Dewi Ular Jilid 13
LAI-CIANGKUN menggeleng kepalanya. "Sepanjang yang kami ketahui, tidak ada Ciangkun. Suasana tenteram saja."
"Aku mendengar bahwa kadang terjadi perampokan di pesisir, dilakukan oleh bajak-bajak laut Jepang," kata Thian Lee sambil menatap tajam wajah kurus Lai-ciangkun yang memiliki mata yang tampak cerdik itu.
"Hal itu tidak dapat dibantah, Ciangkun. Memang ada terjadi perampokan kecil-kecilan oleh bajak laut, akan tetapi itu jarang atau kadang-kadang saja. Para perampok itu lalu melarikan diri dengan perahu mereka. Mereka berani mengganggu rakyat di tempat-tempat yang kebetulan tidak ada penjaganya."
"Apakah tidak ada orang-orang Jepang yang berkeliaran di kota ini dan sekitarnya?""Tidak ada, Ciangkun."
"Baru seminggu Un-ciangkun tewas. Bagaimana kini engkau dapat menjadi komandan di sini, Ciangkun?" tanya Thian Lee sambil memandang wajah Lai Kin dengan tajam penuh selidik.
Wajah perwira itu menjadi merah. "Ah, saya sama sekali tidak nnenjadi komandan di sini, Ciangkun, hanya sementara saja menggantikan Un-ciangkun sambil menanti keputusan Sri Baginda Kaisar atas laporan saya bahwa Un-ciangkun telah tewas terbunuh."
Thian Lee mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain. Pasukan di situ harus memiliki seorang komandan dan selain Lai Kin tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk menjadi komandan sementara. Dia mengambil keputusan untuk nnelakukan penyelidikan sendiri di daerah yang menurut berita yang diperoleh Kaisar merupakan daerah rawan itu.
"Bagaimana keadaan Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai timur?" tiba-tiba dia bertanya.
"Ah, dia? Saya kira…. menurut pengetahuan saya, dia baik-baik saja, Ciang-kun," jawab Lai Kin agak tersendat.
Akan tetapi Thian Lee berpura-pura tidak tahu akan sikap itu, hanya mencatat dalam hati bahwa perwira she Lai ini terkejut ketika ditanya tentang Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai.
Malam itu Thian Lee bermalam di markas, memperoleh sebuah kamar yang besar sebagai seorang tamu kehormatan. Setelah dijamu makan malam, Thian Lee lalu beristirahat, memasuki kamarnya di mana dia duduk bersila di atas pembaringan untuk mengumpulkan hawa murni, mengusir kelelahan tubuhnya dan merenungkan hasil percakapan tadi.
Thian Lee termenung. Di timur ini yang menjadi komandan dua pasukan adalah Un-ciangkun dan Phoa-ciangkun. Kalau ada perwira yang hendak berkhianat, tentu seorang di antara keduanya itu. Akan tetapi, Un-ciangkun terbunuh oleh orang-orang yang tidak diketahui siapa. Apakah Phoa-ciangkun yang membunuhnya setelah Un-ciangkun mengetahui bahwa dia hendak berkhianat dan bersekutu dengan orang Jepang?
Atau barangkali Un-ciangkun sendiri yang berkhianat? Juga Lai-ciangkun itu patut dicurigai. Siapa tahu dia dalang pembunuhan karena kalau Un-ciangkun tewas, besar kemungkinan dia yang akan diangkat menjadi komandan. Atau semua dugaannya itu keliru dan ada orang-orang tersembunyi yang mendalangi itu semua?
Dia harus melakukan penyelidikan kepada Phoaciangkun dan meninjau daerah pantai. Dengan pikiran ini Thian Lee tertidur. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat yang sakti, dalam keadaan itu Thian Lee akan dapat terbangun oleh sedikit saja suara atau gerakan yang mencurigakan.
Dua orang berpakaian serba hitam itu bergerak cepat sekali. Hanya bayangan mereka yang berkelebatan di atas atap genteng dan sebentar kemudian bayangan mereka sudah melayang turun. Mereka adalah dua orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan muka mereka pun tertutup kain hitam, hanya memperlihatkan kedua mata mereka saja yang tajam bersinar seperti mata kucing.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun mereka kini telah mendekam di luar jendela kamar di mana Thian Lee bermalam. Seorang di antara mereka mengeluarkan sebuah tabung kecil seperti suling, memasukkan bubuk putih ke dalam tabung dan setelah orang kedua membuat lubang di jendela dengan jarinya.
Pemegang tabung lalu meniup melalui tabung itu sambil memasukkan ujung tabung ke dalam kamar melalui lubang. Sampai lima kali dia melakukan ini dan dia meniup dengan tenaga khi-kang, mengerahkan bubuk yang ditiupkannya ke arah pembaringan. Terdengar suara orang terbatuk-batuk. Di dalam kamar itu, lalu suara batuk itu sendiri terhenti dan suasana rnenjadi sunyi kembali.
Dua orang bertopeng hitam itu saling pandang, lalu mengangguk dan seorang di antara rnereka menggunakan pedangnya untuk mencokel daun jendela. Setelah daun jendela terbuka, bagaikan dua ekor kucing mereka berlompatan masuk ke kamar itu tanpa mengeluarkan suara. Kamar itu remang-remang, hanya mendapat penerangan dari luar kamar.
Akan tetapi dua orang itu dapat melihat bentuk tubuh manusia tertidur di atas pembaringan. Mereka mengelebatkan pedang dan dengan gerakan cepat pedang mereka dibacokkan ke arah tubuh manusia itu.
“Crok! Crokk!”
Mereka terkejut sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang mereka bacok itu hanya guling yang diselimuti kain. Maklum bahwa usaha mereka gagal, cepat berloncatan keluar lagi dari jendela yang terbuka itu. Akan tetapi, di depan mereka berdiri seorang yang bertolak pinggang memandang mereka, tubuhnya tinggi tegap dan orang ini bukan lain adalah Song Thian Lee!
Biarpun tadinya dia tidur pulas, namun sedikit gerakan kaki di atas atap cukup untuk membangunkannya. Dia segera maklum bahwa ada dua orang mempergunakan gin-kang yang cukup tinggi sedang menuju ke kamarnya, maka dia cepat membuka pintu, keluar lalu menutupkan lagi pintu kamarnya, mengintai dari balik pot bunga besar yang berada di luar kamar.
Dia dapat melihat apa yang dilakukan dua orang itu dan tersenyum sendiri. Setelah dua orang meloncat ke dalam kamar, dia pun menghampiri daun jendela sehingga ketika dua orang itu keluar lagi, mereka sudah berhadapan dengan dia.
Dua orang itu terkejut dan juga penasaran. Dengan gerakan cepat dan kuat sekali, mereka menggerakkan pedang menyerang Thian Lee. Akan tetapi mereka merasa seperti menyerang bayangan saja karena Thian Lee bergerak jauh lebih cepat daripada mereka, mengelak ke sana-sini dan berloncatan di antara dua gulungan sinar pedang.
Dia menggunakan Hui-tiauw-kun (Silat Rajawali Terbang), dengan mudah menghindarkan diri dari semua sambaran pedang, kemudian membalas dengan tamparan-tamparan yang mendatangkan angin berciutan. Kedua orang itu tidak melihat kesempatan untuk melarikan diri, maka dengan nekat mereka menyerang terus.
Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, mereka terdesak hebat oleh kedua tangan Thian Lee yang menyambar-nyambar. Dua orang yang merasa bahwa mereka adalah jagoan-jagoan lihai sekali itu benar-benar terkejut, penasaran dan menjadi nekat.
Mereka terus menyerang karena memang tidak mendapat kesempatan untuk melarikan diri lagi. Kalau mereka membalikkan tubuh, mereka khawatir akan terkena pukulan ampuh yang mengeluarkan angin amat dahsyat itu.
