aku tidak sudi dan memakinya. Berulang kali mereka memaksa aku minum obat perangsang, akan tetapi betapapun tersiksanya perasaanku, aku tetap menolaknya. Akhirnya aku dibawa ke sini dan disiksa dengan kejam oleh Iblis Betina itu."

"Jahanam busuk! Kita bunuh iblis itu, suheng, kita basmi gerombolan sesat ini dan bakar kuil dan menaranya" Lee Cin berseru marah sambil mengepal kedua tangannya.

Tiba-tiba terdengar suara tawa merdu disusul ledakan dan tempat itu sudah penuh dengan asap putih yang tebal sehingga Hui san dan Lee Cin tidak dapat melihat apa-apa. Mereka hanya bersiap-siap dan legalah hati Hui san ketika ternyata asap itu tidak mengandung bius.

Mereka berdua sudah memasang kuda-kuda dan siap menerjang. Ketika asap memudar dan menghilang daun pintu kamar itu sudah tertutup dan terkunci lagi, sedangkan belasan orang anak buah gerombolan dipimpin sendiri oleh si Iblis Cantik yang tertawa-tawa.

"Ha-ha-ha-hi-hik, kalian kira akan dapat lolos dari sini? Jangan mimpi orang muda keras kepala, engkau tetap menolak ke hendak kami, sekarang engkau dan gadis ini akan kami jadikan tontonan setelah puas kami menonton, baru kalian akan kami bunuh. Hi-hi-hik" Wanita itu lalu pergi dari situ, akan tetapi masih ada wajah para penjaga tampak dari dalam dan kamar tahanan itu terjaga dari luar.

"Apa yang ia maksudkan?" bisik Lee Cin dengan jantung berdebar karena ia merasakan ancaman mengerikan dalam ucapan Iblis Cantik tadi.

"Aku juga tidak tahu apa maksudnya, sumoi. Akan tetapi kita boleh bersiap-siap dan sekali ada kesempatan, kalau pintu itu terbuka seperti tadi kita harus menerjang keluar. sukur kalau kita dapat menangkap Iblis Cantik itu sehingga kita dapat menjadikannya sebagai sandera."

Lee Cin mengangguk. "Kita tunggu sambil menghimcun tenaga, suheng." Keduanya lalu duduk bersila kembali dan bermeditasi.

Malam itu tidak terjadi sesuatu atas diri Lee Cin dan Hui san. Mereka hanya mendengar suara musik suling dan yang-kim mengiringkan nyanyian merdu dan kadang terdengar tawa wanita yang genit. Mereka dapat menduga bahwa suara yang datang dari atas itu tentu suara Iblis Cantik sedang berpesta pora dan bersenang-senang.

Diam-diam mereka bergidik membayangkan betapa banyak pemuda-pemuda yang menjadi korban mereka. Lee Cin teringat akan tiga orang pemuda dijurang. Mereka semua dalam keadaan loyo dan pucat. Biarpun tidak mengerti jelas, ia dapat menduga-duga apa yang telah terjadi dengan pemuda-pemuda itu. Iblis Betina Cantik itu tiada ubahnya seperti seekor binatang buas penghisap darah. Suara pesta itu terdengar sampai pagi.

Pada keesokan harinya, tampak muka dua orang anak buah gerombolan di luar jeruji, memandang ke dalam. Melihat Lee Cin dan Hui san bersila dan sudah membuka mata, seorang dari mereka berseru, "Kami membawakan makanan dan minuman untuk kalian. Jangan bergerak, atau kami tidak akan memberi makanan dan minuman ini agar kalian mati kelaparan."

Seorang dari mereka membuka kunci pintu, lalu membukanya sedikit saja, hanya cukup untuk memasukkan baki tempat makanan dan minuman, meletakkan di dalam kamar lalu menutupkan dan mengunci lagi daun pintunya dengan cepat seperti takut-takut kalau kedua orang itu menerjang pintu.

Setelah mereka pergi, Lee Cin menuju ke pintu dan mengambil baki itu lalu meletakkannya di depan Hui san.

"Sumoi, untuk apa makan hidangan mereka? Aku tidak sudi."

"Aih, jangan begitu, suheng. Kalau kita tidak makan, bagaimana kita dapat mengharapkan lolos dari sini? Kita akan kelaparan dan tenaga kita akan menjadi lemah. Jangan bodoh, suheng. Mari makan dan minumlah."

"Hemm, aku tidak percaya kepada mereka yang jahat. Bagaimana kalau makanan dan minuman ini dicampuri racun?"

"Jangan khawatir, aku sudah hafal akan racun-racun. Aku akan mencicipi dulu apakah beracun atau tidak." Lee Cin lalu mencicipi setiap masakan dan minuman, mengecap-kecapnya dengan lidahnya. Ia menggeleng kepala dan berkata, "Tidak mengandung sedikitpun racun yang dapat membunuh kita."

