Dewi Ular Jilid 15

Cerita silat Mandarin serial Gelang Kemala seri Dewi Ular Jilid 15 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Dewi Ular Jilid 15

ENGKAULAH yang mampus!" Siangkoan Bhok kembali membentak dan dayung bajanya menyambar lagi, kini semakin dahsyat.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Lee Cin mengelak dan ia menjadi nekat. Ia tidak mungkin dapat melarikan diri dari dua orang itu, maka jalan satu-satunya baginya hanya melawan dengan nekat dan mati-matian. Ia lalu membalas serangan kakek itu dan mereka terlibat dalam pertandingan yang seru.

"Ayah, jangan bunuh ia, Ayah!" Siangkoan Tek berseru sambil berjaga kalau-kalau gadis itu akan melarikan diri.

Namun dayung baja itu menyambar-nyambar dengan ganasnya sehingga Lee Cin menjadi terdesak.

"Ayah, jangan sampai lukai ia, Ayah! Ia calon isteriku!" kembali Siangkoan Tek berseru dan kini dia pun ikut rnenyerang dengan totokan-totokan untuk mernbuat Lee Cin tidak berdaya.

Lee Chi rnengamuk dan membalas serangan kedua orang itu dengan mati-matian. Karena dilarang puteranya agar jangan melukai atau membunuh Lee Cin, maka agak sukarlah bagi Siangkoan Bhok untuk merobohkan gadis itu tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya!

Akan tetapi dia amat sayang kepada puteranya dan dia pun memutar dayung bajanya dengan cepat sekali sehingga dayung itu berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyelimuti tubuh Lee Cin, menutup semua jalan keluar bagi gadis itu.

Lee Cin masih melawan dengan sekuat tenaga, akan tetapi tangannya terpukul ujung dayung sehingga pedangnya terlepas dari pegangan dan di saat itu, Siangkoan Tek telah berhasil menotoknya sehingga ia pun roboh terkulai dengan lemas.

"Ha-ha, terima kasih atas bantuanmu, Ayah. Ayah, ia adalah calon isteriku. Kawinkan aku dengannya, Ayah!" Siangkoan Tek berkata dengan girang sekali. Dia tadi cepat menangkap tubuh Lee Cin sehingga gadis itu tidak sampai terpelanting dan kini dia masih memeluk tubuh Lee Cin.

"Hemm, bilang kepada ibumu. Aku tidak tahu urusan kawin!" Kakek itu mendengus dan sama sekali tidak mempedulikan keadaan Lee Cin.

Pada saat itu terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha, ayahnya busuk, mana mungkin puteranya menjadi baik? Siangkoan Bhok, di mana-mana engkau selalu mengumbar nafsu burukmu!" Dan muncullah seorang kakek bersama seorang gadis cantik.

Siangkoan Bhok menoleh dan dia terkejut melihat kakek itu. Kakek yang pendek gendut serba bulat, dengan jubah pertapa, mulutnya terbuka lebar dalam senyumnya yang aneh. Kakek itu memegang sebuah kebutan berbulu putih. Dia bukan adalah Thian-tok (Racun Langit) Gu Kiat Seng, datuk dari barat.

Adapun gadis itu bukan lain adalah Liu Ceng atau yang biasa dipanggil Ceng Ceng. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, Ceng Ceng telah digembleng lagi oleh kakek sakti ini, mempelajari ilmu-ilmu pukulan yang ampuh. Kalau dulu Ceng Ceng hanya bersenjata sebatang pedang, kini ia mempergunakan sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang kebutan berbulu merah di tangan kiri. Ceng Ceng telah menjadi seorang gadis yang lihai sekali!

Melihat Lee Cin dalam rangkulan Siangkoan Tek, Ceng Ceng sudah menjadi marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedang dan kebutannya dan membentak, "Lepaskan gadis itu!" Ia sudah menerjang maju dan menyerang Siangkoan Tek dengan kebutan yang menotok ke arah leher pemuda itu disusul pedangnya yang membacok ke arah pinggang!

"Haiiiitttt......!" Siangkoan Tek berseru dan cepat menghindar. Terpaksa dia melepaskan tubuh Lee Cin yang terpelanting ke atas tanah dan tidak mampu bergerak karena masih tertotok. Segera Siangkoan Tek balas menyerang dengan pedangnya sehingga dia sudah bertanding melawan Ceng Ceng dengan serunya.

"Thian Tok!" Seru Siangkoan Bhok marah, "Urusan ini tak ada sangkut-pautnya denganmu, mengapa engkau mencampuri?"

"Ha-ha-ha, aku paling gatal kalau melihat orang mengganggu seorang wanita. Engkau membiarkan puteramu mengganggu wanita, apakah engkau tidak malu?"

Siangkoan Bhok menjadi marah. "Thian Tok, engkau selamanya memang seorang usil. Hari ini aku akan memecahkan kepalamu yang besar!" sambil berkata demikian Siangkoan Bhok menggerakkan dayung bajanya yang menyambar ke arah kepala bulat dari kakek itu.

Thian-tok Gu Kiat Seng tertawa dan begitu menundukkan kepalanya, dayung baja itu bersuitar lewat di atas kepala. Dia lalu menggerakkan kebutannya yang menyambar ke arah dada Siangkoan Bhok. Biarpun yang menyerangnya hanya menggunakan sebuah kebutan yang ekornya lemas, akan tetapi Siangkoan Bhok maklum betapa lihainya kebutan itu, maka dia pun melompat ke belakang untuk mengelak.

Dengan marah akan tetapi juga waspada karena maklum akan kelihaian lawannya, Siangkoan Bhok menyerang lagi dengan amat dahsyatnya. Akan tetapi biarpun tubuhnya pendek gendut, gerakan Thian-tok ternyata amat gesitnya dan tubuh itu mengelak ke sana sini dengan lucu. Juga kebutannya menyambar-nyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya dengan totokan-totokan maut.

Saking bernafsunya untuk merobohkan lawan, Siangkoan Bhok menyerang lagi dengan ganas, dayung bajanya menyambar ke arah dada lawan. Thian-tok menyambut dayung itu dengan kebutannya. Ekor kebutan yang berwarna putih itu melibat dayung dan kakek gendut itu bergerak maju. Pada saat itu, Siangkoan Bhok melepaskan tangan kanannya dari dayungnya dan mengirim pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) ke arah dada Thian-tok!

Sebagai seorang ahli racun yang dijuluki Racun Langit, tentu saja Thian-tok mengenal pukulan yang amat berbahaya itu. Dia tidak mengelak, kebutannya masih membelit dayung dan dia menggunakan tangan kirinya untuk memapaki pukulan tangan kosong itu sambil tubuhnya merendah setengah mendekam dan dari perutnya keluar suara kuk-kuk-kuk ketika tangan kirinya didorongkan dengan jari tangan terbuka ke arah tangan Siangkoan Bhok yang memukul.

"Wuuuuttt.... desss!" Kedua tangan yang mengandung hawa beracun yang amat ampuh itu bertemu di udara dan akhirnya, tubuh kedua orang datuk itu terjengkang.

Akan tetapi keduanya dapat berdiri lagi dan sudah saling terjang lagi dengan ganas. Ternyata dalam tenaga beracun keduanya juga seimbang sehingga mereka kini bertanding lebih hati-hati lagi.

Sementara itu, pertandingan antara Siangkoan Tek dan Ceng Ceng juga berlangsung seru. Siangkoan Tek juga tidak berani main-main karena kebutan di tangan gadis itu dapat menyerangnya dengan totokan-totokan yang amat berbahaya. Dia memutar pedangnya dan mainkan ilmu pedang kui-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Iblis).

Setelah bertanding selama puluhan jurus mulailah Ceng Ceng terdesak. Biarpun dalam ilmu silat ia tidak kalah lihai, namun dibandingkan Siangkoan Tek ia masih kalah dalarn pengalaman bertanding dan perlahan-lahan ia mulai terdesak mundur.

Pada saat itu tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat ke arah tubuh Lee Cin yang masih menggeletak di situ, bayangan itu menyambar pedang Ang-coa-kiam milik Lee Cin yang tadi terpukul jatuh, kemudian dia memondong tubuh Lee Cin dan dibawa pergi dengan cepat sekali.

"Heiii......!" Siangkoan Tek yang melihat ini cepat mengejar, akan tetapi kebutan di tangan Ceng Ceng menyambar ke arah dadanya dan hampir saja dia tertotok. Terpaksa dia lalu rnenghadapi Ceng Ceng lagi, juga orang berkedok hitam yang membawa pergi Lee Cin sudah lenyap di antara pohon-pohon.

Kembali dia mengamuk dan Ceng Ceng terdesak mundur. Tiba-tiba nampak bayangan biru berkelebat dan terdengar bentakan, "Tahan!"

Seorang pemuda berpakaian serba biru sudah muncul dan dengan pedangnya dia menahan pedang Siangkoan Tek yang mendesak Ceng Ceng.

"Tranggg......!" Kedua pedang bertemu dan Siangkoan Tek merasa tangannya tergetar, tanda bahwa pemuda baju biru itu memiliki tenaga sinkang yang kuat.

"Kenapa engkau menyerang nona ini?" tanya pemuda itu yang bukan lain adalah Thio Hui San, murid In-kong Taisu dari Siauw-lim-pai.

Siangkoan Tek sudah menjadi marah sekali. Pemuda ini mengandalkan ayahnya, maka dia tidak takut kepada pemuda itu. "Jahanam, perlu apa engkau mencampuri urusanku?" bentaknya.

Thio Hui San yang dimaki tersenyum. "Dari makian ini saja aku dapat mengerti bahwa tentu engkau yang berada di pihak bersalah."

"Mampuslah kau!" Siangkoan Tek membentak dan pedangnya menyambar. Akan tetapi Hui San menangkis dan kedua orang pemuda itu sudah saling serang dengan seru.

