Dewi Ular Jilid 10

Cerita silat Mandarin serial Gelang Kemala seri Dewi Ular Jilid 10 karya Kho Ping Hoo

Dewi Ular Jilid 10

TIN SIONG agaknya maklum dengan baik akan kedahsyatan pukulan ini, maka dia pun miringkan tubuh dan mendorongkan telapak tangan ke depan untuk menyambut pukulan itu dengan Hek-tok-ciang!

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Pertemuan antara Ang-tok-ciang dan Hek-tok-ciang ini tidak dapat dihindarkan lagi karena keduanya ingin memperoleh kemenangan. Lee Cin mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk membalaskan ayahnya sedangkan Tin Siong untuk mempertahankan nama besar keluarga Cia!

"Wuuuuutttt.... desss....!"

Dua telapak tangan bertemu dengan kuatnya dan tubuh mereka terpental sampai lima langkah, terhuyung ke belakang dan merasa betapa dari ujung jari tangan kiri sampai ke pangkal lengan terguncang hebat. Juga dalam adu tenaga ini keduanya berimbang.

Hal ini membuat Lee Cin semakin penasaran dan ia pun melupakan rasa nyeri pada lengan kirinya, lalu menyerang lagi dengan pedangnya. Tim Siong juga terkejut, akan tetapi ia pun cepat menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.

"Trangg......!"

Kembali bunga api berpijar dan cepat sekali Lee Cin mengirim pukulan Ang-tok-ciang pula. Tin Siong terkejut, maklum bahwa gadis itu mengajaknya bertanding habis-habisan, maka terpaksa dia pun mendorongkan tangan kiri untuk menyambut pukulan orang.

Akan tetapi, tiba-tiba Lee Cin mengubah kedudukan jari-jari tangan kirinya yang kini menggenggam dan hanya jari telunjuknya yang dipergunakan untuk menotok ke arah telapak tangan hitam itu!

"Tuk....!"

Totokan It-yang-ci itu tepat mengenai tangan telapak tangan kiri Tin Siong. Pemuda itu mengeluh dan terhuyung-huyung ke belakang. Lee Cin mengejar dan mengerahkan pedangnya untuk menyerang dada pemuda itu.

Akan tetapi tiba-tiba tubuh Tin Siong terhalang oleh Tin Han yang sudah menolong kakaknya dan memasangkan dadanya menghadapi Lee Cin. Tentu saja Lee Cin terkejut sekali dan menarik kembali pedangnya, kalau tidak tentu dada Tin Han yang akan tertembus pedangnya.

"Cukup, Cin-moi! Kakak Tin Siong sudah kalah, mengapa engkau mendesaknya? Kalau hendak menusuknya, tusuklah aku terlebih dulu!"

Lee Cin memandang kepada wajah Tin Han. Pemuda berandalan itu sungguh berani, memasangkan tubuhnya untuk melindungi kakaknya dan dalam keadaan seperti itu wajah pemuda itu masih tersenyum simpul!

Lee Cin menyimpan kembali pedangnya dengan membelitkan pada pinggangnya dan berkata, "Hemm, ayahku terluka oleh Hek-tok-ciang lebih parah darinya. Pembalasan ini belum impas!"

Lee Cin memandang kepada Tin Siong yang wajahnya pucat dan mulutnya mengeluarkan darah. Jelas bahwa dia telah terluka dalam oleh It-yang-ci, walaupun tidak seberat yang diderita ayahnya.

"Cin-moi, mengapa engkau terlalu mendesak kami? Siong-ko sudah menyatakan bahwa dia bukanlah Si Kedok Hitam seperti yang kau tuduhkan. Aku sendiri berani menanggung bahwa Siong-ko tidak berbohong. Kalau engkau masih penasaran dan hendak membunuhnya, nah, bunuhlah aku. Aku tidak takut mati dalam tanganmu!" Tin Han sengaja memasang dadanya di depan Lee Cin dan gadis ini tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan atau katakan.

Nenek Cia melangkah ke depan. "Lee Cin, kami seluruh keluarga Cia berani menanggung bahwa Tin Siong bukan Si Kedok Hitam seperti yang kau duga. Engkau sudah dapat mengalahkan Tin Siong, berarti engkau sudah dapat mengalahkan keluarga kami karena di antara kami, Tin Siong yang memiliki ilmu silat paling tangguh. Kami mengaku kalah dan kami mengulurkan tangan persahabatan denganmu karena sesungguhnya Tin Siong tidak pernah menyerang dan melukai ayahmu."

Lee Cin menjadi semakin bingung. Ia melihat betapa semua anggauta keluarga memandang kepadanya dengan penuh perhatian. "Akan tetapi, Ayah....."

"Lee Cin, lupakah engkau bahwa engkau mengatakan kalau ayahmu terluka oleh pukulan telapak tangan hitam yang disebut pukulan merontokkan jalan darah? Nah, pukulan Hek-tok-ciang kami sama sekali tidak mempunyai daya untuk merontokkan jalan darah, hanya merupakan pukulan yang mengandung hawa beracun, tidak lebih lihai daripada ilmu pukulan Ang-tok-ciang yang kau miliki."

Lee Cin menghela napas panjang dan memandang kepada Tin Siong yang kini duduk bersila untuk menghimpun hawa murni untuk mengobati luka dalam akibat totokan It-yang-ci. Ia mulai meragu dan menyesal. Kalau benar bahwa Tin Siong bukan Si Kedok Hitam, sungguh ia telah bertindak salah besar.

"Kalau memang benar bahwa saudara Cia Ting Siong tidak melakukan penyerangan dan melukai Ayah, aku telah salah duga dan aku mohon maaf sebanyaknya kepada keluarga Cia. Akan tetapi kalau benar dugaanku bahwa dia adalah Si Kedok Hitam, maka biarlah pukulanku tadi merupakan pembalasan dari Ayah, agar dia tidak berpikir bahwa dialah orang yang paling lihai di dunia. Selamat tinggal!"

Ia membalikkan tubuhnya dan keluar dari pekarangan itu. Baru saja tiba di jalan, suara kaki orang berlari membuatnya menengok dan ternyata Tin Han yang mengejarnya.

"Mau apa engkau mengejarku?" tanya Lee Cin sambil mengerutkan alisnya.

"Aih, Cin-moi. Haruskah persahabatan di antara kami diputuskan dengan cara ini?"

"Apakah ada alasan untuk menyambung persahabatan? Kalau aku menduga salah dan bahwa bukan kakakmu yang menyerang Ayah, maka aku telah melakukan kesalahan besar terhadap keluarga Cia, dan tentu keluargamu akan membenciku."

"Ah, tidak sama sekali, Cin-moi. Setidaknya aku tidak akan membencimu karena aku tahu benar bahwa engkau menyerang Kakak Tin Siong bukan karena engkau jahat, melainkan karena engkau hendak membalas dendam walaupun balas dendam itu ditujukan kepada orang yang salah."

Sikap dan ucapan pemuda itu membuat Lee Cin makin merasa bersalah dan ia mulai ragu akan kebenaran tindakannya. "Sudahlah, aku pergi saja. Selamat tinggal, Han-ko."

"Engkau tidak membenciku karena aku tadi menghalangi engkau membunuh Kakak Tin Siong?"

Lee Cin menggeleng kepalanya. "Tidak, bahkan aku merasa girang bahwa engkau menghalangiku sehingga aku tidak jadi membunuhnya. Betapa akan besar penyesalanku kalau kelak ternyata orang yang kubunuh itu sama sekali tidak bersalah."

"Kalau begitu, perkenankanlah aku mengantarmu sampai ke luar kota. Aku masih ingin bercakap-cakap denganmu sebelum engkau pergi," kata Tin Han sambil ikut berjalan di samping Lee Cin ketika gadis itu melanjutkan langkahnya.

Terpaksa Lee Cin membiarkan pemuda itu berjalan bersamanya, karena ia pun masih ingin mendengar apa yang hendak dikatakan pemuda ini. Setidaknya sikapnya ini untuk menunjukkan rasa penyesalannya atas peristiwa tadi.

