Dewi Ular Jilid 14

Cerita Silat Mandarin serial Gelang Kemala seri Dewi Ular Jilid 14 karya Kho Ping Hoo

Dewi Ular Jilid 14

THIAN LEE tersenyum. "Biarpun aku tidak membawa pasukan, akan tetapi aku membawa surat perintah dari Sri Baginda Kaisar. Dengan surat itu, mudah bagiku untuk memerintahkan Panglima Lai menyediakan pasukan untukku."

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

"Akan tetapi, bukankah engkau mencurigai Lai-ciangkun? Bagaimana kalau kecurigaanmu itu benar dan dia bersekongkol dengan orang Jepang dan Phoa-ciangkun? Tentu dia akan mengkhianatimu dan tidak akan memberi bantuan pasukan."

Thian Lee mengangguk-angguk. "Engkau hebat, Cin-moi. Kulihat selama beberapa tahun ini semakin cerdik dan kekhawatiranmu itu memang beralasan. Karena itu, aku akan lebih dulu menguasai pasukan, mengambil alih kekuasaan dari tangan Lai-ciangkun sebelum aku bergerak."

"Kalau begitu...."

"Sssssttt...!" Tiba-tiba Thian Lee memotong dan menempelkan telunjuknya pada bibirnya memberi isyarat agar Lee Cin tidak bersuara. Telinganya yang memiliki pendengaran tajam dan peka sekali itu mendengar sesuatu yang tidak wajar, seperti langkah-langkah kaki orang.

Lee Cin segera dapat menangkap isyarat itu dan ia pun mengerahkan pendengarannya untuk menangkap suara yang tidak wajar. Ia mengangguk-angguk, karena ia pun dapat menangkap suara langkah-langkah kaki yang mendatangi dari jauh!

Tiba-tiba nampak obor yang banyak jumlahnya bernyala dan mereka telah dikepung oleh orang-orang yang memegang obor. Keadaan menjadi terang benderang dan dua orang muda itu melihat puluhan orang telah mengepung mereka! Mereka tidak menjadi gugup, akan tetapi segera berlompatan dari batu yang mereka duduki dan berdiri tegak dan siap siaga.

Ketika Lee Cin memandang, ternyata orang-orang itu dipimpin oleh lima orang yang sudah dikenalnya. Mereka adalah dua orang bersaudara Cia, yaitu Cia Hok dan Cia Bhok, lalu orang Jepang Yasuki, dan yang dua orang lagi adalah Siang-koan Tek dan Ouw Kwan Lok. Masih ada lagi dua orang berusia lima puluh tahun yang berdiri di belakang lima orang ini, yang tidak ia kenal.

Akan tetapi Thian Lee mengenal mereka berdua yang bukan lain adalah Hek-bin Mo-kai dan Sin-ciang Mo-kai. Kiranya dua orang tokoh sesat itu telah bergabung dengan persekutuan pemberontak. Dan sekarang dia melihat bukti bahwa dua orang bersaudara Cia itu benar-benar bersekutu dengan pemberontak dan tokoh-tokoh jahat.

Hanya keterlibatan Panglima Phoa yang belum tampak buktinya, akan tetapi dia mengira bahwa tentu puluhan orang anak buah itu merupakan anak buah Phoa-ciangkun, dan melihat golok besar di pinggang para anak buah itu, dugaannya semakin keras karena dia mengenal pasukan golok besar yang merupakan pasukan inti yang ditempatkan di perbatasan-perbatasan.

Pasukan golok besar adalah pasukan yang terkenal kuat karena para anggautanya memiliki ilmu golok yang sudah lumayan tangguhnya. Sebagai seorang yang berpengalaman, melihat sepintas lalu saja tahulah Thian Lee bahwa mereka berdua berada dalam bahaya besar. Dia tahu bahwa lima orang di depan itu, ditambah dua orang tokoh sesat merupakan lawan yang tangguh.

Tentu saja dia mampu mengalahkan mereka satu demi satu, akan tetapi kalau mereka maju bertujuh, ditambah lagi dengan barisan golok besar yang jumlahnya paling sedikit tiga puluh orang itu, mereka merupakan pengeroyok yang amat kuat.

Dia mengkhawatirkan keselamatan Lee Cin maka sambil mengeluarkan pedang Jit-goat-kiam dia berseru, "Cin-moi, larilah cepat!"

Akan tetapi bagaimana gadis perkasa itu mau melarikan diri meninggalkan sahabatnya yang terancam bahaya maut? Ia pun mengeluarkan Ang-coa-kiam yang tadinya melibat pinggangnya dan berkata, "Lee-ko, kita hajar semua anjing srigala ini!"

"Tidak, larilah dari sini, Cin-moi. Biar aku yang menahan para pemberontak ini!" Thian Lee berseru lagi.

Akan tetapi Lee Cin tetap tidak mau beranjak dari situ. "Kita lawan bersama, Lee-ko. Aku tidak dapat meninggalkanmu!" katanya gagah.

Siangkoan Tek tertawa bergelak, merasa menang karena dua orang itu sudah terkepung erat. "Ha-ha-ha, Song Thian Lee. Dalam keadaan terjepit engkau masih berlagak! Nona Souw Lee Cin, lebih baik engkau menyerah. Aku yang menanggung bahwa engkau tidak akan diganggu karena aku masih mengharapkan engkau menjadi isteriku."

"Siangkoan Tek jahanam busuk! Daripada menjadi isterimu aku lebih baik mati!" jawab Lee Cin sambil menudingkan pedangnya ke arah muka pemuda itu, kemudian gadis ini pun menyerang dan menerjang ke depan, pedangnya berkelebat menusuk ke arah dada Siangkoan Tek.

Pemuda tampan ini lalu menggerakkan pedangnya menangkis dan mereka segera bertanding dengan serunya. Pedang Lee Cin berkelebatan dan menyambar-nyambar bagaikan kilat, namun Siangkoan Tek yang merupakan lawan yang tangguh sudah menghadang ke arah mana pedang gadis bergerak sehingga semua serangan Lee Cin dapat ditangkisnya.

Sementara itu, Ouw Kwan Lok yang mendengar bahwa pemuda itu adalah Thian Lee, musuh utama kedua gurunya, cepat menerjang maju dengan sepasang pedangnya. Gerakannya diikuti oleh kedua saudara Cia yang sudah tahu betapa lihainya Song Thian Lee yang juga mereka ketahui sebagai Panglima Besar Song itu.

Melihat ini, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai juga terjun ke dalam pertempuran membantu mereka mengeroyok sehingga Thian Lee kini dikeroyok oleh lima orang yang lihai! Namun Thian Lee tidak menjadi gentar. Yang membuatnya khawatir hanyalah Lee Cin yang sudah terlibat perkelahian seru dengan Siangkoan Tek.

Dia memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari penyerangan lima orang pengeroyoknya. Sementara itu, Yasuki yang melihat Thian Lee sudah clikeroyok lima, segera menggerakkan samurainya untuk membantu Siangkoan Tek mengeroyok Lee Cin.

"Tranggg….. cringgg……!!"

Bunga api berpijar-pijar ketika pedang Ang-coa-kiam menangkis samurai dan pedang di tangan Siangkoan Tek. Lee Cin mengamuk. Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar merah yang menyambarnyambar ke arah kedua orang pengeroyoknya.

Puluhan orang anak buah yang mengepung tempat itu sejenak memandang jalannya pertempuran dengan mata kagum. Mereka kagum melihat sepak terjang Thian Lee yang biarpun dikeroyok lima masih dapat bergerak dengan gesit, berloncatan ke sana sini dan membalas serangan lima orang pengeroyoknya.

Juga mereka kagum melihat gadis cantik itu yang biarpun dikeroyok dua masih juga memainkan pedangnya yang berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung. Pemimpin mereka lalu bersuit panjang memberi aba-aba dan majulah puluhan orang itu terbagi menjadi dua. Sebagian mengepung Lee Cin dan sebagian lagi mengepung Thian Lee.

Lee Cin yang dikeroyok dua oleh Siangkoan Tek dan Yasuki, mengamuk dan pedangnya menyambar-nyambar ganas sehingga kedua orang pengeroyoknya itu tidak mampu mendesaknya, bahkan beberapa kali mereka harus cepat mengelak karena sambaran pedang gadis itu amat berbahaya. Dalam keadaan itu, tiba-tiba sedikitnya lima belas orang telah maju membantu.