Melihat pemuda baju biru itu datang menolongnya, Ceng Ceng juga lalu membantunya mengeroyok Siangkoan Tek! Siangkoan Tek menjadi bingung. Baru menghadapi pemuda baju biru saja dia sudah harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, kini dikeroyok oleh Ceng Ceng yang tidak boleh dipandang rendah. Dia segera terdesak ke belakang dan mulailah pemuda ini berteiak-teriak,

"Ayah, Ayah….. bantu aku......!!"

Diam-diam Siangkoan Bhok kesal sekali melihat ulah puteranya yang sama sekali tidak menunjukkan kegagahan. Dia sendiri juga masih amat sukar untuk mengalahkan Thian-tok, bagaimana harus membantu puteranya yang jelas terdesak oleh dua orang lawannya? Jalan satu-satunya agar tidak kehilangan muka hanya melarikan diri.

"Thian-tok, cukup sekian dulu, lain kali kita lanjutkan. Siangkoan Tek mari kita pergi!" katanya.

Mendengar ini, maklumlah Siangkoan Tek bahwa ayahnya tidak dapat membantunya dan menganjurkan agar melarikan diri. Maka dia pun menyerang dengan ganas sehingga dua orang pengeroyoknya melompat ke belakang dan rnenggunakan kesempatan ini, dia pun meloncat jauh mengejar ayahnya.

"Sudah, jangan kejar mereka, berbahaya," kata Thian-tok sambil tertawa rnelihat muridnya dan pemuda berpakaian biru itu hendak melakukan pengejaran. "Orang muda, siapakah engkau yang telah membantu muridku Ceng Ceng?"

Thio Hui San cepat memberi hormat kepada kakek gendut pendek itu. Tadi dia melihat kakek ini menandingi Siangkoan Bhok. Sebagai seorang pemuda yang sudah banyak pengalamannya, dia mengenal Siangkoan Bhok akan tetapi tidak mengenal kakek ini. Dia mengingat-ingat siapa kiranya tokoh dunia kang-ouw yang bertubuh seperti ini. Akhirnya dia teringat. Kakek cebol gendut yang bersenjatakan kebutan bulu putih.

"Saya Thio Hui San memberi hormat kepada Locianpwe Thian-tok."

Thian-tok tertawa bergelak sambil memegangi perutnya yang terguncang. "Ah, ternyata selain lihai engkau pun berpemandangan tajam. Aku memang Thian-tok Gu Kiat Seng. Kami bersukur bahwa engkau telah membantu muridku yang telah terdesak oleh Siangkoan Tek yang jahat. Akan tetapi, siapakah orang berkedok hitam yang tadi melarikan gadis itu? Apakah dia temanmu?"

"Orang berkedok hitam? Siapakah, Locianpwe? Saya tidak melihatnya," kata Hui San heran.

"Ah, celaka kalau begitu. Gadis itu telah dibawa lari orang yang tidak kita ketahui siapa. Akan tetapi kalau orang itu melarikannya, tidak membunuhnya, barang kali gadis itu masih dapat menyelamatkan diri. Ia seorang gadis pemberani yang lihai. Thio Hui San, aku melihat ilmu pedangmu tadi, bukankah engkau seorang murid Siauw-lim-pai?"

"Pandangan Locianpwe amat tajam, membuat saya kagum sekali. Memang sesungguhnyalah, Locianpwe, saya adalah seorang murid Siauw-lim-pai."

"Hemm, bagus. Siapakah gurumu, atau, tidak bolehkah aku mengetahuinya?"

"Tidak ada rahasia dalam perguruan kami, Locianpwe. Guru saya adalah In Kong Taisu."

"Siancai.....! Jadi engkau murid In Kong Taisu? Pantas ilmu pedangmu hebat. Akan tetapi, bagaimana engkau yang tidak kami kenal langsung saja membantu kami? Engkau tidak tahu siapa yang bersalah di antara kami tadi."

"Locianpwe, saya sudah mengenal Siangkoan Bhok dan orang macam apa adanya dia. Maka, saya langsung membantu Nona yang saya lihat sudah terdesak dan terancam." Hui San memandang kepada Ceng Ceng dan kebetulan gadis itu juga sedang memandang kepadanya. Dua mata bertemu pandang, dua buah hati berdetak lebih keras dari biasanya dan Ceng Ceng segera menundukkan mukanya dengan malu-malu.

Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak, "Ha-ha-hay, Thio Hui San, perkenalkan, ini adalah muridku bernama Lui Ceng atau biasa dipanggil Ceng Ceng. Ceng Ceng, haturkan terima kasih kepada Thio Hui San. Kalau dia tidak segera datang menolong, entah bagaimana jadinya dengan kita."

Ceng Ceng mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat, yang segera dibalas oleh Hui San. Sambil tersenyum malu Ceng Ceng berkata, "Taihiap, banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi."

"Ah, Nona. Harap jangan menyebut aku taihiap (pendekar besar), membuat aku merasa malu saja."

Kembali Thian-tok tertawa, "Ha-ha-ha, kalian dua orang muda bicaralah aku harus memulihkan tenagaku. Siangkoan Bhok setan tua itu sungguh lihai dan menguras tenagaku." Setelah berkata demikian, Thian-tok lalu pergi ke sebuah batu besar tak jauh dari situ dan naik ke atas batu, lalu duduk bersila menghimpun hawa murni.

"Nona Liu, sekali lagi, jangan menyebut aku dengan sebutan taihiap. Sebutan itu terlalu tingg bagiku, padahal ilmu kepandaianku tidaklah ada artinya dibandingkan dengan kesaktian gurumu."

"Habis, aku harus menyebutmu apa, Thio-taihiap, sedangkan engkau juga menyebutku nona," jawab Ceng Ceng dengan kedua pipi kemerahan.

Hui San terpesona. Pemuda ini tidak mudah tertarik oleh wanita. Selama hidupnya baru satu kali dia tertarik, bahkan jatuh cinta kepada wanita, yaitu kepada Lee Cin. Akan tetapi setelah tahu bahwa Lee Cin tidak menanggapi cintanya, dia pun mundur dan tidak begitu mengharapkan lagi.

Kini, untuk kedua kalinya dia terpesona oleh budi halus dan kecantikan wanita. Dalam pandangannya, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang gagah perkasa, akan tetapi yang memiliki sikap lemah lembut keibuan.

Mendengar jawaban Ceng Ceng, Hui San memandang tajam lalu tersenyum dan menjawab, "Kita telah bertemu dan berkenalan dan engkau bersama gurumu bersikap demikian baik dan bersahabat, apa salahnya kalau kita menjadi sahabat baik? Agar tidak canggung, bagaimana kalau selanjutnya aku menyebutmu moi-moi saja dan engkau menyebutku koko? Bagaimana juga, aku jauh lebih tua darimu. Bagaimana pendapatmu, Ceng-moi (Adik Ceng)?"

Ceng Ceng tersenyum. Pemuda yang dihadapinya itu demikian sopan clan halus, ucapannya demikian lembut dan sama sekali tidak ada kesan kurang ajar, melainkan bersahabat. Ia merasa senang sekali berkenalan dengan pemuda murid Siauw-lim-pai yang tangguh ini.

"Aku senang sekali, San-ko (Kakak San)," katanya dengan senyum malu-malu. Ceng Ceng adalah seorang gadis pingitan. Ketika ia masih ikut dengan pamannya, Souw Can, ia jarang keluar rumah dan tidak pernah bergaul, apalagi dengan pria, maka ia merasa malu-malu.

Satu-satunya pria yang pernah dikenalnya dengan baik adalah Lai Siong Ek, suhengnya. Akan tetapi Siong Ek sering kali bersikap tidak wajar kepadanya, bahkan kalau mereka sedang berdua, Siong Ek suka menggodanya dengan kata-kata nakal.

Maka, bertemu dengan Hui San yang sopan dan lembut, ia merasa tertarik sekali. Apalagi baru saja ia mendapat pertolongan pemuda itu. Kalau pemuda itu tidak datang menolong, entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Siangkoan Tek itu terlalu lihai baginya dan suhunya juga tidak dapat menolongnya karena suhunya sedang bertanding dengan seru melawan kakek bersenjata dayung baja itu.

"Ceng-moi, sebetulnya apakah yang terjadi. Kenapa engkau dapat bertanding dengan Siangkoan Tek itu, dan kenapa pula gurumu bertanding dengan Siangkoan Bhok?"

"Kebetulan saja Suhu dan aku lewat di sini ketika kami melihat mereka berdua menawan seorang gadis cantik. Begitu melihat pemuda itu, aku segera mengenalnya karena aku pernah bentrok dengan Siangkoan Tek itu. Maka aku segera berusaha menolong gadis itu dan menyerang Siangkoan Tek, sedangkan Suhu menyerang kakek berdayung baja yang ternyata adalah ayah dari Siangkoan Tek. Kami bertanding mati-matian dan sebelum engkau muncul, aku sudah terdesak hebat oleh Siangkoan Tek yang lihai dan jahat."

"Hemm, dan di mana gadis yang ditawan mereka itu? Apakah benar dia dibawa lari seorang yang berkedok hitam?"

"Begitulah, aku terdesak hebat oleh Siangkoan Tek sehingga tidak begitu memperhatikan. Aku hanya melihat seorang yang berpakaian dan berkedok hitam, berkelebat cepat dan membawa pergi nona tawanan itu."

"Apakah engkau tahu siapa gadis itu, Ceng-moi? Mengapa ia ditangkap Siangkoan Tek dan ayahnya? Dan siapa pula Si Kedok Hitam itu?"

"Aku tidak tahu, San-ko. Juga Suhu tidak tahu. Akan tetapi Suhu dan aku sempat melihat betapa gadis itu dikeroyok ayah dan anak yang jahat itu, kemudian tertawan oleh mereka. Gadis itu memiliki kepandaian hebat, akan tetapi karena dikeroyok dua, akhirnya ia tertawan."

