Dewi Ular Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Gelang Kemala seri Dewi Ular Jilid 07 karya Kho Ping Hoo

Dewi Ular Jilid 07

KALAU ia tadi tampak pingsan tak berdaya dipanggul oleh penjaga kedai minuman, hal itu adalah karena ia sengaja berpura-pura pingsan karena ia ingin tahu apa yang akan dilakukan dua orang itu atas dirinya, dan ingin pula tahu siapa yang berdiri di balik siasat untuk memancingnya itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan juga marahnya ketika ia melihat bahwa yang mengatur semua itu adalah Ouw Kwan Lok!

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Akan tetapi keheranannya lenyap setelah Kwan Lok bicara sendiri mengaku bahwa dia membalaskan sakit hati Thian-te Mo-ong dan Pak-thian-ong. Kedua orang datuk sesat itu memang pernah bermusuhan dengannya bahkan ia yang menggagalkan pemberontakan mereka sehingga Pak-thian-ong membunuh diri dan Thian-te Mo-ong ditangkap pasukan kerajaan. Kiranya sekarang ada murid mereka yang hendak membalaskan dendam itu.

"Ouw Kwan Lok jahanam busuk!" Lee Cin mendamprat sambil menudingkan telunjuk kirinya ke muka orang. "Engkau boleh saja membalas dendam, akan tetapi caramu licik dan curang sekali. Engkau ternyata hanyalah seorang pengecut kecil!"

Lee Cin cepat melompat ke atas, gerakannya seringan burung walet ketika ia melompat tinggi ke atas itu dan selagi tubuhnya masih di atas Lee Cin sudah mengeluarkan pedangnya yang tadinya dipakai sebagai sabuk yang melilit pinggangnya yang ramping. Ketika tubuhnya melayang turun, Kwan Lok sudah menyambutnya dengan serangan sepasang pedangnya. Lee Cin memutar Ang-coa-kiam yang bersinar merah.

"Trang…..! Trangg.....!"

Sepasang pedang di tangan Kwan Lok terpental ketika bertemu dengan Ang-coa-kiam yang digerakkan dengan kandungan tenaga yang amat kuat itu. Kini mereka berhadapan. Kwan Lok dengan sepasang pedang di kedua tangannya sedangkan Lee Cin memegang Ang-coa-kiam di tangan kanan dan suling di tangan kiri. Karena kamar itu sempit, Kwan Lok melompat keluar kamar.

"Hendak lari ke mana engkau, jahanam!" Lee Cin mengejar keluar dan ternyata Kwan Lok sudah lari keluar dari pondok itu. "Jangan lari!" Lee Cin membentak dan mengejar keluar pondok.

Ternyata Kwan Lok tidak lari, melainkan menanti di depan pondok sambil tersenyum mengejek. Dua orang yang tadi menyamar sebagai penjaga kedai sudah berada di sebelahnya, masing-masing memegang sebatang golok besar. Mereka itu sebenarnya adalah dua orang perampok yang merampok Kwan Lok akan tetapi dapat ditundukkan oleh pemuda itu dan dijadikan anak buahnya untuk memancing dan menangkap Lee Cin.

"Ha-ha-ha, Souw Lee Cin, sekaranglah tiba saatnya engkau menebus dosamu terhadap kedua orang guruku!" Kwan Lok berkata sambil memberi isyarat kepada dua orang pembantunya untuk bergerak.

Dua orang pembantunya itu adalah perampok-perampok jahat dan kejam yang sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Mereka belum mengenal Lee Cin maka memandang rendah gadis ini, apalagi karena mereka masih beranggapan bahwa gadis itu pernah pingsan oleh obat bius, sama sekali tidak mengetahui bahwa Lee Cin hanya berpura-pura pingsan.

Kini dengan golok mereka, kedua orang itu menyerbu Lee Gin dengan galak dan ganas. Sebetulnya mereka hanya mengandalkan tenaga dan keberanian saja. Dalam ilmu silat, mereka sama sekali bukan tandingan Lee Cin.

Maka begitu mereka menyerbu, Lee Cin menggerakkan pedangnya beberapa kali untuk menangkis dan balas menyerang dan di lain saat, hanya dua gebrakan saja, mereka berteriak kesakitan, golok mereka terlepas dari tangan mereka dan mereka terpelanting dengan menderita luka tusukan pedang di pundak mereka!

Luka yang cukup parah, membuat mereka tidak berani dan tidak dapat melanjutkan perkelahian dan memandang Lee Cin dengan mata terbelalak, lalu mereka mengambil langkah seribu melarikan diri.

Melihat ini, Kwan Lok marah sekali. Dua kali tangan kirinya bergerak, dua batang pisau gagang hitam meluncur dan dua orang perampok itu mengaduh lalu roboh dan tewas karena pisau itu menancap di punggung menembus jantung mereka!

Lee Cin menjadi semakin marah menyaksikan kekejaman ini, ia lalu menerjang dengan pedangnya, menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sekali. Kwan Lok memang tidak berani memandang ringan kepada gadis ini. Kalau kedua orang gurunya pernah kalah menghadapi gadis ini, maka tentu gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi dia merasa yakin akan dapat membunuh Lee Cin, karena dalam hal kepandaian, tingkatnya kini sudah melampaui tingkat kepandaian Pak-thian-ong atau Thian-te Mo-ong, atau setidaknya seimbang. Dengan cepat dia pun menyambut serangan Lee Cin dan membalas serangan itu dengan gerakan sepasang pedangnya yang cepat.

Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara Lee Cin dan Ouw Kwan Lok. Kedua orang muda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang setingkat. Namun, setelah pertandingan berlangsung selama lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Lee Cin mengubah gerakan silatnya.

Kalau tangan kanan yang memegang pedang masih memainkan Ang-coa-kiamsut, maka tangan kirinya yang memegang suling kini membantu dengan serangan totokan yang dilakukan dengan ilmu totok It-yang-ci yang amat lihai dari Siauw-lim-pai!

Kwan Lok menjadi terkejut sekali. Hampir saja pundaknya terkena totokan yang amat lihai itu! Terpaksa ia menjatuhkan diri ke belakang lalu berjungkir balik tiga kali untuk menghindarkan diri dari pengejaran Lee Cin.

Gadis itu menjadi semakin ganas. Setelah melihat betapa lawannya jerih menghadapi totokannya, ia malah semakin gencar menyerang dengan totokan suling di tangan kirinya. Sebetulnya tingkat kepandaian Kwan Lok telah setingkat dengan ilmu kepandaian Lee Cin, akan tetapi ketika dia harus menghadapi ilmu totok It-yang-ci, dia menjadi terdesak.

Lee Cin lalu menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya dan kini melanjutkan It-yang-ci menggunakan jari tangannya. Tentu saja serangannya menjadi semakin berbahaya karena ilmu totok itu memang harus menggunakan jari tangan. Dari jari tangannya meluncur hawa totokan yang amat kuat dan Kwan Lok terpaksa mengelak ke sana sini.

Akhirnya dia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya kalau dia melanjutkan perlawanannya terhadap gadis yang lihai itu. Maka ketika mendapat kesempatan setelah dia menyambitkan sisa pisau-pisau terbangnya ke arah Lee Cin dan gadis ini terpaksa berloncat ke belakang sambil memutar pedangnya, dia lalu melompat ke belakang dan melarikan diri.

"Jahanam pengecut!" teriak Lee Cin akan tetapi ia tidak mau mengejar. Ia tahu bahwa lawannya itu seorang yang selain tinggi ilmunya, juga amat curang dan licik.

Ia menyimpan kembali pedangnya dan segera meninggalkan tempat itu, mengingat-ingat bahwa kini ia mempunyai seorang musuh yang berbahaya, yang bernama Ouw Kwan Lok dan murid mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong. Ia lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Bukit Ular di lembah Huang-ho, tempat tinggal ibunya karena tempat itulah yang terdekat dari situ.

Niatnya untuk menyelidiki keluarga Cia di Hui-cu ditundanya karena tempat itu masih terlampau jauh dari situ. Setelah bertemu dengan ibunya dan berusaha membujuk ibunya agar suka memaafkan ayahnya dan mau hidup bersama mereka di Hong-san, baru ia akan melakukan penyelidikan terhadap keluarga Cia di Hui-cu dan mencari Si Kedok Hitam yang telah menyerang dan melukai ayahnya.

