Dewi Ular Jilid 06
"LEPASKAN Sumoi...!" terdengar bentakan dan ternyata Lai Siong Ek sudah berada di situ dan menyerang Siangkoan Tek dengan pedangnya.
"Trang-tranggg....."
Dua kali pedang Siong Ek bertemu dengan pedang Siangkoan Tek dan pedang di tangan Siong Ek terpental. Dua orang perwira pasukan datang membantunya. Akan tetapi mereka tidak berani menyerang dengan serampangan karena Siangkoan Tek memanggul tubuh Hwe Li, khawatir kalau serangannya mengenai tubuh gadis itu.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Siangkoan Tek untuk melompat jauh dan dia melarikan diri dengan cepat. Siong Ek dan dua orang perwira, diikuti oleh belasan orang perajurit mengejar, akan tetapi mereka ini kalah jauh dalam hal lari cepat oleh Siangkoan Tek sehingga sebentar saja pemuda itu sudah lenyap ke dalam hutan lebat.
Siangkoan Tek masuk ke dalam semak belukar dan agar dia tidak terganggu oleh berat badan Hwe Li, dia membebaskan totokannya pada gadis itu. "Sstt, jangan mengeluarkan suara, Li-moi. Kalau kita ketahuan, terpaksa aku akan membunuh suhengmu itu."
Hwe Li menjadi serba salah, kalau ia menjerit, tentu mereka akan dikepung dan la tidak ingin melihat Siangkoan Tek dikeroyok sampai tewas. Akan tetapi kalau ia diam saja, ia akan dibawa pergi oleh pemuda itu Ia merasa serba salah dan ia pun diam saja, akan tetapi kedua matanya menjadi basah, apalagi ketika ia mendengar teriakan ayahnya,
"Kejar dan cari sampai berhasil ditemukan!" Demikian terdengar suara souw Can yang juga ikut datang bersama semua anak buah Kim-liong-pang.
Setelah para pencari itu lewat, Siangkoan Tek lalu menarik tangan Hwe Li dan diajaknya gadis itu lari ke lain jurusan. Akhirnya mereka meninggalkan bukit itu. Siangkoan Tek tidak mempedulikan lagi keadaan anak buahnya yang terbasmi oleh pasukan yang menyerbu kuil itu. Mereka sudah jauh meninggalkan para pengejarnya dan tiba di sebuah padang rumput.
"Kenapa engkau berhenti Li-moi? Kita lanjutkan perjalanan menjauhi bukit agar tidak dapat dikejar lagi."
Tempat itu sunyi, jauh dari pedusunan dan Hwe Li memandang ke sekelilingnya. "Tek-ko, aku akan kembali ke rumah orang tuaku."
"Kenapa, Li-moi? Bukankah engkau sudah ikut denganku melarikan diri?"
"Akan tetapi ke mana engkau hendak membawaku pergi, Tek-ko? Aku takut, orang tuaku tentu akan mencariku. Aku harus pulang." Hwe Li membalikkan tubuhnya dan hendak berlari kembali ke bukit itu agar dapat pulang ke Pao-ting.
Akan tetapi Siangkoan Tek dengan sekali lompatan sudah menghadang di depannya. "Li-moi, dalam keadaan seperti ini engkau hendak meninggalkan aku? Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik? Dan engkau belum menjawab pertanyaanku kemarin. Maukah engkau mempererat lagi hubungan persahabatan klta dan menjadi kekasihku?"
Wajah Hwe Li berubah merah dan ia menjadi serba salah. Jelas bahwa pemuda ini bukan perampok dan buktinya juga tidak membela para perampok ketika diserbu pasukan. Akan tetapi, ia masih tetap sangsi walaupun ia tertarik sekali kepadanya. Akan mudah sekali untuk jatuh cinta kepada pemuda seperti Siangkoan Tek, akan tetapi hatinya masih diliputi keraguan.
Apakah ayahnya akan dapat menerima pemuda ini sebagai calon suaminya kalau mengetahui bahwa pemuda ini yang pernah memimpin gerombolan perampok merampas dua buah kereta? Tentu Lai siong Ek akan mengenalnya.
"Aku... aku tidak tahu, Tek-ko...." jawabnya lirih.
"Li-moi, aku cinta padamu..." Siangkoan Tek merangkul lalu mencium wajah yang cantik itu.
Semula Hwe Li mandah saja dan tenggelam ke dalam kemesraan, akan tetapi ia lalu teringat bahwa ia bukan tunangan pemuda itu, maka ia meronta. Apalagi ketika tangan Siangkoan Tek meraba-raba dengan berani. Ia meronta sehingga terlepas dari rangkulan pemuda itu. "Jangan, Tek-ko.... jangan...."
"Li-moi, aku tahu bahwa engkau juga mencintaiku." kata Siangkoan Tek yang meraih kembali dan merangkul gadis itu.
Hwe Li meronta dan pada saat itu terdengar bentakan halus dan nyaring, "Lepaskan gadis itu!"
Mendengar bentakan suara wanita ini, Siangkoan Tek melepaskan rangkulannya dari tubuh Hwe Li dan cepat membalikkan tubuhnya. Dia melihat bahwa yang membentak tadi adalah seorang gadis yang cantik jelita dan yang berdiri tegak dengan sepasang mata mencorong marah.
Pakaian gadis itu berkembang cerah dan wajahnya cantik sekali. Wajah itu berbentuk bulat telur, mulutnya kecil dengan bibir mungil merah membasah. Hidungnya mancung dengan ujungnya agak menjungat ke atas, nampak lucu menantang. Di kedua ujung mulutnya tampak lesung pipit yang manis.
Sebatang pedang tergantung dipunggung dan di pinggangnya terselip sebatang suling membuat ia selain nampak cantik jelita juga gagah perkasa. Terutama sekali matanya yang mencorong itu, sungguh berwibawa. Dan seketika Siangkoan Tek teringat akan gadis ini dan wajahnya berseri. Dia segera mengenal wajah ini.
"Kau... kau... Nona Lee Cin murid Ang-tok Mo-li.... Ah, sudah lama aku mencarimu, adik manis!"
"Hemm, Siangkoan Tek. Engkau manusia jahanam. Di mana-mana engkau mengejar gadis-gadis cantik. Aku tidak mempunyai urusan denganmu, kecuali untuk menghajarmu. Ada urusan apa engkau mencariku?"
"Sejak pertemuan kita dahulu, aku selalu teringat kepadamu, Cin-moi. Siang malam aku teringat kepadamu. Marilah ikut aku pulang ke Pulau Naga. Ayahku juga setuju kalau engkau menjadi..."
"Tutup mulutmu yang kotor!" Bentak Lee Cin dan secepat kilat ia sudah menyerang pemuda itu. Tangan kanannya meluncur seperti seekor ular yang mematuk ke arah leher pemuda itu.
Siangkoan Tek maklum benar betapa lihainya gadis ini, maka dia pun tidak berani main-main dan sudah mencelat ke belakang untuk menghindarkan serangan itu. Akan tetapi Lee Cin tidak memberi kesempatan lagi kepadanya untuk banyak cakap karena gadis itu sudah menyerang lagi lebih hebat ini karena ia mainkan jurus ampuh dari Ang-coa-kun (silat Ular Merah) yang ia warisi dari gurunya atau juga ibunya.
Serangan ini ampuh sekali. Bukan saja kuat dan cepat, akan tetapi ilmu pukulan ini juga mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Menghadapi serangan yang datangnya bertubi ini, Siangkoan Tek segera terdesak. Dia maklum akan bahaya yang mengancamnya, maka dia meraba punggungnya dan di lain saat dia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Dengan pedang ini dia membalas serangan Lee Cin sampai tiga kali berturut-turut. Lee Cin juga sudah tahu bahwa lawannya adalah putera Datuk Besar dari timur, maka ia cepat mengelak tiga kali sambil berlompatan mundur. Ketika ia maju kembali, ia sudah memegang Ang-coa-kiam.
"Trang-cring-trang....." berkali-kali kedua pedang itu bertemu di udara dan bunga api berpijar ketika dua pedang yang sama kuatnya ini berbenturan.
Keduanya segera terlibat dalam perkelahian pedang yang amat seru. Zementara itu, sejak tadi Hwe Li memandang dengan mata terbelalak. Bermacam perasaan teraduk dalam hatinya. Jantungnya masih berdebar kalau ia teringat akan ciuman-ciuman yang diterimanya dari Siangkoan Tek tadi.