Mereka berhenti bicara dan ketika keduanya saling pandang, kembali jantung mereka berdebar kencang dan Ceng Ceng segera menundukkan pandang matanya. Hui San juga menjadi salah tingkah dan untuk meredakan debar jantungnya, dia bertanya, '"Ceng-moi, kalau boleh aku bertanya, siapakah kedua orang tuamu dan di manakah engkau tinggal?"

Pertanyaan itu seperti mencairkan kebekuan yang timbul karena rasa malu dan canggung. Akan tetapi jawaban Ceng Ceng terdengar mengandung kedukaan, "Aku….. aku tidak mempunyai ayah dan ibu lagi, San-ko. Aku adalah seorang yatim piatu yang ditinggal mati kedua orang tuaku sejak aku masih kecil."

"Hemm, kalau begitu sejak kecil engkau ikut gurumu?"

"Tidak, San-ko. Baru dua tahun aku mengikuti guruku belajar ilmu, tadinya aku ikut menumpang di rumah pamanku yang tinggal di Pao-ting. Baru setelah bertemu dengan Suhu, aku memperdalam ilmu silat dan ikut Suhu merantau."

"Ah, kasihan sekali engkau, Ceng-moi. Riwayatmu penuh duka."

Ceng Ceng tersenyum. "Akan tetapi aku tidak merasa berduka lagi, San-ko. Aku merasa bahagia dapat belajar ilmu dari Suhu. Akan tetapi kenapa sejak tadi hanya bicara tentang diriku saja. Bagaimana dengan engkau, San-ko? Dari mana engkau berasal dan siapa orang tuamu?" Ceng Ceng bertanya sambil menatap tajam wajah pemuda yang jangkung, gagah dan tampan itu.

Hui San menarik napas panjang, akan tetapi dia masih tersenyum sambil menatap wajah yang cantik jelita itu. "Riwayatku tidak jauh bedanya dengan riwayatmu, Ceng-moi. Aku pun yatim piatu sejak kecil dan sejak aku masih kecil aku sudah tinggal di dalam kuil Siauw-lim-si dan akhirnya menjadi murid Suhu. Aku mempelajari ilmu silat dan juga sastra dari para suhu di Siauw-lim-pai dan aku sering melaksanakan tugas yang diberikan oleh Suhu."

"Ah, kasihan juga engkau, San-ko. Kenapa hidup ini hanya membawa duka saja. Di mana-mana aku bertemu dengan orang-orang yang tidak bahagia hidupnya. Jadi engkau bertempat tinggal di kuil Siauw-lim-si? Di manakah kuil Siauw-lim-si yang tersohor itu, San-ko?"

"Pusat kuil Siauw-lim-si berada di kaki Gunung Sung-san, di Propinsi Ho-nan. Akan tetapi aku tinggal di kuil yang berada di Kwi-cu, sebuah kuil yang merupakan cabang dari Siauw-lim-si dan guruku, In Kong Taisu, menjadi ketua di sana. Aku tinggal di sana, akan tetapi aku lebih banyak berada di luar kuil karena banyak melaksanakan tugas yang diberikan Suhu. Sekarang pun aku sedang melaksanakan tugas untuk menyebar undangan kepada para tokoh kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan persilatan yang ternama."

"Apakah Siauw-lim-pai hendak mengadakan pesta maka menyebar undangan, San-ko?"

"Bukan Siauw-lim-pai yang mengadakan pesta, akan tetapi Siauw-lim-pai merupakan satu di antara pimpinan bengcu kami. Kami mengundang para ahli silat di dunia kang-ouw untuk nanti pada tanggal satu bulan lima agar mereka berkunjung ke Hong-san di mana akan diadakan pertemuan besar dan penting untuk membicarakan urusan di dunia kang-ouw dan juga mengadakan pemilihan bengcu yang baru."

"Aih, menarik sekali!" kata Ceng Ceng. "Apakah Suhu juga diundang? Aku akan merasa girang sekali kalau dapat ikut Suhu pergi ke sana!" Ceng Ceng menoleh ke arah suhunya dan ia terbelalak. "Eh, di mana Suhu?"

Hui San juga menoleh dan melihat ke arah batu di mana tadi kakek itu duduk bersila. Akan tetapi kini kakek itu tidak tampak bayangannya lagi dan sudah pergi dari situ! Kedua orang muda itu menjadi heran dan terkejut. Mereka cepat melompat dan berlari ke arah batu itu dan di atas batu besar di mana Thian-tok tadi duduk terdapat coretan pada permukaan batu yang merupakan huruf-huruf yang cukup jelas.

Ceng Ceng,
Engkau sudah cukup belajar, kita berpisah sekarang. Jaga darimu baik-baik dan kalau engkau pergi ke Hong-san, mungkin kita dapat saling jumpa di sana."
Thian-tok.

"Ah, Suhu meninggalkan aku!" kata Ceng Ceng dengan sedih. Ia tahu bahwa sekali waktu ia pasti akan harus berpisah dari gurunya, akan tetapi tidak seperti itu. Suhunya meninggalkannya tanpa pamit! Akan tetapi hatinya terhibur membaca kalimat terakhir. Bulan lima tidak lama lagi dan kalau ia pergi ke Hong-san, menghadiri rapat itu, mungkin ia akan dapat berjumpa dengan gurunya.

"Suhumu seorang manusia yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau dia memakai cara yang aneh untuk berpisah darimu, Ceng-moi."

"Aku... aku merasa kehilangan sekali, San-ko. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi dan selama ini aku menganggap Suhu sebagai pengganti orang tuaku. Kini dia pergi dan aku sebatang kara..."

"Bukankah suhumu mengatakan bahwa engkau akan dapat berjumpa dengannya di Hong-san? Kalau engkau pergi ke sana…."

"Akan tetapi aku bukan seorang yang diundang menghadiri rapat yang penting itu, San-ko."

"Mengapa tidak? Aku yang mengundangmu, mewakili guruku. Memang Suhu berpesan agar aku mengundang siapa saja yang pantas disebut sebagai pendekar atau tokoh kang-ouw. Dan engkau sudah pantas menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, Ceng-moi."

"Akan tetapi aku belum pernah melakukan perjalanan jauh seorang diri. Sebelum ikut Suhu, aku selalu tinggal di rumah dan selama ini aku hanya ikut Suhu. Aku tidak tahu di mana Hong-san itu."

Hui San adalah seorang pemuda yang berpengalaman. Tadinya dia pun merasa heran melihat cara Thian-tok meninggalkan muridnya begitu saja. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa girang. Thian-tok meninggalkan murid perempuan itu setelah bertemu dengan dia. Bukankah ini berarti bahwa datuk itu mengharapkan agar dia dapat menemani Ceng Ceng? Kalau benar dugaannya, dia merasa bahagia sekali.

"Aku juga sedang pergi menuju ke Hong-san. Bagaimana kalau kita pergi bersama, Ceng-moi? Maafkan aku, tentu saja kalau engkau tidak merasa keberatan. Aku hanya mampir-mampir di sepanjang perjalanan ke Hong-san untuk memberikan undangan kepada para tokoh kang-ouw."

Ceng Ceng memandang dengan sinar mata menunjukkan kegembiraannya. Biarpun baru saja berjumpa dan berkenalan, akan tetapi ia merasa seolah sudah lama mengenal pemuda ini dan sudah mengetahui wataknya yang sopan dan baik.

"Terima kasih, San-ko. Aku senang sekali kalau dapat melakukan perjalanan bersamamu, dapat menimba banyak pengalaman di dunia kang-ouw."

"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang, Ceng-moi. Matahari mulai condong ke barat dan kita harus tiba di suatu dusun atau kota sebelum malam tiba."

"Baik, San-ko. Mari kita berangkat."

Kedua orang muda itu lalu pergi menuju ke utara. Entah siapa yang lebih bahagia di antara mereka. Belum pernah kedua orang muda itu merasakan kebahagiaan seperti ini. Bahkan Ceng Ceng sudah tidak lagi merasakan kepergian suhunya. Padahal andaikata ia berjalan seorang diri, tentu ia akan merasa kehilangan dan kesepian sekali.

Memang besar sekali kekuasaan yang mencekam hati setiap orang manusia kalau dia sudah mulai tertarik kepada lawan jenisnya. Segala sesuatu nampak indah. Cuaca menjadi semakin cerah, pemandangan alam semakin indah, pohon-pohon tampak agung mengagumkan, terutama bunga-bunga tampak semakin jelita, kicau-kicau burung dan semua suara terdengar merdu.

Hidup menjadi begitu berarti, penuh dengan segala yang menyenangkan hati, dan inikah yang disebut kebahagiaan? Kebahagiaan orang yang sedang jatuh cinta, tentunya.


Kita tinggalkan dua orang yang sedang berbunga-bunga hatinya itu dan kita ikuti perjalanan dua orang muda yang lain, yaitu Lee Cin dan Si Kedok Hitam yang memanggulnya dan membawanya pergi dari dalam hutan itu. Lee Cin yang belum dapat bergerak tahu bahwa ia dibawa pergi oleh Si Kedok Hitam. Berbagai perasaan memenuhi hatinya. Ia merasa girang sekali bahwa ia ditolong lagi oleh Si Kedok Hitam.

Akan tetapi ia pun merasa penasaran mengapa Si Kedok Hitam tidak membebaskan totokan dari tubuhnya saja. Ia perlu membantu gadis dan kakek pendek gendut yang menolongnya dan yang bertanding melawan Siangkoan Tek dan Siangkoan Bhok. Tadinya ia diam saja, akan tetapi kemudian hatinya memberontak.

"Lepaskan aku......! Lepaskan......!" Ia berseru.