"Cin-moi, kalau kupikir-pikir, letak kesalah-pahaman antara engkau dan kami adalah karena perbedaan pendapat. Keluarga kami adalah keluarga patriot yang membenci pemerintahan penjajah Mancu dan ingin sekali menggulingkan dan mengusir penjajah dari tanah air kita. Sedangkan engkau agaknya mempunyai pendapat lain. Bagaimana pendapatmu tentang penjajah Mancu, Cin-moi?"

Lee Cin mempertimbangkan pertanyaan ini, kemudian ia menjawab dengan jujur, "Aku pun tidak senang dengan adanya penjajah di tanah air kita. Akan tetapi itu bukan berarti aku membenci pemerintah Kerajaan Mancu. Kaisarnya amat baik terhadap rakyat kita dan dia dapat menghargai orang-orang pandai.

"Yang kubenci adalah pembesar yang sewenang-wenang terhadap rakyat jelata, yang menindas rakyat. Tidak peduli apakah pembesar itu orang Han atau orang Mancu. Kalau dia seorang pembesar yang baik dan bijaksana, tentu aku tidak membencinya bahkan akan melindunginya dari orang jahat yang hendak membunuhnya.

"Sebaliknya, kalau ada pembesar yang korup, sewenang-wenang dan menindas rakyat jelata, tentu aku akan turun tangan memberi hajaran kepada pembesar itu, tidak peduli dia bangsa Han atau bangsa lain."

"Itu adalah pendirian seorang pendekar, bukan seorang patriot, Cin-moi. Seorang pendekar menilai baik buruknya orang dari perbuatan pribadinya, akan tetapi seorang patriot yang tidak rela melihat bangsa dan tanah air dijajah, menilai seseorang dari kedudukannya, siapa yang dibantunya.

"Kalau dia membantu penjajah, bekerja untuk penjajah, tentu kami anggap sebagai musuh karena berarti dia ikut mengembangkan dan mendukung penjajahan! Dan itulah pendirian keluarga Cia kami. Kami tidak mengenal dendam pribadi, akan tetapi dendam bangsa dan tanah air, dan kami bertindak demi bangsa dan tanah air."

Lee Cin mengangguk-angguk. Ia adalah seorang gadis yang sudah berpengalaman, maka tentu saja hal seperti itu sudah dimengertinya. "Kalau begitu, kalian segolongan patriot hendak melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan penjajah?"

"Mungkin pihak penjajah akan menganggap sebagai pemberontakan, akan tetapi kami menganggap sebagai perjuangan, perjuangan membebaskan bangsa dan tanah air dari cengkeraman penjajah."

"Dan kalian akan bergabung dengan siapa saja yang menentang pemerintah Mancu? Tidak peduli bahwa mereka terdiri dari golongan sesat, tetap akan kalian ajak bekerja sama dan bersekutu?"

Ditanya demikian, Tin Han tertegun, lalu menjawab dengan ragu, "Kuki..... tidak semua berpendapat seperti itu. Aku sendiri misalnya, aku tidak akan sudi untuk bekerja sama dengan para penjahat dalam perjuangan membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Bersekutu dengan golongan sesat bahkan akan mengotorkan dan menodai perjuangan yang suci."

"Akan tetapi bagaimana dengan keluarga Cia? Apakah mereka tidak mengadakan persekutuan dengan golongan sesat?"

"Aku..... aku tidak tahu, Cin-moi. Akan tetapi percayalah, kalaupun ada, aku akan menentangnya habis-habisan!"

Lee Cin tersenyum. Mereka sudah tiba di luar kota, di jalan yang sunyi dan Lee Cin berhenti melangkah, lalu memandang kepada pemuda itu. "Han-ko, ucapanmu itu bagaimana dapat kubuktikan? Kemampuan apakah yang engkau miliki untuk membuktikan ucapanmu itu?"

Wajah Tin Han berubah merah. "Boleh jadi aku tidak pandai silat seperti anggauta keluarga yang lain, Cin-moi. Akan tetapi aku mempunyai pendirian. Aku akan berusaha mengumpulkan semua pendekar di dunia ini, menyadarkan mereka bahwa selama ini mereka seperti harimau tertidur, mengajak mereka untuk bangkit dan menentang penjajah! Kalau semua pendekar bangkit dan bergerak, berjuang.

"Aku yakin rakyat akan mengikuti mereka dan kita dapat menyusun kekuatan yang besar. Di mana-mana rakyat akan berjuang, dipimpin oleh para pendekar yang sudah berjiwa patriot, dan dengan cara itu, kekuasaan Kerajaan Mancu pasti akan dapat dihancurkan dan penjajah dapat dihalau keluar dari tanah air kita."

Lee Cin memandang dengan heran dan kagum. Pemuda yang ugal-ugalan ini, yang oleh keluarganya disebut Si Berandal, yang tidak dapat bersilat, yang lemah, ternyata memiliki jiwa yang gagah perkasa. Dia bicara dengan semangat berapi-api. Sepasang matanya mencorong, kedua tangannya dikepal!

"Ucapanmu mengagumkan hatiku, Han-ko. Percayalah, kalau kelak engkau berhasil membuat para pendekar menjadi patriot sehingga mereka semua bergerak seperti yang kau bayangkan itu, aku pun akan membantumu dengan sekuat tenagaku. Selama ini aku melihat ada golongan yang hendak memberontak dan bersekutu dengan kaum sesat.

"Maka aku tidak percaya akan sikap mereka yang menentang pemerintah. Kuanggap bahwa mereka itu bukan memperjuangkan nasib rakyat, melainkan mengejar ambisi dan keuntungan pribadi saja. Alangkah indahnya kalau perjuangan itu murni seperti yang kau gambarkan."

"Terima kasih, Cin-moi. Sekarang legalah hatiku setelah mengatakan semua yang berada di hatiku mengenai perjuangan. Biarpun Si Kedok Hitam itu aku yakin bukan Kakak Tin Siong, akan tetapi aku percaya bahwa engkau sekarang mungkin akan dapat mempertimbangkan perbuatannya terhadap ayahmu, yaitu kalau benar dia seorang patriot seperti yang aku maksudkan.

"Mungkin dia hanya ingin menyadarkan orang-orang gagah sedunia, termasuk ayahmu. Nah, kalau engkau memang berniat untuk pergi, aku mengucapkan selamat jalan dan selamat berpisah, Cin-moi dan kuharap engkau tidak akan mengenang kami keluarga Cia sebagai musuh, melainkan sebagai sahabat."

"Aku akan mengenangmu sebagai seorang sahabat baik, Han-ko."

"Dan aku tidak pernah akan dapat melupakanmu, Cin-moi."

Mereka saling memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu Lee Cin melanjutkan perjalanan dan Tin Han kembali ke dalam kota Hui-cu. Setelah pemuda itu pergi, Lee Cin kembali berhenti melangkah dan termenung. Suara pemuda itu masih berkumandang di telinganya dan ia semakin penasaran karena ia kini hampir percaya bahwa Si Kedok Hitam bukan Tin Siong.

Kalau begitu siapa? Si Kedok Hitam jelas ada, semalam ia sudah bertemu dan bahkan berkelahi dengannya. Mengingat ini, Lee Cin mengerutkan alisnya. Siapa tahu, usaha Si Kedok Hitam untuk membunuh Ji-taijin yang digagalkannya itu akan diulangnya malam ini. Ia merasa penasaran dan ingin menangkap Si Kedok Hitam.

Ia harus dapat yakin benar bahwa keluarga Cia tidak ada hubungannya dengan Si Kedok Hitam dan satu-satunyajalan adalah menangkap Si Kedok Hitam. Sebaiknya malam ini ia menanti lagi kalau-kalau Si Kedok Hitam akan kembali menyerang Ji-taijin!

Sekali ini ia tidak akan menyerangnya. Si Kedok Hitam itu lihai dan sukar merobohkannya, tentu dia keburu melarikan diri. Ia akan membayanginya saja agar diketahui di mana dia tinggal. Ia ingin mengetahui siapa sebenarnya orang di balik kedok itu.

Bayangan hitam itu dengan gesitnya meloncat ke atas atap gedung tempat tinggal Ji-taijin, dan setibanya di atas atap, dia melihat ke kiri kanan. Di bawah sinar bulan sepotong yang bersinar cukup terang karena langit bersih dari awan, Lee Cin melihat bayangan ini dan dari tempat ia bersembunyi terlihat jelas bahwa bayangan itu berkedok hitam. Si Kedok Hitam! Seperti diperhitungkannya, malam itu kembali Si Kedok Hitam beraksi mendatangi rumah Ji-taijin.