Masih terasa hangatnya ciuman itu. Dan hatinya terasa panas sekali ketika mendengar betapa pemuda itu seolah-olah tergila-gila kepada gadis cantik yang kini bertanding dengan Siangkoan Tek. la merasa cemburu. Akan tetapi kenyataan bahwa gadis itu datang untuk menolongnya, membuatnya menjadi ragu.
Kemudian ia melihat betapa gadis itu lihai sekali dan seolah mendesak Siangkoan Tek dengan pedangnya yang menjadi gulungan sinar merah. Timbul rasa khawatir dalam hati Hwe Li, jangan-jangan Siangkoan Tek akan kalah dan terluka, atau terbunuh. Mendadak ada dorongan dari dalam hatinya, dan ia lalu mencabut pedangnya dan melompat maju menyerang Lee Cin, membantu Siangkoan Tek.
"Eh.....??" Lee Cin terkejut dan merasa heran sekali ketika melihat betapa gadis yang ditolongnya itu tiba-tiba membantu Siangkoan Tek mengeroyoknya. Biarpun ilmu pedang gadis itu tidak sehebat ilmu pedang Siangkoan Tek. Akan tetapi kepandaian gadis itu sudah cukup tinggi sehingga Lee cin segera terdesak ketika dikeroyok dua. Juga ia ragu-ragu untuk melukai gadis yang tidak dikenalnya itu.
Maka ia lalu memutar pedangnya dengan cepat untuk melindungi dirinya. Ingin ia membunuh Siangkoan Tek yang ia tahu merupakan seorang pemuda mata keranjang, cabul dan jahat. Akan tetapi dengan majunya Hwe Li, Lee Cin tidak melihat kesempatan untuk merobohkan Siangkoan Tek, bahkan sebaliknya ia menjadi terdesak sekali.
Ia merasa jengah sendiri kalau mengingat betapa ia tadi hendak menolong gadis itu, padahal kenyataannya gadis itu sama sekali tidak membutuhkan pertolongan. Gadis itu tidak dipaksa atau terancam oleh Siangkoan Tek.
Sebaliknya malah gadis itu kini membantu pemuda itu yang menunjukkan bahwa gadis itu bersahabat erat dengan Siangkoan Tek. Dan kini malah ia yang terancam bahaya. Kalau tidak disudahi perkelahian itu, akhirnya ia tentu akan terkena senjata lawan.
Berpikir demikian, Lee Cin lalu menyerang dengan hebat ke arah Hwe Li yang membuat gadis ini terpaksa meloncat mundur ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lee cin untuk melompat jauh dan melarikan diri secepatnya.
Ia pikir bahwa yang akan mampu mengejarnya hanya Siangkoan Tek dan belum tentu gadis itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang dapat menandinginya sehingga dapat mengejarnya. Kalau hanya Siangkoan Tek yang mengejar sendiri, setelah jauh ia akan menghadapi pemuda jahat itu.
Akan tetapi Siangkoan Tek adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tidak terpancing dan tidak melakukan pengejaran. Untuk apa mengejar Lee Cin kalau hal itu bahkan akan membahayakan? Dia mendapat kenyataan betapa Lee Cin bahkan lebih lihai daripada dahulu. Biarlah, sekali ini dia terpaksa membiarkan Lee Cin kabur, akan tetapi lain kali dia harus berusaha untuk dapat menangkap Lie Cin. Hanya gadis itu yang dia anggap pantas untuk menjadi isterinya.
"Tek-ko..."
Siangkoan Tek memutar tubuhnya, memandang Hwe Li sambil tersenyum dan menyimpan pedangnya. Gadis itu sudah menyimpan pedangnya dan kini memandang kepadanya dengan marah "Li-moi, terima kasih. Engkau telah membantuku."
"Tek-ko, siapakah gadis itu?" tanya Hwe Li sambil cemberut karena hatinya dicekam cemburu.
"Ah, ia? la bernama Lee Cin, dan ia murid seorang tokoh besar dunia persilatan yang berjuluk Ang-tok Mo-li. Ilmu kepandaiannya hebat, akan tetapi dengan bantuanmu, kita dapat mendesaknya dan kalau ia tidak melarikan diri, kita tentu akan dapat merobohkannya."
"Hemm, kalau dapat merobohkannya selanjutnya akan kau apakah?"
"Ia? Ah... akan kubunuh tentu saja."
"Benarkah itu? Aku tadi mendengar betapa engkau selalu teringat kepadanya Tek-ko, engkau.. engkau cinta kepadanya."
"Hushh...., engkau ngawur, Li-moi. Kalau aku mencintanya, mengapa kami bertanding mati-matian? Aku memang selalu teringat kepadanya karena diantara kami pernah terjadi permusuhan."
"Akan tetapi engkau bilang tadi bahwa kalau ia mau ikut denganmu ke Pulau Naga, ayahmu akan....."
"Akan memaafkan kesalahannya dan menyudahi permusuhan antara kami. Ia lihai sekali, tidak enak bermusuhan dengan lawan selihai itu, maka aku membujuknya untuk menghabisi permusuhan. Jangan menyangka yang tidak-tidak, Li-moi. Aku hanya mencinta engkau seorang."
Setelah berkata demikian, Siangkoan Tek lalu merangkul dan menciumi gadis itu Hwe Li seperti mabok dan membiarkan dirinya dibelai dan ia hanya memejamkan matanya dan tenggelam ke dalam rangkulan Siangkoan Tek.
Kita tinggalkan dahulu Hwe Li yang tenggelam ke dalam lautan nafsu berahi, terbakar oleh berahi Siangkoan Tek dan gadis yang kurang pengalaman hidup dan yang memiliki pandangan sempit itu terbuai dan pasrah saja ke tangan pemuda yang menarik hatinya dan yang dianggapnya sebagai manusia terbaik di dunia ini.
Lee Cin melarikan diri dan ia mengerutkan alisnya, hatinya merasa penasaran sekali melihat sikap gadis yang ditolongnya itu. Kalau tidak ada gadis itu yang membantunya, ia hampir yakin akan dapat membunuh pemuda jahat itu Ia teringat betapa dahulu, dua tahun yang lalu, ia bertemu dengan Siangkoan Tek dan ayahnya, Siangkoan Bhok. Ia bertanding dengan mereka Can akhirnya tertotok roboh oleh dayung Siangkoan Bhok yang lihai.
Ketika itu, Siangkoan Tek membawanya ke balik semak-semak dan hendak memperkosanya, dibiarkan saja oleh ayah pemuda itu. Untung baginya, pada saat yang amat gawat itu Ia tertolong oleh Thio Huisan murid In Kong Thaisu. (baca Kisah Gelang Kemala).
Karena amat membenci Siangkoan Tek. Setelah peristiwa itu, ia mengambil keputusan untuk membunuh pemuda itu apabila bertemu kembali. Ketika melihat Hwe Li meronta-ronta dalam pelukan Siangkoan Tek. Lee Cin mengira bahwa pemuda itu hendak memperkosanya maka ia lalu membentak dan turun tangan menyerang Siangkoan Tek.
Akan tetapi siapa kira, setelah ia mulai mendesak Siangkoan Tek. Gadis itu terjun dalam perkelahian dan malah membantu Siangkoan Tek mengeroyoknya. Padahal ia beranggapan bahwa ia telah menyelamatkan gadis itu dari tangan Siangkoan Tek yang hendak memperkosanya. Benar-benar membuat ia penasaran sekali.
Kalau dulu, di waktu ia masih berada di bawah bimbingan gurunya atau ibu kandungnya, Ang-tok Mo-li, ia tidak akan lari menghadapi perkelahian. Biarpun ia terdesak oleh keroyokan dua orang, dahulu seperti gurunya ia tidak pernah mengenal takut, tidak pernah mau mundur apalagi melarikan diri. Ia tentu akan kembali lagi dan menggunakan segala daya, kalau perlu memanggil ular-ularnya, untuk membalas dan berhasil membunuh Siangkoan Tek.
Akan tetapi semenjak ia tinggal bersama ayah kandungnya dan menerima bimbingan ayahnya, ia mendapat banyak nasihat dan di antaranya, agar ia tidak sembarangan membunuh orang dan tidak menjadi nekat walaupun keadaannya kalah kuat. Tidak suka melarikan diri walaupun sudah terhimpit dan kewalahan, bukan sikap seorang yang gagah perkasa.
Melainkan perbuatan orang bodoh yang sama seperti ingin mati konyol atau membunuh diri. Sewaktu ada kesempatan, orang harus menyelamatkan diri lebih dulu, membebaskan diri dari ancaman maut agar dapat bertindak lebih jauh.
