Siangkoan Yan cuma mengangguk-angguk. Ia tahu, Tan Wan-wan adalah orangnya Li Giam sejak dulu. Melalui cara yang berliku, Li Giam berhasil menyelundupkan Tan Wan-wan sampai ke dalam istana dan menjadi teman tidur Kaisar Cong-ceng.
Itulah yang menyebabkan Li Giam mengetahui setiap gerakan militer Kerajaan Beng, yang paling rahasia sekalipun, sehingga pasukan Li Giam dapat meraih kemenangan demi kemenangan berkat laporan yang diselundupkan Tan Wanwan dari dalam istana, bahkan dari dalam kamar tidur Kaisar Cong-ceng sendiri.
Itulah sebabnya, setelah kaum Pelangi Kuning mendapat kemenangan, Li Giam tidak melupakan jasa-jasa Tan Wan-wan, dan melindunginya. Itulah yang membuat Keluarga Siangkoan merasa kurang enak tinggal serumah dengan Tan Wan-wan, karena keluarga Siangkoan adalah pengabdi-pengabdi setia dari dinasti yang lama. Malam itu juga, Tan Wan-wan mengirim berita kepada Li Giam lewat seorang kepercayaannya yang tinggalnya berdekatan dengan rumah itu.
Sementara itu, setelah tempat itu sepi kembali, sosok bayangan yang tadinya bersembunyi di balik tumpukan kayu bakar, sekarang menyelinap bagai hantu meninggalkan rumah itu. Geraknya tanpa suara ketika membuka palang pintu halaman, dan kemudian keluar.
Dialah si pembelah kayu di warung Go Liong. Larut malam seperti itu, tentu saja warunghakminya Go Liong sudah tentu tutup. Go Liong sedang berbaring terkantuk-kantuk di kamarnya yang sempit di bagian belakang warungnya.
Tiba-tiba ia mendengar ketukan perlahan di pintu samping halaman belakang. Pintu samping yang menembus ke sebuah gang di samping warung. Ketukan berirama tertentu, isyarat sandi. Go Liong menyangka yang datang itu tentunya Si pembelah kayu yang akan melaporkan hasil pengamatannya.
Ia melompat bangun dari tempat tidurnya, keluar dari kamarnya dan langsung membuka pintu itu, dan langkahnya tertegun melihat siapa yang berdiri di depannya. Bukan Si pembelah kayu suruhannya. Melainkan seorang tua kurus berjubah kain hangat, berjenggot jarang, namun sepasang matanya amat tajam.
“Kun-su (Penasehat Militer)....." kata Go Liong tertahan. Orang tua itu menyelinap masuk. Go Liong menutup kembali pintu itu, kemudian di belakang pintu itu Go Liong menjalankan penghormatan keprajuritan ala bangsa Manchu.
Si orang tua adalah Kat Hu-yong, Penasehat Militer dari Pangeran Toh Sek-kun, penguasa militer Kerajaan Ceng (Manchu). Kata Kat Hu-yong, "Aku ingin bicara denganmu, Goh Lung.”
“Mari kita bicara di dalam, Kun-su." Ternyata nama asli Go Liong adalah Goh Lung, nama yang "berbau" Manchu. Namun di Pak-khia itu diubahnya menjadi nama bangsa Han, Go Liong.
Tidak lama kemudian Kat Hu-yong dan Goh Lung sudah duduk berhadapan dengan diterangi sebuah lilin di meja. Goh Lung mengawali pembicaraan dengan pertanyaan yang bernada tegang,
"Kun-su secara pribadi mengunjungi aku, apakah ada laporan-laporan tertulisku lewat burung merpati yang kurang jelas, atau kurang berkenan kepada Kun-su?"
Kat Hu-yong menggeleng, "Tidak, Goh Cam-ciang (Perwira Goh), laporanmu jelas dan meyakinkan. Tetapi aku datang karena dalam hari-hari yang dekat ini ada yang harus kita lakukan...."
Mata Goh Lung bersinar-sinar. “Apakah serangan ke selatan akan segera dimulai? Kalau benar begitu, kami yang di Pak-khia ini sudah siap membukakan pintu dari dalam." Kat Hu-yong tersenyum sambil menepuk pundak Goh Lung yang ternyata adaJah seorang perwira bawahannya, bahkan berpangkat cukup tinggi, yaitu Cam-ciang (setingkat Letkol).
Kata Kat Hu-yong, "Perwira Goh, bersemangat boleh saja, tetapi jangan sampai kehilangan perhitungan. Memang Pangeran sudah mengambil keputusan untuk menyiapkan serangan, tetapi dia hanya akan menyerang kalau sudah dua syarat terpenuhi.”
“Dua syarat?”
“Ya.”
“Apa saja, Kun-su?”
“Pertama, tersingkirnya Li Giam. Kedua, membelotnya Bu Sam-kui ke pihak kita. Harus terpenuhi kedua-duanya, tidak cuma salah satu."
Goh Lung mengerutkan alisnya. “Kenapa Pangeran harus bertele-tele dengan kedua syarat itu? Tidak dapat disangkal kalau Li Giam memang seorang perwira yang hebat. Setelah kemenangan kaum Pelangi Kuning, ia tidak menjadi mabuk kemenangan maupun kemewahan seperti Lau Cong-bin dan Gu Kimsing. L i Giam tetap hidup secara prajurit sejati, begitu juga ia memberlakukannya kepada pasukannya. Pasukannya terus berlatih secara teratur. Namun buat apa takut kepada Li Giam? Pasukannya, bagaimanapun terlatihnya, tetap bukan tandingan pasukan kita yang telah membuktikan keampuhannya di semenanjung Tiau-sian (Korea) ketika menyapu pasukan Jenderal Ishido Matsunari. Kemudian soal Bu Sam-kui di San-hai-koan, apa sulitnya merebut San-hai-koan dalam satu malam. Biarpun kota itu digembar-gemborkan sebagai kota yang strategis dan kuat, bukankah di dalam San-haikoan ada orang-orang kita juga yang siap bekerja dari dalam? Kenapa untuk menyerbu ke selatan saja Pangeran harus menunggu jatuhnya Li Giam dan membelotnya Bu Sam-kwi? Maaf, kalau aku jadi kedengarannya berlagak pintar terhadap rencana Pangeran, tetapi aku benar-benar penasaran....."
Goh Lung berani memperlihatkan rasa penasarannya di hadapan Kat Hu-yong, sebab ia kenal betul atasannya ini adalah orang yang terbuka terhadap pendapat, bahkan kritik, dari bawahannya.
Kat Hu-yong tersenyum dan berkata, "Yang dipikirkan Pangeran Toh Sek-kun sebenarnya juga persis dengan yang kau pikirkan. Maunya main gempur saja dengan mengandalkan keunggulan militer. Tapi akulah yang mengajukan dua syarat tadi kepada Pangeran, dan Pangeran menerimanya."
Goh Lung menarik napas, "Bolehkah aku mendengar pertimbangannya, Kun-su? Apakah laporanku masih kurang lengkap tentang titik-titik kelemahan dan kekuatan angkatan perangnya Li Cu-seng?”
“Tidak. Laporanmu cukup baik. Tetapi kita harus berpikir jauh ke depan. Kalau kita serbu Tiong-goan begitu saja, maka seluruh bangsa Han akan bersatu menentang kita yang akan II mereka anggap sebagai tentara penjajah asing. Pengikut Li Cu-seng dan sisa-sisa dinasti Beng akan melupakan permusuhan mereka dan mengarahkan senjata mereka kepada kita.
"Kau tahu, kalau bangsa Han ini bersatu maka jumlahnya berpuluh kali lipat dari jumlah bangsa kita. Biarpun untuk sementara kita bisa menang, tetapi tidak untuk seterusnya. Itulah sebabnya serangan ke selatan kita membutuhkan dua syarat tadi. Tersingkirnya Li Giam oleh rekan-rekannya sendiri, yaitu Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin..."
Goh Lung tercengang dan menukas, "Jadi syarat tersingkirnya Li Giam itu masih diembelembeli harus oleh rekan-rekannya sendiri? Kenapa tidak kita bereskan sendiri saja?”