Biarpun kedua orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi dan memiliki ilmu pedang yang ampuh, namun menghadapi Panglima Besar Song,Thian Lee, semua serangan mereka sia-sia belaka.
Akhirnya, dengan sebuah tendangan kaki kiri dan tamparan tangan kanan, Thian Lee dapat merobohkan kedua orang pengeroyoknya. Mereka terlempar ke kanan kiri dan selagi Thian Lee yang sengaja merobohkan mereka tanpa membunuh hendak menghampiri, dia melihat dua sinar berkelebat ke arah kedua orang itu.
Dengan terkejut Thian Lee menghampiri, akan tetapi mereka berdua sudah berkelojotan dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, masing-masing tertusuk sebatang pisau belati pada ulu hati mereka. Thian Lee menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak nampak bayangan manusia dan dia pun dapat menduga bahwa Si Pelempar Belati adalah seorang yang amat lihai.
Suara ribut-ribut itu menarik perhatian beberapa orang penjaga dan mereka berlarian ke situ. Tak lama kemudian, Lai-ciangkun juga tiba di situ. “Ada apakah, Ciangkun?” tanya Lai-ciangkun dengan kaget.
“Dua orang ini berusaha untuk membunuhku,” jawab Thian Lee singkat dan pandang matanya mencari-cari di antara para pengawal itu dengan sinar mata penuh selidik, membuat para pengawal menundukkan muka karena pandang mata itu tajam sekali menusuk sampai ke hati.
Sementara itu, Lai-ciangkun berjongkok dan memeriksa kedua orang itu, merenggut lepas kain hitam yang menutupi muka mereka.
“Bagaimana, Lai-ciangkun? Apakah engkau mengenal mereka?” tanya Thian Lee akan tetapi dia sudah menduga bahwa perwira itu tentu tidak mengenal mereka.
Lai-ciangkun menggeleng kepalanya dan memanggil belasan orang pengawal itu untuk melihat kalau-kalau di antara mereka yang mengenal kedua orang itu.
Seorang di antara pengawal berseru, “Hei, bukankah mereka ini adalah Siang-hui-houw (Sepasang Harimau Terbang), kakak beradik she Kam yang tinggal di Hui-lam? Ah, benar mereka, saya pernah bertemu dengan mereka, Ciangkun.”
“Apa? Bukankah Siang-hui-houw itu sepasang pendekar dari Hui-lam?” tanya pula Lai ciangkun.
“Benar, Ciangkun. Mereka ini kakak beradik yang terkenal sebagai pendekar di Hui-lam.”
“Akan tetapi, mengapa mereka berusaha membunuhmu, Song-ciangkun? Sepanjang yang kudengar, mereka adalah sepasang pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan mereka tewas oleh pisau di ulu hati mereka. Maaf, apakah engkau mempergunakan pisau terbang, Ciangkun?” Lai-ciangkun bangkit berdiri dan menghadapi Thian Lee.
Thian Lee menggeleng kepalanya. “Bukan aku yang membunuh mereka. Mereka membongkar jendela kamarku, hendak membunuhku, akan tetapi aku sudah keluar dan aku hanya merobohkan mereka. Sebelum aku dapat memeriksa mereka, ada yang menyambitkan pisau-pisau itu dan menewaskan mereka. Tentu hal itu dilakukan orang agar mereka tidak mernbocorkan rahasia komplotan ini.”
Dua mayat itu lalu digotong pergi dan Thian Lee kembali ke kamarnya, setelah bantal guling yang berantakan dihajar pedang itu diganti dengan bantal guling baru oleh pelayan. Dia duduk bersila di atas pembaringannya dan memutar pikirannya untuk memecahkan teka-teki itu.
Dua orang pendekar hendak membunuhnya dan mereka terbunuh oleh orang lain. Tentu orang lain itu komplotan mereka, merupakan orang yang lebih penting atau bahkan mungkin pemimpin mereka. Akan tetapi, dua orang itu dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah, lalu apa maksudnya hendak membunuhnya? Thian Lee mengerutkan alisnya. Siapakah yang berkepentingan untuk membunuhnya?
Tentu orang yang memusuhinya, dan karena dia seorang panglima besar, maka musuhnya itu tentulah golongan pemberontak! Jadi, dua orang pendekar itu telah menjadi komplotan pemberontak, dan hal ini mungkin terjadi. Banyak pendekar yang tertarik untuk membantu pemberontak yang mereka anggap sebagai perjuangan melawan penjajah.
Setelah membolak-balik pikirannya, Thian Lee lalu mendapat kesimpulan bahwa pertama: kedua orang pembunuh itu pasti dibantu orang dalam sehingga mereka mampu bergerak dengan leluasa mendekati kamarnya dan orang dalam itu tentu saja satu atau lebih di antara anak buah Lai-ciangkun. Ada pengkhianat dalam pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun.
Dan ke dua: kalau dua pendekar itu berkomplot dengan pemberontak, tentu ada pendekar-pendekar lainnya di daerah ini yang juga sudah dapat ditarik menjadi komplotan para pemberontak. Atau setidaknya, para pendekar lain tentu mengetahui tentang gerak-gerik pemberontak di daerah itu.
Maka yang harus dikerjakan adalah mencari pengkhianat dalam pasukan Lai-ciangkun, dan ke dua menyelidiki para pendekar yang berada di Hui-cu dan sekitarnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah menemui Lai-ciangkun dan menyatakan pendapatnya, “Lai-ciangkun, semalam aku sudah berpikir bahwa dua orang pembunuh itu tentu dibantu orang dalam sehingga mereka dapat masuk ke sini dengan mudah dan tidak diketahui oleh para penjaga. Karena itu, aku minta kepada Lai-ciangkun untuk bersikap waspada dan diam-diam melakukan penyelidikan dan pemeriksaan ke dalam untuk menangkap pengkhianat itu. Agaknya di antara orang-orang bawahanmu ada yang bersekongkol dengan orang luar, mungkin dengan para pemberontak.”
Mendengar ucapan itu, Lai Kin tampak terkejut sekali. “Ada pengkhianat di dalam? Akan tetapi....”
“Tidak perlu ragu lagi, Ciangkun. Selain dua orang itu tidak mungkin masuk tanpa diketahui kalau tidak mendapat bantuan dari dalam, juga ingat akan orang yang membunuh kedua orang bertopeng hitam itu. Bagaimana dia dapat melakukan pembunuhan lalu menghilang begitu saja? Mungkin pembunuh itu adalah orangmu sendiri. Maka berhati-hatilah dan lakukan penyelidikan dengan teliti.”
“Baik, baik, Thai-ciangkun,” kata Lai-ciangkun dengan sikap taat dan hormat.
“Nah, kuserahkan penyelidikan itu kepadamu. Aku hendak melakukan penyelidikan keluar dan mungkin dalam beberapa hari ini aku tidak akan kembali ke sini.”
“Apakah Ciangkun membutuhkan bantuan? Saya dapat menyediakan seregu perajurit pilihan untuk membantuku.”
Thian Lee menggeleng kepalanya. “Tidak usah, Lai-ciangkun. Melakukan penyelidikan beramai-ramai sukar mendapatkan hasil yang kuinginkan.”
Song Thian Lee lalu berkemas, mengenakan pakaian biasa dan membawa buntalan pakaian di mana terdapat pedangnya, digendongnya buntalan itu di punggung. Kemudian dia keluar dari markas itu melalui pintu belakang yang menembus kebun sehingga tidak akan tampak oleh orang lain.
Siang hari itu Thian Lee melakukan penyelidikan dengan mendengar keterangan dari penduduk di Hui-cu. Dia bertanya kepada beberapa orang tentang para pendekar yang terdapat di Hui-cu. Seorang laki-laki setengah tua yang berjualan tahu ketika ditanya memandang kepada Thian Lee dengan mata disipitkan.
“Untuk apa engkau menanyakan itu, orang muda?”