Di sepanjang lembah Huang-ho bagian barat terdapat banyak sekali perbukitan bagaikan naga yang panjang berbelak-belok. Di antara ratusan buah bukit itu terdapat sebuah bukit yang dikenal dengan sebutan Bukit Ular Merah. Agaknya pernah ada orang melihat seekor ular merah di bukit ini, maka selanjutnya bukit itu diberi nama demikian.

Entah benar atau tidak ada ular merah di tempat itu, akan tetapi yang jelas di bukit itu memang terdapat hutan-hutan yang dihuni banyak macam ular dari yang kecil beracun sampai yang sebesar paha orang yang panjangnya sampai sepuluh meter.

Karena adanya banyak ular di situ, tidak ada orang berani mendaki bukit dan memasuki hutan di bukit itu. Bahkan pemburu yang paling tabah pun segan memasuki hutan di bukit itu, karena yang paling berbahaya adalah ular-ular yang berbisa dan berbahaya sekali.

Di tempat yang berbahaya ini, jauh di puncak tertutup pohon-pohon besar, berdiri sebuah pondok kayu yang mungil dan pondok itu adalah tempat tinggal seorang datuk wanita yang terkenal sekali dengan julukan Ang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Merah). Datuk wanita ini terkenal dan ditakuti orang karena selain memiliki ilmu silat tinggi, ia pun seorang ahli dalam hal racun.

Bahkan ia selalu membawa seekor ular kecil bersisik merah yang disebut Ang-hwa-coa (Ular Kembang Merah). Ia juga ahli dalam menjinakkan ular, seorang pawang ular yang lihai. Ia dapat memanggil semua ular dan ular-ular itu dapat diperintahnya melakukan hal-hal yang membuat ia ditakuti lawan. Ia dapat mengerahkan ular-ular untuk mengeroyok lawannya, maka ia merupakan lawan yang amat berbahaya.

Sebetulnya, ketika masih mudanya ia merupakan seorang gadis yang cantik sekali. Bahkan sekarang pun, setelah berusia empat puluh tujuh tahun ia masih cantik dan bertubuh ramping. Dan ia suka sekali memakai pakaian serba merah sehingga sesuai dengan julukannya. Ketika ia masih seorang gadis muda, banyak pria yang tergila-gila kepadanya dan banyak lamaran diajukan orang.

Akan tetapi semuanya ditolak oleh gadis yang bernama Bu Siang ini karena tidak ada yang cocok dengan hati dan seleranya. Ia merantau dan malang melintang di dunia persilatan karena ilmunya yang tinggi. Sebelum ia dikenal dengan julukan Ang-tok Mo-li ia sudah merupakan seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal ampun kepada musuh-musuhnya.

Ketika ia berusia dua puluh tujuh tahun, bertemulah ia dengan seorang pendekar yang bukan lain adalah Souw Tek Bun yang pada waktu itu berusia sepantar dengan Bu Siang. Mereka bertemu dan saling jatuh cinta. Demikian akrab dan intimnya hubungan di antara mereka sehingga Bu Siang sudah menyerahkan diri dan kehormatannya karena percaya bahwa Souw Tek Bun pasti tidak akan menyia-nyiakannya dan akan menjadi suaminya.

Pada waktu itu, dalam usia dua puluh tujuh tahun, Bu Siang mulai terkenal karena keganasan dan kelihaiannya, maka orang sudah mulai menjuluki ia Ang-tok Mo-li. Dan ketika Souw Tek Bun mendengar akan julukan dan sepak terjang kekasihnya, hatinya merasa terpukul sekali. Souw Tek Bun sendiri dikenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, membela kebenaran dan keadilan.

Ketika mendengar bahwa kekasihnya itu termasuk seorang tokoh sesat, dia lalu menjauhkan diri. Betapapun besarnya rasa cintanya terhadap Bu Siang, akan tetapi hatinya tidak mengijinkan dia melanjutkan hubungan mesranya dengan seorang tokoh sesat.

Bu Siang merasa betapa kekasihnya itu menjauhkan diri, maka ia mendesak agar Souw Tek Bun segera mengawininya. Akan tetapi Souw Tek Bun dengan terang-terangan mengatakan bahwa dia tidak mungkin mempunyai seorang isteri tokoh sesat. Mendengar ini, Bu Siang menjadi marah sekali. Segala bujuk rayu dan ancaman tidak mengubah pendirian Souw Tek Bun.

Bu Siang lalu menyerangnya dan terjadilah perkelahian antara mereka yang berakhir dengan kekalahan Bu Siang karena ilmu silat dan ilmu pedang keluarga Souw amat tangguh. Bu Siang pergi meninggalkan Souw Tek Bun dengan hati sakit dan ia mendendam. Demikian marah dan bencinya kepada Souw Tek Bun sehingga ia merahasiakan kepada pendekar itu bahwa sesungguhnya ia telah mengandung dua bulan!

Ia mempunyai rencana sendiri mengenai anak yang akan dilahirkannya. la ingin menggembleng anak itu sehingga mewarisi semua ilmunya, kemudian ia akan menyuruh anak itu membalas dendam dan membunuh Souw Tek Bun! Ia akan mengadu antara ayah kandung dan anaknya sendiri sehingga salah satu dari mereka akan mati.

Si Ayah akan mati di tangan anak kandungnya sendiri, atau Si Anak yang akan mati di tangan ayah kandungnya sendiri. Demikian sakit hatinya sehingga ia akan membuat Souw Tek Bun sengsara karena dibunuh atau membunuh anak kandungnya sendiri!

Rasa sakit hatinya bertambah ketika sutenya mencoba membantunya membujuk Souw Tek Bun, namun pendekar ini tetap menolak sehingga mereka bertanding dan sutenya terluka oleh Souw Tek Bun. Dendam ini berkelanjutan sampai puteri yang dilahirkannya menjadi dewasa.

Puterinya itu adalah Lee Cin yang ia beri nama marga Bu dan setelah puterinya menjadi dewasa dan lihai, ia pun menyuruh Lee Cin pergi membunuh Souw Tek Bun yang dikatakannya musuh besarnya. Lee Cin berangkat dan bertemu dengan Souw Tek Bun, akan tetapi Souw Tek Bun menyadarkannya karena dia dapat menduga bahwa Lee Cin adalah anak kandungnya.

Selagi ia meragu, muncul Ang-tok Mo-li yang mendesak anaknya untuk membunuh Souw Tek Bun. Akan tetapi Lee Cin tidak mau bahkan membela ayahnya. Ang-tok Mo-ii terpaksa pergi dengan hati hancur. Anak yang sejak kecil digembleng untuk membunuh Souw Tek Bun ternyata malah memihak ayahnya!

Demikianlah peristiwa itu terjadi dua tahun yang lalu (baca Kisah Gelang Kemala) dan kini Lee Cin hendak mencari ibunya untuk dibujuk agar ibunya suka memaafkan ayahnya dan mereka bertiga dapat bersatu kembali menjadi sebuah keluarga yang bahagia.

Ang-tok Mo-li tinggal di puncak Bukit Ular itu bersama lima orang wanita pembantunya. Lima orang wanita ini pun telah dilatih ilmu silat sehingga nnereka menjadi orang-orang lihai dan selain menjadi pelayan, mereka pun dapat diandalkan untuk menjaga pondok di puncak itu. Usia mereka antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun.

Datuk wanita ini sama sekali tidak tahu bahwa puterinya sedang mencarinya. Ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang terjadi di puncak sehari yang lalu, selagi ia tidak berada di rumah. Apakah yang terjadi kemarin?

Ketika itu, Ang-tok Mo-li sedang turun dari puncak untuk pergi ke kota yang paling dekat dan membeli segala keperluan sehari-hari seperti bumbu masak, kain untuk pakaian, dan lain-lain. Baru saja ia pergi belum ada dua jam, seorang kakek mendaki puncak itu dari jurusan lain.

Setibanya di depan pondok, lima orang anak buah Ang-tok Mo-li segera menyambut kakek yang asing bagi mereka itu. Seorang kakek yang sudah tua sekali, tidak kurang dari tujuh puluh tahun usianya, tubuhnya sudah bongkok dan rambut, kumis serta jenggotnya sudah putih.

