Selagi ia berpikir-pikir, tiba-tiba beberapa sosok bayangan berkedok melompati tembok halaman, dan langsung menerjang orang-orangnya Lau Cong-bin. Orang-orangnya Lau Cong-bin pun terkejut karena ketambahan lawan-lawan tangguh. Mereka berteriak-teriak ribut.
“Awas, musuh kedatangan bala bantuan!”
"Awasi tempat-tempat lain, jangan-jangan mereka menerobos juga dari tempat-tempat lain. Lindungi ruangan tempat Jenderal Lau dan tamu-tamunya!”
"Jangan gentar! Panggil bala bantuan lebih banyak dari tangsi!”
Begitulah, kemunculan orang-orang baru yang tangkas-tangkas itu mengacaukan orang-orangnya Gu Kim-sing. Bahkan menimbulkan kesan seolah-olah gedung kediaman Lau Cong-bin itu sedang mendapat serangan besar-besaran, biarpun yang sebenarnya belum tentu begitu.
Dua dari penyerbu-penyerbu berkedok yang baru datang itu, menunjukkan ketangkasan yang melebihi lain-lainnya. Yang seorang bertubuh pendek dan kurus, memegang cambuk sepanjang hampir tiga meter.
Orang bersenjata cambuk, biasanya cukup satu saja, kalau lebih dari satu akan saling membelit dan merepotkan diri sendiri, namun orang pendek kecil itu memegang sepasang cambuk panjang yang dimainkan dengan tangkas seperti sepasang ular yang menggeliat-geliat dan menyambarnyambar di udara.
Seorang lagi bertubuh tegap, memegang sepasang pedang tebal. Langkahnya bagaikan gajah mengamuk, dengan sepasang pedang itu sebagai gading-gadingnya. Ciong Ek-hi yang memperhatikan dari tempat tersembunyi, hampir-hampir menyangka bahwa kedua orang yang tangkas itu adalah dua jago bawahannya Jenderal Li Giam, kakak beradik seperguruan yang terkenal.
Yang bersenjata cambuk adalah Thai-lik Ku-hou (Macan Kurus Bertenaga Raksasa) Oh Kui-hou, yang bersenjata sepasang pedang adalah Yo Kian-hi, si adik seperguruan. Mula-mula Ciong Ek-hi menyangka mereka berdua adalah Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi.
Tetapi setelah diperhatikan baik-baik dengan matanya yang tajam, Ciong Ek-hi tiba-tiba tahu kalau kedua orang itu sama sekali bukan Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, melainkan orang-orang lain yang rupanya sengaja tampil seperti kedua kakak-beradik seperguruan itu, dan mungkin juga supaya disangka sebagai Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi.
Dari sini saja sudah bisa disimpulkan kalau mereka bukan orang-orangnya Li Giam, melainkan orang-orang dari pihak lain yang sengaja tampil dengan menimbulkan kesan sebagai orang-orangnya Li Giam. Karena ingin tahu, Ciong Ek-hi mendekati gelanggang pertempuran.
Orang-orangnya Lau Cong-bin minggir ketika melihat Ciong Ek-hi yang mereka kenali sebagai perwira andalannya Gu Kim-sing. Kali ini Ciong Ek-hi sedang tidak membawa golok Koan-to (golok bertangkai panjangnya), maka ia hanya mengandalkan pedangnya untuk memasuki pertempuran.
Sementara itu, salah seorang berkedok yang datang dalam kelompok yang belakangan, mendekati Helian Kong, yaitu orang berkedok yang paling lihai dar kelompok pertama, dan membisiki Helian Kong, "Jenderal Helian, ajak rombonganmu ke pintu sebelah barat, di sana sudah dikuasai teman-temanku...”
“Kalian dari kelompok yang mana?" tanya Helian Kong, sebab ia mendengar kalau di Pakkhia ada beberapa kelompok bawah-tanah yang memperjuangkan kembalinya dinasti Beng, semuanya sudah dikenal oleh Helian Kong namun kelompok yang kini belum dikenalnya sama sekali.
Bahkan orang-orang yang bersenjata sepasang cambuk dan sepasang pedang itu mengingatkan Helian Kong akan musuh-musuh lamanya dari golongan Pelangi Kuning dulu. Orang itu menjawab, "Tidak perlu Jenderal ketahui sekarang. Tidak, ada waktu untuk menjelaskan sekarang, sebab si Lau Cong-bin pasti sedang mendatangkan bala bantuan lebih banyak. Lebih baik kabur dulu, ingat keselamatan isteri Jenderal dan anak dalam kandungan..."
Kalau sudah diingatkan keselamatan isterinya dan anak dalam kandungannya, Helian Kong tidak mau tawar-menawar lagi. Biarpun kelompok yang menolongnya ini asing, yang penting keluar dulu dari tempat itu dengan selamat.
Sementara itu, Ciong Ek-hi sudah bergabung dengan orang-orangnya Ciong Ek-hi untuk coba-coba menempur orang-orang berkedok itu. Ciong Ek-hi langsung memilih lawan. Pedangnya bergerak ke arah seorang berkedok yang bersenjata sepasang tameng Gun-goan-pai (tameng berpinggir tajam).
Orang bersenjata sepasang Gun-goan-pai itu memutar tubuh. Agak terkejut ketika melihat Ciong Ek-hi, dan ternyata Ciong Ek-hi juga terkejut melihat orang ini. Biar wajahnya berkedok tetapi tetap kelihatan sebuah tahi lalat besar di antara kedua matanya.