Akan tetapi ketika bayangan Si Kedok Hitam itu melayang turun, tiba-tiba terdengar bentakan banyak orang dan nampak banyak pengawal berdatangan mengepung tempat itu sambil membawa obor. Kiranya tempat itu telah siap siaga dan banyak penjaga kini mengepung Si Kedok Hitam yang menjadi kaget sekali. Tak disangkanya bahwa kedatangannya telah dinanti banyak pengawal.

Para pengawal segera mengeroyoknya, akan tetapi dengan gesit Si Kedok Hitam berkelebatan mengelak sambil merobohkan banyak pengawal dengan tamparan tangannya atau tendangan kakinya. Betapapun juga, dia kewalahan menghadapi puluhan orang pengawal yang mengepungnya dengan senjata pedang atau golok itu.

Lee Cin yang sudah mengintai sejak tadi tersenyum. Ialah yang telah memberi tahu para penjaga sore tadi bahwa malam ini rumah Ji-taijin akan kedatangan seorang pembunuh berkedok hitam. Karena itulah maka para pengawal mengadakan persiapan, tanpa mengetahui siapa yang memberi keterangan itu karena Lee Cin menyambitkan kertas yang ditulisi pesan itu kepada mereka tanpa memperlihatkan diri.

Si Kedok Hitam ternyata lihai sekali. Biarpun dia tidak memegang senjata, namun semua serangan dapat dielakkan atau ditangkis dan dia sudah merobohkan belasan orang pengawal tanpa membunuh mereka. Akhirnya dia merasa kewalahan juga dan melompat jauh lalu melarikan diri, tidak tahu bahwa lain bayangan yang tidak kalah gesitnya membayanginya. Bayangan ke dua ini adalah Lee Cin.

Akan tetapi Si Kedok Hitam kembali menghilang di dalam hutan yang gelap. Dengan kecewa sekali Lee Cin terpaksa menghentikan pengejaran. Akan tetapi karena penasaran, ia menanti di luar hutan dan mengambil keputusan untuk menanti sampai besok pagi. Besok, setelah terang tanah, ia akan melanjutkan pencariannya. Mungkin Si Kedok Hitam masih berada di dalam hutan itu.

Lee Cin duduk bersila di bawah sebatang pohon di atas tanah bertilamkan daun-daun kering. Biarpun keadaannya seperti dalam tidur dan ia memulihkan kekuatannya beristirahat, akan tetapi jangan mencoba untuk mengganggunya. Sedikit saja sudah cukup untuk membuat ia terbangun dengan seluruh tubuh dalam keadaan siap siaga!

Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari pagi dapat menerobos masuk ke dalam hutan melalui celah-celah daun pohon, Lee Cin bangkit berdiri lalu dengan hati-hati dan waspada ia memasuki hutan kecil itu. Ia menyusup-nyusup di antara batang-batang pohon dan semak belukar dan ketika tiba di tengah hutan ia berhenti dan memandang ke kanan kiri.

Pagi itu di dalam hutan suasananya bising dengan kicau burung-burung yang beterbangan dari pohon ke pohon, sehingga Lee Cin mulai menyangsikan apakah orang yang dicarinya masih terdapat di tempat itu. Mungkin dia sudah melarikan diri ke jurusan lain.

Selagi ia hendak meninggalkan tempat itu dengan hati kecewa karena kembali Si Kedok Hitam dapat lolos dari tangannya, tiba-tiba hidungnya mencium bau yang amat sedap. Bau bumbu daging dibakar! Pengharapannya muncul kembali dan berindap-indap ia menuju ke arah tempat dari mana bau itu datang.

Akhirnya ia melihat seorang laki-laki tampak dari belakang masih muda, dengan pakaian serba putih sedang memanggang paha kelinci di atas api unggun. Pemuda itu berada di tengah semak belukar dan untuk mendekatinya hanya melalui jalan setapak yang berada di belakang pemuda itu.

Dengan hati berdebar tegang Lee Cin melangkah satu-satu menghampirinya dari belakang. Orang itu pasti Si Kedok Hitam, pikirnya. Ia ingin sekali melihat siapa orang itu! Ketika ia sudah tiba dekat, lalu melangkah maju lagi, tiba-tiba tanah berumput yang dipijaknya itu runtuh ke bawah dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang perangkap!

Ia sudah terjatuh ke dalam lubang dan tubuhnya sudah diselimuti semacam jala. Ia meronta dan hendak melepaskan diri, akan tetapi jala itu kuat sekali dan ia sudah terlibat sedemikian rupa sehingga ia tidak sempat mencabut pedangnya untuk membabat jala itu.

Pemuda yang sedang memanggang daging itu mengeluarkan suara tawa, lalu cepat sekali dia sudah meloncat ke dekat lubang dan dari atas dia menyerang dengan totokan. Biarpun Lee Cin berhasil menangkis dua tiga kali dari dalam jala, namun akhirnya ada totokan yang mengenai tubuhnya sehingga ia terkulai lemas di dalam libatan jala.

"Ha-ha-ha, jalaku menangkap seekor ikan emas yang indah sekali!" pemuda itu tertawa sambil mengangkat tubuh Lee Cin yang masih diselimuti jala. Sambil tersenyum-senyum gembira pemuda itu melepaskan jala yang menyelimuti tubuh Lee Cin.

Lee Cin yang tidak mampu bergerak itu melihat bahwa yang menjebak dan menangkapnya, pemuda baju putih itu bukan laim adalah Ouw Kwan Lok, pemuda yang dulu pernah dianggapnya sebagai seorang sahabat akan tetapi yang kemudian bahkan hendak menangkap dan memperkosanya.

Dan bahwa Ouw Kwan Lok ternyata adalah murid Thian-te Mo-ong dan mendiang Pak-thian-ong yang hendak membalas dendam kepadanya! Ia dapat lolos dari tangan Ouw Kwan Lok karena ia tidak mempan ketika diracuni. Akan tetapi sekali ini benar-benar tidak berdaya karena ditotok lemas. Ia masih dapat bicara dan berkata dengan suara gemas,

"Ouw Kwan Lok, jahanam keji, kiranya engkaulah Si Kedok Hitam!"

Ouw Kwan Lok tersenyum dan mengerutkan alis, meruncingkan mulutnya mengejek. "Aku? Si Kedok Hitam. Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan. Engkau datang sendiri menyerahkan diri, itu bagus sekali. Aku akan membunuh engkau setelah puas mempermainkanmu. Sekarang tuanmu hendak makan minum lebih dulu dan engkau boleh melihat saja!"

Ia lalu mengikat kaki dan kedua tangan Lee Cin dengan tali jala yang panjang dan sekali melontarkan ujung tali, tali itu telah melibat sebatang cabang pohon. Dia lalu menarik naik dan tubuh Lee Cin tergantung di udara, menelungkup dengan kaki dan tangan terikat. Apalagi kaki tangannya terikat, biarpun tidak diikat juga ia tidak akan mampu bergerak.

"Ouw Kwan Lok, pengecut tak tahu malu! Turunkan aku dan mari kita bertanding sampai salah seorang dari kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!" teriak Lee Cin.

Akan tetapi Kwan Lok tertawa dan mulai makan, menggerogoti paha kelinci dan minum arak dari guci arak yamg dibawanya. "Enak saja. Engkau akan kuajak bersenang-senang dulu, baru engkau akan kubunuh. Sayang kalau engkau dibunuh begitu saja. Bersiaplah engkau untuk bersenang-senang denganku kemudian mampus. Berdoalah dan minta ampun kepada guruku Pak-thian-ong!"

Lee Cin maklum bahwa tidak ada gunanya bicara dengan pemuda yang seperti ini. Ia diam-diam merasa heran mengapa seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, halus tutur sapanya dan lembut gayanya, dapat memiliki watak yang demikian rendah dan jahat. Ia tidak berdaya. Ada sedikit harapan. Kalau pemuda itu hendak mempermainkannya, mudah-mudahan dia akan membebaskannya dari totokan.

