Dewi Ular Jilid 05
"MARI kita keluar dari sini, Suheng," katanya, menghentikan tiupan sulingnya. Kemudian la meniup lagi sulingnya, sekali ini dengan lagu yang keras dan terdengar seperti penuh kemarahan.
Ular-ular itu segera membalik dan seperti hendak menyerang kepada semua wanita yang berada di luar kamar itu. Melihat ini, Iblis cantik sendiri yang berada paling depan, segera bergerak mundur dengan muka berubah pucat.
Hui San dan Lee Cin melangkah keluar dan berada di belakang barisan ular seolah menggiring mereka yang mengejar para wanita bercadar dan pemimpin mereka.
"Pergunakan api..." tiba-tiba iblis cantik berseru kepada anak buahnya. Beberapa orang anak buahnya menyalakan obor dan menyerang ular-ular itu. Tentu saja ular-ular itu menjadi kalang-kabut, saling terjang dan ketakutan melihat api yang panas.
Melihat ini, Lee Cin memberi isyarat kepada Hui San dan mereka menerjang maju. Lee Cin menggunakan sulingnya dan Hui San menggunakan kaki tangannya untuk mengamuk. Amukan kedua orang membuat para wanita bercadar itu terdesak mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lee Cin dan Hui San untuk melompat keluar.
"iblis busuk. Mari kita bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih kuat." teriak Lee Cin dan ia pun menerjang dengan hebatnya kepada iblis cantik yang segera memutar pedang rampasannya untuk menyambut terjangan Lee Cin itu.
Lee Cin menggunakan sulingnya untuk menangkis dan balas menyerang. Biarpun hanya sebatang suling, akan tetapi suling di tangan Lee Cin adalah suling terbuat dari baja dan memang dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh.
Dua orang wanita yang sama cantiknya itu segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Ular-ular yang ketakutan menghadapi api dan yang kini tidak terkendali oleh suara suling, melarikan diri cerai berai ke segala penjuru.
Sementara itu, Hui San mengamuk dengan kaki tangannya, dikeroyok belasan orang wanita bercadar. Pendekar Siauw-lim-pai ini biarpun bertangan kosong, membuat para pengeroyoknya kocar-kacir dan mereka yang terkena tamparan atau tendangannya berpelantingan.
Perkelahian itu terjadi di luar menara dan karena matahari telah naik cukup tinggi dan kuil itu mulai dipenuhi pengunjung, maka tentu saja suara perkelahian itu terdengar sampai ke kuil. Para pengunjung kuil sejak tadi terheran-heran mengapa tidak ada seorang to-kouw yang menyambut dan melayani mereka. Mereka tadinya hanya menunggu munculnya para to-kouw.
Kemudian mereka mendengar suara ribut-ribut dari belakang kuil, maka mereka lalu memasuki kuil dan keluar dari pintu belakang. Mereka terheran-heran ketika melihat seorang gadis dan seorang pemuda dikeroyok banyak wanita bercadar.
Yang amat menarik hati mereka adalah ketika mereka melihat iblis Cantik. Wanita itu mirip sekali dengan Dewi seribu Berkah yang mereka puja-puja di kuil itu Karena tidak tahu urusannya dan tidak mengenal mereka yang berkelahi, orang-orang itu tidak berani mencampuri, hanya menonton dari jarak jauh.
Hui San mengamuk dan para pengeroyoknya yang belasan orang jumlahnya itu kocar-kacir. Biarpun mereka semua memegang pedang, tidak pernah sekalipun tubuh pemuda itu terkena senjata para pengeroyoknya, bahkan beberapa orang kehilangan pedang yang terlempar karena tamparan atau tendangan kaki pemuda itu. Para pengeroyok mulai menjadi jerih melihat sepak terjang Hui san dan mereka mulai mundur menjauhkan diri.
Sementara itu, iblis Cantik yang melawan Lee Cin juga sudah kewalahan menghadapi permainan suling di tangan gadis itu. Lee Cin memainkan Ang-coa Kiam-sut dengan sulingnya dan tangan kirinya kadang menyelingi sambaran sulingnya dengan ilmu totok It-yang-ci yang ampuh. iblis Cantik itu hanya mampu menangkis dan mengelak saja, main mundur dan didesak terus oleh Lee Cin.
Pada suatu saat, tangan kiri Lee Cin berhasil menotok mengenai siku kanan iblis Cantik. Seketika lengan itu menjadi lumpuh dan pedang Ang-coa-kiam terlepas dari tangannya. Lee Cin cepat menyambar pedangnya itu dengan tangan kiri lalu menyelipkan suling dipinggangnya.
Iblis Cantik terkejut sekali. Ia melompat ke belakang lalu tangan kirinya bergerak. Beberapa sinar kecil hitam menyambar ke arah Lee Cin. Lee Cin maklum bahwa lawan menyerangnya dengan senjata rahasia, maka ia memutar pedang ular merahnya sehingga semua senjata gelap itu runtuh.
Tiba-tiba si iblis Cantik menggerakkan tangan kirinya lagi dan terdengar ledakan disusul asap hitam tebal. Lee Cin maklum bahwa lawannya hendak melarikan diri dengan lindungan asap tebal. Tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan dilemparkannya ke depan.
Terdengar jerit mengerikan kemudian sunyi. Anak buah iblis Cantik yang kewalahan melawan Hui San sudah melarikan diri, cerai-berai ke empat penjuru mencari keselamatan. Lee Cin dan Hui sian mengusir asap tebal dengan pukulan dan dorongan tangan dengan pengerahan sin-kang.
Setelah asap menipis dan mengudara, tampaklah si iblis Cantik rebah telentang dengan mata mendelik dan kedua tangan di leher. Di lehernya yang putih mulus telah melingkar seekor ular belang hitam putih yang tadi dilontarkan oleh Lee Cin. Leher itu telah digigit ular, akan tetapi ular itu pun mati dengan kepala hancur dicengkeram jari tangan iblis Cantik.
Setelah pertempuran terhenti, baru para tamu kuil menghampiri. Sibuklah Lee Cin dan Hui San menjelaskan dan menceritakan tentang iblis Cantik dan anak buahnya yang bersarang di menara itu dan menggunakan kuil itu untuk menjadi kedok perbuatan maksiat mereka.
Tadinya para tamu itu tidak dapat percaya, akan tetapi setelah mereka ikut menyerbu ke menara dan membebaskan beberapa orang pemuda yang menjadi korban gerombolan sesat itu dan mendengar keterangan mereka, baru para tamu itu dapat percaya.
Para pemuda yang menjadi korban itu bercerita betapa mereka ditawan, diberi minum obat perangsang dan selanjutnya mereka harus melayani nafsu jahat si iblis Cantik. Kalau si iblis Cantik itu sudah bosan, seorang pemuda diserahkan kepada anak buahnya. Pemuda-pemuda itu tidak mampu menolak atau mencegah. Bahkan mereka yang sudah loyo dan kehabisan tenaga, dibuang begitu saja di tengah hutan di bukit itu, dan ada yang dilempar ke dalam jurang.
Mendengar ini, para tamu kuil itu menjadi marah. Mereka merasa telah tertipu oleh para to-kouw yang ternyata adalah wanita-wanita cabul yang amat jahat. Bahkan Dewi seribu Berkah yang mereka puja adalah patung dari iblis cantik yang mengepalai gerombolan cabul dan jahat itu. Saking marahnya, para penduduk dusun yang merasa tertipu itu lalu membakar kuil dan menara dan melemparkan mayat si iblis Cantik ke dalam kobaran api.
Lee Cin dan Hui San diam-diam meninggalkan para penghuni dusun yang mengamuk itu, menuruni puncak dengan cepat. Setelah tiba disebuah lereng yang merupakan lapangan rumput, mereka berhenti untuk beristirahat.
"Berbahaya sekali...." Hui San menghela napas panjang.
"Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, entah bagaimana jadinya dengan diriku. Mungkin akan disiksa sampai mati. Aku patut berterima kasih kepadamu sumoi." Pemuda itu memandang Lee Cin sambil tersenyum dan pandang matanya bersukur.
