Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 03

Cerita Silat Mandarin serial Helian Kong seri kedua. Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 03 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

"Goh Lung, apa yang kau maksud dengan mengurusnya? Membunuhnya?”

“Bukankah dia membahayakan kedudukan Saudara Ha?”

“Jangan dibunuh. Gertak saja dia, agar dia menjadi penyalur suara kita ke kuping si Kerbau."

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Ha Cao tertawa dan berkata kepada Goh Lung, "Benar apa yang Kun-su katakan, Kakak Goh. Biar dia menggantikan aku menjadi orang keduanya si Kerbau. Memangnya Kakak Goh menganggap aku berat kehilangan kedudukan itu? Yang penting, rencana kita berjalan lancar."

Goh Lung mengangguk-angguk. “Kalau begitu, baiklah. Hari ini juga akan aku rubah Ang Bik si pembual itu menjadi saluran suara kita ke kuping si Kerbau..."

Ketika itu, sudah terdengar suara pintu-pintu warung dibuka oleh orang-orangnya Goh Lung. Juga suara di jalanan. Ha Cao lalu berkata, "Kun-su, kalau Kun-su ijinkan, aku akan pergi dari sini sebelum jalanan menjadi terlalu ramai. Aku harus berubah kembali menjadi Ciong Ek-hi...."

Sebelum Kat Hu-yong menjawab, Goh Lung lebih dulu bertanya, "Kau bertugas hari ini?”

“Tidak. Hari ini aku hanya ingin tidur sepanjang hari.”

“Kalau begitu, tidur saja di sini, Saudara Ha. Ada banyak tempat di sini. Sebab kalau kau keluar dari warung ini sekarang, di jalanan juga sudah banyak orang. Orang-orang di jalanan akan heran melihat Tuan besar Perwira Ciong Ek-hi justru keluar dari warung ini justru pada saat warung ini dibuka dan belum ada orang lain yang datang?"

Kat Hu-yong juga tertawa, katanya, "Benar, istirahatlah seharian di sini. Kalau kau keluar dari sini pagi-pagi, orang akan menyangka tempat ini sebagai rumah bordil dan rusaklah nama Go Liong si pengusaha warung bakmi nomor satu di Pak-khia..."

Keempat orang di ruangan itu tertawa serempak. Namun Ciong Ek-hi alias Ha Cao menurut dan dia mengambil sebuah kamar di belakang, dekat tempat menyimpan kayu bakar dan arang untuk istirahat. Sementara Kat Hu-yong sendiri tidak beristirahat, malah merencanakan akan berjalan-jalan keliling kota Pak-khia.

Namun Goh Lung memberinya peringatan, "Tetapi harap Kun-su berhati-hati. Musuh besar Kun-su juga berada di kota ini, kalau-kalau berpapasan di jalan.”

“Musuh besar? Siapa?”

“Kang-thau-siang (Gajah Berkepala Baja) Ko Ban-seng.”

“Oh, dia? Jangan khawatir. Dulu ketika aku berkelahi dengan dia, aku memakai kedok yang menutup rapat seluruh wajahku. Sekarang seandainya berpapasan muka dengan aku, belum tentu dia kenal aku..."

Sementara itu, Goh Lung si perwira pasukan rahasia Manchu itu pun berubah menjadi Go Liong si pemilik warung bakmi paling enak di Pak-khia, yang tiap hari menjamu gratis para perwira tetapi tidak juga bangkrut-bangkrut. Dengan wajah ramah, Go Liong mulai duduk di belakang meja kasirnya dan melayani beberapa pembeli.

Para perwira belum muncul sepagi itu, mereka tentu masih tidur dan baru bangun setelah matahari naik tinggi nanti. Kata Go Liong mengejek dalam hati, "Hemm, macam ini disiplinnya pasukannya Gu Kim-sing, mereka akan terlindas hancur oleh pasukan kami biarpun jumlah mereka lebih banyak...." Namun ketika hari sudah agak siang, dan perwira-perwira Gu Kim-sing bermunculan di warung itu, toh Go Liong menyambutnya dengan sikap seperti biasanya.

Ramah, terlalu ramah dan bahkan menjilat. Dengan suara riuh-rendah perwira-perwira itu memesan makanan-makanan dan minumanminuman mereka, kadang-kadang pakai menggebrak meja segala. Sehingga bukan cuma pegawai-pegawai Go Liong yang hilir-mudik dengan sibuk, bahkan Go Liong sendiri ikut sibuk.

Kemudian perwiraperwira itu menikmati hidangan gratis mereka dengan "riuh-rendah" pula dalam paduan suara mulut yang berkecap-kecap mengunyah makanan, denting sumpit dan mangkuk, dan suara percakapan mereka. Tetapi Go Liong belum juga melihat Ang Bik.

“Apakah si pembual itu akan datang hari ini?" Go Liong bertanya-tanya dalam hati.

“Biasanya dia sudah muncul, apakah dia sedang mengalami apa-apa?" Begitulah, kalau biasanya Go Liong diam-diam merasa muak akan bualan Ang Bik, kali ini dia malah "merindukan"nya. Namun meskipun agak siang sedikit, akhirnya Ang Bik muncul juga.

Kemunculannya kali ini juga lain daripada biasanya, Ang Bik kelihatan lebih pongah, wajahnya menampilkan rasa bangga luar biasa. Biasanya dia juga pongah dan bangga, tetapi khusus hari ini memang terasa lebih dari hari-hari biasanya.

Perwira-perwira yang ada di warung itu biasanya memang bawahan-bawahannya Gu Kim-sing semua, sebab tempat itu dekat dengan tangsi-tangsi pasukannya Gu Kim-sing yang letaknya menggerombol di salah satu bagian kota Pak-khia. Dan perwira-perwira itu sudah mendengar tentang kejadian semalam meskipun hanya sepotong-potong.

Maka demi melihat Ang Bik muncul, perwira-perwira itu berebutan menyambut salah-seorang perwira kepercayaan Jenderal Gu itu, menyambut dengan puja-puji yang dahsyat. “Ini dia, pahlawan yang mempermalukan Li Giam!”

"Kakak Ang, sungguh tindakanmu semalam menurunkan derajat kecongkakan Li Giam!”

"Ya, dia tentu tidak menyangka bahwa kita bisa bergerak menuju sasaran dengan begitu cepat, sehingga karena dia merasa tersaingi lalu tidak segan-segan lagi menggunakan kekerasan!”

"Meskipun kita harus menarik diri, bukan berarti kita kalah.”

“Betul! Pihak kita hanyalah ingin menjaga persatuan agar tidak sampai terjadi perpecahan. Tetapi orang-orangnya Li Giam-lah yang tidak tahu diri. Mereka telah mengejar dan menewaskan banyak orang-orang kita!”

"Seandainya Kakak Ang tidak bersikap bijaksana, pastilah Yo Kian-hi dan pasukannya sudah digilingnya lembut-lembut! Masih untung bocah she Yo itu, Kakak Ang tidak menumpahkan kemarahannya. Mari kita minum buat Kakak Ang!”

Demikianlah perwira-perwira Gu Kim-sing itu tidak malu-malu memuji-muji pihak sendiri sehingga Go Liong yang mengetahui kejadian sebenarnya diam-diam menjadi mual dalam hati,

"Beginilah kwalitas orang-orangnya Gu Kim-sing. Lupa bahwa semalam merekalah yang terbirit-birit mencawat ekor dari hadapan orang-orang Li Giam yang garang..."

Meski dalam hati berpikir demikian, Go Liong mampu bersandiwara dengan baik dan ikut-ikutan menjilat Ang Bik. Bahkan memerintahkan orang-orangnya untuk menambah araknya.

Kemudian beberapa perwira penjilat yang "tahu lebih dalam" antara anggota staf Jenderal Gu terjadi persaingan untuk menjadi "orang paling dekat"nya Jenderal Gu, mulai memancing-mancing, "Kakak Ang, lalu bagaimana dengan Kakak Ciong Ek-hi?"

Ang Bik yang semula terlihat bersuka-ria menikmati sanjung puji rekan-rekannya, kini bersikap lebih hati-hati. Maklumlah, pokok pembicaraan mulai mengenai Ciong Ek-hi yang bagaimanapun sampai detik itu masih menduduki jabatannya sebagai Kepala-staf di bawah Jenderal Gu.

Meskipun semalam Ciong Ek-hi dimarahi Gu Kim-sing karena menarik pasukannya setelah menjadi parah dihajar orang-orangnya Li Giam dan setelah ada surat perintah dari Jenderal Gu sendiri.