“Perwira Goh, kalau cuma bertindak sekasar itu, malam ini juga aku bisa menyelundup masuk ke markas Li Giam dan pagi hari nanti kubawa pulang batok kepalanya. Tetapi itu hanya akan membuka jejak kegiatan kita di negeri ini. Tidak. Kita harus memanfaatkan ketidak-rukunan Li Giam dan Gu Kim-sing semaksimal mungkin sehingga timbul perpecahan hebat yang merugikan kekuatan Li Cu-seng sendiri, dan haruslah berakhir dengan tersingkirnya Li Giam. Dengan demikian kelak kalau kita menyeberangi perbatasan, pasukan kita akan berkurang seorang musuh tangguhnya. Bisa mengerti caraku berhitung?"
Goh Lung mengangguk-angguk, rasa penasaran di wajahnya berkurang. “Lalu tentang syarat membelotnya Bu Sam kui?”
“Kalau kita mau, Bu Sam-kui di San-hai-koan itu bisa kita gulung mentah-mentah. Tetapi kita bisa memanfaatkannya. Bu Sam-kui adalah seorang panglima dinasti Beng yang dihargai oleh sisa-sisa dinasti Beng lainnya, karena kesetiaannya untuk bertahan di San-hai-koan biarpun posisinya terjepit.
"Kalau kita bisa masuk ke negeri ini dengan bergandengan tangan dengan Bu Sam-kui, kita setidaknya akan bisa menarik simpati sebagian sisa-sisa dinasti Beng, meskipun tidak mungkin semuanya...”
“Ya, mustahil semuanya. Di antara sisa-sisa dinasti Beng ada orang-orang yang berpendirian keras terhadap bangsa Manchu, bangsa kita, dan tetap memandang kita sebagai musuh sepanjang masa.”
“Mereka tentu takkan bisa menerima persekutuan antara kita dengan mereka. Bahkan mungkin sekali mereka akan memilih bersekutu dengan Li Cu-seng untuk menghadapi kita..."
Kat Hu-yong mengangguk. “Kau benar. Itu pun sudah aku hitung. Di antara sisa-sisa dinasti Beng ada bermacam-macam sikap terhadap kita, dan aku akan bersikap gegabah kalau menyamaratakan saja sikap mereka. Tentu akan ada sebagian yang tidak senang melihat Bu Sam-kui bersekutu dengan kita, namun itu jauh lebih baik dibandingkan kalau seluruh penghuni negeri ini, entah pengikut Li Cu-seng entah pengikut dinasti Beng, bersatu-padu melawan kita."
Kali ini Goh Lung bukan cuma menganggukangguk tetapi tertawa terbahak sampai kepalanya tertarik ke belakang. Katanya, "Hebat. Maklumilah keterbatasan pemikiranku, Kun-su, aku benar-benar tidak pernah berpikir sampai ke situ. Aku hanya memperhitungkan perimbangan kekuatan militer saja.”
“Tidak apa-apa. Kau bisa belajar sedikit demi sedikit. Ada banyak segi yang harus diperhitungkan kalau ingin kemenangan kita untuk seterusnya. Kalau cuma ingin menang segebrakan saja, itu gampang. Merebut dan mempertahankan, bukan cuma merebut tok.”
“Baiklah, Kun-su. Bekerja buat Kun-su sama saja dengan mendapat guru yang hebat bagiku. Tetapi kapan Li Giam tersingkir oleh rekan-rekannya sendiri, dan kapan pula Bu Sam-kui membelot kepada kita? Jangan-jangan masih puluhan tahun lagi, dan selama ini pasukan kita hanya menunggu dengan jemu di dekat perbatasan?”
“Kita tidak menunggu. Kita akan mengusahakan itu terjadi secepatnya.”
“Sudah menemukan caranya?”
“Justru aku datang untuk menemukannya."
Ketika itulah dari arah dapur berhembus bau masakan yang sedap, sehingga Kat Hu-yong mengendus-endus dengan hidungnya dan bertanya, "Eh, apa ini?"
Goh Lung menjawab sambil tertawa, "Aku suruh A-ciang memasak bakmi goreng buat Kun-su. Kun-su tahu, bakmi goreng di warungku ini nomor satu di Pak-khia. Berkat bakmi goreng ini, setiap hari warungku dipenuhi cecunguk-cecunguk bawahannya Li Cu-seng, saking gembiranya mereka mengobrol dengan bebas termasuk rahasia-rahasia militer. Dan banyak dari rahasia-rahasia itu sudah aku kirimkan kepada Kun-su.”
“Baik. Kebetulan aku sedang lapar di malam dingin ini." Namun sebelum makanan sedap itu dihidangkan, di pintu samping yang tadi juga sudah terdengar kembali suara ketukan. berisyarat itu.
Goh Lung bergegas bangkit sambil berkata, "Maaf, Kun-su, biar aku membukakannya."
Kat Hu-yong cuma mengangguk. Diam-diam ia mulai juga bisa membayangkan dan menghayati cara kerja orang-orangnya di Pak-khia ini. Kadang-kadang di larut malam harus terbangun karena ada kontak-kontak rahasia, sedangkan di siang harinya tetap tidak. boleh kelihatan mengantuk agar tidak dicurigai orang.
Tidak lama kemudian, Goh Lung sudah berjalan kembali bersama orang yang siang tadi ditugasinya membuntuti Ang Bik. Juga seorang perwira pilihan dari kelompok mata-mata, kalau siang hari ia menyamar sebagai tukang belah kayu di warungnya Goh Lung. Ketika berhadapan dengan Kat Hu-yong, orang itu berlutut secara militer Kerajaan Ceng kepada Kat Hu-yong.
“Hulan Biao menyampaikan hormat kepada Kun-su!”
"Bangunlah. Apa sehari-harinya kau juga menggunakan nama Hulan Biao yang sangat berbau asing itu?”
“Tidak, Kun-su, sehari-hari di Pak-khia ini aku hanya dikenal sebagai Ho Biao, dan dipanggil A-biao begitu saja."
Kat Hu-yong berkelakar, "Tak kuduga kalau anak buahku di Pak-khia ini sudah berubah menjadi bangsa Han semuanya. Tetapi kalian bekerja dengan baik, bahkan logat bicara kalian tidak sedikit pun menandakan orang-orang timur-laut.”
“Terima kasih, Kun-su. Semua ini kami lakukan demi kejayaan bangsa kita."
Goh Lung kemudian ikut bicara, "Kun-su, Saudara Hulan ini akan melaporkan sesuatu yang penting.”
“Duduklah. Aku akan mendengarkan."
Hulan Biao duduk dan mulai menceritakan ketika dia menguntit Ang Bik...
Tiba-tiba Kat Hu-yong menukas, "Eh, nanti dulu. Dalam laporan-laporan tertulis kalian belum pernah menyebut-nyebut nama Ang Bik sekali saja. Siapa dia?"
Goh Lung menjawab sambil tertawa, "Seorang pejuang gadungan. Banyak orang-orang demikian di Pak-khia sekarang ini. Tidak pernah memeras keringat sedikit pun, apalagi mempertaruhkan nyawa, hanya dengan kepandaian membual, tahu-tahu menepuk diri sebagai pejuang dengan serangkaian cerita perjuangan-nya yang dahsyat. Ya orang macam inilah Ang Bik ini. Dia sekarang bahkan adalah salah seorang pembantu dekat dan terpercaya Jenderal Gu Kim-sing..”
“Astaga, kalau orang macam ini bisa menjadi anggota stafnya Gu Kim-sing, bisa aku bayangkan bagaimana kwalitas pasukan Gu Kim-sing itu, dan bagaimana pula amburadulnya caranya memimpin pasukannya..." kata Kat Hu-yong menahan geli.
"Aku memberi perhatian khusus kepadanya, Kun-su. Bukan karena dia adalah pelanggan warung bakmiku yang paling rajin, bukan hanya karena dia adalah pembual besar yang gampang dipancing untuk membocorkan banyak rahasianya Gu Kim-sing, tapi lebih dari itu adalah karena dia adalah Ting Hoan-wi, saudara seperguruan Helian Kong si panglima Kerajaan Beng yang sampai sekarang masih belum menyerah kepada Li Cu-seng, dan masih bersembunyi entah dimana dengan pasukannya yang terlatih.”
“Ya, aku masih ingat Helian Kong. Jadi Ang Bik.... eh, Ting Hoan-wi ini adalah saudara seperguruannya? Kalau begitu, dia orang yang berbobot dan..”