Kakek itu membawa sebatang tongkat dari bambu kuning. Biarpun sudah tua, namun dengan cepat dia dapat mendaki puncak Bukit Ular, menunjukkan bahwa dia bukan seorang kakek biasa, melainkan seorang yang berilmu tinggi.

Lima orang anak buah Ang-tok Mo-li itu menyambut kakek itu dan seorang di antara mereka yang menjadi pemimpin bertanya, "Siapakah Paman dan ada urusan apakah datang ke tempat kami ini?"

Kakek itu menyeringai, memperlihatkan mulut yang sudah tidak bergigi lagi. "Heh-heh-heh, kalian tidak mengenal aku? Sungguh aneh kalau ada orang tidak mengenalku, menunjukkan bahwa mereka itu bodoh dan tolol. Aku adalah Jeng-ciang-kwi (Setan Seribu Tongan) dari Guha Tengkorak di Lembah Iblis Kwi-san!"

Dia berhenti untuk melihat reaksi wajah mereka. Akan tetapi lima orang wanita yang memang jarang bahkan ham- pir tidak pernah turun dari puncak kecuali untuk rnembeli keperluan mereka di dusun-dusun berdekatan, tidak mengenal nama itu.

"Apa keperluanmu mendatangi tempat ini?" Pemimpin mereka bertanya, sikapnya menjadi tidak sabar.

"Ho-ho-ho, di mana Ang-tok Mo-li? Suruh ia keluar menemui aku!"

Lima orang itu mengerutkan alisnya, merasa tidak senang. "Mau apa engkau mencari Toanio (Nyonya Besar)?" tanya mereka.

"Mau apa? Mau apa aku mencari iblis betina Ang-tok Mo-li itu? Tentu saja membunuhnya! Aku mau membunuhnya!"

"Keparat! Serbu!" bentak pemimpin kelompok lima orang itu. Mereka marah sekali mendengar betapa kedatangan kakek ini untuk membunuh majikan mereka. Mereka berlima mencabut pedang masing-masing dan segera mengepung dan menyerang Jeng-ciang-kwi.

Jeng-ciang-kwi adalah seorang datuk sesat yang lihai sekali. Ilmu kepandaiannya tinggi dan wataknya aneh, kadang lembut dan kadang juga kasar dan kejam sekali. Kurang lebih delapan tahun yang lalu dia bentrok dengan seorang tokoh sesat lain berjuluk Hek-kak-liong (Naga Tanduk Hitam) karena mereka saling memperebutkan daerah kekuasaan. Dalam pertandingan ini, Hek-kak-liong tewas di tangan Jeng-ciang-kwi. Hek-kak-liong adalah sute dari Ang-tok Mo-li.

Maka, pada tujuh tahun yang lalu, Ang-tok Mo-li mendatangi Jeng-ciang-kwi dan hendak membalaskan kematian sutenya (baca Kisah Gelang Kemala). Dalam perkelahian yang hebat dan mati-matian ini Jeng-ciang-kwi berhasil menotok pundak Ang-tok Mo-li sehingga muntah darah dan terluka dalam.

Akan tetapi sebaliknya, Ang-hwa-coa (Ular Kembang Merah) telah menggigit lengannya sehingga Jeng-ciang-kwi keracunan hebat. Hampir saja kakek ini tewas akibat gigitan ular kembang merah itu. Karena peristiwa itulah maka hari ini dia datang mencari Ang-tok Mo-li untuk membalas dendam.

Pengeroyokan lima orang pembantu Ang-tok Mo-li yang menggunakan pedang itu tidak ada artinya bagi kakek yang lihai ini. Tubuhnya seolah terlindung sinar kuning dari tongkat bambunya dan lima batang pedang lawan semua terpental begitu bertemu dengan sinar kuning itu. Kemudian, dengan gerakan cepat sekali, lima orang itu terkena totokan dengan bambu kuning dan mereka berpelantingan roboh dan pingsan!

Setelah merobohkan lima orang itu, Jeng-ciang-kwi lalu menggeledah, memasuki rumah karena ia tidak dapat menemukan Ang-tok Mo-li. Setelah mengamuk di rumah kosong itu, dia lalu keluar dan pergi dengan hati mendongkol karena tidak dapat membalas dendam kepada Ang-tok Mo-li.

Pada siang harinya, barulah Ang-tok Mo-li pulang dari kota. Ia merasa heran melihat keadaan di sekitar pondok sunyi sekali, tidak tampak seorang pun di antara lima orang pembantunya. Ia menurunkan semua barang belanjaannya dari kota dan berlari memasuki pondok.

Begitu melangkah ambang pintu, ia terbelalak. Keadaan dalam rumah porak-poranda dan lima orang pembantunya rebah di dalam pondok itu dan merintih-rintih karena terluka dalam oleh totokan tongkat bambu kuning Jeng-ciang-kwi!

"Apa….. apa yang terjadi?" tanya Ang-tok Mo-li setelah ia membebaskan totokan dan menotok beberapa bagian tubuh lima orang pembantunya untuk melancarkan jalan darah mereka.

"Jeng-ciang-kwi….. dia datang dan mencari Toanio….." kata pemimpin lima orang itu. Mereka berlima tadi dengan susah payah merangkak masuk ke dalam pondok dan rebah di lantai sambil menanti pulangnya majikan mereka.

"Jeng-ciang-kwi? Keparat!" Ang-tok Mo-li berseru marah sekali. Melihat keadaan lima orang pennbantunya yang gawat, ia lalu membantu mereka untuk rebah di kamar masing-masing. Ia memeriksa dengan teliti. Mereka itu tidak keracunan, akan tetapi cara totokan itu amat aneh, mengacaukan jalan darah dan memecahkan otot di pundak. Ia sudah mencoba untuk rnengobati dengan urutan dan totokan, namun tidak berhasil.

Ingin ia segera dapat pergi mencari Jeng-ciang-kwi untuk membuat perhitungan. Akan tetapi melihat keadaan lima orang pembantunya ia terpaksa menahan gelora hatinya yang marah. Lima orang pembantunya masih berada dalam keadaan gawat. Kalau ia meninggalkan mereka untuk mencari Jeng-ciang-kwi, besar bahayanya mereka akan tewas karena luka dalam mereka.

Sore hari itu, setelah membereskan perabot rumahnya yang porak-poranda Ang-tok Mo-li memeriksa keadaan lima orang pembantunya. Ia sudah memberi minum mereka obat pelancar jalan darah, akan tetapi keadaan mereka masih mengkhawatirkan.

Tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki di depan pondok. Mata Ang-tok Mo-li memancarkan api kemarahan. Ia mengira bahwa orang yang datang tentu Jeng-ciang-kwi! Dengan membawa ular kembang merah di tangan kiri dan sebuah kebutan di tangan kanan, ia melompat dan berlari keluar.

Akan tetapi begitu tiba di luar pintu, sambil berteriak "Jeng-ciang-kwi jahanam……!" ia berhenti dan berdiri heran dan terkejut karena yang berdiri di depannya sama sekali bukan Jeng-ciang-kwi, melainkan seorang gadis cantik jelita yang bukan lain adalah Lee Cin!

"Kau.....?" Ia tergagap. "Mau apa engkau datang ke sini?"

"Ibu….." kata Lee Cin dengan terharu. "Aku adalah anakmu dan sebagai seorang anak, aku datang berkunjung…..."

"Katakan dulu, apa maumu datang ke sini?" potong Ang-tok Mo-li dengan suara masih ketus dan matanya memandang marah.

"Maksud kunjunganku ini pertama, karena aku merasa rindu kepadamu, Ibu. Sejak kecil, walaupun sebagai muridmu, aku tinggal di sini bersamamu. Setelah berpisah selama dua tahun lebih, aku merasa rindu sekali. Dan ke dua, mengingat bahwa engkau adalah ibu kandungku, aku ingin berbakti kepadamu, merasakan hangatnya cinta kasihmu sebagai seorang ibu.

"Ibu, sejak kecil aku sudah haus akan kasih sayang ibu dan engkau telah memberi kasih sayang itu walaupun sebagai seorang guru. Sekarang, setelah engkau menjadi ibu kandungku, tidakkah kasih sayangmu kepadaku sennakin mendalam? Aku ingin menengok ibuku, ingin melihat keadaannya. Ibu, selama dua tahun ini, engkau baik-baik sajakah?"