Maka tahulah Ciong Ek-hi yang bernama asli Ha Cao ini, bahwa rombongan orang berkedok yang muncul belakangan ini adalah kawan-kawannya, sesama mata-mata Manchu, termasuk Oh Kui-hou gadungan dan Yo Kian-hi yang juga gadungan itu
Sudah tentu Ciong Ek-hi dan orang bersenjata sepasang Gun-goan-pai itu tidak bisa langsung saling menyapa sebagai teman. Mereka pura-pura bertempur, namun sambil tukar-menukar isyarat rahasia, sehingga Ciong Ek-hi tahu kalau rombongan orang-orang berkedok yang kedua itu adalah teman-temannya semua.
Dan tujuannya datang ke tempat itu adalah untuk merusak hubungan Li Giam dengan jenderal-jenderal Pelangi Kuning lainnya, itulah sebabnya mereka menampilkan Oh Kui-hou gadungan dan Yo Kian-hi gadungan, supaya pihak Lau Cong-bin menyangka penyerbuan itu benar-benar oleh orang-orangnya Li Giam.
Sekarang Ciong Ek-hi harus menyesuaikan diri dengan taktik kawan-kawannya itu. Maka sambil bertempur, ia pura-pura membentak "lawan"nya dengan keras, sengaja diperdengarkan untuk orang-orangnya Lau Cong-bin, "Bangsat, biarpun kau berkedok, aku tetap mengenalimu sebagai gerombolannya Li Giam! Jangan ingkar!”
"Lawan"nya juga pura-pura membantah, tetapi sengaja dengan bantahan yang mengambang dan tidak meyakinkan, "Ngawur saja! Kami sama sekali tidak ada hubungan dengan Jenderal Li! Jenderal Li tidak saling mengenal dengan kami!”
Bantahan yang setengah-setengah itu memang malahan mengobarkan kecurigaan orang-orangnya Lau Cong-bin. Kecuali itu, Ciong Ek-hi juga harus membantu tetapi tidak kentara agar semua orang berkedok itu bisa lolos. Ini penting untuk membuat murka Lau Cong-bin.
Maka biarpun Ciong Ek-hi kelihatannya bekerja-sama dengan Deng Hu-koan, perwira andalannya Lau Cong-bin, sebenarnya Ciong Ekhi mengacaukan perintah-perintah Deng Hukoan. Kalau Deng Hu-koan memerintahkan, "Cegat di sebelah barat!” maka Ciong Ek-hi akan berteriak hampir bersamaan, "Lebih baik diperkuat di sebelah selatan saja!”
Dan macam-macam lagi, sehingga akhirnya orang-orang berkedok itu akhirnya berhasil membawa orang-orang keluarga Siangkoan. Ciong Ek-hi pura-pura penasaran dan mengejar, membawa belasan orang pengawal Lau Congbin, ke lorong-lorong gelap di sekitar kediaman Lau Cong-bin. Sudah tentu Ciong Ek-hi membawa mereka ke arah yang salah.
Di suatu tempat, diam-diam Ciong Ek-hi sengaja menjatuhkan suatu benda, yang dia harapkan akan diketemukan oleh orang-orangnya Lau Cong-bin. Karena kota Pak-khia terdiri dari ribuan lorong jalan yang bercabang-cabang di antara rumah-rumah penduduk, apalagi di malam gelap, maka orang-orang berkedok itu tak terkejar.
Den Hu-koan dan orang-orangnya Lau Cong-bin yang lainnya pun menjadi ketakutan sendiri, membayangkan kemarahan atasan mereka atas kegagalan mereka. Deng Hu-koan memerintahkan orang'orangnya memeriksa tempat di sekitar itu, atas usul Ciong Ek-hi, dengan alasan kalau-kalau menemukan suatu jejak atau tanda atau apa saja yang bisa untuk mengalisa siapa orangorang berkedok itu. Ciong Ek-hi juga ikut "membantu".
Dan bukan suatu kebetulan kalau Ciong Ek-hi pulalah yang "pertama kali menemukan" benda yang tadi dijatuhkannya secara diam-diam itu. Begitu "menemukan", Ciong Ek-hi terus berteriak kepada Deng Hu-koan, "Kakak Deng, kemari! Aku menemukan sesuatu!”
Deng Hu-koan mendekat, di bawah cahaya obor yang dibawa seorang pengawal, ia melihat di tangan Ciong Ek-hi ada sebuah lencana logam. Melihat lambang dan tulisan di lencana itu, jelas kalau lencana itu milik perwira-perwira bawahannya Jenderal Li Giam.
Ciong Ekhi pura-pura masih belum mau percaya, "Sulit dipercaya. Mungkinkah orangorang berkedok tadi adalah perwira-perwira Jenderal Li yang diperintah untuk merebut kembali tawanan-tawanan itu? Ah, sulit dipercaya..." Ciong Ek-hi pakai geleng-geleng kepala dan menarik napas segala.
Sedangkan buat Deng Hu-koan yang hatinya sedang panas bercampur takut, panas kepada orang-orang berkedok yang berhasil kabur di depan hidungnya dan takut akan hukuman Jenderal Lau, bukti dan dugaan Ciong Ek-hi itu bisa sedikit meringankan kesalahan di hadapan atasannya nanti.