“Saya seorang perantau, Paman, dan saya senang sekali berkenalan dengan para pendekar. Tahukah Paman, siapakah pendekar-pendekar yang paling terkemuka di sini, paling dikenal rakyat sebagai pendekar yang budiman dan gagah perkasa?” Thian Lee bertanya seperti sambil lalu dan membeli beberapa potong tahu yang sudah matang dan memaksanya untuk sarapan pagi.
“Di Hui-cu dan sekitarnya terdapat banyak orang gagah. Agaknya setelah Un-ciangkun menjadi komandan di sini, tidak ada orang yang melakukan kejahatan. Mereka yang kuat tidak ada yang berani bertindak sewenang-wenang, bahkan condong untuk menentang kejahatan. Akan tetapi di antara mereka semua itu, yang paling dikenal dan dihormati rakyat adalah keluarga Cia yang tinggal di ujung kota, di kaki bukit itu. Keluarga itu terdiri dari orang-orang gagah yang sudah sering kali menghajar orang-orang jahat sehingga tidak ada lagi orang jahat berani mengacau di sini. Ya, keluarga Cia itulah keluarga pendekar besar yang paling dikenal di sini.”
Diam-diam Thian Lee membenarkan ucapan itu. Nama keluarga Cia memang terkenal, bukan hanya di daerah itu, dunia kang-ouw juga membicarakan. Sebuah keluarga tua yang sudah lama terkenal, menniliki pendekar-pendekar turun-temurun dan kabarnya ilmu silat mereka amat lihai. Dia sudah lama tahu bahwa di Hui-cu tinggal keluarga Cia.
Kalau dia melakukan penyelidikan untuk mengetahui pendekar-pendekar lainnya, hal ini adalah untuk memperlengkap penyelidikannya. Dia tidak percaya kalau keluarga Cia yang demikian ternama mau bersekutu dengan pemberontak, apalagi dengan para perampok bangsa Jepang. Akan tetapi, dia harus menyelidiki. Siapa tahu mereka itu termasuk patriot yang membenci Kerajaan Mancu.
Banyak patriot yang seperti itu mudah dibujuk oleh kaum pemberontak untuk “berjuang” menentang pemerintah penjajah sehingga mereka tidak segan-segan bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan sesat yang memberontak seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan beberapa perkumpulan sesat lainnya.
Saking besar semangatnya memusuhi pemerintah pemberontak mereka sampai lupa bahwa mereka itu dipergunakan oleh perkumpulan sesat yang “berjuang” demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.
Thian Lee melakukan penyelidikan sampai sehari penuh. Menjelang senja, selagi dia berjaian perlahan-lahan untuk menyusun tindakan apa yang akan dilakukan malam nanti, tiba-tiba dia melihat dua orang berjalan dari arah depan dan begitu melihat mereka, Thian Lee segera menundukkan mukanya dan melihat dari bawah ke arah muka mereka.
Dia mengenal dua orang ini, walaupun baru satu kali dia bertemu dengan mereka, akan tetapi mereka tidak mengenalnya. Yang seorang bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. Bahkan mukanya amat menarik perhatian saking hitamnya. Di pinggang kirinya tergantung sebatang ruyung besar yang berduri.
Laki-laki ini berusia kurang lebih lima puluh tahun dan Thian Lee mengenalnya sebagai orang yang berjuluk Hek-bin Moko (Setan Berwajah Hitam). Orang ke dua berusia sebaya dan tubuhnya tinggi kurus, mukanya kuning seperti orang berpenyakitan, matanya sipit dan dia memegang sebatang tongkat hitam. Dia pun terkenal dengan julukannya Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti). Kedua orang itu adalah dua orang tokoh sesat yang lihai.
Thian Lee membiarkan kedua orang itu lewat. Setelah mereka jauh, barulah dia menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya, lalu membayangi kedua orang itu dari jauh. Dia merasa heran mengapa dua orang tokoh kang-ouw itu berkeliaran di kota Hui-cu. Tidak mungkin kalau hal ini kebetulan saja. Dan dia tahu betul betapa lihai dua orang ini.
Agaknya kalau seorang di antara mereka yang melakukan pembunuhan secara gelap kepada dua orang bertopeng malam tadi, hal itu tidaklah aneh. Andaikata bukan mereka yang melakukannya, namun mereka berdua datang ke tempat itu pasti mengandung makna yang amat penting. Mereka jelas bukan sebangsa pendekar, melainkan tokoh sesat yang tidak segan melakukan perbuatan jahat.
Dua orang itu berjalan dengan santai menuju ke sebelah utara, kemudian keluar dari pintu gerbang kota Hui-cu sebelah utara. Bagian utara kota itu merupakan daerah perbukitan yang sunyi, tidak ada dusun di situ karena daerah itu masih liar dan bukit-bukitnya penuh dengan hutan belukar.
Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai memang dua orang yang amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kehebatan ilmu kepandaian mereka. Di mana pun mereka berada mereka pasti akan menguasai dunia hitam daerah itu dan menjadi pemimpinnya.
Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti) itu tentu segera merampas kedudukan sebagai ketua partai pengemis yang berkuasa di daerah itu dan selanjutnya menjadi raja kecil yang menerima penghormatan dan pelayanan para pengemis.
Sedangkan Hek-bin Mo-ko tentu akan menguasai semua penjahat seperti para maling dan copet, juga merampas kedudukan para kepala gerombolan yang menguasai rumah-rumah judi dan rumah pelacuran.
Akan tetapi agaknya dua orang tokoh sesat itu baru saja tiba di kota Hui-cu dan mereka belum sampai merampas kedudukan-kedudukan itu, karena kalau mereka berdua sudah berkuasa di situ, tentu Thian Lee akan mendengar nama mereka ketika dia melakukan penyelidikan tadi.
Dengan hati tegang Thian Lee terus membayangi mereka keluar dari kota dan mendaki bukit pertama di luar kota itu. Malam sudah hampir tiba dan cuaca sudah remang-remang. Dia melihat mereka memasuki sebuah hutan di bukit itu. Tanpa ragu Thian Lee juga membayangi mereka memasuki hutan itu dari jarak lebih dekat karena dia tidak mau kehilangan mereka.
Dia merasa yakin bahwa kedua orang itu tentu berkunjung ke tempat persembunyian mereka atau mungkin juga masuk ke hutan itu untuk menemui orang yang ada hubungannya dengan pernberontakan. Hati Thian Lee menjadi tegang penuh harapan.
Akan tetapi ketika dia membayangi sampai ke tengah hutan yang mulai gelap, tiba-tiba dia mendengar gerakan banyak orang dan tahu-tahu dari empat penjuru berloncatan banyak orang dan dirinya sudah dikepung oleh kurang lebih tiga puluh orang!
Mereka semua memegang golok dan senjata tajam lainnya. Dia berhenti dan bersikap waspada. Kemudian muncullah dua orang yang dibayanginya tadi di antara orang banyak dan mereka berdua tertawa bergetak menghadapi Thian Lee,
“Ha-ha-ha, sekarang engkau akan dapat berbuat apa, Panglima Besar Song Thian Lee?” Hek-bin Mo-ko tertawa sambil mencabut ruyung berduri dari pinggangnya.
“Heh-heh-heh, seorang panglima besar antek Mancu berkeliaran di sini seperti seekor ular mencari penggebuk. Hari ini engkau akan mampus, Song Thian Lee!” kata Sin-ciang Mo-kai dan dia pun sudah mengangkat tongkat hitamnya. Tongkat hitam itu berbahaya sekali karena ujungnya direndam racun dan sekali saja tergores atau tertusuk tongkat itu cukup untuk membunuh orang.
Thian Lee maklum bahwa dirinya terancam bahaya, namun dia tetap tersenyum tenang. Dua orang itu telah mengenalnya! Hal ini sungguh tidak mungkin karena biarpun dia pernah melihat mereka, namun mereka itu tentu tidak mengenalnya. Kini tahu-tahu mereka telah mengenalnya, bukan hanya mengenal namanya, bahkan tahu bahwa dia adalah panglima besar!