Hui-san berpikir bahwa alasan Lee Cin benar. Perutnya sudah lapar karena selama dua hari dua malam dia tidak pernah mau menyentuh makanan yang dihidangkan mereka, dan tubuhnya sudah mulai lemas. Mereka lalu makan minum sampai kenyang dan keduanya merasa segar dan kuat sekali.

Tiba-tiba terdengar suara tawa merdu. "Ha-ha-hi-hi-hik Bagus sekali, kalian telah makan minum sepuasnya."

Di balik jeruji muncullah wajah si Iblis Cantik. Ketika tertawa-tawa itu, tampak giginya yang putih bersih dan berderet rapi, membuat tawanya tampak manis sekali. "Setelah itu, kalian boleh berpengantinan sepuasnya dan kami pun akan mendapat tontonan yang amat memuaskan, hi-hi-hik."

"Perempuan jalang." Hui san menjadi marah dan melempar-lemparkan mangkuk dan cawan, dan sumpitnya ke arah jeruji, akan tetapi wajah cantik itu sudah lenyap dari sana.

Tiba-tiba Hui-san memegang kepalanya yang terasa panas. Dia pernah dipaksa minum sesuatu dan dalam keadaan diborgol kaki tangannya, dia tidak dapat menghindar dan setelah minum air yang tidak mempunyai rasa sesuatu itu, dia pun merasa kepalanya panas dan pening, kemudian dia tersiksa oleh rangsangan yang amat hebat.

Namun Hui-san adalah murid seorang ketua siauw-lim-pai yang bukan hanya mempelajari ilmu silat saja, melainkan juga keagamaan dan ilmu batin. Batinnya menjadi kuat dan dia mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk melawan dorongan rangsangan itu. Kini, merasa kepalanya panas, dia terkejut dan tahulah dia bahwa dalam makanan dan minuman itu terkandung racun atau obat yang mendatangkan rangsangan dalam tubuhnya.

Selama beberapa hari ini, dia selalu digoda Iblis Cantik untuk melayani nafsu rendahnya. Akan tetapi dia dapat bertahan dan menolak dengan keras sehingga akhirnya Iblis Cantik menjadi marah dan dia diborgol dalam kamar itu dan disiksa. Kini, kembali dia dipengaruhi racun perangsang itu, dan karena Lee Cin berada di situ, dia pun tahu betapa bahaya mengancamnya.

"Celaka, sumoi... Makanan dan minuman itu mengandung racun perangsang jangan melihat ke sini, kita tidak harus saling melihat." setelah berkata demikian, Hui san duduk bersila membelakangi Lee Cin dan mengerahkan sin-kang dan kekuatan batinnya untuk menolak rangsangan yang mencengkeram perasaannya itu.

Lee Cin mengerutkan alisnya. Memang ada semacam racun atau obat yang menimbulkan rangsangan gairah dan obat semacam ini tidak ada rasanya. Karena itu ketika mencium baunya dan menjilatnya, ia tidak merasakan apa-apa. Ia sendiri tidak terpengaruh oleh obat macam itu.

Karena di tubuhnya sudah terdapat kekebalan terhadap segala racun. Ketika ia masih kecil, gurunya atau ibunya sendiri sudah memasukkan hawa beracun dalam tubuhnya yang dapat menolak pengaruh racun atau obat apapun juga.

"Karena selalu menolak keinginan nista dari Iblis cantik walaupun aku keracunan, maka akhirnya ia menyekap aku di sini dan menyiksaku. Hati-hati, sumoi dan duduklah bersila untuk melawan bekerjanya racun ini." Hui san berkata tanpa menoleh, suaranya terdengar agak gemetar.

Hatinya mulai diserang perasaan yang membuatnya panas dingin-serangan itu kini jauh lebih berbahaya baginya daripada yang lalu. Kalau tadinya ia menahan gelora rangsangan itu dengan tabah dan menolak bujuk rayu Iblis Cantik karena memang dia merasa tidak suka wanita jahat itu, kini dia terangsang dalam keadaan berada sekamar dengan Lee Cin.

Padahal, dia mencinta Lee Cin. Dahulu, ketika Lee Cin dilatih It-yang-ci oleh In Kong Taisu, gurunya, dia pernah menyatakan cintanya kepada Lee Cin (baca Kisah Gelang Kemala). Biarpun Lee Cin menolaknya dengan halus karena gadis itu belum memikirkan tentang cinta, namun cintanya tidak pernah lenyup. Kini, gadis yang dicintanya itu berada dekat dengannya, maka dorongan gairah itu menjadi berlipat ganda kuatnya.