Ang Bik berambisi menggantikan kedudukan Ciong Ek II hi, namun mengingat masih kuatnya kedudukan Ciong Ek-hi, juga mengingat barangkali di antara perwira-perwira di warung bakmi itu kalau-kalau ada "ular berkepala dua", maka Ang Bik tidak berani langsung menjelek-jelekkan Ciong hk-hi dan memuji diri sendiri, melainkan cuma berkata,

"Yah, agaknya Jenderal Gu menyesali karena Kakak Ciong mengambil sikap yang kurang tepat, sehingga banyak prajurit kita terbunuh... tetapi itu bukan urusanku."

Percakapan kemudian kembali melanturJantur tak keruan arah tujuannya. Dan seperti biasanya, percakapan didominasi oleh Ang Bik yang membual tentang pengalamanpengalaman hebatnya yang cuma karangannya sendiri itu.

Tidak ada perwira yang berani beranjak selama Ang Bik berbicara, biarpun kebelet kencing, takut menyinggung perasaan si "calon Kepala-staf' yang lagi mendapat angin dari Jenderal Gu sendiri itu. Tetapi ketika si pencerita sendiri yang kebelet, cerita pun dihentikan dulu, dan Ang Bik melangkah ke kamar kecil di belakang warung.

Ketika itulah Go Liong merasa tiba saatnya untuk "menggarap" Ang Bik agar berguna bagi rencana pihaknya. Maka dengan gerakan yang amat wajar dan sama sekali tidak mencurigakan, Go Liong juga bangkit meninggalkan belakang meja kasirnya dan menyusul Ang Bik ke belakang.

Ang Bik yang berdiri di depan tong peturasan di kamar kecil itu baru saja hendak melepas celananya, ketika pintu didorong dari luar dan mengejutkannya, sehingga Ang Bik berkata, "He, ada orang...."

Go Liong tertawa dingin dan menjawab, "Aku tahu ada orang. Justru aku ingin bicara denganmu, Ting Hoan-wi..."

Ang Bik terkesiap karena nama aslinya dipanggil, nama asli yang bisa membawa bencana buat kedudukannya bahkan nyawanya. Sambil meredakan debar jantungnya, ia perlahan-lahan memutar tubuh, tentu saja batal memelorotkan celananya melainkan mengikat kembali tali celananya.

Dan alangkah tercengangnya melihat orang yang bersandar di ambang pintu kamar-kecil itu adalah Go Liong yang beberapa menit yang lalu masih menjilatnya dengan kata-kata sanjungan di ruang depan. Namun kini sikap Go Liong sama sekali berubah, ia begitu garang dan tatapan matanya membuat Ang Bik bergidik.

Ang Bik masih berusaha menutupi identitas aslinya, sambil digagah-gagahkan ia berkata, "Go Liong, kepada siapa kamu bicara?”

“Bukankah cuma kita berdua di ruang sempit ini? Kepada siapa lagi kalau bukan kepadamu, Ting Hoan-wi?”

“Namaku adalah Ang...”

“Namamu Ting Hoan-wi. Kau adalah saudara seperguruan Helian Kong, panglima Beng yang masih bergerilya melawan pemerintah baru sekarang ini. Kau juga saudara sepupu Tan Wan-wan, perempuan bekas selir Kaisar Congceng. Kau juga pernah menjadi begundalnya si menteri dorna Co Hua-sun di masa jayanya dulu. Nah, cukup dengan ketiga kenyataan ini kalau sampai ke kuping Gu Kim-sing maka kepalamu akan protol dalam sekejap mata. Dan aku punya seribu satu jalan untuk menyampaikannya ke kuping Gu Kim-sing...."

Ang Bik alias Ting Hoan-wi kontan mandi keringat dingin. Beberapa hari yang lalu, seorang perwira bawahan Gu Kim-sing yang kariernya sedang menanjak, tiba-tiba saja dihukum mati karena ketahuan kalau pamannya pernah menjadi perwira dinasti Beng.

Apalagi Ang Bik yang sudah saudaraseperguruan Helian Kong, ya saudara sepupu Tan Wan-wan, ya pernah bekerja bagi Co Hua-sun, itu menteri dorna di jaman dinasti Beng, maka tidak salah kata-kata Go Liong bahwa Gu Kim-sing akan memenggal kepalanya tanpa pikir panjang.

“Siapa kau?" tanya Ang Bik sambil mengintai lewat atas pundak Go Liong, mengintai ke lorong di depan kamar-kecil itu, mencari kesempatan yang baik yang dapat menyelamatkannya.

Go Liong tertawa, "Untuk sementara, anggap saja aku tetap Go Liong si tukang-bakmi kegemaranmu. Tetapi kau masih bisa menikmati bakmi ku, kalau untuk selanjutnya kau menuruti kami. Kalau tidak, orang tak berkepala mana bisa menikmati bakmi."

Hal itu sedikit banyak sudah diduga oleh Ang Bik. Cara memeras dan menekan semacam itu juga sering ia lihat ketika "masih bernama" Ting Hoan-wi dan menjadi begundal Co Hua-sun dulu. Namun Ang Bik belum mau menyerah. Ia memang pembual dan suka membesar-besarkan cerita tentang kehebatan dirinya, namun dia memang agak hebat juga.

Dan ia tidak gampang dibekuk dan dituntun begitu saja seperti kerbau dicucuk hidungnya oleh komplotan "antah-berantah" ini. Maka ketika Go Liong kelihatannya mengendor kewaspadaannya, secepat kilat Ang Bik tiba-tiba menumbukkan pundaknya ke dada Go Liong sambil tangannya mencabut belati yang disembunyikan di dalam lengan bajunya.

Tujuannya untuk membungkam Go Liong yang sudah lancang menyebut-nyebut identitas dan hubungan lama yang ingin disembunyikan, atau setidak-tidaknya menarik perhatian rekan-rekan di dalam warung akan terjadinya keributan. Tak terduga, meski ruang itu sempit, Go Liong dapat berkelit selicin belut, namun juga tidak membiarkan Ang Bik nyeplos keluar kamar kecil itu.

Tahu-tahu tangannya sudah berhasil memelintir tangan Ang Bik yang memegang belati, entah dengan cara bagaimana, dan segera Ang Bik merasakan betapa kuatnya lengan-lengah si tukang bakmi gadungan itu, lebih kuat dari Ang Bik yang tiap sore latihan. Menyusul lutut Go Liong naik menghantam perut Ang Bik, sehingga Ang Bik terdorong masuk kembali ke dalam kamar kecil dan bahkan terduduk di atas tong kayu tempat pe-turasan.

Ang Bik pucat wajahnya. Ancamnya, "Kau tahu apa akibatnya perlakuan kasarmu terhadap seorang perwira seperti aku?"

Go Liong mengusap-usap dagunya sambil terkekeh-kekeh, "Buat orang lain sajalah ancamanmu itu. Buat kelompok kami, Gu Kim-sing atau bahkan si Kaisar-kaisaran Tiong-ong itu sendiri pun takkan dapat merontokkan biarpun sehelai bulu tubuh kami. He-he-he, kami ada dimana-mana, bergerak di mana-mana, dan bahkan kalau mau bisa saja mendapatkan batok kepala Gu Kim-sing malam ini juga. Apa susahnya?"

Ang Bik terbungkam, terpengaruh gertakan Go Liong dan gentar. Sementara Go Liong tahu waktunya tidak banyak, perwira-perwira di ruang depan bisa bertanya-tanya kalau Ang Bik terlalu lama ke belakang dan mungkin akan ada yang menyusul ke belakang. Karena itu, Go Liong langsung saja ke tujuannya,

"Ting Hoan-wi, dengar baik-baik, mulai sekarang kau adalah perkakas kami, dan kau tidak bisa menghindari ini kecuali ingin rahasia masa lalumu diketahui Gu Kim-sing. Malam ini juga cita-citamu untuk menggantikan kursi Ha... eh, maksudku Ciong Ek-hi, akan terlaksana. Orang-orang kami akan mengusahakan itu. Tetapi kau harus mengadu atau memanasi hati Gu Kim-sing agar dia mendepak Li Giam dari kedudukannya, sampai Li Giam tergusur, mengerti?"

Terpaksa Ang Bik mengangguk-angguk. Sebetulnya dia merasa lebih tenang kalau Gu Kim-sing tidak lagi mengutik-utik Li Giam, sebab Ang Bik khawatir Gu Kim sing sendirilah yang bakal terjungkir dari kursinya mengingat Li Giam adalah kesayangan Kaisar Tiong-ong.