Tidak ada artinya baginya kaki tangan yang terikat itu. Kalau ia sudah terbebas dari totokan ia akan dapat meronta dan mematahkan ikatan kaki tangannya! Sedikit harapan ini membuat Lee Cin diam saja, tidak lagi memaki, bahkan ia memejamkan kedua matanya, dan diam-diam ia mengatur pernapasannya dan berusaha untuk memulihkan aliran darahnya yang terganggu oleh totokan itu.

Kalau harapannya itu tidak terjadi, habislah ia! Kalau sampai ia dapat diperkosa pemuda ini, ia tidak akan mau hidup lebih lama lagi. Setelah ia berhasil membunuh pemuda ini, ia pun akan membunuh diri. Akan tetapi agaknya ia tidak akan dapat melakukan apa-apa. Ia teringat akan ayah ibunya dan tak terasa dua titik air mata membasahi matanya.

Ouw Kwan Lok yang senang makan minum itu melihat air mata itu. "Souw Lee Cin, engkau menangis? Ha-ha-ha, aku sebetulnya sayang padamu, sejak pertemuan kita dahulu itu, aku telah jatuh cinta padamu. Kalau engkau mau berjanji menjadi isteriku, aku tidak akan membunuhmu. Aku akan melupakan sakit hati kedua orang guruku. Nah, maukah engkau menjadi isteriku? Berjanjilah dan aku akan membebaskanmu, karena aku percaya janji seorang gagah seperti engkau."

Lee Cin diam saja. Ia tidak percaya kalau ia mengatakan mau lalu pemuda itu mau membebaskannya. Pemuda itu terlalu cerdik, terlalu licik, terlalu jahat. Maka ia diam saja.

"Bagaimana, adikku yang manis? Engkau lapar, bukan? Dan haus? Aku akan memberimu daging dan juga arak ini, baru kita bersenang-senang. Nah, maukah engkau menjadi isteriku?"

"Iblis gila, aku telah terperangkap. Bunuhlah kalau mau bunuh dan jangan banyak cerewet lagi!"

Ouw Kwan Lok minum araknya lagi dari guci dan mukanya menjadi merah oleh pengaruh arak. Dalam keadaan setengah mabuk ia tertawa-tawa seperti seorang gila. "Aku habiskan dulu arak ini kemudian kita bersenang-senang!" Dia menempelkan bibir guci pada bibirnya dan menggelegak arak itu.

Tiba-tiba ada benda hitam menyambar gucinya. "Pyaaaar....!" guci itu pecah berantakan dan sisa arak yang masih ada di guci menyiram muka Ouw Kwan Lok.

Pada saat Kwan Lok gelagapan karena tersiram arak, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang yang berpakaian serba hitam, mengenakan kedok hitam pula dan dengan sebatang pedang dia memutuskan tali yang menggantung Lee Cin, membantu menotok tubuh Lee Cin sehingga gadis itu terbebas dari totokan.

Setelah Lee Cin terbebas dari totokan, ia menggulingkan tubuhnya menjauhi dan sekali ia mengerahkan tenaganya, tali pengikat kaki tangannya sudah terputus! Ia meloncat bangkit sambil melolos pedangnya dari ikat pinggangnya. Akan tetapi ketika la menengok, ia melihat betapa Ouw Kwan Lok sudah bertanding melawan Si Kedok Hitam!

Kwan Lok menggunakan sepasang pedangnya sedangkan Si Kedok Hitam menggunakan sebatang pedang. Pertandingan itu seru sekali, tiga batang pedang lenyap bentuknya dan menjadi tiga gulung sinar yang menyilaukan mata.

Lee Cin merasa tidak enak dan bingung. Si Kedok Hitam telah menyelamatkannya dari aib dan malapetaka dan kini Si Kedok Hitam bertanding melawan Kwan Lok. Ia merasa tidak enak sekali. Ia mencari-cari Si Kedok Hitam untuk membalas kekalahan ayahnya dan kini Si Kedok Hitam muncul sebagai penyelamatnya!

Bahkan Si Kedok Hitam membelanya dan kini bertanding mati-matian melawan Kwan Lok. Pertandingan itu memang hebat sekali. Mereka saling desak dan ternyata Si Kedok Hitam itu mampu mengimbangi permainan sepasang pedang dari Ouw Kwan Lok dengan seimbang.

Merasa tidak enak kalau berdiam saja membiarkan Si Kedok Hitam mewakilinya, juga merasa malu untuk maju mengeroyok Kwan Lok, Lee Cin lalu berkata dengan suara nyaring, "Kedok Hitam, mundurlah dan akulah yang akan membunuh jahanam keparat ini!" Lee Cin meloncat ke depan dan menyerang Kwan Lok dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

Kwan Lok terkejut bukan main karena serangan itu benar-benar merupakan serangan maut. Dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan segera melarikan diri secepatnya. Baru melawan Si Kedok Hitam saja dia tidak mampu menang, apalagi kalau Lee Cin datang mengeroyoknya. Amat berbahaya kalau dia harus menghadapi dua lawan tangguh itu, maka dia mengambil jalan yang paling menguntungkan, yaitu melarikan diri.

Lee Cin mengejar, mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari cepat sambil berseru, "Jahanam Ouw Kwan Lok, hendak lari ke mana engkau?"

Akan tetapi Kwan Lok sudah melompat jauh dan berlari menyusup di antara semak belukar. Lee Cin yang masih asing dengan hutan itu mengejar dengan hati-hati karena khawatir kalau-kalau ia akan terperangkap seperti tadi. Karena berhati-hati, maka larinya tersendat-sendat dan akhirnya ia kehilangan bayangan dan jejak Ouw Kwan Lok.

Ia merasa menyesal sekali, dan sambil membanting-banting kakinya ia lalu kembali ke tempat tadi. Akan tetapi alangkah kecewanya karena Si Kedok Hitam sudah tidak berada di situ lagi. Ia merasa menyesal mengapa tadi mengejar Kwan Lok dan meninggalkan Si Kedok Hitam. Kalau orang itu masih ada, tentu ia dapat mengajaknya bercakap-cakap.

Setelah Si Kedok Hitam menyelamatkannya dari bencana hebat diperkosa Kwan Lok, ia tidak mungkin lagi dapat memusuhinya. Si Kedok Hitam melukai ayahnya dalam sebuah pertandingan yang adil, bahkan hanya melukai tidak membunuh, dan kini Si Kedok Hitam telah menolongnya, telah menyelamatkan nyawanya.

Maka pertolongan itu sudah dapat menebus kesalahannya melukai ayahnya. Tak mungkin lagi ia membalas dendam itu. Si Kedok Hitam hanya berhutang melukai ayahnya, akan tetapi telah membayar dengan menyelamatkan nyawanya. Ia merasa penasaran sekali.

"Siapakah engkau?" pertanyaan ini kini menindih hatinya. Kalau ia tahu siapa Si Kedok Hitam, tentu ia akan dapat menemukannya dan mengucapkan terima kasihnya. Akan tetapi Si Kedok Hitam sudah pergi dan agaknya akan sukar sekali baginya untuk dapat menemukannya.

Besar kemungkinannya keluarga Cia mengetahui siapa Si Kedok Hitam itu, bahkan dugaannya masih condong kepada Cia Tin Siong. Mengingat ini, ia lalu berlari kembali ke arah kota Hui-cu untuk menemui keluarga Cia!

Ketika tiba di pekarangan rumah keluarga Cia, Lee Cin disambut lagi oleh pelayan yang membersihkan halaman. "Ah, Nona Souw, engkau kembali ke sini?" kata pelayan itu dengan wajah gembira.

"Cepat laporkan kepada Cia-kongcu yang pertama atau yang ke dua bahwa aku datang untuk membicarakan urusan penting," kata Lee Cin yang ingin bertemu dengan Tin Siong.

"Baik, Nona. Silakan duduk menunggu sebentar karena saya melihat mereka semua sedang mengadakan pertemuan menyambut tamu."

Lee Cin bertanya-tanya dalam hatinya siapa gerangan tamu yang disambut oleh mereka sekeluarga itu, akan tetapi merasa tidak enak untuk bertanya-tanya, maka ia mengangguk lalu duduk di atas kursi dalam ruangan depan untuk menanti. Pelayan itu lalu berjalan masuk ke dalam gedung.