“Keliru, Kun-su. Ting Hoan-wi jauh berbeda dengan Helian Kong biarpun keduanya saudara seperguruan. Ting Hoan-wi adalah orang yang sekedar ahli menggunakan kesempatan demi keuntungan diri sendiri. Beberapa teman kita yang bertugas di Pak-khia sejak sebelum keruntuhan dinasti Beng, bahkan tahu bahwa Ting Hoan-wi ini dulu pernah mengangkangi harta warisan pamannya yang memeliharanya sejak kecil. Tahukah Kun-su siapa pamannya Ting Hoan-wi ini?”
“Siapa?”
“Ayah Tan Wan-wan, selir Kaisar Cong-ceng yang ternyata adalah mata-mata Li Giam itu.”
“Kalau pamannya Ting Hoan-wi adalah ayahnya Tan Wan-wan, berarti Ting Hoan-wi masih bersaudara sepupu dengan Tan Wan-wan?”
“Benar."
"Kenapa Ting Hoan-wi tidak ikut menikmati kemuliaan ketika Tan Wan-wan menjadi perempuan kesayangan Kaisar Cong-ceng?”
“Ting Hoan-wi lebih suka ketemu hantu daripada ketemu saudara sepupunya itu,”
“Lho. Kenapa?”
“Setelah pamannya yang memeliharanya meninggal, Ting Hoan-wi menerima tanggungjawab atas harta peninggalan pamannya, tetapi bukan untuk dirinya semuanya. Separuh untuk Ting Hoan-wi, separuh untuk Tan Wan-wan, begitu pesan terakhir pamannya. Apa mau dikata, Ting Hoan-wi terlalu rakus harta.
"Harta peninggalan pamannya dihabiskannya sendiri di meja judi, termasuk bagiannya Tan Wan-wan. Bahkan kemudian tidak segan-segan menjual Tan Wan-wan, sampai Tan Wan-wan menjadi wanita penghibur di Soh-ciu. Ting Hoan-wi sendiri lalu menjadi seorang penyelundup garam.”
“Tan Wan-wan?”
“Melalui jalan yang berliku, Tan Wan-wan berhasil diperalat oleh Li Giam dan diselundupkan ke istana, menjadi mata-mata Li Giam yang sangat besar jasanya untuk kemenangan-kemenangan besar Li Giam atas tentara kerajaan Beng. Namun suatu ketika, kedok Tan Wan-wan tercium oleh Puteri Tiang-ping. Hanya saja Puteri Tiang-ping tidak tega bertindak keras kepada Tan Wan-wan, sebab mengetahui riwayat hidup Tan Wan-wan yang memelas. Puteri Tiang-ping cuma menyingkirkannya dari istana dan mengurungnya di suatu tempat rahasia di luar istana, kemudian dihadiahkan kepada Bu Samkui karena Bu Sam-kui tergila-gila kepada Tan Wan-wan....."
Tiba-tiba Kat Hu-yong menepuk meja keraskeras, sehingga Goh Lung yang sedang asyik bercerita itu berhenti bicara karena agak kaget. “Sudah kutemukan jalannya!” kata Kat Huyong.
“Maksud Kun-su?" Goh Lung masih kaget.
“Masalah Tan Wan-wan, itulah kuncinya. Bukankah dia mata-mata Li Giam sekaligus kekasih Bu Sam-kui? Tetapi entah berada di mana dia sekarang?”
“Itulah yang akan kulaporkan kepada Kun-su dan Kakak Goh," sekarang Hulan Biao yang berbicara dengan nada bangga.
“Betul?"
Hulan Biao lalu menceritakan hasil penelitiannya sejak siang tadi ketika menguntit Ting Hoan-wi yang kini berlindung di balik nama palsu, Ang Bik. Laporan Hulan Biao ditutup dengan kata-kata yang membuat hati Kat Hu-yong bergejolak,
"...jadi di dalam rumah itu berkumpullah Tan Wan-wari, Siangkoan Hi, Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan yang sedang mengandung.....”
“Lalu apa yang Ting Hoan-wi lakukan?”
“Siangnya dia menyelidiki rumah itu dari kejauhan karena terpancing ketika melihat Siangkoan Yan lewat di depan warung ini. Agaknya dia ketakutan kalau-kalau bertemu dengan Helian Kong, saudara seperguruannya sendiri. Malamnya dia mengajak tiga tukang kepruk bayaran.
"Lalu Ting Hoan-wi mengintip dan ketika mendengar jerit seorang wanita maka dia pun kabur. Siangkoan Heng keluar dan mengejar, tapi dengan bantuan tiga tukang kepruk bayarannya, Ting Hoan-wi dapat lolos tanpa terbuka kedoknya."
Kat Hu-yong tiba-tiba bangkit dari duduknya dan berkata kepada Goh Lung, "Goh Lung, terpaksa bakmi istimewamu aku tunda dulu makannya. Malam ini juga aku ingin mengawasi rumah itu." Dan kepada Hulan Biao, "Tunjukkan aku rumah itu.”
“Baik, Kun-su." Maka Hulan Biao yang baru saja datang itu pun berangkat kembali untuk mengantarkan Kat Hu-yong.
Kota Pak-khia masih kelihatan sesepi malammalam sebelumnya, namun di balik kesunyian itu, rencana-rencana besar mulai melangkah. Pihak-pihak yang berbeda kepentingan bergerak bagaikah arus bawah sebuah sungai, tenang di permukaan tetapi di bawah permukaannya bisa menghanyutkan sepuluh ekor kerbau sekalipun.
Ang Bik alias Ting Hoan-wi yang melarikan diri terbirit-birit dari rumah yang diintainya itu, menghentikan langkah di suatu tempat yang gelap dan sepi, setelah lebih dulu meyakinkan tidak ada yang mengejarnya. Lalu dibukanya, bungkusan pakaian seragam perwira yang tadi sempat disambarnya dari tempat persembunyiannya.
Tentu kurang aman kalau malam-malam di Pak-khia berkeluyuran dengan pakaian pejalan malam, maka bergegas dipakainya seragam perwiranya, sesudah itu melangkahlah ia sambil memutar otak.
“Selama Tan Wan-wan, Siangkoan Yan dan orang-orang lain yang mengenali masa laluku masih hidup, apalagi berada di Pak-khia ini, ruang-gerakku pastilah terbatas sekali. Bisa saja suatu saat mereka akan mengenali aku dan menimbulkan kesulitan bagiku, meskipun malam ini aku beruntung dapat lolos tanpa tersingkap identitasku. Namun bagaimanapun juga, orang-orang seperti Tan Wan-wan, Siangkoan Yan dan sebagainya itu haruslah dilenyapkan, tetapi tidak olehku sendiri....."
Suatu pikiran muncul di benaknya, lalu melangkahlah Ang Bik ke markas Jenderal Gu Kim-sing, atasannya, tidak peduli hari sudah larut malam. Di markas, penjaga-penjaga memberinya hormat sebab mereka kenal Ang Bik sebagai salah seorang anggota staf Jenderal Gu. Tetapi menurut kata penjaga-penjaga itu, Jenderal Gu sedang tidak ada di markasnya, melainkan di rumahnya.
Ang Bik meminjam seekor kuda dari markas dan menuju ke rumah pribadi Gu Kim-sing. Sebuah rumah yang megah dan besar, dulunya adalah kediaman seorang bangsawan dinasti Beng, namun ketika kaum Pelangi Kuning menang perang maka Gu Kim-sing pun mengambil-alih gedung besar itu "demi kepentingan rakyat", Yang dimaksud rakyat adalah Gu Kim-sing sendiri, anaknya dan isterinya.
Di rumah itu pun Ang Bik hanya ditemui seorang ajudan pribadi Jenderal Gu yang mengatakan bahwa malam itu Jenderal Gu tidak tidur di rumahnya, melainkan di rumah anaksulungnya. Sambil menggerutu dalam hati, Ang Bik pun menuju ke rumah anak sulung Jenderal Gu. Ia tahu tempatnya sebab pernah dijamu di sana.
Sejak kemenangan kaum Pelangi Kuning, anak Jenderal Gu itu langsung memegang monopoli atas beberapa macam barang keperluan penduduk Pak-khia. Menjadi "penyalur tunggal" beberapa macam barang untuk seluruh Pakkhia. Toko-toko atau perusahaan-perusahaan di Pak-khia yang berani mengambil barang-barang tertentu itu dari luar Pak-khia tanpa melalui "penyalur tunggal" ini, bukan saja bisa kehilangan harta-bendanya, bahkan bisa kehilangan batok kepalanya.