Lee Cin tertawa kecil. "Ih, perlukah itu kita saling berterima kasih, suheng? sudah sewajarnya kalau kita saling bantu, bukan? Kalau engkau berterima kasih, aku ingatkan engkau akan peristiwa dua tiga tahun yang lalu. Engkau pun menyelamatkan aku dari tangan si jahanam Siangkoan Tek" (baca Kisah Gelang Kemala).
Hui San tertawa. "Akan tetapi sebaliknya engkau pun menyelamatkan aku ketika aku terluka oleh pukulan datuk Siangkoan Bhok."
"Sudahlah, karena itu tidak perlu kita saling berterima kasih, saling hutang budi. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya, bukan? Ketika aku ke menara, aku sama sekali tidak mengira bahwa pemuda yang hendak kuselamatkan itu adalah engkau. Apalagi engkau, suheng, biarpun orang lain, kalau membutuhkan pertolongan tentu akan kutolong."
"Engkau seorang pendekar wanita yang berbudi mulia, sumoi," kata Hui San sambil menatap wajah gadis itu penuh kagum. Cintanya terhadap Lee Cin yang selama ini terpendam saja, kini tumbuh kembali, akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan hal itu kepada Lee Cin, takut kalau ditolak lagi. Penolakan Cinta memang mendatangkan perasaan pedih di hati. Daripada menyatakan Cinta lalu ditolak. Lebih baik berdiam diri sehingga hubungan mereka tetap baik.
"Suheng, engkau hendak ke mana dan bagaimana dapat sampai di tempat ini?" tanya Lee Cin.
"Sebetuinya aku diutus oleh susiok (Paman Guru) Hui Sian Hwesio untuk pergi berkunjung ke Bengcu Souw Tek Bun di Hong-san."
"Ah, mengunjungi Ayah?" Lee Cin bertanya heran.
"Ayahmu? Bengcu Souw Tek Bun itu ayahmu?" kini Hui San yang bertanya penuh keheranan. Ketika Lee Cin belajar It-yang-ci dari gurunya, In Kong Thaisu, yang dia tahu Lee Cin adalah murid Ang-tok Mo-li Bagaimana kini gadis itu mengaku Souw-bengcu sebagai ayahnya?
Lee Cin menghela napas panjang. Ia sudah terlanjur mengatakan demikian maka ia harus menceritakan hal yang sebenarnya, "Ya, dia adalah ayah kandungku. Sudah hampir dua tahun aku tinggal bersama ayah kandungku di Hong-san. Akan tetapi engkau hendak ke sana menemui ayahku ada masalah apakah suheng,?" Ia membelokkan percakapan.
"Tentu engkau tahu bahwa kalau ayahmu itu menjadi bengcu, maka Susiok Hui Sian Hwesio dan Locianpwe Im Yang sengcu ketua Kun-lun-pai adalah wakil-wakil Bengcu."
"Aku mengerti. Ayah sudah memberitahu kepadaku. Akan tetapi ada urusan apakah susiok Hui San Hwesio mengutusmu mengunjungi Ayah?"
"Aku tidak tahu jelas, sumoi. Hanya pesan susiok Hui Sian Hwesio kepadaku agar memberitahukan Souw-bengcu bahwa pada bulan lima akan diadakan pertemuan besar antara para tokoh kang-ouw untuk membicarakan keadaan di luar timur sepanjang pantai, di mana banyak tokoh kang-ouw terbujuk oleh bangsa Jepang untuk mengadakan pemberontakan di sana. Pertemuan itu akan diadakan di Hong-san dan minta kepada Souw-bengcu untuk bersiap-siap menghadapi pertemuan itu."
Lee Cin mengerutkan alisnya. "Hemm, pertemuan itu tidak bisa diadakan di Hong-san."
"Kenapa, sumoi?"
"Justeru aku hendak menghadap susiok Hui Sian Hwesio wakil bengcu, untuk menyampaikan pesan Ayah bahwa mulai sekarang Ayah telah mengundurkan diri dari kedudukan sebagai bengcu."
Tentu saja Hui san terkejut mendengar ini dan memandang wajah Lee Cin dengan penuh pertanyaan- "Kenapa, sumoi?"
Lee Cin sudah siap dengan jawabannya terhadap pertanyaan itu seperti yang ia telah membayangkannya. "Ayah berada dalam keadaan tidak sehat setelah berkelahi melawan seseorang, karenanya Ayah tidak lagi dapat bertindak sebagai bengcu. Ayah mengutus aku menemu susiok Hui Sian Hwesio atau Locianpwe Im Yang Sengcu dari Kun-lun-pai sebagai wakil-wakil bengcu agar mereka bertindak mewakilinya. Pendeknya, Ayah mengundurkan diri dari kedudukan sebagai bengcu."
"Siapa yang telah melukai ayahmu, sumoi?"
Lee Cin menghela napas. "Itulah sukarnya. Ayah tidak mengenalnya siapa, hanya tahu dia seorang laki-laki muda yang memakai kedok hitam. Aku sekarang sedang dalam perjalanan mencari pria muda yang berkedok hitam itu. Aku harus membalas apa yang telah dia lakukan kepada Ayah."
"Akan tetapi mengapa? Apakah orang itu musuh ayahmu? Tentu ada sebab-sebabnya."
"Menurut Ayah, orang itu menyalahkan Ayah yang duduk sebagai bengcu, Ayah disebutnya sebagai antek Mancu. Jahanam busuk itu, aku akan memenggal lehernya. Berani dia menuduh Ayah sebagai antek Mancu."
Hui San menghela napas panjang. "Inilah satu di antara persoalan yang akan dibahas dalam rapat para tokoh kang-ouw. Kita semua mengetahui bahwa negara dan bangsa kita dijajah oleh orang Mancu, dan karena pemilihan bengcu juga disetujui bahkan didukung pemerintah Kerajaan Mancu, maka tidaklah terlalu aneh kalau ada orang-orang kang-ouw yang menuduh kita sebagai antek Mancu. Sekarang ini banyak golongan yang bergerak menentang pemerintah penjajah Mancu."
"Akan tetapi, Ayah bukan antek Mancu. Dan Ayah tidak menggerakkan orang kang-ouw untuk membantu pemerintah Mancu orang menuduh sembarangan, tanpa menyelidiki lebih dulu sudah menyerang Ayah. Pendeknya, dari golongan manapun orang yang menyerang Ayah itu, aku pasti dan harus membalasnya. Aku tidak peduli apakah dia itu dari golongan pendekar maupun golongan sesat. Cara dia menyerang Ayah dengan memakai kedok dan menggunakan ilmu pukulan penghancur tulang sudah menunjukkan bahwa dia bukan manusia baik-baik"
Menghadapi gadis yang marah-marah itu Hui San menghela napas. Dia sudah cukup mengenal watak Lee Cin dan justeru kekerasan hati gadis ini yang membuatnya tertarik. Dia tahu bahwa betapapun ganas dan galaknya Lee Cin, pada dasarnya ia seorang gadis gagah perkasa yang mempertahankan kebenaran seperti yang ia gambarkan dengan penuh keberanian. Ia bukan seorang gadis jahat walaupun memang wataknya keras dan liar.
"Aku sendiri tidak dapat menduga siapa orang berkedok itu, sumoi. sebaiknya sekarang kita pergi menghadap susiok Hui sian Hwesio. Kalau beliau sudah tidak berada di Kuil Kwi-cu lagi, biariah suhu yang memutuskan dan menerima pesan ayahmu. Susiok Hui sian Hwesio adalah wakil Ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu, dan tugasnya mewakili suhu di luaran. Beliau banyak melakukan perantauan."
"Akan tetapi pesan Ayah, kalau aku tidak dapat bertemu dengan susiok Hui sian Hwesio, aku harus pergi ke Kun-lun-pai melapor kepada Locianpwe Yang sengcu."
"Hal itu kita bicarakan nanti saja kalau kita sudah menghadap sisiok Hui Sian Hwesio atau suhu. Mari, sumoi, kita lanjutkan perjalanan ke Kwi-cu."
Kedua orang muda itu lalu meninggalkan bukit itu dan melakukan perjalanan cepat menuju ke Kwi-cu. Lee Cin sama sekali tidak mengetahui betapa bahagia rasa hati Hui San mendapat kesempatan melakukan perjalanan bersamanya. Memang dua tahun lebih yang lalu Hui san pernah menyatakan Cintanya kepadanya, akan tetapi ditanggapinya dengan ringan dan tak acuh saja tanpa ketegasan apakah ia menerima ataukah menolak Cinta kasih pemuda itu.