Kalau Gu Kim-sing terjungkir, tentu Ang Bik akan kehilangan seorang atasan "ideal", tentunya ideal menurut ukuran Ang Bik, yaitu gampang dibohongi dan tidak segan-segan mengobral hadiah.

Tapi di bawah tekanan Go Liong, Ang Bik hanya bisa mengangguk-angguk, sambil diam-diam berkata dalam hati, "Hem, apa pun yang akan kukatakan kepada Jenderal Gu, toh kau takkan mendengarnya...."

Tak terduga Go Liong seperti dapat membaca pikirannya dan berkata, "Jangan coba-coba menyimpang dari yang sudah kami tetapkan. Sudah tentu aku takkan diperbolehkan masuk ke markas si Jenderal Kerbau, tetapi kami akan tahu kalau kau menyimpang dari rencana kami. Sekali kau menyimpang, kau akan terkejut melihat luas dan rapinya jaringan kami."

Ang Bik mengangguk-angguk pula. Go Liong tertawa, keluar dari kamar kecil itu untuk menutup pintunya, sambil berkata, "Silakan buang air kecil, Tuan Ang...." Go Liong pun kembali ke ruang depan, ke belakang meja kasir sebagai pemilik warung yang ramah tamah, dan seringkali ikut bersuara menyanjung Gu Kim-sing.

Tak lama kemudian Ang Bik pun menyusul ke ruang depan. Dia masih melangkah dengan gagah dibuat-buat, namun yang matanya tajam akan melihat betapa Ang Bik agak lesu seperti kehilangan semangatnya. Bahkan setelah menikmati hidangannya, dia berpamitan dari perwira-perwira lainnya untuk pulang ke tangsi dengan alasan tubuhnya penat.

Ia tidak melanjutkan cerita dahsyatnya yang belum selesai. Go Liong, seperti biasa, membungkukbungkuk dengan amat sopan dan mengantarnya sampai ke pintu. Tetapi Ang Bik diam-diam II 1merasa ngeri t.erhadap tukang-bakmi gadungan ini. Perwira-perwira lain heran melihat Ang Bik begitu cepat pulang. Berbagai dugaan pun dikemukakan.

“Barangkali ia sakit perut.”

“Barangkali juga memang penat seperti yang dikatakannya. Bukankah semalam ia ikut bertempur melawan orang-orangnya Li Giam? Dan kemudian berbincang dengan Jenderal sampai hampir pagi?”

“Sudahlah, lebih baik kita nikmati bakminya saja?"


Mentari pagi itu belum menyorot terlampau panas. Daratan rumpun yang tidak jauh dari kota Pak-khia itu masih tersaput embun yang berkerlipan di ujung rerumputan dan dedaunan sebelum lenyap bersama dengan menghangatnya mentari. Saat itulah serombongan penunggang kuda melintas dan dengan kejam menginjak dan menghancurkan rerumputan yang baru saja bangun dari tidurnya.

Penunggang-penunggang kuda itu adalah Jenderal Gu Kim-sing dan pengawal-pengawalnya. Yang berkuda paling dekat dengan Jenderal Gu sekarang bukan lagi Ciong Ek-hi seperti biasanya, melainkan Ang Bik, tepat seperti "ramalan" Go Liong. Tetapi Ciong Ek-hi sendiri juga ikut dalam rombongan, meskipun berkudanya di belakang Ang Bik yang kini jadi atasannya.

Selain itu, masih ada belasan pengawal lainnya. Hanya kali ini, mereka semua tidak ada yang berpakaian dinas. Semuanya berpakaian preman. Mereka menuju ke sebuah perkemahan di pinggir hutan, sebuah tempat yang sangat indah dengan bunga-bunga liarnya yang begitu rapat sehingga kalau dilihat dari atas bukit akan kelihatan seperti permadani maha-luas seribu warna.

Di tempat seindah itulah ada sebuah perkemahan, tempat Jenderal Lau Cong-bin, Panglima Tertinggi di bawah Kaisar Tiong-ong sedang berlibur. Sebenarnya, semenjak kaum Pelangi Kuning berhasil merebut kendali pemerintahan dari dinasti Beng, Jenderal Lau yang terkenal senang berfoya-foya itu lebih banyak hari liburnya daripada hari kerjanya.

Urusan sehari-hari lebih banyak diserahkan kepada stafnya yang ada di Pak-khia, sedangkan Jenderal Lau sendiri menghabiskan waktu di tempat-tempat indah di luar kota seperti di daratan rumput itu.

Tentu saja demi keamanannya, karena masih banyak sisa-sisa pasukan dinasti Beng yang berkeliaran di luar kota, Jenderal Lau Cong-bin selalu diikuti pengawalan yang kuat. Kalau orang mendengar kata "pengawalan yang kuat" maka akan langsung membayangkan sekelompok prajurit laki-laki berwajah angker yang mengelilingi Jenderal Lau rapat-rapat.

Namun perkiraan itu tidak benar untuk Lau Cong-bin. Lau Cong-bin memang membawa lebih dari seribu pengawal laki-laki, namun mereka disuruh berkemah jauh-jauh dari dirinya, dan hanya bertindak atau menampakkan diri hanya bila mendapat isyarat, misalnya kalau Jenderal Lau terancam bahaya.

Sedangkan dua ratus pengawal yang dekat dengan Jenderal Lau ternyata adalah perempuan-perempuan muda yang cantik-cantik. Wajah-wajah ayu ini yang membuat Jenderal Lau betah "berlibur".

Dua ratus perempuan cantik itu tidak hanya berlatih ketrampilan sebagai pengawal seperti bertempur, memanah, menunggang kuda, memainkan senjata dan sebagainya, melainkan mereka juga "diprogram" untuk menyenangkan hati Jenderal Lau semaksimal mungkin. Mereka pintar membuat masakan lezat, memijat, memainkan alat-alat musik, menari, dan bahkan kalau perlu sampai pelayanan pribadi di tempat tidur.

Kaisar Tiong-ong alias Li Cu-seng sebenarnya cemas melihat gaya hidup si Panglima Tertinggi yang semacam ini, khawatir pemerintahannya yang belum sampai sebulan itu akan ambruk, namun ia tidak dapat menjilat ludahnya sendiri karena sudah terlanjur berjanji untuk memberikan kedudukan sebagai Panglima Tertinggi kepada siapa yang berhasil memasuki kota Pak-khia paling dulu di jaman perjuangan dulu.

Li Cu-seng ketika mengucapkan janjinya sudah membayangkan Li Giam-lah yang akan memenangkan sayembara itu, sebab pasukan Li Giam-lah yang paling cepat majunya ke arah kota Pak-khia dengan menghancurkan pasukan-pasukan dinasti Beng di sepanjang jalan. Tak terduga, pada akhirnya malah Lau Cong-bin lah yang berhasil mendobrak masuk ke Pak-khia lebih dulu. Maka Lau Cong-bin "terpaksa" diangkat jadi Panglima Tertinggi.

Ketika rombongan berkuda Jenderal Gu mendekat, sepasukan pengawal wanita Lau Cong-bin langsung bersiaga karena belum melihat jelas siapa yang datang mendekat itu. Sederetan pengawal wanita berjongkok berderet rapat dengan perisai-perisai lebar mereka.

Sehingga jadi mirip sebuah benteng kecil, sementara pada baris kedua, di belakang "benteng" itu adalah pemanah-pemanah yang sudah memasang anak panah di tali busurnya dan tinggal menjepretkannya.

Seorang wanita cantik lainnya, agaknya seorang komandan regu, berdiri dengan gagah sambil memanggul goloknya dan berteriak, "Berhenti!”

Rombongan Gi Kim-sing berhenti. Ketika wanita yang menjadi komandan regu itu melangkah dekat dan mengenali Gu Kim-sing, ia memberi hormat dan berkata, "Kiranya Jenderal Gu. Maafkan aku, Jenderal, tadi tidak kelihatan yang datang adalah Jenderal karena berpakaian preman dan tidak membawa tanda-tanda kebesaran."

Gu Kim-sing tertawa dan berkata, "Tidak apa-apa. Kunjunganku ini memang kunjungan pribadi, kalau Jenderal Lau tidak keberatan menerima aku, aku hanya ingin menumpangkan mulut mencicipi masakan lezat padang perburuan...”