Ini tidak mungkin terjadi kecuali kalau mereka berdua memang sudah ada yang memberi tahu! Dan siapakah yang mengetahui bahwa Panglima Besar Song berada di Hui-cu? Lai-ciang-kun? Ah, masa Lai-ciangkun mempunyai hubungan dengan dua orang tokoh sesat itu? Tentu seorang di antara anak buah Lai-ciangkun, mungkin tokoh yang telah membunuh dua orang bertopeng itu.
Thian Lee merasa tidak perlu untuk berpura-pura lagi. “Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai! Apa maksud kalian mengepungku dan mengancamku? Sepanjang ingatanku, belum pernah aku bermusuhan dengan kalian berdua!”
“Kalau belum pernah bermusuhan, mengapa engkau membayangi kami berdua?” Tanya Hek-bin Mo-ko.
“Engkau membayangi kami berdua tentu bukan dengan maksud mengajak kami beramah-tamah, bukan?” ejek Sinciang Mo-kai.
“Karena aku merasa heran dan ingin tahu mengapa dua orang seperti kalian berkeliaran di kota Hui-cu!” jawab Thian Lee.
“Sudahlah, Mo-ko, mengapa mengajak calon mayat ini bercakap-cakap? Cepat habisi nyawanya!” kata pula Sin-ciang Mo-kai dengan marah dan ia pun sudah melompat ke depan dan tongkatnya menyambar ke arah leher Thian Lee.
Pendekar ini cepat miringkan tubuhnya mengelak dan dari samping dia sudah menampar ke arah pundak Si Pengemis Iblis. Hawa pukulan yang amat dahsyat membuat Sin-ciang Mo-kai terdorong mundur biarpun dia sudah mengelak sehingga dia terkejut sekali. Akan tetapi pada saat itu, ruyung berduri di tangan Hek-bin Mo-ko sudah menyambar dengan hantaman yang amat kuat ke arah dada Thian Lee.
“Mampuslah!” bentak Mo-ko.
Akan tetapi dengan mudah saja Thian Lee menghindarkan diri dari sambaran ruyung itu. Ketika Sin-ciang Mo-kai dan anak buahnya menyerbu, dia sudah mengambil pedangnya dari dalam buntalan pakaiannya dan dari situ pedang Jit-goat-sin-kiam telah berada di tangannya. Ketika dia memutar, pedangnya menangkis hujan senjata tajam itu, terdengarlah suara nyaring berdenting-denting.
Para pengeroyok hanya melihat sinar terang bergulung-gulung menyilaukan mata dan banyak di antara mereka yang menjadi kaget karena senjata mereka telah patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan sinar terang itu! Thian Lee menggerakkan kakinya dan nnenendangi mereka yang masih terkejut itu sehingga empat orang pengeroyok terpental sampai tiga meter dan jatuh berpelantingan seperti daun-daun kering tertiup angin!
Tentu saja para pengeroyok menjadi terkejut bukan main, akan tetapi mereka mengandalkan banyak teman dan semakin ketat, bersikap hati-hati agar senjata mereka tidak bertemu dengan pedang yang mengeluarkan sinar gemilang itu.
Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai juga terkejut. Mereka hanya pernah mendengar bahwa Panglima Besar Song Thian Lee adalah seorang yang sakti, akan tetapi mereka belum pernah membuktikannya sendiri.
Kini, mengandalkan pengeroyokan banyak kawan, mereka berdua maju dan menerjang dengan berani dan dahsyat, dibantu oleh seorang yang bertubuh katai dan yang memainkan sebatang pedang samurai yang panjang dan melengkung. Orang ini juga lihai sekali permainan pedangnya.
Melihat gerakan pedang samurai itu, Song Thian Lee dapat menduga bahwa dia tentu seorang bangsa Jepang yang sering didengarnya. Jagoan-jagoan Jepang memang mahir menggunakan pedang panjang melengkung yang dimainkan dengan nnemegangi tangkai pedang dengan kedua tangannya.
Thian Lee menjadi sernakin besar kecurigaannya. Agaknya dapat dipastikan bahwa dua orang tokoh sesat ini telah bersekongkol dengan orang Jepang. Dan anak buah mereka itu tentulah anak buah pemberontak. Dia pun mengamuk dengan Jit-goat-sin-kiam nya sehingga robohlah beberapa orang lagi terkena sambaran sinar pedangnya.
Melihat betapa tangguhnya Thian Lee, kedua orang tokoh sesat itu menjadi terkejut dan juga penasaran sekali. Juga orang Jepang yang rnemainkan samurai itu. Ketika suatu saat samurai itu berkelebat ke arah pinggang Thian Lee, pendekar ini menangkis dengan pedangnya dari atas ke bawah dan membarengi melepas dengan sebuah tendangan yang dengan tepat rnengenai dada Si Jepang itu sehingga terlempar dan jatuh terguling-guling.
Akan tetapi agaknya dia cukup tangguh dan cepat dia sudah bangkit berdiri lagi dan agaknya dia mengerti bahwa kalau dilanjutkan, pihaknya tentu akan menderita kerugian besar. Apalagi cuaca sudah mulai gelap, maka dia pun berseru, “Lari....!”
Agaknya seruan Si Jepang ini berpengaruh karena para pengeroyok segera melarikan ke dalam gelap sambil menarik teman-teman mereka yang terluka. Thian Lee meloncat hendak mengejar karena dia ingin menangkap seorang di antara mereka untuk ditanyai.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar ledakan nyaring dan tampak asap tebal sehingga terpaksa Thian Lee menghentikan pengejarannya karena dia khawatir kalau-kalau asap itu mengandung racun. Terpaksa dia kembali lagi keluar dari hutan yang mulai gelap itu.
Pengalaman di dalam hutan itu membuat Thian Lee semakin bersemangat untuk melakukan penyelidikan. Sudah jelas sekarang bahwa memang ada komplotan yang menentang pemerintah dan yang berusaha untuk membunuh orang orang berpangkat. Buktinya Un-ciangkun tewas terbunuh dan dia dua kali terancam bahaya maut. Bagaimana dengan pembesar yang lain?
Dia sudah menyelidiki dan mendengar bahwa Ji-taijin yang menjadi kepala daerah itu adalah seorang yang bijaksana dan mencintai rakyatnya. Pembesar seperti itu tentu dimusuhi juga oleh komplotan pemberontak. Dia lalu langsung saja menunjukkan langkah kakinya ke rumah tempat tinggal Ji-taijin.
Ketika dia tiba di depan gardu di mana para perajurit berjaga didepan rumah gedung tempat tinggal Ji-taijin dia dihentikan oleh belasan orang penjaga.
“Orang muda, engkau siapakah dan apa maksudmu datang ke sini?” tanya kepala jaga sambil memandang penuh kecurigaan. Bahkan semua penjaga sudah mengepungnya dan bersiap-siaga dengan senjata mereka.
Melihat ini, Thian Lee menduga bahwa pernah ada ancaman atas diri pembesa itu sehingga penjagaan diperketat. “Aku bukan musuh dan datang dengan maksud baik. Harap kalian laporkan kepada Ji-taijin bahwa aku adalah Song Thian Lee, datang dari kota raja membawa berita penting bagi Ji-taijin.”
Melihat sikap ramah dan lunak dari Thian Lee, kepala jaga juga bersikap lembut dan dia menyuruh Thian Lee menunggu setentar sedangkan dia pergi melapor ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi berkata kepada Thian Lee.
“Engkau dipersilakan masuk, Saudara Song. Akan tetapi karena kami belum mengenalmu dan tidak tahu apa keperluanmu dengan kunjungan ini, demi keselamatan Ji-taijin, terpaksa engkau harus meninggalkan buntalan itu di sini dan masuk ke dalam gedung dengan pengawalan.”