Lee Cin sendiri sudah hampir lupa akan peristiwa itu. Namun pada wajahnya, Hui san yang berbatin kuat itu tidak menunjukkan sesuatu. Sikapnya tetap ramah dan sopan terhadap Lee Cin. Bahkan tidak nampak pada sinar matanya kemesraan yang memenuhi hatinya.
Cinta merupakan suatu perasaan teramat kuat mempengaruhi diri setiap orang manusia. Cinta dapat mendatangkan perasaan berbahagia, namun Cinta dapat pula mendatangkan perasaan sengsara. Kalau dua hati bertemu dan saling bertaut dalam ikatan benang-benang Cinta itu kadang dapat kusut dan ruwet.
Namun sebaliknya, kalau Cinta tidak terbalas, dapat mendatangkan penderitaan batin yang hebat. Kekecewaan dan kehampaan akan membuat seseorang merasa sebagai manusia paling sengsara di dunia ini.
Cinta selalu diboncengi nafsu sehingga sifatnya menjadi tamak. Cinta seperti ini selalu menghendaki balasan, selalu menghendaki keuntungan bagi diri sendiri. Menghendaki agar yang diCinta itu membalas Cintanya, menghendaki agar dia dapat memiliki dan memiliki yang di Cinta.
Cinta seperti ini mendatangkan rasa senang bagaikan orang minum anggur yang dapat memabukkan dan membuat dirinya lupa daratan. Akan tetapi Cinta seperti ini, yang diboncengi nafsu asmara, sebaliknya dapat pula mendatangkan kekecewaan dan duka. Kalau yang di Cinta itu tidak membalas dengan Cinta.
Kalau yang di Cinta itu memalingkan muka kepada orang lain, kalau yang di Cinta itu tidak menyenangkan hatinya, tidak suka dikuasai dan dimilikinya, tidak mau pula menguasai dan memilikinya, maka datanglah kekecewaan dan duka.
Ada Cinta yang murni, tidak diboncengi nafsu. Cinta seperti ini bagaikan sinar matahari yang tidak memilih siapa yang akan dilimpahi cahayanya. Cinta seperti ini tidak menuntut balasan, Cinta seperti ini tidak memilih sasaran dan Cinta seperti ini tidak pernah mendatangkan kesenangan maupun kesusahan, tidak pernah mendatangkan kepuasan maupun kekecewaan.
Cinta seperti ini seperti matahari yang menyinarkan cahayanya kepada siapapun juga, menghidupkan, menyehatkan tanpa menuntut balas apa pun dan dari siapa pun. seperti bunga menyiarkan keharuman memberikan keindahan kepada siapapun juga tanpa menuntut balas apa pun dari siapa pun. Cinta seperti ini adalah suatu keadaan, bukan suatu perbuatan yang lahir dari hati akal pikiran.
Akan tetapi yang kita bicarakan adalah Cinta yang pertama tadi, Cinta yang ada karena bekerjanya hati akal pikiran, karena tertariknya panca indera. Manusia tidak ada yang terbebas dari Cinta seperti ini. Akan tetapi manusia yang sudah menyadari dan tahu macam apa Cinta yang menguasai hatinya, yang waspada dan maklum bahwa Cintanya itu bergelimang nafsu, tidak akan terlalu dalam terperosok.
Tidak akan terlalu kuat terikat sehingga akibatnya tidak terlalu parah. sesungguhnyalah bahwa Cinta seperti ini membuahkan kesenangan ataupun kesusahan, kepuasan atau kekecewaan dan siapa yang sudah tahu benar akan hal ini, kalau harus memetik dan memakan buahnya, tidaklah terkejut benar.
Pada suatu hari yang cerah, serombongan piauwsu terdiri dari sembilan orang pengawal dua buah kereta terisi barang dagangan yang amat berharga, yaitu kain sutera dan bahan pakaian lainnya, yang ditarik oleh masing-masing dua ekor kuda. para piauwsu itu menunggang kuda dan mereka mengawal barang kiriman itu sambil bercakap-cakap dan menjalankan kuda mereka dengan santai.
Mereka telah melakukan perjalanan selama dua hari dari kota Pao-ting dan tujuan mereka adalah kota Thian-ting di tenggara. Perjalanan itu akan makan kurang lebih lima hari dan sudah dilalui setengah perjalanan. Mereka sudah lelah dan hendak mengaso kalau terdapat tempat yang cocok untuk itu.
Dua orang kusir juga melenggut di tempat duduk mereka, membiarkan kuda mereka berjalan seenaknya. Kuda- kuda itu perlu beristirahat dan diberi minum. Mereka tahu bahwa di lereng pertama dari bukit di depan terdapat sebuah dusun dan di sana mereka bisa mendapatkan makanan dan minuman untuk orang dan kuda.
Mereka menjalankan kuda seenaknya karena dusun itu sudah dekat dan mereka sudah melampaui daerah yang dianggap paling berbahaya tanpa mendapatkan gangguan yang berarti. Dari dusun di lereng itu sampai ke kota Thian-ting perjalanan akan lebih aman dan juga tidak banyak melalui jalan pegunungan yang berat. Hati mereka ringan dan karena merasa aman, mereka pun bercakap-cakap dengan santai.
Yang memimpin rombongan ini adalah piauwsu kepala, sebanyak dua orang bernama Cu Lok dan Thio sin. Mereka adalah piauwsu yang sudah berpengalaman dan merupakan wakil-wakil yang dipercaya dari Ketua Kim-liong-pang di Pao-ting, yaitu Souw-pangcu atau Souw Can. Karena barang kiriman itu amat berharga, maka kedua orang wakil inilah yang disuruh mengawal, bersama tujuh orang piauwsu pembantu.
Ketika mereka tiba di kaki bukit itu, tak jauh lagi dari dusun yang berada di lereng pertama, tiba-tiba dua buah kereta yang berjalan di depan berhenti. Para piauwsu yang mengiringkan di belakang sambil bercakap-cakap merasa heran dan cepat dua orang pimpinan mereka melarikan kuda menuju ke depan untuk melihat mengapa kereta dihentikan oleh kusir-kusirnya.
Cu Lok dan Thio sin yang melarikan kudanya paling depan, melihat seorang pemuda tampan berdiri di tengah jalan sehingga kusir terpaksa menghentikan keretanya karena tidak ingin menabrak pemuda itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh dua tahun yang berwajah tampan dan gagah. Dipunggungnya terdapat sebatang pedang dan pakaian pemuda itu mewah dan indah bersih, pandang matanya tajam dan mulutnya tersenyum.
Nampaknya dia bersikap lembut dan melihat pakaiannya seperti seorang kong-cu yang kaya, dua orang piauwsu itu menjadi tenang hatinya. Tidak mungkin pemuda seperti itu hendak mengganggu mereka. Tampang dan pembawaannya bukan seperti orang kang-ouw yang yang suka merampok atau memeras.
Cu Lok piauwsu yang berusia empat puluh tahun dan bertubuh tinggi besar, berkata kepada rekannya, "Biar aku yang menghadapinya."
Thio sin, yang berusia tiga puluh lima tahun dan bertubuh sedang, juga merasa tenang melihat pemuda yang menghadang itu, maka dia pun mengangguk dan membiarkan rekannya yang lebih tua itu melompat turun dari kudanya dan menghadapi pemuda yang menghadang di tengah jalan itu.
Cu Lok adalah seorang piauwsu yang berpengalaman. Dia tahu bahwa penjahat yang paling berbahaya adalah kalau dia berupa seorang yang lemah dan sama sekali tidak kelihatan sebagai seorang penjahat. Maka dia bersikap hati-hati dan mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada pemuda berpakaian mewah itu.
"Kami para piauwsu dari Kim-liong-pang sedang mengawal dua kereta barang menuju ke Thian-ting. Agaknya Kongcu mempunyai urusan penting dengan kami maka menghadang sini. Apakah kiranya yang dapat kami bantu untuk Kongcu?" sikap Cu Lok ini hormat sekali.