Mendengar suara anaknya yang penuh haru, tergerak juga hati Ang-tok Mo-li. Tentu saja amat mencinta muridnya yang juga anaknya ini, akan tetapi untuk memperlihatkannya ia merasa malu karena anak itu dahulu memilih ikut ayahnya daripada ikut ibunya.

"Hem, begitukah…..." jawabnya sambil lalu. Kini pikirannya kembali dipenuhi persoalannya dengan Jeng-ciang-kwi.

"Ibu, aku tahu pasti terjadi sesuatu yang membuat Ibu marah. Ada apakah, Ibu? Barangkali aku dapat membantu?"

"Jeng-ciang-kwi datang selagi aku keluar dan dia melukai kelima orang pembantuku," akhirnya ia berkata.

"Kelima Bibi terluka? Ah, biarkan aku menengok mereka!" kata Lee Cin dan ia segera memasuki pondok diikuti oleh Ang-tok Mo-li.

Setibanya di dalam, Lee Cin memasuki kamar-kamar para pembantu yang terluka dan menneriksa mereka satu demi satu. Lalu ia berkata kepada ibunya yang mengikutinya dan mengamati apa yang dilakukan Lee Cin.

"Keadaan mereka memang gawat, Ibu. Totokan Jeng-ciang-kwi memang ampuh dan ini yang dinamakan ilmu totokan penghancur jalan darah. Akan tetapi untung bahwa aku telah menguasai It-yang-ci, jangan khawatir, Ibu, aku dapat menyembuhkan mereka."

Biarpun mukanya tidak memperlihatkan sesuatu, namun dalam hatinya Ang-tok Mo-li merasa girang dan juga bangga. Puterinya telah menguasai ilmu totok yang amat terkenal dan jarang ada yang menguasai, ilmu totok dari Siauw-lim-pai itu. Bahkan para murid Siauw-lim-pai jarang ada yang berkesempatan mempelajari ilmu langka itu!

Tanpa banyak cakap lagi Lee Cin lalu menyuruh lima orang itu satu demi satu duduk bersila dan membuka baju mereka. Dara itu sendiri bersila di belakangnya dan mulailah ia melakukan totokan It-yang-ci di bagian tubuh belakang orang yang terluka itu. Kemudian juga bagian tubuh depan mereka. Dan ternyata setelah Lee Cin menotok mereka, lima orang itu sembuh!

Peristiwa ini sedikit banyak mendinginkan hati Ang-tok Mo-li yang tadinya panas. Ia mengajak puterinya duduk di dalam kamarnya. "Nah, sekarang katakan apa maksudmu yang sebenarnya datang kepadaku. Apakah engkau diutus ayahmu?"

"Tidak, Ibu. Kalau Ibu sudi mendengarkan, aku ingin memberitahukan bahwa Ayah baru-baru ini kedatangan seorang yang berkedok hitam dan penjahat itu melukai Ayah dengan pukulan tapak tangan hitam. Biarpun aku sudah mengobatinya, namun dia memerlukan waktu untuk memulihkan tenaganya."

"Hem, salahnya sendiri mengapa dia kalah melawan musuhnya," kata Ang-tok Mo-li tidak pedulikan.

"Semenjak engkau pergi dari Hong-san dan aku hidup bersama Ayah, setiap hari kami berdua bersedih. Aku tahu bahwa Ayah merindukan engkau, Ibu."

"Hemm……!"

"Aku tidak berbohong, Ibu. Bahkan Ayah sering bicara dalam tidurnya memanggil-manggil Bu Siang. Aku menjadi sedih sekali melihat keadaan Ayah, Ibu. Dia sudah benar-benar menyesal akan apa yang dia lakukan terhadapmu, Ibu. Dan aku yakin bahwa dia tetap mencinta Ibu dan mengharapkan suatu waktu akan dapat hidup bersama Ibu. Karena itu, Ibu. Aku mohon kepadamu, sudilah kiranya Ibu memaafkan semua kesalahan Ayah dan kita bertiga hidup bersama di Hong-san sebagai sebuah keluarga yang bahagia. Aku mohon, Ibu." Dan sambil terisak Lee Cin menjatuhkan dirinya berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya.

Wajah Ang-tok Mo-li yang biasanya pucat itu kini menjadi sedikit merah. Kedua matanya basah dan kedua tangannya bergerak hendak merangkul puterinya, akan tetapi gerakan itu ditahannya.

"Baik, akan kupertimbangkan permintaanmu itu. Akan tetapi engkau yang selama belasan tahun belajar dariku, kuminta engkau lebih dulu membantu aku menghadapi Jeng-ciang-kwi. Aku harus membalas apa yang dilakukannya hari ini!"

"Tentu saja aku bersedia, Ibu. Aku bersedia mempertaruhkan nyawa untuk membelamu!" Gadis itu bangkit dan hendak memeluk ibunya.

Akan tetapi Ang-tok Mo-li mengelak dan berkata, "Nanti dulu! Kalau engkau sudah berhasil membantuku membunuh Jeng-ciang-kwi, baru engkau boleh mengaku menjadi anak kandungku dan akan kupertimbangkan pemberian maaf kepada ayahmu."

Hati Lee Cin terasa perih. Ingin ia merangkul ibunya ini sebagai ibu kandung, melampiaskan rasa rindunya kepada ibunya. Akan tetapi ia cukup mengenal watak ibunya yang aneh dan juga amat keras hati. "Baiklah, Ibu. Akan kutaati semua kehendakmu. Kapan kita berangkat mencari Jeng-ciang-kwi?"

"Sekarang juga! Akan tetapi, mereka itu……?" Ia menoleh, memandang ke arah kamar-kamar para pembantunya.

"Jangan khawatir, Ibu. Mereka sudah sembuh, hanya tinggal memulihkan tenaga saja. Asal diberi obat penguat darah, sudah cukuplah."

"Kalau begitu, sekarang juga kita pergi," kata Ang-tok Mo-li.

"Ke mana, Ibu? Apakah Ibu sudah mengetahui di mana adanya Jeng-ciang-kwi?"

"Tentu saja. Dia tinggal di pegunungan Kwi-san, di Guha Tengkorak Lembah Iblis."

"Kalau begitu, mari kita berangkat Ibu!" kata Lee Cin penuh sennangat. Ia masih teringat akan kakek berjuluk Jeng-ciang-kwi itu, ketika tujuh delapan tahun yang lalu ia bersama Ang-tok Mo-li yang ketika itu masih ia anggap sebagai gurunya, mendatangi Jeng-ciang-kwi sehingga keduanya menderita luka. Ia yakin akan mampu mengalahkan musuh besar ibunya itu.

Jeng-ciang-kwi sebetulnya bernama Ciu Sam Ti, akan tetapi setelah ia menjadi datuk sesat, orang kang-ouw hanya mengenal nama julukannya saja. Dia tinggal di Guha Tengkorak di Lembah Iblis yang terletak di lereng Bukit Kwisan. Selama beberapa tahun ini dia telah membentuk perkumpulan tanpa nama terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang.

Dia sendiri tinggal di sebuah guha besar yang bentuknya dilihat dari jauh seperti tengkorak, namun guha itu telah diubah di bagian dalamnya menjadi rumah kediaman yang mewah. Di kanan kiri guha itulah didirikan pondok-pondok kayu yang menjadi tempat tinggal anak buahnya. Anak buahnya itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh karena mereka menerima pelajaran ilmu silat dari Jeng-ciang-kwi sendiri.

Di waktu mudanya, Jeng-ciang-kwi merupakan seorang maling dan tukang copet yang amat lihai, dan karena itulah maka dia dijuluki Setan Tangan Seribu. Dan dia pun sudah berhasil mengumpulkan harta yang cukup banyak. Setelah menjadi majikan Guha Tengkorak, kekayaannya semakin bertambah. Anak buahnya bertugas mendatangi para perampok dan pencuri di daerah yang amat luas dan minta "pajak" dari mereka.

Tadinya memang banyak yang menolak dan menentang, akan tetapi para penjahat itu satu demi satu ditalukkan oleh Jeng-ciangkwi dan selanjutnya mereka menganggap Jeng-ciang-kwi sebagai pelindung dan dengan senang hati memberikan sebagian dari hasil kejahatan mereka kepada Jeng-ciang-kwi.