Di rumah putera sulung Gu Kim-sing yang juga megah-mewah itu, barulah Ang Bik berhasil bertemu dengan Jenderal Gu. Meskipun Jenderal ini masih mengantuk sekali dan berkali-kali menguap ketika menemui Ang Bik. Maklum, dia sedang tidur nyenyak ketika dia dibangunkan dan dilapori Ang Bik hendak melaporkan sesuatu yang penting.
“Laporan apa?" tanya Jenderal Gu dalam pakaian tidurnya sambil menguap lebar-lebar, menghadiahkan bau mulutnya ke wajah Ang Bik.
Sambil menahan diri agar tidak semaput, Ang Bik menjawab, "Jenderal, malam ini ijinkanlah pasukan bergerak untuk menangkap buruan-buruan penting yang sudah aku ketahui tempatnya karena penyelidikanku siang tadi.”
“Ah, buruan penting apa? Paling-paling cuma orang-orang yang tidak kau senangi, seperti beberapa hari yang lalu ketika aku memerintahkan hukuman mati kepada beberapa orang atas laporanmu. Sampai-sampai aku ditegur oleh Sri Baginda.”
“Tidak, Jenderal. Kali ini benar-benar buruan-buruan penting. Tidakkah Jenderal pernah mendengar nama Siangkoan Hi...." Mata Gu Kim-sing kontan melotot, "Siangkoan Hi yang dulu adalah menteri di jaman Kerajaan Beng itu?”
“Betul. Masih ada lagi anak laki-lakinya yang bernama Siangkoan Heng, anak perempuannya yang bernama Siangkoan Yan yang menjadi isteri Helian Kong dan sekarang sedang hamil muda...”
“Waduh, kakap-kakap besar ini. Aku biasa mendapat muka terang di hadapan Sri Baginda kalau mempersembahkan batok-batok kepala mereka ke hadapan Sri Baginda di hadapan sidang-lengkap istana...”
“Benar sekali, Jenderal. Lagi pula dengan Siangkoan Yan dalam tangan kita, kita, bias mengultimatum Helian Kong agar keluar dari persembunyiannya dan menyerah. Tetapi bukan cuma itu. Jenderal, masih ada satu 'kakap' lagi."
Kali ini kantuk Gu Kim-sing benar-benar sudah amblas tak bersisa. “Siapa?”
“Tan Wan-wan." Gu Kim-sing menepuk pahanya keras-keras.
“Ini baru kakap! Bukankah dia itu dulu adalah penghibur dari Soh-ciu yang sampai menjadi perempuan kesayangan nya Kaisar Cong-ceng, yang kemudian dihadiahkan kepada Bu Sam-kui?”
“Benar, Jenderal." Memang soal Tan Wan-wan adalah orangnya Li Giam yang menyelundup masuk ke istana Kerajaan Beng sebagai mata-mata, hanya diketahui oleh kalangan yang amat terbatas.
Oleh Li Giam sendiri dan beberapa pembantu kepercayaannya yang jumlahnya tidak melebihi lima orang. Orang di luar kalangan itu, tahunya cuma Tan Wan-wan sebagai bekas selir Kaisar Cong-ceng yang kemudian dihadiahkan kepada Bu Sam-kui karena Bu Sam-kui tergila-gila kepadanya. Demikian pula yang diketahui oleh Jenderal Gu dan Ang Bik. Tidak peduli Ang Bik sebenarnya adalah Ting Hoan-wi, saudara sepupu Tan Wan-wan.
“Kalau begitu, ini pun umpan yang luar biasa untuk memancing Bu Sam-kui datang ke Pak-khia dan kita ringkus, atau untuk menekan dia agar menyerahkan San-hai-koan ke tangan kita. Ang Bik, jasamu kali ini benar-benar luar biasa!”
Cuping hidung Ang Bik kembang-kempis karena bangganya mendapat pujian dari Jenderalnya itu. Sudah dibayangkannya kenaikan pangkat dan hadiah besar yang bakal diterimanya. Namun ia berkata,
"Jenderal, malam ini sudah kuketahui tempat persembunyian mereka, mereka ternyata berkumpul di satu rumah, jadi memudahkan untuk penangkapannya. Namun untuk mencegah mereka pindah tempat persembunyian karena mungkin mencium gelagat buruk, maka kita harus secepatnya bertindak meringkus mereka. Aku minta ijin menggerakkan pasukan!”
Setelah diberitahu bahwa sasaran penangkapan kali ini benar-benar "Kakap-kakap" maka Gu Kim-sing tidak lagi berlambat-lambatan. Segera ditulisnya sebuah surat perintah pengerahan pasukan yang akan dibawa Ang Bik ke markasnya.
Setelah surat itu dilipat dan diberi sampul, diserahkannya kepada Ang Bik sambil berkata, "Yang bertugas malam ini adalah Ciong Ek-hi, serahkan surat ini kepadanya.”
“Baik, Jenderal, aku pamit.”
“Bertindaklah cepat, jangan sampai didahului oleh Li Giam atau pun Lau Cong-bin, sebab mereka pun berebutan mencari muka di hadapan Sri Baginda." Begitulah, sambil memaki orang lain sebagai pencari muka, tak sadar Gu Kim-sing juga mencaci dirinya sendiri.
Sementara itu, Ang Bik dengan surat perintah di kantongnya, memacu kudanya kencang-kencang ke tangsi-militer Gu Kim-sing. Beberapa kali ia berpapasan dengan regu-regu peronda, namun ia dibiarkan lewat karena raguragu peronda itu melihat seragam perwiranya.
Tiba di tangsi, Ang Bik menyerahkan kuda kepada seorang prajurit, dan ia sendiri melangkah langsung ke ruang komandan, di mana seorang perwira staf bernama Ciong Ek-hi yang pangkatnya lebih tinggi dari Ang Bik, malam itu berpiket.
“Komandan, ada surat-perintah dari Jenderal," Ang Bik memberi hormat lalu menyerahkan surat Jenderal Gu kepada Ciong Ek-hi.
Ciong Ek-hi adalah seorang lelaki berusia empat puluh tahunan, tubuhnya tegap dan wajahnya garang, semua orang yang pernah sepasukan dengannya bisa bersaksi tentang keberanian dan ketangkasannya di medan tempur. Berbeda dengan Ang Bik yang terpaksa harus bersaksi untuk dirinya sendiri-sendiri.
Itulah sebabnya dalam pasukannya Gu Kimsing, Ciong Ek-hi adalah orang nomor dua yang cuma di bawahnya Gu Kim-sing sendiri, dan sulit bagi saingannya untuk menggeser kedudukannya. Ia menerima surat Gu Kim-sing tanpa sepatah kata pun, lalu membaca tulisan bergaya cakar-ayam dari Jenderalnya itu.
Maklum, biarpun Gu Kim-sing sekarang adalah Jenderal, tetapi belum lama dia melek huruf. Toh Ciong Ek-hi mampu juga membaca tulisan cakar-ayam itu di bawah penerangan lilin di mejanya, dan mengerti maksudnya. Segera Ciong Ek-hi menyuruh menyiapkan pasukannya malam itu juga, dan ia sendiri akan memimpin penangkapan. Ang Bik akan menunjukkan jalannya.
Demikianlah, di malam yang sunyi itu, dari tangsi pasukan Gu Kim-sing keluarlah dua ratus prajurit yang dipimpin Ciong Ek-hi. Mereka langsung menuju ke sasaran tanpa menggunakan obor. Ang Bik berjalan di samping Ciong Ek-hi sebagai penunjuk jalan.
Tetapi di tengah perjalanan, Ang Bik tiba-tiba mengajukan sebuah permohonan yang ganjil kepada Ciong Ek-hi, "Komandan Ciong, bolehkah aku tidak usah ikut dalam pelaksanaan penangkapan nanti?"
Ciong Ek-hi menoleh kepada rekannya ini dengan heran, sambil terus melangkah, "Lho, ada apa?" Ang Bik gelagapan, belum menyiapkan jawaban yang masuk akal.
Tentu saja ia tidak bisa menjawab terang-terangan bahwa wajahnya takut dilihat Tan Wan-wan maupun Siangkoan Yan sebab kedua wanita itu sudah mengenalinya, kalau sampai kedua wanita itu menyebut namanya, bisa menimbulkan kesulitan baginya.
Belum sempat Ang Bik menjawab, Ciong Ekhi sudah mendesaknya, "Kenapa? Apakah kau pernah ada hubungan dengan mereka, dan kuatir hubunganmu dengan mereka terbongkar setelah berhadapan?" Keruan Ang Bik berkeringat dingin.