Maka ia mengambil lencana itu dari telapak tangan Ciong Ek-hi, sambil berkata dengan geram, "Buat manusia yang hatinya sebusuk Li Giam, apa pun bisa dilakukannya demi mendongkel kedudukan Jenderal Lau. Sampai saat ini Li Giam masih penasaran, kenapa yang menjadi Panglima Tertinggi adalah Jenderal Lau dan bukan dirinya."
Seorang perwira bawahan Lau Cong-bin yang lainnya ikut menimbrung bicara, "Benar. Orang pendek kecil yang bersenjata sepasang cambuk tadi pastilah Oh Kui-hou, dan yang bersenjata sepasang pedang tadi pastilah Yo Kian-hi. Mereka jago-jago andalannya Li Giam."
Karena dalih itu dianggap bisa meringankan kesalahan, maka semua orang-orangnya Lau Cong-bin seolah-olah bersepakat untuk menggunakan dalih itu demi keringanan hukuman mereka.
Sementara itu, kelompok Helian Kong yang menyelamatkan keluarga Siangkoan serta kelompok yang satunya, setelah berlari-lari sekian lama, lalu berhenti dekat sebuah kuburan yang gelap dan merasa aman dari kejaran orang-orang-nya Lau Cong-bin.
Helian Kong menurunkan Siangkoan Yan, isterinya, yang tadi digendong di punggungnya, sedangkan Siangkoan Heng menurunkan ayahnya, Siangkoan Hi, yang tentu tidak sanggup kalau diajak berlari-lari cepat seperti tadi. Helian Kong lalu mendekati lima orang berkedok dari kelompok yang datang belakangan tadi.
Lebih dulu Helian Kong menarik turun kedok di wajahnya, begitu juga tiga orang teman Helian Kong, sebagai isyarat bahwa mereka bersedia menganggap orang-orang berkedok kelompok lain itu sebagai teman sehingga kedok-kedok tidak diperlukan lagi.
Namun ternyata kelima orang berkedok yang muncul belakangan tadi tidak membuka kedok mereka, meskipun sikap mereka juga tidak bermusuhan. Itu artinya mereka tidak mau membuka diri tentang siapa diri mereka sebenarnya.
Helian Kong memberi hormat dan berkata, "Aku mengucapkan terima kasih atas kedatangan sobat-sobat, sehingga aku, keluargaku dan kawan-kawanku terselamatkan dari kematian. Seandainya sobat-sobat tidak datang, mungkin kami bertujuh sudah dicincang habis oleh orang-orangnya Lau Cong-bin....."
Seorang dari orang-orang berkedok itu membalas hormat dan berkata mewakili temantemannya, "Tidak jadi soal, Jenderal Helian. Kita kan sesama pejuang...?"
Panggilan "jenderal" itu agak mencurigakan Helian Kong. Meskipun Helian Kong sudah mencapai pangkat yang tinggi di jaman dinasti Beng, tetapi belum sampai berpangkat "jenderal". Orang-orang pergerakan bawah tanah yang memperjuangkan bangunnya kembali dinasti Beng di Pak-khia tahu semua itu, dan tidak ada yang memanggil Helian Kong dengan "jenderal".
Tetapi orang itu tadi sudah mengatakan "kita kan sesama pejuang" sehingga Helian Kong jadi ingin tahu mereka pejuang dari kelompok yang mana, sebab di Pak-khia ada beberapa kelompok yang semuanya dikenal oleh Helian Kong. Tanya Helian Kong kemudian, "Aku sangat bergembira bisa bertemu dengan sesama kawan seperjuangan. Kalau aku boleh tahu nama kalian, sobat-sobat, dan kelompok kalian? Supaya lain kali kita bisa berhubungan dan bekerja sama....."
Pimpinan orang berkedok itu geragapan, tidak menyangka kalau kata-katanya tentang "sesama pejuang" itu bisa menyudutkannya. Tentu saja tidak mungkin mengaku terus terang kalau mereka adalah kelompok mata-mata Manchu, sebuah negeri asing. Akhirnya orang itu cuma menjawab,
"Kami tidak membentuk kelompok, Jenderal Helian. Kami cuma orang-orang biasa, bukan bekas prajurit-prajurit dinasti Beng, cuma kebetulan orang-orang yang punya sedikit kelebihan dan sedikit nyali, dan kebetulan pula sudah muak melihat tingkah laku orang-orang semacam Lau Cong-bin atau Gu Kim-sing yang menepuk dada sebagai pembela-pembela rakyat kecil, tetapi kelakuannya seperti rampok. Sudah, cuma itu. Kami tidak berkelompok."
Jawaban itu sulit dipercaya oleh Helian Kong, maka sebagai basa-basi saja Helian Kong berkata, "Aku hanya menganjurkan kepada sobat-sobat, agar perjuangan kalian lebih terarah, ada baiknya kalian bergabung dengan kelompok-kelompok yang sudah ada."
Helian Kong memang sekedar basa-basi. Ia menganjurkan agar bergabung dengan kelompok-kelompok bawah tanah yang sudah pasti punya kode-kode rahasia untuk berbagai keperluan, namun tidak memberitahukan kodekode rahasia itu kepada orang-orang berkedok itu, sebab Helian Kong sendiri belum yakin siapa mereka.