"Bagus, orang-orang Kim-liong-pang ternyata mengerti aturan," kata pemuda itu sambil tersenyum. "Bolehkah aku bertanya, apa isi kedua kereta itu?" Dia menuding ke arah dua buah kereta yang berhenti di situ.
"Kami sedang mengawal barang kiriman berupa kain-kain sutera dan bahan pakaian lain menuju ke Thian-ting. Harap Kongcu membiarkan kami lewat," kata Cu Lok. masih dengan sikap merendah dan hormat.
"Aha, kebetulan sekali. Kami sedang membutuhkan kain untuk membuat pakaian anak buah kami yang belasan orang banyaknya. Karena itu, bersikaplah baik dan murah hati kepada kami, piauwsu, dan tinggalkan sebuah di antara dua kereta itu untuk kami."
Cu Lok mengerutkan alisnya. Tidak salah dugaannya. Pemuda yang berpakaian mewah dan berbicara halus ini adalah seorang perampok. Maka dia berkata dengan menahan kesabaran. "Mana dapat begitu, Kongcu? Barang kiriman ini bukan milik kami dan kami dari Kim-liong-pang tidak pernah bermusuhan dengan Kongcu. Harap biarkan kami lewat dan kelak kami akan berkunjung untuk menghaturkan terima kasih."
Pemuda itu tertawa, "Ha-ha-ha, mana bisa begitu? Yang kami butuhkan sekarang adalah kain-kain untuk dibuat pakaian, bukan ucapan terima kasih."
"Kalau hanya itu yang Kongcu butuhkan, tentu dengan senang hati kami akan memberi untuk Kongcu," kata Cu Lok yang mengira bahwa pemuda itu membutuhkan pakaian untuk diri sendiri sehingga hanya membutuhkan beberapa potong kain saja. "Kalau Kongcu hendak membuat pakaian, silakan memilih beberapa potong kain, nanti kami yang akan menggantinya kepada pemiliknya di Thian-ting."
"Ha-ha-ha, kau ini lucu. Untuk apa beberapa potong kain? Aku hendak mengambil satu kereta. Kami membutuhkan pakaian untuk dua puluh lima orang."
Tahulah Cu Lok bahwa pemuda itu tidak main-main dan memang benar dia seorang perampok yang hendak memaksanya menyerahkan sekereta kain. "Hemm, sobat" suaranya kini berbeda, terdengar tegas, "Apakah engkau hendak merampok kami?"
"Masa bodoh apa yang kalian katakan, merampok atau meminta. Pendeknya, kalian harus meninggalkan sekereta kain ini kepadaku."
"Jelasnya, engkau hendak merampok. kami? Hei, orang muda, siapakah engkau yang berani mengganggu barang kiriman yang dikawal oleh para piauwsu Kim-liong-pang?"
"Aku Siangkoan Tek tidak mengenal Kim-liong-pang, dan apa yang aku kehendaki harus kalian taati, atau kalian semua akan kuhajar" kata pemuda yang lemah lembut itu.
Pemuda itu memang Siangkoan Tek adanya. seperti kita ketahu, Siangkoan Tek dimarahi ayah ibunya karena ulahnya membikin ribut Pulau Naga yang diserbu pasukan dari daratan. Ayah ibunya lalu menyuruh dia merantau selama setahun untuk mencari pengalaman dan juga mencari jodoh. dalam perantauannya itu Siangkoan Tek tiba di daerah itu.
Ketika Siangkoan Tek tiba di bukit itu, dua puluh lima orang perampok menghadangnya. Melihat pakaiannya yang mewah, para perampok itu menduga bahwa dia tentu seorang pemuda kaya, maka mereka menghentikannya dan minta semua barang yang dibawanya. Siangkoan Tek tertawa dan menghajar dua puluh lima orang perampok itu tanpa membunuh mereka.
Para perampok itu taluk dan mengaku kalah kepada pemuda yang amat lihai itu. Saat itulah Siangkoan Tek mendapat gagasan yang dianggapnya baik. Dipulaunya, sebagai putera majikan Pulau Naga, dia selalu dihormati dan dilayani. Kini, melihat dua puluh lima orang itu, dia mengambil keputusan untuk menjadikan mereka itu anak buahnya.
Dengan demikian, dia akan dilayani dan juga kedudukannya menjadi kuat. Maka dia lalu mengangkat diri sendiri menjadi pimpinan mereka. Para anak buahnya inilah yang memberitahu kepadanya bahwa ada kiriman barang berharga sebanyak dua kereta akan lewat dijalan raya, di luar hutan yang menjadi sarang mereka.
Ketika Siangkoan Tek bertanya mengapa mereka tidak merampas kereta berisi barang berharga itu, mereka menyatakan takut karena kereta barang-barang itu dikawal oleh para piauwsu Kim-liong-pang. Demikianlah, Siangkoan Tek lalu menghadang kereta itu dan menyuruh anak buahnya bersembunyi saja dan baru keluar kalau dia memberi tanda.
Sementara itu, Cu Lok dan Thio sin menjadi marah mendengar ucapan terakhir Siangkoan Tek yang hendak menghajar mereka kalau kehendaknya tidak ditaati. Thio Sin sudah marah sekali dan dia pun meloncat turun dari atas punggung kudanya, diikuti oleh papa anak buahnya yang berjumlah tujuh orang itu.
"Pemuda sombong, engkaulah yang akan kuhajar" bentak Thio sin dan dia sudah menyerang pemuda itu dengan pedangnya.
Akan tetapi dengan gerakan indah dan cepat, Siangkoan Tek mengelak ke kiri dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat mengenai dada Thio sin sehingga piauwsu itu terjengkang roboh. Melihat ini, Cu Lok lalu menyerangnya, diikuti oleh tujuh orang anak buahnya dan dikeroyoklah Siangkoan Tek oleh delapan orang itu Thio sin yang roboh itu sudah merangkak kembali dan ikut pula mengeroyok.
Namun, sembilan orang piauwsu itu sama sekali bukan merupakan lawan tangguh bagi Siangkoan Tek. dalam waktu singkat saja mereka itu sudah terpelanting oleh tamparan dan tendangan pemuda itu. Melihat ini, dua orang kusir meloncat turun dan ikut pula mengeroyok. Akan tetapi mereka pun terpelanting roboh.
Akhirnya, sembilan orang itu sudah dihajar oleh Siangkoan Tek membuat mereka babak belur, dan tidak mampu melawan lagi. Siangkoan Tek bertepuk tangan dan keluarlah anak buahnya dari balik pohon-pohon dan semak-semak.
"Bawa kuda-kuda itu dan dua buah kereta!" perintah Siangkoan Tek.
Para anak buah perampok itu girang sekali. Baru sekali ini mereka dapat merampas barang-barang kawalan para piauwsu Kim-liong-pang. Dan semua itu terjadi tanpa mereka turun tangan sama sekali. Anak buah perampok itu menjadi girang sekali bukan hanya mendapatkan hasil rampokan yang amat berharga.
Tiga belas ekor kuda dan dua buah kereta penuh sutera dan kain, akan tetapi terutama sekali karena mereka mendapatkan seorang pemimpin yang dapat dibanggakan, yang telah berani merampok dan mengalahkan sembilan orang piauwsu Kim-liong-pang yang lihai.
Sembilan orang piauwsu dan dua orang kusir itu terpaksa melarikan diri meninggalkan kuda mereka ketika mereka melihat demikian banyaknya anak buah perampok bermunculan dari dalam hutan. Pemuda itu merobohkan mereka akan tetapi tidak membunuh, belum tentu kalau anak buahnya pun akan membiarkan mereka hidup. Maka mereka lalu melarikan diri dan kembali ke poa-ting.
Souw Can merasa heran dan juga marah sekali mendengar laporan anak buahnya bahwa dua kereta barang itu dilarikan perampok berikut sembilan ekor kuda tunggangan anak buahnya. Akan tetapi yang lebih marah lagi adalah Souw Hwe Li dan Lai Siong Ek. Dua orang muda ini marah sekali karena merasa betapa Kim-liong-pang dipandang ringan dan dihina oleh seorang perampok muda.