Mereka memegang golok besar dan ada yang tangan kirinya menggunakan obor untuk menyerang Lee Cin! Gadis ini dikepung ketat dan hujan bacokan dan tusukan menyambar ke arah dirinya. Terpaksa ia harus memutar pedangnya melindungi dirinya dan kalau melihat kesempatan, kakinya atau tangan kirinya bergerak cepat merobohkan seorang pengeroyok.

Tiba-tiba terdengar suitan pendek dua kali dan para pengepung yang lima belas orang banyaknya itu berlari berputaran mengubah kedudukan dan ketika mereka menyerang lagi, ternyata empat orang tetap memegang obor yang diangkat tinggi-tinggi sedangkan belasan orang yang lain kini memegang sehelai jala! Siangkoan Tek dan Yasuki masih mencoba untuk mendesak Lee Cin.

Ketika gadis ini menyingkir dengan lompatan ke pinggir, tiba-tiba dua helai jala melayang dan menerkamnya! Ia terkejut sekali, menggunakan pedangnya untuk dibacokkan ke arah kedua helai jala itu, akan tetapi pedangnya hanya dapat membuat jala itu gagal menerkamnya, tidak mampu merusak benang jala yang ternyata amat ulet dan kuat itu.

Serangan Siangkoan Tek dan Yasuki sudah datang lagi dan Lee Cin terpaksa memutar pedangnya sambil melangkah mundur! Ia mulai terdesak. Tibatiba kembali ada jala menerkamnya dari belakang. Ia meloncat ke kanan, akan tetapi dari kanan juga menerkam sehalai jala. Ia melompat ke kiri, kini bahkan ada dua jala menyambutnya dengan terkaman.

Ketika ia menangkis dengan pedangnya, dari segala penjuru ada jala menerkam sehingga ia tidak mampu menghindarkan diri lagi. Tubuhnya sudah diselimuti beberapa helai jala dan ia hanya dapat meronta seperti seekor ikan besar masuk ke dalam jala yang kuat. Pedangnya digerakkan ke kanan kiri, akan tetapi tidak dapat merobek jala itu.

Siangkoan Tek melompat ke depan dan dari belakang dia menotok pundak Lee Cin, membuat gadis itu terkulai. Siangkoan Tek lalu mengangkat gadis itu bangkit berdiri, merampas pedangnya, dan melihat betapa Thian Lee masih mengamuk merobohkan banyak anak buah, dia berteriak lantang.

"Song Thian Lee, lihat, aku telah menangkap Souw Lee Cin! Kalau engkau tidak menyerah, aku akan membunuh gadis ini lebih dulu!"

Mendengar seruan itu, Thian Lee terkejut, melompat ke belakang dan memandang. Dia melihat Lee Cin masih terselimuti jala, berdiri dan dipegangi oleh Siangkoan Tek yang menodongkan pedang milik gadis itu di leher Lee Cin! Terjadi pergumulan dalam hati Thian Lee. Kalau dia menyerah, berarti dia akan tewas! Akan tetapi bagaimana dia tega untuk membiarkan mereka membunuh Lee Cin?

"Lee-ko, jangan mau menyerah, mereka tentu akan membunuhmu. Biarkan aku mati, aku tidak takut!" Lee Cin masih sempat berseru sebelum Siangkoan Tek menotok lehernya dan membuat ia terdiam, tidak mampu mengeluarkan kata-kata.

"Song Thian Lee, kalau engkau menyerah, kami berjanji tidak akan membunuhmu sekarang, tergantung pimpinan kami!" kata pula Siangkoan Tek.

Akhirnya Thian Lee mengambil keputusan. Lebih baik mati bersama Lee Cin daripada membiarkan Lee Cin mati di depan matanya. Dia lalu berkata, "Baik, aku menyerah, jangan bunuh ia!"

Mendengar ini, Ouw Kwan Lok lalu menghampiri Thian Lee dan mengambil pedang Jit-goat-kiam dari tangan panglima itu. "Belenggu kedua tangannya!" perintah Siangkoan Tek.

"Biar kubunuh dia!" teriak Hek-bin Mo-ko dan ruyungnya menyambar ke arah kepala Thian Lee.

"Takk..... desss......!!"

Pukulan ruyung itu tertangkis sepasang pedang Siangkoan Tek dan sebuah tendangan membuat Hek-bin Mo-ko terlempar dan terbanting ke atas tanah.

"Hek-bin Mo-ko, apakah engkau ingin mampus? Aku sudah berjanji tidak akan membunuhnya, tak seorang pun boleh melanggar janjiku!" bentak Siangkoan Tek sambil melotot kepada Hek-bin Mo-ko yang bangkit berdiri sambil menyeringai kesakitan.

"Maafkan aku!" katanya menerima salah.

Malam itu juga kedua orang tawanan itu digiring naik ke sebuah bukit. Para pemegang obor menerangi jalan di depan dan belakang dan akhirnya, menjelang pagi, sampailah mereka di puncak bukit di mana mereka terdapat sebuah bangunan besar. Bangunan itu terjaga oleh puluhan orang anak buah dan Thian Lee bersama Lee Cin digiring masuk ke dalam bangunan besar itu.

Mereka didorong masuk ke dalam sebuah ruangan yang luas. Ruangan itu kosong. Lee Cin dan Thian Lee dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang, didorong duduk di atas bangku. Kedua orang muda ini saling pandang sejenak dan keduanya siap siaga menanti segala yang akan nnenimpa diri mereka. Mereka tidak putus asa.

Selama mereka masih hidup, mereka tidak akan pernah putus asa dan selalu akan menggunakan segala kesempatan untuk menyelamatkan diri. Pandang mata Lee Cin terhadap Thian Lee mengandung keharuan dan juga teguran. Gadis ini menyesal mengapa Thian Lee mengorbankan diri untuknya, padahal dengan kepandaiannya, kalau dia mau, pemuda itu masih dapat meloloskan diri ketika dikepung.

Akan tetapi ia pun merasa terharu sekali. Pemuda yang pernah dicintanya itu ternyata masih mau mengorbankan diri untuk keselamatannya! Thian Lee melihat apa yang terkandung dalam sinar mata Lee Cin, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu.

Mereka semua juga duduk di atas kursi-kursi yang semua menghadap ke arah dinding di mana terdapat pula beberapa buah kursi merapat dinding. Ruangan itu kosong pada dinding tidak ada hiasan apa pun. Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok duduk di depan, mengapit Thian Lee dan Lee Cin.

Yasuki duduk di sebelah kiri Soangkoan Tek. Di belakang mereka duduk Cia Hok, Cia Bhok dan dua orang tokoh sesat itu, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai. Adapun sernua anak buah tidak ikut masuk, mungkin menjaga di luar ruangan, siap untuk menyerbu kalau ada perintah dari dalam.

Ruangan itu diterangi oleh empat buah lampu gantung sehingga keadaannya terang sekali dan semua orang kini memandang ke arah pintu besar di sebelah dalam yang daun pintunya masih tertutup. Agaknya dari situlah para pimpinan akan muncul.

Thian Lee dan Lee Cin juga memandang ke arah pintu dengan jantung berdebar tegang. Siapakah pemimpin komplotan ini? Thian Lee sama sekali tidak takut bahwa dirinya menjadi tawanan. Dia hanya menyesal mengapa Lee Cin tidak menuruti nasihatnya untuk melarikan diri.

Dia adalah seorang panglima yang melaksanakan tugasnya. Kalau dia harus mati dalam melaksanakan tugas, dia tidak merasa penasaran. Akan tetapi Lee Cin hanya terbawa-bawa olehnya. Gadis itu tidak terlibat sama sekali. Akan tetapi Thian Lee tidak pernah putus asa.

Kedatangannya di Hui-cu sudah diketahui oleh Ji-taijin juga oleh Lai-ciangkun. Kiranya mereka berdua tidak akan berani membiarkan dia, seorang panglima besar, mendapat celaka di daerah mereka. Bukan tidak mungkin sebentar lagi ada pasukan dari Lai-ciangkun yang menyerbu tempat itu dan membebaskannya. Andaikata tidak, dia pun akan dapat membela diri sampai titik darah terakhir.