Dan orang itu pun menjawab secara basa-basi juga, "Saran Jenderal Helian akan kami pertimbangkan sungguh-sungguh. Sekarang karena malam sudah larut, perkenankanlah kami mohon diri."
Orang-orang itu bukan hanya memberi hormat dengan santun kepada Helian Kong, tetapi juga kepada Siangkoan Yan dan lainlainnya, setelah itu barulah berlari-lari kecil menghilang ke dalam kegelapan. Sebegitu jauh, mereka tetap tidak membuka kedok mereka.
Setelah mereka menghilang, Siangkoan Heng bertanya kepada Helian Kong, "Percayakah kau kata-kata mereka?"
Helian Kong cuma tersenyum masam. Sementara salah seorang teman Helian Kong berkomentar, "Pengakuan mereka hanya sebagai orang-orang yang muak akan kediktatoran Lau Cong-bin, adalah pengakuan bohong. Tindakan mereka malam ini bermuatan maksud politis. Lihat saja, dua dari antara mereka disuruh memerankan sebagai Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi....”
“Mereka mungkin bermaksud mengadu domba antara Lau Cong-bin dan Li Giam. Mereka seolah-olah menolong kita, padahal sekedar membonceng tindakan kita namun dengan maksud tersendiri.”
“Kalau mereka hendak mengadu-domba tokoh-tokoh Pelangi Kuning itu, barangkali mereka memang pejuang-pejuang yang sehaluan dengan kita. Hanya saja barangkali belum mempercayai kita...."
Tetapi Helian Kong menggeleng dan berkata, "Bukan cuma kita yang menghendaki lemahnya dan runtuhnya pemerintahan Li Cu-seng. Ada pihak lain....”
“Siapa?”
“Pemerintahan Manchu. Bedanya, kalau kita menghendaki keruntuhan Li Cu-seng untuk digantikan kembali oleh dinasti Beng, orang Manchu tentunya menginginkan berkuasa setelah runtuhnya L i Cu-seng. Mereka adalah pihak yang perlu diwaspadai. Ambisi mereka tidak pernah padam, untuk meluaskan wilayah ke selatan..."
Orang-orang itu menjadi tegang, dan bertukar pandangan satu sama lain. Helian Kong memecahkan ketegangan itu dengan tawanya yang lunak, katanya sambil menepuk salah seorang temannya yang berewokan dan gemuk,
"Tidak perlu gentar. Kancah yang kita masuki ini memang kancah permusuhan segi-tiga yang sejak dulu sudah kita sadari. Yang penting kita harus lebih berhati-hati. Selidiki kelompok itu.”
“Baik, Cong-peng." Orang itu ditugasi demikian, karena dia adalah anggota kelompok bawah tanah yang beroperasi di dalam kota Pak-khia.
Kemudian mereka bubar. Helian Kong bersama isterinya, mertuanya dan saudara iparnya mengambil suatu arah tersendiri.
Dalam pada itu, orang-orangnya Lau Cong-bin dan orang-orangnya Gu Kim-sing yang membantunya telah melaporkan kepada Lau Cong-bin tentang apa yang terjadi. Laporan tidak diberikan di ruangan pesta, melainkan di sebuah ruangan lain.
Keruan Lau Cong-bin mencak-mencak saking gusarnya mendengar laporan itu, apalagi ketika ia ditunjuki lencana perwira bawahan Li Giam sebagai "bukti" bahwa Li Giamlah yang berada di belakang layar dalam soal pembongkaran penjara itu. Karena para bawahannya berhasil mengalihkan seluruh kesalahan ke pundak Li Giam, maka para bawahan itu selamat.
Sebaliknya Li Giamlah yang ditumpahi kegeraman tiada taranya, meskipun orangnya sendiri tidak hadir di situ. “Li Giam, hatimu yang busuk itu memang sudah aku ketahui sejak lama! Kau iri kepadaku karena menganggap bahwa kedudukanku yang sekarang ini adalah kedudukanmu. Hem, kau boleh saja menjadi kesayangan Sri Baginda, tetapi kalau sampai aku tidak bisa menyingkirkanmu, percuma aku bernama Lau Cong-bin!”
Bawahan-bawahannya merasa lega. Duga Ciong Ek-hi yang bukan bawahan langsung pun ikut lega. Ang Bik juga ikut lega. Kemudian, dalam kegusarannya kepada Li Giam, Jenderal Lau memerintahkan agar Tan IV Wan-wan dibawa keluar untuk diserahkan kepada para tamu untuk diperlakukan semau-maunya.
“Tan Wan-wan itu bekas selir Kaisar Cong-ceng dan calon isteri Bu Sam-kui, tetapi Li Giam menyimpannya, melindunginya dan tidak menghukumnya. Pasti Li Giam telah tergila-gila kepada kecantikan Tan Wan-wan dan dijadikannya Tan Wan-wan simpanannya.
"Hem, orang she Li itu kelihatannya saja alim, tetapi munafik. Sekarang akan aku permalukan si cantik kesayangannya itu di depan banyak orang. Seret keluar Tan Wan-wan dan dilucuti seluruh pakaiannya!”
Tetapi sebelum perintah itu dijalankan, seorang pengawal pribadi masuk ke ruangan itu dan melapor, "Jenderal, Jenderal Li Giam datang berkunjung!”