Yang keluar menyambutnya adalah Cia Tin Han! Agaknya begitu pelayan melaporkan bahwa di luar ada Lee Cin, Tin Han sudah mendahului semua orang dan cepat keluar. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dengan senyumannya yang khas sehingga mau tidak mau Lee Cin terbawa dalam kegembiraan. Akan tetapi, untuk urusan saat itu, Tin Han merupakan orang terakhir yang diharapkannya muncul.

Ia akan minta disampaikan maafnya kepada Si Kedok Hitam, maka kalau dapat, ia mengharapkan Tin Siong sendiri yang muncul. Kalau tidak pemuda itu, ia dapat menitip pesan itu kepada Nenek Cia atau Cia Kun, atau setidaknya kedua orang paman pemuda itu. Akan tetapi bukan Tin Han!

"Cin-moi...!" Ah, usiamu akan panjang sekali karena selagi aku sedang terkenang kepadamu, mendadak engkau muncul! Akan tetapi tidak ada kegembiraan yang lebih dari pada ini, Cin moi!"

"Han-ko, aku mempunyai suatu urusan yang penting sekali untuk kubicarakan dengan ayahmu atau Nenek Cia," kata Lee Cin yang tidak mau menyebut nama Tin Siong karena hal itu tentu akan menjadi bahan bagi Tin Han untuk menggodanya!

"Ah, itu mudah sekali. Mereka sedang berkumpul di dalam, Cin-moi. Mari masuk saja, engkau dapat langsung menemui mereka, bahkan engkau akan kuperkenalkan kepada seorang badut yang lucu sekali di dalam. Marilah!" tanpa ragu-ragu lagi Tin Han yang sedang bergembira itu memegang tangan Lee Cin dan menariknya masuk dalam rumah besar itu.

Kembali Lee Cin merasa heran kepada dirinya sendiri. Diperlakukan demikiam akrab oleh Tin Han, ia tidak menjadi marah dan membiarkan tangannya dipegang dan ditarik ke dalam! Kalau pemuda lain yang berani melakukan hal itu, tentu sudah ia damprat habis-habisan. Ternyata pemuda itu membawanya ke dalam ruangan makan yang luas.

Dan benar saja, mereka semua berada di situ. Cia Tin Siong, ayah ibunya, kedua orang pamannya, bahkan Nenek Cia, semua duduk menghadapi meja yang penuh hidangan dan seorang laki-laki pendek tegap duduk berhadapan dengan mereka. Begitu melihat pria cebol yang usianya kurang lebih empat puluh tahun ini Lee Cin segera mengenalnya. Itulah Yasuki, orang Jepang yang ia lihat bercakap-cakap dengan kedua orang paman Tin Han pada malam hari itu!

Dan Tin Han mengatakan bahwa ia hendak diperkenalkan kepada seorang badut yang lucu sekali. Karena di situ tidak ada orang asing lain kecuali Jepang itu, maka tentu orang itulah yang dimaksudkan sebagai seorang badut besar oleh Tin Han. Semua orang, kecuali Jepang itu, bangkit berdiri ketika Lee Cin masuk bersama Tin Han.

"Nona Souw...!" Semua orang berseru girang.

Agaknya Yasuki tidak mau ketinggalan. Dia memang berulah seperti seorang yang pandai, seperti seorang jagoan nomor satu. Dia mengamati dengan penuh perhatian kepada gadis yang baru masuk dan segera terdengar seruannya,

"Po-kiam (Pedang Pusaka) yang baik sekali! Nona manis, lebih baik pedang itu dijual saja kepadaku. Tidak baik bagi seorang gadis cantik untuk membawa pedang, bisa melukai diri sendiri! Berapakah engkau mau menjualnya?"

Semua orang menengok kepada Yasuki dan orang Jepang ini sudah bangkit berdiri dan menuding ke arah pinggang Lee Cin di mana Ang-coa-kiam membelit pinggangnya. Tentu saja ucapan itu lancang sekali, akan tetapi Yasuki agaknya bangga dengan kepandaiannya bicara dalam bahasa Han yang kaku dan lucu kedengarannya.

Tentu saja Lee Cin menjadi marah mendengar ucapan itu. Ucapan yang sungguh memandang rendah kepadanya. Maka dengan alis berkerut ia memandang kepada orang Jepang itu dan menjawab dengan suara ketus, "Aku tidak menjual pedangku!"

Akan tetapi Yasuki agaknya tidak tahu bahwa gadis itu marah sekali. Dia masih juga membujuknya. "Ah, jual saja kepadaku, Nona. Aku berani membayar dengan harga tinggi. Seorang gadis secantik Nona sebaiknya mempunyai benda lain untuk menjadi permainan. Bukan karena aku suka sekali kepada Po-kiam itu. Dibandingkan dengan samuraiku, tentu saja pedang itu tidak ada artinya, baik ketajamannya maupun kekuatannya. Aku hanya ingin membeli karena pedangmu itu cantik sekali, Nona."

Sebelum Lee Cin menjawab, Tin Han sudah mendahuluinya, "Yasuki-san (Tuan Yasuki), kau bilang pedang pusaka nona ini tidak ada artinya dibandingkan pedang samuraimu itu? Hayo, kita bertaruh! Kalau engkau dapat mengalahkan Nona Souw dengan pedangnya, menggunakan pedang samurai mu itu, aku berani bertaruh seratus tail emas! Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus minta maaf kepada Nona Souw atas kelancanganmu bicara. Bagaimana?"

"Tin Han....!" Nenek Cia menegur cucunya.

"Aih, Nek. Ini hanya main-main saja. Tentu mereka tidak bertanding sungguh-sungguh, hanya untuk membuktikan keampuhan pedang dan kepandaian bermain pedang masing-masing. Biar Tuan Yasuki yang ahli pedang samurai itu tidak memandang rendah kepada gadis-gadis pendekar kita."

Kemudian dia memandang kepada Yasuki. "Bagaimana, Tuan Yasuki, beranikah engkau bertanding pedang dengan Nona Souw?"

Tentu saja Yasuki tidak merasa takut. Dia tidak tertarik oleh hadiah seratus tail emas, akan tetapi dia merasa malu kalau dikatakan tidak berani melawan seorang gadis! Dia lalu bangkit dan sambil menepuk-nepuk pedang samurainya dia menjawab, "Tentu saja aku berani! Akan tetapi aku sangsi apakah nona ini berani melawan aku?"

"Siapa takut melawanmu? Biar ada sepuluh orang seperti engkau maju bersama, aku tidak akan takut!" jawab Lee Cin yang sudah marah.

Tin Han bertepuk tangan gembira. "Bagus, kedua pihak telah setuju! Ruangan ini pun cukup luas untuk kalian bertanding pedang dan bersiaplah engkau untuk minta maaf kepada Nona Souw, Yasuki-san."

"Engkau yang harus bersiap menyediakan seratus tail emas!" jawab Yasuki sambil tertawa memperlihatkan deretan gigi yang rusak. Dia bangkit berdiri, meninggalkan kursinya sambil mengangkat dada, lalu melangkah ke tengah ruangan yang luas itu. Lee Cin juga melangkah menghadapinya, dengan sepasang mata bersinar tajam.

Nenek Cia mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke atas lantai. "Terlalu engkau Tin Han! Eh, Tuan Yasuki dan Lee Cin, ingat bahwa ini hanya merupakan adu kepandaian saja, bukan perkelahian, maka jangan saling melukai!"

"Ha-ha-ha, Nyonya Tua Cia, jangan khawatir! Aku tidak akan melukai nona manis ini, hanya akan mengalahkannya dalam waktu singkat!" kata Yasuki menyombong. Tin Han memandang sambil tersenyum gembira. "Nona manis, engkau boleh mulai menggerakkan pedang mainanmu itu!" kata Yasuki.

"Lihat serangan!" Lee Cin sudah menyerang dengan amat cepatnya. Yang nampak hanya sinar merah mencuat dari tangannya, menusuk ke arah dada Yasuki.

Orang Jepang ini terkejut sekali. Tak disangkanya nona itu dapat menyerang sedemikian cepatnya. Akan tetapi dia sudah dapat mengelak dengan loncatan ke belakang, kemudian dengan kedua tangannya dia mengayun pedang samurainya yang panjang agak melengkung itu.

"Singggg....!" Pedangnya berdesing saking kuatnya dia mengayun.