Thian Lee mengangguk. Cukup teliti para penjaga ini, pikirnya. Dia lalu menyerahkan buntalan pakaiannya yang juga terisi pedangnya, kemudian dia melangkah memasuki gedung dikawal oleh enam orang penjaga yang bertubuh kokoh dan yang telah mencabut pedang mereka. Dia membawa masuk ke ruangan tamu, disuruh duduk dengan enam orang itu berjaga di kanan kirinya.
Pintu dari dalam terbuka dan seorang laki-laki setengah tua muncul dalam ruangan itu. Dia adalah Ji Kian atau Ji-taijin yang bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata tajam namun sikapnya lembut dan sinar rnatanya ramah.
Sejenak Ji-taijin mengamati wajah Thian Lee yang cepat bangkit berdiri dan memberi hormat, kemudian pembesar yang diikuti oleh enam orang pengawal yang berdiri di belakangnya itu memberi isyarat kepada enam orang pengawalnya dan enam orang penjaga yang mengawal Thian Lee agar mereka meninggalkan mereka berdua.
Sekali pandang saja tahulah Ji-taijin bahwa Thian Lee seorang baik-baik yang tidak mengandung niat jahat terhadap dirinya dan dia pun tahu bahwa para pengawal itu tidak pergi begitu saja melainkan berjaga di luar kamar tamu, siap untuk setiap saat menyerbu ke dalam kamar.
Setelah semua pengawal pergi, Ji-taijin lalu mempersilakan Thian Lee duduk. “Engkau bernama Song Thian Lee dan datang dari kota raja? Harap perkenalkan siapa dirimu dan apa maksud kedatanganmu berkunjung kepadaku?”
Thian Lee mengeluarkan surat kuasa dari saku dalam bajunya, lalu memperlihatkan kepada Ji-taijin. Ketika membaca surat kuasa dan mengetahui bahwa Song Thian Lee yang kini menghadapnya bukan lain adalah Song-thai-ciangkun yang amat terkenal, Ji-taijin terkejut sekali. Dia mengembalikan surat kuasa dan segera memberi hormat dengan membungkuk dalam.
“Tidak tahu bahwa Song-ciangkun yang datang berkunjung, harap maafkan bahwa kami menyambut kurang hormat,” katanya dengan hormat.
Thian Lee cepat membalas penghormatan itu., “Jangan terlalu sungkan, taijin, mari kita duduk dan bicara secara terbuka. Kedatanganku di Hui-cu ini untuk melaksanakan tugas yang diberikan Sri Baginda kepadaku, yaitu untuk menyelidiki gejala-gejala pemberontakan yang tampak di daerah ini. Apa yang dapat Taijin beri tahu kepadaku mengenai gejala ini?”
Setelah berpikir sejenak, Ji-taijin lalu menjawab, “Kami di sini tidak melihat adanya gejala pemberontakan. Yang kami ketahui adalah adanya gejala permusuhan terhadap para pejabat pemerintah. Kami sendiri sudah dua kali kedatangan seorang berkedok hitam. Entah apa yang dikehendakinya, akan tetapi yang terakhir kali muncul adalah untuk meninggalkan surat ini.”
Ji-taijin menyerahkan surat peringatan yang diterimanya dari Si Kedok Hitam, seperti dia perlihatkan kepada Souw Lee Cin dahulu. Thian Lee menerima surat itu dan membacanya dengan teliti. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada Ji-taijin.
“Bagaimana pendapat Ji-taijin mengenai surat ini? Siapa kira-kira yang mengirim surat peringatan ini?”
“Kami tidak tahu, Ciangkun. Karena para petugas pun hanya melihat sekelebatan saja orang berkedok hitam itu. Yang jelas, ilmu kepandaiannya amat tinggi. Dan agaknya Un-ciangkun juga terbunuh oleh orang yang sama. Semenjak itu kami selalu mengadakan penjagaan ketat, kalau-kalau dia juga menghendaki nyawa kami, Ciangkun.”
“Apakah Ji-taijin kira ini ada hubungannya dengan gerakan pemberontakan?”
“Kami kira tidak begitu, Ciangkun. Kami lebih condong mengira bahwa orang berkedok itu adalah sebangsa pendekar patriot yang membenci semua orang Han yang menjadi pejabat pemerintah.”
“Ji-taijin, engkau sebagai kepala daerah Hui-cu tentu lebih mengetahui, siapa pendekar-pendekar patriot yang tinggal di daerah Hui-cu.”
“Yang paling terkenal adalah keluarga Cia, namun kami menyangsikan apakah mereka yang mengirim Si Kedok Hitam itu. Selama ini mereka tidak pernah melakukan hal-hal yang jahat, bahkan sebaliknya, keluarga Cia selalu menentang kejahatan.”
“Hemm, akan tetapi mereka membenci pejabat yang berbangsa Han, berarti mereka membenci engkau, Ji-taijin.”
“Tidak tahulah, akan tetapi melihat kenyataan bahwa mereka tidak menyerangku, hanya memperingatkan, memang ada kecenderungan menuduh mereka. Akan tetapi, tanpa bukti, bagaimana kita dapat menuduh mereka, Ciangkun?”
“Apakah Taijin pernah mendengar dari para penyelidik Taijin bahwa akhir-akhir ini terdapat orang Jepang yang berkeliaran di Hui-cu?” tanya Thian Lee sambil memandang tajam penuh selidik ke arah wajah pembesar itu. Akan tetapi dia melihat bahwa wajah pembesar itu tidak mernperlihatkan sesuatu yang mencurigakan dan wajar-wajar saja.
“Memang pernah kami mendengarnya, Ciangkun. Akan tetapi karena orang Jepang itu tidak melakukan gangguan, maka dia pun tidak terlalu diperhatikan.”
“Menurut Taijin, bagaimana dengan sikap mendiang Un-ciangkun? Apakah dia itu dapat dipercaya dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia berhubungan dengan pemberontak?”
“Ah, kami berani menanggung bahwa mendiang Un-ciangkun bersih dari sangkaan seperti itu. Dia seorang panglima yang tegas dan adil, berwibawa dan bijaksana. Tidak mungkin dia hendak memberontak! Kami berhubungan dekat sekali sehingga kalau dia akan melakukan penyelewengan, kami tentu akan mengetahui, Ciangkun.”
Thian Lee mengangguk-angguk. “Bagaimana pendapat Ciangkun mengenai diri Lai-ciangkun? Apakah dia pun sama seperti Un-ciangkun?”
“Wakil komandan itu? Kami tidak mengetahui dengan jelas, Ciangkun. Hubungan antara kami dan Un-ciangkun adalah lebih hubungan pribadi antara sahabat, maka kami tidak begitu dekat dengan Lai-ciangkun.”
Thian Lee mengangguk-angguk. Kecurigaannya terhadap keluarga Cia mengendur dengan keterangan yang bersungguh-sungguh dari Ji-taijin ini dan agaknya Ji-taijin seorang yang dapat dipercaya dan meyakinkan.
“Baiklah, terima kasih atas semua keteranganmu, Ji-taijin. Aku mohon pamit untuk meneruskan penyelidikanku.”
“Apakah Ciangkun tidak akan beristirahat? Harap bermalam di sini saja!”
“Terima kasih, Taijin. Aku belum mau beristirahat dan harus melanjutkan penyelidikanku,” kata Thian Lee sambil bangkit dari tempat duduknya.
“Apakah Ciangkun membutuhkan bantuan? Kami mempunyai beberapa orang yang lumayan ilmu silatnya. Kalau engkau membutuhkan….”
“Tidak, terima kasih. Aku lebih leluasa bekerja sendiri.” Thian Lee lalu berpamit dan keluar dari gedung itu. Tak lama kemudian dia pun menghilang ke dalam bayangan pohon-pohon yang gelap.
