Dewi Ular Jilid 11
"HWE LI…!" bisiknya.
Pemilik mata yang tajam berapi itu adalah seorang gadis cantik yang berpakaian sederhana. Dan ia bukan lain adalah Lui Ceng atau Ceng Ceng!
Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng pernah tertawan oleh Ouw Kwan Lok yang tertarik kepadanya dan hendak memaksa gadis itu menjadi kekasihnya. Dalam keadaan yang gawat terancam itu, muncul Thian-tok Gu Kiat Seng, datuk besar dari barat itu yang menolongnya dan berhasil mengusir Ouw Kwan Lok.
Dan semenjak saat itu, Ceng Ceng menjadi murid Thian-tok Gu Kiat Seng, datuk yang berusia lima puluh dua tahun itu. Biarpun baru digembleng selama setahun, akan tetapi karena Ceng Ceng sudah memiliki dasar gemblengan pamannya, Souw Can, dan karena gadis itu berbakat baik dan bersemangat besar tekun berlatih.
Maka dalam waktu sependek itu ia telah memperoleh kemajuan pesat sekali, terutama mengenai sin-kang yang amat kuat dan gin-kang yang membuat ia mampu bergerak cepat. Ia masih merantau bersama gurunya ketika pada hari itu secara kebetulan ia tiba di bukit itu dalam perjalanannya menuju ke Pao-ting untuk menjenguk keadaan pamannya.
Ketika mendengar suara ribut-ribut di dalam pondok, ia tertarik dan cepat mendekati lalu bersembunyi di balik semak-semak. Ketika Siangkoan Tek menjambak rambut Hwe Li dan menyeretnya keluar, ia melihatnya dan pandang matanya tak pernah melepaskan kedua orang itu sehingga ia melihat apa yang dilakukan Siangkoati Tek kepada gadis itu.
Akan tetapi baru setelah ia mengamati wajah gadis itu dan mengenalnya sebagai Hwe Li, ia terkejut sekali dan cepat ia meloncat dari tempat sembunyinya dan membentak nyaring,
"Keparat busuk, berani engkau menghina saudaraku Hwe Li?" sambil membentak Ceng Ceng menggerakkan kebutannya, senjata yang dipelajarinya dari Thian Tok. Kebutan berbulu merah ini menyambar dengan dahsyat, mengeluarkan suara bersuitan ketika menyambar ke arah kepala Siangkoan Tek.
"Suiiit…!" Siangkoan Tek terkejut juga melihat serangan yang dahsyat itu. Dia cepat melompat ke belakang untuk melihat dengan jelas siapa orangnya yang menyerangnya. Dia melihat seorang gadis yang berwajah manis sekali, memegang sebatang kebutan dan memandang dengan mata yang tajam bersinar. Dia tersenyum dan segera berkata dengan suara lembut,
"Wahai nona manis, mengapa engkau menyerangku tanpa sebab? Rasanya aku belum pernah mendapatkan kebahagiaan untuk berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona manis, dan mengapa engkau menyerangku?"
Hwe Li yang terkejut melihat munculnya Ceng Ceng merasa khawatir akan keselamatan saudara misannya itu, maka cepat berseru, "Ceng Ceng, jangan hiraukan dia! Cepat engkau pergi dari sini!"
Ceng Ceng tidak merasa heran mendengar ucapan itu. Ia sudah terbiasa diperintah dan dibentak-bentak saudara misannya. Akan tetapi sekali ini ia melihat sendiri betapa Hwe Li dijambak, dihina, dipukul dan ditendang. Bagaimana mungkin ia dapat tinggal diam saja?
"Aha, namamu Ceng Ceng, Nona? Nama yang indah, seindah orangnya!" kata Siangkoan Tek merayu.
"Hwe Li, jangan khawatir, aku akan membantumu bebas dari manusia keparat ini!" Ceng Ceng sudah membentak dan kembali ia menyerang dengan kebutannya.
Siangkoan Tek terpaksa cepat mengelak dan harus ia akui bahwa gadis bernama Ceng Ceng ini memiliki gerakan yang sangat cepat dan dari suara angin sambaran kebutan itu dia pun dapat menilai bahwa gadis itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat.
Ceng Ceng menyerang terus bertubi-tubi akan tetapi semua serangannya dapat dielakkan oleh Siangkoan Tek. Pemuda ini maklum bahwa gadis ini harus dapat ditundukkan, karena ilmunya lebih tinggi daripada tingkat Hwe Li. Akan tetapi dia pun mengalami kesulitan untuk dapat menundukkan Ceng Ceng dengan cepat. Kebutan itu lihai bukan main.
Dengan gerakan cepat sekali, tangan kanan Siangkoan Tek berhasil menangkap ujung kebutan. Selagi dia hendak menariknya untuk merampas kebutan itu, tiba-tiba Ceng Ceng menotokkan gagang kebutan ke arah pergelangan tangannya.
"Hyaaat....!" Kebutan yang ujung bulunya sudah ditangkap tangan kanan Siangkoan Tek itu, tiba-tiba meluncur dengan cepat menotok pergelangan tangan pemuda itu. Tentu saja Siangkoan Tek menjadi terkejut sekali.
"Ehhh…!!" Terpaksa dia melepaskan pegangannya dan memutar lengannya untuk menangkis totokan gagang kebutan itu.
"Dukk......!" Pertemuan lengan dengan gagang kebutan membuat Siangkoan Tek terhuyung dan tangannya tergetar, sebaliknya Ceng Ceng juga terdorong ke belakang. Maklumlah keduanya bahwa lawan memiliki tenaga sin-kang yang kuat.
Ilmu kepandaian Ceng Ceng memang sudah maju pesat sekali selama satu tahun ini, namun dibandingkan dengan Siangkoan Tek, ia masih kalah. Apalagi ketika Siangkoan Tek yang mengetahui akan kelihaian kebutan itu kini mencabut pedangnya. Terjadilah pertandingan yang hebat sekali namun setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah Ceng Ceng terdesak hebat.
Pedang Siangkoan Tek berubah menjadi sinar yang menyilaukan mata, bergulung-gulung dan menyambar-nyambar. Ceng Ceng mencoba untuk mengimbanginya dengan gerakan kebutannya yang menjadi gulungan sinar merah. Akan tetapi perlahan-lahan sinar merah itu menjadi semakin kecil dan gerakannya hanya untuk melindungi diri saja.
"Nona manis, menyerahlah sebelum pedangku melukaimu! Sayang kalau kulitmu yang halus itu sampai tergores pedangku!" Siangkoan Tek mengejek sambil merayu.
"Ceng Ceng, larilah!" kata lagi Hwe Li dan dengan nekat ia menubruk ke arah Siangkoan Tek.
Pemuda itu menyambutnya dengan sebuah tendangan yang membuat Hwe Li terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Maklum bahwa ia tidak akan menang, Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri. Ia harus mencari bala-bantuan kalau ingin berhasil menolong Hwe Li.
Gurunya berada di puncak bukit itu menunggunya. Ia berpamit dari gurunya untuk berkunjung ke Pao-ting sebentar dan gurunya akan menunggu sampai tiga hari di sana. Tempat gurunya itu tidak berapa jauh dari lereng itu, akan tetapi watak gurunya amat aneh. Belum tentu gurunya mau membantu untuk menolong gadis yang sama sekali tidak dikenalnya. Kalau gurunya menolak, siapa pun tidak dapat memaksanya.
Maka sebaiknya kalau ia minta bantuan ke Pao-ting saja. Dengan pikiran ini, Ceng Ceng lalu berlari cepat menuju ke kota Pao-ting. Demikian cepat ia berlari sehingga menjelang sore ia sudah tiba di pekarangan rumah pamannya, yaitu Souw Can Ketua Kim-liong-pang.
Beberapa orang anggauta Kim-liong-pang yang berada di pekarangan itu menyambut kedatangan Ceng Ceng dengan gembira. Mereka semua sudah mendengar bahwa Nona Liu Ceng telah menjadi murid seorang datuk besar, maka kini kedatangan Ceng Ceng setelah setahun rnereka meninggalkan rumah pamannya, disambut dengan gembira.
"Nona Liu datang!" teriak mereka dan segera berita ini sampai ke dalam rumah induk.
Dari dalam muncul Souw Can dan isterinya, juga Lai Siong Ek. Mereka bertiga muncul dan dapat dilihat betapa wajah ketiganya murung. Tentu ini ada hubungannya dengan keadaan Hwe Li.