Lee Cin yang sudah mempelajari banyak pengetahuan tentang racun dari ibunya, dapat memaklumi keadaan Hui-san. Ia tidak mendekati pemuda itu dan dari sudut kamar itu ia berkata lembut, "Pertahankan, suheng. Ingat, engkau adalah murid suhu In Kong Taisu yang tentu kuat untuk menahan diri dari serangan nafsu apa pun. Aku akan berusaha untuk dapat lolos dari tempat ini."

Hui-san diam saja, dan tidak menoleh. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara suling melengking-lengking. Dia tahu bahwa Lee Cin meniup suling, akan tetapi tidak mengerti apa maksud gadis itu bermain suling dalam keadaan seperti itu.

Akan tetapi tidak lama kemudian, seekor ular belang hitam putih merayap masuk ke dalam kamar tahanan itu. Ular ini kecil saja, sebesar ibu jari kaki. Binatang itu merayap masuk melalui celah di bawah pintu mendekati Lee Cin dan mengangkat kepalanya dan digoyang-goyangkan, seolah menari mengikuti irama suling yang ditiut gadis itu.

Lee Cin meniup suling dengan lembut, memegangi suling dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya cepat menangkap ular itu. Jari-jari tangannya menjepit leher ular itu sehingga ular itu tidak mampu menggerakkan kepalanya lagi. Agaknya ia menjadi jinak di tangan Lee Cin.

Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya, mengambil sebuah cawan yang tadi dipakainya minum, kemudian memaksa ular itu membuka mulutnya dan menekan taringnya pada bibir cawan sehingga cairan hitam keluar dari mulut ular itu dan menetes ke dalam cawan. Itulah racun ular belang hitam-putih yang memang hendak diambil oleh Lee Cin.

Setelah merasa cukup, Lee Cin melepasnya. Ular itu, seperti seekor anjing yang jinak, merayap ke sudut itu dan melingkar di sana, tak bergerak lagi akan tetapi matanya tetap ditujukan ke arah Lee Cin seperti menanti perintah selanjutnya.

Lee Cin menuang air teh dari poci yang tadi dihidangkan sampai setengah cawan dan mencicipi dengan menjilat jarinya. Setelah merasa bahwa ukuran minuman itu cukup ia lalu membawa cawan itu kepada Hui san.

"Sumoi, tolong... jangan mendekat...." kata Hui-san yang dapat mendengar gerakan Lee Cin mendekatinya.

"Suheng, aku telah membuatkan obat penawarnya. Minumlah cawan ini sampai habis isinya." Ia menyodorkan cawan itu dari belakang tubuh Hui-san.

Pemuda itu menerima cawan itu dan tanpa ragu sedikitpun segera minum isinya sampai habis. Air teh itu terasa lebih pahit dari biasanya. Setelah mengembalikan cawan, dia memejamkan mata, merasakan apa yang terjadi dalam perutnya. Perut itu mengeluarkan suara berkeruyuk seperti kelaparan dan dalam perutnya ada gerakan hawa yang meronta-ronta.

Hui-san menahan rasa mual itu dan bernapas dengan panjang, menghimpun hawa murni. Perlahan-lahan rasa mual itu menghilang dan lenyap juga pening di kepalanya dan dengan girang dia mendapat kenyataan betapa rangsangan gelora nafsu itu juga sudah lenyap sama sekali. Dengan hati lega dan girang dia membalikkan tubuhnya menghadapi Lee Cin yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian.

Melihat wajah pemuda itu yang tadinya kemerahan seperti orang kepanasan kini sudah normal kembali, ia bertanya, "Bagaimana sekarang suheng? sudah membaikkah?"

"Ah, terima kasih, sumoi. Sudah sembuh sama sekali." Dan ia terkejut melihat ular kecil melingkar di sudut ruangan itu.

"Racun ular itu penawar segala macam racun, Suheng. Yang kau minum tadi adalah racun ular belang hitam-putih dan air teh."

Mendengar ini, Hui san mengangguk-angguk. "Pantas engkau tidak sampai keracunan biarpun juga makan minum seperti aku, sumoi. Kiranya pengetahuanmu tentang racun amat mendalam."

"Akan tetapi, kalau ular belang hitam putih itu menggigit orang, racunnya akan segera mendatangkan kematian. Biar kuusahakan pembebasan kita, suheng. Engkau pura-pura menggeletak pingsan, dan aku yang akan menarik perhatian penjaga."

Biarpun belum mengetahui dengan jelas, Hui-san dapat menduga bahwa gadis cerdik itu akan bersandiwara agar pintunya dibuka, maka dia mengangguk lalu merebahkan diri miring menghadap dinding membelakangi pintu.

"Jangan miring, biar telentang saja, suheng dan kau kerahkan tenaga dalam untuk membuat wajahmu tampak pucat..."