Akan tetapi dengan mudah saja Lee Cin mengelak dari sambaran pedang itu. Gadis ini selanjutnya hanya mengelak saja. Ia hendak mempelajari dulu ilmu pedang yang aneh dari lawannya. Yasuki menggerakkan samurainya dengan kedua tangan, mengandalkan tenaga dan kecepatan. Namun, dengan gerakan seperti itu, perubahan menjadi lambat karena dia harus mengikuti ayunan pedangnya kalau tidak mengenai sasaran.

Setelah mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan bermain pedang, Lee Cin mulai membalas. Setiap kali serangan Yasuki tidak mengenai dirinya, ia langsung membalas selagi orang Jepang itu masih melanjutkan ayunan pedangnya yang kuat.

Dengan cara ini, setelah berlangsung dua puluh lima jurus, ia mampu mendesak lawannya yang menjadi sibuk sekali setelah gadis itu membalas dengan serangan bertubi-tubi. Yasuki terpaksa memutar samurainya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan.

Pada suatu saat, ketika melihat kesempatan, Lee Cin berseru nyaring dan membentak, "Lepaskan pedang!"

Dan seperti orang yang mentaati perintah ini, Yasuki benar-benar melepaskan samurainya yang jatuh berkerontangan di atas lantai. Ternyata kedua punggung tangannya tergores pedang sehingga mengeluarkan sedikit darah dan terasa perih.

Yasuki berdiri terbelalak dan ternganga, ketika Lee Cin sudah melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya. Sama sekali Yasuki tidak mengerti bagaimana kedua punggung tangannya terluka sehingga dia terpaksa melepaskan pedangnya.

"Heii, Yasuki-san! Engkau sudah melepaskan samuraimu, berarti engkau sudah kalah dan yang harus kau lakukan sekarang adalah membayar kekalahanmu dan minta maaf kepada Nona Souw!" teriak Tin Han dengan gembira sekali.

Semua anggauta keluarga Cia yang lain hanya memandang dengan alis berkerut, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata. Yasuki menjadi merah sekali mukanya. Dia mengambil samurainya yang tergeletak di lantai, memasang kembali ke punggungnya, dan dia lalu menjura sangat dalam terhadap Lee Cin sambil berkata dengan suara yang lirih,

"Saya Yasuki minta maaf sebesar-besarnya kepada Nona Souw!" Dia membungkuk sampai dalam.

"Sudahlah, lupakan semua itu!" kata Lee Cin yang tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga di rumah itu. Kedatangannya untuk minta maaf, malah dia yang dimintai maaf!

"Saya berpamit dari keluarga Cia, biar lain kali saja kita bertemu dan bicara!" Setelah berkata demikian, kembali dia membungkuk lalu pergi dari situ dengan cepat.

Setelah orang Jepang itu pergi, Tin Han tertawa gembira, "Hemm, baru tahu rasa dia, meremehkan Cin-moi!"

"Tin Han, engkau tukang mencari urusan Si Berandal yang hanya membikin ribut!" Nenek Cia berseru. "Hayo minggir kau, dan biarkan kami bicara dengan Nona Souw!"

Tin Han tersenyum dan melangkah mundur, mengambilkan sebuah kursi untuk Lee Cin, lalu mundur kembali dan duduk di atas kursinya yang tadi.

"Silakan duduk, Nona Souw!"

"Terima kasih, kedatanganku ini hanya untuk bicara sedikit kepada keluarga Cia, terutama kepada Saudara Cia Tin Siong."

"Mau bicara apakah. Silakan, kami semua adalah anggauta keluarga Cia, tidak ada orang lain."

"Saya ingin minta maaf kepada semua keluarga Cia, terutama kepada saudara Cia Tin Siong, bahwa saya pernah menuduh dia sebagai Si Kedok Hitam yang tadinya saya cari. Saya hanya ingin agar keluarga Cia dapat menyampaikan kepada Si Kedok Hitam, siapa pun dia, bahwa mulai saat ini saya tidak lagi mencari dan memusuhinya, dan saya telah memaafkan perbuatannya melukai ayah saya. Nah, saya telah cukup bicara. Permisi, saya harus segera melanjutkan perjalanan saya."

"Eh-eh, nanti dulu, Cin-moi. Setelah permusuhan dengan Si Kedok Hitam tidak ada lagi berarti kecurigaanmu terhadap keluarga kami juga sudah tidak ada, mari silakan duduk dan kita rayakan ini dengan makan bersama. Nenek, Ayah Ibu dan para paman sudah tentu setuju."

Semua anggauta keluarga itu mengangguk setuju. Mereka tidak dapat berbuat lain! Akan tetapi Lee Cin tetap tidak mau duduk dan ia memandang kepada Cia Tin Siong dengan perasaan bersalah.

"Maafkan, biarlah undangan ini kuterima untuk lain kali saja. Aku harus pergi, selamat tinggal!" Lee Cin cepat pergi dari ruangan makan itu, terus keluar rumah dan hendak meninggalkan kota Hui-cu.

Akan tetapi, baru saja ia tiba di pintu gerbang kota itu, terdengar seruan orang dari belakangnya, "Cin-moi... tunggu...!"

Siapa lagi kalau bukan Tin Han yang mengejarnya. Dengan napas terengah-engah Tin Han lari menghampirinya. "Cin-moi, sebelum engkau benar-benar pergi jauh, aku ingin bicara sedikit denganmu. Mari kuantar engkau keluar kota sambil bicara."

Sikap pemuda itu demikian sungguh-sungguh sehingga tidak ada alasan lagi bagi Lee Cin untuk menampik. Mereka berjalan keluar dari pintu gerbang, dan setelah tiba di tempat yang sunyi, Lee Cin bertanya, "Apa yang hendak kau bicarakan, Han-ko?"

"Aku hanya ingin menyatakan kepuasan hatiku karena engkau telah menghajar kepada Jepang sombong itu! Benar-benar hatiku girang sekali karena aku amat tidak suka kepadanya."

Lee Cin berhenti melangkah dan memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian dan keheranan. "Mengapa begitu? Bukankah keluargamu amat menghormati dia bahkan menerimanya sebagai tamu terhormat dan menjamu makanan? Kenapa engkau tidak suka kepadanya?"

"Bukan hanya tidak suka, bahkan aku benci kepadanya."

"Hemm, benarkah itu, Han-ko? Terus terang saja, tanpa kusengaja aku sudah mendengar bahwa keluarga Cia bersekutu dengan Yasuki, juga dengan seorang perwira bernama Phoa-ciangkun. Bukankah begitu?"

Kini Tin Han. yang terbelalak mengamati wajah gadis itu. "Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Cin-moi?"

"Tanpa kusengaja, aku mendengar percakapan antara kedua orang pamanmu di taman dan Yasuki serta Phoa-ciangkun, bahkan mereka merencanakan untuk menyingkirkan atau membunuh Ji-taijin dan Un-ciangkun. Benarkah itu?"

Pemuda itu masih memandang kepada Lee Cin dengan mata terbelalak, kemudian menghela napas panjang dan berkata, "Kuakui bahwa keluargaku memang bersahabat dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun, akan tetapi tentang rencana itu, baru sekarang aku mendengar darimu. Itulah yang membuat aku merasa tidak senang kepada Yasuki dan Phoa-ciangkun."

"Kenapa tidak senang? Bukankah keluarga Cia sudah bersekutu dengan mereka, berarti engkau pun sudah bersahabat baik dengan mereka?"

"Justeru karena persekutuan itu maka aku membenci mereka! Aku setuju dengan semangat perjuangan nenekku, akan tetapi aku benci kalau mereka mengadakan persekutuan dengan para bajak kaut Jepang itu dan dengan panglima kerajaan yang hendak memberontak. Aku menghendaki perjuangan yang murni, hanya mengerahkan tenaga rakyat jelata yang terjajah, bukan bersekutu dengan segala perkumpulan orang jahat dan dengan pengkhianat. Karena itulah, maka aku sengaja mengadu antara Yasuki dan engkau karena aku yakin bahwa engkau tentu akan dapat mengalahkan dia."

"Hemm, permintaanmu berbahaya sekali, Han-ko. Bagaimana seandainya aku yang kalah?"

"Aku tidak akan mengadu engkau dengan dia kalau aku tidak yakin bahwa engkau pasti menang."