Masa itu, orang gampang sekali kehilangan nyawa asal kena tuduhan "ada hubungan dengan pemerintahan lama," apa lagi kalau ada hubungan dengan tokoh-tokoh kelas kakap dari pemerintahan lama seperti Siangkoan Hi yang bekas menteri dan Tan Wan-wan yang bekas selir Kaisar Cong-ceng.
Sebisa-bisanya Ang Bik menjawab, "Aku... aku hanya ingin wajahku tidak dikenal dulu oleh sisa-sisa dinasti Beng yang mungkin masih berkeliaran di kota ini. Kalau wajahku belum II 3dikenal, mungkin aku masih bisa menangkap beberapa kakap lagi..."
Namun dalih itu terlalu lemah bagi Ciong Ek-hi, "Ah, buat apa menyembunyikan wajah segala, sedangkan setiap hari kerjamu jual tampang saja di warung bakmi itu?" Ang Bik cep-klakep, tidak bisa membantah lagi, sebab kalau membantah lagi akan menimbulkan kecurigaan.
Sementara Ciong Ek-hi sudah menetapkan dengan tegas, "Kau harus ikut bertindak bersama-sama aku. Perwira harus memberi contoh kepada para prajurit dengan perbuatan, bukan cuma dengan kata-kata saja.”
“Baik, Komandan....." sahut Ang Bik terpaksa, namun otaknya mulai berputar keras untuk mencari jalan bagaimana caranya kalau ketemu dengan Siangkoan Yan atau lain-lainnya yang mengenalnya?
Tetapi ketika pasukan kecil itu tiba di tempat yang ditunjukkan oleh Ang Bik, mereka terkejut karena melihat pasukan lain sudah bersiap mengelilingi rumah itu, pasukan yang tidak kalah jumlahnya. Komandan dari pasukan yang lebih dulu ada di sekitar rumah itu menyongsong Ciong Ek-hi. Dia seorang perwira muda bertubuh tegap dengan sepasang pedang di punggungnya, gagang-gagang pedangnya mencuat dari belakang sepasang pundaknya.
Dengan sikap hormat dia berkata kepada Ciong Ek-hi, "Kakak Ciong, maaf, apakah maksudmu membawa pasukan ke tempat ini?"
Ciong Ek-hi dengan pongah menunjukkan sampul surat Jenderal Gu yang dikeluarkannya dari balik bajunya. “Aku mengemban perintah resmi dari Jenderal Gu untuk menangkap beberapa orang yang membahayakan pemerintahan!”
"Apakah dimaksud orang-orang yang membahayakan pemerintahan itu adalah penghuni-penghuni rumah ini? Seorang lelaki tua yang sudah sakit-sakitan sehingga berjalan pun harus dituntun, seorang perempuan muda yang sedang hamil muda, seorang perempuan muda lainnya yang hanya bisa menyulam?”
“Saudara Yo, orang-orang itu membahayakan negara bukan dengan kekuatan fisik mereka, namun karena mereka terlibat dalam rencana menggulingkan pemerintahan kita yang adil sekarang ini, dan membangkitkan dinasti Beng dari kuburnya!”
"Ada buktinya?”
“Yo Kian-hi, perkara bukti-bukti boleh kau tanyakan sendiri kepada Jenderal Gu, sedangkan aku cuma menjalankan tugas. Sekarang minggirlah, kami mau menangkap orang-orang itu."
Yo Kian-hi, perwira muda itu menjawab tetap dengan sopan, "Sekali lagi maaf, Kakak Ciong, kembalilah melapor kepada Jenderal Gu bahwa orang-orang di rumah ini ada di bawah perlindungan Jenderal Li Giam. Dan aku juga punya surat perintah dari Jenderal Li untuk melindungi orang-orang itu, dan menjaga agar tidak ada seorang pun yang mengusik-usik mereka."
Kedua belah pihak sudah sama-sama "buka kartu" dan ternyatalah tujuan mereka memang berbeda. Bukan cuma berbeda, bahkan berbenturan frontal satu sama lain. Yang satu mau menangkap, yang lain mau melindungi yang hendak ditangkap itu. Kedua belah pihak mengemban perintah yang sama tegasnya dan sama-sama punya perintah tertulis dari atasan masing-masing.
Suasana langsung jadi tegang. Pihak Ciong Ek-hi sama sekali tidak menduga kalau anak buah Jenderal Li Giam bakal menghalang-halangi tugas mereka. Sebaliknya Yo Kian-hi juga tidak menduga kalau yang akan mengganggu Tan Wan-wan adalah pihak Jenderal Gu, sebab menurut laporan Tan Wanwan hanyalah "seorang berkedok dan tiga orang tukang kepruk bayaran."
Sedangkan Li Giam dan Gu Kim-sing adalah sama-sama panglima bawahan Kaisar Tiong-ong. Selama ini memang kurang rukun namun belum sampai bentrok secara terbuka, terutama dari pihak Li Giamlah yang sekuatnya berusaha menahan diri sebab sadar betapa berbahayanya kalau pemerintahan baru yang belum lama berdirinya itu sampai terpecah-belah. Selain ada ancaman dari sisa-sisa dinasti Beng di selatan, juga ada ancaman orang Manchu di utara.
Menyesuaikan dengan sikap panglima atasannya, Yo Kian-hi pun berusaha mengindari bentrokan, dan memperlunak kata-katanya, "Kakak Ciong, aku akan memohon kepada Jenderal Li, atasanku, agar dia bisa menjelaskannya secara pribadi kepada Jenderal Gu, atasan Kakak. Jadi kita tidak perlu bersitegang leher di tempat ini, kita percayakan bahwa atasan-atasan kita dapat mengatasinya secara baik-baik. Bagaimana?"
Tetapi dalam benak Ciong Ek-hi muncul pikiran lain, usul damai Yo Kian-hi itu ditepisnya mentah-mentah, "Yo Kian-hi, tahukah siapa orang-orang yang akan kami tangkap itu?”
“Aku tahu, Kak. Tuan Siangkoan adalah mantan menteri dinasti Beng, puteri-nya adalah isteri Helian Kong, panglima dinasti Beng yang sampai sekarang masih belum menyerah dan masih bergerilya entah di mana dengan pasukannya. Begitu juga kami tahu siapa Nona Tan Wan-wan.
"Tetapi percayalah, Jenderal Li punya pertimbangan sendiri dengan melindungi mereka, Lebih menguntungkan buat pemerintahan kita sekarang ketimbang merugikannya. Jenderal Li akan menjelaskannya kepada Jenderal Gu.”
“Tidak. Sisa-sisa dinasti Beng harus dibasmi supaya pemerintahan kita kokoh-kuat, dan siapa yang melindunginya akan sama saja berkomplot dengan mereka!”
Di Pak-khia, siapa yang mendapat tuduhan berkomplot dengan dinasti lama membuat siapa pun yang dituduh gemetar ketakutan. Tapi Li Giam dan orang-orang bawahannya, termasuk Yo Kian-hi, adalah perkecualian. Malah Yo Kianhi berkata dengan kalem,
"Saat ini Sri Baginda Tiong-ong juga melindungi Puteri Tiang-ping serta Pangeran Cu Sam, putera-puteri Kaisar Cong-ceng. Apakah juga harus dihukum dengan tuduhan berkomplot dengan pemerintah yang lama?"
Memang saat itu Puteri Tiang-ping yang buntung sebelah lengannya serta Pangeran Cu Sam masih ada di istana, diperlakukan dengan baik oleh Kaisar Tiong-ong alias Li Cu-seng sebagai penguasa baru. Li Cu-seng agaknya tidak mau menghukum anak-anak Kaisar Congceng itu, karena khawatir menggusarkan rakyat yang barangkali saja masih ingat kebaikan Puteri Tiang-ping dulu.
Bantahan Yo Kian-hi itu membuat Ciong Ekhi gusar sampai giginya gemeretak, namun ia nekad akan bertindak malam itu juga, apa pun taruhannya. Katanya, "Pokoknya aku hanya menyodorkan dua pilihan bagimu. Minggir atau bertempur dengan kami. Kami tetap akan menangkap orang-orang itu."