Bagaimana Lee Cin tiba-tiba dapat muncul di situ bertemu dengan Siangkoan Tek dan Hwe Li? Gadis ini melakukan perjalanan bersama Thio Hui San, menuju ke Kwi-su di mana terdapat kuil siauw-lim-si. Kebetulan sekali ketika mereka tiba di kuil itu, Hui Sian Hwesio sedang berada di situ sehingga Lee Cin dapat menghadap wakil ketua siauw-lim-pai ini dan menyampaikan pesan ayahnya kepada Huisan Hwesio.
Ketika itu, Hui Sian Hwesio sedang duduk dengan in Kong Thaisu, ketua siauw-lim-pai. Mendengar pesan Souw Tek Bun yang disampaikan Lee Cin bahwa bengcu ini mengundurkan diri, kedua orang hwesio itu mengerutkan alisnya.
"Omitohud....." kata Hui sian Hwesio. "Akan tetapi mengapa ayahmu Souw Tek Bun hendak mengundurkan diri sebagai bengcu? Padahal menurut pinceng (saya), pada waktu ini tidak ada orang lain yang lebih pantas untuk menjadi bengcu. Kenapa ada keputusan yang tiba-tiba ini?"
"Ayah mengambil keputusan ini setelah dia terluka oleh pukulan seseorang yang menggunakan pukulan telapak tangan hitam dan pukulan merontokkan jalan darah."
"Omitohud... siapa yang melakukan pukulan keji itu?" In Kong Thaisu berkata sambil merangkap sepuluh jari tangannya ke depan dada.
"Teecu (murid) tidak tahu, juga Ayah tidak tahu karena penyerang itu berkedok hitam. Teecu berhasil menyelamatkannya dengan totokan-totokan it-yang-ci dan Ayah sudah minum obat pembersih darah. Akan tetapi Ayah masih harus menggunakan waktu sedikitnya sebulan untuk memulihkan tenaganya."
Hui Sian Hwesio mengerutkan alisnya. "Apakah hanya karena serangan itu souw Bengcu hendak mengundurkan diri? Setiap orang pendekar selalu tentu menghadapi bahaya serangan musuh-musuh dari golongan sesat, bukan hanya kalau menjadi bengcu saja. Alasan Souw Bengcu hendak mengundurkan diri sungguh tidak kuat dan tidak masuk akal."
"Susiok, Ayah sama sekali bukan hendak mengundurkan diri karena takut menghadapi musuh. Akan tetapi ada suatu hal yang meresahkan hati Ayah, yaitu kalau dia dianggap sebagai bengcu antek Kerajaan Mancu. Karena dia diangkat bengcu dengan restu dari Kerajaan Mancu, maka para patriot dan pendekar yang anti penjajah tentu akan memusuhinya dan Ayah tidak senang kalau dia harus bermusuhan dengan para patriot karena dalam sudut hati Ayah sendiri, dia tidak suka kepada penjajah Mancu."
"Omitohud... kiranya itukah sebabnya?" kata Hui sian Hwesio. "Kalau itu alasannya, sungguh masuk akal. Akan tetapi karena Souw-bengcu menjadi bengcu setelah dipilih semua pihak. Maka tidak bisa dia meletakkan kedudukan begitu saja. Dia harus mengundurkan diri di depan semua pihak dan mengingat bahwa pada bulan lima semua orang gagah kami undang ke Hong-san untuk mengadakan rapat membicarakan gerakan orang-orang gagah dipantai timur yang terbujuk orang-orang Jepang untuk mengadakan pemberontakan, maka sekalian ayahmu mengajukan pernyataan berhenti menjadi bengcu dalam rapat besar itu."
"Kalau begitu halnya, sebaiknya kalau susiok mengutus suheng Thio Hui Dan memberi kabar kepada Ayah, karena saya hendak melanjutkan perjalanan saya untuk mencarisi Kedok Hitam yang telah melukai ayah. Mohon petunjuk kepada suhu dan susiok, siapakah kira-kira si Kedok Hitam yang masih muda dan yang menggunakan pukulan penghancur jalan darah yang bertapak tangan hitam itu?"
Dua orang hwesio itu saling pandang, kemudian in Kong Thaisu menoleh kepada Thio Hui San. "Hui san, engkau yang banyak berkelana di dunia kang-ouw, apakah engkau tidak dapat menduga siapa orang yang memiliki ilmu tapak tangan hitam penghancur jalan darah seperti itu?" tanyanya sambil menatap wajah muridnya.
"Teecu teringat bahwa memang ada sebuah keluarga yang namanya terkenal di dunia kang-ouw dengan ilmu silat tangan kosong mereka. Keluarga itu adalah keluarga Cia yang tinggal di Hui-cu, di kaki Bukit Lo-sian (Dewa Tua). Keluarga itu terkenal sekali dengan ilmu tapak tangan hitam mereka. Akan tetapi tokoh-tokohnya telah meninggal dunia dan yang tinggal hanya seorang nenek. Kabarnya Nenek Cia ini yang mewarisi semua ilmu keluarga Cia. selanjutnya teecu tidak tahu, suhu."
"Hemm, keluarga Cia di Hui-cu kaki Bukit Lo-sian?" Lee Cin menyambung sambil mengerutkan alisnya. "Biarpun petunjuk itu samar dan mungkin keluarga Cia sama sekali tidak ada hubungannya dengan si Kedok Hitam, akan tetapi baik juga kalau aku menyelidiki ke sana, suheng."
"Memang sebaiknya begitu, Lee Cin. Akan tetapi ingat, engkau hanya menyelidiki saja, jangan sampai terjadi kesalah-pahaman sehingga engkau menjadi bermusuhan dengan keluarga itu. Jangan sekali-kali mudah menuduh orang sebelum engkau melihat buktinya. Eh, Hui San, keluarga Cia itu termasuk golongan apakah? Mudah-mudahan mereka bukan golongan sesat," kata In Kong Thaisu.
"Sama sekali bukan, suhu. Menurut yang teecu dengar, keluarga itu malah terkenal sebagai keluarga yang menentang kejahatan, keluarga yang gagah perkasa akan tetapi tidak suka menonjolkan diri di dunia kang-ouw sehingga tentang mereka, tidak banyak orang mengetahuinya," jawab pemuda itu.
Setelah menerima banyak nasihat dari in Kong Thaisu, Lee Cin lalu meninggalkan kuil siauw-lim-si untuk melanjutkan perjalanannya. Kini tugasnya ada dua. Pertama, menyelidiki keluarga Cia dan kedua, mencari ibunya dan membujuk ibunya agar suka berbaik kembali dengan ayahnya.
Sementara itu, Hui san juga meninggalkan kuil siauw-lim-si untuk memberi kabar kepada souw-bengcu tentang rapat pertemuan yang akan diadakan di Hong-san, tempat tinggal souw-bengcu. Dalam hatinya, pemuda ini merasa kecewa bahwa dia harus melakukan perjalanan seorang diri. Alangkah beda rasanya melakukan perjalanan seorang diri dengan berjalan bersama Lee Cin. Dia tahu bahwa dia sudah jatuh cinta untuk kedua kalinya kepada Lee cin.
Demikianlah, ketika melakukan perjalanan menuju ke kota Hui-cu di kaki Bukit Lo-sian, di tengah perjalanan Lee Cin bertemu dengan Siangkoan Tek dan souw Hwe Li. Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa antara ia dan Hwe Li terdapat tali persaudaraan yang tidak begitu jauh.
Mereka berdua sama-sama bermarga Souw dan Souw Tek Bun masih terhitung saudara sepupu dari souw can, sungguhpun keduanya sejak muda sekali tidak pernah lagi saling berhubungan. Kalau saja ia mengetahui, tentu tidak begitu mudah ia membiarkan Hwe Li berdua saja dengan pemuda yang ia ketahui amat keji itu.
Kota Bi-ciu merupakan kota yang cukup besar dan ramai karena kota itu menjadi pusat perdagangan. Daerah itu merupakan gudang rempah-rempah dan juga penduduknya hidup makmur sehingga banyak barang dagangan dibawa para pedagang memasuki kota itu.
Karena banyaknya tamu yang setiap hari mendatangi kota Bi-ciu, di situ tumbuh rumah makan dan rumah penginapan seperti jamur di musim hujan. Banyak restoran dan hotel, dari yang kecil sederhana sampai yang besar mewah.