Akhirnya daun pintu terbuka dan Lee Cin terbelalak memandang kepada Nenek Cia yang memasuki ruangan itu, diikuti oleh Cia Kun. Nyonya Cia Kun dan Cia Tin Siong! Semua orang yang berada di situ bangkit untuk menghormati nenek itu. Nenek Cia memasuki ruangan dengan langkah tegap dan sikapnya angkuh.

Ia memegang tongkat naga dan matanya tajam bersinar-sinar ketika ia memandang kepada Thian Lee dan Lee Cin. Di antara mereka, Thian Lee hanya mengenal Cia Tin Siong yang pernah dijumpai dan pernah bertanding dengannya. Yang lain belum pernah dilihatnya.

Lee Cin benar-benar terkejut dan heran sekali. Tak disangkanya bahwa keluarga Cia benar-benar berkomplot dengan para pemberontak dan orang Jepang bahkan agaknya Nenek Cia menjadi pemimpin mereka.

Akan tetapi ketika Tin Siong melihat Lee Cin duduk terbelenggu, dia terkejut sekali dan cepat menghampiri Lee Cin untuk melepaskan belenggunya. Akan tetapi. Nenek Cia menghardiknya.

"Tin Siong, mundur kau!"

"Akan tetapi, Nek. Nona Lee Cin tidak bersalah apa-apa. Bahkan ia pernah menjadi tamu kehormatan dan sahabat baik. Mengapa ia ditangkap? Aku tidak setuju, sama sekali tidak setuju kalau Nona Lee Cin diperlakukan seperti ini, Nek! Ia bukan mata-mata Mancu, ia bukan musuh kita!"

Tin Siong membantah sambil menghadapi neneknya dengan berani. "Lupakah Nenek bahwa Nenek pernah mengusulkan agar aku menikah dengannya? Aku masih belum lupa, Nek!"

"Tin Siong, engkau hendak membantah aku? Aku tidak akan mengganggunya kalau ternyata ia tidak bersalah. Sekarang duduk dan diamlah, dengarkan saja!" kembali nenek itu menghardik.

Dan Tin Siong duduk sannbil mengerutkan alisnya, memandang kepada Lee Cin dan dalam pandang matanya dia seperti hendak meyakinkan hati Lee Cin bahwa dia akan membela dan melindunginya.

Nenek Cia lalu duduk di kursi tengah yang mepet dinding, Cia Kun duduk di sebelah kanannya bersama Nyonya Cia Kun, dan Tin Siong dengan sikap masih menentang duduk di sebelah kiri nenek itu. Nenek itu memandang kepada Thian Lee dengan matanya yang bersinar tajam dan berapi-api, lalu bertanya, suaranya lantang dan meninggi.

"Apakah engkau yang bernama Song Thian Lee?"

"Benar," jawab Thian Lee singkat. "Dan engkau menjadi Panglima Besar Kerajaan Mancu?"

"Benar pula."

"Hem, tidak malukah engkau, orang muda? Kami mendengar bahwa engkau seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi mengapa engkau tidak menggunakan kepandaianmu untuk menentang penjajah yang menguasai tanah air kita, sebaliknya malah menjadi anteknya? Tidak malukah engkau, Song Thian Lee?"

"Nenek, aku menjadi panglima besar bukan untuk menjadi antek penjajah, melainkan untuk mencegah terjadinya keributan yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata. Dengan kedudukanku aku dapat mencegah para pembesar bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Memperjuangkan kemerdekaan saat ini tidaklah tepat, semua usaha itu akan gagal karena tidak didukung sepenuhnya oleh rakyat. Apalagi kalau perjuangan itu dikotori oleh komplotan orang sesat dan orang asing."

"Itu hanyalah alasan seorang pengkhianat bangsa. Melihat bangsa dan tanah air dijajah orang Mancu, bukannya menentang penjajah malah sebaliknya mengabdi dan menjadi anteknya. Di mana kegagahanmu, orang she Song? Kalau engkau suka insaf akan kegagahanmu, suka menyadari dan mau bergabung dengan kami, kami mungkin akan dapat memaafkanmu."

"Bergabung dengan pemberontak yang bersekutu dengan tokoh-tokoh jahat dan dengan orang-orang Jepang, mendatangkan kerusuhan dan mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat jelata? Tidak, Nek, hal itu tidak akan kulakukan. Dalam keadaan tanah air terjajah seperti sekarang ini, seorang pendekar harus memperhatikan keadaan rakyat jelata.

"Kalau ada pembesar atau orang berkuasa menindas dan memeras rakyat, tidak peduli dia itu orang Han atau orang Mancu, akan ditentang oleh pendekar dan patriot sejati. Perjuangan seorang patriot sejati adalah murni dan bersih, tidak akan melibatkan diri bersekutu dengan golongan sesat, apalagi dengan penjahat-penjahat asing.

"Seorang pendekar patriot pada lahirnya menjadi pejabat pemerintah penjajah, namun sesungguhnya dia mengabdi demi kepentingan rakyat, mencegah terjadinya kejahatan yang meresahkan kehidupan rakyat. Pembesar seperti mendiang Un-ciangkun itulah patriot dan pendekar sejati yang bersih, akan tetapi kalian malah membunuhnya. Engkau telah bertindak sesat, Nek, bergabung dengan golongan sesat dan orang Jepang. Harap engkau dapat menginsafi kekeliruanmu itu."

"Jahanam keparat sombong! Engkau yang sudah tertawan hidup matimu di tanganku, masih berani membuka mulut besar! Kalau engkau tidak mau menyadari dan bergabung dengan kami, sekarang juga nyawamu akan kucabut!" Nenek Cia sudah mengangkat tongkatnya ke atas dan tongkat kepala naga itu tergetar dalam tangannya.

Akan tetapi pada saat itu, seorang pemuda muncul dari pintu dan menghampiri Nenek Cia. "Nanti dulu, Nek! Jangan bunuh dia!"

Lee Cin melihat bahwa yang muncul itu adalah Cia Tin Han! Pemuda lemah ini kelihatan gagah dan penuh keberanian menentang neneknya.

"Tin Han, pergi kau!" Tin Siong membentak marah.

"Aku tidak akan pergi sebelum kalian semua mendengar omonganku. Dengar baik-baik, Nek. Apa yang diucapkan orang she Song ini benar sekali! Seorang pendekar patriot berjuang dengan bersih dan murni, satu-satunya pamrih hanya untuk membebaskan rakyat dari kesengsaraan, membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah!

"Kalau pendekar patriot bergabung dengan golongan sesat dan dengan bajak laut Jepang, maka perjuangannya menjadi kotor. Golongan sesat dan bajak Jepang itu tentu hanya mau bergerak demi keuntungan diri mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan rakyat. Bahkan mereka adalah orang-orang yang selalu meresahkan kehidupan rakyat jelata!"

"Anak bodoh! Dalam perjuangan, kita tidak memilih teman. Siapa saja yang mau bergabung untuk menghantam penjajah, dia menjadi sahabat kita! Semua kekuatan harus dipersatukan untuk mengusir penjajah dari tanah air!" kata Nenek Cia penuh semangat.

"Engkau akan gagal, Nek. Benar ucapan orang ini! Engkau akan gagal kalau tidak mendapat dukungan rakyat dalam perjuanganmu. Engkau hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat dengan gerakanmu ini, akan tetapi tidak akan berhasil. Tahukah engkau betapa besarnya kekuatan pasukan pemerintah? Engkau hanya akan mengorbankan banyak orang. Sekarang belum waktunya untuk berjuang mengenyahkan kaum penjajah Nek."

"Tin Han, engkau jangan banyak mulut. Menyingkirlah, aku harus membunuh panglima besar ini!" Nenek itu menggerakkan tongkatnya. Akan tetapi Tin Han menghadang di depan Thian Lee dan Lee Cin.

"Nenek tidak boleh membunuhnya, juga tidak boleh menawan Cin-moi! Kalau Nenek memaksa, membunuh panglima ini dan mengganggu Cin-moi, aku yang akan melapor ke kota raja bahwa Nenek telah bersekutu dengan pemberontak dan keluarga kita akan terbasmi semua. Lebih baik begitu daripada keluarga kita membikin sengsara rakyat."