“Tentu Jenderal Lau tidak akan keberatan, malahan senang mendapat kunjungan Jenderal Gu.." Si Komandan regu yang jelita itu segera membubarkan "benteng kecil"nya. Lalu mempersilakan Jenderal Gu dan orang-orangnya memasuki kemah paling besar dan paling indah, kemah Jenderal Lau Cong-bin sendiri. Kuda-kuda tunggangan Gu Kim-sing dan pengiring-pengiringnya diurus oleh pengawal-pengawal cantik Jenderal Lau.

Ketika itu Jenderal Lau sendiri juga sudah muncul dari dalam kemahnya dan langsung mengedangkan kedua lengannya sambil tertawa lebar, "Angin apa yang membawamu sampai ke sini, Adik Gu?" Gu Kim-sing melangkah maju dan hendak menjalankan penghormatan resmi kepada si Panglima Tertinggi itu, namun Lau Cong-bin mencegahnya dengan memegangi lenganlengan Gu Kim-sing lalu merangkulnya.

“Mari duduk di dalam kemah, Adik Gu." Gu Kim-sing menyuruh pengawal-pengawalnya menunggu di luar, tak terkecuali pembantu-pembantu dekatnya seperti Ang Bik dan Ciong Ek-hi.

Buat pengawal-pengawal biasa, lebih senang berada di luar kemah sambil bercakap-cakap, dengan pengawal-pengawal pribadi Jenderal Lau yang cantik-cantik, daripada ikut dalam kemah dan mendengarkan percakapan Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing yang belum tentu mereka mengerti.

Tetapi tiba-tiba Ciong Ek-hi berkata, "Maafkan kelancanganku, Jenderal Gu. Tetapi tidak lebih baikkah kalau Saudara Ang Bik ikut ke dalam, karena dia mengetahui banyak tentang persoalannya?"

Ang Bik sendiri tercengang, tidak menyangka kalau Ciong Ek-hi yang semalam "tukar tempat" dengan dirinya sebagai orang paling dekat Jenderal Gu itu, ternyata tidak sakit hati kehilangan kedudukannya, malahan sekarang memberinya muka terang-terangan di hadapan kedua Jenderal itu.

Sementara Lau Cong-bin heran dan bertanya, "Eh, ada apa? Ada persoalan apa?"

Gu Kim-sing melotot sekejap ke arah Ciong Ek-hi, barulah menjawab Lau Cong-bin dengan agak sungkan, "Kakak Lau, sungguh aku jadi sungkan terhadap Kakak, mengganggu suasana gembira yang sedang Kakak nikmati..."

Sebenarnya Lau Cong-bin malas juga mengurusi perkara-perkara yang memusingkan kepala, tetapi kalau sudah terlanjur mendengar dan tidak menanggapinya, ia khawatir kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi akan goyah karena Gu Kim-sing mengadukannya kepada kaisar. Setolol-tololnya Lau Cong-bin, ia bukannya tidak tahu kalau Gu Kim-sing ini ramah di luar tetapi tentu takkan menampik rejeki kalau bisa merebut kursi Panglima Tertinggi.

Begitu pula Li Giam yang Lau Cong-bin ketahui masih memendam rasa penasaran karena Li Giam merasa dirinyalah "penakluk Pak-khia sejati" yang seharusnya memegang jabatan Panglima Tertinggi. Karena itulah, biarpun dalam hatinya amat enggan, Lau Cong-bin berpura-pura jadi seorang pemangku tugas yang baik.

“Adik Gu jangan berkata demikian. Sudah tugasku menyelesaikan segala persoalan yang ada dalam ruang lingkup tugasku. Nah, katakanlah, ada persoalan apa datang kemari?"

Gu Kim-sing menyeringai, "Ah, bukan urusan berat, melainkan suatu urusan yang ada sangkut-pautnya dengan kegemaran Kakak.....”

“Ada sangkut-paut dengan kegemaranku? Apa?"

Gu Kim-sing membisiki Lau Cong-bin dan Lau Cong-bin tertawa terbahak-bahak, "Wah, boleh juga. Aku sudah punya dua ratus lebih, dan capek juga mengurusinya, tetapi kalau ada tambahan yang benar-benar hebat, aku mau menambah juga. He-he-he.....”

“Yang ini pasti hebat, Kak. Dia pernah digelari wanita tercantik di Tiong-goan. Namanya Tan Wan-wan. Pernah dengar?”

“Tan Wan-wan? Bekas selir Kaisar Cong-ceng yang dihadiahkan menjadi isteri Bu Sam-kui?”

“Belum menjadi isteri Bu Sam-kui, baru calon. Menjelang jatuhnya Pak-khia ke tangan kita, Bu Sam-kui menyembunyikan permata hatinya itu di sebuah rumah tersembunyi di tengah-tengah Pak-khia, sebelum Bu Sam-kui sendiri menuju San-hai-koan sebagai tempat tugasnya."

Mendengar soal wanita cantik, memang inilah kelemahan Jenderal Lau, dan ia buru-buru menarik Gu Kim-sing ke dalam kemahnya. Gu Kim-sing memberi isyarat kedipan mata kepada Ang Bik dan Ang Bik pun ikut melangkah masuk. Mereka duduk dalam kemah yang tanahnya berlapis kulit-kulit binatang dengan meja pendek di tengahnya.

Dengan tidak sabar lagi Jenderal Lau mendesak Gu Kim-sing, "Jadi kau ketemukan Tan Wan-wan? Di mana?"

Gu Kim-sing sengaja mengulur waktu untuk mengobarkan rasa penasaran Lau Cong-bin, "Dia calon Bu Sam-kui, lho, Kakak Lau?”

“Ah, si jenderal dinasti Beng yang masih ngotot bertahan di San-hai-koan dengan kekuatannya yang kecil itu? Sekali pites aku bisa membunuhnya. Eh, kau belum menjawab di mana Tan Wan-wan?"

Gu Kim-sing tertawa, "Sabar, Kakak Lau. Bu Sam-kui memang bisa saja diabaikan, karena dia jauh di San-hai-koan dan kekuataannya juga kecil. Tetapi Tan Wan-wan ini punya penjaga lain yang tidak mudah dilangkahi lho..."

Kecerdasan otak Lau Cong-bin ini juga tidak berbeda banyak dengan Gu Kim-sing, begitu pula hatinya gampang dibakar. Maka mendengar kata-kata itu, Lau Cong-bin hanya tertawa dingin dan berkata, "Di seluruh wilayah kekuasaan Baginda Tiong-ong di Cina Utara ini, hanya kepunyaan Sri Baginda sendirilah yang tidak bisa aku ambil. Di luar itu, aku bisa mengambilnya segampang merogoh barang di kantong bajuku. Adik Gu, aku adalah Panglima Tertinggi, kau masih ingat itu bukan?”

“Aku selalu mengingatnya, Kakak Lau. Tetapi ada orang lain yang menganggap kedudukan Kakak itu tidak semestinya. Orang yang merasa bahwa kedudukan itu mestinya buat dia...”

“Li Giam?" Lau Cong-bin langsung teringat akan tokoh ini. Tokoh yang tetap dianggapnya duri dalam daging terhadap kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi. Gu Kim-sing mengangguk, mengiakan.

Lau Cong-bin tiba-tiba merasa agak curiga kepada Gu Kim-sing. Jangan-jangan Gu Kim-sing sedang berusaha menjerumuskannya agar bertentangan secara terbuka dengan Li Giam, lalu nanti Gu Kim-sing yang akan mengambil keuntungan? Mungkin untuk dua alasan.

Pertama, karena kebencian pribadi Gu Kim-sing terhadap Li Giam yang tidak kalah besarnya dengan kebencian Lau Cong-bin kepada Li Giam pula. Kedua, mungkin Gu Kim-sing mengharapkan Lau Cong-bin dan Li Giam berbaku hantam dan sama-sama kena marah Kaisar Tiong-ong, lalu Gu Kim-sing akan memanfaatkan kesempatan untuk mencari muka dan mengincar kursi Panglima Tertinggi yang kini diduduki Lau Cong-bin.

Karena itu, Lau Cong-bin tiba-tiba saja tidak lagi berkata dengan pongah melainkan agak hati-hati, "Kemarin aku dengar laporan tentang pasukanmu dan pasukan Li Giam berkelahi, apakah juga gara-gara soal ini?”