Pada suatu siang, disebuah restoran yang cukup besar penuh dengan tamu yang hendak makan siang. Karena restoran besar ini juga merangkap sebagai hotel yang memiliki puluhan kamar, maka restoran itu selalu penuh tamu dari luar ataupun tamu yang bermalam di situ. Siang itu hawanya panas sekali. Apalagi dalam restoran yang penuh orang itu, hawanya lebih panas lagi.
Ketika para pelayan sedang sibuk melayani para tamu, masuklah seorang pemuda yang menarik perhatian orang. Pemuda ini berwajah tampan dan pakaiannya serba putih dari sutera halus, potongannya seperti yang biasa dipakai para siucai (pelajar). Akan tetapi walaupun pakaiannya seperti sastrawan.
Namun dipunggungnya tergantung sepasang pedang dan dipinggangnya terselip pisau pisau belati kecil sehingga tahulah orang bahwa pemuda itu tidak selembut tampaknya, melainkan seorang pemuda yang biasa berkelana di dunia kang-ouw. Memang sebenarnya demikianlah, karena pemuda itu bukan lain adalah ouw Kwan Lok, murid Thian-te Mo-ong dan mendiang Pak-thian-ong itu.
Pengalamannya yang pertama amat pahit. Ketika dia sudah berhasil melarikan Liu Ceng atau Ceng Ceng dan hendak memaksa gadis cantik itu menjadi kekasihnya, muncul Thian-tok Gu Kiat Seng dan terpaksa dia lari meninggalkan Ceng Ceng karena Thian-tok merupakan lawan yang amat tangguh, apalagi dibantu Ceng Ceng.
Pengalaman ini membuat Kwan Lok berhati-hati dan membuka matanya bahwa betapapun banyak ilmu yang telah diperolehnya dari kedua orang gurunya, di dunia kang-ouw banyak terdapat tokoh yang dapat menandinginya.
Siang itu tibalah dia di kota Bi-ciu dan karena sejak pagi dia belum makan, dia memasuki rumah makan yang ramai dan disambut seorang pelayan dengan hormat.
"Kongcu hendak makan? Kebetulan sekali masih ada meja yang kosong, hanya tinggal satu meja itulah. Mari silakan, Kongcu."
Kwan Lok mengikuti pelayan itu dan duduk menghadapi meja kosong yang letaknya di sudut. Meja itu barusaja ditinggalkan tamu yang makan. Pelayan segera menggunakan kain lapnya untuk membersihkan meja itu sambil bertanya, "Kongcu hendak memesan masakan apa?"
Kongcu itu menatap ke sebelah kirinya. Terpisah tiga meja dari mejanya agak ke tengah, dia melihat seorang gadis makan seorang diri dan dilihat dari situ, gadis itu cantik sekali dan makan dengan gerakan halus dan sopan, namun kelihatan nikmat sekali.
"Aku hendak memesan nasi dan masakan seperti yang dimakan nona di sana itu." Dia menunjuk ke arah gadis itu.
Dan si pelayan mengangguk-angguk mengerti. "Dan minumnya?"
"Arak seguci kecil dan air teh."
Pelayan pergi untuk mempersiapkan pesanan Kwan Lok dan pemuda ini sengaja duduk menghadap ke arah gadis itu sehingga dia dapat melihat gadis itu dari samping. Dia kagum dan tertarik. Di atas meja depan gadis itu terdapat sebatang pedang. Hal ini menunjukkan bahwa gadis itupun bukan orang lemah.
Kalau seorang gadis sudah berani metakukan perjalanan seorang diri membawa-bawa pedang, setidaknya ia tentu pernah belajar silat pedang dan melihat sikapnya yang demikian lembut namun tidak malu-malu dan penuh kepercayaan pada diri sendiri, Kwan Lok dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang berarti.
Gadis itu dilihat dari samping amat cantik menarik. Ketika gadis itu kebetulan menoleh ke arahnya, Kwan Lok dapat melihat wajah itu dari depan dan dia terpesona. Bukan main cantik jelitanya gadis itu. Aku harus dapat mendekatinya dan berkenalan dengannya, pikirnya.
Akan tetapi gadis itu berada di tempat umum dan menegur gadis itu begitu saja merupakan perbuatan yang kasar dan tidak sopan. Kwan Lok tidak mau mendatangkan kesan buruk di hati gadis itu. Kwan Lok sama sekali tidak pernah menduga bahwa gadis itu justru merupakan seorang di antara tiga orang musuh besar gurunya, yang harus dibunuhnya.
Thian-te Mo-ong, gurunya, berpesan kepadanya agar dia mencari tiga orang di dunia kang-ouw, yaitu pertama song Thian Lee, ke dua, seorang gadis bernama Tang Cin Lan puteri Pangeran Tang Gi Su dan ke tiga seorang gadis pula bernama Lee Cin murid Ang-tok Mo-li. Dia tidak pernah menduga bahwa gadis itu adalah souw Lee cin.
Lee Cin melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Hui-cu untuk menyelidiki keluarga Cia yang kabarnya memiliki ilmu pukulan tapak tangan hitam dan pada hari itu ia tiba di kota Bi-ciu. Melihat kola yang ramai itu, Lee Cin ingin tinggal beberapa hari lamanya untuk bertanya-tanya barang kali ibunya berada di kota itu.
Biarpun ibunya tinggal di Bukit Ular di lembah sungai Huang-ho, akan tetapi ibunya suka merantau dan sebelum mencari ibunya di Bukit Ular, ia harus mendengar-dengar dan mencari keterangan disetiap tempat yang ramai kalau- kalau ibunya berada di situ.
Maka Lee Cin lalu mencari rumah penginapan yang juga membuka rumah makan besar di depan rumah penginapan. Siang hari itu ia makan di rumah makan, tidak tahu bahwa ada orang yang sejak tadi memperhatikannya. Setelah pesanan makannya dihidangkan, Kwan Lok segera makan sambil kadang-kadang melirik ke arah gadis itu yang makan dengan perlahan.
Tiba-tiba tiga orang pria memasuki rumah makan itu. Melihat pakaian mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah tiga orang pria yang kaya dan melihat lagak mereka dapat diduga pula bahwa mereka tentulah orang-orang yang merasa berkuasa.
Dua orang pelayan segera menyambut mereka dan dua orang pelayan itu membungkuk-bungkuk penuh hormat. Tiga orang yang usianya sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun itu bertolak pinggang dan memandang kesana-sini, melihat meja meja yang penuh tamu.
"Mohon maaf sebesarnya, sam-wi Kongcu (Tiga orang Tuan muda), akan tetapi rumah makan kami penuh tamu dan tidak ada sebuah pun meja yang kosong. Silakan menunggu sebentar sampai ada tamu yang selesai makan dan meninggalkan mejanya."
Tiga orang itu memandang ke sekeliling dan tiba-tiba seorang di antara mereka menunjuk ke arah meja yang dihadapi Lee Cin, lalu berkata kepada pelayan itu, "Kami lihat di sana itu, satu meja hanya dipakai makan seorang saja. Kami dapat mengajak nona itu makan bersama" Dua orang temannya juga memandang dan mereka mengangguk sambil tersenyum simpul.
kemudian bergegas mereka menghampiri meja Lee cin, diikuti oleh seorang pelayan yang kelihatan gelisah. Setelah tiba di situ, mereka lalu menarik tiga buah bangku yang masih kosong lalu duduk menghadapi meja Lee Cin yang masih makan. Tentu saja gadis itu merasa heran dan memandang dengan alis berkerut kepada tiga orang itu.
"Nona, bangku-bangku ini masih kosong bukan?" tanya seorang.
"Semua tempat penuh, kami dapat duduk disini, bukan?" kata orang kedua.
"Daripada Nona makan seorang diri tiada teman, biarlah kami bertiga menemani Nona makan minum. Hei, pelayan, cepat sediakan arak terbaik dan keluarkan masakan yang termahal dan paling lezat untuk kami. Nona ini makan bersama kami dan semua kami yang akan bayar." kata orang ke tiga dengan gembira.
Lee Cin minum air tehnya lalu berkata lembut, "Harap kalian bertiga mencari meja lain dan jangan mengganggu aku. Aku tidak ingin ditemani."
"Aih, kenapa, Nona? Kami tidak akan mengganggu, bahkan hendak menjamu dengan hidangan termahal."
"Kami akan menjadi teman makan yang menyenangkan, Nona."
"Kami adalah tiga orang muda paling terkenal di kota ini, undangan kami merupakan kehormatan besar bagi Nona."