Mereka berdua menanyakan kepada para piauwsu itu di mana tempat mereka dirampok dan setelah mendengar keterangan jelas, tanpa pamit lagi mereka berdua segera membalapkan kuda mereka menuju ke hutan itu. Baru setelah dua orang muda itu dua tiga jam pergi, Souw Can diberitahu tentang kepergian mereka. Souw Can mengerutkan alisnya dan menganggap murid dan puterinya lancang.
Menurut certta sembilan orang piauwsu, perampok tunggal itu tentu lihai sekali. Bagaimana Hwe Li dan Siong Ek pergi begitu saja tanpa memberitahu dia lebih dulu? Karena mengkhawatirkan keselamatan puterinya, Souw Can lalu memimpin tujuh belas anggauta Kim-liong-pang dan melakukan pengejaran dengan naik kuda.
Akan tetapi Hwe Li dan Siong Ek membalapkan kuda mereka dan baru berhenti setelah malam tiba. Mereka bermalam disebuah kuil di lereng bukit danpada keesokan harinya, pagi-pagi benar mereka sudah melanjutkan perjalanan dengan membalapkan kuda mereka.
Siang hari itu, mereka tiba di tempat terjadinya perampokan. Mereka lalu membelok dan memasuki hutan seperti yang diceritakan para piauwsu yang melihat bahwa kereta mereka dilartkan ke dalam hutan. Kini kedua orang muda itu menjalankan kuda mereka dengan hati-hati karena maklum bahwa mereka telah memasuki daerah yang dikuasai perampok.
Tak lama kemudian mereka melihat dua orang laki-laki berusia empat puluh tahun berjalan di tengah hutan. Mereka berjalan dengan santai, akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda, mereka lalu membalikkan tubuh menghadang di jalan dan sikap mereka bengis.
Hwe Li melihat sikap kedua orang ini segera berkata kepada Siong Ek, "Suheng, tentu mereka itu anggauta perampok Kita tangkap mereka hidup, hidup,"
Ia lalu melompat turun dari atas kudanya, diikuti oleh Siong Ek. Tanpa memberi kesempatan kepada dua orang itu untuk bergerak atau bicara, Hwe Li sudah menerjangnya dengan hebat. Song Ek juga menyerang perampok ke dua. Dua orang itu mencabut golok dan hendak melawan, akan tetapi dengan mudah Hwe Li dan Siong Ek meroboh kan mereka.
Hwe Li sudah mencabut pedangnya dan menempelkan pedang itu di leher seorang di antara mereka, sedangkan Siong Ek juga mengancam orang ke dua dengan pedangnya.
"Hayo, katakan di mana dua buah kereta dan sembilan ekor kuda kami di sembunyikan. Dan katakan siapa kepala rampok itu dan di mana dia berada. Cepat atau aku akan penggal lehermu."
Dua orang anggauta perampok itu menjadi pucat. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara tawa halus dan di situ sudah muncul Siangkoan Tek yang berdiri sambil bertolak pinggang. Mendengar suara tawa ini, Hwe Li menoleh dan ia melihat seorang pemuda tampan dan gagah dengan pakaian mewah sudah berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum.
Melihat ini, ia lalu melepaskan orang yang ditodongnya dan membalik, menghadapi Siangkoan Tek. Ia teringat akan cerita para piauwsu yang dirampok. maka dengan pedang di tangan kanan, ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka pemuda itu.
"Engkaukah yang bernama Siangkoan Tek dan yang telah merampok dua buah kereta barang dan sembilan ekor kuda dari para piauwsu kami?" bentak Hwe Li dengan marah.
Melihat gadis yang cantik jelita itu marah-marah, Siangkoan Tek tersenyum. Hatinya kagum sekali. Gadis itu selain cantik jelita, juga gagah perkasa dan pemberani, begitu gagah kelihatannya ketika menudingkan telunjuknya dengan pedang di tangan kanan.
"Benar, aku adalah Siangkoan Tek dan engkau siapakah, Nona? Apa hubunganmu dengan kejadian itu?" tanya Siangkoan Tek sambil tersenyum memikat, matanya bersinar-sinar.
Biarpun sedang marah, Hwe Li terpaksa harus mengakui di dalam hatinya bahwa perampok ini sungguh merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah, dan melihat sikap dan pakaiannya, sungguh tidak patut menjadi perampok. Dia lebih mirip seorang siucai (sastrawan) atau seorang kongcu (tuan muda) bangsawan atau hartawan. Akan tetapi karena ia sedang marah, ia melupakan semua kenyataan ini dan membentak dengan suara lantang.
"Perampok busuk. Aku adalah Souw Hwe Li, puteri Ketua Kim-liong-pang, pemimpin pengawalan barang. Hayo cepat kau kembalikan sembilan ekor kuda dan dua buah kereta bertsi bahan pakaian itu lalu berlutut minta maaf, baru aku dapat mengampunimu. Kalau tidak. pedang nonamu akan memenggal batang lehermu."
Sementara itu, Lai Siong Ek memperlihatkan muka garang dan dia pun membentak, "Perampok jahanam! Butakah matamu, tulikah telingamu sehingga engkau tidak melihat bahwa dua buah kereta itu dikawal oleh orang-orang Kim-liong-pang? Berani mati engkau mengganggunya sumoi, jangan memberi ampun penjahat ini. Mari kita basmi mereka dan rampas kembali dua buah kereta itu." Setelah berkata demikian, Lai Siong Ek yang sudah mencabut pedangnya mendahului sumoinya menyerang pemuda itu.
Melihat gerakan pedang yang tangkas, cepat dan cukup bertenaga itu, Siangkoan Tek mengeluarkan suara mengejek dan dia sudah mengelak dengan mudah. Ketika tusukan pedangnya dielakkan dengan mudah, Siong Ek menjadi semakin marah dan pedangnya sudah berkelebat ke bawah, menyerampang ke arah kedua kaki lawan.
Akan tetapi dengan gerakan ringan seperti seekor burung, Siangkoan Tek kembali mengelak dengan lompatan ke atas dan dari atas tangannya menyambar untuk mencengkeram pundak Siong Ek.
Pemuda ini terkejut sekali karena tahu-tahu tangan itu sudah sangat dekat dengan pundaknya sehingga terpaksa untuk menghindarkan pundaknya dari cengkeraman tangan lawan, dia melempar diri ke belakang, terjengkang dan berjungkir balik agar tidak terbanting jatuh. Melihat ini, Hwe Li meloncat ke depan dan pedangnya bergerak bagaikan kilat menyambar ke arah leher Siangkoan Tek.
Akan tetapi kembali pemuda dari pulau Naga itu mengelak dengan gerakan indah, lalu melangkah maju untuk menangkap lengan tangan Hwe Li yang memegang pedang. Namun Hwe Li sudah melompat mundur untuk menghindarkan diri. Dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu mengeroyok Siangkoan Tek dengan ilmu pedang mereka.
Sambil berloncatan mengelak ke sana sini Siangkoan Tek memperhatikan ilmu pedang mereka. Dia mengenal ilmu pedang Kun-lun-pai yang indah gerakannya, dan segera dapat mengira bahwa ilmu kepandaian gadis cantik itu lebih lihai dibanding suhengnya. Dia menjadi semakin kagum kepada gadis itu. Seorang gadis yang cukup pantas untuk menjadi kekasihnya, bukan menjadi isterinya karena yang pantas menjadi isterinya hanyalah gadis-gadis seperti Lee Cin dan Cin Lan.
Dalam perantauannya dia sudah mencari keterangan tentang dua orang gadis itu dan mendengar bahwa Tang Cin Lan, puteri pangeran itu telah menikah dengan Song Thian Lee, pemuda yang amat dibenxinya. Maka tinggal Lee Cin seorang yang dia harapkan untuk menjadi isterinya. Akan tetapi gadis yang mengeroyoknya ini pun cukup lumayan ilmu silatnya, dan wajahnya juga cukup manis.
Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang sudah sesat sejak masih muda remaja. Dia hidup dekat dengan selir-selir ayahnya yang banyak jumlahnya, dan karena dia seorang pemuda yang tampan, maka selir-selir itu banyak yang memanjakannya, bahkan mengajarinya untuk bermesraan dengan mereka. Dengan lingkungan dan pendidikan seperti itu, Siangkoan Tek menjadi dewasa sebagai seorang pemuda yang mata keranjang.