“Maaf, Kakak Lau, aku datang kemari bukan untuk mengadu domba Kakak dengan Jenderal Li, memangnya aku sudah gila sehingga mengadu sesama teman? Tetapi masalahnya memang bukan soal Tan Wan-wan saja. Melainkan juga beberapa pejabat dinasti Beng yang tetap aktif bergerak di bawah tanah untuk menumbangkan pemerintahan Sri Baginda kita. Mereka adalah Siangkoan Hi dan putera-puterinya, Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan yang adalah isteri Helian Kong. Celakanya mereka dilindungi Li Giam...."

Sudah tentu kata-kata Gu Kim-sing tentang "tetap aktif bergerak di bawah tanah untuk menumbangkan kita", hanyalah bualan Gu Kim-sing belaka untuk mengobarkan amarah Lau Cong-bin.

Lau Cong-bin memang agak terpengaruh, "Eh, jadi Li Giam menyembunyikan bekas pejabat-pejabat dinasti Beng?”

“Ya." Lalu Gu Kim-sing menyuruh Ang Bik untuk bercerita.

Dan berceritalah ia tentang peristiwa malam itu, tentu saja dengan bumbu. Baik bumbunya itu "pesanan" Jenderal Gu, maupun bumbu "pesanan" kelompok mata-mata Manchu yang memperalat Ang Bik, dan kebetulan keduanya memang bertujuan sama, menjatuhkan Li Giam.

Begitulah, melalui ketajaman lidah Ang Bik yang memang pintar bercerita, maka peristiwa malam itu ketika terjadinya pertempuran orang-orang Gu Kim-sing dan orang-orang Li Giam itu, menjadi peristiwa seolah-olah Li Giam sudah tidak tertib lagi dan sudah menantang kedudukan Panglima Tertinggi.

Hati Jenderal Lau panas juga, memang sejak lama ia juga membenci Li Giam, tetapi ia juga tidak mau masuk perangkap Gu Kim-sing dan menjadi jangkrik-aduannya Gu Kim-sing, maka ia hanya berkata,

"Baiklah, sebagai Panglima Tertinggi, aku akan memerintahkan Li Giam menyerahkan Tan Wan-wan dan keluarga Siangkoan kepadaku, dan memberinya teguran II 3agar ia menyadari siapa Panglima Tertinggi di negeri ini."

Namun sebenarnya dalam hati Lau Cong-bin, selain marah kepada Li Giam, juga girang. Girang karena menemukan alasan baik untuk menyingkirkan Li Giam dengan tuduhan "menyembunyikan bekas orang-orang dinasti Beng yang masih aktif mengatur perlawanan bawah tanah". Inilah tuduhan yang akan menjerat Li Giam, tidak peduli dia adalah orang kesayangan Kaisar Tiong-ong.

Akhirnya berkatalah Lau Cong-bin, "Baiklah, aku akan menegur Li Giam, dan akan mengambil orang-orang yang dilindunginya itu dari tangannya. Akulah Panglima Tertingginya yang harus dia taati perintahnya..."

Gu Kim-sing sebenarnya tidak puas terhadap keputusan Lau Cong-bin yang "terlalu lunak" itu. Tetapi ia tidak berani mendesak-desak, namun bertekad lama dalam hati akan memanaskan hubungan Li Giam dan Lau Cong-bin sampai Li Giam tersingkir. Syukur-syukur kalau Lau Cong-bin juga ikut tersingkir, jadi kedudukan Panglima Tertinggi bisa direbutnya.

Seorang wanita cantik datang menghidangan daging rusa panggang, hasil buruan, sehingga Lau Cong-bin berkata, "Perkara Tan Wan-wan dan orang-orang keluarga Siangkoan itu biar aku tangani dan tidak usah kita bicarakan lagi. Merusak selera makan saja...." Lalu bersantaplah mereka.

Dengan selembar surat perintah sebagai Panglima Tertinggi, Jenderal Lau berhasil memindahkan secara paksa Tan Wan-wan dan keluarga Siangkoan ke gedung kediamannya. Tidak peduli bagaimanapun Li Giam menjelaskan pertimbangnya.

Keluarga Siangkoan yang terdiri dari tiga orang, segera dijebloskan ke dalam penjara di bagian belakang rumah Lau Cong-bin, dan nasib mereka hampir dapat dipastikan, yaitu bakal dipenggal kepalanya seperti nasib orang-orang lain yang pernah ada sangkut-paut dengan pemerintahan lama. Tidak peduli Siangkoan Yan sedang hamil.

Tetapi terhadap Tan Wan-wan, Lau Cong-bin yang hidung belang itu memperlakukannya dengan istimewa. Tan Wan-wan ditempatkan di sebuah ruangan indah di bangunan sayap kiri, dilayani sekaligus dikawal ketat agar tidak kabur oleh pengawal-pengawal pribadi yang cantik-cantik itu. Namun dibandingkan kecantikan Tan Wan-wan, pengawal-pengawal Lau Cong-bin itu jadi kehilangan pamornya.

Sementara itu, Li Giam memang tidak dapat melawan perintah Lau Cong-bin karena kalah kedudukan. Tetapi ia sudah tentu tidak akan membiarkan Tan Wan-wan, mata-matanya yang sangat berjasa dalam perjuangannya dulu, hanya akan menjadi wanita permainan dalam "harem"nya Lau Cong-bin. Malam itu juga, Li Giam menuju ke istana untuk menghadap Kaisar Tiong-Kong untuk mengadukan, ia tahu dirinya disayang kaisar dan akan menggunakan itu.

Pada saat yang sama, di gedungnya, Lau Cong-bin bukan saja sudah terpesona kepada Tan Wan-wan, melainkan tergila-gila. Kecantikan Tan Wan-wan melebihi apa yang dia bayangkan setelah mendengar kabar-anginnya. Memang di sinilah kelemahan Lau Cong-bin, dalam urusan perempuan cantik.

Maka dia pun bertekad memiliki Tan Wan-wan, tidak peduli perempuan ini "bekas"nya Kaisar Cong-ceng yang kemudian berstatus calon-isterinya Bu Sam-kui, itu jenderal dinasti Beng yang masih bertahan di San-hai-koan. Hanya satu yang Lau Cong-bin belum ketahui, yaitu bahwa Tan Wan'wan adalah juga pembantu yang sangat berjasa dalam perjuangan Li Giam.

Hal ini memang amat rahasia, bahkan Lau Cong-bin dan Gu Kimsing juga tidak tahu. Yang tahu hanyalah beberapa orang dekat Li Giam yang jumlahnya tidak melebihi jari-jari tangan. Lau Cong-bin menyelenggarakan pesta besar di gedungnya, pesta yang mewah untuk merayakan "keberhasilan"nya menangkap pentolan-pentolan sisa-sisa dinasti Beng "yang II 3masih aktif" di Pak-khia.

Sekaligus juga merayakan keberhasilan menambah "koleksi"nya dengan perempuan seperti Tan Wan-wan. Gu Kim-sing diundang hadir, Li Giam juga namun Li Giam tidak hadir sebab malam itu Li Giam justru sedang menghadap kaisar di istana, mengadukan masalahnya.

Malam itu Lau Cong-bin bermaksud memamerkan Tan Wan-wan kepada setiap tamu-tamunya. Dan ia sudah menyusun acara sendiri, di puncak acara nanti Tan Wan-wan akan tampil untuk menari. Sebab menurut riwayat Tan Wan-wan yang pernah didengarnya, Tan Wan-wan ini juga bekas penari terbaik di kota Soh-ciu.

Begitulah, setelah serentetan hidangan mewah dihidangkan dan dinikmati bersama alunan musik merdu yang membelai telinga, Lau Cong-bin pun memerintahkan orangnya untuk "mengeluarkan" Tan Wan-wan. Tetapi orang yang disuruhnya itu bergegas kembali menghadap Jenderal Lau dengan wajah takut dimarahi.

Dan wajah yang sudah ketakutan itu tersentak kaget ketika Jenderal Lau menggebrak meja dan bertanya, "Aku suruh kau memanggil keluar Tan Wan-wan untuk menari, mana orangnya?"

Dengan wajah pucat dan bibir ter-gagapgagap, orang itu menjawab, "Nona Tan... belum mengenakan pakaian penarinya... dia masih dibujuk-bujuk untuk mengenakan pakaian penarinya...."

Wajah Cong-bin menjadi merah padam, merasa kewibawaannya ditantang hanya oleh seorang "bekas penari" istana yang dianggapnya mati-hidupnya sudah di dalam genggamannya. Apalagi perkataan orang bawahannya itu didengar tamu-tamu lainnya, keruan saja Lau Cong-bin merasa dibeset kulit mukanya.