"Paman dan Bibi!" Ceng Ceng berseru lirih sambil memandang wajah mereka.
"Ceng Ceng engkau baru kembali?" tanya pula Lai Siong Ek sarnbil memandang gadis itu dengan sinar mata kagum. Dalam pandangannya, sikap gadis itu berubah, tidak lagi merendahkan diri seperti dulu, melainkan ada sikap tegak dan anggun seperti penuh kepercayaan kepada diri sendiri.
"Ceng Ceng, tahukah engkau bahwa Hwe Li!" kata Nyonya Souw sambil menangis.
Ceng Ceng merangkul tubuh bibinya dan berkata menghibur, "Aku sudah tahu, mari kita bicara di dalam, Paman." Ia menuntun bibinya memasuki rumah itu, diikuti oleh Souw Can dan Lai Siong Ek.
Setelah mereka tiba di ruangan dalam, Souw Can bertanya, "Ceng Ceng, engkau sudah tahu akan keadaan Hwe Li? Di manakah ia sekarang?"
"Aku justeru datang untuk bicara tentang Hwe Li. Aku hendak minta bantuan Paman untuk merampas kembali Hwe Li dari tangan pemuda jahat itu."
"Merampas Hwe Li dari tangan pemuda jahat itu? Apa yang telah terjadi dengan Hwe Li? Cepat ceritakan!" teriak Lai Siong Ek dengan gelisah.
"Ceritakan, Ceng Ceng. Apa yang telah terjadi dengan Hwe Li dan di mana ia sekarang?"
"Tidak begitu jauh dari sini, Paman. Harap persiapkan bala bantuan karena Hwe Li berada di tangan seorang pemuda yang sangat lihai. Aku telah mencoba untuk membebaskan Hwe Li, akan tetapi aku tidak dapat menandingi pemuda itu?"
"Pemuda yang menculiknya itu? Di mana dia dan Hwe Li? Biar aku menyiapkan pasukan!" kata Lai Siong Ek.
"Tenanglah, Siong Ek. Engkau pergilah cepat untuk mempersiapkan pasukan, lalu bawa ke sini agar kita dapat mengikuti Ceng Ceng yang akan menunjukkan tempatnya," kata Souw Can dengan tenang walaupun hatinya juga gelisah dan tegang. Sudah hampir setahun Hwe Li lenyap diculik orang dan tidak pernah ada kabar berita darinya. Sekarang, tiba-tiba muncul Ceng Ceng yang tahu di mana puterinya itu berada, tentu saja dia menjadi tegang dan gelisah.
Siong Ek cepat keluar, melapor kepada ayahnya dan minta disediakan pasukan seratus orang. Dulu ketika membawa pasukan dan mengejar pemuda yang menculik Hwe Li, pemuda itu dapat membebaskan diri dari kepungan sambil melarikan gadis itu dan sejak itu, tidak ada lagi beritanya tentang Hwe Li walaupun ayahnya sudah mengirim banyak anak buah pasukan untuk mencari.
Selagi Siong Ek keluar dan mereka menanti datangnya pasukan, Souw Can minta kepada Ceng Ceng untuk menceritakan tentang Hwe Li. Ceng Ceng tidak tega untuk menceritakan seluruhnya, betapa Hwe Li disiksa oleh pemuda liha itu. Ia hanya menceritakan bahwa ia melihat Hwe Li dikeram dalam sebuah pondokan di lereng bukit oleh seorang pemuda yang amat lihai.
"Karena aku tidak mampu menandinginya, maka terpaksa aku melarikan diri ke sini untuk minta bala bantuan," demikian Ceng Ceng menutup ceritanya.
Tak lama kemudian, Lai Siong Ek muncul kembali membawa seratus orang perajurit berkuda, dipimpin oleh seorang perwira tinggi. Setelah membuat persiapan, berangkatlah seratus orang perajurit itu dipimpin oleh Sang Perwira, Souw Can, Lai Siong Ek, dan Ceng Ceng sendiri. Mereka semua menunggang kuda dan sore hari itu juga mereka melakukan perjalanan menuju ke bukit di mana Hwe Li dikeram oleh Siangkoan Tek.
Menjelang pagi, rombongan tiba di kaki bukit itu dan Ceng Ceng memberi keterangan agar pasukan dibagi empat dan mereka menghampiri pondok di lereng itu dari empat jurusan. Setelah tiba dekat pondok, para perajurit itu bersembunyi dan menanti perintah selanjutnya. Kuda mereka ditinggalkan di kaki bukit dan dijaga selosin orang perajurit.
Ceng Ceng yang tidak ingin pemuda yang menawan Hwe Li itu dapat meloloskan diri, menanti sampai terang tanah, barulah ia memberi isyarat kepada Souw Can untuk mengikutinya. Lai Siong Ek juga mengikuti untuk membantu dan per-wira memimpin pasukan yang sudah siap.
Setelah cuaca terang benar dan tidak ada suara atau gerakan apa pun di dalam pondok itu, Ceng Ceng berseru sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya terdengar melengking tinggi dan terdengar sampai jauh.
"Penculik keparat! Menyerahlah, pondokmu telah dikepung ketat dan engkau tidak dapat meloloskan diri!"
Terdengar gerakan di dalam pondok dan ini dapat didengar karena semua pengepung berdiam diri dan memperhatikan suara dari pondok yang mereka kepung. Terdengar jerit lirih dan tak lama kemudian pintu pondok terbuka lebar dan muncullah Hwe Li yang sebelah tangannya dipegang oleh Siangkoan Tek dan dengan tangan yang lain pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu. Dia sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum dan berkata lantang,
"Kalian buka jalan untuk aku keluar dari kepungan, atau Nona Souw Hwe Li ini akan kubunuh di depan kalian sebelum aku mengamuk dan membunuh kalian semua!"
Melihat wajah puterinya yang pucat dan rambut serta pakaiannya yang awut-awutan hati Souw Can seperti diremas. Dia lalu berteriak lantang, "Orang muda, siapakah engkau? Di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau menculik anak kami?"
Siangkoan Tek hanya menyeringai dan mengulangi permintaannya, "Hayo, buka kepungan kalau tidak ingin melihat gadis ini kusembelih di depan kalian!"
Mendengar ini dan melihat sikap pemuda yang tersenyum mengerikan itu, Souw Can minta kepada perwira komandan pasukan untuk membuka kepungan. "Kami membuka kepungan, akan tetapi engkau harus melepaskan Hwe Li!"
Siangkoan Tek mendorong Hwe Li sampai tiba di tempat di mana kepungan itu terbuka, dan dia lalu berkata, "Hwe Li, engkau boleh pergi sekarang, aku sudah bosan denganmu!" Dan dia mendorong Hwe Li sehingga gadis itu terpelanting. Siangkoan Tek lalu melompat jauh dan melarikan diri.
"Kejar! Kejar jahanam itu!" teriak Ceng Ceng dan ia sendiri ikut mengejar bersama para perajurit. Akan tetapi Siangkoan Tek telah menghilang ke dalam hutan di lereng bukit.
Souw Can lari menghampiri puterinya. Dia membantu puterinya bangkit sambil memeluknya. "Hwe Li....!"
"Ayah… Ayah....!" Hwe Li merangkul ayahnya dan menangis tersedu-sedu. Demikian sedih hatinya, demikian hancur perasaannya sehingga ia menangis mengguguk kemudian pingsan dalam rangkulan ayahnya.
Souw Can memondong tubuh puterinya dan membawa masuk ke dalam pondok yang sudah ditinggalkan pemiliknya itu. Dia merebahkan tubuh puterinya di atas pembaringan dan dia sendiri duduk di tepi pembaringan, menunggu puterinya siuman dari pingsannya. Dia tahu bahwa Hwe Li pingsan karena kedukaan, maka dia mendiamkannya saja karena tangis dan pingsan merupakan pencurahan dan kesedihan yang mendalam.
Akhirnya, setelah lama Souw Can menunggui puterinya yang kelihatan kurus dan agak pucat itu, Hwe Li siuman dari pingsannya. Bagaikan baru bangun tidur ia mengeluh, "Jangan tinggalkan aku.....!"
Ayahnya lalu memegang kedua pundaknya dan mengguncangnya perlahan. "Hwe Li, ingat, ini ayahmu."