Waktu itu sudah larut malam, maka Lau Cong-bin keheranan bahwa Li Giam tiba-tiba saja datang ke pestanya. Namun kemudian kemarahannyalah yang berbicara, "Bagus! Orang she Li itu seperti ular mencari gebuk. Tidak peduli dia orang kesayangan Sri Baginda, jangan harap bisa keluar dari rumah ini dengan selamat. Di mana dia sekarang?”
“Di ruang pesta."
Dengan hati yang panas, Lau Cong-bin melangkah kembali ke ruang pesta. Sudah disiapkannya kata-kata yang pedas Untuk menghukum Li Giam sambil menunjukkan bahwa dialah yang paling berkuasa di bawah Kaisar Tiong-ong sendiri. Tidak peduli bakal berhadapan dengan orang kesayangan kaisar yang menjadi duri dalam dagingnya, la bahkan tidak memikirkan resiko kena marah kaisar.
Begitu ia melangkah masuk ke ruangan pesta, hatinya semakin panas melihat Li Giam tidak memakai pakaian pesta, melainkan pakai jubah sehari-harinya yang amat sederhana. Li Giam tidak duduk, melainkan berjalan hilir mudik dengan tenang di ruangan pesta, ditatap oleh puluhan pasang mata orang-orang yang hadir di pesta dengan kebingungan campur tegang.
Lau Cong-bin langsung meledak. "Bagus sekali perbuatanmu Li Giam! Kau tidak menganggapku sebagai Panglima Tertinggimu, padahal kedudukan itu diberikan sendiri oleh kaisar. Kau sama saja dengan menghina kaisar, dan sekarang kau tidak berlutut kepadaku?"
Dengan sikap tenang, Li Giam mengangkat gulungan sutera kuning, sambil berkata penuh wibawa, "Perintah Kaisar!”
Mulut Lau Cong-bin bagaikan dijahit mendadak, Gu Kim-sing yang selama ini ikut mengusik-usik Li Giam juga ikut deg-degan, jangan-jangan Perintah Kaisar itu berisi sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya? Ada peraturan, berhadapan dengan pembawa Perintah Kaisar sama saja berhadapan dengan kaisar secara pribadi. Karena itulah biarpun dengan terpaksa, Lau Cong-bin berlutut di hadapan Li Giam. Semua orang yang hadir di ruangan itu juga ikut berlutut.
Suasana ruangan jadi sunyi mencengkam, rasanya terdengar jelas suara gemerisik lembut ketika Li Giam membeberkan surat Perintah Kaisar yang terbuat dari sutera kuning bersulam itu. Lalu sepatah kata demi sepatah kata Li Giam membacakan surat Perintah Kaisar itu.
Yang secara singkat isinya memerintahkan agar Lau Cong-bin menyerahkan Tan Wan-wan dan keluarga Siangkoan dalam keadaan hidup dan secara baik-baik kepada Li Giam, untuk segera dibawa ke istana kaisar sendiri untuk dilindungi di sana.
Lau Cong-bin mengertak gigi dengan geram, namun tidak bisa tidak ia hanya menyambut perintah itu dengan seruan "Ban-swe" yang artinya adalah "selaksa tahun" yang bermakna memujikan kelestarian pemerintahan kaisar. Namun dalam hatinya Lau Cong-bin mengutuk Li Giahn dan juga mengutuk Kaisar Tiong-ong,
"Mulut busuk Li Giam kali ini telah berhasil membujuk si raja goblok untuk mempermalukan aku di depan umum. Tetapi tunggulah, ada saatnya Li Giam akan tersingkir dan si kaisar goblok terjungkir dari singgasananya, dan akulah yang pantas untuk menjadi Kaisar... hem..."
Tetapi Lau Cong-bin lega juga, bahwa dalam Perintah Kaisar itu kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi tidak diutik-utik. Ia cuma harus menyerahkan Tan Wan-wan dan keluarga Siangkoan ke istana kaisar.
Sementara Li Giam telah menggulung kembali Perintah Kaisar itu, lalu menyerahkannya kepada Lau Cong-bin dengan kedua tangannya dalam sikap hormat. Orang-orang pun sudah bangkit dari berlututnya, karena Perintah Kaisar sudah selesai dibacakan.
Lau Cong-bin menerimanya dengan wajah masam, sambil menyindir, "Jenderal Li, bagus sekali perbuatanmu kali ini."
Li Giam heran, "Maksud Kakak Lau?”
“Jangan pura-pura tidak tahu. Pertama, kau pasti sudah mengadukan aku ke hadapan Sri Baginda hanya untuk membela Tan Wan-wan dan keluarga Siangkoan, padahal mereka hanyalah begundal-begundal dinasti Beng yang patutnya dihukum mati. Kedua, kau sudah menyuruh orang-orangmu untuk mengambil keluarga Siangkoan dengan cara yang sangat kurang ajar, sekarang kau berpura-pura sopan akan mengambil keluarga Siangkoan yang sudah tidak ada di rumahku?"
Li Giam terkejut, "Apa iya?"
Lau Cong-bin tertawa dingin, "Kekagetanmu itu kalau pura-pura, menandakan kemunafikanmu. Kalau sungguh-sungguh, menunjukkan kau tidak dapat mendisiplin anak buahmu sehingga mereka bertindak semaunya, bahkan terhadap aku, Panglima Tertinggi!”