Si Kedok Hitam sudah lari jauh dari tempat pertempuran tadi. Mereka tiba di sebuah padang rumput dan mendengar teriakan itu, dia lalu menurunkan tubuh Lee Cin ke atas rumput, kemudian beberapa kali menotok jalan darah Lee Cin sehingga gadis itu mampu bergerak lagi.

Tanpa berkata-kata Si Kedok Hitam menjulurkan tangannya yang memegang pedang Ang-coa-kiam dan mengembalikannya kepada Lee Cin. Gadis itu menyambar pedangnya dan segera meloncat berdiri hendak berlari.

"Hendak ke mana, Nona?" Si Kedok Hitam bertanya.

"Tentu saja ke tempat tadi, ke mama lagi? Aku harus membantu mereka yang bertanding nnelawan Siangkoan Tek dan ayahnya!"

Setelah berkata demikian Lee Cin berlari cepat, diikuti oleh Si Kedok Hitam. Akan tetapi Lee Cin tidak tahu jalan dan ia berputar-putar di daerah itu dan akhirnya ia berhenti berlari, menanti Si Kedok Hitam yang masih mengikutinya. "Di mana jalannya tunjukkanlah kepadaku!" Ia berkata.

"Nona, Thian-tok itu lihai sekali, dan tidak akan kalah menandingi Siangkoan Bhok, dan gadis itu pun lihai. Mereka tidak akan kalah dan tidak memerlukan bantuan." Suara Si Kedok Hitam itu dingin dan acuh tak acuh.

"Mereka telah menolongku, sekarang aku harus membantu mereka!" kata Lee Cin. "Mengapa engkau membawa aku pergi? Seharusnya engkau membebaskan totokanku agar aku dapat membantu mereka membunuh Siangkoan Tek si jahanam busuk itu dengan ayahnya!"

"Nona hendak kembali ke sana? Ikuti aku," kata Si Kedok Hitam tanpa banyak cakap lagi dan dia lalu berlari cepat menyusuri lapangan rumput itu. Lee Cin meloncat dan berlari mengikuti di belakangnya.

Tak lama kemudian sampailah mereka ke tempat tadi dan tempat itu ternyata telah sunyi. Tak tampak seorang pun di situ, Siangkoan Tek dan ayahnya tidak tampak batang hidungnya, juga kakek dan gadis yang menolongnya tidak ada lagi di situ. Lee Cin memandang ke kanan kiri, mencari-cari, kemudian duduk di atas batu dengan wajah murung.

"Aih, bagaimana kalau mereka mengalami celaka gara-gara menolongku?" katanya dengan khawatir.

Si Kedok Hitam lalu meneliti bekas tempat pertempuran, memandang ke atas tanah dan akhirnya menghampiri Lee Cin. "Harap Nona tidak khawatir. Kalau dayung baja itu menjatuhkan korban, tentu ada bekas darah di sini. Akan tetapi tempat ini bersih, tidak ada bekas tumpahan darah. Tidak mungkin seorang datuk seperti Thian-tok dikalahkan lawan tanpa ada darah yang menetes. Aku yakin mereka semua telah pergi dari sini dengan selamat."

Lee Cin turun dari atas batu dan meniru perbuatan Si Kedok Hitam tadi, memeriksa keadaan di tempat itu. Benar saja, tidak ada sedikit pun tanda darah. Baru hatinya lega dan baru ia teringat bahwa sudah ke empat kalinya ini Si Kedok Hitam menyelamatkannya. Dan baru ia teringat bahwa ia ingin sekali mengetahui siapa Si Kedok Hitam ini, dan apakah benar dia yang dahulu melukai ayahnya.

Seperti pada pertemuan terdahulu, Si Kedok Hitam sudah siap untuk pergi meninggalkan Lee Cin. "Sekarang aku harus cepat pergi, Nona. Selamat berpisah......!"

"Nanti dulu, sobat!" kata Lee Cin dan dalam suaranya terdengar tuntutan sehingga orang berkedok hitam itu menahan langkahnya dan memandang kepadanya. Lee Cin juga menatap penuh perhatian, sinar matanya seolah hendak menembus kedok itu dan menjenguk wajah orang aneh itu.

"Aku mempunyai beberapa pertanyaan yang harus kau jawab sejujurnya, sobat. Pertama, berulang kali engkau menyelamatkan aku dari bahaya, mengapa engkau melakukan hal ini kepadaku?"

"Mengapa? Ah, mudah sekali dijawab, Nona. Kalau melihat orang melakukan perbuatan jahat, sudah menjadi kewajibanku untuk turun tangan menentang kejahatan dan menolong siapa saja yang menjadi korban kejahatan. Kebetulan saja Nona yang menjadi korban kejahatan ketika aku datang turun tangan."

"Jawabanmu ini menunjukkan bahwa engkau seorang pendekar. Akan tetapi mengapa seorang pendekar menyembunyikan dirinya di balik kedok hitam seolah takut diketahui siapa dirinya yang sebenarnya? Aku yang berulang kali menerima pertolonganmu, tentu saja ingin sekali mengenal siapa sebenarnya engkau. Nah, maukah engkau memperkenalkan diri kepadaku, tanpa kedok itu?"

"Maafkan aku, Nona. Aku tidak dapat melakukan hal itu. Aku tidak dapat memperkenalkan diriku yang sebenarnya kepada siapapun juga dan aku mempunyai alasanku sendiri yang pribadi. Aku pun tidak dapat memperkenalkan diriku kepadamu. Cukup kalau engkau mengenalku sebagai Si Kedok Hitam. Nah, sekarang......"

"Nanti dulu! Masih ada beberapa bertanyaan yang harap kau jawab sejujurnya. Aku dapat menerima alasanmu itu dan tidak akan memaksa engkau memperkenalkan dirimu yang sebenarnya kepadaku. Akan tetapi aku mempunyai suatu penasaran besar. Dulu aku menganggap seorang yang berkedok hitam sebagai musuh besarku. Dia adalah orang yang telah menyerang dan melukai ayahku di Hong-san. Ayahku adalah Bengcu Souw Tek Bun. Apakah engkau yang telah melakukan penyerangan itu dan melukainya?"

Berkata demikian, Lee Cin menatap tajam sepasang mata yang mencorong itu sehingga mereka saling pandang. Pandang mata yang mencorong itu membalas pandang mata Lee Cin tanpa berkedip, walaupun tampak betapa sepasang mata itu sedikit melebar.

"Engkau puteri Bengcu Souw Tek Bun? Ah, aku menyesal sekali, Nona. Aku tidak dapat menyangkal. Akulah yang telah bertanding dengan ayahmu, melukainya dengan pukulan, akan tetapi dia pun melukai lenganku. Tentu engkau hendak bertanya mengapa aku menyerangnya? Apakah dia tidak menceritakan kepadamu?

"Aku menantangnya dan hendak memberi peringatan kepadanya karena dia menjadi bengcu atas dukungan kerajaan, berarti dia menjadi seorang bengcu yang condong memihak penjajah. Nah, itulah yang menjadi sebabnya. Aku tidak bermaksud mencelakainya dan aku melukainya karena dia pun melukai lenganku dengan ilmu pedangnya yang hebat. Apakah engkau mendendam, Nona. Nah, kalau engkau hendak membalas dendam, silakan, aku bersedia menanggung akibat perbuatanku itu."

Lee Cin merasa lega. Orang ini bukan pengecut, telah mengakui perbuatannya dan dia pun sudah mengerti akan sebab penyerangannya. Ayahnya telah menceritakan dan sebab itulah yang mendesak ayahnya untuk menyatakan bahwa dia mundur dari kedudukannya sebagai bengcu. Dia tidak mau dituduh sebagai bengcu pilihan penjajah!

Orang ini telah mengaku dan buktinya dia tidak membunuh ayahnya, hanya saling melukai dan ini dilakukan untuk memperingatkan ayahnya. Dan orang ini sekarang mengaku. Apa yang akan dilakukannya? Membalas dendam? Akan tetapi orang ini telah berulang kali menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut!

Hutang dendamnya terlalu kecil kalau dibandingkan dengan budi pertolongan yang dilepaskannya. Empat kali nyawanya tertolong, maka sudah sepatutnya kalau ia menghilangkan dendam karena ayahnya saling melukai dengan pemuda berkedok hitam ini.

"Sebuah pertanyaan lagi!" katanya, ketika melihat Si Kedok Hitam kembali menggerakkan kaki hendak pergi. "Apakah engkau anggauta keluarga Cia?"

"Maafkan, Nona Souw Lee Cin, aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Tentang pribadiku merupakan rahasia yang tidak boleh kubuka kepada siapapun juga. Selamat tinggal!" Si Kedok Hitam lalu melompat jauh dan menghilang di balik pohon-pohon, meninggalkan Lee Cin termenung seorang diri.

Tiba-tiba saja ia merasa kehilangan dan kesepian. Ah, alangkah bodohnya! Ia telah jatuh cinta kepada Si Kedok Hitam! Tiba-tiba ia merasa terkejut sendiri oleh penemuan ini. Ia jatuh cinta kepada seorang yang tidak diketahuinya siapa, bagaimana wajahnya. Mungkin karena berulang kali ditolong, ia merasa terharu dan tertarik.

Akan tetapi ada sesuatu dalam sinar mata Si Kedok Hitam yang membuatnya tidak mampu melupakan sepasang mata yang mencorong itu. Pandang mata itu! Seolah mengelus perasaannya, mengandung seribu belaian dan rayuan, walaupun disembunyikan dalam sikap dan suara yang dingin. Ia mencinta Si Kedok Hitam.

"Bodoh kau…!" Ia ingin menampar kepalanya sendiri, menarik napas panjang lalu melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi pertemuannya dengan Si Kedok Hitam tidak pernah meninggalkan kenangannya. Ia kini dapat memastikan bahwa Si Kedok Hitam itu seorang pendekar patriot. Buktinya dia menentang perbuatan jahat, itu sikap seorang pendekar.