Hwe Li membuka matanya dan ketika ia melihat ayahnya, ia lalu bangkit duduk. "Ayah…. Ayah…!" Ia menangis lagi, mengguguk.
"Hwe Li, tenanglah, diamlah jangan menangis. Semua itu telah lewat dan engkau telah kembali kepadaku."
Akan tetapi Hwe Li teringat betapa dirinya sudah ternoda, selama setahun ia telah menjadi benda permainan dan pemuas nafsu Siangkoan Tek. Hal itu dianggapnya bukan siksaan kalau saja Siangkoan Tek mau mengawininya karena ia pun tergila-gila kepada pemuda itu.
Akan tetapi kenyataannya, Siangkoan Tek membuangnya sebagai barang bekas yang tidak dibutuhkannya lagi! Teringat demikian, ia merasa tidak berharga lagi untuk kembali menjadi puteri ayahnya. Melihat pedangnya menggeletak di atas meja, ia cepat meloncat dan menyambar pedangnya.
"Hwe Li, jangan…!" Souw Can berteriak nyaring sarnbil berusaha merebut pedang itu dari tangan puterinya.
Pada saat itu, Lai Siang Ek dan Ceng Ceng memasuki pondok dan melihat Hwe Li sudah mengayun pedang untuk menyerang lehernya sendiri, Ceng Ceng meloncat bagaikan burung terbang dan sekali sambar ia telah berhasil merampas pedang dari tangan Hwe Li.
Melihat ulah Hwe Li yang hendak membunuh diri, Lai Siong Ek lupa keadaan saking haru dan sedihnya. Dia langsung merangkul Hwe Li dan berkata, "Sumoi, jangan engkau membunuh diri... aku… aku cinta padamu, Sumoi."
Hwe Li dengan mata sayu memandang wajah suhengnya. Sejak dahulu ia tahu bahwa suhengnya ini amat mencintanya, akan tetapi selama itu tidak ditanggapi. "Suheng, aku bukan sumoimu yang dulu lagi… aku… aku telah ternoda… aku tidak berharga untukmu dan tidak berharga menjadi puteri Ayah..." Gadis itu menangis lagi.
"Tidak peduli, Sumoi. Engkau tetap Sumoi Souw Hwe Li untukku dan aku ingin engkau menjadi isteriku. Betapa selama setahun ini hatiku tersiksa dan sekarang setelah kami dapat menemukan engkau, jangan... jangan putus asa seperti itu, Sumoi."
Hwe Li merasa betapa tulus cinta kasih dari suhengnya itu. Biarpun sudah mendengar pengakuan bahwa ia telah ternoda, tetap saja suhengnya ingin memperisterinya!
"Suheng....!" Ia menangis dalam rangkulan Lai Siong Ek yang merasa bahagia bagaikan menemukan kembali sebuah mustika yang hilang.
Setelah tangis puterinya reda dan agaknya Hwe Li sudah tenang kembali, Souw Can bertanya kepada puterinya, "Sebetulnya siapakah jahanam itu?"
"Dia bernama Siangkoan Tek, dia adalah putera dari datuk besar Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga yang berjuluk Tung-hai-ong, datuk besar timur," kata Hwe Li lirih.
"Ah, pantas dia lihai sekali!" kata Ceng Ceng. "Akan tetapi aku akan tekun memperdalam ilmu silatku dan kelak kalau bertemu dengannya aku pasti akan membalas sakit hatimu, Hwe Li."
"Terima kasih, engkau telah berbuat banyak untukku, Ceng Ceng," kata Hwe Li dan baru ia menyadari betapa dulu, ia dan Siong Ek telah terlalu memandang rendah kepada gadis itu. Ternyata sekarang, yang menyelamatkannya adalah Ceng Ceng. Kalau tidak ada gadis itu, tentu sekarang ia masih menjadi tawanan Siangkoan Tek dan diperlakukan sebagai budak belian!
Setelah Hwe Li tenang kembali, mereka lalu pergi dikawal pasukan kembali ke Pao-ting, di mana Hwe Li disambut dengan rangkulan dan tangisan ibunya. Juga Ceng Ceng diterima dengan baik, apalagi kalau keluarga itu mengingat akan jasanya yang amat besar. Akan tetapi Ceng Ceng hanya tinggal semalam di rumah pamannya.
"Suhu menanti di puncak bukit, aku harus cepat ke sana seperti yang kujanjikan," kata Ceng Ceng ketika keluarga itu hendak menahannya.
"Ah, mengapa engkau tidak mengajak suhumu datang ke sini, Ceng Ceng? Kami ingin sekali bertemu dan memberi hormat kepadanya," kata Souw Can.
"Suhu berwatak aneh, Paman. Dia tidak ingin bertemu dan berkenalan dengan siapa pun. Nah, Paman dan Bibi, aku mohon diri sekarang, Hwe Li dan Lai-suheng, selamat tinggal."
Hwe Li merangkul Ceng Ceng dan berbisik, "Maafkanlah sikapku yang dahulu amat buruk kepadamu, Ceng Ceng."
Ceng Ceng balas merangkul dan mencium pipi saudara misannya. "Aku sudah melupakan segala masa laluku, Hwe Li. Kuharap engkau juga sudah melupakan semua masa lalumu dan hidup baru dengan penuh kebahagiaan."
Kemudian Ceng Ceng meninggalkan pamannya, melakukan perjalanan secepatnya menuju ke bukit di mana Thian-tok Gu Kiat Seng menunggunya selama tiga hari. Setelah bertemu gurunya, ia menceritakan semua pengalaman yang telah dialaminya dan betapa ia masih kalah dalam menandingi Siangkoan Tek, putera datuk besar Siangkoan Bhok yang berjuluk Tung-hai-ong.
Thian-tok tersenyum. "Tingkat kepandaian Siangkoang Bhok seimbang dengan tingkatku, maka aku disebut Datuk Barat dan dia disebut Datuk Timur. Karena engkau baru setahun menjadi muridku, tentu saja tingkatmu masih kalah dibandingkan tingkat puteranya. Akan tetapi kalau engkau tekun berlatih, aku akan menurunkan ilmu-ilmu simpananku kepadamu dan kalau engkau sudah menguasai ilmu-ilmu itu, kiranya tidak akan mudah putera Siangkoan Bhok itu mengalahkanmu."
Ceng Ceng menjadi gembira dan ia lalu melanjutkan perantauannya bersama gurunya sampai mereka menemukan sebuah bukit yang cocok untuk mereka jadikan sebagai tempat tinggal sementara.
Panglima Song Thian Lee segera menghadap Kaisar Kian Liong ketika Kaisar mengundangnya untuk menghadap ke istana. Setelah tiba di ruangan sidang di istana itu, dia melihat bahwa dua orang panglima lain, yaitu Panglima Tua Bouw Kin Sek dan wakilnya yang bernama Coa Kun telah hadir pula menghadap Kaisar. Kiranya bukan hanya dia seorang yang diundang, akan tetapi dua orang panglima besar lainnya sehingga mudah diduga bahwa Kaisar tentu akan membicarakan soal keamanan.
Panglima Tua Bouw Kin Sek adalah seorang Mancu, akan tetapi seperti juga Kaisar Kian Liong, dia telah menyesuaikan diri dengan kehidupan rakyat dijajahnya sehingga sampai ke dalam keluarganya di rumah mereka hidup seperti keluarga bangsawan bangsa Han saja.
Panglima Tua Bouw Kin Sek selain pandai mengatur pasukan dan cerdik dalam siasat perang, juga dia lihai dalam ilmu silat bercampur ilmu gulat bangsa Mancu. Tenaganya besar sekali dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun, namun sukar dicari orang yang mampu menandinginya. Tubuhnya tinggi besar dan wajahnya penuh brewok membuat penampilannya penuh wibawa dan membuat lawan-lawannya menjadi gentar.
Wakilnya, Panglima Coa Kun adalah seorang peranakan Han Mancu yang berusia empat puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya agak kepucatan. Biarpun penampilannya tidak mengesankan, namun sesungguhnya Panglima Coa Kun ini seorang yang amat cerdik. Siasatnya dalam perang banyak yang berhasil sehingga Kaisar Kian Liong menghargainya dan mengangkatnya menjadi wakil dari Panglima Bouw Kin Sek.