"Bagaimana engkau dapat memastikan hal itu? Engkau tidak mengenal tingkat ilmu silat."

Pemuda itu tersenyum lebar. "Apa kau kira aku sebodoh itu, Cin-moi? Aku yakin engkau dapat menang karena sebelumnya aku bertanya kepada Nenek tentang tingkat kepandaian Yasuki di bandingkan dengan tingkatmu dan tingkat Kakak Tin Siong. Kata Nenek, melawan Siong-ko saja belum tentu Yasuki akan dapat menang, apalagi melawan engkau."

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu, Han-ko, dan kuharap engkau suka berterus terang kepadaku!"

"Tanyalah dan akan kujawab sedapat mungkin."

"Dapatkah engkau memberitahu, siapa sebetulnya Si Kedok Hitam itu? Aku yakin bahwa dia adalah seorang di antara anggauta keluarga Cia."

"Eh? Bukankah engkau katakan bahwa engkau sudah tidak hendak menyelidiki atau mencari dia lagi, bahkan engkau sudah memaafkannya ketika dia melukai ayahmu dan sudah tidak ada permusuhan lagi?"

"Benar, kata-kataku itu masih berlaku. Akan tetapi aku sungguh ingin tahu sekali siapa sebenarnya dia yang begitu lihai. Dia pasti anggauta keluarga Cia, bukan?"

"Kenapa engkau dapat menduga begitu, Cin-moi?"

"Keluarga Cia merencanakan untuk menyingkirkan Ji-taijin dan Un-ciangkun, dan dua kali aku melihat Si Bayangan Hitam hendak memasuki gedung tempat Ji-taijin pada malam hari. Bukankah hal itu sudah cocok sekali? Tentu dia akan melaksanakan rencana itu!"

Tin Han mengerutkan alisnya dan menggosok-gosok dahinya. "Cin-moi, di antara keluarga Cia, orang yang paling tinggi kepandaiannya adalah Nenek Cia dan Kakak Tin Siong. Engkau sudah pernah bertanding dengan keduanya dan engkau pernah pula bertanding dengan Si Kedok Hitam. Nah, siapa di antara kakak dan nenekku itu yang kepandaiannya setingkat dan mirip dengan kepandaian Si Kedok Hitam?"

"Tidak satu pun di antara keduanya. Aku percaya bahwa Si Kedok Hitam bukan nenekmu dan bukan pula kakakmu. Akan tetapi lalu siapakah?"

"Ha-ha-ha, jangan-jangan engkau menyangka aku orangnya! Tidak lucu kalau begitu, Cin-moi, kalau engkau sudah menghilangkan permusuhanmu dengan Si Kedok Hitam, kenapa engkau masih saja bertanya-tanya siapa dia? Jelas dia tidak ingin kau kenal, kenapa engkau masih penasaran?"

Wajah Lee Cin berubah merah. "Aku hanya ingin tahu, Han-ko. Aku ingin sekali mengenal orang yang telah menolongku. Akan tetapi sudahlah kalau engkau tidak tahu. Benar pula katamu. Dia tidak ingin kukenal, mengapa aku mendesaknya?" Gadis itu menghela nafas panjang, lalu berkata kepada Tin Han, suaranya menjadi riang kembali, "Nah, sekarang selamat tinggal, Han-ko. Terima kasih atas segala kebaikanmu padaku."

"Selamat jalan, Cin-moi. Baik-baiklah engkau menjaga dirimu dan kalau engkau kebetulan lewat di daerah ini, jangan lupa untuk singgah di rumah kami."

"Tentu saja, Han-ko. Selamat berpisah." Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan pemuda itu cepat-cepat. Agaknya kalau ia dekat dengan pemuda itu, tidak akan habis-habisnya percakapan di antara mereka. Pemuda itu amat ramah dan merupakan seorang kawan bercakap yang menyenangkan sekali. Ia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa ia lebih tertarik kepada Tin Han daripada kepada Tin Siong.

Berdekatan dengan Tin Han mendatangkan rasa gembira dan tenteram, sebaliknya kalau is teringat akan ancaman Tin Siong kepada Tin Han agar tidak mendekatinya, membuat ia merasa tidak suka kepada Tin Siong yang tampan, lembut dan lihai itu.

Akan tetapi ia pun sadar bahwa ia tidak akan dapat serasi dengan Tin Han. Ia seorang pesilat yang kasar, sedangkan Tin Han seorang terpelajar yang demikian lembut, sopan dan gembira walaupun kadang nampak ugal-ugalan.

Bahkan kalau Tin Han bersikap akrab dan agak mesra, ia tidak akan tersinggung karena pemuda itu melakukannya dengan sewajarnya, tidak dibuat-buat untuk menarik hatinya, juga ia melihat keberanian yang luar biasa pada diri Tin Han yang tak pandai silat itu.


Souw Hwe Li memandang kepada pemuda itu dengan mata bersinar-sinar menunjukkan kemarahannya. Akan tetapi, Siangkoan Tek, pemuda itu, hanya tersenyum saja.

"Sekali lagi kumohon dengan sangat, marilah kita pergi ke Poa-ting dan kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku, Tek-ko," kata Hwe Li dengan suara memohon.

"Dan sekali lagi kukatakan kepadamu bahwa sekarang belum tiba saatnya bagiku untuk berkenalan dengan ayahmu. Bersabarlah dulu, Li-moi. Kelak kalau saatnya sudah tiba tentu aku akan datang menghadap ayah ibumu."

"Sampai kapan lagi, Tek-ko?" tanya Hwe Li penasaran. "Selama hampir setahun aku ikut denganmu, menuruti segala keinginanmu. Sudah semestinya kalau sekarang engkau ikut aku menghadap orang tuaku dan mengajukan pinangan secara resmi."

"Tunggu, kataku! Sekarang aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan!"

"Akan tetapi kita telah berjodoh, Tek-ko! Bukankah aku telah menjadi isterimu walaupun belum resmi? Aku telah menyerahkan segalanya kepadamu, dan sampai sekarang, hampir setahun aku melayani semua kehendakmu, dan belum pernah engkau memperkenalkan aku kepada orang tuamu dan engkau selalu menolak kalau kuajak menghadap orang tuaku. Sebetulnya, apa sih kehendakmu atas diriku, Tek-ko?"

Siangkoan Tek mengerutkan alisnya. Memang tidak ada sedikitpun juga keinginannya untuk memperisteri Hwe Li. Ia hanya ingin mendapatkan Hwe Li, bersenang-senang dengannya tanpa harus menikahinya. Kalau dia hendak menikah tentu dia akan memilih seorang wanita yang benar-benar pantas untuk menjadi isterinya, yang selain cantik tentu juga yang memiliki ilmu silat tinggi dan seorang wanita yang tidak begitu mudah menyerahkan kehormatannya seperti yang dilakukan Hwe Li. Dia tidak mau mempunyai seorang isteri gadis murahan.

"Apa kehendakku, Li-moi? Engkau sudah tahu akan kehendakku dan kehendakmu. Kita saling mencinta, bukan? Aku tidak pernah memaksamu untuk ikut dengan aku. Engkau menyerahkan diri dengan sukarela. Mengapa sekarang banyak menuntut? Kalau engkau sudah bosan denganku dan hendak pulang ke Pao-ting, pulanglah, aku tidak akan menahanmu."

Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan muka yang cantik itu menjadi pucat. "Apa..... apa maksudmu.....?"

"Maksudku sudah jelas. Selama ini, kita saling mencinta dan saling memberi kenikmatan, engkau mau apa lagi? Hubungan antara kita adalah hubungan yang sukarela, tidak ada yang dipaksa atau memaksa. Karena itu, kalau seorang di antara kita menghendaki perpisahan, ia boleh melakukan sesuka hatinya. Kalau engkau sudah tidak suka lagi padaku, pergilah tinggalkan aku."

"Siangkoan Tek, omongan apa yang kau keluarkan ini? Selama setahun aku menyerahkan diri dengan segala kerelaan kepadamu, dan sekarang, setelah engkau puas mempermainkan aku, engkau hendak mengusir aku? Jadi engkau tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau mengawini aku?"

"Aku tidak pernah bicara tentang perkawinan, tidak pernah menjanjikan apa-apa padamu. Ingat ini! Dan sekarang diamlah, jangan ribut. Engkau tinggal pilih satu antara dua. Kita tetap berkumpul seperti ini, atau kita menghambil jalan masing-masing. Kalau engkau masih ribut, aku bisa kehilangan kesabaran dan engkau akan kupukul!"