"Kakak Lau jangan menuduh sembarangan. Aku sama sekali tidak memerintahkan orang-orangku untuk mengambil keluarga Siangkoan. Biarpun aku tidak setuju mereka itu kakak tahan, tetapi aku mengusahakan pembebasannya dengan cara baik-baik, dengan menghadap Sri Baginda, tidak dengan cara kekerasan."
Lau Cong-bin menyapukan pandangannya ke arah orang-orang yang hadir, lalu berkata keras kepada mereka sambil menunjuk Li Giam yang masih berdiri di tengah ruangan dan belum dipersilakan duduk, "Sobat-sobat, lihat orang ini, alangkah pintarnya dia berpura-pura. Padahal kesalahannya sudah jelas, dia telah menyembunyikan buronan-buronan penting dinasti Beng. Dia sudah mengirim orang-orang biadabnya untuk mengaduk-aduk rumahku, sekarang dia menuduhku berbohong lagi..."
Semua orang terbungkam diam, tidak ada yang berani ikut-campur dalam pertentangan kedua tokoh puncak Pelangi Kuning itu. Lau Cong-bin adalah Panglima Tertinggi, sedang Li Giam adalah orang kesayangan Kaisar Tiong-ong. Orang-orang khawatir kalau memihak salah satu, padahal yang dibela itu nantinya kalah bersaing, kedudukan mereka bisa ikut goyah. Maka paling aman ya tidak usah ikut campur.
Suara Lau Cong-bin semakin meninggi, sejalan dengan hatinya yang semakin panas, "Li Giam, manusia busuk! Jangan mentang-mentang Kaisar memberi hati kepadamu terus kau berani menginjak kepalaku! Apakah kau pikir aku ini buta, sehingga tidak mengetahui siapa yang malam ini mengaduk-aduk rumahku? Cukup banyak anak buahku dan juga anak buah Jenderal Gu yang melihat bahwa di antara orang-orang yang menyerbu tadi, terdapat Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, dua tukang kepruk kesayanganmu, biarpun kedua-duanya memakai kedok!”
Tergetar juga hati Li Giam, benarkah Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang begitu setia, telah melakukan sesuatu di luar perintahnya? Ditenangkannya hatinya, dan berkata, "Apakah ada bukti?"
Lau Cong-bin membanting lencana perwira ke lantai, ke dekat kaki Li Giam, "Ini! Benda ini ditemukan di tempat keributan. Pasti terjatuh dari tubuh orang-orangmu!”
Li Giam membungkuk untuk memungut benda itu, lalu mengamat-amatinya, dan wajahnya berubah, "Lencana ini memang biasa dibawa oleh perwira-perwira bawahanku. Bahkan tidak semua yang memiliki ini, hanya beberapa orang dekatku..."
Kata-kata Li Giam itu sungguh diiuar dugaan para hadirin yang tadinya mengira Li Giam akan menyangkal mati-matian dan berkelit habis-habisan, ternyata malah mendengar Li Giam mengakui lencana itu kepunyaan orang-rorang dekatnya. Banyak yang mengganggap Li Giam tolol dan cari penyakit, namun tidak sedikit yang kagum akan kelurusan hati Li Giam.
Lau Cong-bin mendengus dingin, "Tidak cukup hanya mengakuinya, setelah mengakuinya lalu apa yang akan kau perbuat?”
“Aku akan menanyai orang-orangku, dan menghukum siapa yang sudah bertindak di luar perintahku.”
“He-he-he, menanyai maling, mana ada yang mengaku?”
“Pokoknya ini adalah urusanku, Kakak Lau. Dan sekarang aku harus melaksanakan perintah Sri Baginda untuk membawa Nona Tan Wan-wan ke istana. Kalau keluarga Siangkoan sudah benar-benar tidak ada di tempat ini, Nona Tan Wan-wan lah yang harus aku bawa."
Karena Li Giam bertindak berdasar perintah Kaisar, biarpun hatinya penasaran, Lau Cong-bin mau tidak mau harus menurutinya. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil Tan Wan-wan, dan kali ini Tan Wan-wan mau disuruh keluar setelah diberi tahu bahwa Li Giam lah yang menjemputnya.
Tan Wan-wan juga girang mendengar orang-orang Keluarga Siangkoan sudah lolos dari maut. Di hadapan Li Giam, Tan Wan-wan menghormat dengan sebelah kaki berlutut, "Salam dan hormatku untuk Jenderal."
Waktu itu seluruh ruangan sunyi senyap, ibaratnya sebatang jarum yang jatuh akan didengar oleh semua orang. Sebab para hadirin banyak yang terpesona melihat kejelitaan Tan Wan-wan, bahkan Gu Kim-sing yang pertama kali "memberi info" kepada Lau Cong-bin. juga baru sekali ini melihatnya, dan ikut melongo.
Pikirnya, "Pantas si tua-bangka she Lau itu keranjingan. Dan pantas juga si bangsat Li Giam juga mempertahankan mati-matian, sampai tidak segan-segan mengadu kaisar, dan jangan-jangan sekarang Kaisar pun ikut keranjingan? Hem, aku mau kehilangan separuh dari kekayaanku asal bisa tidur semalam saja dengan dia..."
Sementara itu, Tan Wan-wan merasa amat kikuk karena sekian banyak mata lelaki menatapnya seperti serigala-serigala kelaparan. Ada yang tidak malu-malu menelan ludahnya sehingga mengeluarkan suara "cegluk" yang keras dan terdengar jelas di kesunyian ruangan itu.