Dia sendiri melarang anak buahnya untuk melakukan kejahatan merampok atau mencuri dan hidup mereka cukup ditunjang oleh pemungutan pajak itu. Maka, Jeng-ciang-kwi lalu terkenal sebagai datuk sesat di daerah itu.

Pada suatu hari, keadaan di Guha Tengkorak meriah sekali. Di situ sedang diadakan perayaan ulang tahun Jeng-ciang-kwi yang ke tujuh puluh dua tahun. Sepuluh orang kepala perampok dan kepala pencuri dari daerah itu berdatangan untuk memberi selamat kepada Sang Datuk sambil memberi hadiah yang berharga.

Mereka semua duduk menghadapi meja besar dan di kepala meja duduk Jeng-ciang-kwi yang menjamu mereka. Tiga puluh orang anak buah juga ikut berpesta-pora sambil melayani para tamu di meja besar itu.

Mereka bergantian memberi selamat kepada Jeng-ciang-kwi dengan secawan arak dan suasana ramai dan gemuruh sekali, maklum bahwa yang berpesta adalah orang-orang kasar dari dunia hitam.

Selagi ramai-ramainya mereka merayakan pesta itu, tiba-tiba terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring, "Bagus sekali! Sekali ini engkau merayakan ulang tahunmu yang terakhir, Jeng-ciang-kwi!"

Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata di situ telah berdiri dua orang wanita yang cantik. Yang pertama adalah seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tujuh tahun akan tetapi kelihatan seperti wanita berusia tiga puluh tahun saja, dan yang ke dua lebih jelita lagi, seorang gadis berusia sembilan belas tahun.

Mereka itu bukan lain adalah Ang-tok Mo-li dan Lee Cin. Para tamu itu adalah kepala-kepala gerombolan penjahat setempat, bukan tokoh-tokoh kang-ouw maka mereka tidak ada yang mengenal Ang-tok Mo-li, apalagi Lee Cin. Mereka memandang dengan mata kagum akan kecantikan mereka bahkan ada yang mengeluarkan seruan kagum secara kurang ajar sekali.

Akan tetapi Jeng-ciang-kwi terkejut juga menyaksikan kunjungan orang yang tidak disangka-sangkanya itu. Ang-tok Mo-li adalah musuh lamanya. Baru-baru ini malah dia mendatangi Bukit Ular akan tetapi tidak dapat bertemu dengan Ang-tok Mo-li dan sekarang iblis betina itu berani datang ke tempat tinggalnya. Dia bangkit berdiri dan menuding dengan tongkat bambu kuningnya.

"Aha, Ang-tok Mo-li. Kebetulan sekali engkau datang mengantarkan nyawa sehingga aku tidak lagi bersusah payah mencarimu!"

Lee Cin berkata cepat. "Ibu, kakek ini sedang merayakan ulang tahunnya, sebaiknya kita juga memberi hadiah kepadanya!" Tanpa menanti jawaban ibunya, Lee Cin sudah meniup sulingnya. Suara suling nyaring melengking terdengar dan semua orang memandang heran, ada yang menutupi telinga karena suara melengking-lengking itu seperti menusuk ke dalam telinga mereka.

Tak lama kemudian terdengar para anak buah Guha Tengkorak berteriak-teriak, "Ular...! Ular...! Banyak sekali ular!"

Kini tampaklah beratus-ratus ular merayap masuk ke dalam tempat pesta itu!

"Kalau ada yang berani membunuh mati seekor ular, dia akan mati dikeroyok ular berbisa!" kata Ang-tok Mo-li dan Lee Cin terus meniup sulingnya.

Ular-ular itu seperti dikomando lalu membuat lingkaran lebar mengepung tempat itu! Setelah Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya, ular-ular itu pun diam di tempat seperti telah mati atau tertidur pulas. Segera tercium bau amis yang memuakkan di tempat itu sehingga banyak orang menggigil karena merasa ngeri.

Seorang di antara para kepala gerombolan penjahat itu mengenal Lee Cin dan dia pun berseru keras, "Dewi Ular...!" Dan semua orang memandang takjub dan penuh perasaan jerih kepada Lee Cin.

"Jeng-ciang-kwi, aku menantangmu untuk bertanding satu lawan satu sampai salah satu di antara kita kalah atau tewas!" Ang-tok Mo-li berteriak menantang Jeng-ciang-kwi.

Datuk ini tentu saja tidak takut terhadap ratusan ular itu. Dia bangkit berdiri dan mengetukkan tongkat bambunya ke atas lantai. "Bagus, memang aku ingin membunuhmu, Ang-tok Mo-li. Engkau boleh menggunakan lagi Ang-hwa-coa itu, aku tidak gentar sedikit pun!"

Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan tubuhnya dia telah melompat masuk ke dalam lingkaran yang dikepung ular itu, memalangkan tongkat bambunya di depan dada.

"Ibu, biar aku yang menghadapi tua bangka ini!" kata Lee Cin. "Ibu menjaga kalau-kalau mereka itu melakukan pengeroyokan!"

Ang-tok Mo-li maklum bahwa setelah menguasai It-yang-ci yang amat ampuh, dan tentu juga menerima gemblengan dari ayahnya, tentu kini tingkat kepandaian anaknya itu sudah melampauinya, maka ia pun berkata, "Lawanlah tua bangka busuk itu, Lee Cin. Dan jangan kasih ampun padanya!"

Mendengar Ang-tok Mo-li mengakui gadis itu sebagai anaknya, Jeng-ciang-kwi berkata nyaring, nadanya menghina, "Hei, Ang-tok kapan engkau menikah? Bagaimana tahu-tahu sudah mempunyai anak? Siapakah ayahnya, atau anakmu itu anak haram?"

Mendengar penghinaan ini, wajah Lee Cin menjadi merah dan ia membentak marah, "Jeng-ciang-kwi tua bangka busuk, ayahku adalah bengcu Souw Tek Bun, pendekar besar yang terhormat. Mulutmu busuk, engkau layak mampus!"

Setelah berkata demikian, Lee Cin melempar sulingnya kepada ibunya dan melepaskan pedang Ang-coa-kiam dari libatan di pinggangnya. Ia sengaja membiarkan tangan kirinya kosong untuk dapat memainkan ilmu totok It-yang-ci dengan leluasa.

Begitu Pedang Ular Merah berada di tangannya, Lee Cin langsung saja menyerang kakek itu dengan dahsyat. Pedangnya mengeluarkan bunyi bercuitan ketika ia menusuk ke arah dada kakek itu dengan cepat dan kuat sekali. Jeng-ciang-kwi terkejut juga melihat gerakan pedang yang dahsyat itu. Dia menggerakkan tongkat bambu kuningnya menangkis.

"Tranggg......!" Keduanya melompat kebelakang karena pertemuan tongkat dan pedang itu membuat tangan mereka tergetar hebat.

Jeng-ciang-kwi menjadi semakin kaget. Ternyata gadis cantik itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, bahkan dapat mengimbangi tenaganya! Dia cepat membalas, tongkatnya berubah menjadi sinar kuning menyerampang ke arah kaki Lee Cin. Ketika gadis itu meloncat ke atas untuk menghindarkan kakinya dari sambaran tongkat, tongkat itu telah meluncur dan menusuk ke arah perut gadis itu!

Cepat dan hebat gerakan Jeng-ciang-kwi ini, akan tetapi serangannya yang beruntun tidak membuat Lee Cin gugup. Pedang membuat gulungan sinar kemerahan dan kembali pedang dan tongkat beradu dengan kuatnya sehingga kembali mereka meloncat ke belakang.

Sementara itu, para tamu Jeng-ciang-kwi sudah mencabut senjata masing-masing dan mengepung Ang-tok Mo-li dengan sikap bengis mengancam. Akan tetapi wanita itu tersenyum mengejek,

"Hayo kalian semua boleh mengeroyok aku!" tantangnya dan begitu ada yang bergerak maju, sinar merah meluncur dari tangannya dan dua orang yang maju itu terpelanting karena lecutan kebutan berbulu merah di tangan kanan wanita sakti itu. Terdengar Ang-tok Mo-li tertawa merdu dan nyaring.

"Ibu, jangan membunuh orang!" teriak Lee Cin yang khawatir ibunya akan membunuh semua orang itu.