Hui-sian menurut dan dia menelentangkan tubuhnya dan mengerahkan sinkang untuk menahan jalan darah yang menuju ke mukanya sehingga mukanya itu tampak pucat sekali.

"Suheng.... aduh, tolong. Tolonggg...." Lee Cin menangis dan menjerit-jerit setelah ia tadi menyembunyikan ular belang hitam putih di bawah bajunya.

Dua kepala segera tampak di luar jeruji. "Ada apa?" tanya seorang di antara mereka ketika melihat Lee Cin menangis dan mengguncang-guncang tubuh Hui-san.

"Suheng.... Aduh.... perutku... perutku sakit...." Dan Lee Cin juga terkulai dan roboh menimpa tubuh Hui san, lalu berkelojotan seperti orang sekarat.

Melihat ini, dua orang penjaga itu menjadi khawatir. Kalau dua orang tawanan itu mati, tentu mereka akan dipersalahkan oleh Niocu yang berwatak keras. Melihat wajah pemuda itu pucat dan wajah Lee Cin juga pucat dan kerut merut menahan nyeri yang hebat, dua orang penjaga itu terkecoh.

Mereka tahu bahwa makanan dan minuman untuk dua orang ini diberi racun perangsang dan mereka mengira bahwa mereka agaknya tidak kuat menahan bekerjanya racun itu sehingga menderita nyeri hebat.

Karena gugup dan khawatir kalau-kalau dua orang tawanan itu mati, dua orang penjaga bergegas membuka pintu kamar tahanan dengan anak kunci yang mereka bawa, lalu menghampiri Hui San yang kelihatan pingsan dan Lee Cin yang mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat.

Akan tetapi baru saja mereka menekuk lutut hendak memeriksa, dengan kecepatan kilat Lee Cin dan Hui San menyerang mereka dengan totokan It-yang-ci. Tanpa dapat mengeluarkan suara kedua orang penjaga itu roboh tak sadarkan diri.

"Kita cepat keluar dari sini," bisik Hui San.

"Nanti dulu, kalau penjagaan amat ketat, akan sukarlah bagi kita untuk dapat meloloskan diri dari sini. sebaiknya kupanggil dulu para pembantuku."

"Pembantu?"

Lee Cin mengeluarkan ular belang hitam putih dari balik jubahnya dan berkata, "Pembantu-pembantu seperti ini." Lalu ia mengeluarkan sulingnya dan meniupnya. Terdengar bunyi melengking lengking yang lembut namun nada suara tinggi melengking-lengking itu dapat menembus sampai ke mana-mana.

Tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan dari luar pintu kamar tahanan yang sudah terbuka itu, "Ular, ular...."

"Wah, ular banyak sekali. Haiiih, menggelikan dan mengerikan."

"Semua memasuki menara. Cepat usir."

"Hiiih, aku jijik...."

Suara gaduh itu diselingi suara mendesis-desis dan segera tercium bau amis dan aneh. Banyak sekali ular besar kecil agaknya terpanggil oleh tiupan suling Lee Cin dan puluhan, bahkan ratusan ekor ular itu menerobos pintu memasuki lantai dasar menara itu, lalu masuk ke dalam kamar di mana Lee Cin meniup sulingnya.

Melihat sedemikian banyaknya ular besar kecil, Hui San sendiri merasa ngeri. Akan tetapi Lee Cin dengan tenang saja meniup sulingnya dan semua ular yang sudah memenuhi ruangan itu mengangkat kepala seperti menari-nari.

Tiba-tiba dari luar mendatangi banyak wanita bercadar mengiringkan sang Iblis Cantik Iblis Cantik itu nampak marah sekali. "Pintu kamar tahanan itu sudah terbuka. Jahanam, siapa yang berani lancang membukanya?"

Akan tetapi ia segera melihat dua orang anak buahnya menggeletak di lantai kamar itu dalam keadaan pingsan, dan ia pun melihat banyak sekali ular di kamar itu, mengangkat kepala seperti menari-nari mengikuti irama lagu dari suling yang ditiup Lee Cin.

"Kalian semua maju. Bunuh dua orang itu." bentak Iblis Cantik yang menganggap dua orang itu berbahaya karena telah mengetahui rahasianya.

Akan tetapi semua anak buahnya adalah wanita, dan tidak anehlah kalau mereka merasa ngeri dan jijik melihat ular demikian banyaknya, ada yang besar ada yang kecil beraneka warna dan menggeliat-geliat menyeramkan. Iblis Cantik sendiri, biarpun ia seorang yang pemberani dan berhati kejam, tidak takut terhadap siapa pun, merasa ngeri melihat Ular demikian banyaknya.

Lee Cin melihat bahwa pedang Ang-coa-kiam nya berada di tangan wanita cantik itu, maka hatinya menjadi panas....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.