Lee Cin menjadi jengkel. Lenyap selera makannya oleh gangguan itu. Kalau ia menjadi marah dan menghajar tiga orang laki-laki tidak sopan ini, tentu ia akan menggemparkan rumah makan yang penuh tamu itu, juga tentu akan ada prabot yang rusak dan para tamu tentu akan meninggalkan tempat itu. Ia tidak menghendaki terjadi keributan.
Akan tetapi kalau didiamkan saja, tiga orang laki-laki ini tentu menjadi semakin kurang ajar. Ia mengukur dengan pandang matanya jarak di antara mereka dan ia. Jari tangannya tidak akan sampai ke tubuh mereka, akan tetapi kalau disambung sumpit, tentu sampai.
"Sekali lagi, kuminta kalian bertiga cepat meninggalkan aku seorang diri, atau aku akan menghajar kalian." katanya perlahan akan tetapi penuh wibawa.
Tiga orang laki-laki itu tersenyum lebar. "Akan enak sekali kalau dihajar oleh Nona yang cantik ini," kata seorang di antara mereka dan yang dua orang menyeringai kurang ajar.
Dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti dengan mata, tangan kanan Lee Cin yang masih memegang sumpit itu bergerak tiga kali dan tiga orang pria itu seolah berubah menjadi patung, duduk tidak bergerak dan tidak dapat bersuara lagi, hanya matanya saja yang memandang dengan kaget dan ketakutan.
Lee Cin sudah tidak berselera lagi. Ia menaruh sumpitnya dan menggapai seorang pelayan. Pelayan itu bergegas menghampiri dan Lee Cin membayar harga makanan. Tadinya pelayan itu tidak tahu bahwa tiga orang muda yang tidak sopan itu berubah menjadi patung. Akan tetapi setelah Lee Cin bangkit dan pergi membawa pedangnya, tiga orang itu masih duduk seperti patung, dan pelayan itu memandang keheranan.
Akan tetapi dia pun tidak berani mengganggu dan meninggalkan tiga orang itu yang telah memesan arak terbaik dan makanan paling mahal. Semua pelayan mengenal siapa tiga orang pria itu. Mereka adalah putera seorang bangsawan dan dua orang hartawan, dan terkenal amat royal, akan tetapi juga selalu menghendaki agar perintah mereka ditaati.
Tentu saja Kwan Lok yang sejak tadi memperhatikan Lee Cin, dapat melihat apa yang dilakukan gadis itu kepada tiga orang pria kurang ajar itu. Diam-diam dia terkejut sekali. Cara Lee Cin menotok ketiga orang pengganggunya menunjukkan bahwa gadis itu seorang ahli totok yang lihai sekali. Maka cepat dia pun membayar harga makanan dan mengikuti gadis itu keluar rumah makan. Kwan Lok membayangi dari kejauhan sehingga Lee Cin tidak menaruh curiga.
Setelah pelayan datang membawa arak dan hidangan ke meja tiga orang pria tadi, barulah pelayan merasa heran dan curiga. Tiga orang itu tetap duduk diam saja. "Sam-wi Kongcu, makanan telah saya hidangkan," katanya.
Tidak ada yang menjawab. "Silakan sam-wi makan," katanya lagi sambil memandang wajah mereka.
Dan melihat mata mereka yang bergerak-gerak ketakutan itu barulah pelayan itu menjadi sadar bahwa tiga orang laki-laki itu tidak mampu bergerak. Yang bergerak hanya biji mata mereka. Tentu saja dia menjadi panik dan segera memberi tahu para pelayan lain.
Keadaan menjadi ribut ketika para tamu mengetahui bahwa ada hal yang tidak beres dengan tiga orang itu. Pemilik rumah makan yang juga mengenal baik para pemuda itu, menjadi khawatir. Pemuda-pemuda yang menjadi kaku itu diurut-urut, digosoki minyak. Namun tetap saja tidak bergerak.
Akhirnya seorang yang terkenal sebagai tukang pukul datang mendekati. Dia adalah seorang yang pandai ilmu silat dan melihat keadaan tiga kongcu itu, dia pun menotok dan menekan sana sini, mencari jalan-jalan darah terpenting dan akhirnya dia berhasil secara kebetulan memunahkan totokan dan tiga orang itu pulih dan dapat bergerak kembali. Setelah dapat bergerak kembali, tiga orang itu mencak-mencak.
"Keparat!! Di mana adanya gadis siluman tadi?" mereka membentak-bentak.
Akan tetapi tidak ada pelayan yang mengetahui. Tukang pukul itu pun mengenal Lu-kongcu, seorang di antara tiga pemuda itu, karena dia adalah putera Kepala Daerah kota Bi-ciu. Melihat kesempatan baik ini untuk menonjolkan jasanya, dia lalu bertanya kepada Lu-kongcu,
"Gadis siluman mana yang telah mengganggu Kongcu? Saya yang akan menangkap dan menyeretnya ke depan kaki Kongcu."
Mendengar ini, Lu-kongcu lalu mengajak dua orang kawannya dan tukang pukul itu untuk berlari keluar dari rumah makan. Setibanya di luar, dia berkata kepada tukang pukul yang bernama Coa Gu itu,
"Cepat kumpulkan kawan-kawanmu dan sebar mereka untuk mencari seorang gadis berpakaian cerah berkembang, ada lesung pipit di kedua pipinya dan ia membawa sebatang pedang. Kalau bertemu cepat memberitahu padaku, akan kukerahkan perajurit menangkapnya."
"Baik, Lu-kongcu" si Tukang Pukul lalu cepat pergi untuk melaksanakan perintah itu.
Dan tiga orang pemuda itu lalu pulang ke rumah Lu-kongcu. Setibanya di rumah, pemuda putera Kepala Daerah itu lalu minta kepada kepala jaga agar mempersiapkan dua losin perajurit untuk menangkap "penjahat".
Tak lama kemudian, tukang pukul itu sudah berlari menghadap dan mengatakan bahwa anak buahnya telah menemukan gadis itu yang sedang berjalan-jalan di taman umum di tengah kota Bi-ciu. Mendengar ini, Lu-kongcu dan dua orang kawannya, diiringkan dua losin perajurit, mengikuti tukang pukul Coa Gu dan berlari-lari menuju ke taman bunga umum yang dimaksudkan itu.
Lee Cin memang memasuki taman bunga yang cukup indah dari kota Bi-ciu. Di tengah taman itu terdapat sebuah kolam ikan yang cukup luas dan terdapat banyak ikan emas berenang di antara bunga teratai yang sedang berkembang. Banyak orang yang menonton keasyikan ikan-ikan itu berkejaran.
Lee Cin tidak tahu bahwa di antara mereka terdapat Kwan Lok yang terus membayanginya sejak dari rumah makan tadi juga ia tidak tahu bahwa ia dicari banyak orang yang kemudian seorang dari mereka mcnemukan ia di taman itu. Disekeliling kolam ikan itu terdapat bangku-bangku panjang, memang disediakan kepada mereka yang suka menonton ikan.
Lee Cin duduk di atas sebuah bangku, pedangnya sudah ia ikatkan dipunggung. Ia membeli roti kering yang dijual tak jauh dari situ dan memberi makan ikan dengan roti kering. Sungguh asyik dan menggembirakan melihat betapa ikan-ikan itu berduyun-duyun berenang dan memperebutkan makan itu.
Lee cin tidak merasa bahwa waktu cepat berlalu dan sudah cukup lama ia duduk di bangku itu. Roti kering sudah habis diberikan kepada ikan-ikan, akan tetapi ia masih duduk termenung. Melihat ikan yang berkelompok dan hilir mudik berenang berbarengan itu, ia merasa bahwa ia bagaikan seekor ikan tunggal yang tiada kawan.
Satu-satunya kawan dalarn hidup ini baginya hanyalah ayah kandungnya. Ia merasa rindu kepada ibunya, dan rindu kepada kawan-kawan yang dahulu sempat dikenalnya. Ia rindu kepada Tang Cin Lan, rindu kepada song Thian Lee. Alisnya berkerut dan ia merasa bersedih. Pernah ia jatuh cinta mati-matian kepada Thian Lee, akan tetapi ia melihat kenyataan yang menyedihkan bahwa pemuda pujaannya itu tidak membalas cintanya, bahwa Thian Lee telah mencinta gadis lain, yaitu Cin Lan.
Mereka kini telah menikah dan tinggal di kota raja. Thian Lee menjadi seorang panglima besar dan hidup berbahagia dengan cin Lan. Diam-diam ia merasa iri kepada Cin Lan dan makin iba kepada diri sendiri. la tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan sehingga lupa bahwa ia telah lama sekali duduk termenung di tempat itu, kini tidak lagi memandang kepada ikan-ikan. Pandang matanya kosong dan menerawang jauh. Tiba-tiba ia mendengar bentakan-bentakan di sekelilingnya.