Ang-tok Moli juga teringat bahwa ketika menyerbu ke Bukit Ular, Jeng-ciang-kwi juga tidak membunuh lima orang pembantunya, maka kebutannya tadi hanya membuat dua orang itu terpelanting dan tidak menderita berat.

Delapan orang kepala perampok ketika melihat dua orang rekan mereka roboh, menjadi marah dan mereka segera mengeroyok Ang-tok Mo-li. Akan tetapi Ang-tok Mo-li merasa tidak gentar, bahkan ia mengamuk dan kebutan berbulu merah di tangannya berubah menjadi gulungan sinar merah yang menyambut semua serangan senjata para pengeroyok.

Sementara itu, pertandingan antara Jeng-ciang-kwi dan Lee Cin berlangsung dengan cepat, dahsyat dan seimbang. Pedang Ular Merah dan tongkat bambu kuning itu saling serang, akan tetapi keduanya tidak pernah dapat melukai lawan yang mengelak atau menangkis dengan kuatnya. Sudah lima puluh jurus mereka bertanding, namun belum ada yang kelihatan terdesak.

Diam-diam Lee Cin harus mengakui bahwa lawannya merupakan datuk yang lihai sekali. Pantas tujuh tahun yang lalu itu ibunya sampai terluka parah ketika melawan Jeng-ciang-kwi.

Jeng-ciang-kwi juga merasa penasaran sekali. Gadis ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Sudah banyak ilmu yang dia keluarkan, namun semua dapat dihindarkan dan dipunahkan gadis itu. Dia sudah mulai berkeringat dan napasnya memburu. Bagaimanapun juga, faktor usia amat menentukan dalam adu kekuatan dan ilmu silat.

Karena usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, Jeng-ciang-kwi mengalami kemunduran yang hebat tanpa disadari olehnya. Karena selama ini tidak pernah menghadapi lawan berat, maka dia selalu dapat menang dengan mudah sehingga dia mengira bahwa kekuatannya masih seperti duIu di waktu dia muda. Baru setelah kini berhadapan dengan lawan tangguh, terasa olehnya betapa tenaganya hampir terkuras dan napasnya terengah-engah.

Merasa bahwa kalau dia tidak cepat dapat menjatuhkan lawannya yang muda ini, dia tentu akan kalah karena kehabisan tenaga. Maka dia lalu mengeluarkan teriakan menyeramkan dan tiba-tiba gerakannya berubah. Tongkat bambu kuning itu bergerak seperti gelombang lautan menyerang Lee Cin.

Gadis ini terkejut karena merasa betapa dahsyatnya gelombang serangan gulungan sinar kuning itu. Biar pun ia sudah memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya, tetap saja ia terdesak dan terpaksa mengelak mundur. Tiba-tiba tongkat itu meluncur dengan kecepatan yang sedemikian hebatnya sehingga tidak keburu ditangkis pedang. Lee Cin dalam kagetnya lalu mengerahkan ginkangnya, tubuhnya mencelat ke atas seperti seekor burung walet terbang!

Melihat lawannya lenyap "terbang" ke udara, Jeng-ciang-kwi yang sudah hampir kehabisan napas itu menjadi girang. Inilah kesempatan terbaik baginya. Dia lalu memasang tongkatnya untuk menyambut tubuh Lee Cin kalau turun.

Akan tetapi Lee Cin juga sudah waspada. Ketika tiba di udara Lee Cin lalu mengerahkan tenaganya dan berjungkir balik sehingga ketika tubuhnya turun, ia menukik dengan kepala di bawah. Dengan sendirinya jangkauan tangannya juga berada paling bawah. Ketika ia melihat kakek itu menyambutnya dengan tusukan tongkat bambu kuning. Lee Cin mengerahkah tenaganya dan pedangnya membabat tongkat itu berkali-kali.

"Crak-crak-crak-crak!" Setiap kali Pedang Ular Merah membabat tongkat bambu itu, sebagian tongkat itu terpotong! Agaknya penyaluran sinkang dari Jeng-ciang-kwi sudah tidak begitu kuat lagi sehingga dia tidak mampu mempertahankan tongkat seperti tadi. Kini empat kali tongkatnya terbacok putus dan tubuh gadis itu semakin dekat dengannya.

Sambil membabat lagi, Lee Cin menggerakkan tangan kirinya dan menotok ke arah ubun-ubun kepala Jeng-ciang-kwi. Kakek itu sedang terkejut melihat tongkatnya terpotong-potong dan mencurahkan seluruh perhatiannya ke sana, maka dia tidak dapat menghindar lagi ketika jari tangan gadis itu menotok ubun-ubun kepalanya.

"Tukk!" Jeng-ciang-kwi mengeluarkan teriakan panjang, tubuhnya terhuyung lalu ia roboh menelungkup di atas tanah, tidak bergerak lagi. Lee Cin menggunakan kakinya untuk membalikkan tubuh itu sehingga telentang dan ia melihat betapa kakek yang tangguh itu telah tewas dengan tongkat bambu yang tinggal pendek masih tergenggam di tangan kanannya!

Lee Cin menoleh ke arah ibunya. Ibunya masih mengamuk karena kini tiga puluh orang anak buah Guha Tengkorak juga maju mengeroyoknya. Akan tetapi sudah ada belasan orang yang rebah malang melintang tidak dapat ikut mengeroyok lagi karena ada yang tertotok tubuhnya sehingga tidak mampu bergerak dan ada pula yang patah tulang dan terluka akan tetapi tidak ada yang tewas.

Melihat ibunya mengamuk dengan kebutannya dan sulingnya yang tadi dilemparkan kepada ibunya masih dipegang tangan kiri ibunya dan digunakan untuk menangkis serangan para pengeroyok, Lee Cin berseru, "Ibu, lemparkan suling itu ke sini!"

Ang-tok Mo-li melemparkan suling yang disambar oleh Lee Cin. Kemudian Lee Cin berkata nyaring, "Siapa yang tidak mau berhenti mengeroyok, akan dikeroyok ular sampai mati!"

Ia lalu meniup sulingnya dan ularular yang tadi mengepung saja dan tidak bergerak walaupun di situ terdapat perkelahian, kini mulai bergerak maju, mempersempit lingkaran pengepungan mereka.

Melihat ini, para anak buah Guha Tengkorak menjadi gentar, apalagi mereka melihat betapa Jeng-ciang-kwi telah tewas. Di antara sepuluh orang kepala perampok, yang belum roboh ada dua orang. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu dan takut dipagut ular berbisa, dua orang ini lalu membuang golok mereka dan menjatuhkan diri berlutut.

"Kami menyerah! Jangan biarkan ular-ular itu menyerang kami!" teriak dua orang kepala perampok itu. Perbuatannya ini segera diikuti oleh para anak buah Guha Tengkorak yang memang sudah kehiIangan semangat dan keberanian.

"Kami semua menyerah kepada Dewi Ular!" kata mereka gemuruh.

Lee Cin meniup lagi sulingnya dengan nada lain dan ular-ular itu lalu memutar tubuh dan merayap pergi dari tempat itu! Melihat ini, dua kepala perampok dan semua anak buah Guha Tengkorak menjadi lega dan seorang di antara dua kepala perampok itu sambil berlutut memberi hormat kepada Lee Cin sambil berkata dengan suara nyaring,

"Kami mohon kepada Dewi Ular untuk memimpin kami!"

Teriakan ini disambut oleh semua anak buah Guha Tengkorak yang sudah taluk benar-benar karena gadis itu telah membunuh pemimpin mereka dengan suara gemuruh, "Hidup Dewi Ular!"

Lee Cin mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata dengan suara tegas dan nyaring, "Dengar kalian semua! Jeng-ciang-kwi telah mengacau di tempat kami maka hari ini kami datang melakukan pembalasan, Jeng-ciang-kwi telah mati dan kalian boleh mengangkat seorang di antara kalian untuk menjadi pemimpin. Aku Dewi Ular tidak ingin menjadi pemimpin kalian, hanya pesan kami agar kalian tidak mengganggu penduduk dusun yang tidak berdosa. Kalau merampok pun harus pilih-pilih, jangan menculik wanita dan jangan sembarangan membunuh orang. Kalau kalian melanggar laranganku ini, kelak kalau aku lewat di sini aku tidak akan mengampuni kalian lagi!"