"Tin Han!" Kini Cia Kun bangkit berdiri dengan marah. "Berani engkau bersikap seperti ini?"

"Ayah, aku pun bukan seorang yang takut mati. Bagiku, lebih baik mati dalam membela kebenaran daripada hidup bergelimang kejahatan. Pendeknya aku menentang kalau kalian hendak membunuh mereka berdua ini, dan kalian boleh membunuhku lebih dulu!" Pemuda itu berdiri dengan gagahnya, menentang keluarganya.

Tin Han adalah cucu kesayangan Nenek Cia, maka tentu saja nenek itu tidak tega untuk membunuhnya. Bahkan pada saat itu, ketika Tin Siong melompat ke depan untuk memukul adiknya, Nenek Cia membentak, "Tin Siong, mundur kau!"

Nenek Cia sejenak memandang kepada cucunya yang menentangnya. Pandang matanya bersinar kagum melihat cucunya yang lemah itu berdiri dengan gagahnya melindungi kedua orang itu. Sungguh sikap seorang keluarga Cia yang tulen, penuh keberanian, penuh kegagahan menentang maut.

"Baiklah, Tin Han. Aku belum mau membunuh mereka." Katanya dan ia memberi isyarat kepada kedua puteranya Cia Hok dan Cia Bhok. "Masukkan mereka ke tempat tahanan dan jaga dengan ketat jangan sampai mereka lobos!"

Cia Hok dan Cia Bhok bangkit berdiri lalu mereka berdua menggiring Thian Lee dan Lee Cin yang masih terbelenggu kedua tangan mereka ke bagian belakang bangunan itu di mana terdapat kamarkamar kosong dan kamar ini agaknya memang sengaja dibuat untuk menawan orang.

Karena selain kosong juga dibuat kuat sekali, dengan pintu dari besi yang kokoh kuat. Bagian atas pintu itu beruji besi yang sebesar lengan tangan orang, amat kuatnya sehingga jangan harap untuk dapat lolos dari kamar itu dengan menjebol pintu besi itu.

Pintu kamar tahanan ditutup dan dikunci dari luar. Cia Hok dan Cia Bhok lalu mengumpulkan sedikitnya tiga puluh orang anak buah dan mereka ditugaskan untuk menjaga agar kedua tawanan itu tidak sampai dapat meloloskan diri.

Setelah dua orang saudara Cia itu pergi meninggalkan mereka berdua saja, Lee Cin menyatakan penyesalannya kepada Thian Lee. "Lee-ko, kenapa engkau menyerah? Tidak semestinya engkau menyerah sehingga kini kita berdua ditawan. Kalau ada seorang di antara kita masih bebas, tentu akan dapat berbuat sesuatu untuk menolong yang lain."

"Sudahlah, Cin-moi. Aku menyerah dengan tiga alasan, Pertama, untuk mencegah mereka membunuhmu, ke dua dengan jalan menyerahkan diri aku akan dapat melihat komplotan itu yang ternyata kini dipimpin oleh Nenek Cia. Dan ke tiga, aku yakin mereka tidak begitu bodoh untuk membunuh seorang panglima besar karena kalau hal itu mereka lakukan, tentu pemerintah akan mengirim pasukan besar untuk membasmi mereka."

"Aku juga sama sekali tidak mengira bahwa keluarga Cia ternyata memegang peran penting dalam komplotan ini. Mereka begitu baik terhadap diriku selama aku menjadi tamu mereka. Sungguh menyesal sekali aku dapat mereka kelabui. Kiranya mereka semua terlibat, kecuali agaknya, Han-ko yang tidak."

"Kau maksudkan pemuda yang menentang neneknya sendiri itu?"

"Benar, Lee-ko. Akan tetapi sayang bahwa dia seorang kutu buku yang tidak suka belajar ilmu silat. Dia seorang yang lemah walaupun jiwanya pendekar dan patriot tulen."

"Aku melihat pemuda itu bukan seorang pemuda biasa, Cin-moi. Dia memiliki keberanian besar dan aku juga melihat sesuatu hal yang akan menjamin keselamatanmu, Cin-moi."

"Maksudmu?" tanya Lee Cin sambil menatap tajam wajah Thian Lee.

Thian Lee tersenyum. "Dua orang pemuda kakak beradik itu mencintamu, Cin-moi. Kakaknya yang bersenjata suling perak itu terang-terangan menyatakan cintanya kepadamu dan mengharapkan engkau menjadi jodohnya, sedangkan adiknya diam-diam mencintamu. Aku dapat melihat sinar matanya ketika dia membelamu dan memandangmu."

Lee Cin juga tersenyum dan mengangguk. "Aku juga sudah tahu akan hal itu. Lee-ko. Cia Tin Siong itu amat baik kepadaku dan aku berkenalan dengan keluarga Cia pertama kali karena mengenalnya. Akan tetapi aku melihat sesuatu yang keras dan mengerikan dalam pandang matanya yang membuat aku tidak suka kepadanya. Adapun Cia Tin Han itu..... ah, dia hanya seorang pemuda sastrawan yang lembut, jauh berbeda dari kakaknya walaupun kuakui bahwa dia pemberani. Akan tetapi, mengapa kita membicarakan mereka, Lee-ko? Kita harus mencari jalan keluar dari tempat ini. Apakah engkau tidak mampu mele paskan dirimu dari belenggu itu, Lee-ko?"

"Agaknya aku dapat mematahkan belenggu ini, akan tetapi apa gunanya? Kita tidak akan dapat membobol pintu yang sekuat itu. Pula, kalau mereka melihat kita mematahkan belenggu, tentu mereka akan datang semua ke sini dan dalam kamar tahanan ini, bagaimana kita dapat membela diri?"

"Tepat dengan apa yang kupikirkan, Lee-ko. Aku pun kiranya akan sanggup mematahkan belenggu ini, akan tetapi kukira hal itu tidak mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita lihat saja kalau ada kesempatan, begitu pintu dibuka dari luar, kita terjang mereka dan membuka jalan dengan nekat."

Akan tetapi apa yang mereka harapkan itu agaknya masih merupakan hal yang meragukan. Mereka hanya boleh berharap. Pihak lawan adalah orang-orang yang lihai dan pandai, tidak mungkin mereka bertindak secara sembrono."

Mereka berdua lalu duduk bersila dan menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaga mereka agar mereka dapat bersiap setiap saat. Sambil bersila mereka berdua dapat pula tidur, karena hal ini penting sekali untuk menjaga kesehatan dan kesegaran tubuh mereka.

Dua orang muda gagah perkasa ini sedikitpun juga tidak merasa khawatir biarpun mereka sudah menjadi tawanan. Mati bagi mereka bukan hal yang mengkhawatirkan.

Sejak kecil mereka sudah digembleng untuk menjadi orang gagah yang siap untuk mati apabila membela kebenaran. Mereka sama sekali tidak memikirkan waktu yang akan datang, hanya menghadang kenyataan penuh kewaspadaan. Sikap seperti inilah yang membuat orang bebas dari rasa takut, bebas dari rasa duka.

Duka selalu timbul karena kita memikirkan dan membayangkan masa lalu yang telah lewat. Peristiwa-peristiwa yang telah lalu, yang merugikan kita, mendatangkan rasa suka karena mengenangkan semua peristiwa itu membuat kita menjadi iba diri dan merasa bahwa diri kita paling sengsara di dunia ini. Rasa iba diri ini menumpuk dan mendatangkan duka nestapa.

Sebaliknya, membayangkan hal-hal yang belum datang, membayangkan hari esok, hanya mendatangkan rasa takut. Membayangkan hari esok bagi orang-orang dalam keadaan seperti Thian Lee dan Lee Cin tentu akan mendatangkan bayangan-bayangan yang menakutkan.

Kedua orang muda gagah itu sudah digembleng oleh pelajaran dan pengalaman. Mereka hanya mengenal saat ini. Mengenal apa yang mereka hadapi dan alami. Dengan kewaspadaan mereka menghadapi apa yang terjadi dan karenanya menjadi awas dan selalu siap siaga, tidak was-was dan akan dapat bereaksi dengan cepat.