"Itu dia orangnya!"
"Tangkap siluman betina itu!"
"Kepung, jangan sampai lolos!"
Lee Cin tadinya tidak menyadari apa artinya seruan-seruan itu, akan tetapi ketika ia melihat banyak orang berpakaian perajurit mengepungnya, baru ia menyadari bahwa ia yang akan ditangkap. Tentu saja ia merasa heran dan bangkit memandangi para perajurit itu dengan alis berkerut.
Akan tetapi ketika ia melihat tiga orang muda yang berteriak-teriak mengomando para perajurit itu, tahulah ia mengapa ia akan ditangkap. Kiranya tiga orang pemuda yang mengganggu di rumah makan dan yang ditinggalkannya dalam keadaan tertotok yang memimpin pasukan itu untuk menangkapnya sekitar dua puluh orang lebih perajurit mengepungnya dengan golok di tangan dan sebagian besar dari mereka bersikap ragu-ragu.
Tentu saja para perajurit itu merasa ragu. Haruskah mereka yang berjumlah dua losin perajurit itu mengeroyok seorang gadis muda yang cantik jelita?
Api kemarahan menyala di hati Lee Cin. Akan tetapi segera terngiang di telinganya akan nasihat-nasihat ayah kandungnya bahwa ia tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan ia teringat pula kepada Thian Lee, pendekar yang juga pantang membunuh orang begitu saja. Para perajurit ini tidak bersalah.
Memang pekerjaan mereka untuk mematuhi perintah atasan. Yang bersalah adalah tiga orang muda itu. sudah bersikap kurang ajar kepadanya masih tidak menyadari kesalahan bahkan mengerahkan perajurit untuk menangkapnya. Tiga orang itulah yang patut dihajar.
Ketika para perajurit mengepung semakin dekat, ia tidak mencabut pedangnya, melainkan mencabut sulingnya. Suling itu pun merupakan sebuah senjata yang ampuh, akan tetapi hanya untuk menotok lawan, bukan untuk melukai atau membunuh walaupun ada beberapa macam totokan yang merupakan totokan maut.
"Kalian mau apa?" teriaknya di antara gemuruh suara para pengepung.
Tiga orang pemuda itu kini menjadi berani karena mereka mengandalkan dua losin perajurit. Mereka melangkah maju menghadapi Lee Cin dan putera Kepala Daerah itu menudingkan telunjuknya kepada Lee cin.
"Gadis sombong...! Engkau telah berani menghinaku, menghina kami bertiga. Kami akan menyeretmu untuk diberi hukuman." setelah berkata demikian, pemuda itu memberi isyarat dengan tangannya kepada para perajurit untuk menyerbu.
Akan tetapi Lee Cin sudah bergerak cepat sekali. Tubuhnya berkelebat ke depan dan hampir tidak dapat dilihat gerakannya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan beruntun tiga kali, disusul suara air tertimpa benda berat dan tiga orang pemuda itu sudah gelagapan di dalam kolam ikan.
Sialnya mereka tidak dapat berenang sehingga megap-megap dan berteriak minta tolong. Para perajurit segera menolong mereka dan sebagian lagi sudah mengeroyok Lee Cin.
Gadis itu menggerakkan sulingnya menangkis golok-golok yang menyambarnya dari segala penjuru. Ia harus memutar sulingnya menjadi segulung sinar hitam yang menyelimuti dirinya sehingga tidak dapat dilukai golok. Tangan kirinya menampar-nampar dan kakinya menendang-nendang merobohkan para pengeroyok.
Pada saat itu terdengar suara lembut, "Jangan khawatir, Nona. Aku membantumu menghajar orang-orang tidak tahu malu ini."
Dan muncullah Kwan Lok yang segera terjun ke dalam pertempuran. Melihat bayangan putih berkelebat dan seorang pemuda berpakaian serba putih yang tampan mengamuk membantunya, Lee cin mengerutkan alisnya.
Apalagi melihat betapa pemuda itu walaupun tidak menggunakan pedang yang berada dipunggungnya, namun melakukan pukulan keras yang membuat beberapa orang perajurit roboh pingsan, ia khawatir kalau pemuda itu membunuh orang.
"Aku tidak butuh bantuanmu." katanya dan Lie cin segera melompat jauh dan melarikan diri dari pengeroyokan para perajurit.
Melihat gadis itu melarikan diri, Kwan Lok khawatir kehilangan gadis itu, maka dia pun menendang roboh dua orang perajurit, lalu dia meloncat melakukan pengejaran. Para perajurit berteriak-teriak melakukan pengejaran, akan tetapi gadis dan pemuda baju putih itu sudah menghilang di antara keramaian banyak orang.
Mereka terpaksa kembali ke taman dan mengawal tiga orang yang basah kuyup dan terengah-engah itu kembali ke rumah kediaman Kepala Daerah. Akan tetapi putera Kepala Daerah tentu saja menjadi semakin sakit hati dan dia memerintahkan para perajurit untuk mencari gadis dan pemuda berpakaian putih itu. Bahkan dia juga menggerakkan para tukang pukul dan para berandalan yang berada di kota Bi-ciu untuk bantu mencari.
Sementara itu, Lee Cin berhasil menyelinap di antara banyak orang dan setelah melihat bahwa tidak ada yang mengejarnya, ia langsung pergi ke rumah penginapan. Ia tidak tahu bahwa dari jauh ia dibayangi Kwan Lok.
Karena peristiwa pengeroyokan di taman itu membuat tubuhnya berkeringat, Lee Cin lalu minta disediakan air lalu mandi. Baru saja ia berganti pakaian, daun pintu kamarnya diketuk orang. Ia terkejut dan mengira bahwa yang mengetuk pintu itu adalah perajurit-perajurit yang mengejar dan mencarinya.
"Siapa?" tanyanya dengan suara tegas.
"Saya Nona. Saya pelayan."
Lee Cin membuka daun pintu dan benar saja. seorang pelayan berdiri di luar pintu dan membungkuk dengan hormatnya. "Ada apa?"
"Nona, di luar terdapat seorang yang minta bertemu dan bicara dengan Nona."
"Suruh tunggu di luar, akan kutemui dia," kata Lee Cin sambil menduga-duga siapa gerangan orang yang hendak bertemu dan bicara dengannya itu. setelah membereskan rambutnya, Lee Cin keluar dan di ruangan tengah yang dipergunakan sebagai ruang tamu, duduk seorang pemuda yang dikenalnya sebagai pemuda berpakaian serba putih yang tadi membantunya menghadapi pengeroyokan para perajurit. Ia mengerutkan alisnya akan tetapi terus melangkah menghampiri.
Pemuda itu adalah Kwan Lok. Melihat Lee Cin, dia cepat berdiri dan memberi hormat. "Selamat siang, Nona. Maafkan kalau aku mengganggumu."
Pemuda yang bicara lembut dan bersikap hormat, pikir Lee Cin dan ia pun membalas penghormatan orang. "Siapakah engkau dan ada keperluan apa ingin bertemu dan bicara denganku." suara Lee Cin datar saja.
Dan pemuda itu lalu menoleh ke kanan kiri. Kebetulan pada siang hari itu di ruangan itu tidak terdapat orang lain, juga pintu-pintu kamar yang berderet itu semua tertutup. "Aku ingin menyampaikan berita penting sekali, Nona. Namaku Iuw Kwan Lok dan aku tidak berniat buruk terhadap Nona. Sebaliknya aku malah hendak menyampaikan suatu bahaya yang besar bagi keselamatanmu."
Lee Cin tidak mengenal nama itu dan sepanjang ingatannya, belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang bernama ouw Kwan Lok itu, kecuali tadi dalam taman umum. "Bahaya apakah itu?"
Lee Cin bertanya, suaranya tenang saja sehingga diam-diam Kwan Lok menjadi semakin kagum. sungguh seorang gadis yang amat cantik jelita dan juga amat gagah perkasa, pikirnya.
"Aku melihat dijalan raya banyak terdapat perajurit, Nona, juga gerombolan orang berandalan yang sengaja mencarimu. Tentu ada hubungannya dengan perkelahian di taman umum tadi. Agaknya mereka masih penasaran. Ketahuilah bahwa seorang di antara tiga orang pemuda, itu adalah putera Kepala Daerah."