Menghadapi sikap kepala-batu Ciong Ek-hi itu, kesabaran Yo Kian-hi pun habis. Pihaknya sudah mengalah sedemikian rupa, pihak sana masih juga bersikap mau menangnya sendiri. Apalagi kalau mengingat bahwa dulunya orang-orang Gu Kim-sing inilah yang di jaman perjuangan malahan menjegal dari belakang terhadap Li Giam yang waktu itu hampir-hampir berkesempatan berhasil merebut Pak-khia dan memenangkan sayembara yang dicanangkan Li Cu-seng waktu itu.
Gara-gara pengkhianatan itulah Li Giam gagal menjadi orang pertama yang merebut Pak-khia, malahan Lau Cong-bin yang mendahuluinya. Kini menghadapi Ciong Ek-hi yang adalah anak buah Jenderal Gu itu, darah muda Yo Kian-hi pun menggelegak. Pikirnya, "Mengalah ya mengalah, tetapi berhadapan dengan orang-orang tidak tahu diri semacam ini, kalau terlalu mengalah lama-lama kepala kami bisa diinjak."
Karena itulah jawaban Yo Kian-hi kemudian bernada menantang, "Kalau Kakak Ciong bersikeras, ya terserahlah apa maunya. Kakak menjalankan tugas atasan, aku pun menjalankan tugas atasan. Kakak membawa perintah tertulis, aku pun punya."
Maka Ciong Ek-hi pun mengibaskan lengannya ke depan sambil memerintahkan orang-orangnya, "Serbu!”
Yo Kian-hi tidak dihadapkan pilihan lain kecuali melawan. Ia pun memberi Isyarat agar pasukannya mempertahankan diri. Begitulah, kesunyian kota Pak-khia malam itu terkoyak-koyak oleh suara pertempuran di bagian kota itu.
Memang, yang terlibat tidak sampai ribuan prajurit, sebab prajurit di pihak Ciong Ek-hi hanyalah dua ratus orang dan di pihak Yo Kian-hi kurang lebih sama juga, namun pertempuran berjalan cukup seru. Mula-mula agak sungkan karena merasa sama-sama prajuritnya pemerintahan yang baru, tapi lama kelamaan rasa sungkan itu hilang juga.
Ciong Ek-hi dengan golok bertangkai panjang (Koan-to), segera menyerang Yo Kian-hi dengan sebuah serangan Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san Ambruk ke Kepala), goloknya melengkung membuat selendang cahaya keperak-perakan yang hendak membelah tubuh Yo Kian-hi mulai dari kepala sampai ke selangkangan.
Deru serangannya dahsyat karena Ciong Ek-hi memang bukan sejenis perwira yang naik pangkat hanya karena pintar membuat, melainkan benar-benar perwira lapangan yang sekian puluh kali mengalami pahit-getirnya perang.
Tetapi Yo Kian-hi juga bukan perwira salon. Dengan tangkas ia mundur sambil menghunus sepasang pedang dari punggungnya dan menyilangkannya di atas untuk menangkis golok Ciong Ek-hi.
Kedua jenis senjata itu berbenturan keras dan kedua pemiliknya samasama tergetar lengannya, namun Yo Kian-hi masih punya kelebihan tenaga untuk mendorongkan sepasang pedangnya masih dalam posisi bersilang. Ciong Ek-hi terhuyung ke belakang, namun dengan tangkas memutar pangkal tangkai-panjang goloknya untuk menyodok ke lambung Yo Kian-hi.
Yo Kian-hi terus merangsek maju dengan kedua pedangnya berkelebatan bergantian, seperti seorang penabuh tambur besar dengan sepasang pemukulnya. Perkelahian sengit antara kedua perwira itu seolah mewakili panas hati dua hulubalang Pelangi Kuning yang sejak lama tidak rukun, Li Giam dan Gu Kim-sing, atasan kedua perwira itu.
Dan para prajurit pun mau tidak mau ikut-ikutan bertempur pula. Ang Bik sebenarnya ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu saja, ia merasa agak gemetar karena tahu betapa terlatihnya pasukan-pasukan bawahan Li Giam. Namun sudah tentu Ang Bik tidak berani kabur sendirian meninggalkan Ciong Ek-hi di situ.
Ang Bik sendiri dengan amat terpaksa bertempur setengah hati melawan seorang perwira bawahannya Li Giam. Biarpun dirinya sendiri cuma bertempur ogah-ogahan, tetapi Ang Bik tidak henti-hentinya meneriakan slogan pembakar semangat yang dahsyat-dahsyat seperti : "Kita junjung kehormatan Jenderal Gu! Tunjukkan kitalah prajurit-prajurit sejati yang berpegang teguh pada tugasnya!” Dan lain-lainnya.
Tetapi prajurit-prajurit bawahan Jenderal Gu itu biarpun diberi semangat sampai seperti apa, ya tetap saja terdesak, karena memang kalah latihan. Untung juga prajurit-prajuritnya Li Giam masih agak menahan diri, sehingga mereka tidak bersungguh-sungguh ingin menumpas lawan yang sebetulnya bukan lawan melainkan hanya kawan yang berbeda pasukan.
Maka prajurit-prajurit itu lebih banyak menggunakan tangkai tombak untuk merobohkan lawan daripada ujung tombak. Apa mau dikata, agaknya sikap itu malah dirasakan sebagai penghinaan buat prajurit-prajurit Gu Kim-sing. Mereka melawan sungguh-sungguh. Begitulah, mula-mula ada yang terluka, lalu ada pula yang mau tidak mau terbunuh.
Yang mula-mula terbunuh justru prajurit dari pihak Li Giam lebih dulu. Prajurit yang ragu-ragu membunuh lawannya yang sudah jatuh itu, justru dibacok dari belakang oleh seorang prajuritnya Gu Kim-sing lainnya. Kemarahan prajurit-prajurit Li Giam tidak bisa dikendalikan lagi melihat kematian kawan mereka.
Tanpa ada yang memberi aba-aba, mereka menyingkirkan rasa sungkan mereka dan melabrak prajurit-prajurit Gu Kim-sing lebih sengit. Mengamuknya prajurit-prajurit yang lebih terlatih itu berarti bencana bagi prajurit-prajurit Jenderal Gu. Biarpun jumlah kedua pihak berimbang, namun perbedaan kwalitas mengakibatkan prajurit-prajurit Gu Kim-sing terdesak hebat, seperti dihantam gelombang yang bertubi-tubi.
Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, belasan korban pun jatuh di pihak pasukannya Gu Kim-sing. Ang Bik melihat semuanya itu dengan perasan ngeri, agak menyesal juga ia karena merasa kurang teliti menyelidiki penghuni rumah itu, sehingga sampai tidak tahu kalau penghuni rumah itu dilindungi Li Giam, meskipun tidak tahu apa alasan perlindungan itu.
Ang Bik mengharap Ciong Ek-hi segera mengeluarkan perintah untuk mundur sebelum dihancurkan pasukan Li Giam yang sedang marah itu. Ketika ia melirik ke arah Ciong Ek-hi, ia menjadi kesal melihat Ciong Ek-hi agaknya masih ngotot bertempur melawan Yo Kian-hi, tidak mempedulikan pasukannya.
Ang Bik lalu meneriaki Ciong Ek-hi, "Komandan Ciong, agaknya kita perlu..."
Di tengah-tengah pertarungannya melawan Yo Kian-hi, Ciong Ek-hi menjawab keras, "Panggil bala bantuan!”
Ang Bik tercengang mendengar perintah itu. Itu artinya Ciong Ek-hi tidak bermaksud untuk mundur, melainkan tidak segan-segan akan melibatkan lebih banyak prajurit demi tetap mencapai maksud tujuan penangkapan. Ang Bik jadi ngeri sendiri membayangkan betapa hebat pertumpahan darah yang akan terjadi kalau pihak Li Giam juga ikut mendatangkan bantuan.
Ang Bik teringat ketika dulu ia "masih bernama" Ting Hoan-wi dan menjadi begundalnya Co Hua-sun, itu menteri dorna dinasti Beng, betapa kota Pak-khia pernah dilanda pertumpahan darah besar-besaran antara prajurit-prajurit kerajaan sendiri, yaitu antara pihak yang membenci Co Hua-sun dan pihak yang hendak menyingkirkan Co Hua-sun.
Kini, akankah peristiwa itu terulang di bawah pemerintahan baru Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong ini? Kalau Ang Bik ngeri, bukan karena mencemaskan nyawa-nyawa yang bakal melayang tiba-tiba, melainkan mencemaskan kedudukannya sendiri yang sedang menanjak di bawah Jenderal Gu.