Maka, mereka pun tetap tenang-tenang saja dan dalam kesempatan itu mereka dapat tidur sambil bersila, walaupun semua syaraf mereka siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Malam telah berganti pagi. Sinar matahari pagi lembut menerobos masuk melalui jeruji besi di atas pintu. Akan tetapi di luar pintu kamar tahanan itu sepi sekali. Ketika Thian Lee dan Lee Cin terbangun dari tidur mereka, mereka tidak mendengar suara di luar pintu kamar tahanan, padahal semalam para penjaga ramai saling bercakap-cakap. Apakah mereka tertidur semua? Atau mereka telah pergi?

Keheningan itu mencurigakan hati mereka. Tidak mungkin sedikitnya tiga puluh orang itu tidak ada yang bicara, atau mereka sedang hendak melakukan sesuatu? Kemudian terdengar suara gedebukan di luar kamar tahanan. Tak lama kemudian, Lee Cin dan Thian Lee melihat sebuah kepala yang memakai kedok hitam di luar jeruji besi. Melihat ini, Thian Lee terkejut akan tetapi Lee Cin tersenyum gembira.

Seperti mendapat perintah saja, keduanya lalu mengerahkan sin-kang mereka dan belenggu yang mengikat kedua tangan mereka itu patah-patah. Terdengar bunyi klak-klik dan daun pintu terbuka. Si Kedok Hitam masuk ke dalam dan melihat betapa dua orang tawanan itu telah dapat membebaskan dari belenggu, dia terbelalak kagum.

"Mari cepat, ikut aku!" bisiknya dia sudah mendahului keluar dari tempat tahanan itu.

Lee Cin dan Thian Lee cepat mengikutinya, keluar dari pintu kamar tahanan. Setelah tiba di luar pintu, baru mereka melihat betapa tiga puluh orang yang tadinya berjaga di tempat itu, sudah roboh malang-melintang tidak bergerak lagi, agaknya terkena totokan yang lihai dari Si Kedok Hitam.

"Kembali engkau menolongku, sobat!" kata Lee Cin yang kini berada di belakang Si Kedok Hitam.

"Jangan bicarakan hal itu! Ikut aku!" bisik Si Kedok Hitam. Dia melompati pagar yang mengelilingi bangunan itu menjadi tempat persembunyian para pemberontak. "Hayo lari cepat! Ikut aku!" katanya pula dan dia pun berlari cepat sekali, akan tetapi Lee Cin dan Thian Lee dapat mengimbanginya. Mendadak terdengar suara ribut-ribut di belakang mereka, suara orang-orang mengejar.

Si Kedok Hitam berhenti. "Mereka sudah tahu dan kalian dikejar. Ini, terimalah senjata kalian." Si Kedok Hitam mengeluarkan Jit-goat-sin-kiam milik Thian Lee dan menyerahkan Ang-coa-kiam milik Lee Cin.

Kedua orang ini menerima dengan girang sekali. Akan tetapi para pengejar kini sudah dekat dan mereka tentulah orang-orang lihai yang juga memiliki ilmu berlari cepat. Thian Lee dan Lee Cin sudah bersiap dengan pedang mereka, akan tetapi Si Kedok Hitam berkata,

"Jangan lawan mereka. Mereka terlalu banyak. Masuklah ke balik semak belukar ini, aku akan memancing mereka agar mengejarku dan kalau mereka sudah lewat, harap kalian suka melanjutkan lari ke bawah bukit," katanya sambil menuding ke arah bawah bukit.

Dua orang muda itu tidak ragu-ragu lagi mengikuti petunjuknya, mereka menyusup ke balik semak belukar. Si Kedok Hitam menanti sebentar sampai para pengejar itu kelihatan bayangannya. Dia lalu berteriak-teriak, "Lari, cepat lari!" dan dia pun lari ke depan dengan cepat.

Teriakan dan gerakannya ini terlihat oleh para pengejar. Tentu saja mereka mempercepat lari mereka untuk mengejar karena mereka yakin bahwa kedua orang tawanan itu tentu diajak lari oleh Si Kedok Hitam. Tadi ketika Nenek Cia dan anak buahnya melihat para penjaga menggeletak malang-melintang dalam keadaan tertotok, ia cepat membebaskan totokan mereka.

Dan mendapat keterangan mereka bahwa mereka ditotok oleh seorang yang berkedok hitam. Kini, dalam pengejaran itu tentu saja Nenek Cia yang lain-lain mengira bahwa Si Kedok Hitam itu yang mengajak dua orang tawanan melarikan diri. Mereka menjadi marah dan mengejar dengan secepatnya.

Sementara itu, ketika melihat para pengejar itu mengejar bayangan Si Kedok Hitam, Thian Lee dan Lee Cin cepat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke jurusan lain menuruni bukit. Thian Lee yang menjadi petunjuk jalan dan akhirnya mereka tiba di kaki bukit.

Melihat Lee Cin sejak tadi diam saja, Thian Lee bertanya, "Cin-moi kenapa engkau diam saja seperti termenung?"

"Aku sedang memikirkan Si Kedok Hitam, Lee-ko. Sudah tiga kali dia menolongku terlepas dari bahaya besar dan sekali ini aku yakin bahwa dia bukan anggauta keluarga Cia. Siapakah dia sebenarnya?"

"Aku pun tidak dapat menduganya, Cin-moi. Akan tetapi yang jelas, dia seorang laki-laki yang masih muda, matanya seperti mata naga, dan ilmu kepandaiannya tentu tinggi sekali. Akan tetapi mengapa dia memakai kedok, itu yang mengherankan hatiku."

Akan tetapi di dalam hatinya, Lee Cin terjadi suatu kebimbangan yang tidak ia ucapkan kepada Thian Lee. Si Kedok Hitam itu memiliki tubuh yang sedang, seperti tubuh Tin Han. Dan dia pun memiliki sikap yang sama dengan Tin Han, yaitu menentang Nenek Cia dan membelanya! Apakah Si Kedok Hitam itu Cia Tin Han? Akan tetapi mana mungkin Tin Han memiliki kepandaian yang tinggi? Tentu keluarganya akan mengetahuinya.

"Sekarang, apa yang akan kita lakukan, Lee-ko?" tanyanya sambil membuang pikiran yang penuh kebimbangan itu. Ia tidak akan pernah melupakan Si Kedok Hitam, yang diduganya penyerang ayahnya akan tetapi juga penolong besarnya.

"Aku harus bertindak secepatnya menguasai pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun untuk membasmi komplotan pemberontak itu sebelum mereka melakukan sesuatu yang amat merugikan."

"Aku akan membantumu, Lee-ko."

"Baik, sekarang juga kita pergi ke markas Lai-ciangkun. Akan tetapi harus berhati-hati, siapa tahu Lai-ciangkun juga terlibat dan dia sudah memasang perangkap untuk kita." Mereka lalu berlari cepat melanjutkan perjalanan ke kota Hui-cu.

Ketika akan memasuki kota Hui-cu, Lee Cin berbisik, "Sssttt, Lee-ko, lihat siapa itu di depan sana."

Thian Lee memandang ke arah yang ditunjuk Lee Cin dan dia melihat seorang laki-laki bertubuh pendek sedang berjalan tergesa-gesa memasuki pintu gerbang kota. Thian Lee segera teringat. Orang itu seperti Yasuki!

"Cepat kita bayangi dia," bisiknya kembali.

Mereka membayangi Yasuki dari jarak jauh sehingga yang dibayangi tidak mengetahuinya. Dan yang membuat Thian Lee tercengang adalah ketika melihat orang Jepang itu memasuki markas pasukan yang dipimpin Lai-ciangkun dengan memperlihatkan sepucuk surat kepada para penjaga. Dia diperkenankan masuk begitu saja setelah para penjaga melihat surat itu.

"Ini mencurigakan," kata Thian Lee. "Kita masuk dari belakang untuk melihat apa yang dilakukan orang Jepang itu."

Mereka mengambil jalan memutar dan akhirnya berhasil menemukan bagian tembok dinding pagar di belakang yang menembus taman dan tempat ini tidak terjaga. Bagaikan dua ekor burung mereka melayang naik ke pagar tembok dan masuk ke dalam. Berindap-indap mereka menyeberangi taman.