"Hemm, kalau mereka mencari karena urusan perkelahian tadi, mereka tentu juga akan mencarimu karena engkau mencampurinya pula dan merobohkan beberapa orang perajurit."
"Kalau aku sudah siap untuk itu, Nona."
"Hemm, apa kau kira yang siap itu hanya engkau? Aku pun sudah siap menghadapi mereka dan aku tidak takut. Pula, aku tidak minta bantuanmu, karena itu, sobat tinggalkan aku sendiri."
Pemuda itu tersenyum. Keangkuhan yang menunjukkan kegagahan, pikirnya. "Aku mengerti bahwa engkau mampu melindungi diri sendiri, Nona. Akan tetapi maksudku, aku siap bukan untuk melawan mereka. Kita tidak mungkin melawan pasukan pemerintah Nona. Yang kumaksudkan dengan siap adalah ini."
Kwan Lok mengambil sesuatu dari sakunya dan begitu tangannya menempel di mukanya, ketika tangannya turun Lee Cin melihat pemuda itu sudah berubah wajahnya. Kini dia memakai kumis yang tebal dan janggot yang panjang. Tentu saja wajahnya menjadi berubah sama sekali. Ia sendiri tentu tidak akan mengenalnya kalau bertemu dijalan. Hampir saja Lee cin tertawa melihat wajah yang berubah itu. Lucu nampaknya.
"Apa kau maksudkan bahwa aku harus pula menyamar?"
"Begitulah, Nona. Demi menjaga keselamatan dan menjauhkan pertempuran melawan pasukan, sebaiknya kalau Nona menyamar sebagai pria. Dengan begitu kita akan mudah saja keluar dari kota ini tanpa dicurigai dan diketahui."
Sebuah gagasan yang bagus, pikir Lee Gin. "Akan tetapi..."
"Nona maksudkan pakaian? Jangan khawatir aku sudah mempersiapkan untukmu." Kwan Lok menyerahkan sebuah bungkusan. "Sekarang berdandanlah dan aku menanti Nona di luar restoran di depan itu."
Lee Cin menerima bungkusan itu karena pada saat itu ia tidak melihat jalan yang lebih baik daripada apa yang diusulkan pemuda bernama Ouw Kwan Lok itu. Ia membawa bungkusan masuk ke dalam kamar dan tak lama kemudian dia sudah berdandan sebagai seorang pemuda yang tampan sekali.
Lee Cin tersenyum sendiri melihat bayangannya di cermin dan setelah membawa buntalan pakaiannya, memasang pedang Ang-coa-kiam sebagai sabuknya, menyelipkan suling dipinggang, dia lalu melangkah keluar dengan langkah gaya seorang pemuda. Di luar sudah menunggu Kwan Lok yang memakai kumis dan jenggot.
Tanpa bicara Kwan Lok lalu berjalan berdampingan dengan Lee Cin. Sikap kedua orang ini biasa dan wajar saja sehingga tidak menarik perhatian orang. Siapa yang akan memperhatikan seorang setengah tua dan seorang pemuda berpakaian aneka warna kalau yang dicari itu seorang gadis dan seorang pemuda berpakaian serba putih?
Lee Cin melihat betapa jalan-jalan raya penuh dengan perajurit kerajaan dan diam-diam ia bersukur dan memuji akal Kwan Lok untuk dapat keluar dari kota itu tanpa gangguan. Kalau ia harus melawan pasukan sebanyak itu, sungguh repot sekali.
Mereka berlenggang keluar dari kota Bi-ciu dan setelah mereka meninggalkan kota itu sejauh belasan mil, barulah hati mereka merasa lega. Kwan Lok menanggalkan jenggot dan kumis palsunya, akan tetapi Lee Cin tetap memakai pakaian pria itu. Untuk berganti pakaian ia harus mencari tempat yang sunyi dan tidak tampak oleh siapapun juga.
"Nah, sekarang kita telah selamat dari pencarian pasukan. Karena itu kita berpisah di sini, saudara Kwan Lok, dan kita mengambil jalan masing-masing. Terima kasih atas bantuanmu sehingga aku dapat menghindari perkelahian dengan pasukan."
Kwan Lok memandang dengan mata terkejut. Sama sekali tidak disangkanya bahwa dia harus berpisah sedemikian cepatnya dari gadis yang dikaguminya ini. "Kenapa .. kita harus berpisah?" tanyanya gagap.
Lee Cin memandang tajam. "Kenapa tidak? Kita mempunyai urusan masing-masing dan harus berpisah."
"Eh, maksudku, mengapa kita berpisah begitu saja, tanpa aku mengetahui namamu, Nona? Bukankah dengan pengalaman ini kita telah menjadi sahabat dan aku sudah memperkenalkan namaku?"
Lee Cin tersenyum. Memang keterlaluan kalau ia tidak memperkenalkan diri. Bagaimanapun juga, pemuda ini sudah membantunya ketika dikeroyok pasukan dan memberi isyarat yang baik sekali sehingga ia dapat keluar dari Bi-ciu tanpa perkelahian.
"Baiklah kalau engkau ingin mengetahui. Namaku adalah Souw Lee Cin dan aku datang dari Hong-san."
Mendengar nama ini, Kwan Lok menelan kembali rasa kagetnya sehingga di wajahnya tidak nampak sesuatu. Tentu saja dia terkejut bukan main mendengar nama itu, karena nama itulah yang disebut suhunya sebagai seorang di antara musuh-musuh gurunya yang harus dibunuhnya semua musuh gurunya ada tiga orang yang harus dicari dan dibunuhnya, yaitu Souw Lee Cin, Song Thian Lee dan Tang Cin Lan.
Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis cantik yang menarik hatinya ini adalah seorang di antara mereka bertiga. Akan tetapi, dengan cepat dia dapat menekan perasaannya yang tegang dan dengan suara biasa dia bertanya. "Dari Hong-san dan she Souw? Aku jadi teringat akan Souw Tek Bun, bengcu yang tinggal di Hong-san. Apakah ada hubungan antara engkau dengan bengcu itu?"
"Dia adalah ayahku," kata Lee Cin.
"Ah, pantas saja engkau memiliki ilmu silat yang tinggi, Adik Lee Cin, kiranya engkau adalah puteri Bengcu Souw Tek Bun yang terkenal dengan julukan Sin-kiam Hok-mo (Pedang sakti Penaluk lblis) Aku telah bersikap kurang hormat." Pemuda itu lalu memberi hormat kepada Lee Cin yang dibalas dengan sepantasnya. "Kalau aku boleh bertanya, Cin-moi, engkau hendak ke manakah dan ada urusan apakah? siapa tahu, aku dapat membantumu."
Kwan Lok bersikap akrab sekali sehingga Lee Cin merasa tidak enak kalau sikapnya terlalu dingin terhadap pemuda itu. Juga ia teringat bahwa pemuda ini agaknya mempunyai banyak pengalaman. Siapa tahu dia dapat memberi keterangan tentang si Kedok Hitam yang dicarinya.
"Aku sedang merantau untuk memperluas pengalaman, Ouw-twako. Akan tetapi aku ingin sekali tahu tentang keluarga Cia di Hui-cu di kaki Bukit Lo-sian. Apakah engkau tahu tentang mereka dan adakah tokoh mudanya yang menonjol di antara mereka? Juga aku ingin tahu tentang ilmu silat mereka yang kabarnya amat tinggi."
"Keluarga Cia di Hui-cu? Aku hanya mendengar bahwa keluarga itu amat terkenal di daerahnya dan mereka memiliki ilmu silat yang tangguh. Kalau tidak salah, mereka menguasai ilmu pukulan semacam Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam), akan tetapi aku sendiri tidak pernah bertemu dengan mereka. Ada urusan apakah engkau menyelidiki keadaan mereka, Cin-moi?"
"Ah, tidak ada apa-apa, hanya ingin tahu karena mendengar nama besar mereka," kata Lee Cin. "Nah, sekarang kita harus berpisah, Ouw-twako, aku hendak melanjutkan perjalananku merantau."
"Akan tetapi, bagaimana kalau kita merantau bersama, Cin-moi? Aku juga sedang merantau."
Lee Cin mengerutkan alisnya dan menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam menyelidik. "Tidak bisa, Twako. Tidak pantas bagi seorang gadis melakukan perjalanan bersama seorang pemuda. Selamat berpisah." Ia memberi hormat lalu membalikkan tubuh dan melompat jauh dan melarikan diri secepatnya.
Kwan Lok mengikuti bayangan gadis itu dan dia pun cepat berlari mengejar. Lee Cin berjalan biasa setelah ia berlari cepat beberapa mil jauhnya. Ia lari hanya untuk cepat meninggalkan Kwan Lok. Biarpun ia melihat bahwa Kwan Lok seorang pemuda yang baik dan sopan.