Bukannya merasa bangga akan kecantikannya, Tan Wan-wan justru merasa amat terhina, karena merasa setiap lelaki memandangnya hanya sebagai penghibur atau teman tidur saja. Tak terasa air matanya menitik setetes.
Li Giam mengerti perasaan Tan Wan-wan, tiba-tiba timbul niatnya untuk mengangkat martabat Tan Wan-wan di depan banyak orang yang hadir di tempat itu. Ingin memberitahu orang-orang itu tentang siapa Tan Wan-wan sebenarnya dan seberapa besar jasa-jasanya kepada perjuangan kaum Pelangi Kuning.
Kata Li Giam, tidak lantang namun cukup didengar oleh orang-orang di situ, "Tuan-tuan, setiap lelaki di antara kita pernah berada di medan pertempuran yang ganas, ketika kita memperjuangkan cita-cita. Kita barangkali pernah membanggakan berapa musuh yang pernah kita bunuh, berapa kota-benteng yang pernah kita panjat, berapa milik musuh yang pernah kita rampas.
"Tetapi kekuatan belaka tak berarti tanpa tahu dengan jelas perbandingan kekuatan kita dan kekuatan musuh, lebih-lebih lagi kalau kita mengetahui taktik musuh. Sebab Sun Cu pernah berkata, mengetahui musuh seperti mengetahui diri sendiri, seratus kali berperang akan menghasilkan seratus kemenangan....."
Li Giam berhenti sejenak, banyak pendengarnya mengangguk-angguk. Termasuk yang buta huruf, supaya dikira juga pernah membaca kitab militernya Sun Cu. Lau Cong-bin juga mengangguk-angguk meskipun ia pernah kepergok oleh bawahannya sedang "membaca" buku yang dipegang terbalik.
Sementara Li Giam, meneruskan, "Pasukan yang besar, persenjataan yang lengkap, keberanian yang berkobar-kobar, semuanya itu tidak ada gunanya kalau kita buta terhadap kekuatan musuh. Nah, sobat-sobat, aku buka suatu rahasia sekarang, kalau kalian pernah tahu prestasiku di medan perang, semua itu tidak lepas dari jasa Nona Tan ini.
"Nona Tan inilah yang secara rajin mengirimi aku keterangan-keterangan rahasia dari istana Kaisar Cong-ceng, sehingga aku bisa mengetahui semua gerakan militer musuh dan mengalahkan mereka. Li Giam bukan apa-apa tanpa Tan Wan-wan, itulah yang harus kalian ketahui!”
Semua orang di ruangan itu, tanpa kecuali, memang baru kali ini mendengar itu, dan mereka terkejut mendengar pengakuan Li Giam. Selama ini banyak orang diam-diam menganggap Li Giam lah yang pantas menjadi Panglima Tertinggi, karena Li Giam adalah hulubalang golongan Pelangi Kuning yang paling hebat merangsek pasukan dinasti Beng dan mencatat kemenangan besar demi kemenangan besar.
Kalau posisi Panglima Tertinggi akhirnya jatuh ke tangan Lau Cong-bin, banyak orang menganggap Lau Cong-bin hanya "beruntung", toh setelah Lau Cong-bin berhasil memasuki kota Pak-khia lebih dulu dengan membobol pintu-gerbang Soan-bu-mui, Lau Cong-bin tidak mampu merebut Ci-kim-shia (Kota Terlarang), yaitu "kota di tengah kota" yang merupakan kompleks istana dan dipertahankan dengan gigih oleh pasukan-pasukan terbaik dinasti Beng. Li Giam lah yang memasukinya lebih dulu.
Nama Li Giam harum di kalangan militer, dan tiba-tiba sekarang Li Giam menyatakan dengan jelas bahwa dirinya bukan apa-apa tanpa Tan Wan-wan. Banyak pandangan orang terhadap Tan Wan-wan berubah, bahkan banyak yang diam-diam mulai menaruh hormat.
Kalau benar yang dikatakan Li Giam itu, maka Tan Wan-wan adalah seorang pahlawan kaum Pelangi Kuning yang tidak kalah besarnya dengan Li Giam sendiri, bahkan bisa jadi lebih besar dari Lau Cong-bin yang sekedar beruntung atau Gu Kimsing yang cuma pintarnya menyikut rekanrekannya sendiri.
Tan Wan-wan amat terharu mendengar pembelaan Li Giam yang terang-terangan atas dirinya, ia lalu memberi hormat kepada sekalian hadirin sambil berkata, "Aku memang bekerja bagi Sri Baginda di jaman perjuangan dulu, tetapi jasaku tidak terlalu besar. Hanya menyelundupkan keterangan-keterangan penting ke luar dinding istana saja. Saudara-saudara seperjuangan yang menyabung nyawa di medan tempur pastilah jauh lebih berjasa dari aku."
Suara merdu Tan Wan-wan itu membuat banyak orang tidak lagi menatapnya dengan bernafsu, melainkan memandangnya dengan hormat, ada yang berbelas kasihan juga.
Sementara Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing merasa malu, bahwa mereka telah bertindak dalam ketidaktahuan mereka menangkap seorang yang berjasa bagi kaum Pelangi Kuning, malah hampir mempermalukannya di pesta itu. Namun Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing tidak menyesal, malahan semakin benci kepada Li Giam.