Lebih-lebih ayahnya tidak pernah menegur atau melarangnya dalam sepak terjangnya yang gila perempuan ini. Hanya ibunya yang suka menegurnya dengan keras. Akan tetapi karena ibunya berada di rumah saja, maka apa yang dilakukan oleh puteranya di luar rumah tidak diketahui oleh ibunya, hanya diketahui oleh ayahnya yang membiarkan saja.
Menghadapi pengeroyokan Hwe Li dan Siong Ek. Siangkoan Tek tidak menjadi terdesak karena memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi. Akan tetapi dia pun tidak berani main-main karena ilmu pedang Kun-lun-pai adalah ilmu pedang yang cukup hebat.
Kalau saja yang memainkan itu seorang gadis setingkat dengan Lee Cin kepandaiannya, tentu dia akan terancam bahaya. Namun, menghadapi dua orang itu, Siangkoan Tek menang dalam hal kecepatan maupun tenaga sin-kang.
Bahkan dia tidak membalas dengan serangan maut. Kalau dia menghendaki kematian dua orang pengeroyok itu, tidak sampai lima puluh jurus lamanya tentu kedua orang lawan itu sudah dapat dia robohkan- Akan tetapi dia tidak menghendaki hal ini terjadi. Hatinya tertarik kepada Hwe Li dan dia tidak ingin membuat gadis itu membencinya kalau dia melukai atau bahkan membunuh mereka.
Setelah cukup lama mempermainkan mereka, Siangkoan Tek menggunakan ilmu silat Hui-liong-kun. Tubuhnya bergerak cepat dan serangannya nnendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Ketika dia mendapat kesempatan, dia dapat menendang pergelangan tangan kanan Siong Ek sehingga pemuda ini terkejut dan terpaksa pedangnya terlepas dari tangan.
Dan sebelum dia sempat menghindar, sebuah pukulan tangan koSong mengenai pundaknya dan dia pun terpental roboh. Tulang pundaknya tidak patah, akan tetapi pukulan telapak tangan terbuka itu mendatangkan rasa panas dan pundaknya terasa nyeri.
Melihat suhengnya sudah kalah dan agaknya menderita kesakitan sehingga tidak dapat segera maju lagi, Hwe Li menjadi marah. Ia memutar pedangnya dan mendesak lawannya, namun siang-koan Tek sudah mendahuluinya, menangkap pergelangan tangan kanannya, memutar sehingga terpaksa Hwe Li juga melepaskan pedangnya dan di lain saat dia telah menotok pundak Hwe Li, membuat gadis itu terkulai lemas dan berada dalam rangkulannya.
Melihat sumoinya dipeluk Siangkoan Tek. Siong Ek menjadi marah dan nekat. Diambilnya pedangnya yang tadi tertepas dan dia membentak. "Lepaskan sumoi" Dia siap untuk menerjang dengan pedangnya.
Akan tetapi Siangkoan Tek menodongkan kedua jarinya ke ubun-ubun kepala Hwe Li. "Majulah selangkah dan sumoimu ini akan tewas seketika."
Melihat ini, wajah Siong Ek menjadi pucat dan dia tidak berani bergerak. Dia hanya memandang ke arah sumoinya dengan bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakan sementara itu, ketika Hwe Li merasa betapa ia tidak lagi mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ia hanya dapat memandang wajah Siangkoan Tek dengan ketakutan. Tahulah ia bahwa ia berada dalam bahaya.
Siangkoan Tek yang melihat betapa gadis dalam rangkulannya itu ketakutan, tersenyum manis kepada Hwe Li. "Adik manis, jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Engkau sementara ini akan menjadi tamuku yang terhormat. Lihat, bahkan suhengmu tidak kusakiti dan tidak kubunuh. Kalau engkau menurut dan tidak memberontak. Aku akan bersikap baik sekali kepadamu. Sebaliknya kalau engkau melawan, suhengmu ini akan mati di depan matamu, kemudian engkau juga akan mati di tanganku."
Mendengar ancaman yang diucapkan sambil tersenyum dan dengan kata-kata lembut itu Hwe Li menjadi semakin ketakutan, dan ketika pada saat itu Siangkoan Tek membebaskan totokannya, ia tidak berani meronta dan hanya tinggal diam saja.
"Sobat, bebaskan sumoiku agar kami dapat pergi dari sini." Siong Ek mencoba untuk membujuknya.
"Tidak perlu banyak cakap lagi. Sumoimu menjadi tamu agungku, dan engkau cepat pergilah dari sini sebelum pikiranku berubah dan engkau kubunuh. Pergilah."
Siong Ek maklum bahwa dia tidak berdaya menolong sumoinya. Dia memandang kepada sumoinya dan berkata, "sumoi, tenanglah. Aku akan mencari bala bantuan untuk membebaskanmu."
Saking takutnya, Hwe Li tidak mampu bicara lagi dan ia hanya mengangguk kepada suhengnya. Siong Ek segera melompat ke atas kudanya dan membalapkan kudanya untuk kembali ke Pao-ting dan mencari bala bantuan.
Setelah Siong Ek pergi, Siangkoan Tek berkata kepada Hwe Li, "Adik Souw Hwe Li, mari silakan menunggang kudamu, kita pulang ke tempat tinggalku."
Hwe Li melihat ada kesempatan. Ia melompat ke atas kudanya dan hendak melarikan diri, akan tetapi Siangkoan Tek sudah menyambar kendali kudanya dan menuntun kuda itu memasuki hutan lebih dalam lagi. Tidak jauh dari situ terdapat sebuah kuil kuno yang sudah tidak dipergunakan dan inilah yang dijadikan tempat tinggal atau sarang oleh Siangkoan Tek dan para berandal yang menjadi anak buahnya.
Hwe Li yang sudah tidak dapat berdaya itu menurut saja ketika disuruh turun dari kuda dan diajak masuk ke dalam kuil kuno. Di dalamnya lebar dan sederhana, akan tetapi sebuah ruangan yang cukup luas dilengkapi perabot seperti meja kursi, lemari dan tempat tidur besar yang cukup indah buatannya dan ruangan ini dijadikan sebagai tempat atau kamar tidur oleh Siangkoan Tek.
"Nah, engkau tinggal untuk sementara di sini, Nona. Engkau menjadi tamuku juga sahabat baikku. Dan untuk menyambut kedatanganmu, kita adakan sebuah pesta kecil di antara kita berdua saja." Siangkoan Tek berkata dengan lembut dan tidak ketinggalan senyumnya yang menarik.
Melihat dirinya diperlakukan dengan baik, rasa takut menipis di hati Hwe Li. "Memang sebaiknya kalau engkau melakukan aku dengan sepantasnya, karena kalau engkau berani menggangguku, ayahku tentu tidak akan terima begitu saja," katanya dengan ancaman, akan tetapi tidak terdengar galak lagi.
Mereka kini duduk berhadapan terhalang meja besar dalam kamar itu. Siangkoan Tek bersikap lembut dan ramah sehingga Hwe Li mulai merasa lega dan tenang. "Nah, setelah kini kita berkenalan sebagai sahabat, aku akan menyebutmu moi-moi dan engkau menyebutku koko, tentu engkau tidak menolak bukan?"
Hwe Li sedikit tersenyum. Memang sebaiknya kalau bersahabat dengan pemuda yang amat lihai ini. Bayangkan saja, ia dan suhengnya dengan berpedang mengeroyoknya yang bertangan kosong, akan tetapi mereka kalah. Pemuda ini sungguh lihai bukan main.
Kalau ia bersikap baik dan bersahabat kepadanya, besar kemungkinan ia akan dibebaskan dan tidak diganggu. Sebaliknya kalau ia bersikap bermusuhan, apa dayanya karena ia telah terjatuh ke tangannya. Maka ia lalu mengangguk menyatakan setuju.
"Nah, dengan begitu hatiku merasa senang, Li-moi. Sekarang, ceritakanlah keadaan keluargamu kepadaku. Aku ingin mengenalmu lebih baik."
"Kami tinggal di Pao-ting dan Ayah menjadi pangcu (ketua) dari Kim-liong-pang yang mendirikan perusahaan pengawalan barang kiriman. Pembantu Ayah kini tidak kurang dari dua puluh lima orang. Ayah adalah seorang tokoh Kun-lun-pai dan namanya banyak dikenal di dunia kang-ouw. Karena itu, harap engkau tidak memusuhinya, Tek-ko." Ucapan Hwe Li ini membujuk dan juga sengaja membanggakan ayahnya untuk mengecilkan hati Siangkoan Tek.