Ia khawatir Jenderal Gu akan roboh seperti Co Hua-sun dulu, sehingga ia kehilangan tempat berlindung yang nyaman. Seperti kata pepatah, "Pohon besar roboh, burung-burungnya terbang berhamburan." Keparatnya, Ciong Ek-hi agaknya bersikap pantang mundur dan siap bertempur habis-habisan.
Maka Ang Bik jadi bertempur sambil setengah melamun, sehingga suatu kali hampir saja lehernya tergores ujung tombak lawannya. Ia terkejut, dan masih ditambah lagi bentakan Ciong Ek-hi, "Ang Bik, aku suruh kau memanggil bala bantuan, apakah kupingmu budeg?"
Tiba-tiba sesuatu melintas di benak Ang Bik. Ia akan keluar dari pertempuran itu, namun bukan untuk mencari bantuan melainkan untuk melapor kepada Jenderal Gu akan kenekatan Ciong Ek-hi itu. Maka menjawablah ia, pura-pura patuh, "Baik, Komandan!”
Ia lalu menyerahkan lawannya kepada seorang perwira bawahannya, kemudian ia sendiri terbirit-birit meninggalkan gelanggang. Sambil berlari-lari pulang ke tangsi, diam-diam ia merancang sesuatu dalam hati, "Kecerobohan Ciong Ek-hi kali ini akan melemparkan dia dari tempatnya yang empuk di samping Jenderal Gu. Dan siapa yang pantas menggantikannya, kalau bukan aku? He-hehe....."
Tak terasa sambil berlari-lari dia pun tertawa terkekeh-kekeh, sehingga andaikata ada orang lain yang melihatnya, tentu ia akan disangka orang gila. Sampai di tangsi, ia langsung berteriak kepada seorang prajurit rendahan, "Ambilkan seekor kuda dan pasang pelananya! Aku harus cepat-cepat menemui Jenderal Gu di rumah anak-sulungnya!”
Namun prajurit itu menyahut, "Jenderal Gu baru saja datang di tangsi ini, Tuan Perwira. Itu tandunya."
Rupanya Gu Kim-sing ini setelah mendengar laporan Ang Bik, hilang kantuknya, tidak bisa tidur lagi. Sudah terbayang-bayang bagaimana ia akan mendapat pujian dari Kaisar Tiong-ong karena berhasil menangkap buruan-buruan kelas-kakap. Maka setelah Ang Bik pergi membawa surat-perintahnya, dia pun pergi ke tangsi untuk melihat tawanan-tawanan itu. Ia juga ingin melihat seperti apa tampang Tan Wan-wan yang didesas-desuskan sebagai wanita tercantik di seluruh negeri itu.
Begitulah, bergegas Ang Bik menghadap Jenderal Gu di ruangan aula tangsi militer itu, tempat Jenderal Gu biasa menceramahi perwira-perwiranya. Ketika Ang Bik masuk, Gu Kim-sing sedang duduk santai di kursinya yang berlapis kulit macan.
Melihat Ang Bik melangkah masuk, ia langsung menyongsongnya dengan pertanyaan, "Mana tawanan-tawanannya?"
Ang Bik memberi hormat dan menjawab, "Jenderal, entah kenapa dan bagaimana caranya, keterangan tentang tawanan-tawanan itu ternyata juga sampai ke kuping Jenderal Li Giam, sehingga Jenderal Li lebih dulu mengerahkan pasukan untuk mengamankan tempat itu dan menghalang-halangi pasukan kita melaksanakan tugas...."
Begitulah Ang Bik tidak mau mengakui hal itu sebagai akibat kecerobohannya, yang kurang teliti memeriksa sasaran operasinya sehingga sampai tidak tahu kalau Tan Wan-wan dan lain-lainnya itu dilindungi Li Giam, melainkan dengan enak Ang Bik memberi alasan "entah bagaimana keterangan itu sampai ke kuping Jenderal Li Giam."
Dan seperti biasa, Gu Kim-sing yang malas berpikir itu langsung saja menelan laporan itu mentah-mentah, dan dengan gusar ia menepuk meja keras-keras sambil berkata, "Bajingan benar Si Li Giam itu! Tajam benar kupingnya sehingga bertindak mendahului aku, merebut pahala yang sudah di depan mataku!”
Ang Bik diam-diam lega karena kekurang telitiannya tidak diungkit-ungkit lagi. Rencana untuk menjatuhkan Ciong Ek-hi juga mulai disusun di otaknya. Katanya, "Jenderal, aku datang untuk melaporkan bahwa saat ini terjadi bentrokan di tempat itu, antara orang-orang kita dengan orang-orangnya Li Giam yang ingin mempertahankan orang-orang yang akan kita tangkap...."
Gu Kim-sing membenci Li Giam (dan sebaliknya), namun Gu Kim-sing sejauh-jauhnya masih menghindarkan bentrokan terbuka dengan Li Giam. Pertama, karena tahu bahwa pasukan Li Giam masih merupakan pasukan terbaik di bawah pemerintahan Kaisar Tiong-ong.
Kedua, karena tahu bahwa bagaimana pun yang paling disayangi Kaisar Tiong-ong di antara tiga panglimanya adalah Li Giam. Kalau Kaisar "terpaksa" mengangkat Lau Cong-bin menjadi Panglima Tertinggi, itu hanya untuk menepati janjinya.
Kini Gu Kim-sing dilapori kalau pasukannya bentrok dengan pasukan Li Giam, terkejutlah ia. “Gila! Di mana otak Ciong Ek-hi sehingga dia membenturkan orang-orang kita dengan orang-orangnya Li Giam?"
Ang Bik bersorak gembira dalam hati mendengar Gu Kim-sing menyalahkan Ciong Ekhi, maka Ang Bik pun "menyiram minyak" untuk lebih mengobarkan kemarahan Jenderalnya ini, "Jenderal, aku sudah beri peringatan kepada Komandan Ciong, bahwa kita bisa mundur dulu sambil cari akal untuk merebut pahala dari tangan Li Giam tanpa kekerasan, eh, rupanya Komandan Ciong tidak menggubris aku, dan nekad menggerakkan pasukan. Entah bagaimana sekarang pasukan kita?"
Gu Kim-sing bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu, nampaknya bingung mengambil keputusan. "Kalau aku tidak menarik orang-orangku sekarang, permusuhanku dengan Li Giam akan terbuka, dan pastilah aku yang akan disalahkan oleh Kaisar. Tetapi kalau aku tarik orang-orangku, si bajingan Li Giam itu pastilah dia menjadi besar kepala karena menyangka aku takut kepadanya....”
“Jenderal, berhadapan dengan orang kesayangan Kaisar seperti Li Giam itu, lebih baik sedikit mengalah dan pada kesempatan lain akan menghantam sehingga dia jatuh. Lebih baik orang-orang kita diperintahkan mundur dulu, dikatakan takut oleh Li Giam tidak apa-apa. Nanti kita cari akal untuk merobohkan dia."
Dalam kebingungannya, lagi-lagi Jenderal Gu langsung menuruti usulan Ang Bik itu. Segera diberinya Ang Bik sehelai leng-ki (bendera perintah) untuk melaksanakan perintah itu.
Sementara itu, di tempat pertempuran, pasukan Gu Kim-sing memang sudah megap-megap di bawah tekanan pasukan Li Giam. Dalam kemarahan yang tidak terkendali, pasukan Li Giam telah membunuh hampir separuh dari pasukan Gu Kim-sing. Namun Ciong Ek-hi sendiri masih ngotot bertahan di tempat itu, dan masih bertempur sengit melawan Yo Kian-hi.
Pada saat orang-orangnya Gu Kim-sing hampir tertumpas habis itulah Ang Bik datang menunggang kuda sambil membawa leng-ki di tangannya, berseru kepada Ciong Ek-hi, "Komandan Ciong, Jenderal Gu memerintahkan untuk mundur!”
Apa boleh buat, Ciong Ek-hi terpaksa meneruskan perintah itu kepada orang-orangnya. Orang-orangnya pun bergerak mundur, sementara Yo Kian-hi juga memerintahkan orang-orangnya agar tidak menahannya. Prajurit-prajurit bawahan Gu Kim-sing itu pun meninggalkan tempat itu sambil membawa teman-teman mereka yang luka dan yang tewas.
Dengan penuh sesal Yo Kian-hi mendekati Ciong Ek-hi dan berkata, "Kakak Ciong, seandainya kita dapat menahan diri, dan tidak larut dalam aliran kemarahan, semuanya ini tidak perlu terjadi. Sesama prajurit Sri Baginda saling bunuh."