Dan akhirnya mereka dapat melompat ke atas atap dan mengintai ke bawah di mana terdapat sebuah ruangan tamu, ketika mereka mendengar suara bercakap-cakap di bawah. Dan benar saja, di ruangan itu, Yasuki sedang bicara dengan Lai-ciangkun. Mereka mengintai dengan hati-hati.

"Apa kau bilang? Mereka tertawan dan dapat lolos kembali? Kalau begitu, Song-ciangkun sudah tahu akan persekutuan kita? Celaka, kita harus cepat bertindak!" kata Lai-ciangkun dengan muka pucat.

Pada saat itulah Thian Lee melompat ke dalam, diikuti oleh Lee Cin. Melihat ini, Yasuki mencabut samurainya, akan tetapi dengan kecepatan kilat Lee Cin sudah menggerakkan pedangnya dan menodongkan pedang itu di leher orang Jepang itu sehingga dia terkejut sekali dan tidak jadi mencabut samurainya. Lee Cin menggerakkan tangan kiri, menotok dan Yasuki terkulai lemas.

Sementara itu, Thian Lee menghadapi Lai-ciangkun yang menjadi sangat pucat wajahnja. "Ah, Song-ciangkun, kami... kami...." Dia tergagap.

"Cukuplah, Lai-ciangkun, kedokmu telah terbuka. Engkau bersekutu dengan orang Jepang, engkau pengkhianat rendah!" Thian Lee juga menodongkan pedangnya dan panglima itu tidak berani berkutik. Thian Lee sambil menodong Lai-ciangkun membuka daun pintu kamar itu. Para pengawal yang berjaga di luar terkejut dan heran sekali melihat panglima mereka ditodong.

"Lai-ciangkun telah berkhianat, bersekutu dengan orang Jepang dan hendak memberontak. Kalau kalian mendukungnya, kalian akan kubasmi! Hayo cepat undang semua perwira untuk berkumpul di sini!" bentak Thian Lee.

Para pengawal itu menjadi jerih dan mereka lalu keluar dan memanggil para perwira. Tak lama kemudian belasan orang perwira berdatangan dan mereka juga heran sekali melihat Lai-ciangkun ditangkap. Thian Lee mengeluarkan surat perintah dari Kaisar dan memperlihatkannya kepada para perwira.

"Aku adalah Panglima Besar Song Thian Lee. Mendiang Un-ciangkun adalah panglima yang setia dan baik, akan tetapi Lai-ciangkun ini seorang pengkhianat. Dia bersekutu dengan orang Jepang untuk mengadakan pemberontakan. Orang Jepang yang kami tangkap di sini adalah bukti dan saksinya. Mulai saat ini, pasukan di Hui-cu ku ambilalih untuk sementara. Mengertikah kalian semua?"

Para perwira sudah tunduk begitu melihat surat kuasa dari Kaisar. Di antara mereka memang ada yang terbujuk oleh Lai-ciangkun, akan tetapi mereka belum terlibat. Kini mereka semua mendukung Thian Lee dan Lai-ciangkun bersama Yasuki lalu dimasukkan ke dalam kamar tahanan untuk menanti pemeriksaan lebih lanjut.

Melihat tindakan Thian Lee yang demikian cepat dan bijaksana, Lee Cin menjadi kagum. Panglima muda itu sungguh berwibawa. "Sekarang engkau tinggal mengerahkan pasukan untuk menangkapi mereka semua, Lee-ko. Menangkapi keluarga Cia dan juga menyerbu pasukan yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun yang berkhianat. Akan tetapi kalau menangkapi keluarga Cia, kuharap engkau menaruh kasihan kepada Cia Tin Siong dan Cia Tin Han. Mereka itu sungguh merupakan kawan baikku dan mereka kukira tidaklah sejahat neneknya."

Thian Lee menghela napas panjang. "Keluarga Cia itu tidak ada yang jahat, Cin-moi. Bahkan Nenek Cia adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan gigih. Banyak pendekar patriot seperti itu. Mereka demikian fanatik sehingga tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan keadaan. Karena nafsu mereka untuk cepat meruntuhkan kerajaan penjajah Mancu, mereka tidak segan-segan bersekongkol dengan orang Jepang dan orang-orang sesat, dengan tujuan hanya satu, yaitu menggulingkan pemerintahan Mancu."

"Ya, mereka membenci semua orang yang bekerja untuk pemerintah. Mereka menganggap bahwa siapa saja yang bekerja untuk pemerintah berarti menjadi antek penjajah yang menindas rakyat dan karena itu harus dibunuh. Mereka tidak menyadari bahwa perbuatan mereka itu merugikan rakyat jelata, apalagi kalau sampai terjadi perang pemberontakan, rakyat pula yang menjadi korban."

"Benar, Cin-moi. Mereka lupa bahwa dengan bersekongkol bersama orang Jepang perampok dan para tokoh sesat itu, mereka telah tersesat pula. Gerakannya mereka tidak didukung rakyat dan tidak akan berhasil, sebaliknya malah mengacaukan. Aku kasihan kepada mereka. Sebetulnya mereka itu merupakan pendekar patriot yang gagah perkasa, sayang tidak memakai perhitungan dan terburu nafsu."

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Lee-ko?"

"Terpaksa harus kuserbu keluarga Cia malam ini juga. Yang melawan terpaksa akan kutundukkan dengan kekerasan, yang sudah menaluk akan kutahan untuk sementara. Kalau mereka kelak menyatakan penyesalan mereka dan menyadari akan kesalahan mereka, aku pasti tidak akan membawa mereka ke kota raja dan akan kubebaskan pula mereka."

"Ah, engkau sungguh bijaksana, Lee-ko!"

"Tidak, Cin-moi. Kurasa itu lebih mendidik dan lebih baik. Menyadarkan para patriot lebih baik dan berdaya guna daripada menindas mereka dengan kekerasan."

"Hemm, kalau begitu dipihak manakah engkau berdiri, Lee-ko? Sebagai seorang panglima, aku percaya bahwa engkau berpihak kepada pemerintah, akan tetapi mengapa sikapmu begitu longgar terhadap patriot yang hendak menentang pemerintah?"

Thian Lee menghela napas. "Engkau sudah lama mengenalku, Cin-moi. Aku jelas bukan seorang antek penjajah yang menindas rakyat dan aku sama sekali bukan menjadi panglima untuk memperkaya diri dan mencari kekuasaan. Hanya karena aku melihat betapa Kaisar Kian Liong seorang yang bijaksana maka aku suka menjadi panglima. Dengan kedudukanku ini aku dapat mencegah terjadinya penindasan terhadap rakyat.

"Akan tetapi aku sama sekali tidak menentang para patriot. Bahkan kalau para patriot itu berjuang dengan dukungan rakyat jelata, berusaha untuk memerdekakan tanah air dan bangsa, aku setuju sekali dan kalau saat itu tiba, aku akan mengundurkan diri dari kedudukanku sebagai panglima dan sangat boleh jadi aku akan membantu gerakan perjuangan seperti itu. Akan tetapi kalau seperti sekarang ini, bersekongkol dengan orang Jepang dan dengan golongan sesat, sungguh aku tidak setuju."

Lee Cin mengangguk-angguk. "Aku mengerti perasaanmu, Lee-ko. Kita dahulu membantu pemerintah menghancurkan pemberontak, karena pemberontakan itu bukan perjuangan para patriot yang didukung rakyat, melainkan usaha pemberontakan dari seorang pangeran untuk merebut tahta kerajaan. Bukan berarti kita memihak kepada pemerintah penjajah."

"Nah, sukur kalau engkau mengerti, Cin-moi. Aku masih membutuhkan bantuanmu kalau engkau mau, yaitu menghadapi keluarga Cia, membujuk mereka agar menyerahkan diri daripada terbasmi oleh pasukan."

"Baik, Lee-ko. Akan kubantu engkau."

Demikianlah, Thian Lee mengadakan perundingan dengan para perwira pembantu, mengatur siasat untuk mengepung dan menundukkan keluarga Cia dan para anak buahnya. Dalam rapat perundingan itu, Lee Cin tidak ketinggalan, ikut pula. Kini semua perwira sudah percaya sepenuhnya kepada Thian Lee, apalagi setelah Thian Lee mengenakan pakaian panglima yang membuatnya nampak gagah dan berwibawa.