Juga Panglima Coa Kun ini lihai ilmu silatnya, biarpun tidak selihai tingkat Panglima Bouw Kin Sek, akan tetapi dia terkenal sebagai seorang yang memiliki lwee-kang (tenaga dalam) yang kuat sekali.
Setelah memberi hormat kepada Kaisar Kian Liong dan dipersilakan duduk, Panglima Song Thian Lee yang masih amat muda, baru berusia dua puluh tiga tahun, mengambil tempat duduk di sebelah kiri Panglima Bouw Kin Sek. Dia adalah panglima muda yang kedudukannya sebagai panglima besar, walaupun jauh lebih muda dari Panglima Bouw Kin Sek, akan tetapi kedudukannya lebih tinggi.
"Bagus, engkau sudah datang, Song-ciangkun." kata Kaisar Kian Liong sambil memandang kepada panglimanya ini dengan sinar mata gembira.
"Hamba siap siaga untuk melaksanakan segala perintah Paduka," kata Song Thian Lee dengan sikap hormat.
"Kami mengundangmu untuk mengajak bicara tentang pergolakan yang terdapat di daerah pantai timur. Kami mendapat keterangan dari Bouw-ciangkun bahwa keadaan di sana sudah gawat dan sewaktu-waktu dapat timbul pemberontakan besar. Biarlah Bouw-ciangkun sendiri yang menceritakan kepadamu tentang berita yang didapatkannya itu."
Thian Lee menoleh dan memandang kepada Bouw Kin Sek dengan pandang mata bertanya. Dalam kedudukan mereka, kekuasaan mereka terbagi. Bouw-ciangkun menguasai pasukan yang melakukan penjagaan di timur sampai ke laut.
Sedangkan Thian Lee mengepalai sisa pasukan yang terpencar di utara, barat dan selatan yang tentu saja dipimpin oleh masing-masing panglimanya sebagai pembantu-pembantu Thian Lee. Karena bagian timur bukan bagian kekuasaannya, maka dia tidak mendengar akan pergolakan yang dimaksudkan Kaisar itu.
"Begini, Souw-ciangkun." Panglima Bouw mulai memberi keterangan. "Kami menerima berita dari Un-ciangkun yang bertugas di timur dan bertempat tinggal di kota Hui-cu bahwa ada gerak-gerik rahasia yang menjurus ke arah pemberontakan. Beberapa kali ada usaha gelap untuk membunuhnya setelah dia tidak pernah menghiraukan surat-surat gelap yang diterimanya dan mengajaknya untuk memberontak.
"Un-ciangkun adalah seorang perwira yang setia maka tentu saja dia tidak menanggapi ajakan itu. Akan tetapi dia melihat banyak mata-mata berbangsa Jepang berkeliaran di sepanjang pantai timur. Orang-orang Jepang itu rata-rata berkepandaian tinggi sehingga tidak pernah ada yang dapat tertangkap. Kami khawatir sekali bahwa di antara para perwira pembantu kami ada yang melakukan hubungan dengan orang-orang Jepang itu, dan ini berbahaya sekali.
"Melihat gerak-gerik mereka, menurut Un-ciangkun, terdapat banyak orang pandai di antara mereka dan dia merasa seolah selalu dibayangi orang sehingga ia harus melindungi dirinya dengan pasukan pengawal yang menjaga ketat keselamatannya. Karena itulah, dia memberi kabar kepada kami dan kami melapor kepada Sri Baginda Kaisar."
Song Thian Lee mengerutkan alisnya. Dia teringat akan pemberontakan yang pernah dilakukan Pangeran Tua Tang Gi Lok yang dibantu oleh tokoh-tokoh sesat dunia kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan jahat. Ketika pemberontakan itu terjadi tiga tahun yang lalu, dia membantu pemerintah untuk menghancurkan pemberontakan itu sehingga dia berjasa besar dan diberi kedudukan panglima besar oleh Kaisar.
Kini dia dihadapkan dengan gejala-gejala pemberontakan yang lain lagi. Setiap pemberontakan hanya merugikan rakyat dan mengacaukan keadaan. Pemberontakan-pemberontak itu bermaksud mengambilalih kekuasaan untuk mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, tidak seperti gerakan perjuangan rakyat yang memang membenci pemerintah penjajah.
"Nah, demikianlah keadaannya. Karena gejala pemberontakan itu memperlihatkan gerakan banyak orang-orang lihai, maka tidak ada jalan lain kecuali menyelidiki keadaan mereka yang sesungguhnya. Dan untuk melakukan penyelidikan, harus dilakukan orang yang berkepandaian tinggi.
"Maka kami ingat padamu, Song-ciangkun. Agaknya hanya engkaulah orangnya yang tepat untuk melaksanakan penyelidikan itu, kemudian mengambil tindakan kalau terdapat bukti bahwa mereka hendak memberontak. Engkau boleh mengerahkan pasukan berapa pun yang kau butuhkan."
Song Thian Lee berpikir. Dia harus rnenyelidiki lebih dulu siapakah yang berada balik gejala-gejala pemberontakan itu, melihat apakah itu hanya pemberontakan biasa ataukah perjuangan para patriot. Kalau hanya perjuangan kecil-kecil saja dia akan berusaha untuk memperingatkan para patriot.
Bahwa usaha mereka akan sia-sia dan hanya mengorbankan nyawa anak buah saja dan mengacaukan kehidupan rakyat jelata. Kalau itu merupakan gerakan bawah tanah dari mereka yang hendak memberontak, dia harus menumpasnya.
"Hamba siap melakukan tugas itu, Yang Mulia."
"Engkau boleh membawa pasukan untuk menyertaimu."
"Hamba kira hal itu tidak perlu, Yang Mulia. Untuk melakukan penyelidikan, harus hamba lakukan sendiri dan menyamar sehingga mereka tidak tahu bahwa ada penyelidikan dari kota raja. Kalau hamba membutuhkan bantuan pasukan, tentu hamba dapat menghubungi Un-ciangkun di Hui-cu."
Kaisar mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Bouw-ciangkun. "Bagaimana pendapatmu, Bouw-ciangkun?"
"Hamba kira pendapat Song-ciangkun itu benar sekali. Dan hamba juga akan mengirim penyelidik, yaitu Coa-ciangkun, hamba akan memberi sebuah surat untuk Un-ciangkun sehingga sewaktu-waktu dia membutuhkan bantuan, akan mendapatkan bantuan itu dengan mudah."
Kaisar mengangguk-angguk setuju. "Baiklah, sekarang juga engkau harus bersiap dan berangkat ke timur, Song-ciangkun."
"Hamba siap, Yang Mulia."
Persidangan itu dibubarkan dan Panglima Bouw Kin Sek segera menulis sesampul surat untuk Panglima Un di Huicu dan memberikan surat itu kepada Thian Lee. Setelah memesan agar Thian Lee berhati-hati dan panglima muda itu pergi meninggalkannya, Panglima Bouw Kian Sek lalu memanggil wakilnya, yaitu Coa-ciangkun.
"Coa-ciangkun. Sri Baginda Kaisar telah mengutus Thian Lee untuk melakukan penyelidikan di timur. Akan tetapi hatiku masih kurang puas. Aku menghendaki agar engkau pun diam-diam melakukan penyelidikan ke sana, siapa tahu engkau dapat berhasil lebih baik daripada Song-ciangkun."
Perwira yang menjadi wakilnya itu bernama Coa Kun dan dia seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang cerdik sekali. Biarpun atasannya hanya berkata demikian, namun Coa Kun sudah dapat menduga apa isi hati atasannya itu. Dia tahu bahwa atasannya itu, sebagai Panglima tua, tentu merasa iri kepada Song-ciangkun yang disebut Panglima Muda akan tetapi yang kedudukannya lebih tinggi darinya.
Daerah timur sampai ke pantai adalah daerah kekuasaannya, di mana dia yang bertanggung jawab. Akan tetapi kini Kaisar mengutus Thian Lee untuk melakukan penyelidikan, seolah tidak percaya kepadanya! Maka, Coa Kun tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, Ciangkun. Akan saya usahakan agar saya dapat mendahului Song-ciangkun dalam membongkar pemberontakan ini dan memadamkannya."
"Bagus. Song-ciangkun akan mendapat bantuan anak buah dari Un-ciangkun secara terbatas, akan tetapi engkau sebagai atasan Un-ciangkun dapat menggunakan pasukannya, berapa saja yang kau kehendaki. Juga kalau perlu engkau dapat menggerakkan pasukan pesisir yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun. Kedua perwira itu adalah bawahanmu langsung, maka engkau tentu akan lebih mereka taati daripada Song-ciangkun."