Lee Cin masih beada di kota Hui-cu dan ia mendengar tentang pembunuhan atas dir Un-ciangkun. Hatinya merasa penasaran sekali. Besar dugaannya bahwa keluarga Cia tentu ada hubungannya dengan pembunuhan itu. Bukankah dua orang saudara itu, Cia Hok dan Cia Bhok, pernah mengadakan pertemuan dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun?
Dan mereka merencanakan untuk membunuh Un-ciangkun dan Ji-taijin! Jelas ada hubungan antara keluarga Cia dan para pemberontak termasuk orang Jepang. Bukankah ia melihat sendiri betapa Yasuki dijamu oleh Nenek Cia?
Ia harus menyelidiki keluarga Cia! Timbul pula dugaan yang meyakinkan di hatinya bahwa Kedok Hitam tentu anggauta keluarga Cia, mungkin sekali Tin Siong karena kepandaian pemuda itu juga hebat. Atau setidaknya, andaikata Si Kedok Hitam bukan anggauta keluarga mereka, keluarga Cia tersangkut pula dalam pembunuhan terhadap diri Un-ciangkun.
Akan tetapi ia teringat kepada Tin Han. Mungkinkah pemuda itu tersangkut dalam persekutuan itu? Rasanya tidak mungkin. Tiba-tiba timbul kecurigaannya. Mungkin yang tersangkut itu hanya beberapa orang saja dari mereka. Jelas Cia Hok dan Cia Bhok tersangkut, akan tetapi belum tentu Nenek Cia, Tin Siong dan Tin Han ada hubungannya dengan mereka.
Bahkan keadaan mereka ini berbahaya kalau hendak menghalangi sepak terjang para pennberontak itu. Jangan-jangan mereka malah dimusuhi sendiri oleh komplotan itu. Pikirannya menjadi bingung dan malam itu, setengah iseng setengah mengharapkan akan memperoleh petunjuk, ia pun meninggalkan rumah penginapan dan pergi menuju ke gedung tempat tinggal keluarga Cia secara bersembunyi.
Malam itu gelap. Sesosok bayangan yang amat ringan dan gesit gerakannya melompati pagar tembok rumah kediaman keluarga Cia, menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman dan terus menghampiri gedung itu. Akan tetapi setelah dia tiba di pekarangan rumah yang berada di samping di mana tergantung sebuah lampu yang cukup besar dan terang, tiba-tiba dua orang laki-laki melompat menghadangnya.
Dua orang ini adalah Cia Hok dan Cia Bhok yang tadi melihat gerak-gerik bayangan itu. Bayangan itu adalah Song Thian Lee. Pemuda itu terkejut juga melihat munculnya dua orang itu dan tahulah bahwa rumah keluarga itu terjaga dan dua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang lumayan tingginya.
Tanpa banyak cakap lagi Cia Hok dan Cia Bhok sudah mencabut pedang mereka dan langsung menyerang Thian Lee dengan dahsyat. Namun Thian Lee dapat mengelak dengan mudah dan dia pun membalas serangan mereka dengan tamparan tangannya. Dia melawan dengan tangan kosong saja karena dia tidak berniat melukai dua orang itu. Maksudnya hanya untuk mengukur sampai di mana kelihaian keluarga Cia sebelum dia mengajak mereka bicara.
Melihat lawan tidak mencabut pedang yang berada di punggungnya, Cia Hok dan Cia Bhok menjadi penasaran sekali. Mereka berdua yang berpedang hanya dilawan tangan kosong belaka oleh laki-laki yang tidak dikenal ini. Maka mereka lalu menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Namun semua serangan mereka sia-sia belaka.
Dengan kelincahan tubuh yang luar biasa cepat gerakannya, orang itu selalu dapat mengelak. Bahkan adakalanya dia menangkis pedang itu dengan telapak tangannya dari samping! Tahulah mereka bahwa mereka bukan menghadapi seorang maling biasa, melainkan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Setelah puas menyelidiki ilmu pedang mereka, ketika pedang Cia Hok membacok dari atas ke arah kepalanya, Thian Lee miringkan tubuhnya dan ketika pedang itu meluncur dari atas ke bawah di samping tubuhnya, cepat dia memukul dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan Cia Hok yang memegang pedang.
"Dukk!" Tanpa dapat dihindarkan lagi pedang itu terpental lepas dari tangan Cia Hok yang terasa lumpuh seketika dan sebelum Cia Hok dapat menghindar sebuah tendangan mengenai pahanya dan dia pun terpelanting jatuh. Walaupun tidak terluka parah, Cia Hok terkejut bukan main melihat kenyataan betapa dia begitu mudah dikalahkan. Cia Bhok marah dan cepat menusukkan pedangnya ke arah ulu hati Thian Lee.
Pemuda itu menerima pedang itu dengan kedua tangannya. Kedua telapak tangan menjepit ujung pedang dan Cia Bhok tidak dapat menggerakkan pedangnya lagi! Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong pedangnya agar rnengenai ulu hati lawan, namun pedangnya seperti telah melekat dengan kedua telapak tangan lawan, sama sekali tidak dapat didorong atau dicabut.
Dengan penasaran dia lalu mengerahkan Hek-tok-ciang di tangan kirinya, lalu memukul dengan tiba-tiba ke arah pundak Thian Lee. Thian Lee maklum akan datangnya pukulan ampuh, akan tetapi dia mengerahkan sin-kangnya ke pundak dan menerima hantaman telapak tangan kiri itu.
"Plak.... trakkk!"
Pundak terpukul, akan tetapi sedikit pun tidak tergoyangkan, sedangkan ketika dia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, pedang itu patah menjadi dua potong! Cia Bhok yang tadi memukul dengan tangan kiri, merasa seolah menghantam papan baja yang amat kuat, tenaganya membalik dan karena pada saat itu pedangnya patah maka dia pun terhuyung ke belakang!
Selagi Thian Lee hendak membuka mulut dan minta maaf, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan terdengar suara melengking. Sebatang suling perak telah menotok ke arah lehernya dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali!
Thian Lee menarik tubuh atasnya ke belakang dan kakinya menyapu ke arah kedua kaki orang yang baru saja melayang turun sehingga orang itu melompat lagi ke atas untuk menghindarkan sapuan kaki Thian Lee. Kemudian dia menyerang lagi dengan suling peraknya. Suling itu berubah menjadi gulungan sinar perak yang menyilaukan mata, mengepung dan mendesak Thian Lee dengan serangan bertubi-tubi.
Thian Lee merasa kagum. Tingkat kepandaian pemuda tampan yang memegang suling perak ini ternyata lebih tinggi daripada tingkat kedua orang setengah tua itu. Bangkit kegembiraannya untuk menguji kepandaian pemuda tampan yang lihai ini dan dia pun mencabut Jit-goat-kiam yang tergantung di punggungnya. Thian Lee mengambil sikap bertahan. Dia membiarkan dirinya dihujani serangan dengan suling perak oleh lawannya tanpa membalas.
Dia menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang luar biasa sehingga penyerangnya yang bukan lain adalah Cia Tin Siong itu menjadi pening. Dia merasa seolah menyerang sebuah bayangan saja. Ke mana pun sulingnya menyambar, selalu bertemu pedang atau hanya mengenai udara kosong belaka.
Hal ini membuat Tin Siong menjadi penasaran sekali. Rasanya selama dia menguasai ilmu-ilmu silat dari ayah dan neneknya, belum pernah dia bertemu dengan seorang lawan yang begini pandai. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya melalui suling peraknya, namun suling itu selalu gagal mengenai tubuh lawan.
Setelah membiarkan lawannya menyerang terus selama tiga puluh jurus lebih, dan menghabiskan semua jurusnya, barulah puas rasa hati Thian Lee. Dia melihat bahwa suling perak itu dimainkan dengan ilmu pedang bercampur dengan ilmu menotok jalan darah, maka ilmu yang dimainkan dengan suling perak itu menjadi berbahaya bukan main.