"Coa Sian-li (Dewi Ular), kami mohon sudilah Sian-li memimpin kami yang telah kehilangan pemimpin. Kami akan menaati semua perintah Sian-li" terdengar seorang berseru.

Lee Cin tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin. Aku masih mempunyai banyak sekali tugas yang harus kuselesaikan. Nah, selamat tinggal!"

Lee Cin memberi isyarat kepada ibunya dan keduanya lalu meloncat jauh dan sebentar saja sudah lenyap dari penglihatan empat puluh orang yang masih berlutut di situ. Setelah menuruni Bukit Kui-san dan tiba di kaki bukit, Ang-tok Mo-li dan Lee Cin berhenti berlari dan mereka berjalan seenaknya.

"Lee Cin, hatiku senang sekali engkau telah dapat membantuku membunuh Jeng-ciang-kwi. Kepandaian silatmu telah maju dengan pesat."

"Di antara kita tidak perlu berterima kasih, Ibu. Sudah menjadi kewajiban membantumu."

"Kenapa engkau tadi menolak pengangkatan mereka menjadi pemimpin mereka, Lee Cin? Senang mempunyai anak buah seperti mereka yang rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan. Engkau akan menjadi tokoh yang amat terkenal dan dihormati semua orang kang-ouw di daerah ini."

"Aih, Ibu. Apakah Ibu senang kalau aku menjadi kepala gerombolan penjahat, Ibu? Aku tidak sudi menjadi seorang datuk sesat. Sekarang kita bicara tentang dirimu, Ibu. Engkau sudah berjanji kepadaku, kalau aku dapat membantumu, menghadapi Jeng-ciang-kwi, maka Ibu akan mempertimbangkan permintaanku, yaitu agar Ibu mau memaafkan Ayah dan suka hidup bersama dengan kami di Hong-san. Aku sekarang menagih janji Ibu itu."

KaIau dalam keadaan biasa, Ang-tok Mo-li tentu akan marah mendengar Lee Cin menagih janji yang seolah menyudutkannya itu. Akan tetapi saat itu hatinya sedang senang karena ia telah melihat musuh besarnya terbunuh oleh Lee Cin. Maka ia hanya mengerutkan alisnya dan balas bertanya kepada puterinya, "Apakah dia membutuhkan maafku?"

Lee Cin memegang tangan ibunya. "Ah, Ibu. Perlukah kujelaskan lagi? Ayah selama ini sungguh tersiksa memikirkan Ibu, memikirkan kesalahan yang telah dilakukannya terhadap Ibu. Kalau aku mengajaknya bicara tentang Ibu, Ayah menghela napas berulang-ulang dan wajahnya tampak berduka sekali. Aku yakin bahwa kalau Ibu suka memaafkan dia dan suka tinggal di sana bersama kami, Ayah akan menjadi orang paling berbahagia di dunia."

"Tapi.... ayahmu adalah seorang bengcu yang terhormat, sedangkan aku? Kau tahu sendiri siapa aku, seorang wanita iblis yang dikutuk banyak orang! Derajat dan kemuliaan ayahmu akan ternoda dan terseret turun kalau aku hidup bersamanya."

Lee Cin merangkul ibunya. "Jangan begitu Ibu. Aku tahu bahwa biarpun Ibu dijuluki Mo-li (Iblis Betina), namun di lubuk hati Ibu, Ibu adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan pembela keadilan. Dan tentang Ayah, dia akan mengundurkan diri dari kedudukan bengcu itu, Ibu."

"Ehhh?" Ang-tok Mo-li memandang wajah puterinya dengan kaget. "Mengapa mengundurkan diri?"

"Belum lama ini, Ayah didatangi seseorang yang memakai kedok hitam dan orang itu memaki-maki Ayah sebagai seorang bengcu antek penjajah Mancu, karena ketika pengangkatannya direstui oleh Kaisar Mancu. Kemudian orang berkedok hitam itu menyerang Ayah dan dalam perkelahian itu Ayah terluka oleh pukulan tapak hitam dari orang itu. Sekarang pun Ayah masih beristirahat untuk memulihkan tenaganya Ibu. Beruntung bahwa aku telah mempelajari It-yangci sehingga aku dapat menyelamatkan Ayah. Nah, sejak itu Ayah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Dia tidak mau dianggap oleh dunia kang-ouw sebagai bengcu antek penjajah Mancu."

"Hemm, siapakah penyerang itu?"

"Ayah tidak mengetahuinya, Ibu. Dan ketika itu aku pun sedang tidak ada di rumah. Ayah hanya mengatakan bahwa orang itu masih muda, berkedok hitam dan memiliki pukulan tapak tangan hitam yang disebutnya pukulan "merontokkan jalan darah". Sebetulnya Ayah telah menghabiskan urusan dengan Si Kedok Hitam itu, akan tetapi aku tidak dapat menerimanya begitu saja, Ibu. Aku akan pergi mencari orang itu dan membalas kekalahan Ayah. Barangkali Ibu mengetahui siapa yang memiliki iImu pukulan seperti itu?"

Ang-tok Mo-li mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. "Aku pernah mendengar tentang ilmu tapak tangan hitam dari keluarga Cia, akan tetapi entah mereka atau bukan yang melukai ayahmu. Seingatku ilmu tapak tangan hitam keluarga Cia disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)."

"Aku juga sudah mendengar akan mereka di Hui-cu, di kaki bukit Lo-sian, bukan?"

Ibunya mengangguk. "Kalau begitu, sekarang juga aku akan pergi ke sana untuk menyelidikinya!"

"Akan tetapi mereka itu terkenal sebagai keluarga para pendekar yang gagah perkasa, bukan golongan penjahat."

"Siapa pun mereka, akan kuselidiki. Kalau betul ada di antara mereka yang dulu memakai kedok dan melukai Ayah, tentu akan kutantang dan kubalas dia!"

Ang-tok Mo-li menghela napas panjang dan mengamati wajah puterinya. Ada keharuan di hatinya. Kekerasan hati puterinya itu jelas ia yang menurunkannya. Andaikata ia yang menjadi Lee Cin, ia pun tentu akan mencari orang itu sampai dapat ditemukan.

"Kalau begitu, sesukamulah, Lee Cin. Engkau sudah memiliki kepandaian yang cukup untuk bertindak sendiri. Akan tetapi, bagaimana dengan keadaan ayahmu?"

"Dia masih menderita oleh akibat pukulan itu, Ibu. Biarpun dia sudah tidak terancam bahaya lagi, namun dia masih lemah dan perlu beristirahat. Aku sudah mencari seorang paman dari dusun untuk merawat dan melayaninya selama aku pergi."

"Aku... aku maafkan dia... Sudah lama, selama engkau pergi, aku sudah maafkan dia," katanya lirih.

Mendengar ini, Lee Cin merangkul dan mencium ibunya dengan kedua mata basah. Ketika ia memandang wajah ibunya, ia melihat betapa kedua mata ibunya juga basah. Di dalam hatinya Lee Cin bersorak. Ibunya menangis! Ini merupapakan hal yang langka sekali dan ini mungkin sekali berarti bahwa hati ibunya yang tadinya membeku dan keras sudah mencair dan lunak kembali!

"Ibu," ia berbisik dekat telinga ibunya, "Ayah amat mencintai Ibu, sungguh amat mencintaimu."

Ang-tok Mo-li melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alisnya. "Kenapa tidak dari dulu?"

"Ayah sudah menyesali hidupnya, Ayah merana dalam hatinya dan selalu merindukan Ibu. Setelah Ibu memaafkan dia, tidakkah Ibu kasihan melihat dia terluka? Alangkah akan bahagia hatinya kalau Ibu sudi menengok Ayah yang sedang lemah dan beristirahat."

"Bagaimana nanti sajalah. Kapan engkau akan pergi ke Lo-sian?"

"Sekarang juga, Ibu."

"Kalau begitu berangkatlah, akan tetapi hati-hatilah. Sedapat mungkin jangan sampai engkau bermusuhan dengan keluarga Cia, hal itu berbahaya sekali."

"Baik, Ibu. Akan kuingat pesan Ibu."

Kedua orang wanita, ibu dan anak itu Ialu berpisah. Lee Cin menuju ke barat dan ibunya menuju ke selatan.