Pemuda itu tersenyum. "Aku memang sudah menduga bahwa engkau murid seorang tokoh Kun-lun-pai, melihat ilmu pedangmu. Dan bagaimana dengan suhengmu itu? Aku melihat dia itu amat sayang kepadamu. Li-moi."
Wajah Hwe Li berubah sedikit merah. Ia sendiri sudah lama mengetahui bahwa Siong Ek mencintanya, akan tetapi ia belum dapat menerima perasaannya itu dan menganggap Siong Ek sebagai suheng biasa. "Ah, dia hanya suhengku bernama Lai Siong Ek. Karena dia murid tunggal dari Ayah, maka kami bersahabat, biasa saja."
"Tidak saling mencinta?"
Hwe Li menggeleng kepalanya dan mereka bertemu pandang. Melihat sinar mata gadis itu dengan berani menentang pandang matanya, Siangkoan Tek maklum bahwa gadis itu tidak berbohong.
"Hem, setidaknya dia yang mencinta mu, Li-moi. Akan tetapi aku tidak menyalahkan dia. Hati pria mana yang tidak akan terpikat kalau bertemu denganmu? Apalagi engkau bergaul lama dengannya."
Ucapan ini membuat Hwe Li tersipu, akan tetapi pada saat itu, hidangan telah ditaruh di atas meja besar itu dan Siangkoan Tek lalu mengajak Hwe Li makan minum sambil bercakap-cakap. berdua saja. Dan Hwe Li tidak menolak ketika ia disuguhi arak oleh pemuda itu sehingga ia minum sampai kedua pipinya kemerahan dan sikapnya lebih berani lagi.
"Sudah kukatakan tadi bahwa semua pria akan terpikat kalau bertemu denganmu, Li-moi. Engkau bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga berilmu silat tinggi dan sikapmu menyenangkan, tidak seperti kebanyakan gadis yang malu-malu. Engkau bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum, menarik datangnya banyak kupu-kupu."
Hwe Li tersipu pula mendengar pujian yang terang-terangan itu. "Aih, Tek-ko, cukuplah segala pujian itu sekarang aku minta engkau suka menceritakan tentang dirimu sendiri. Aku heran sekali melihat keadaanmu."
Siangkoan Tek memandang wajah gadis itu. Sinar matanya penuh selidik. "Kenapa engkau merasa heran, Li-moi? Apakah ada yang aneh tentang diriku?"
"Engkau adalah seorang yang aneh sekali, Tek-ko Bayangkan saja. Engkau seorang pemuda yang melihat penampilanmu tentu engkau sepatutnya menjadi seorang siucai atau kongcu. Kata-katamu halus dan sopan teratur, sikapmu lemah-lembut, pakaianmu juga menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda kaya. Akan tetapi engkau muncul sebagai seorang perampok. Tidak cocok sama sekali ini.
Engkau seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa merendahkan diri menjadi perampok? Engkau berbeda sekali dengan anak buahmu yang kasar-kasar. Mereka memang patut menjadi perampok akan tetapi engkau sama sekali tidak pantas. Maka aku ingin sekali mendengar riwayatmu, Tek-ko."
Siangkoan Tek memandang gadis itu sambil tersenyum. Dia merasa semakin suka kepada gadis ini. Lumayan untuk menjadi kekasih sementara, sebelum dia melanjutkan perjalanannya. Walaupun tidak untuk menjadi isteri, setidaknya untuk menjadi kekasih.
"Ha, ha, ha, kini engkau yang memuji-mujiku, Li-moi. Terima kasih atas pujianmu. Memang aku bukan perampok biasa, Li-moi. Baru beberapa hari ini aku menjadi perampok, atau memimpin gerombolan perampok. Justeru aku yang kebetulan lewat di sini yang dirampok oleh mereka. Aku kalahkan dan tundukkan mereka, lalu mereka menyerah dan aku menjadi pemimpin mereka.
"Karena aku tidak ingin melihat anak buahku berpakaian sekotor dan sekasar itu, maka ketika dua buah kereta itu lewat, aku bermaksud minta sebuah untuk dijadikan pakaian anak buahku. Akan tetapi para piauwsu itu menolak sehingga terjadilah perkelahian, dan aku merampas dua buah kereta itu. Akan tetapi kereta-kereta itu beserta isinya dan sembilan ekor kuda tunggangan dan kuda penarik kereta masih berada di belakang kuil ini."
"Kalau begitu, Tek-ko setelah kita bersahabat, bolehkah aku minta dua buah kereta dan kuda-kudanya itu untuk kubawa kembali? Kalau engkau membutuhkan pakaian untuk anak buahmu, tentu akan kuberi secukupnya."
"Hemm, hal itu boleh kita bicarakan nanti, Li-moi. sekarang kita makan minum sambil bercakap-cakap tentang diri kita."
Melihat pemuda itu tampak agak tidak senang, Hwe Li cepat mengubah arah percakapan. "Engkau belum menceritakan dari mana asalmu, siapa orang tuamu dan mengapa engkau berada di sini memimpin gerombolan perampok itu."
"Ayahku adalah orang nomor satu di dunia kang-ouw bagian timur. Ayahku bernama Siangkoan Bhok berjuluk Tung-hai-ong (Raja Lautan Timur) yang terkenal sebagai datuk besar timur, tinggal di Pulau Naga. Aku sedang melakukan perantauan untuk memperluas pengalamanku dan seperti kuceritakan tadi, baru beberapa hari aku berada di sini dan mengalahkan para perampok sehingga aku mereka angkat menjadi pemimpin mereka."
Hwe Li tidak pernah mendengar nama besar Siangkoan Bhok. Akan tetapi ia dapat menduga bahwa ayah pemuda ini tentu seorang yang sakti dan disegani di dunia kang-ouw. "Ah, kalau begitu engkau adalah putera seorang yang terkenal di dunia kang-ouw, mengapa merendahkan dirimu menjadi pemimpin perampok, Tek-ko? Bagaimana kalau engkau kuhadapkan kepada ayahku yang tentu akan menerimamu dengan baik dan kalau orang yang memiliki kepandaian seperti engkau ini memimpin piauw-kiok (perusahaan pengawal barang) tentu kita akan memperoleh kemajuan besar."
"Aku tidak ingin bekerja, dan aku menjadi pemimpin gerombolan ini pun hanya sementara saja, sekedar untuk mempunyai anak buah untuk kuperintah melayani segala keperluanku. Jangan khawatir, Li-moi, engkau di sini menjadi tamu dan juga sahabat baikku, tidak ada yang akan berani mengganggumu. Li-moi, apakah engkau sudah bertunangan atau mempunyai pilihan hati? Barang kali suhengmu itu?"
Wajah gadis itu menjadi merah sekali. Sungguh pertanyaan yang amat terbuka mengenai perasaan hati pribadinya. Ia menggeleng kepala tanpa menjawab. "Engkau mau artikan bahwa engkau masih bebas, belum bertunangan, belum ada yang menjadi pilihan hatimu?"
Hwe Li yang masih berdebar jantungnya karena tegang itu mengangguk dan menundukkan mukanya. Tiba-tiba ia merasa betapa tangannya yang berada di atas meja dipegang oleh pemuda itu. Ia terkejut dan jantungnya berdebar semakin kencang.
"Li-moi, kalau begitu kebetulan sekali. Aku sendiripun masih bebas dan sejak pertama kali melihatmu, aku sudah jatuh Cinta kepadamu. Maukah engkau menjadi kekasih ku, Li-moi?"
Tangan yang memegang tangan Hwe Li itu meremas-remas lembut dan mesra. Hwe Li menjadi malu sekali, mukanya merah sampai ke lehernya dan ketika ia mengangkat muka, ia memandang wajah Siangkoan Tek dengan malu-malu dan tersenyum salah tingkah.
"Bagaimana, Li-moi? Aku berterus terang saja dan jawablah dengan terus terang. Maukah engkau menjadi kekasih ku?"