Setelah menerima banyak pesan dan nasihat, Coa Kun lalu berangkat seorang diri menuju ke timur. Dia menanggalkan pakaiannya sebagai seorang perwira tinggi dan menyamar sebagai penduduk biasa. Dengan menggunakan seekor kuda yang baik, Coa-ciangkun ini mendahului Song Thian Lee menuju ke timur.
Sementara itu, Song Thian Lee segera pulang ke gedungnya. Setibanya di rumah, dia langsung membuka pakaian dinasnya dan mengenakan pakaian biasa. Baru saja dia selesai berganti pakaian, isterinya memasuki ruangan itu.
Dengan senyum cerah dan sikap lembut penuh kasih sayang Tang Cin Lan, isterinya, berkata, "Lee-ko, kenapa engkau nampak tergesa-gesa berganti pakaianmu?" Wanita cantik jelita itu mengamati wajah suaminya dengan penuh perhatian. "Ada berita apakah dari Sri Baginda Kaisar?"
Biarpun Kaisar Kian Liong masih saudara misan ayahnya, Cin Lan selalu menyebutnya dengan Sri Baginda Kaisar seperti orang lain untuk menghormati Kaisar itu.
Thian Lee balas memandang, lalu memegang pundak isterinya dengan penuh kasih sayang. "Aku mendapatkan tugas yang teramat penting. Di mana Hong San?" Dia menanyakan putera mereka yang kini sudah berusia dua tahun dan sedang lucu-lucunya.
"Dia baru saja tidur siang di kamarnya, dijaga oleh pengasuh," jawab Cin Lan yang disambung pertanyaan, "Tugas apakah yang begitu penting, Lee-ko?"
"Agaknya kita harus berpisah, aku harus meninggalkan rumah beberapa waktu lamanya, entah berapa lama dan mudah-mudahan saja segera tugas itu dapat kuselesaikan sehingga aku dapat segera pulang."
Mereka duduk di ruangan dalam, berhadapan. Cin Lan menatap wajah suaminya dan alisnya yang hitam melengkung indah itu berkerut. "Pergi ke manakah dan apakah tugas itu?"
"Sri Baginda Kaisar mendengar berita bahwa di pantai timur dan daerahnya terdapat gejala-gejala pemberontakan, bahkan mungkin para pemberontak itu bersekutu dengan orang-orang Jepang yang biasanya menjadi bajak laut dan merampok di sepanjang pantai. Karena kabarnya orang-orang Jepang itu banyak yang pandai, bahkan sudah ada usaha pembunuhan terhadap Panglima Un di sana, maka Baginda Kaisar mengutus aku sendiri untuk melakukan penyelidikan ke sana dan memadamkan pemberontakan."
"Kau membawa pasukan?"
"Tidak. Bagaimana aku akan dapat melakukan penyelidikan kalau aku berangkat membawa pasukan? Kita belum tahu siapa yang hendak memberontak, siapa yang terlibat dan siapa yang memimpin. Nanti, kalau aku sudah berhasil dengan penyelidikanku dan bahwa di sana benar-benar terjadi usaha pemberontakan, baru aku akan minta bantuan Un-ciangkun untuk memberi pasukannya guna membasmi pemberontak itu."
"Jadi engkau hendak melakukan penyelidikan seorang diri saja, Lee-ko?" Cin Lan memandang dengan khawatir.
Thian Lee tersenyum dan memegang tangan isterinya di atas meja. "Kenapa, Lan-moi? Bukankah sudah biasa bagiku untuk melakukan tugas seorang diri saja? Menempuh bahaya dalam tugas adalah biasa, tidak perlu dirisaukan."
"Bukan begitu, Lee-ko. Dahulu engkau adalah seorang biasa, seorang pendekar yang merantau dan malang-melintang di dunia kang-ouw. Akan tetapi sekarang engkau adalah seorang penglima besar yang mengepalai banyak sekali pasukan, kenapa pergi seorang diri? Bukankah banyak anak buahmu yang cakap untuk melaksanakan tugas itu? Engkau dapat menyebar ratusan orang mata-mata untuk menyelidiki keadaan di pantai timur saja."
"Tidak mungkin hal itu kulakukan, isteriku. Itu berarti bahwa aku kurang bertanggung jawab terhadap tugas ini. Sri Baginda Kaisar mengutus aku sendiri untuk menyelidiki karena di sana terdapat banyak orang pandai, bagaimana aku dapat tinggal diam di rumah dan menyuruh para pembantuku melakukan tugas yang panting ini?"
"Akan tetapi engkau adalah seorang panglima besar, Lee-ko. Aku khawatir bahwa banyak orang diam-diam memusuhimu karena iri. Kalau engkau nekat untuk pergi seorang diri, biarlah aku akan menemanimu!"
Thian Lee bangkit dari tempat duduknya, menghampiri isterinya dan merangkulnya. "Cin Lan, mengapa engkau begini? Aku adalah suamimu yang akan melaksanakan tugas, bagaimana engkau dapat ikut denganku? Engkau seharusnya berada di rumah, menjaga dan merawat Hong San, anak kita yang baru dua tahun usianya. Kalau dia mencari ayah ibunya yang keduanya tidak ada, apakah hal itu tidak akan membuat dia bersedih dan rewel?"
"Akan tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Lee-ko!"
"Sejak kapan isteriku yang tercinta meragukan kemampuanku? Aku tidak akan mudah tertimpa malapetaka, Lan-moi. Engkau tahu benar bahwa aku dapat menjaga dan membela diri dari marabahaya. Apa akan kata orang kalau mereka mengetahui bahwa isteri seorang panglima besar mengkhawatirkan keselamatan suaminya dan mengawal suaminya yang sedang bertugas? Tentu kita akan menjadi bahan olok-olok. Jangan khawatir. Aku pasti akan kembali membawa kemenangan. Kau tahu, di Hui-cu sana terdapat pasukan kerajaan sehingga aku dapat memperoleh bantuan mereka."
Akhirnya Cin Lan menyadari kesalahan dan ia tidak mampu membantah lagi. Bagaimanapun juga, perintah Kaisar tidak boleh dianggap ringan begitu saja. Ia telah bersikap sebagai seorang isteri yang cengeng dan penakut!
"Baiklah, Lee-ko. Engkau boleh pergi seorang diri, akan tetapi dengan janji bahwa setelah seratus hari engkau sudah harus pulang atau setidaknya memberi kabar. Kalau lewat seratus hari engkau belum pulang, aku pasti akan menyusul dan membantumu."
Terpaksa Thian Lee berjanji kepada isterinya. "Mudah-mudahan saja sebelum lewat seratus hari akan selesailah tugasku itu. Jangan khawatir, Lan-moi."
"Dan kapan engkau akan berangkat?"
"Besok, pagi-pagi sekali karena aku akan pergi dengan menyamar, agar jangan ada orang mengenalku."
Demikianlah, semalam itu Cin Lan tidak pernah mau melepaskan rangkulannya, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sinar matahari menerangi bumi, Thian Lee sudah berangkat, memakai pakaian seperti seorang pemuda pelajar biasa dan membawa buntalan pakaian.
Tidak lupa membawa Jit-goat-kiam (Pedang Matahari dan Bulan) yang disembunyikan dalam buntalan pakaiannya. Dia membiarkan kuncir rambutnya tergantung lepas di punggungnya dan kepalanya memakai sebuah topi lebar. Tak seorang pun tahu bahwa pemuda sederhana ini adalah Panglima Besar Kerajaan.
Un-ciangkun atau Un Kiong, panglima yang tinggal di kota Hui-cu sudah beberapa kali didatangi penjahat yang hendak membunuhnya. Dia tahu bahwa ada persekutuan rahasia di daerahnya. Dia mendengar bahwa sering kali kelihatan orang Jepang berkeliaran di kota Hui-cu dan sekitarnya. Karena itu, dia pun menaruh curiga dan menyebar mata-mata untuk mengamati gerak-gerik orang-orang Jepang itu.
Bahkan dia mengutus beberapa orang perwira memimpin seregu perajurit mengadakan perondaan di sekeliling kota Hui-cu dan menangkap kalau ada orang Jepang yang mencurigakan, bahkan memeriksa orang-orang asing yang lewat di daerah itu.