Dan dia memperingatkan orang-orang yang dekat dengan pemerintah penjajah, seperti yang dilakukan kepada ayahnya, kepada Un-ciangkun dan kepada Ji-taijin. Itu sikap seorang patriot! Dan apakah dia tersangkut dalam komplotan pemberontak yang bersekutu dengan orang Jepang dan dengan panglima pengkhianat?

Tidak mungkin. Bukankah Si Kedok Hitam pernah meloloskan ia dan Thian Lee? Kalau dia bersekutu dengan para pemberontak, tidak mungkin dia menolong Thian Lee. Pendirian Si Kedok Hitam ini mirip dengan pendirian Cia Tin Han! Tin Han juga berpendirian sebagai seorang pendekar dan patriot sejati, walaupun pemuda itu tidak pandai silat.

Kalau Tin Han pandai ilmu silat seperti kakaknya, Lee Cin berani memastikan bahwa Si Kedok Hitam tentulah Si Pemuda itu. Akan tetapi mengingat bahwa pemuda itu tidak pandai silat, maka tidak mungkin kalau dia yang menyamar sebagai Si Kedok Hitam.

Teringat akan Tin Han, jantung Lee Cin berdebar aneh. Harus diakuinya bahwa ia amat tertarik kepada pemuda itu, gayanya, sikapnya, keberaniannya, ketampanannya. Kalau saja Tin Han pandai ilmu silat, sangat boleh jadi ia akan jatuh cinta kepadanya.

Hal itu tidak dapat diingkarinya lagi. Mungkin juga ia tidak akan tertarik kepada Si Kedok Hitam. Ia mencinta Tin Han, akan tetapi kekagumannya dan hutang budinya membuat ia menoleh kepada Si Kedok Hitam! Dengan pikiran kacau-balau seperti itu, terombang-ambing di antara Si Kedok Hitam dan Cia Tin Han, Lee Cin melanjutkan perjalanannya.

Kemudian ia teringat kepada Siangkoan Tek dan wajahnya menjadi merah. Sialan, ia dicinta oleh pemuda macam itu! Ia amat membenci Siangkoan Tek yang berkeras hendak memperisterinya, kalau ia sempat bertemu lagi dengan Siangkoan Tek, sendirian saja tanpa ayahnya, tentu ia akan berusaha keras untuk membunuh pemuda jahat itu.

Selagi ia berjalan dan tiba di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya, "Adik Souw Lee Cin...!"

Lee Cin segera mengenal suara itu dan cepat ia menahan langkahnya dan memutar tubuhnya. Seorang pemuda berlari-lari mendatangi ketika sudah berhadapan dengannya, ia melihat Tin Han yang napasnya terengah-engah karena tadi berlari-lari itu.

"Han-ko....! Engkau dari manakah?"

"Ah, Cin-moi, hampir putus napasku mengejarmu." Pemuda menggunakan sehelai saputangan untuk menghapus keringat dari leher dan dahinya.

"Han-ko, engkau dari manakah?" Ia teringat betapa ia dan Thian Lee menyerbu keluarga Cia dan pada waktu itu ia tidak melihat Tin Han. Rasa tidak enak menyelimuti hatinya. "Engkau tidak bersama keluargamu?" Ia memancing untuk mengetahui apakah pemuda ini telah tahu akan penyerbuan ke rumah keluarga Cia itu.

"Ah, keluargaku telah pergi semua. Ketika itu aku sedang tidak berada di rumah. Kabarnya keluargaku diserbu pasukan, para pelayan ditangkapi. Mereka semua melarikan diri dan aku tidak berani pulang."

"Aku sudah tahu, Han-ko," kata Lee Cin terus terang. "Bahkan aku ikut pula menyerbu ke rumah keluargamu membantu Song-ciangkun."

"Akan tetapi, kenapa, Cin-moi? Kenapa?" Pemuda itu nampak bingung.

Lee Cin merasa iba. Ia tahu bahwa pemuda ini sama sekali tidak bersalah dan tidak terlibat dalam pemberontakan. "Keluargamu bersekutu dengan pemberontak, Han-ko. Bersekutu dengan Panglima Phoa yang berkhianat, bersekongkol pula dengan orang Jepang. Mereka merencanakan pembunuhan terhadap para pembesar, mereka hendak memberontak, karena itulah rumah keluargamu diserbu pasukan."

"Dan engkau ikut pula menyerbu, Cin-moi? Kenapa?" Sepasang mata pemuda itu menatap wajah Lee Cin dengan sinar mata penuh pertanyaan dan penuh selidik.

Hampir tidak kuat rasanya Lee Cin menantang pandang mata itu dan ia pun menghela napas. "Ketahuilah, Han-ko. Song-ciangkun adalah seorang sahabat lamaku, dan aku melihat bahwa dia benar. Pemberontakan seperti yang dilakukan keluargamu itu hanya akan mendatangkan malapetaka bagi rakyat jelata. Gerakannya itu bukan perjuangan yang didukung rakyat seperti yang dimaksudkan, melainkan pemberontakan yang melibatkan orang asing, kaum sesat dan juga pasukan pengkhianat."

Tin Han menghela napas dan menundukkan mukanya. "Aku tahu..... ah, betapa seringnya aku mengingatkan mereka, akan tetapi sia-sia belaka, bahkan aku dimaki-maki. Akan tetapi aku menyesal mengapa engkau ikut pula menyerbu keluargaku, Cin-moi, padahal mereka menganggapmu sebagai seorang keluargaku, Cin-moi, padahal mereka menganggapmu sebagai seorang sahabat. Terutama sekali Siong-ko...."

"Kenapa dengan Saudara Cia Tin Siong?" tanya Lee Cin tertarik.

"Tidak tahukah engkau bahwa kakakku itu tergila-gila kepadamu? Ia amat mencintamu, Cin-moi, dan tentu hatinya hancur melihat engkau ikut pula memusuhi keluarga kami."

"Akan tetapi, aku tidak mencintanya, Han-ko," kata Lee Cin terus terang. Entah mengapa, ia tidak pernah tertarik kepada Tin Siong, walaupun pemuda itu pernah menolongnya dan pemuda itu tampan pandai dan lemah-lembut pula sikapnya. Dia lemah-lembut seperti Tin Han, akan tetapi entah apanya, Lee Cin melihat perbedaan yang besar sekali antara kedua saudara itu.

Kembali Tin Han menghela napas panjang. "Aku tahu bahwa engkau tidak mencintanya, akan tetapi dia mencintamu setengah mati. Aku tahu bahwa kami tidak berharga bagimu, hanya keluarga pemberontak yang nekat. Ahh, aku tahu bahwa perasaanku kepadamu juga sia-sia belaka, Cin-moi. Aku juga seorang yang tak tahu diri, seperti kakakku."

Lee Cin terbelalak memandang pemuda itu. "Eh, apa maksudmu, Han-ko?"

"Maksudku sudah jelas. Aku memang seorang yang bodoh. Sedangkan kakakku saja yang pintar dan gagah perkasa tidak menarik hatimu, apalagi aku yang bodoh dan lemah. Biarlah aku berterus terang, Cin-moi. Aku yang bodoh dan tidak tahu diri ini telah berani jatuh hati kepadamu. Nah, sekarang sudah lega hatiku.

"Sudah kunyatakan perasaan cintaku kepadamu. Walaupun aku tahu bahwa engkau menolak, setidaknya perasaan itu tidak menyiksaku lagi, kutahan-tahan. Ha-ha-ha!" Pemuda itu tertawa dan kegembiraannya seperti muncul kembali.

"Aku seperti Si Pungguk merindukan bulan. Kau tahu pungguk Cin-moi? Pungguk itu semacam burung hantu, buruk sekali rupanya, dan hidupnya di waktu malam. Dia terpesona dan tergila-gila kepada bulan, ingin terbang tinggi mencapai bulan, namun tak pernah berhasil, bahkan sayapnya patah-patah karena terbang terlalu lama dan terlalu tinggi.

"Tempatnya adalah di bawah, bersama burung hantu lain. Ha-ha, sekarang aku melihat betapa aku telah melamunkan hal yang terlalu jauh untuk kucapai. Aku, si pandir ini, anggauta keluarga pemberontak sesat yang tidak mampu berbuat apa-apa berani jatuh cinta kepada seorang pendekar wanita perkasa dan cantik jelita sepertimu."

"Cukup, cukup, Han-ko!" Lee Cin cepat memotong. "Sudah terlalu tinggi engkau memuji dan menyanjungku, terlalu rendah engkau menganggap dirimu sendiri. Aku tidak ingin mendengar lagi."

"Maafkan aku, Cin-moi." Tin Han lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol di permukaan tanah.

Melihat itu, Lee Cin juga duduk di atas sebuah batu, berhadapan dengan pemuda itu. Jantungnya berdebar keras. Pemuda ini terang-terangan menyatakan cinta kepadanya! "Benar kata Kakakku Tin Siong, bahwa engkau seorang gadis yang luar biasa. Berilmu tinggi akan tetapi tidak sombong. Kakak Tin Siong bilang bahwa engkaulah satu-satunya gadis yang ia inginkan menjadi isterinya, yang cocok dengannya. Nenek juga menyetujui kalau engkau menjadi isteri Siong-ko. Akan tetapi engkau tidak membalas cintanya. Apalagi orang seperti aku....."

"Han-ko, jangan engkau terlalu merendahkan diri. Terus terang saja, aku lebih menghargai engkau daripada kakakmu itu."

Tin Han menengok dengan gerakan kaget, memandang kepada wajah gadis itu dengan mata terbelalak dan alis terangkat. Lucu sekali wajahnya kalau begitu. "Aih, benarkah, Cin-moi? Mengapa engkau lebih menghargai aku yang bodoh daripada Kakak Siong yang pintar?"