Akan tetapi hal itu masih belum membuat ia percaya untuk melakukan perjalanan berdua saja dengan pemuda itu. Ia telah berganti pakaian biasa, pakaian wanita dan meninggalkan pakaian pria pemberian Kwan Lok itu di dalam hutan.
Sore hari itu hawanya panas sekali. Ketika tiba di sebuah tikungan di luar hutan yang ditinggalkannya, Lee Cin melihat sebuah warung minuman yang didirikan di tepi jalan. Ada tulisan "Teh Harum" yang besar di depan kedai minuman itu. Ia tertarik dan melihat bahwa kedai itu sepi tidak ada pengunjungnya. Dua orang yang menjaga kedai itu menganggur. Karena merasa haus, Lee Cin lalu menghampiri kedai itu. Seorang di ahtara penunggu kedai itu lalu bangkit menyambutnya.
"Nona hendak menghilangkan haus? Silakan, Nona, teh kami amat harum dan lezat, tentu akan dapat menghilangkan haus di sore yang panas ini."
Lee Cin memandang kepada mereka dan diam-diam hatinya menaruh kecurigaan. Kedai itu hanya terdiri dari tenda yang dipasang di situ dan agaknya belum lama dipasang. Dan dua orang itu kelihatan kokoh kuat berusia kurang lebih empat puluh tahun, tidak pantas menjadi penjual minuman, pantasnya menjadi pekerja kasar yang menggunakan tenaga.
Apa lagi orang ke dua yang berkumis itu memiliki pandang mata yang mencurigakan, seperti pandang mata seorang yang bermaksud jahat. Akan tetapi Lee Cin tidak peduli. Ia memang sedang haus dan ia tidak membawa bekal minuman.
"Sediakan sepoci air teh yang harum dan hangat," kata Lee Cin. Kalau sedang kepanasan seperti itu, minum air teh hangat akan dapat menghilangkan haus. Biarpun ada kecurigaan dalam hatinya, namun Lee Cin tidak memperlihatkannya dan duduk di atas bangku menghadapi meja dengan tenang.
Ia tidak dapat melihat kedua orang itu, akan tetapi pendengarannya yang tajam dapat menangkap keduanya berbisik-bisik. Tahulah ia bahwa ia harus waspada. Kalau dua orang bicara berbisik-bisik seperti itu tentu mengandung niat yang kurang baik.
"Ini tehnya, Nona. silakan minum."
Lee Cin mengangkat muka dan melihat pelayan yang tadi datang membawa sepoci teh yang masih mengepul panas berikut sebuah cawan kecil yang biasa dipakai untuk minum teh. Dengan sikap biasa Lee Cin menuangkan air teh dari poci ke dalam cawan. Air teh hijau kekuningan itu tampak jernih dan tercium bau harum sekali.
Harus diakui bahwa teh itu memang bermutu baik. Setelah meniup-niup air teh dalam cawan sehingga menjadi berkurang panasnya, mulailah Lee Cin minum air teh itu sedikit-sedikit. Rasanya memang lezat sekali dan kehangatan air teh membuat dada dan perutnya terasa hangat pula. Ia mengangguk-angguk memuji dalam hatinya.
Seperti lenyap rasa lelahnya, juga baru habis secawan saja, lehernya tidak merasa haus lagi. Ia menuangkan lagi secawan, diminumnya habis, menuangkan lagi. Setelah habis tiga cawan, Lee Cin tampak memejamkan kedua matanya, memijit-mijit kening dan pelipisnya, kemudian tiba-tiba lehernya terkulai dan ia merebahkan kepalanya di atas meja di depannya, seperti orang tertidur atau pingsan.
Melihat ini, dua orang pelayan itu berloncatan menghampiri "Ia sudah terbius, sudah pingsan. Ha-ha-ha, tidak kusangka semudah itu." kata pelayan yang menghidangkan air teh tadi.
"Ini membuktikan bahwa obat bius pemberian Kongcu itu benar-benar manjur. Aduh cantiknya." Dengan gerakan, kurang ajar pelayan yang berkumis itu menyentuh dagu Lee Cin dengan telunjuk jarinya.
"Hush, apa engkau sudah bosan hidup?" tegur orang pertama. "Kita harus membawa Nona ini kepada Kongcu, tanpa cacat dan jangan engkau berani menyentuhnya. Cepat, kau gulung tenda dan singkirkan meja dan bangku, aku akan membawa Nona ini sekarang juga kepada Kongcu."
Setelah berkata demikian orang pertama ini lalu memanggul tubuh Lee cin di pundaknya sambil membawa buntalan pakaian Lee Cin yang tadi diletakkan di atas meja oleh pemiliknya. Dan ternyata orang itu kuat sekali. Dia memanggul tubuh Lee Cin lalu berlari cepat menuju ke bukit kecil yang berada takjauh dari situ.
Di atas bukit itu terdapat sebuah pondok kecil dan orang itu mengetuk daun pintu yang tertutup, "Kongcu, saya sudah berhasil membawa Nona ini ke sini seperti yang Kongcu perintahkan."
"Bawa masuk saja dan rebahkan di kamar," terdengar jawaban suara laki-laki yang lembut.
Orang yang tadi berpura-pura menjadi pelayan itu lalu mendorong daun pintu terbuka, dan membawa Lee Cin memasuki pondok. Pondok kecil itu hanya mempunyai sebuah kamar. Dibukanya pintu kamar dan dia lalu merebahkan tubuh Lee Cin di atas sebuah dipan bambu, kemudian meletakkan buntalan pakaian di atas meja kecil lalu dia keluar lagi.
Lee Cin masih dalam keadaan tidur atau pingsan, menggeletak telentang di atas dipan. Suara yang lembut tadi berkata lagi, "Sekarang keluarlah dan kalian berdua berjaga di luar pondok. Cepat beritahu kalau ada orang datang mendaki bukit dan menuju ke sini."
"Baik, Kongcu," jawab orang tadi.
Daun pintu kamar itu terbuka dan masuklah seorang pemuda berpakaian serba putih ke dalam kamar itu. Melihat tubuh Lee Cin menggeletak telentang di atas dipan, dia tertawa,
"Ha-ha-ha, sayang sekali engkau yang cantik ini bernama Souw Lee Cin yang harus kubunuh demi membalaskan sakit hati suhu Thian-te Mo-ong dan mendiang suhu Pak-thian-ong. Akan tetapi sebelum engkau kubunuh, aku ingin lebih dulu bersenang-senang denganmu. Amat sayang kalau dibunuh begitu saja Ha-ha-ha."
Pemuda itu adalah Ouw Kwan Lok. Setelah tertawa-tawa dia minum arak dari guci kecil yang dibawanya memasuki kamar itu, lalu duduk dengan wajah gembira sekali. Dia memandang lagi kepada Lee Cin yang masih rebah telentang di atas pembaringan kayu itu.
"Suhu Thian-te Mo-ong, sayang sekali suhu berada begitu jauh dari sini. Kalau tidak, tentu Souw Lee Cin ini akan kuserahkan kepada suhu agar suhu dapat puas memberi hukuman sendiri. Biarlah sekarang aku mewakili suhu untuk bersenang-senang kemudian membunuhnya." setelah berkata demikian Kwan Lok menaruh guci di atas meja dan membuka baju luarnya. kemudian ia menghampiri Lee Cin sambil tertawa-tawa senang.
"Wuuutt.." Tiba-tiba kaki Lee Cin mencuat dalam sebuah tendangan yang amat kuat menyambar ke arah dada Kwan Liok.
Tentu saja pemuda ini terkejut bukan main, akan tetapi dia masih dapat melompat ke belakang menghindarkan diri dari serangan mendadak itu. Lee Cin lalu melompat turun dari pembaringan, berdiri tegak sambil memandang pemuda itu dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
Biarpun Kwan Lok merasa terkejut dan heran sekali, namun dia masih tersenyum-senyum penuh kepercayaan diri, hatinya bertanya-tanya bagaimana Lee Cin dapat sadar sedemikian cepatnya.
Tentu saja Lee Cin dapat sadar dengan cepat karena ia tidak pernah pingsan atau tertidur. Lee Cin adalah murid tersayang dan juga puteri Ang-tok Mo-li, seorang datuk wanita ahli racun, maka tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Apalagi kalau hanya racun pembius, biarpun minum berapa banyakpun ia tidak akan terpengaruh...