Pada saat pagi, serombongan perajurit yang dipimpin perwiranya mengadakan perjalanan di bukit di sebelah timur Hui-cu. Mereka berjumlah dua losin orang perajurit dan seorang perwira ini adalah satu di antara regu-regu pasukan yang dikirim, oleh Un-ciangkun untuk melakukan perondaan di sekitar wilayah Hui-cu. Para perajurit yang menjadi anggauta regu ini, seperti juga regu-regu yang lain, merupakan perajurit pilihan yang pandai ilmu silat dan bertubuh kuat.
Bukit di mana regu ini meronda nampak sunyi sekali. Pagi itu udara cerah dan para perajurit berjalan sambil bicara. dengan gembira. Kecerahan udara pagi itu membuat hati mereka cerah gembira pula. Mereka semua berjalan kaki, meninggalkan kuda mereka di kaki bukit karena di bukit itu sempit dan berjalan kaki lebih leluasa daripada naik kuda.
Tiba-tiba dari arah depan datang seorang pemuda yang menarik perhatian mereka. Pemuda itu bertubuh tegap dan mengenakan pakaian serba putih, wajahnya tampan dan mulutnya terhias senyum dingin.
Perwira yang memimpin pasukan itu memandang dengan curiga. Memang aneh dan mencurigakan melihat seorang pemuda berpakaian sebagai seorang tuan muda berkeliaran di tempat sunyi seperti itu. Apalagi melihat gagang sepasang pedang berada di punggungnya.
"Sobat, berhenti dulu!" perwira itu menegur ketika mereka berhadapan.
Pemuda itu adalah Ouw Kwan Lok. Hatinya sedang tidak senang karena dia mengenang dua peristiwa yang amat membuatnya penasaran dan kecewa. Pertama ketika dia menawan Ceng Ceng untuk dijadikan kekasihnya akan tetapi terpaksa dia melepaskan korbannya ketika datang Thian-tok yang datang menolong gadis itu. Peristiwa itu terjadi setahun yang lalu, akan tetapi kalau dia teringat masih saja hatinya merasa penasaran dan kecewa.
Kedua kalinya ketika dia bertemu dengan Souw Lee Cin. Dengan bantuan dua orang perampok dia berhasil menjebak Lee Cin sehingga gadis itu terbius dan pingsan, lalu oleh dua orang pembantunya gadis yang pingsan itu dibawa kepadanya. Bagaikan daging sudah berada di bibir, tiba-tiba daging itu terlepas ketika Lee Cin ternyata hanya pura-pura pingsan dan bahkan hampir mengalahkan dalam perkelahian.
Kalau teringat akan kedua peristiwa itu, hati Kwan Lok menjadi tidak senang, penasaran dan kecewa. Di pagi hari itu, dia sedang teringat akan kegagalan-kegagalan itu dan biarpun mulutnya tersenyum, sebenarnya hatinya sedang mengkal.
Itulah sebabnya ketika perwira kepala regu itu menegur dan menyuruhnya berhenti, hati yang sedang mengkal itu menjadi semakin marah. Biarpun suaranya masih lembut dan mulutnya masih tersenyum, namun di dalam ucapannya terkandung kemarahan.
"Aku tidak ada urusan dengan kalian, mengapa kalian menyuruhku berhenti?"
Komandan regu itu menjadi marah karena dia menganggap pemuda itu congkak, walaupun ucapannya lembut. "Hayo katakan siapa engkau dan apa keperluanmu berkeliaran di sini, di mana tempat tinggalmu dan mau apa engkau membawa-bawa pedang!" bentaknya.
Kwan Lok tersenyum lebar dengan pandang mata mengejek. "Namaku Ouw Kwan Lok, tempat tinggalku tidak tetap maka aku merantau dan sampai di tempat ini. Pedang ini kubawa untuk mengusir anjing-anjing yang hendak mengganggu aku dalam perjalananku!"
Komandan regu itu menjadi semakin marah karena dia menganggap bahwa dia bersama anak buahnya yang dimaki anjing-anjing! "Tidak tahukah engkau akan aturan kami bahwa orang biasa tidak diperbolehkan membawa senjata? Hayo berikan sepasang pedang itu kepadaku dan engkau boleh melanjutkan perjalanan."
"Ini adalah sepasang pedangku sendiri, mengapa engkau minta?"
"Kami harus merampas senjata tajam siapa pun, siapa tahu senjata tajam itu akan kau pergunakan untuk merampok!"
"Perwira bermata buta! Apakah engkau tidak dapat membedakan antara perampok dan orang baik-baik? Aku bukan perampok dan sepasang pedang ini tidak akan kuberikan kepada siapa pun."
"Engkau akan melawan pasukan pemerintah?"
"Kau kira aku takut menghadapi serombongan anjing yang hanya pandai menyalak?" jawab Kwan Lok dengan pertanyaan yang menghina.
Perwira itu menjadi marah dan dia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerang pemuda berpakaian serba putih yang berani dan kurang ajar itu. Para perajurit yang juga sudah marah melihat sikap Kwan Lok yang menantang dan menghina, sudah mencabut golok masing-masing dan mengeroyok pemuda itu.
Serangan mereka bagaikan gelombang datangnya, bertubi-tubi banyak golok menyambar ke arah tubuh Kwan Lok. Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan berloncatan ke sana sini. Karena pengeroyoknya berjumlah dua puluh lima orang dan rata-rata mereka memiliki ilmu golok yang lumayan, maka Kwan Lok terpaksa mencabut sepasang pedangnya dan mengamuk.
Akan tetapi, perwira itu pun memiliki ilmu pedang yang lumayan dan dibantu pengeroyokan dua losin perajurit, mereka mendesak Kwan Lok. Pemuda ini menjadi marah. Tangan kirinya berkali-kali bergerak dan ada sinar menyambar dari tangan kirinya, merobohkan empat orang perajurit yang terkena sambitan pisau terbangnya.
Kemudian dia memutar sepasang pedangnya dan mengamuk. Pedangnya bergerak demikian hebatnya sehingga kembali empat perajurit roboh oleh sambaran sepasang pedangnya. Tiba-tiba datang pula dua losin perajurit. Mereka adalah regu lain yang mengadakan perondaan di bawah bukit dan mereka melihat betapa rekan-rekan mereka sedang bertempur di lereng bukit itu.
Maka, komandan regu mereka cepat memimpin mereka mengejar ke lereng bukit dan melihat betapa regu pertama mengeroyok seorang pemuda berpakaian putih yang amat lihai, regu dua tanpa diminta segera menyerbu dan ikut pula mengeroyok!
Betapa lihainya Kwan Lok, dikeroyok oleh empat puluh orang lebih itu dia menjadi terdesak. Dua orang perwira itu memberi perintah kepada anak buah mereka sehingga mereka mengepung ketat dan menyerang dari semua jurusan. Kwan Lok terpaksa memutar kedua pedangnya untuk menyelimuti tubuhnya agar terlindung dari hujan bacokan golok. Untuk melarikan diri, sukar baginya karena perajurit yang banyak jumlahnya itu telah mengepungnya secara berlapis-lapis.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda lain yang juga tampan dan gagah, berpakaian mewah. Dia muncul bersama seorang yang bertubuh pendek kokoh berusia sekitar empat puluh tahun dan ada sebatang pedang bengkok tergantung di punggungnya.
Pemuda tampan berpakaian mewah itu bukan lain Siangkoan Tek, sedangkan orang katai itu adalah Yasuki, orang Jepang yang ahli bermain pedang samurai itu. Ketika Yasuki bertemu dengan Siangkoan Tek di jalan, Yasuki segera mengenal pemuda itu.
Memang Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga itu amat dikenal oleh semua bajak laut, terutama lagi oleh para bajak laut Jepang yang harus mengakui kehebatan orang-orang Pulau Naga, maka para bajak laut Jepang itu dengan cerdik bersikap sebagai sahabat dengan Pulau Naga, bahkan mereka selalu mengirim barang berharga sebagai tanda persahabatan dan sebagai bagi hasil bajakan mereka.
Demikianlah, begitu bertemu Siangkoan Tek, Yasuki mengenalnya dan menghormatinya. Mereka becakap-cakap dan Yasuki mulai membujuk Siangkoan Tek untuk membantu persekutuan mereka untuk menentang pemerintah Mancu.