Bukan main terkejut dan marahnya hati Hwe Li. Ia merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Selama hampir setahun ini ia telah melayani segala keinginan Siangkoan Tek, sebagai seorang kekasih, bahkan sebagai seorang isteri, dengan penuh cinta kasih.

Sekarang, setelah hampir setahun ia dipermainkan, bagaikan setangkai bunga yang dihisap madunya oleh seekor lebah, tiba-tiba akan ditinggalkan begitu saja melayu oleh lebah yang sudah kekenyangan madu! Ia meninggalkan ayah ibunya, keluarganya untuk mengikuti pria ini dan sekarang ia hendak dicampakkan begitu saja.

"Siangkoan Tek, keparat kau!!" teriaknya dan ia pun melompat ke depan sambil menusukkan pedangnya yang ia cabut dari pinggangnya. Akan tetapi, sekali tangkis pedang itu terlepas dari pegangan Hwe Li dan di lain saat Hwe Li sudah terjatuh ke dalam pelukannya tanpa dapat meronta lagi!

Setelah dibelai dan dicumbu Siangkoan Tek, Hwe Li tidak berkutik lagi! Telah beberapa kali ia membujuk kekasihnya untuk pergi menghadap orang tuanya, akan tetapi selalu berakhir dengan kekalahannya, berakhir di dalam dekapan pemuda itu dan telah menjadi lemah lunglai semua syaraf dan semangatnya.

Akan tetapi mulai mengertilah ia betapa dirinya telah terjatuh ke dalam cengkeraman pemuda yang berhati iblis. Ia sama sekali tidak berdaya dan ia maklum bahwa pemuda itu tidak pernah mau berjodoh dengannya. Hal ini mulai ia rasakan dan hatinya menjadi panik dan gelisah. Bagaimana kalau tiba-tiba Siangkoan Tek meninggalkannya begitu saja?

Ke mana ia harus mencarinya, dan andaikata ia dapat mencarinya, apa yang dapat ia lakukan? Ia telah menyerahkan diri dan ia sama sekali tidak dapat memaksa pemuda itu untuk menikahinya. Ia hanya dijadikan benda permainan dan pemuas nafsu belaka. Teringat akan semua ini, barulah Hwe Li sadar akan semua kesalahannya. Barulah ia menyesal, akan tetapi penyesalannya tidak akan menolongnya.

Sedikit demi sedikit rasa sakit hati memenuhi hatinya. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Kepandaiannya kalah jauh sehingga ia tidak mampu berbuat apa-apa untuk memaksa pemuda itu menikahinya. Beberapa kali timbul niat di hatinya untuk membunuh Siangkoan Tek. Akan tetapi, niat itu selalu gagal.

Pertama, ia memang telah tergila-gila kepada pemuda itu dan ke dua, apa keuntungannya kalau ia membunuhnya? Ia telah ternoda dan jalan satu-satunya baginya hanyalah bahwa ia harus menikah dengan Siangkoan Tek. Akan tetapi Siangkoan Tek selalu mengingkarinya dan ia juga selalu tunduk kepada pemuda itu.

Sikap dan tindakan pemuda itu membuatnya selalu merasa lemah, walaupun kalau diingat amat menyakitkan hatinya. Hati Hwe Li sakit dan menyesal sekali. Agaknya sudah tidak ada pilihan lain baginya kecuali menuruti semua kehendak Siangkoan Tek. Kalau ia meninggalkan pemuda itu, ke mana ia hendak pergi? Pulang ke rumah orang tuanya seorang diri dengan membawa noda. Ia merasa malu sekali.

Terpaksa ia harus menuruti segala kehendak pemuda itu kepada siapa ia kini menumpangkan dirinya. Ia hanya dapat menangis. Akan tetapi ia tahan sedu-sedannya dan hanya air matanya yang mengalir turun di sepanjang kedua pipinya. Ia bangkit duduk dan memandang wajah Siangkoan Tek yang tertidur pulas di sampingnya. Wajah yang tampan dan gagah, namun wataknya tidak setampan wajahnya.

Kalau ia mengamati wajah itu, hatinya luluh dan harus ia akui bahwa ia amat mencinta Siangkoan Tek. Akan tetapi kalau mengingat betapa ia dipermainkan, dijadikan pemuas nafsu tanpa pemuda itu mau bertanggung jawab, hatinya seperti ditusuk-tusuk pedang beracun. Ingin sekali ia tusuk dada Siangkoan Tek untuk membalas sakit hatinya. Tangannya sudah dijulurkan ke atas meja dekat pembaringan di mana pedangnya berada.

Pada saat itu, ingin ia membunuh Siangkoan Tek lalu nekat pulang ke Pao-ting. Kota itu tidak begitu jauh dari rumah tinggal sementara mereka. Siangkoan Tek membeli pondok itu dan sudah selama dua bulan mereka tinggal di pondok sunyi di lereng bukit itu. Ia tahu bahwa kota Pao-ting tidak jauh lagi, hanya perjalanan sehari saja dari situ.

Tangannya sudah dijulurkan, akan tetapi jari-jari tangannya gemetar, menggigil karena perasaannya yang tegang dan serba salah. Rasa cinta dan benci membuatnya bingung, ditambah rasa takut karena pemuda itu lihai bukan main. Ia tidak dapat menentukan apakah pemuda itu pulas ataukah masih sadar.

Suara angin di luar rumah berdesir seolah berbisik-bisik agar ia cepat melaksanakan kehendaknya. Rumah itu sunyi sekali, jauh dari tetangga, bahkan di siang hari itu suasana amat sunyi. Hwe Li masih menjulurkan tangannya tanpa menyentuh gagang pedangnya. Tidak, ia menarik kembali tangannya.

Ia tidak tega membunuh pria yang sesungguhnya telah membuat tergila-gila ini, akan tetapi yang sekaligus membuat hatinya tersiksa. Saking jengkelnya terhadap diri sendiri, ia lalu memukuli kepala Siangkoan Tek dengan kedua tangannya!

Siangkoan Tek terkejut dan terbangun dari tidurnya. Melihat Hwe Li sambil menangis memukuli kepalanya, dia melompat dan cepat menangkap kedua pergelangan tangan Hwe Li sambil membentak, "Apa engkau sudah gila?"

"Engkau laki-laki jahanam, berhati palsu!" Hwe Li meronta-ronta dan memaki-maki seperti gila.

Siangkoan Tek lalu melepaskan tangan kanannya, menyambar rambut Hwe Li dan menyeret gadis itu keluar dari pondok. Dengan menjambak rambut yang panjang itu, dia setengah mengangkat setengah menyeret tubuh gadis itu sampai agak jauh dari pintu pondok, lalu dihempaskan tubuh itu ke atas tanah.

"Huh, engkau seperti seekor kelinci dan aku seekor garuda! Apa yang dapat kau lakukan padaku? Akan tetapi, garuda ini sudah kekenyangan, maka engkau boleh pergi ke mana pun engkau suka. Pergi, tinggalkan aku! Aku sudah muak padamu!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Tek dengan marah membalikkan tubuhnya hendak kembali ke pondok.

Hwe Li bangkit merangkak lalu mengejar, terhuyung-huyung. "Tek-ko, jangan tinggalkan aku...! Aku tidak dapat hidup tanpa engkau....!" Ia dapat menyusul Siangkoan Tek lalu memegang tangan pemuda itu. Siangkoan Tek membalik lalu mendorong tubuh Hwe Li sehingga terjengkang dan roboh kembali.

"Tek-ko...!" Hwe Li kembali merangkak dan mengejar.

Siangkoan Tek menggerakkan kakinya menendang. "Desss...!" Bagaikan sebuah bola tubuh Hwe Li kembali terguling-guling.

"Tek-ko, bunuhlah aku... akan tetapi jangan usir aku..." Hwe Li bangkit, menghapus darah dari tepi bibirnya dan menangis.

Sepasang mata yang tajam berapi seperti mata seekor rajawali melihat semua peristiwa di luar pondok itu. Ketika memperhatikan wajah Hwe Li, mata itu terbelalak dan mengeluarkan sinar kilat...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.