"Siapkan tiga ratus orang perajurit yang siap untuk melakukan penyerbuan sewaktu-waktu. Lebih dulu aku membutuhkan lima puluh orang perajurit untuk melakukan penggerebekan kepada keluarga Cia. Hati-hati, jangan melakukan penyerbuan sebelum ada perintah dariku."

Para perwira bekerja cepat dan malam itu terkumpullah lima puluh orang perajurit pilihan yang siap mengikuti Thian Lee. Dengan bantuan dua orang perwira dan Lee Cin, Thian Lee lalu memimpin mereka dan pergi ke rumah keluarga Cia.

Akan tetapi, dia kecelik ketika memasuki pekarangan gedung keluarga Cia. Ternyata di situ sudah tidak ada orang, kecuali hanya beberapa orang pelayan yang mengatakan bahwa para majikan mereka telah pergi sore tadi dan tak seorang pun di antara mereka tahu ke mana majikan mereka pergi.

Thian Lee maklum bahwa keluarga itu memang lihai. Agaknya mereka telah dapat menduga bahwa rumah mereka akan diserbu pasukan, maka sebelum itu mereka telah pergi lebih dulu. Karena, menduga bahwa mereka tentu pergi mengungsi ke tempat pertemuan rahasia di bukit itu, Thian Lee lalu memimpin dua ratus orang pasukan itu, mengejar ke bukit dan mengadakan pengepungan di puncak bukit itu.

Dugaannya tidak keliru. Rumah besar di puncak bukit itu penuh orang dan agaknya mereka telah bersiap-siap. Thian Lee bersama Lee Cin sudah melompat ke depan, tepat di depan pekarangan bangunan itu dan Thian Lee berseru dengan suara lantang,

"Keluarga Cia! Tempat ini sudah terkepung! Harap kalian menyerah saja agar kami tidak perlu melakukan kekerasan!"

Lee Cin juga ikut membujuk mereka dan ucapannya ditujukan kepada Tin Siong dan Tin Han, "Saudara Cia Tin Siong dan Han-ko! Mintalah kepada keluarga kalian agar menyerah saja. Yasuki dan Lai-ciangkun telah tertangkap. Tidak ada gunanya lagi kalian melakukan perlawanan!"

Akan tetapi, sebagai jawaban, puluhan anak panah meluncur dari dalam bangunan itu. Thian Lee memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menggunakan perisai dan menyerbu ke arah bangunan. Kurang lebih lima puluh orang anak buah pemberontak berserabutan ke luar dengan golok di tangan menyerbu ke arah para pengepung. Terjadilah pertempuran yang hebat.

Thian Lee dan Lee Cin berlompatan ke pekarangan bangunan dan mereka segera disambut oleh Nenek Cia, Cia Kun, Nyonya Cia Kun, Cia Hok dan Cia Bhok. Tidak terlihat Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok. Nenek Cia tanpa banyak cakap sudah memutar tongkat kepala naga dan menyerang Thian Lee. Thian Lee mengelak dan melompat ke belakang.

"Sekali lagi kami harap kalian suka menyerah dan kami akan mempertimbangkan keadaan kalian!"

"Nenek Cia, Song-ciangkun berkata benar. Kalian menyerahlah dan hentikan perlawanan dan aku tanggung dia akan membebaskan kalian kelak!" teriak pula Lee Cin.

"Kami tidak akan menyerah!" bentak nenek itu dan ia melanjutkan serangan kepada Thian Lee.

Terpaksa Thian Lee mencabut pedangnya dan melawan karena dia melihat betapa lihainya nenek tua ini. Tongkatnya menyambar demikian dahsyatnya, penuh dengan tenaga lweekang yang membuat tongkatnya mengeluarkan bunyi bercuitan dan tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam yang lebar. Tanpa banyak cakap lagi Cia Hok dan Cia Bhok meloncat dan membantu ibu mereka mengeroyok Thian Lee.

"Bocah tidak mengenal budi! Engkau pernah menjadi sahabat dan tamu kami tetapi ternyata sekarang memusuhi kami!" teriak Nyonya Cia Kun dan ia pun sudah menerjang maju dengan pedang di tangan.

Suaminya, Cia Kun, juga menerjang maju sehingga Lee Gin dikeroyok oleh suami isteri ini. Dua orang perwira yang melihat pengeroyokan musuh, lalu maju membantu Thian Lee yang dikeroyok tiga. Lee Cin mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Cia Kun masih lebih tinggi daripada kepandaian Cia Hok dan Cia Bhok, juga isterinya memiliki gerakan yang lumayan.

Maka ia pun terpaksa harus memutar pedangnya untuk membuat perlawanan yang kuat. Ia merasa heran ke mana perginya Tin Siong, karena kalau Tin Siong maju mengeroyoknya pula, ia tentu tidak akan mampu bertahan. Ilmu silat pemuda yang bersenjata suling perak itu tidak kalah lihai dibandingkan ayahnya.

Tiga puluh orang anak buah pemberontak itu, biarpun rata-rata lihai dengan golok mereka, namun terdesak hebat oleh dua ratus orang perajurit. Banyak di antara mereka yang roboh dan sisanya membela diri dengan mati-matian.

Tiba-tiba muncul Tin Siong dan pemuda ini berseru nyaring, "Nenek, Ayah dan Ibu, lari! Cepat!"

Pemuda itu lalu melemparkan beberapa bahan peledak yang meledak dan mengeluarkan asap tebal, kemudian Tin Siong menangkap tangan ibunya dan ditarik sambil diajak lari. Melihat ini, Nenek Cia, dan ketiga puteranya, Cia Kun, Cia Hok dan Cia Bhok, lalu berlompatan melarikan diri.

Thian Lee memang bersikap lunak terhadap mereka. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan seorang di antara mereka yang melarikan diri. Akan tetapi dia tidak melakukan hal ini, lalu melompat ke atas atap bangunan dan berteriak,

"Semua anak buah pemberontak, menyerahlah dan kalian tidak akan dibunuh. Pimpinan kalian sudah melarikan diri!"

Lima puluh orang itu memang sudah payah keadaannya. Belasan orang di antara mereka telah roboh dan melihat pimpinan mereka sudah melarikan diri semua, mereka akhirnya membuang golok dan berlutut menyerah.

Thian Lee dan Lee Cin kembali ke markas Hui-cu bersama pasukan yang menawan para perajurit pemberontak dan setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata benar seperti dugaannya, lima puluh orang itu adalah perajurit-perajurit barisan golok dari pasukan yang dipimpin Phoa-ciangkun.

Thian Lee lalu mengadakan perundingan lagi dengan belasan orang perwira pembantu. Akan tetapi sekali ini Lee Cin tidak lagi ikut berunding. Setelah penyerbuan ke bukit di mana keluarga Cia melarikan diri, Lee Cin merasa tidak perlu lagi melibatkan diri dalam pembasmian para pemberontak itu.

Kalau tadinya ia membantu Thian Lee adalah karena ada hubungannya dengan keluarga Cia. Kini Thian Lee hendak menyerbu ke timur, ke pasukan perbatasan yang dipimpin oleh Phoa-ciangkun, maka ia tidak merasa perlu untuk membantu. Itu sepenuhnya adalah urusan ketentaraan.

"Maaf, Lee-ko, aku sekarang terpaksa minta diri dan tidak dapat menyertaimu dalam penyerbuan ke timur," demikian ia berkata kepada Thian Lee setelah mereka kembali ke markas sambil menawan puluhan orang perajurit pemberontak itu.

Thian Lee maklum dia mengangguk. "Baiklah, Cin-moi. Engkau sudah membantu banyak kepadaku dan aku amat berterima kasih kepadamu. Mudah-mudahan saja keluarga Cia tidak mendendam kepadamu, dan berhati-hatilah engkau terhadap orang-orang seperti Siangkoan Tek dan Ouw Kwan Lok. Mereka adalah orang-orang lihai dan juga jahat sekali, terutama Ouw Kwan Lok yang agaknya hendak membalaskan dendam guru-gurunya kepadamu."

"Aku mengerti, Lee-ko. Semoga engkau akan berhasil dengan tugasmu dan dapat segera pulang ke keluargamu dengan selamat."