Siangkoan Tek segera menyatakan persetujuan. Ayahnya sendiri pun tidak suka kepada Pemerintah Mancu, dan mereka sudah sering bentrok dengan pasukan Mancu. Bahkan ketika dia menawan Hwe Li, dia diserbu pasukan kerajaan dan dia sendiri menganggap kerajaan Mancu sebagai pihak pihak yang harus ditentang dan dimusuhi.
Yasuki lalu mengajak Siangkoan Tek untuk pergi ke Hui-cu dan dalam perjalanan itu mereka melihat Ouw Kwan Lok dikeroyok empat puluh lebih perajurit kerajaan. Mereka berdua kagum melihat sepak terjang Ouw Kwan Lok yang menghadapi pengeroyokan itu.
"Pemuda itu lihai sekali," kata Yasuki, "dan dia dikeroyok oleh pasukan pemerintah. Kalau dia dapat ditarik menjadi sekutu, tentu akan baik sekali dan memperkuat keadaan kita. Mari kita bantu dia, Siangkoan-kongcu."
Siangkoan Tek setuju karena dia pun tertarik kepada pemuda berpakaian putih yang tampan dan juga lihai itu. Mereka berdua lalu menerjang dari luar kepungan. Dengan terjunnya dua orang ini dalam pertempuran, pihak pasukan menjadi kocar-kacir. Kekuatan mereka terpecah-pecah untuk mengeroyok tiga orang lihai itu.
Akan tetapi ketika pihak pasukan sedang terdesak, muncul Lee Cin! Gadis perkasa ini segera mengenal tiga orang yang dikeroyok para perajurit itu. Ouw Kwan Lok pernah menawannya sampai dua kali dengan cara curang sekali. Pemuda berpakaian putih itu tentu saja menjadi musuh besarnya, Siangkoan Tek juga bukan pemuda baik-baik, ia mengenal putera datuk besar majikan Pulau Naga itu.
Adapun orang ke tiga adalah Yasuki yang pernah bertanding dengannya di rumah keluarga Cia. Maka, melihat mereka bertiga dikeroyok pasukan, mudah saja ia mengambil keputusan untuk membantu pihak mana.
"Tiga orang itu penjahat-penjahat besar, jangan sampai lobos!" teriaknya dan dia sudah mencabut Ang-coa-kiam dan menerjang ke dalam pertempuran, langsung saja ia menyerang Ouw Kwan Lok yang paling dibencinya di antara tiga orang itu.
Ouw Kwan Lok terkejut sekali melihat sinar merah menyambarnya, apalagi ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Souw Lee Cin yang kelihaiannya sudah dia rasakan. Dia cepat menangkis dengan pedang kanannya, sedangkan pedang kiri menahan senjata para pasukan yang mengeroyoknya.
"Keroyok yang lain, biar yang satu ini aku yang menghajarnya!" teriak Lee Cin kepada para perajurit.
Maklum bahwa mereka mendapat bantuan seorang gadis cantik yang amat lihai, para perajurit yang tadinya mengeroyok Kwan Lok segera berbalik dan membantu teman-teman yang mengeroyok Siangkoan Tek den Yasuki. Bantuan Lee Cin membuat keadaan berimbang kembali, bahkan ia sendiri sudah mendesak Ouw Kwan Lok yang sudah jerih terhadapnya.
Karena Lee Cin maklum bahwa dua orang yang lain itu juga lihai dan belum tentu pengeroyokan para perajurit dapat mengalahkan mereka, dikerahkan tenaganya dapat segera mengalahkan Kwan Lok. Ia bukan saja memainkan Ang-coa-kiamsut yang dahsyat, akan tetapi juga menggunakan tangan kirinya untuk menyelingi serangan serangan dengan totokan It-yang-ci yang amat hebat itu.
Yasuki terkejut juga melihat munculnya Lee Cin karena ia pun pernah dirobohkan oleh pendekar wanita yang cantik itu. Niatnya bukan untuk mengalahkan pasukan itu, melainkan lebih untuk menarik hati Kwan Lok agar mau dibujuk untuk bersekutu dengan pihaknya. Maka karena khawatir kalau Kwan Lok akan celaka di tangan Lee Cin, dia pun berteriak dengan keras,
"Kita lari! Tiada gunanya dilanjutkan!"
Agaknya Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok juga mengerti bahwa pihak mereka akan menderita kerugian kalau pertempuran itu dilanjutkan, terutama sekali Kwan Lok. Maka mendengar seruan ini, dia lalu membalik dan menyerang para pengeroyok untuk membuka jaian. Demikian pula Siangkoan Tek. Akhirnya, dalam keadaan para pengeroyok menjadi kacau sehingga Lee Cin juga terhalang oleh gerakan mereka, tiga orang itu meloncat dan melarikan diri.
Lee Cin merasa penasaran sekali. Ia sudah hampir dapat merobohkan dan membunuh Ouw Kwan Lok yang jahat, akan tetapi pemuda itu dapat membebaskan diri melalui kekacauan para pengeroyok. Karena merasa bahwa ia mampu mengengejar, ia lalu meloncat dan melakukan pengejaran dengan cepat sambil berseru, "Penjahat cabul, engkau hendak lari ke mana?"
Tiga orang itu berlari cepat, akan tetapi gerakan Lee Cin lebih cepat lagi. Para perajurit lalu melakukan pengejaran, akan tetapi mereka tertinggal jauh. Hanya Lee Cin sendiri yang masih terus mengejar ketika tiga orang itu menyusup ke dalam hutan kecil.
Ketika Lee Cin meloncat pula ke hutan dan melakukan pengejaran sampai ke tengah hutan, tiba-tiba tiga orang yang dikejarnya itu berhenti dan membalikkan tubuh, langsung menyambut Lee Cin dengan serangan mereka! Lee Cin menggerakkan pedangnya dan ia lalu dikeroyok tiga.
Barulah dara perkasa ini terkejut setelah menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Ia telah masuk perangkap! Akan tetapi sama sekali ia tidak menjadi jerih dan dengan cepat menggerakkan pedangnya melawan mereka.
Dibandingkan dengan Ouw Kwan Lok atau Siangkoan Tek, ilmu kepandaian Lee Cin lebih menang sedikit. Melawan seorang di antara mereka saja, biarpun mampu menang akan tetapi akan makan waktu cukup banyak. Kini ia harus menghadapi pengeroyokan mereka, masih ditambah lagi dengan Yasuki yang menggunakan pedang samurainya! Tentu saja Lee Cin segera terdesak. Akan tetapi ia tidak menyesal dan tak takut sedikit pun juga. Ia akan melawan sampai mati!
"Tangkap ia, jangan bunuh!" teriak Ouw Kwan Lok kepada dua orang yang membantunya.
"Ya, jangan bunuh!" kata pula Siangkoan Tek yang sejak lama telah tergila-gila kepada Lee Cin. Bahkan di dalam hatinya dia sudah mengambil keputusan untuk memperisteri Lee Cin. Hanya gadis inilah yang dipilih, yang dirasa cocok untuk menjadi isterinya.
Mendengar teriakan mereka, Yasuki ingin menyenangkan hati kedua orang pemuda yang diharapkan membantu gerakannya itu. Dia lalu mengambil sebuah benda bulat sebesar telur ayam dari saku bajunya dan membantingnya di depan Lee Cin.
Terdengar ledakan keras dan asap tebal bergulung-gulung di depan Lee Cin dan membuat gadis itu tidak dapat melihat dengan jelas. Kesempatan itu dipergunakan oleh tiga orang pengeroyoknya untuk menerjang dan mengirim serangan dengan tangan kosong agar tidak melukainya.
"Dukkkk!!" Lee Cin mencoba untuk mengelak, akan tetapi sebuah totokan dari tangan Siangkoan Tek mengenai pundaknya dan ia pun roboh terpelanting dan pedangnya terlepas dari tangannya.
Siangkoan Tek menyambar tubuh gadis itu dan segera dipondongnya, sedangkan Ouw Kwan Lok mengambil pedang ular merah yang terlepas dari tangan gadis itu.
"Yasuki, kelak saja kita bicara, sekarang aku hendak pergi dulu!" kata Siangkoan Tek sambil melangkah hendak membawa pergi Lee Cin yang sudah tak berdaya dan dipondongnya. Akan tetapi sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Ouw Kwan Lok sudah berada di depannya dengan alis berkerut.