Ciong Ek-hi cuma mendengus dan berkata dingin, "Andaikata kau tidak menghalang-halangi tugasku, ini takkan terjadi. Dan sekarang meskipun aku mundur, bukan berarti urusannya selesai sampai di sini saja."
Yo Kian-hi cuma menarik napas. Ciong Ek-hi membawa prajurit-prajuritnya ke tangsinya, dan ketika melewati warung Go Liong yang tutup rapat, karena larut malam, Ciong Ek-hi memperhatikan lekat-lekat sebatang sapu yang disandarkan di sebelah pintu. Ciong Ek-hi mengangguk sendirian, tanpa berkata apa-apa. Yang harus disiapkan sekarang adalah memberi penjelasan kepada Jenderal Gu.
Dini hari, sebentar lagi fajar akan menyingsing dan kota Pak-khia diselimuti kabut yang rendah sampai hampir serendah tanah. Kota itu sudah sunyi kembali setelah pertempuran di dekat rumah Tan Wan-wan usai, bahkan peronda-peronda di jalanan pun agaknya malas berkeliling.
Namun di saat-saat menjelang pagi seperti itu, justru di bagian dapur dari warungbakminya Go Liong alias Goh Lung itu muncul kesibukan. Warung sebentar lagi bukan, dan pembantu-pembantu Goh Lung mulai menyalakan api dan menghangatkan beberapa bahan masakan.
Saat seperti itulah justru Goh Lung sedang asyik berbincang-bincang dengan Kat Hu-yong dan Hulan Biao di kamar belakang, kamar tidur Goh Lung. Mereka berbincang dengan bebas meskipun di rumah itu juga ada tiga pegawai warung, sebab pegawai-pegawai warung itu pun gadungan, mata-mata Manchu seperti juga Kat Hu-yong bertiga.
Kat Hu-yong sedang bercerita tentang perkelahian di dekat rumah Tan Wan-wan, dan merencanakan bagaimana supaya perpecahan antara Li Giam dan Gu Kim-sing itu semakin parah dan agar Li Giam tersingkir oleh Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin.
Namun Goh Lung masih agak ragu-ragu, tanyanya, "Bagaimana kalau perhitungan kita meleset? Pertentangan antara Li Giam dan Gu Kim-sing mengakibatkan tersingkirnya Gu Kimsing dan bukan Li Giam? Ini harus kita perhitungkan. Kalau Li Giam yang tetap di Pakkhia dan Gu Kim-sing yang tersingkir, akibatnya malah kebalikan dari yang kita harapkan.
Kalau posisi Li Giam tambah kuat, ia akan menerapkan disiplin hebat kepada pasukanpasukannya yang lain, dan pasukan itu akan menjadi semakin kuat dan kelak menjadi rintangan hebat buat pasukan kita. Kemungkinan tersingkirkan Gu Kim-sing bisa saja terjadi, sebab Li Giam lah yang paling disayang oleh Li Cu-seng...”
“Itulah sebabnya kita matangkan rencana dengan menunggu datangnya Ha Cao untuk kita mintai pendapatnya. Dia mungkin bisa memberi usulan yang baik, sebab bukankah katamu tadi, dia menduduki tempat sebagai orang kepercayaan Gu Kim-sing?"
Hulan Biao yang tadi ikut "menonton" pertempuran bersama-sama Kat Hu-yong, menonton dari atap rumah penduduk, ikut menimbrung, "Ya, dia tadi yang memimpin orang-orangnya Gu Kim-sing.”
“Aku sudah memasang isyarat di depan pintu, dan kalau dia pulang ke tangsinya tentu akan melewati warung ini dan melihat isyaratku. Tetapi mungkin belum berkesempatan datang kemari, sebab sebagai Ciong Ek-hi tentunya dia harus memberi laporan pertanggungjawaban dulu terhadap si kerbau Gu Kim-sing. la harus datang kemari tanpa menimbulkan kecurigaan siapa pun."
Baru saja Goh Lung selesai berkata demikian, pintu samping halaman belakang sudah diketuk dengan ketukan ber-isyarat. “Itu dia datang..." desis Goh Lung sambil bangkit meninggalkan tempat itu untuk membukakan pintu.
Tidak lama kemudian ia sudah kembali ke ruangan kecil itu bersama Ha Cao yang sehari-harinya dikenal dengan Ciong Ek-hi. Begitu melihat Kat Hu-yong, Ha Cao tercengang karena tidak menyangka pimpinan tertinggi jaringan mata-mata Manchu itu sendiri yang muncul di situ. Ha Cao cepat-cepat berlutut secara prajurit Manchu di hadapan Kat Hu-yong.
“Maaf, Kun-su, aku tidak menyangka kalau di tempat ini akan menjumpai Kun-su. Aku sangka hanya akan ada pertemuan biasa saja." Kata Kat Hu-yong tenang.
"Bangkitlah dan ambil tempat duduk, aku juga baru datang tengah malam tadi." Ha Cao pun duduk, mereka jadi berempat.
“Kun-su, aku mohon maaf baru bisa datang kemari hampir pagi seperti ini, sebab meskipun aku tahu dan melihat isyarat di depan pintu itu tadi tengah malam lebih sedikit. Aku harus...." Kat Hu-yong mengibaskan telapak tangannya, menyuruh Ha Cao diam, lalu berkata,
"Aku tahu. Aku melihat kau memimpin prajurit-prajurit bawahan si Jenderal Kerbau, II 61 dan aku senang melihat kau berhasil mempertajam permusuhan antara Li Giam dan Gu Kim-sing. Aku tahu kau tentu harus menjelaskan dulu kepada si Jenderal Kerbau di tangsinya sehingga baru sekarang bisa pulang kemari...”
“Kun-su melihat pertempuran tadi.”
“Ya. Bersama Hulan Biao.”
“Kun-su setuju tindakanku tadi?”
“Sangat setuju. Pertempuran itu akan semakin meretakkan hubungan Li Giam dan si Jenderal Kerbau. Apalagi ada korban jiwa di kedua pihak yang akan memanaskan suasana. Kita harus terus memanaskannya sampai sasaran kita tercapai, yaitu tersingkirnya Li Giam oleh Gu Kim-sing atau Lau Cong-bin." Lalu secara singkat Kat Hu-yong menguraikan kepada Ha Cao tentang rencana menyingkirkan Li Giam dengan memijam tangan Jenderal-jenderal lainnya, sekaligus mengusahakan Bu Sam-kui membelot ke pihak Manchu.
"Nah, sekarang tinggal kita mengarahkan suasana ini untuk menuju tersingkirnya Li Giam. Ha Cao, kau punya usul?”
“Maaf, Kun-su, saat ini kedudukanku justru sedang terancam. Baru saja aku dicaci-maki oleh si Jenderal Kerbau karena pertempuran itu. Kalau kedudukanku masih seperti kemarin-kemarin, barang-kali aku bisa menghasut Jenderal Kerbau agar makin memusuhi Li Giam, tetapi sekarang...”
“Berbahayakah kedudukanmu?”
“Tidak terlalu, namun barangkali si Kerbau sedang lebih senang mendengarkan orang lain daripada aku. Tidak sedikit perwira-perwira dibawahku yang mengincar kedudukanku sebagai orang-kepercayaan si Kerbau. Dan peristiwa malam tadi dijadikan alasan oleh orang-orang yang mengincar kedudukanku untuk menjelek-jelekkan aku...”
“Sekarang ini kira-kira siapa yang paling didengar oleh si Kerbau?" Demikianlah para mata-mata Manchu itu enak saja menyebut Gu Kim-sing dengan sebutan si "Jenderal Kerbau" dan bahkan istilah ejekan itu singkat lagi menjadi "si Kerbau" saja.
“Seorang perwira bawahanku, namanya Ang Bik. Dulu dia sering menjilat pantatku, tetapi sekarang tiba-tiba saja dia bersiap-siap mendongkel aku dan menjadi orang kesayangan si Kerbau..."
Mendengar Ha Cao menyebut Ang Bik, Goh Lung tiba-tiba tertawa.
“Kenapa Kakak Goh tertawa?" tanya Ha Cao.
Sahut Goh Lung santai, "Ang Bik si pembual itu adalah langganan warung bakmiku. Sebentar kalau warung ini buka, dia akan datang bersama teman-temannya untuk membual. Kalau Kun-su setuju, aku bisa mengurusnya..."