"Tek-ko, ini... ini... begini mendadak? Bagaimana aku harus menjawabnya? Berilah aku waktu untuk memikirkan hal ini...."
"Baik, aku memberi waktu sampai besok pagi. Kuharap besok di waktu kita makan pagi, engkau sudah dapat menjawab pertanyaanku itu, dan mudah-mudahan jawabannya akan membahagiakan hatiku. Nah, sekarang engkau boleh mengaso, Li-moi. Engkau tidurlah di kamar ini, aku akan tidur di kamar lain." Siangkoan Tek bertepuk tangan tiga kali dan beberapa orang anak buahnya masuk kamar.
Pemuda itu memerintahkan anak buahnya untuk membersihkan meja. setelah itu, dia lalu keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintunya dari luar. Sebelum pintu tertutup, dia menatap wajah Hwe Li. Kebetulan gadis itu pun memandangnya dan pandang mata mereka bertemu, Hwe Li menundukkan mukanya dan Siangkoan Tek meninggalkan kamar.
Hwe Li cepat mengunci pintu dari dalam dan ia berjalan hilir mudik di kamar itu. Pertanyaan pemuda itu masih terngiang di telinganya. Maukah ia menjadi kekasih Siangkoan Tek? Pertanyaan yang sukar sekali dijawabnya seketika. Harus diakuinya bahwa ia kagum sekali kepada pemuda tampan dan gagah itu. Akan tetapi mereka baru saja berkenalan dan Siangkoan Tek menjadi pemimpin perampok ia menjadi bimbang.
Ketika ia merebahkan diri di atas pembaringan, ia gelisah tidak dapat pulas. Ia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan itu besok pagi. Menolak? ini bertawanan dengan bisikan hatinya. siapa yang tidak ingin menjadi kekasih seorang pemuda seperti Siangkoan Tek? Pemuda yang tampan dan gagah, memiliki ilmu silat tinggi dan putera seorang datuk besar pula.
Akan tetapi, dapatkah ia menerima begitu saja menjadi kekasih seorang pemuda yang baru saja dikenalnya, yang belum diketahui benar bagaimana keadaan hatinya? sampai jauh malam barulah Hwe Li dapat pulas, akan tetapi tidurnya penuh mimpi buruk.
Pada keesokan harinya pagi-pagi Hwe Li sudah terbangun dari tidurnya. semalam ada ingatan untuk melarikan diri, akan tetapi ketika ia membuka sedikit daun pintu, ternyata di depan kamarnya terdapat beberapa orang anak buah perampok menjaga. Dan ketika ia mengintai dari jendela, sama saja.
Di sana juga ada beberapa orang menjaga. Ia tidak akan dapat melarikan diri tanpa diketahui dan kalau hal ini ia lakukan kemudian ia tertangkap lagi, belum tentu sikap Siangkoan Tek akan sebaik ini. Maka ia pun membuang pikirannya untuk melarikan diri.
Ketika pagi itu ia membuka daun pintu, beberapa orang anak buah perampok menghampiri dan seorang di antara mereka bertanya, "Adakah sesuatu yang dapat kami bantu, Nona?"
"Aku... aku ingin mandi."
"Biar aku yang melayani." terdengar suara orang dan Siangkoan Tek muncul di situ.
Hwe Li merasa sungkan dan malu karena ia kelihatan oleh pemuda itu sehabis bangun tidur, belum mandi dan rambutnya pun tentu kusut.
"Engkau hendak mandi, Li-moi? Mari, di belakang kuil ini terdapat pancuran air yang jernih sekali."
Terpaksa Hwe Li mengikuti pemuda itu ke belakang dan benar saja, di belakang kuil terdapat pancuran air yang jernih dan tempat itu sudah tertutup pagar kayu sehingga ia dapat mandi di dalam ruangan itu dengan aman dan tidak tampak dari luar.
Setelah mandi dan merasa dirinya bersih dan segar, Hwe Li keluar dari tempat mandi itu. Siangkoan Tek sudah menyodorkan sisir dan cermin bundar. "Bawalah ini ke kamarmu, Li-moi. Dan setelah selesai menyisir rambut, kita makan pagi."
Biarpun pemuda itu tidak mengatakan bahwa dia menagih janji jawaban Hwe Li, namun Hwe Li sudah merasakannya dan hal ini membuat ia menjadi semakin gelisah. Sampai saat itu ia masih belum dapat mengambil keputusan jawaban bagaimana yang harus ia katakan kepada pemuda itu.
Ia tidak menjawab, melainkan kembali ke kamar besar dan menyisir rambutnya yang panjang, lalu menyanggulnya. Karena di situ tidak terdapat bedak, maka ia hanya menggosok gosok kulit mukanya sehingga menjadi kemerahan.
Setelah selesai, ia tinggal saja di dalam kamarnya, tidak berani keluar dari kamar itu karena ia masih belum dapat mengambil keputusan. Akhirnya, sebuah ketukan dipintu membuat ia terkejut dan menengok ke arah pintu tanpa bergerak.
"Li-moi, keluarlah kalau engkau sudah selesai. Kita makan pagi" terdengar suara Siangkoan Tek lembut.
Terpaksa Hwe Li bangkit berdiri, masih bingung bagaimana nanti harus menjawab pertanyaan pemuda itu. Ia melangkah keluar dan melihat betapa Siangkoan Tek sudah berganti pakaian baru dan nampak tampan sekali pagi itu. Ketika bertemu pandang, Hwe Li menundukkan mukanya dan ia membiarkan saja ketika tangannya dipegang dan digandeng oleh Siangkoan Tek.
"Kita makan di ruangan belakang," kata pemuda itu dan Hwe Li hanya menurut saja digandeng menuju ke ruangan belakang.
Hidangan untuk makan pagi ternyata telah disiapkan. Siangkoan Tek lalu membimbingnya duduk menghadapi meja dan mereka lalu makan pagi. Kalau Siangkoan Tek makan pagi dengan penuh semangat dan tampak gembira sekali, sebaliknya Hwe Li makan dengan lambat. Sampai saat itu ia masih merasa bingung sekali. sebagian dari perasaannya mendorongnya untuk menyambut uluran hati pemuda itu, akan tetapi sebagian lagi masih sangsi.
Baru saja mereka selesai makan, terdengar ribut-ribut dan derap kaki banyak kuda di luar kuil. Dua orang anak buah bergegas masuk dan melaporkan dengan suara gemetar,
"Kongcu, tempat kita diserbu banyak sekali perajurit. Kita telah dikepung dari semua penjuru!"
Tentu saja Siangkoan Tek merasa terkejut. "Siapkan semua anak buah. Lawan mati-matian." perintahnya. Dua orang itu cepat pergi dan Siangkoan Tek lalu bertanya kepada Hwe Li,
"Hwe Li, bagaimana Kim-liong-pang dapat mendatangkan pasukan pemerintah?"
"Ini tentu perbuatan suheng Lai Siong Ek. Dia adalah putera jaksa di Pao-ting dan tentu ayahnya yang mengerahkan pasukan dengan maksud untuk menolong aku, Tek-ko. Karena itu, sebaiknya engkau menyerah. Akulah yang akan menanggung agar engkau tidak dihukum. Akan kuceritakan bahwa engkau memperlakukan aku dengan baik sekali."
Akan tetapi Siangkoan Tek cepat memegang tangan Hwe Li dan dia pun berkata, suaranya tegas, "Mari kita melihat keluar."
Setelah mereka tiba di luar kuil, Siangkoan Tek melihat anak buahnya telah terlibat dalam pertempuran yang tidak seimbang melawan puluhan orang perajurit, bahkan mungkin ada seratus orang perajurit yang sudah mengepung kuil itu.
Sekali pandang saja maklumlah Siangkoan Tek bahwa tidak mungkin anak buahnya menang, dan kalau terlambat akan sukar pulalah dia untuk dapat melarikan diri dari kepungan sekian banyak prajurit.
Maka, secepat kilat dia menotok pundak Hwe Li yang menjadi lemas dan dia lalu memanggul tubuh gadis itu ke atas pundak kirinya dan setelah mencari bagian yang agak lemah penjagaannya atau kepungan para perajurit itu, yaitu di sebelah kiri, dia lalu melompat ke situ dan dengan pedangnya dia merobohkan setiap perajurit yang berani menghadangnya....