Lima orang laki-laki berdiri sambil bercakap-cakap di dalam sebuah hutan di pegunungan Hong-san. Mereka ini bukan orang-orang lemah karena mereka membawa golok di pinggang mereka. Kuncir mereka melilit leher dan sikap mereka congkak seperti kebanyakan orang yang merasa dirinya kuat dan berkuasa.

Memang, lima orang ini bukan orang sembarangan, melainkan segerombolan perampok yang mengepalai banyak anak buah di sebelah timur Pegunungan Hong-san. Yang mereka bicarakan adalah bengcu Souw Tek Bun.

"Tidak salahkah keterangan yang kau peroleh bahwa Souw-bengcu itu kini sedang sakit dan lemah?" tanya seorang kepada kawannya yang bermuka hitam.

"Tidak salah. Petani yang kini merawatnya menceritakan hal ini kepada beberapa orang dusun dan berita itu menyebar sehingga aku mendengarnya. Kiranya, sekaranglah saatnya yang terbaik untuk bergerak," kata Si Muka Hitam.

"Akan tetapi ada puterinya yang kabarnya tidak kalah tangguhnya dibandingkan dengan Souw-bengcu," kata orang ke tiga.

"Bahkan puterinya itu akhir-akhir ini dikenal sebagai Dewi Ular. Kabarnya ia dapat memanggil semua ular di daerah ini untuk membantunya menghadapi musuh. Ih, mengerikan!" kata orang ke empat.

"Kalau berbahaya sekali, lebih baik ditangguhkan, tunggu sampai kita memperoleh bantuan yang tangguh, baru kita serbu," kata orang ke lima.

"Kenapa kalian begitu ketakutan? Sudah kukatakan bahwa anak perempuannya itu pergi jauh. Karena itu maka orang dusun itu disuruh menjaga dan merawat Souw-bengcu. Jangan kalian takut, begitu pengecutkah kalian?" kata Si Muka Hitam yang agaknya menjadi pemimpin mereka.

Orang ini memang kelihatan menyeramkan. Mukanya hitam sekali, rambutnya sangat subur, dikuncir tebal dan kuncir itu melilit lehernya. Di punggungnya terdapat sebatang ruyung dan di pinggangnya tergantung sebuah golok. Lima orang ini menamakan diri mereka sendiri Hong-san Ngo-houw (Lima Harimau Bukit Hong-san). Mereka bercakap-cakap di hutan yang sunyi itu, membicarakan niat mereka untuk menyerbu rumah Souw-bengcu.

"Apakah benar pedang itu amat berharga maka engkau hendak merampasnya?" tanya orang pertama kepada Si Muka Hitam.

"Hem, tentu saja! Amat berharga sekali. Orang di dunia kang-ouw tentu akan berani membayar mahal untuk pedang Ceng-liong-kiam! Kalian tahu pedang itu adalah pedang pemberian Kaisar kepada Souw-bengcu. Dengan pedang itu di tangan, orang dapat memasuki istana dan semua penjaga akan memberi hormat. Orang itu akan dapat langsung menghadap Kaisar! Bukankah benda itu amat berharga? Selain itu, juga pedang itu merupakan pedang pusaka yang ampuh sekali."

Mendengar keterangan ini, empat orang rekannya menyeringai dan mengangguk-angguk. "Kalau begitu kapan kita akan menyerbu ke sana?"

"Sekarang juga, selagi masih pagi."

Berangkatlah lima orang itu mendaki puncak Hong-san menuju ke tempat kediaman Souw Tek Bun. Mereka mendaki setengah berlari dan nampak wajah mereka penuh gairah, penuh semangat.

Akhirnya sampai juga mereka di depan pondok tempat tinggaI Souw Tek Bun yang kelihatan sunyi sekali. Selagi lima orang itu menjenguk ke sana-sini, muncullah seorang laki-laki setengah tua dari dalam pintu pondok. Melihat lima orang itu, dia terkejut dan cepat menghampiri sambil bertanya,

"Siapa kalian dan ada keperluan apa datang ke sini?" tanyanya.

Akan tetapi sebagai jawabannya, sebatang golok berkelebat dan pelayan itu berteriak mengaduh satu kali lalu terkulai roboh dengan dada terkoyak.

Mendengar teriakan ini, Souw Tek Bun yang sedang berada di dalam menjadi terkejut dan dia pun muncul dari pintu. Karena tidak menyangka buruk, bengcu ini tidak membawa senjata apa pun. Melihat lima orang yang tampak garang dan bengis itu, Souw Tek Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika dia melihat pelayannya sudah menggeletak mandi darah, dia terkejut dan marah sekali.

"Siapakah kalian dan apa yang kalian lakukan ini?"

Si Muka Hitam memutar tubuh memandang kepada Souw Tek Bun. Dan empat orang rekannya juga memandang bengcu itu dengan sinar mata penuh perhatian dan juga ada tersisa perasaan gentar karena mereka sudah mendengar kabar tentang kegagahan bengcu ini dengan ilmu silatnya yang tinggi. Akan tetapi Si Muka Hitam sudah yakin akan kebenaran berita yang diterimanya lalu tertawa,

"Ha-ha-ha, kiranya yang namanya Souw-bengcu hanya seorang tua yang lemah dan berpenyakitan!"

Souw Tek Bun yang tidak tahu bahwa ucapan itu untuk memancing dan mengetahui keadaannya, menghela napas dan berkata sejujurnya, "Memang aku sedang tidak sehat, akan tetapi mengapa kalian membunuh pelayanku yang sama sekali tidak berdosa ini?"

Si Muka Hitam mencabut golok dan ruyungnya diikuti empat rekannya yang juga sudah mencabut golok mereka. "Souw Tek Bun! Kami datang bukan untuk mengobrol denganmu! Cepat kau serahkan Ceng-liong-kiam kepada kami atau engkau akan mati seperti pelayanmu ini!"

Biarpun keadaannya lemah dan tenaganya belum puIih, Souw Tek Bun adalah seorang gagah perkasa yang tidak mungkin mau tunduk atas perintah gerombolan penjahat begitu saja. "Ceng-liong-kiam adalah pedangku, tidak boleh orang lain memilikinya!" katanya dengan gagah.

"Kalau begitu mampuslah" bentak Si Muka Hitam yang langsung menyerang dengan golok di tangan kanan dan ruyung di tangan kiri.

Biarpun Souw Tek Bun kehilangan tenaganya, namun dia tidak kehilangan ilmu silatnya yang sudah mendarah daging, maka dengan mudah dia mengelak dari serangan golok dan ruyung itu. Akan tetapi empat rekan Si Muka Hitam sudah maju menyerang dari segala jurusan!

Souw Tek Bun hanya mampu mengelak, akan tetapi karena dia kehilangan tenaganya, maka gerakannya juga tidak begitu gesit lagi. Kembali ruyung Si Muka Hitam menyambar ke arah kepalanya. Souw Tek Bun mengelak dengan menarik kepalanya ke belakang dan pada saat itu, dua batang golok menyambar dari kanan kiri.

Terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan dapat berjungkir-balik satu kali, hanya untuk menghadapi golok lain dari depan dan belakangnya. Dia memutar tubuh dan kembali mengelak, akan tetapi elakannya kurang cepat sehingga ketika ruyung menyambar ke arah kepala dan dielakkannya, ruyung itu masih menimpa ujung pundaknya.

"Dess....!" Tubuh Souw Tek Bun terguling. Akan tetapi begitu roboh dia menggulingkan tubuhnya lalu bangkit berdiri dengan pundak kiri terasa nyeri bukan main. Kembali hujan goIok dan ruyung mengeroyoknya. Karena dia tidak diberi kesempatan untuk membalas, maka dia hanya berloncatan ke sana sini untuk mengelak dan suatu saat kaki kanan Si Muka Hitam mencuat dan mengenai perutnya.

"Bukk.....!" Kembali tubuh Souw Tek Bun terpelanting, kini terjengkang, akan tetapi dia masih dapat bergulingan menghindarkan diri.

Tahulah Souw Tek Bun bahwa nyawanya terancam maut. Kalau dia tidak kehabisan tenaga sebagai akibat pukulan tapak tangan hitam, biarpun dia bertangan kosong, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan mampu merobohkan lima orang itu. Akan tetapi tenaganya tidak ada sehingga kegesitannya pun berkurang...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.