"Terima kasih, Cin-moi, dan engkau jangan lupa, kalau kebetulan lewat kota raja, harap mampir ke rumah kami. Cin Lan tentu akan girang sekali kalau engkau singgah ke rumah kami. Ia sering membicarakanmu dengan penuh kerinduan."

Lee Cin tersenyum. "Baiklah, Lee-ko. Kalau aku kebetulan lewat di kota raja pasti aku akan berkunjung ke rumah kalian."

Setelah berpamit, Lee Cin lalu meninggalkan markas itu. Ketika tiba di jalan besar, ia teringat akan ke rumah keluarga Cia. Keluarga itu telah melarikan diri semua dan rumahnya tentu kini telah kosong. Rasa iba menyelubungi hatinya dan tanpa disadarinya, kakinya lalu melangkah menuju ke rumah besar bekas tempat tinggal keluarga Cia itu. Ia teringat akan Tin Han. Bagaimana nasib pemuda yang ramah dan jenaka itu?

Tentu ikut pula pergi mengungsi menyelamatkan diri. Karena bagaimanapun juga, sebagai cucu Nenek Cia, tentu dia pun ikut dicurigai sebagai orang yang langsung terlibat dengan pemberontakan. Lee Cin tidak dapat membayangkan pemuda yang jenaka dan gembira itu kini berada dalam pengasingan, menjadi buruan pemerintah.

Ia menghela napas. Mengapa hanya kepada Tin Han ia merasa kasihan? Bukankah mereka semua, seluruh keluarga Cia mengalami nasib yang sama? Pikiran ini dibantahnya sendiri. Hanya Tin Han yang agaknya tidak terlibat dalam pemberontakan.

Dan tiba-tiba timbul keinginan hatinya yang amat besar untuk dapat menolong Tin Han, untuk dapat bertemu dengan pemuda yang selalu bersikap jenaka dan membuatnya gembira itu. Akan tetapi ke mana ia akan mencari Tin Han? Dia tentu ikut dengan Nenek Cia.

Dengan pikiran penuh kenangan akan keluarga Cia, Lee Cin melangkah terus sampai ia tiba di rumah keluarga itu. Rumah itu telah ditutup pintunya dan terdapat beberapa orang perajurit menjaga rumah itu. Jelas bahwa rumah itu kosong, telah ditinggalkan semua penghuninya dan para pelayan yang ditinggalkan di situ tentu telah ditangkapi.

Ketika Lee Cin mengambil jalan memutar ke bagian belakang dari bangunan besar itu, ia melihat sesosok bayangan berkelebat, melompati pagar tembok dan melarikan diri. Orang itu baru saja meninggalkan bangunan itu! Tentu saja ia menjadi tertarik sekali. Seorang di antara keluarga Cia? Ataukah seorang pencuri yang memasuki bangunan yang kosong itu?

Ia segera membayangi dan berlari cepat. Orang itu adalah seorang pemuda, akan tetapi dara ini belum melihat jelas muka orang itu. Tin Siongkah orang itu? Akan tetapi agaknya orang ini lebih tinggi daripada Tin Siong. Seorang pencurikah? Larinya cepat, akan tetapi Lee Cin dapat mengejarnya dan terus membayangi, hendak diketahuinya siapa orang itu dan mengapa dia mendatangi rumah keluarga Cia.

Orang itu meninggalkan kota Hui-cu melalui pintu gerbang sebelah selatan. Lee Cin terus membayanginya dan setelah tiba di jalan yang sepi, ia mulai mempercepat larinya untuk mengejar dan menyusul orang itu. Ia hanya ingin melihat siapa orang itu dan bertanya apa maksudnya datang ke rumah keluarga Cia yang kosong itu.

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika orang itu berlari lebih cepat dari pada tadi. Ia mengejar lebih cepat lagi dan mendapat kenyataan bahwa ilmu berlari cepat orang itu tidak banyak selisihnya dengan kecepatan larinya.

Mereka berkejar-kejaran dan Lee Cin maklum bahwa orang yang dikejarnya itu sudah tahu akan pengejarannya. Melihat orang itu berlari cepat, ia menjadi semakin penasaran dan curiga. Akhirnya, setelah tiba di dekat sebuah hutan di lereng bukit yang mereka daki dalam kejar-kejaran tadi.

rang itu berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapi Lee Cin. Setelah gadis itu tiba di depannya, ia tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, baru sekali ini calon mempelai wanita mengejar-ngejar calon mempelai prianya!"

Lee Cin terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu. Orang itu ternyata adalah Siangkoan Tek, musuh besarnya! "Jahanam busuk, kiranya engkau yang menjadi pencuri di rumah keluarga Cia!" bentak Lee Cin sambil mencabut pedangnya.

"Ha-ha, siapa menjadi pencuri? Aku hanya mengambil barang-barangku yang tertinggal di sana. Setelah engkau mengejarku sampai di sini, tentu engkau bersedia menjadi isteriku, bukan, Adik Lee Cin yang manis?"

Sebagai jawaban Lee Cin menerjang maju sambil menyerang dengan pedangnya sambil membentak, "Mampuslah engkau!"

Siangkoan Tek cepat mengelak dan dia pun sudah mencabut pedangnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi dia tidak banyak membalas karena dia pun tidak ingin melukai gadis yang telah menarik hatinya itu. Dia benar-benar mencinta Lee Cin dan mengharapkan gadis itu menjadi isterinya. Dia menganggap bahwa hanya Lee Cin yang pantas untuk menjadi isterinya.

Tingkat ilmu kepandaian mereka memang seimbang, mungkin Lee Cin menang sedikit karena dia diperkuat dengan ilmu totok It-yang-ci. Maka, kalau hanya mengalah terus tentu saja Siangkoan Tek menjadi terdesak hebat. Namun Lee Cin berhati-hati sekali. Ia tahu akan kelicikan pemuda itu dan ia tidak mau kalau ia sampai terjebak. Ia menyerang dan berhati-hati melindungi dirinya dari serangan gelap.

"Ayah, bantulah!" tiba-tiba Siangkoan Tek berseru setelah dia terdesak mundur mendekati hutan.

Lee Cin terkejut karena kalau benar ayah pemuda itu, Siangkoan Bhok muncul, akan celakalah ia. Melawan Siangkoan Tek saja hanya berimbang, kalau ayah pemuda itu muncul, tentu ia akan kalah! Akan tetapi Siangkoan Bhok tidak muncul dan ia tahu bahwa pemuda itu hanya menggertak. Dengan gemas Lee Cin memperhebat serangannya sehingga Siangkoan Tek terus mundur kemudian pemuda itu lari memasuki hutan.

"Hendak lari ke mana engkau, keparat!" Lee Cin mengejar dan kembali mereka bertanding.

Lee Cin hendak mempercepat pertandingan karena ia sudah marah sekali kepada pemuda ini yang beberapa kali hampir dapat memperkosanya. Ia harus cepat merobohkan dan membunuh pemuda jahat ini sebelum ayahnya atau kawan-kawan lain pemuda itu muncul.

Maka la lalu memainkan Ang-coa-kiam-sut dengan mengeluarkan jurus-jurus mautnya, dibarengi dengan tangan kiri yang melakukan totokan-totokan It-yang-ci yang lihai. Siangkoan Tek yang tidak ingin melukai gadis yang dicintanya itu tentu saja menjadi terdesak hebat.

"Ayah....!" Kembali dia berteriak.

"Ayahmu sudah mampus, tidak akan datang membantumu!" ejek Lee Cin yang mengira bahwa pemuda itu tentu hanya menggertak saja.

"Siapa bilang aku mampus?" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang dayung baja menyambar ke arah kepala Lee Cin dengan suara bercuitan saking cepat dan kuatnya.

Lee Cin terkejut dan cepat ia menundukkan kepalanya untuk mengelak, lalu membalik untuk menghadapi orang itu. Seorang kakek yang tinggi besar gagah bermuka merah telah berdiri di situ sambil memegang dayung bajanya. Siangkoan Bhok, majikan Pulau Naga!

Ternyata pemuda itu bukan hanya menggertak saja. Siangkoan Bhok memang berada di hutan itu. Mengertilah dia bahwa Siangkoan Tek sengaja memancingnya ke hutan itu, berdekatan dengan ayahnya sehingga ayahnya dapat membantunya...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.