"Hendak kau bawa ke mana gadis itu?" bentak Ouw Kwan Lok.
"Ia calon isteriku!" jawab Siangkoan Tek.
"Enak saja kau bicara. Gadis itu adalah musuh besarku. Tidak boleh engkau membawanya pergi. Serahkan kepadaku!"
"Serahkan kepadamu? Apakah engkau gila, sobat?" kata Siangkoan Tek sambil mengerutkan alisnya.
"Gadis itu adalah Souw Lee Cin, ia milikku!" kata pula Ouw Kwan Lok sambil menatap tajam wajah Siangkoan Tek.
"Siapa bilang ia milikmu? Ia calon isteriku!"
Melihat kedua orang pemuda itu sudah saling melotot dengan marah, Yasuki segera melompat ke depan. "Aih, kenapa kalian saling berebutan? Melihat gadis ini menyerang kita, jelas ia bukan sahabat siapa pun di antara kita. Karena itu, daripada kalian berebutan, sebaiknya diambil jalan yang ditempuh orang-orang gagah. Biar kalian bertanding dengan taruhan gadis ini. Siapa yang menang boleh memilikinya, dan yang kalah tidak boleh menuntut. Beranikah kalian bertanding dan saling mengalahkan untuk mendapatkan gadis ini?"
"Tentu saja aku berani!" kata Ouw Kwan Lok.
"Siapa yang takut?" kata pula Siangkoan Tek.
"Bagus, biar aku yang menjaga agar gadis itu tidak kabur." Setelah berkata demikian, Yasuki mengambil tubuh Lee Cin dari pondongan Siangkoan Tek dan merebahkan tubuh yang lemas tak berdaya itu ke atas tanah. "Akan tetapi sebelum bertanding, sebaiknya kalau engkau memperkenalkan dirimu terlebih dulu, sobat!" kata lagi Yasuki sambil memandang kepada Ouw Kwan Lok. "Kita sudah bekerja sama melawan pasukan tadi, berarti kita sudah sepatutnya menjadi sahabat. Namaku sendiri adalah Yasuki, dan Kongcu ini adalah Kongcu Siangkoan Tek, putera dari majikan Pulau Naga." Dia memperkenalkan dirinya dan juga Siangkoan Tek.
Mendengar nama majikan Pulau Naga, Kwan Lok diam-diam terkejut dan memandang Siangkoan Tek penuh perhatian. Pemuda itu lebih muda dua tahun darinya, pakaiannya mewah, gerak-geriknya lembut, wajahnya amat tampan dan sinar matanya menunjukkan kecerdikan. Dia terkejut akan tetapi tidak takut, dan dia pun memperkenalkan dirinya, mengaku siapa guru-gurunya karena dia tahu bahwa di depannya adalah seorang putera datuk sesat.
"Namaku Ouw Kwan Lok. Guruku yang pertama adalah mendiang Pak-thian-ong dan guruku ke dua adalah Mo-ong." Sengaja dia menyebut nama kedua orang gurunya yang keduanya juga datuk-datuk besar untuk mengimbangi kebesaran nama datuk Siangkoan Bhok majikan Pulau Naga!
Benar saja dugaannya. Mendengar nama-nama kedua orang guru itu, Siangkoan Tek tampak kaget. Dia bertemu dengan orang segolongan! Akan tetapi bagaimana mungkin dia mau mengalah kalau itu mengenai diri Lee Cin, gadis yang membuatnya tergila-gila sejak lama? Dia benar-benar hendak memperisteri Lee Cin, bukan sekedar mempermainkannya seperti para wanita lain yang pernah didapatkannya.
Dia merasa bahwa ada dua orang wanita yang cocok dan pantas menjadi isterinya, yaitu Tang Cin Lan telah menjadi isteri Song Thian Lee, maka tinggal Souw Lee Cin inilah yang harus menjadi isterinya! Maka, siapa pun yang akan menghalanginya, akan dianggap musuhnya. Akan tetapi dia pun maklum bahwa pemuda seperti Ouw Kwan Lok ini amat menguntungkan kalau dijadikan sekutu.
Persekutuan untuk menggulingkan Kerajaan Ceng. Siapa tahu usaha itu berhasil dan kelak dia akan mendapat kesempatan untuk menjadi raja baru! Atau setidaknya menjadi bangsawan tinggi. Hal ini tidak kalah pentingnya Souw Lee Cin yang akan dia peristeri.
"Ah, kiranya engkau adalah murid kedua datuk itu! Pantas engkau lihai dan pemberani. Akan tetapi sekali lagi kuberitahukan kepadamu, sobat bahwa Souw Lee Cin ini adalah wanita yang sudah lama kuidam-idamkan menjadi isteriku."
"Saudara Siangkoan Tek, aku pun mengenal nama besar ayahmu. Maafkanlah kalau terpaksa aku tidak mau mengalah karena aku pun tergila-gila kepada Souw Lee Cin, di samping ia adalah musuh besar guru-guruku yang harus kubalaskan dendamnya kepadanya."
"Kalau begitu kita bertanding untuk memperebutkan gadis ini?" tanya Siangkoan Tek.
Ouw Kwan Lok menghela napas panjang. "Aku menyesal sekali. Akan tetapi agaknya tidak ada lain jalan bagi kita kecuali mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih berhak memilikinya."
"Karena kalian bertanding bukan karena permusuhan, aku mengusulkan agar diadakan pertandingan dengan tangan kosong saja," kata Yasuki.
Dua orang pemuda itu saling pandang lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Siangkoan Tek memasang kuda-kuda yang gagah sebagai pembukaan ilmu silatnya. Dia hendak memainkan ilmu silat Kui-liong-kun (Silat Naga Iblis) yang diajarkan ayahnya, lalu berkata, "Silakan, saudara Ouw, aku sudah siap!"
Ouw Kwan Lok juga segera memasang kuda-kuda ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam) yang merupakan ilmu silat utara yang bercampur dengan ilmu gulat. Ilmu ini dia pelajari dari mendiang Pak-thian-ong Dorhai, datuk besar dari utara itu.
"Lihat serangan!" bentak Ouw Kwan Lok dan kedua tangannya bergantian mencengkeram dan memukul ke depan dengan dahsyat, bertenaga besar dan cepat sekali.
Akan tetapi Siangkoan Tek sudah siap dengan ilmu silat Kui-liong-kun. Dia membuat gerakan melebar ke kiri menghindarkan dua serangan kedua tangan itu dan membalas dengan sodokan tangan ke arah lambung lawan.
Akan tetapi Kwan Lok juga dapat mengelak dengan cepat, kemudian kembali dia menyerang, sekali ini kaki kanannya menendang dan ketika tubuh lawan condong ke kanan untuk mengelak, tangan kirinya menyambar untuk menangkap pundak lawan. Kalau tangan kiri itu dapat menangkap pundak, tentu akan dilanjutkan dengan tarikan dan bantingan.
Akan tetapi, kembali Siangkoan Tek merendahkan pundaknya untuk mengelak dan tangan kanannya sudah menghantam ke arah kepala lawan. Pukulan ini cepat sekali datangnya sehingga terpaksa Kwan Lok yang tidak keburu mengelak itu memutar lengan kirinya dan menangkis pukulan itu.
"Dessss....!!" Dua lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Keduanya terkejut karena mendapat kenyataan bahwa tenaga mereka seimbang.
Karena maklum bahwa tenaga lawannya tidak kalah kuatnya, Siangkoan Tek mengubah caranya bersilat. Kini dia bersilat dengan lembut gemulai seperti seorang wanita menari dan inilah Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang amat hebat dari Siangkoan Bhok!
Ketika merasakan betapa kedua tangan lawannya menyambar-nyambar dan mendatangkan hawa panas, maklumlah Ouw Kwan Liok bahwa lawannya menggunakan pukulan beracun. Dia pun mengubah silatnya, kini dia bersilat dengan ilmu silat Pek-swat-tok-ciang (Tangan Beracun Salju Putih). Kedua tangannya berubah pucat seperti tangan mayat dan dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali.
Perkelahian itu semakin seru dan Yasuki yang menonton dari samping itu merasa bulu tengkuknya meremang menyaksikan betapa kedua orang muda itu menggunakan pukulan yang demikian dahsyatnya. Yang satu mengeluarkan hawa panas dan yang lain mengeluarkan hawa dingin...