Dia merasa kagum dan maklum bahwa keluarga Cia memiliki anggauta keluarga yang pandai dan berjumlah banyak. Dia ingin tahu apakah masih ada anggauta keluarga yang lebih lihai daripada pemuda bersuling ini.
Setelah mulai membalas, Tin Siong menjadi terkejut melihat serangan balasan yang amat dahsyat dari lawannya. Dia sudah berusaha memutar sulingnya melindungi seluruh tubuhnya, akan tetapi ketika suling peraknya menangkis, tiba-tiba sulingnya itu tidak dapat ditarik lepas dari pedang lawan, seolah telah menempel dengan pedang.
Dia mengerahkan tenaga membetot suling, lalu mendorong dan sekaligus tangan kirinya memukul dengan pengerahan ilmu pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam). Thian Lee melihat telapak tangan menghitam memukul ke arah dadanya. Dia pun mendorongkan tangan kirinya menyambut serangan itu.
"Plakk....!" Tubuh Tin Siong terpental sampai empat meter sedangkan Thian Lee yang merasakan pukulan panas hanya bergoyang sedikit, tanda bahwa tenaga sin-kangnya masih menang jauh.
Tiga orang anggauta keluarga Cia itu terkejut bukan main, juga merasa khawatir karena lawan ini ternyata bukan main lihainya. Pada saat itu, sesosok bayangan menyambar dan sebatang pedang bersinar merah menyambar dengan tusukan dahsyat ke arah dada Thian Lee. Thian Lee cepat menangkis dengan pedangnya.
"Tranggg...!"
Thian Lee terdorong ke belakang akan tetapi penyerang itu juga hampir terpelanting, akan tetapi dapat membuat gerakan jungkir balik sehingga tubuhnya turun ke atas tanah dengan pedang bersinar merah itu melintang di depan dada. Dua pasang mata yang mencorong saling pandang.
"Engkau....??" Lee Cin yang tadi menyerang itu berseru kaget dan heran.
"Eh, engkau ini... Cin-moi....??" Thian Lee juga berseru heran melihat gadis perkasa yang sudah dikenalnya dengan amat akrabnya itu berada di situ. Mereka kembali saling pandang dan otomatis tangan mereka menyimpan lagi pedang yang tadi terpegang.
"Lee-ko, kenapa engkau berada di sini? Dan mengapa berkelahi dengan keluarga Cia?"
Thian Lee tersenyum. "Hanya untuk rnenguji kepandaian mereka karena aku telah lama mendengar akan kelihaian keluarga Cia."
Lee Cin lalu memutar tubuhnya menghadapi Tin Siong, Cia Hok dan Cia Bhok. Ia membungkuk dan berkata, "Harap maafkan dia. Dia adalah sahabat baikku bernama Song Thian Lee, bukan orang jahat."
Thian Lee tersenyum dan mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat kepada tiga orang itu lalu berkata, "Maafkan saya. Mari, Cin-moi, kita pergi dari sini. Banyak yang harus kita saling bicarakan."
"Baik, Lee-ko." Lee Cin kembali memberi hormat kepada tiga orang itu dan bersama Thian Lee ia berlebat lenyap dari depan tiga orang itu.
"Bukan main! Hebat sekali kepandaiannya!" kata Cia Bhok sambil menghela napas panjang.
"Siapa orang itu?" tanya Cia Tin Siong dengan alis berkerut. Tidak senang hatinya melihat keakraban di antara Lee Cin dan pemuda itu.
"Namanya Song Thian Lee?" kata Cia Hok. "Ah, aku teringat sekarang! Song Thian Lee adalah pemuda perkasa yang dahulu ikut menghancurkan persekutuan pejuang yang dipimpin oleh Pangeran Tang Gi Lok! Dialah pendekar muda yang kemudian diangkat menjadi Panglima Besar oleh Kaisar Mancu!"
"Ah, sayang sekali dia menghambakan diri kepada Kaisar Mancu!" kata Cia Bhok sambil menarik napas panjang.
Cia Tin Siong mengepal tinjunya. "Kalau begitu dia harus disingkirkan. Orang itu berbahaya sekali!" Mereka bertiga lalu kembali memasuki rumah untuk melaporkan peristiwa itu kepada Nenek Cia.
"Lee-ko, bagaimana keadaanmu, Le-ko? Bagaimana pula kabarnya dengan Enci Cin Lan? Sudahkah kalian mempunyai keturunan?" Lee Cin menghujani Thian Lee dengan pertanyaan yang bertubi. Ia merasa gembira bukan main dapat bertemu dengan Song Thian Lee, pria yang pernah merebut hatinya, yang pernah dicintanya sepenuh hatinya.
Memang selama ini ia sudah dapat melupakan Thian Lee, dapat menerima kenyataan bahwa cinta sepihak tidak dapat dilanjutkan dalam pernikahan. Ia sudah rela bahwa Thian Lee menikah dengan Tang Cin Lan yang dicinta pemuda itu. Akan tetapi tetap saja pertemuan ini mendatangkan perasaan girang dalam hatinya, segar sejuk rasanya seperti setangkai bunga yang terkena siraman embun pagi.
Udara mendadak cerah, awan tersapu angin sehingga tampaklah bulan sepotong yang tadi tertutup awan. Cuaca menjadi remang-remang dan mereka duduk di jalan yang sunyi, di atas batu-batu besar yang terdapat di tempat itu. Thian Lee tersenyum menerima pertanyaan bertubi itu. Dia sendiri pun merasa sangat gembira dengan pertemuan yang tidak terduga-duga ini.
"Keadaanku baik-baik saja, Cin-moi. Juga isteriku berada dalam keadaan sehat dan selamat. Kami telah mempunyai seorang anak laki-laki bernama Song Hong San yang kini telah berusia dua tahun. Dan bagaimana dengan keadaanmu selama ini, Lee-moi? Apakah engkau masih tinggal bersama ayahmu, Paman Souw Tek Bun di Hong-son?"
"Aku pun baik-baik saja, Lee-ko. Benar, aku tinggal di Hong-san bersama ayahku. Akan tetapi, apa yang membawamu datang ke tempat ini, dan mengapa pula engkau bertanding dengan keluarga Cia? Aku tidak percaya bahwa engkau hanya menguji kepandaian mereka. Dan lagi, engkau seorang panglima besar mengapa melakukan perjalanan dengan pakaian rakyat biasa? Apa yang telah terjadi?"
"Aku pun terkejut dan heran sekali melihat engkau membantu mereka. Akan tetapi biarlah aku bercerita lebih dulu. Aku diutus oleh Kaisar untuk melakukan penyelidikan di daerah timur ini, karena terdengar berita bahwa di daerah ini ada gejala-gejala pemberontakan. Engkau pun tentu sudah mendengar betapa Un-ciangkun terbunuh orang-orang yang menyerang rumahnya.
"Nah, aku melakukan penyelidikan dan mengambil kesimpulan bahwa Un-ciangkun tentu terbunuh oleh orang-orang yang mempunyai niat untuk memberontak. Aku pun sudah mengunjungi Ji-taijin yang juga pernah didatangi orang dengan niat tidak baik pula. Menurut perhitunganku, di sini bergerak pendekar-pendekar patriot yang membenci orang-orang Han. yang menjadi pembesar.
"Karena aku mendengar bahwa keluarga Cia juga merupakan pendekar-pendekar patriot, maka aku datang untuk menyelidiki mereka. Aku ketahuan dan terjadilah perkelahian itu. Akan tetapi aku hanya ingin mengukur kepandaian mereka, tidak bermaksud mencelakai mereka. Nah, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita mengapa engkau berada di sini dan agaknya engkau mengenal pula keluarga Cia."
Mendengar pertanyaan ini Lee Cin tertawa. Thian Lee tersenyum melihat dan mendengar gadis ini tertawa. Tawa Lee Cin masih seperti dulu, riang jenaka dan bebas.
"Hemm, kenapa engkau tertawa, Cin-moi? Ada yang lucu dalam ceritaku tadi?"