"Engkau tidak bodoh, Han-ko. Soal engkau tidak suka belajar silat, itu adalah hakmu untuk menentukan. Akan tetapi engkau pandai dan berpikiran luas. Kakakmu itu patuh kepada nenekmu dan ikut pula terlibat dalam pemberontakan. Akan tetapi engkau lain. Engkau seorang patriot sejati yang memikirkan keadaan rakyat jelata. Orang seperti engkau inilah yang kelak akan berhasil memimpin rakyat mengusir penjajah. Aku kagum kepadamu, Han-ko!"

"Aduh, dengar jantungku berdetak hampir pecah rasanya karena girang, Cin-moi! Kagum itu adalah sebuah di antara kuncup-kuncup cinta! Siapa tahu kelak engkau pun akan ada rasa cinta kepadaku. Aih, betapa bahagianya aku memperoleh sinar harapan darimu, Cin-moi!"

Wajah Lee Cin berubah kemerahan. "Engkau seorang pemuda yang amat baik dan rendah hati, Han-ko. Kalau saja engkau pandai silat seperti kakakmu, ahhh….. sudahlah, tidak ada gunanya mengharapkan yang bukan-bukan......"

"Tin Han.....!!" Pada saat itu terdengar suara panggilan yang nyaring, suara teriakan dari jauh.

Tin Han terkejut. "Ah, itu suara panggilan nenekku! Aku harus pergi menemuinya, Cin-moi. Selamat berpisah, semoga kita akan cepat bertemu kembali." Tin Han tergesa-gesa meninggalkan gadis itu berlari ke arah suara yang datangnya dari dalam hutan di lereng bukit itu. Pemuda itu berlari mendaki lereng bukit, diikuti pandang mata haru oleh Lee Cin.

Tiba-tiba timbul keinginan hati Lee Cin untuk mengetahui di mana keluarga itu bersembunyi. Mereka adalah orang-orang buruan pemerintah, akan tetapi ia tidak berniat untuk membiarkan mereka ditangkapi. Bahkan ia merasa tidak enak kepada keluarga itu.

Ia ingin sekali melihat mereka dan andaikata bertemu, ia akan minta maaf kepada mereka dan sekalian menyadarkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah tidak benar. Maka ia lalu meloncat dan mengikuti Tin Han dari jauh, membayangi pemuda itu yang mendaki lereng bukit.

"Tin Haaaan....!" Kembali terdengar suara panggilan itu. Suaranya lengking tinggi dan bergema di lembah bawah, tanda bahwa suara itu diteriakkan dengan pengerahan tenaga khi-kang yang kuat.

Pemuda itu kelihatan tergesa-gesa naik ke lereng itu, akan tetapi karena jalan itu sukar, mendaki dan berbatu-batu, dia tidak dapat bergerak cepat. Lee Cin terus membayanginya dari jarak yang cukup jauh sehingga tidak akan tampak dari atas. Ia menyelip di balik batu-batu dan pohon-pohon.

Akhirnya Tin Han tiba di sebuah lereng dan tampaklah Nenek Cia yang berdiri sambil memegangi tongkat naga. Nenek itu tampak gagah berdiri di tempat tinggi itu seorang diri, memandang kepada cucunya yang dengan susah payah mendaki tempat itu dan menghampiri Nenek Cia.

"Nek…!" Tin Han menghampiri dan memanggil neneknya.

"Ke mana saja engkau selama ini? Tidak tahukah apa yang telah terjadi dengan kami?"

Lee Cin cepat menyelinap di balik batu besar sambil mengintai dan mendengarkan percakapan mereka.

"Aku telah mengetahui semuanya, Nek. Aku memang sedang pergi ketika penyerbuan itu terjadi. Aku mendengar dari orang-orang bahwa keluarga kita diserbu pasukan. Aku lalu bersembunyi dan tidak tahu ke mana kalian pergi. Kupikir engkau dan semua orang pergi ke pantai timur untuk mengungsi ke tempat Phoa-ciangkun, maka aku sedang bermaksud mengejar ke sana."

"Engkau sudah datang, itu baik sekali. Tidak semestinya engkau berkeliaran seorang diri. Mereka tentu akan menangkapmu kalau melihat engkau. Engkau tadi seorang diri ataukah ada temanmu?"

"Aku.... aku seorang diri saja, Nek."

Lee Cin sedang mengintai dan mendengarkan itu semua. Ah, mereka akan mengungsi ke tempat markas pasukan di mana Phoa-ciangkun berada, pikirnya. Tiba-tiba ia mendengar suara di belakangnya dan ketika ia membalik, ia melihat dirinya sudah dikepung orang banyak. Cia Kun, Nyonya Cia Kun, Cia Hok, Cia Bhok dan Cia Tin Siong sudah berada di belakangnya dengan senjata di tangan.

Tentu saja Lee Cin terkejut bukan main. Kiranya mereka sengaja menunggunya di situ. Pantas ia melihat Nenek Cia hanya seorang diri di sana. Agaknya memang mereka sudah melihatnya dari atas tadi dan sengaja memancingnya ke sini. Ia berpendapat bahwa bicara tidak ada gunanya lagi.

Ia tidak gentar, akan tetapi mencoba juga untuk menyadarkan mereka itu dan segera mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada empat orang tua itu, sedangkan ia memandang kepada Tin Siong dengan sinar mata tajam.

"Para paman dan bibi, kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan kalian di sini, memberi kesempatan kepadaku untuk bicara langsung kepada kalian."

"Hemm, Nona Souw. Engkau telah mengkhianati kami, membantu pasukan penjajah menyerbu tempat tinggal kami! Mau bicara apa lagi?" bentak Cia Kun sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

"Justeru aku ingin bicara dengan kalian mengenai usaha pemberontakan yang kalian lakukan itu, Paman Cia. Siong-ciangkun sendiri memaklumi bahwa kalian adalah pendekar-pendekar patriot, bukan orang jahat. Akan tetapi sayangnya kalian mengadakan perjuangan sekutu dengan orang-orang Jepang dan orang-orang sesat di dunia kang-ouw.

"Karena itulah maka tempat tinggal kalian diserbu. Akan tetapi kalau kalian mengaku salah dan selanjutnya tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu, Song-ciangkun tentu akan memaafkan kalian dan tidak akan menuntut."

"Kami tidak akan menyerah kepada segala panglima antek Mancu!" tiba-tiba terdengar suara Nenek Cia dan nenek itu sudah melompat ke depan Lee Cin dengan tongkat kepala naga di tangan kanan. "Engkau pengkhianat, membalas kebaikan kami dengan racun. Menyerahlah atau kami akan menggunakan kekerasan!"

"Nek, aku memperingatkan kalian dengan niat baik, bukan untuk memusuhi kalian. Kalau kalian mulai saat ini memutuskan hubungan dengan pengkhianat Phoa-ciangkun dan tidak lagi berhubungan dengan orang-orang Jepang dan golongan sesat, kalian tidak akan dikejar-kejar lagi dan boleh hidup dengan aman di antara rakyat."

"Nek, ia berkata benar!" Tiba-tiba Tin Han berkata benar dengan suara lantang, "Ayah, Ibu, dan paman-paman, insaflah bahwa kalian telah tersesat jalan. Sudah berulang kali aku memperingatkan bahwa bersekutu dengan para penjahat dan orang Jepang tidak akan mendatangkan kebaikan bagi kita. Phoa-ciangkun telah bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan dibantu oleh tokoh-tokoh sesat dunia kang-ouw. Harap kalian suka menyudahi dan mengundurkan diri jangan sampai diperalat oleh kaum pemberontak."

"Tin Han, tutup mulutmu! Kau anak kemarin sore, tahu apa urusan perjuangan?" bentak Nenek Cia.

"Nenek, kita yang bersalah. Nona Souw Lee Cin ini hanya memperingatkan kita, ia datang dengan niat baik, maka lepaskan ia, biarkan ia pergi," kembali Tin Han berseru kepada neneknya.

"Tidak, ia harus ditangkap untuk dijadikan sandera!" bentak Nenek Cia sambil menggerakkan tongkatnya untuk menyerang Lee Cin. Akan tetapi Tin Han melompat ke depan Lee Cin menghalangi neneknya.

"Tin Han, minggir kau!" bentak Nenek Cia.

"Tidak, Nenek tidak boleh menyerangnya!" Tin Han menantang.

"Anak bodoh!" Nenek Cia menggerakkan kakinya menendang dan Tin Han terlempar dan jatuh terbanting.

Nenek Cia lalu menodongkan senjatanya kepada Lee Cin, akan tetapi Lee Cin sudah melompat ke dekat Tin Han dan membantu pemuda itu untuk bangkit kembali.

"Engkau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Akan tetapi ternyata pemuda yang berani itu tidak menderita cidera.

Nenek Cia sudah melompat ke dekat dua orang muda itu dan menodongkan tongkatnya. "Engkau hendak melawan?" bentaknya kepada Lee Cin.

Lee Cin tidak mencabut pedangnya dan berkata dengan tenang, "Aku tidak akan melawan," katanya sambil memandang kepada mereka semua. Ia tahu bahwa kalau melawan pun ia tidak akan mampu menandingi nenek yang dibantu oleh tiga orang puteranya, seorang mantunya dan seorang cucunya, walaupun ia sangsi apakah Tin Siong juga akan mengeroyoknya kalau terjadi perkelahian.

"Menyerahlah saja, Nona Souw, agar Nenek tidak perlu menggunakan kekerasan," kata Tin Siong sambil mengerutkan alisnya melihat betapa gadis itu menolong adiknya dengan sikap demikian akrab.

"Nek, apa yang akan kau lakukan denganku?" bertanya Lee Cin.

Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendekati Lee Cin dan merampas pedang yang tergantung di pinggang gadis itu. Lee Cin tidak berusaha mencegah karena ia maklum bahwa menggunakan kekerasan tidak akan ada gunanya baginya. Ia masih yakin bahwa keluarga Cia tidak akan mengganggunya.