“Jadi perempuan itu berani merendahkan perintahku? Bukankah sudah sejak sore tadi aku katakan kepadanya kalau dia harus menari di pesta untuk menghormati aku?"

"Dia... dia menolak, Jenderal. Dia mengancam, kalau dipaksa terus dia akan bunuh diri. Dia menggertak bahwa dia adalah tunangan Jenderal Bu Sam-kui yang lebih muda dan lebih tampan..."

Lao Cong-bin sudah tua dan gembrot, namun paling benci kalau hal itu diutik-utik. Dengan segala jalan ia telah, berusaha untuk awet muda dan langsing, namun nafsu makannya yang dahsyat telah menggagalkan semua dietnya. Kini hal itu dikatakan di depan begitu banyak orang, dirinya dibandingkan dengan seorang jenderal dinasti Beng, keruan Lau Cong-bin tak dapat menahan diri lagi.

Meski orang yang menyampaikan itu hanyalah menirukan kata-kata Tan Wan-wan, namun karena orang itulah yang berada di hadapannya maka orang itulah yang jadi sasaran kemarahannya. Jenderal Lau memerintahkan pengawal-pengawal pribadinya yang terdiri dari wanita-wanita cantik itu,

"Seret keluar orang ini dan penggal kepalanya untuk kelancangan mulutnya!”

Di bawah perintah dan didikan Lau Cong-bin, wanita-wanita cantik itu sungguh sudah kehilangan daya-tariknya, melainkan menakutkan seperti serigala-serigala kelaparan. Mereka berlompatan menerkam si pelayan yang melaporkan tentang Tan Wan-wan itu.

Pelayan itu seorang lelaki, namun tidak berdaya ketika diseret keluar oleh pengawal-pengawal Lau Cong-bin, meskipun meronta-ronta sambil berteriak-teriak. “Jenderal, aku hanya meneruskan kata-kata Tan Wan-wan... aku pribadi tidak pernah menghina Jenderal... aku selalu menghormati Jenderal.."

Dan kata-kata pembelaan diri lainnya, tetapi semuanya itu tidak mengubah Lau Cong-bin dengan perintahnya yang keras dan bernada pamer kekuasaan itu. Merasa dirinya tidak tertolong lagi, pelayan yang diseret sudah hampir sampai ke pintu keluar ruangan itu pun mengubah ratapan mohon ampunnya menjadi caci-maki tak kenal takut ke alamat Lau Cong-bin,

"Orang kampung she Lau! Bangsat kau dan biar mampus disambar geledek! Buta huruf tetapi berlagak pandai dengan menyimpan buku-buku tebal! Sudah tua tetapi berlagak muda dengan menyemir rambut dan makan obat kuat, tetapi tetap loyo juga! Tidak tahu malu! Tua-bangka loyo tetapi berlagak lelaki perkasa!”

Maka terbongkarlah banyak "rahasia" Jenderal Lau yang selama ini hendak disembunyikannya rapat-rapat. Kini terbongkar semua dan didengar sekian puluh pasang kuping orang-orang yang hadir di pesta itu. Seperti "buta huruf tapi berlagak pandai", memang pernah ada bawahannya yang menghadap Jenderal Lau di ruang bukunya, dan Jenderal itu pura-pura sedang membaca sebuah buku yang dipegangnya terbalik.

Tentu saja bawahannya saat itu tidak berani mentertawakan atasannya karena sayang akan batok kepalanya yang cuma satu. Begitu pula perkara "sudah tua tetapi berlagak muda" sebenarnya juga sudah ada sedikit orang yang tahu. Tetapi dibeberkan terang-terangan di hadapan sekian banyak orang, sungguh ini peristiwa yang tak pernah diperhitungkan.

Kemarahan Lau Cong-bin meluap dan hukuman tambahan pun keluar, "Bunuh juga seluruh keluarganya, saudara-saudaranya dan keluarga saudara-saudaranya!”

Si terhukum memucat wajahnya. Mulutnya yang semula berkaok-kaok, sekarang seolah-olah dijahit. Bahkan ruangan pesta itu juga sunyi senyap karena semua yang hadir di pesta itu tercengkam kemarahan Sang Panglima Tertinggi yang kekuasaannya cuma di bawahnya Kaisar Tiong-ong itu.

Semua takut membuat kesalahan yang sekedar sekecil apa pun yang akan memberi alasan kepada sang tiran untuk kembali mengumbar hukuman sebagai pelampiasan ketersinggungannya. Tetapi kesunyian ruangan itu agaknya juga menyinggung perasaan Lau Cong-bin, sehingga dia menggebrak meja sambil berteriak,

"Teruskan pesta! Makan minumlah dengan bebas dan gembira, siapa yang tidak merasa bebas dan gembira, dia tidak akan keluar hidup-hidup dari ruangan ini!”

Begitulah, dasar seorang diktator, menyangka perasaan bebas dan gembira pun bisa diperintahkan. Namun tamu-tamu dalam pesta itu pun menuruti perintah itu, sehingga mereka pun berlagak "bebas dan gembira". Suasana pesta kembali "meriah" meskipun dibuat-buat dan canggung.

Sementara itu, masih dalam kegusarannya, Lau Cong-bin mengeluarkan perintah, "Perempuan hina Tan Wan-wan itu sudah berani membangkang perintahku, dan ia akan merasakan akibatnya! Bawa dia kemari, kalau tidak mau, seret! Kalau tidak mau memakai pakaian penarinya, seret ke sini kalau periu tanpa pakaian sama sekali!”

Orang yang diperintah pun menjalankan perintah itu terbirit-birit. Sementara para hadirin yang "bebas dan gembira" itu riuh bertepuk-tangan menyambut keputusan itu, sebagian benar-benar merasa gembira karena akan melihat wanita yang disebut-sebut tercantik di kolong langit itu, syukur-syukur kalau tanpa busana, tetapi tidak sedikit di antara hadirin itu adalah kaum yang menghormati wanita sehingga mereka diam-diam menjadi muak kepada Lau Cong-bin.

Tetapi apa boleh buat, nyawa mereka dalam cengkeraman Lau Cong-bin, bahkan salah-salah bisa merembet ke nyawa keluarga mereka, maka mereka pun ikut bertepuk-tangan dan memuji-muji "tindakan tegas" itu. Begitulah, sekelompok pengawal Lau Congbin siap menjalankan perintah itu.

Pengawal-pengawal wanita itu menjalankan tugas tanpa perasaan, kelihatannya, meski yang bakal jadi korban untuk dipermalukan dan dihinakan itu adalah dari kaum mereka juga. Tetapi sebelum Tan Wan-wan muncul di ruangan pesta itu, mendadak, seorang pengawal wanita bergegas menghadap Lau Cong-bin dan melaporkan sesuatu dengan lirih.

Para tamu, bahkan yang duduknya paling dekat dengan Lau Cong-bin sekali pun, hanya bisa melihat kemurkaan hebat kembali menyelimuti wajah Jenderal Lau itu. Dan perubahan wajah Lau Cong-bin juga secara otomatis menyapu suasana "bebas dan gembira" pergi dari ruangan itu.

Terdengar lagi suara Lau Cong-bin mengguntur, kali ini kepada perwira tangan kanannya yang duduk di sebelahnya, namanya Deng Hu-koan, "Tumpas orang-orang itu, termasuk keluarga Siangkoan yang dibawanya lari!”

"Baik!” Deng Hu-koan si perwira bertampang pucat kelimis itu menjawab singkat dan langsung beranjak keluar. Ia adalah "algojo" Lau Cong-bin.

Dan kepada tamu-tamunya, Lau Cong-bin tertawa dipaksakan dan berkata, "Tidak ada apa-apa, sobat-sobat. Teruskan saja kegembiraan kalian. Cuma ada beberapa maling kecil yang coba-coba membongkar ruangan tempat keluarga Siangkoan ditahan. Tetapi Deng Hu-koan perwiraku tadi akan bisa menyelesaikan dengan gampang."

Dan untuk membuktikan bahwa pesta benarbenar layak diteruskan dan tidak terpengaruh oleh kejadian di tempat lain, serangkaian pelayan berderet keluar menyangga nampannampan besar dengan masakan-masakan baru yang baunya merangsang selera di atas nampan-nampan itu.

Ang Bik yang duduk di belakang atasannya, Jenderal Gu Kim-sing, diam-diam merasa gelisah. Biarpun dia hanya duduk di deretan "kelas dua" namun tempatnya agak menyolok, sebab di dekat Jenderal Gu yang termasuk undangan kehormatan. Yang ia khawatirkan, kalau nanti Tan Wan-wan keluar dan melihatnya, dan akan lebih celaka lagi kalau Tan Wan-wan sampai menyebut nama aslinya Ting Hoan-wi yang bakal menimbulkan urusan.