"Lucu sekali! Ternyata keberadaanmu di sini sama benar dengan kedatanganku di Hui-cu. Pengalaman kita juga hampir sama! Aku pun telah menyelidiki keluarga Cia dan aku sudah mendengar semua akan kematian Un-ciangkun dan akan Ji-taijin yang memperoleh surat ancaman. Semua yang kau ketahui, sudah kuketahui dan mungkin aku banyak tahu tentang semua itu. Hanya bedanya, kalau engkau datang menjadi penyelidik utusan Kaisar, aku datang ke sini untuk mencari orang yang melukai ayahku."
"Ayahmu dilukai orang? Mengapa dan siapa yang melakukannya?"
"Orang itu berkedok dan ketika aku sedang tidak berada di rumah, dia mendatangi Ayah, menegur Ayah dan mengatakan Ayah sebagai antek Mancu, kemudian menyerang Ayah. Terjadi perkelahian dan Ayah terluka oleh pukulan yang mendatangkan bekas telapak tangan hitam. Ayah telah dapat disembuhkan dan karena panasaran aku lalu mencari Si Kedok Hitam itu.
"Ketika aku mendengar bahwa keluarga Cia memiliki ilmu pukulan Hek-tok-ciang, aku lalu menyelidiki ke sini. Dan kebetulan sekali aku bertemu sendiri dengan Si Kedok Hitam yang ketika itu mendatangi rumah Ji-taijin. Kami sempat bertanding. Dia memang lihai akan tetapi sebelum seorang di antara kami kalah atau menang, dia sudah melarikan diri.
"Aku sudah menyelidiki di keluarga Cia, akan tetapi tidak menemukan Si Kedok Hitam. Kurasa dia bukan anggauta keluarga Cia yang sudah kucoba pula ilmu kepandaian mereka. Dalam penyelidikanku terhadap Si Kedok Hitam itulah aku sempat menemui Ji-taijin dan juga mendiang Un-ciangkun. Mereka berdua hanya tahu bahwa mereka didatangi Si Kedok Hitam, akan tetapi tidak dapat menduga siapa orangnya.
"Malam ini, karena masih penasaran aku datang lagi kepada keluarga Cia untuk mengintai dan menyelidiki. Melihat ada orang bertanding dengan mereka dan mereka terdesak, aku segera membantu karena aku telah berkenalan cukup baik dengan mereka. Nah, demikian ceritaku, Lee-ko. Bukankah pengalaman kita mirip sekali?"
Thian Lee mengangguk-angguk. "Sungguh suatu kebetulan yang mengherankan, akan tetapi menguntungkan aku, Cin-moi. Dengan semua keteranganmu itu, aku dapat memperoleh tambahan pengetahuan dan tentu saja setelah kita bertemu di sini, aku boleh mengharapkan bantuanmu dalam penyelidikan ini."
"Masih ada lagi keteranganku yang tentu amat penting bagimu, Lee-ko. Ketahuilah bahwa dua orang di antara keluarga Cia, yaitu dua orang setengah tua yang tadi berada di sana, bernama Cia Hok dan Cia Bhok, mereka mengadakan persekutuan dengan orang Jepang bernama Yasuki dan juga dengan seorang perwira bernama Phoa-ciangkun."
Thian Lee terkejut sekali dan juga girang mendengar berita ini. "Benarkah itu, Cin-moi? Beritamu ini sungguh teramat penting bagiku. Bagaimana engkau dapat mengetahui akan hal itu?"
"Aku mengetahuinya secara kebetulan saja, Lee-ko. Ketika itu aku menjadi tamu keluarga Cia dan pada suatu malam, secara kebetulan sekali ketika aku berada di dalam taman, aku melihat mereka berdua bercakap-cakap dengan Yasuki dan Phoa-ciangkun. Dalam pembicaraan singkat yang kudengar ketika mereka berjalan di taman itu, mereka merencanakan pembunuhan terhadap Ji-taijin dan Un-ciangkun."
"Bagus! Kini jelaslah sudah bahwa keluarga Cia terlibat dalam usaha pemberontakan dan bergabung dengan orang jepang. Adapun panglima yang hendak berkhianat adalah Phoa-ciangkun yang memimpin pasukan di sepanjang pantai timur. Kesaksianmu ini sudah cukup untuk menangkap keluarga Cia dan Panglima Phoa, Cin-moi."
"Masih ada berita yang tentu akan mengejutkanmu, Lee-ko. Engkau tentu masih ingat akan orang yang bernanna Siangkoan Tek, bukan?"
"Siangkoan Tek, putera dari Siangkoan Bhok majikan Pulau Naga, datuk dari timur itu?"
"Benar, dia juga bersekutu dengan orang Jepang. Pernah mereka mengeroyok dan menawan aku, dan aku nyaris celaka kalau tidak ditolong oleh Si Kedok Hitam."
"Si Kedok Hitam yang mengirim surat peringatan kepada Ji-taijin?"
"Ya, dialah orangnya yang sudah dua kali menolongku. Dan selain Siangkoan Tek, masih ada seorang pemuda lain, bernama Ouw Kwan Lok yang juga bersekongkol dengan orang Jepang. Pemuda ini adalah murid mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong."
"Thian-te Mo-ong? Ah, datuk sesat itu dapat meloloskan diri ketika dikirim ke tempat pembuangan. Kiranya dia mempunyai murid yang bersekongkol dengan pemberontak dan orang Jepang."
"Ouw Kwan Lok itu lihai juga, Lee-ko. Kita harus waspada menghadapi Ouw Kwan Lok dan Siangkoan Tek."
"Hemm, kalau putera dan murid para datuk sesat itu ditarik pula oleh pemberontak untuk bergabung, maka keadaannya menjadi semakin gawat. Apalagi aku juga menaruh curiga terhadap Lai-ciangkun, pengganti Un-ciangkun. Ketika bermalam di rumahnya, aku diserang orang bertopeng. Aku merobohkan mereka, akan tetapi sebelum aku dapat memeriksa mereka, ada orang menyambitkan pisau dan keduanya tewas. Ini tentu perbuatan orang dalam markas itu, maka aku menaruh curiga kepada Lai-ciangkun."
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan, Lee-ko?"
"Aku akan menangkapi mereka semua yang mencurigakan. Keluarga Cia akan kutangkap dulu."
"Nanti dulu, Lee-ko. Aku percaya bahwa tidak semua anggauta keluarga Cia bersekongkol dengan pemberontak. Aku melihat dua orang putera mereka bukanlah orang jahat. Yang bernama Cia Tin Siong itu seorang berjiwa patriot yang gagah perkasa dan aku sudah mengenalnya dengan baik, dan terutama sekali adiknya yang bernama Cia Tin Han, biarpun dia seorang pemuda yang lemah dan tidak mengerti ilmu silat, namun jiwanya patriotis, bahkan dia bercita-cita menjadi seorang patriot sejati yang tidak sudi bersekutu dengan perkumpulan jahat apalagi orang Jepang. Aku khawatir kalau mereka akan tersangkut karena mereka adalah dua orang anggauta keluarga Cia."
"Engkau mengenal keluarga Cia lebih baik, Cin-moi. Kalau menurut pendapatmu, siapa saja yang bersekutu dengan orang Jepang dan pemberontak?"
"Yang sudah jelas kudengarkan sendiri ketika berembuk adalah Cia Hok dan Cia Bhok. Yang kucurigai adalah Nenek Cia yang menjamu orang Jepang itu. Entah kalau ayah ibu kedua orang pemuda itu, aku belum dapat menilainya."
"Kalau begitu, aku akan menangkap Cia Hok dan Cia Bhok lebih dulu. Kalau nanti dalam pemeriksaan ada lagi anggauta keluarga mereka yang terlibat, mudah dilakukan penangkapan kembali."
"Akan tetapi biarpun engkau seorang panglima besar, engkau tidak membawa pasukan, bagaimana hendak menangkap orang, Lee-ko...?"