Andaikata ia melihat Siangkoan Tek atau Ouw Kwan Lok di situ, tentu ia akan melawan mati-matian karena ia tidak percaya kepada kedua orang pemuda itu. Akan tetapi ia percaya bahwa keluarga Cia bukan keluarga orang jahat, maka ia pun menyerah dan tidak melawan. Bahkan ia ingin melihat sampai di mana dan bagaimana Tin Han akan membelanya.

"Kami akan menawanmu sampai Panglima Song Thian Lee itu muncul untuk menolongmu," kata Nenek Cia.

"Nenek, cara yang kau gunakan untuk memancing Panglima Song ini sungguh memalukan dan tidak gagah. Cepat bebaskan Cin-moi agar kita tidak dicela seluruh orang gagah di bawah langit."

"Tutup mulutmu atau aku akan menghajarmu lebih keras lagi," kata Nenek Cia dan Tin Han hanya mengerutkan alisnya.

Lee Cin lalu dipaksa naik ke puncak bukit itu di bawah todongan pedang di tangan Cia Hok dan Cia Bhok. Lee Cin melangkah dengan sikap tenang. Ternyata di puncak bukit itu terdapat sebuah pondok yang cukup besar. Puncak itu dikelilingi jurang yang amat curam dan jalan satu-satunya menuju ke atas hanya jalan yang mereka lalui.

Jalan setapak yang berbahaya karena di kanan kirinya merupakan jurang menganga yang tidak terukur dalamnya. Mudah menjaga tempat seperti itu dari serbuan orang luar karena orang itu pasti akan melalui jalan ini juga.

Diam-diam Lee Cin merasa khawatir juga. Tempat yang amat baik untuk bersembunyi dan mempertahankan diri dari serangan dari luar. Tidak akan ada orang dari luar dapat datang menolongnya tanpa diketahui mereka.

Setelah tiba di tempat itu, Lee Cin dimasukkan ke dalam sebuah kamar seperti gudang yang tidak ada jendela. Pintunya juga amat kuat dan setelah ia didorong masuk, pintu itu dikunci dari luar. Biarpun tidak dapat melihat keadaan di luar kamar, ia tahu bahwa tempat itu pasti dijaga ketat.

Dan melihat keadaan tempat itu ketika ia tiba tadi, ia tidak melihat adanya anak buah seorang pun. Agaknya yang berada di situ hanya seluruh, keluarga Cia saja.

Di dalam kamar itu Lee Cin duduk di lantai dan berpikir bagaimana caranya untuk dapat meloloskan diri dari tangan keluarga Cia. Menggunakan kekerasan seorang diri agaknya tidak mungkin. Ia tidak akan mampu menandingi pengeroyokan mereka semua.

Dan andaikata ia mampu keluar dari tempat ini pun, satu-satunya jalan untuk melarikan diri adalah jalan setapak tadi dan tentu mereka akan menjaga jalan itu. Mengharapkan bantuan orang lain? Siapa yang akan mampu menolongnya dalam keadaan ini?

Thian Lee tentu sedang sibuk mengatur pasukan untuk menggempur kekuatan pasukan Phoa-ciangkun di sepanjang pantai. Tidak bisa mengharapkan bantuan darinya. Lalu siapa? Tin Han?

Pemuda itu akan senang sekali menolong dan membebaskannya dari situ, akan tetapi apa daya pemuda lemah itu? Tidak, ia tidak akan bisa mendapatkan pertolongan dari Tin Han. Lalu ia teringat akan seseorang dan jantungnya berdebar.

Si Kedok Hitam! Biasanya orang ini muncul dalam keadaan tidak tersangka-sangka dan menolongnya. Apakah sekali ini Si Kedok Hitam akan muncul menolongnya? Ah, rasanya tidak mungkin. Kalau Si Kedok Hitam datang menolongnya, tentu dia akan datang melalui jalan setapak itu dan sebelum tiba di rumah itu sudah akan ketahuan dan dikeroyok.

Rasanya, biar Si Kedok Hitam juga tidak akan mampu menandingi pengeroyokan mereka. Agaknya, tidak dapat diharapkan bantuan dari luar. Akan tetapi Lee Cin tidak merasa gentar. Ia akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri dan ia tidak takut karena yakin bahwa keluarga Cia bukan penjahat yang akan membunuhnya begitu saja.

Ia hanya dipergunakan sebagai sandera, tentu untuk menyelamatkan mereka sendiri. Mereka agaknya takut kepada Song Thian Lee, dan dengan menyanderanya mereka menganggap diri kuat dan dapat mempergunakan ia sebagai perisai penyelamatan diri.

Malam itu pintu dibuka dan benar saja seperti dugaannya, seluruh keluarga itu kecuali Tin Han berada di luar pintu! Sama sekali tidak ada kesempatan baginya untuk meloloskan diri. Mereka memasukkan makanan dan minuman untuknya, lalu daun pintu ditutup lagi dari luar dan dikunci.

Lee Cin menerima makanan dan minuman itu, lalu makan minum tanpa curiga. Ia sudah tertawan, untuk apa orang meracuninya lagi? Pula, tubuhnya kebal terhadap racun sehingga dengan berani ia makan makanan itu sampai kenyang.

Ia harus menjaga agar tubuhnya tetap sehat dan kuat, agar sewaktu-waktu kalau saatnya tiba, tubuhnya kuat menghadapi segala macam tantangan. Malam itu Lee Cin tidur di atas lantai yang bertilamkan kasur. Ia tidur nyenyak tanpa mimpi karena hatinya tidak mengkhawatirkan sesuatu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia mendengar suara kunci pintu dibuka orang dari luar. Apakah sepagi itu orang sudah mengantar makanan atau minuman untuknya? Ia mendekati daun pintu. Kalau yang membuka pintu itu hanya seorang saja, ia akan menerjangnya dan mencoba untuk melarikan diri.

Daun pintu terbuka dan sebatang pedang menodongnya. Pedang itu bukan lain adalah Ang-coa-kiam, pedangnya! Dan ia terbelalak ketika melihat bahwa pedang itu dipegang oleh seorang yang berkedok hitam!

"Terimalah pedangmu ini dan mari cepat ikut aku!" bisik Si Kedok Hitam.

Lee Cin merasa gembira sekali. Tak tersangka-sangka Si Kedok Hitam kembali menolongnya. "Terima kasih, aku girang sekali melihat engkau muncul," kata Lee Cin lirih sambil menerima pedang itu, kemudian mengikuti Si Kedok Hitam keluar dari kamar tahanan.

Tak jauh dari situ ia melihat Cia Hok dan Cia Bhok rebah di atas lantai, agaknya tertotok oleh Si Kedok Hitam! Si Kedok Hitam memberi isyarat dan Lee Cin cepat mengikutinya menuju keluar rumah melalui pintu dapur.

Setelah tiba di jalan setapak, terdengar bentakan-bentakan di belakang mereka dan beberapa batang pisau menyambar ke arah mereka. Si Kedok Hitam dan Lee Cin menggerakkan pedang dan pisau-pisau itu runtuh.

"Berhenti! Hendak lari ke mana kalian!" bentakan itu semakin dekat dan muncullah Nenek Cia, ketiga puteranya, mantunya dan juga Tin Siong. Mereka mengejar sambil membawa senjata masing-masing.

"Nona, cepat kau lari dari sini, biar aku yang menahan mereka!" kata Si Kedok Hitam.

Akan tetapi Lee Cin tidak mau. "Tidak, aku akan membantumu melawan mereka."

"Nona, jangan membantah. Pergilah! Jangan khawatirkan aku, akan tetapi kalau engkau tidak lari sekarang, akan terlambat. Demi Tuhan, larilah, Lee Cin. Aku perintahkan ini, larilah."

Lee Cin terkejut. Ada nada yang amat kuat dan tegas dalam suara itu. "Akan tetapi kau....."

"Jangan khawatirkan aku. Larilah cepat, aku cinta padamu!" kata pula Si Kedok Hitam dan yang terakhir itu diucapkan lirih, lalu dia membalikkan tubuh dan menerjang para pengeroyok.

Sebetulnya Lee Cin merasa tidak tega untuk meninggalkan penolongnya, akan tetapi ia teringat akan perintah itu dan jantungnya masih berdebar tegang dan aneh mendengar pengakuan Si Kedok Hitam tadi, dan ia pun menaati perintah itu lalu melarikan diri dengan cepat melalui jalan setapak itu kebawah.

Setelah melewati jalan setapak dan tiba di lereng yang penuh hutan, ia berhenti lalu memandang ke atas. Dilihatnya betapa Si Kedok Hitam masih berkelahi melawan pengeroyokan keluarga Cia! Ia lalu bersembunyi di batik semak dan mengintai ke atas. Perkelahian itu tampak jelas dari situ.

Begitu Si Kedok Hitam membalikkan tubuh dan menyerang para pengeroyok untuk menahan mereka agar tidak mengejar Lee Cin, keluarga itu lalu mengeroyok! Nenek Cia memutar tongkat kepala naganya, ketiga puteranya dan mantunya menggerakkan pedang, sedangkan Cia Tin Siong juga mengeroyok dengan suling peraknya!

Si Kedok Hitam memutar pedangnya dengan cepat dan menyambut serangan mereka dengan cepat dan kuat. Pedangnya membikin tangan mereka yang memegang pedang tergetar ketika senjata mereka bertemu dengan senjatanya. Akan tetapi kepungan itu ketat sekali dan para pengeroyoknya rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi.

Terutama nenek itu membuat Si Kedok Hitam beberapa kali hampir terkena ujung tongkat kepala naga yang berat itu. Namun dia masih terus melawan dengan nekat. Pedangnya menyambar-nyambar dengan cepatnya dan membentuk segulung sinar pedang yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.

Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Nenek Cia mendapat kenyataan yang mengejutkan. Si Kedok Hitam itu memiliki dasar ilmu pedang yang sama dengan ilmu pedang keluarga Cia, dan yang lebih mengherankan lagi, Si Kedok Hitam itu tidak pernah membalas dengan serangan mematikan.

Dia lebih banyak mengelak dan menangkis saja, jarang melakukan serangan dan kalau hal ini dilakukan pun hanya dalam rangka bertahan, untuk menghalau serangan lawan. Kenyataan ini membuat Nenek Cia ragu untuk mengirim serangan mautnya, dan ia ingin sekali mengetahui siapa adanya Si Kedok Hitam yang sudah berulang kali menolong Lee Cin, bahkan pernah pula membebaskan Panglima Song dari tawanan mereka.

Dengan cepat tongkat naganya menyambar ketika Si Kedok Hitam sedang terdesak oleh empat pedang dan sebuah suling perak, akan tetapi tongkat itu tidak menyerang, melainkan dengan cepat sekali menyambar ke arah muka dan mengenai kedok hitam yang menutupi muka itu.

Brettt.....!!" Kedok itu pecah dan terbuka sehingga mereka semua dapat melihat muka Si Kedok Hitam. Tiba-tiba semua serangan terhenti karena keluarga itu menjadi terkejut sekali melihat siapa orangnya yang tadi memakai kedok. Orang itu bukan lain adalah Cia Tin Han!

Bahkan Lee Cin yang menonton semua itu dari balik semak-semak, dapat mengenal Tin Han dan hampir saja gadis ini berseru saking heran dan khawatirnya. Ternyata Si Kedok Hitam adalah Cia Tin Han!

"Tin Han, kiranya engkau yang menjadi Kedok Hitam? Keparat kau, Tin Han. Engkau mengkhianati kami!" bentak Tin Siong dengan marah. Juga Nenek Cia marah sekali. Tin Han adalah cucu kesayangannya. Siapa kira bahwa pemuda itu kini malah menentang keluarga mereka dan menjadi pengkhianat!

"Tin Han, kenapa engkau lakukan ini?" Ibunya, Nyonya Cia Kun juga berseru dengan nada sedih.

"Coba kulihat, apakah engkau berani melawanku!" kata Nenek Cia dan ia sudah menyerang dengan hebat sekali. Tongkatnya menyambar dengan dahsyat menyerang kepala Tin Han, mendatangkan angin bersuitan. Tin Han mengelak dan ketika tongkat menyambar lagi, dia menangkis dengan pedangnya.

"Trangg......!!" Pedang Tin Han terpental lepas dari tangannya dan ketika Nenek Cia menendang, dia yang tidak melawan dengan sungguh-sungguh itu melompat ke belakang, lupa bahwa di belakangnya adalah jurang yang menganga lebar. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda itu melayang turun ke bawah jurang yang tidak dapat diukur saking dalamnya.

"Tin Han……!" Terdengar semua mulut keluarga Cia berseru kaget.

"Han-ko......!!" Lee Cin juga berseru, akan tetapi seruannya tertelan oleh seruan mereka. Gadis ini memandang ke bawah jurang dan tak terasa lagi air matanya bercucuran. Tak mungkin manusia dapat hidup lagi setelah jatuh ke dalam jurang yang demikian dalam, yang tidak tampak dasarnya tertutup kabut. Lee Cin menangis terisak-isak, mengguguk seperti anak kecil sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

"Han-ko...... hu-hu-huuuh, Han-ko......!" Ia merintih dan menangis. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, apalagi kalau ia teringat akan ucapan Si Kedok Hitam yang terakhir tadi. "Larilah cepat, aku cinta padamu!" demikian ucapan Si Kedok Hitam dan sekarang ia melihat pemuda itu terjatuh ke dalam jurang tanpa ia dapat berdaya untuk menolongnya sama sekali!

Si Kedok Hitam telah tewas! Cia Tin Han telah mati. Padahal, baik Cia Tin Han, maupun Si Kedok Hitam, telah menyatakan cintanya kepadanya, dan baru sekarang Lee Cin tahu bahwa ia pun mencinta mereka berdua! Ia mencinta Tin Han dan kagum kepada Si Kedok Hitam, berarti ia juga mencinta Si Kedok Hitam yang bukan lain juga Tin Han. Dan sekarang keduanya telah tiada.

"Han-ko…..." Ia melanjutkan larinya, terhuyung-huyung menuruni lereng sambil menangis. Ia masih dapat mendengar teriakan-teriakan di atas, mereka tidak lagi mengejarnya melainkan berseru-seru memanggil nama Tin Han dan ia mendengar ibu pemuda itu menangis. Mendengar pula suara Nenek Cia yang tegas.

"Dia sudah mengkhianati kita. Agaknya begitu lebih baik., Sudah, tidak perlu ditangisi lagi. Kita harus cepat melarikan diri dari tempat ini sebelum diserbu musuh!"

Lee Cin terus melarikan diri memasuki kota Hui-cu. Ia yakin bahwa keluarga Cia tidak akan berani kembali ke Hui-cu. ia menyewa sebuah kamar di rumah penginapan dan sehari itu ia berdiam di kamarnya saja sambil menangisi Tin Han sepuasnya. Ia lupa makan dan lupa segalanya. Yang teringat hanya bayangan Si Kedok Hitam clan bayangan Tin Han muncul silih berganti.

Untuk kedua kalinya dalam hidupnya ia kehilangan orang yang ia cinta. Pertama, ia kehilangan Song Thian Lee yang ternyata tidak membalas cintanya karena pemuda itu sudah mencinta Tan Cin Lan. Biarpun rasanya berat, namun ia masih terhibur membayangkan betapa Thian Lee yang dicintanya hidup berbahagia dengan isterinya.

Akan tetapi yang kedua kali ini jauh lebih berat. Orang yang dikasihinya, tewas dalam menolong dan membelanya. Tewas dalam keadaan begitu menyedihkan, terjatuh ke dalam jurang yang tidak tampak dasarnya.

"Han-ko… aku cinta padamu, Han-ko. Ia mengeluh dan makin dikenang, makin banyak air matanya membanjir membasahi bantalnya. Ia merasa begitu kehilangan, merasa ditinggalkan, merasa begitu kesepian, seolah hidup ini tidak ada artinya lagi baginya. Ia merasa sebagai seorang yang paling sengsara, betapa pahit getirnya hidup ini baginya, betapa menyakitkan.

!Duka pasti timbul kalau pikiran kita mengenang hal-hal yang telah lalu, hal yang merugikan dirinya maupun batin. Pikiran suka mengunyah hal-hal itu sehingga mengaduk hati dan mendatangkan perasaan iba hati terhadap diri sendiri. Perasaan iba diri inilah yang menimbulkan duka dan tangis, hati meratap-ratap merasa diri sebagai orang yang patut dikasihani, sebaga seorang yang paling sengsara hidup di dunia ini.

Dan duka ini kadang membuat orang tidak mau menerima kenyataan, bahkan mencela akan kekuasaan Yang Mengatur mati dan hidup manusia. Kalau orang tidak dapat menerima apa adanya, menghadapi apa saja yang datang dan menimpa dirinya sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat diubah lagi, maka orang itu tentu akan berulang-ulang mengalami duka yang mendalam dan menganggap bahwa hidup adalah duka!

Akan tetapi seorang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mengerti sepenuhnya bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasaanNya, bahwa tidak ada hal dapat terjadi di luar kehendak-Nya, orang yang menyerah terhadap kekuasaanNya, maka orang demikian itu tidak akan hanyut oleh duka.

Duka hanya akan menyentuhnya sedikit dan sejenak seperti awan yang lalu kemudian hilang lagi. Ia akan menyerah dengan penuh keikhlasan akan kekuasaan Tuhan, tunduk kepada apa yang dihendaki Tuhan betapa berat pun hal itu akan menyentuh perasaannya, dehgan penuh keyakinan bahwa segala yang ditentukan oleh Tuhan adalah baik dan benar.

Dan kalaupun dia tenggelam ke dalam duka, hatinya akan meraih dan memegang Tangan Tuhan yang selalu diulurkan untuk menghibur dan membebaskannya dari duka Tuhan Maha Kasih dan segala kehendak-Nya pun terjadilah!

Demikian pula dengan Lee Cin. Gadis ini merasa hatinya hancur lebur dan perih seperti ditusuk-tusuk pedang berkarat, membuat ia tenggelam ke dalam duka dan cucuran air mata, membuatnya meratap menangis menyesali nasibnya, membuat ia sehari semalam tidak makan dan tidak tidur.

Akan tetapi ia lalu teringat akan semua nasihat ayahnya kepadanya akan sikap seorang gagah terhadap malapetaka yang menimpanya. Ia tidak harus kehilangan kepribadiannya dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Akhirnya, pada keesokan paginya, ia dapat melepaskan semua beban yang berat menekan hatinya itu, menyerah kepada Tuhan dan ia pun dapat tertidur pula. Dan begitu ia tertidur, begitu pikiran dan ingatannya tidak bekerja, tidak dapat mengingat-ingat hal yang terjadi, namun kedukaan lenyap bagaikan awan ditiup angin.

Lahir mati adalah peristiwa yang ditentukan oleh Tuhan, tak seorang pun manusia dapat mengubahnya. Kehilangan pun pasti akan menyusul kemilikan. Yang memiliki akan kehilangan, akan berpisah dari yang dimiliki. Kalau sudah yakin akan hal ini, maka manusia hanya dapat menyerah kepada Tuhan apa yang berada di luar jangkauan kekuasaan-Nya.

Sampai di sini kisah Si Dewi Ular ini selesai. Pembaca yang ingin bertemu kembali dengan Lee Cin dan tokoh-tokoh lain dalam kisah ini, dipersilakan membaca serial "RAJAWALI HITAM" yang merupakan sambungan dari kisah Si Dewi Ular. Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca.

TAMAT

kisah berikutnya,
RAJAWALI HITAM
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.