Karena itu, ia ingin kalau Tan Wan-wan jadi keluar nanti, ia sudah tidak berada di ruangan itu. Dalam kegelisahannya, ia lalu mencari akal agar bisa meninggalkan ruangan itu. la memutar otak, dan akhirnya menemukan suatu jalan yang akan dicobanya, entah berhasil entah tidak, la lalu bergeser maju untuk membisiki Jenderal Gu, dan atasannya itu mengangguk-angguk setuju.

Orang yang sangat malas berpikir itu adalah seorang yang begitu gampang menerima pendapat orang lain. Buat apa susah-susah menggunakan otak sendiri, kalau ada otak orang lain yang mau berpikir baginya? Kemudian Gu Kim-sing pun meneruskan apa yang dibisikkan Ang Bik ke kuping Lau Cong-bin,

"Kakak Lau, aku mempercayai kemampuan orang-orang Kakak menangani orang-orang yapg mencoba membebaskan keluarga Siangkoan itu, tetapi aku sungguh ikut cemas bahwa mereka berani menghina kita, pejuang'pejuang yang sudah membebaskan rakyat, karena itu, biarlah orang-orangku ikut bahu membahu dengan orang-orang Kakak meskipun sekali lagi, tidak meremehkan kemampuan orang-orang Kakak."

Lau Cong-bin yang otaknya sejenis dengan Gu Kim-sing juga tidak mau bersusah-payah meneliti apa yang ada di balik kata-kata Gu Kim-sing, maka langsung mengiakan saja dengan anggukan. Lalu Gu Kim-sing meneruskan ijin itu kepada Ang Bik dan orang-orangnya yang lain. Ang Bik pun beranjak bersama belasan pengawal Jenderal Gu, termasuk juga Ciong Ek-hi yang sekarang adalah bawahan Ang Bik.

Mereka meninggalkan ruangan pesta menuju ke tempat huru-hara di bagian belakang kompleks kediaman Lau Cong-bin itu. Bangunan yang didiami Lau Cong-bin luas sekali, sebab itulah bekas istananya Pangeran Seng-ong, adik dari Kaisar Cong-ceng, yang ditumpas habis seisi-rumahnya karena memberontak kepada Kaisar Cong-ceng dulu.

Di langit malam yang gelap, di kejauhan nampak nyala api yang membubung ke langit di beberapa tempat. Rupanya para pembobol sengaja menimbulkan kekacauan di arah yang berbeda-beda untuk memecah-mecah kekuatan pengawal-pengawal Lau Cong-bin yang berjumlah banyak. Taktik yang biasa dipergunakan oleh kelompok yang lebih kecil kalau menghadapi kelompok yang lebih besar.

Di kejauhan juga terdengar sayup-sayup suara senjata gemerincing beradu, teriakan orang-orang berkelahi dan derap orang berlari-lari ke sana kemari. Ketika menuju ke tempat keributan, Ang Bik dan orang-orangnya banyak berpapasan dengan orang-orangnya Lau Cong-bin. Namun orang-orangnya Lau Cong-bin tidak menghalangi mereka, rupanya karena mereka pun mengenali orang-orangnya Gu Kim-sing, biarpun berpakaian preman.

Sementara berlari-lari kecil menuju tempat keributan, Ang Bik berpikir-pikir, siapa gerangan yang berani mati "menerobos kandang macan" dengan mengambil tawanan dari rumah Jenderal Lau Cong-bin yang begitu berkuasa? Orang-orangnya Li Giam-kah? Atau kelompok lain? Tiba-tiba Ang Bik teringat sesuatu dan keringat dinginnya pun bercucuran.

Ia ingat, tawanan-tawanan itu adalah keluarga Siangkoan yang terdiri dari si ayah Siangkoan Hi, si anak lelaki Siangkoan Heng, dan si anak perempuan Siangkoan Yan yang sedang hamil, isteri si panglima dinasti Beng yang belum menyerah, Helian Kong. Orang-orang yang malam ini mempertaruhkan nyawa menerjang kediaman Lau Cong-bin demi menyelamatkan keluarga Siangkoan itu, bisa jadi adalah orang yang punya hubungan dekat dengan keluarga itu.

Dan Ang Bik jadi gentar kalau mengingat kemungkinan bertemu dengan Helian Kong. Kalau tadi ia berusaha meninggalkan ruang pesta karena takut bertemu dengan Tan Wan-wan, sekarang dia memutar otak mencari akal agar tidak usah sampai ke tempat keributan untuk bertemu dengan Helian Kong yang amat ditakutinya.

Tubuhnya tiba-tiba saja terhuyung sambil memegangi kepalanya, seperti hendak roboh, sehingga Ciong Ek-hi yang berjalan di sampingnya cepat-cepat menangkap tubuh Ang Bik agar tidak jatuh ke tanah. Sambil bertanya,

"Eh,, kenapa Kakak Ang?" Dulu Ang Bik yang memanggil Ciong Ek-hi dengan sebutan "Kakak Ciong" karena kalah senior, sekarang Ciong Ek-hi lah yang memanggil "Kakak" kepada Ang Bik karena sudah "tukar tempat", meskipun usia Ciong Ekhi lebih tua.

Ang Bik tidak serta-merta menggunakan akalnya. Ia pura-pura memaksakan diri untuk berdiri tegak sambil memijit-mijit kepalanya dan berkata, "Ah, tidak apa-apa, mungkin hanya karena terlalu banyak minum arak dalam pesta tadi....."

Lalu ia kembali berjalan bersama pengiring-pengiringnya ke arah keributan. Namun baru beberapa langkah, ia kembali mengulangi aksinya yang pura-pura terhuyung sambil memegang kepala dan kemudian menjatuhan diri sambil mengeluh.

Ciong Ek-hi tertawa dingin dalam hatinya, mata dan perasaannya yang tajam dapat mengetahui bahwa Ang Bik cuma pura-pura. Dan otaknya sebagai seorang perwira sandi Manchu yang mahir menganalisa bermacam-macam kejadian, bisa menebak apa yang menyebabkan Ang Bik berlaku seperti itu. Cepat Ciong Ek-hi berkata kepada pengiring-pengiring lainnya,

"Kalian jalan dulu, tempatkan diri kalian di bawah perintah Perwira Deng Hukoan! Biar aku urus dulu Kakak Ang ini..." Orang-orangnya pun melangkah pergi.

Setelah orang-orang itu pergi jauh, Ciong Ekhi tertawa, "Akhirilah sandiwaramu. Aku tahu kau takut bertemu dengan Tan Wan-wan di ruang pesta itu, dan takut kemungkinan bertemu Helian Kong di tempat keributan itu..."

Jantung Ang Bik rasanya berhenti berdenyut mendengar kata-kata itu. Selama ini ia tahunya Ciong Ek-hi adalah Ciong Ek-hi, seorang perwira tangan kanan Gu Kim-sing yang banyak jasanya, namun sudah dua hari ini kedudukannya tergusur oleh Ang Bik dengan kelihaiannya menjilat atasan dan menyikut sesama teman. Kini Ciong Ek-hi mengeluarkan kata-kata semacam itu, benar-benar mengejutkannya.

“Tidak... kenapa aku harus takut bertemu dengan mereka?" tergagap-gagap Ang Bik menjawab.

Sambil tersenyum dingin, Ciong Ek-hi menjawab, "Karena kau adalah Ting Hoan-wi, saudara sepupu Tan Wan-wan yang sudah menghabiskan harta warisan ayah Tan Wan-wan dan bahkan menjual Tan Wan-wan kepada seorang pemuda kaya hidung belang sampai Tan Wan-wan menjadi wanita penghibur di Soh-ciu.

"Kau juga adalah saudara seperguruan Helian Kong yang pernah mengkhianatinya dengan mencuri kitabnya, bukunya, bahkan membocorkan rencana Helian Kong kepada Co Hua-sun. Betul tidak?"

Jantung Ang Bik berdentang-dentang. Inilah orang kedua setelah Go Liong di warung-bakmi itu, yang mengetahui identitas dan riwayat lamanya. Ang Bik jadi was-was, jangan-jangan Ciong Ek-hi akan menggunakan keterangan itu untuk balik menggusur Ang Bik?

Ang Bik diam-diam sudah meraba pisau belati yang disembunyikan di dalam lengan bajunya yang longgar, namun ragu-ragu untuk bertindak, teringat pengalaman pahitnya dengan Go Liong si tukang bakmi.

Tetapi Ciong Ek-hi menepuk pundaknya dengan ramah, sambil berkata ramah, "Simpan belatimu, Ting Hoan-wi. Selama kau masih menuruti perintah kami seperti yang dikatakan oleh kawanku di warung bakmi itu, kau aman. Bahkan kelak kalau bangsa Manchu berhasil menguasai Tiong-goan, jasamu akan diingat..."

Ang Bik menarik napas, tahu bahwa Ciong Ek-hi sekomplotan dengan Go Liong, dan mereka adalah mata-mata Manchu. Agaknya Ciong Ek-hi lebih berani blak-blakan dengan Ang Bik daripada Go Liong.

Pantas Go Liong pernah memperingatkan Ang Bik supaya tetap patuh menjalankan apa yang sudah ditetapkan komplotan mata-mata Manchu itu karena "di mana-mana ada telinga dan mata kami", dan agaknya Ciong Ek-hi adalah salah satu di antaranya, entah masih ada siapa lagi yang belum diketahui Ang Bik.

Namun orang berwatak seperti Ang Bik takkan mempertaruhkan nyawa untuk menyelidiki komplotan yang berbahaya itu, apalagi setelah mendapat janji kelak kalau orang Manchu menang Ang Bik juga akan memperoleh kedudukan sebagai balas-jasa.

Kedudukan dan hidup enak, itu yang penting, tidak peduli bendera warna apa pun yang berkibar di atas kepalanya. Tapi Ang Bik agak heran juga menemui kenyataan bahwa Ciong Ek-hi adalah mata-mata Manchu.

Padahal bukanlah Ciong Ekhi ini perwira pengikut Lau Cong-bin yang sudah bertahun-tahun? bahkan sebelum dinasti Beng jatuh? Apakah Ciong Ek-hi ini mata-mata Manchu yang diselundupkan jauh sebelum dinasti Beng jatuh, atau sekedar perwira Lau Cong-bin yang "lemah iman" dan mudah tergoda menjadi mata-mata Manchu setelah diancam dan dibujuk?

Seolah dapat membaca pikiran Ang Bik, Ciong Ek-hi berkata, "Asal kau menjalankan semua pesan kami dengan baik, tidak ada alasan untuk takut kepada kami. Kami punya garis tegas untuk memisahkan siapa yang berjasa dan siapa yang bersalah, bukan seperti Lau Cong-bin dan atasanmu si Gu Kim-sing, yang memberi hadiah dan menjatuhkan orang seenaknya saja menurut selera.

"Aku juga tidak ngiler merebut kembali kedudukanku di samping Gu Kim-sing yang sekarang kau tempati, sebab dalam angkatan perang negeriku, aku punya pangkat yang lebih berkuasa dari setiap begundal Gu Kim-sing yang mana saja."

Ang Bik agak tersinggung, namun sadar akan kedudukannya yang di bawah tekanan, ia pun bertanya, "Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku akan menurut.”

“Kalau kau takut ketemu Helian Kong, kau boleh bersembunyi saja dan tidak usah ikut ke tempat keributan. Biar aku, tetapi di hadapan Gu Kim-sing semua bintang jasa boleh kau tumpuk di pundakmu sendiri dan aku akan membantumu dengan kata-kata. Tetapi ingat satu hal, bantu aku mengadu-domba terus antara Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing di satu pihak, dengan Li Giam di lain pihak, sampai Li Giam tersingkir. Mengerti?"

Ang Bik mengangguk-angguk patuh. Kemudian Ciong Ek-hi menuju ke tempat keributan. Di bagian belakang istana kediaman Lau Cong-bin terdiri dari rumah-rumah untuk pengawal-pengawal pribadinya, gudang-gudang dan deretan "penjara pribadi" yang senantiasa dijaga ketat. Di tempat itulah terjadi keributan, di bawah terang-benderangnya cahaya gudang-gudang yang terbakar.

Sekelompok pengawal Lau Cong-bin, lelaki atau perempuan, nampak sedang mengerubuti lima orang yang bersikap membelakangi dan melindungi seorang tua dan seorang perempuan muda yang perutnya agak besar sebab sedang hamil muda. Tetapi perempuan hamil muda itu pun memegangi pedang, kelihatannya siap menghadapi siapa saja yang lolos dari kelima orang yang memagarinya.

Lima orang yang memagari orang tua dan perempuan hamil itu, empat di antaranya memakai kedok, yang tidak hanyalah Siangkoan Heng yang bekas tawanan dan kini ikut bertempur untuk melarikan diri. Dari empat orang yang berkedok itu, ada seorang yang sangat menonjol ketangkasan dan keperkasaannya.

Dengan sebatang pedang yang gerakannya sulit diikuti mata, ia berkelahi dengan hebat, dan bukti dari keperkasaannya adalah tubuh-tubuh pengawai-pengawal Lau Cong-bin yang banyak bergelimpangan di sekitarnya.

Namun tiga orang berkedok lainnya pun nampak tangguh, bahkan salah seorang dari mereka cuma bersenjata toya rotan berpilin yang begitu ringan, cocoknya untuk menyabet pantat anak-anak nakal oleh ibunya, bukan untuk pertempuran seganas itu, di mana toya rotan berpilinnya harus sering berbenturan dengan senjata-senjata logam.

Tetapi orang itu memainkan toyanya dengan mahir, senjatanya sering berhasil memelintir senjata-senjata musuh sehingga lepas dari tangannya, sesudah itu tinggal menggebuknya atau menyerampangnya.

Demikianlah, lima orang itu sanggup membendung pengawal-pengawal Lau Cong-bin yang lebih banyak, tetapi untuk bisa lolos dari situ agaknya masih tanda tanya besar. Selain harus membawa seorang tua seperti Siangkoan Hi dan seorang perempuan hamil seperti Siangkoan Yan melewati tembok yang cukup tinggi, juga pengawal-pengawal Lau Cong-bin terus membanjiri tempat itu tak habis-habisnya.

Dengan demikian, meski kelima orang itu selalu dapat merobohkan lawan-lawan mereka, namun lawannya tidak semakin habis malahan makin banyak. Kelima orang itu nampaknya kewalahan juga. Tiba-tiba terdengar orang berkedok yang berpedang dan paling lihai itu, mengucapkan semacam kata-kata isyarat.

Teman-temannya memahami, lalu sambil bertempur mereka bergeser ke suatu arah. Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan yang di tengah-tengah lingkaran pun mau tidak mau harus ikut bergeser.

Pimpinan pengawal-pengawal Lau Cong-bin agaknya menebak niat mereka, lalu memperingatkan teman-temannya, "Bangsat-bangsat ini mencoba kabur, jangan beri kesempatan, atau kepala kita akan dicopot oleh Jenderal Lau...."

Ketakutan akan hukuman, orang-orangnya Jenderal Lau itu pun semakin gigih dalam usahanya membendung pelarian orang-orang itu. Senjata-senjata jarak jauh seperti panah dan lembing mulai dilontarkan, dan bukan diarahkan hanya kepada lima orang yang berjuang itu.

Melainkan juga kepada Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan yang di tengah-tengah lingkaran. Siangkoan Yan terpaksa harus mengaktifkan pedangnya untuk menangkis setiap panah atau lembing yang tertuju kepadanya dan kepada ayahnya.

Ciong Ek-hi melihat semua yang terjadi itu dari sebuah sudut gelap yang tidak terkena cahaya api. Berbeda dengan yang dikatakannya di depan Gu Kim-sing dan Lau Cong-bin di ruang pesta tadi, ia bukannya ikut membantu pengawal-pengawalnya Lau Cong-bin.

Malahan berdiri menonton sambil memutar otak, mencari akal bagaimana memanfaatkan peristiwa itu untuk memperparah hubungan antara Li Giam dengan Lau Cong-bin atau Gu Kim-sing.

Ciong Ek-hi memperhitungkan, orang-orang berkedok itu agaknya adalah He-lian Kong dan kawan-kawannya. Kalau mereka sampai tertangkap dan terlucuti kedoknya, tentunya agak susah untuk menuduh Li Giam.

Maka menurut perhitungan Ciong Ek-hi, akan lebih menguntungkan rencana kelompoknya kalau orang-orang berkedok itu bisa lolos. Tetapi bagaimana membantu mereka lolos dari kepungan orang-orang Lau Cong-bin yang begitu banyak...?

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.