Kemudian Li Giam berkata pula, "Aku sudah menceritakan jasa-jasa Nona Tan kepada Sri Baginda Tiong-ong, maka Sri Baginda berkenan menganugerahkan gelar sebagai seorang puteri, dan juga nama kebangsawanan yang akan ditetapkan kemudian. Malam ini aku diperintahkan Sri Baginda untuk membawanya ke istana."
Lau Cong-bin cuma menarik napas. Sebagai seorang hidung-belang "kelas berat", ia benar-benar kecewa karena belum sempat mencicipi korbannya yang satu ini. Tetapi sudah tentu ia tidak bisa menolak perintah Kaisar Tiong-ong.
Begitulah, malam itu juga Tan Wan-wan boyong dari rumah Lau Cong-bin ke istana, dari seorang tawanan bakal berubah menjadi seorang Puteri dari dinasti yang baru.
Untuk melampiaskan kekecewaannya, Lau Cong-bin memerintahkan pestanya dilanjutkan dan dipanaskan dengan acara-acara gila-gilaan yang tidak lagi menggubris ukuran-ukuran moral. Pesta memang menjadi sangat meriah, dan usai larut malam, para tamu kembali ke rumah masing-masing dengan kepala pening dan pakaian berbau kecut kena muntahan makanan.
Nampak juga rombongan Gu Kim-sing dan pengiring-pengiringnya. Sebagian besar teler, tetapi Ciong Ek-hi tidak. Di suatu persimpangan jalan, Ciong Ek-hi begitu saja keluar dari barisan tanpa minta ijin kepada Gu Kim-sing yang sedang teler dalam jolinya. Tak ada yang menggubrisnya. Ciong Ek-hi mencari suatu jalan yang agak berputar sedikit, dan tiba di belakang warungnya Go Liong.
Dengan ketukan berisyarat seperti biasanya, ia dibukai pintu, dan tidak lama kemudian ia sudah duduk berhadapan dengan atasannya maupun rekan-rekannya, di antaranya adalah Hulan Biao tadi ikut menyerbu rumah Lau Cong-bin dan sempat "bertempur" dengan Ciong Ek-hi.
“Bagaimana?" tanya Kat Hu-yong.
Ciong Ek-hi yang nama aslinya Ha Cao itu tertawa-tawa sambil menjawab, "Hebat, tidak kusangka kalau semuanya bisa berjalan selancar ini. Hubungan Lau Cong-bin dan Li Giam semakin panas...."
Lalu dengan singkat Han Cao menceritakan selengkapnya apa yang baru saja terjadi di tempat kediamannya Lau Cong-bin. Kat Hu-yong tertawa, lalu menoleh kepada Go Liong alias Goh Lung,
"Kelihatannya, dengan dua atau tiga langkah lagi, Li Giam akan bisa terdepak. Aku ingin kau hubungi orang-orang kita yang ada dalam istana, agar mereka segera menemui aku di tempat ini.”
“Baik, Kun-su."
Beberapa hari kemudian, seorang keponakan perempuan Li Giam tiba-tiba saja diperkosa dan dibunuh oleh beberapa orang lelaki berkedok. Belum sempat perempuan itu dimakamkan, toko anak sulung Gu Kim-sing terbakar habis dengan seluruh penghuninya ada di dalamnya dan ikut menjadi mangsa api.
Beberapa orang saksi yang selamat dari api memberikan kesaksian bahwa di antara orang-orang yang menyerbu, terdapat seorang yang bersenjata sepasang cambuk dan seorang lagi bersenjata sepasang pedang. Tuduh-menuduh antara Li Giam di satu pihak dan Lau Cong-bin serta Gu Kim-sing di pihak lain, tak terhindari lagi.
Li Giam masih berusaha menahan diri dalam perkara musibah keponakan perempuannya, sambil berulang kali menyatakan kepada Lau Cong-bin maupun Gu Kim-sing bahwa ia tidak menuduh mereka, melainkan hanya akan menyelidiki pelaku sebenarnya, sekaligus memperingatkan kepada Jenderal Lau maupun Jenderal Gu agar tidak mudah diadu-domba.
Tetapi dalam peristiwa kebakaran toko kain anaknya, Gu Kim-sing tidak bisa bersikap setenang Li Giam. Disokong oleh Lau Cong-bin, langsung saja Gu Kim-sing menuntut agar Li Giam menyerahkan Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi agar "batok kepala mereka bisa ditaruh di meja sembahyang anakku", bahkan melancarkan pengaduan sampai ke depan Sidang Kerajaan.
Lau Cong-bin yang selalu menganggap Li Giam sebagai "duri dalam daging" juga menyokong tuntutan Gu Kim-sing. Tentu saja Li Giam menyangkal kalau kedua perwiranya, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, terlibat pembakaran itu. Ketegangan antara ketiga Jenderal Pelangi Kuning itu pun meningkat.
Kaisar Tiong-ong tidak membiarkan pertentangan itu berlarut-larut dan membahayakan pemerintahannya yang berumur belum sampai sebulan, la tidak ingin salah satu dari ketiga jenderalnya menjadi sakit hati, maka Kaisar bersikap netral.
Dalam suatu sidang kerajaan, ia mengangkat Jenderal Li Giam menjadi Tin-se Tai-ciangkun (Panglima Pengamanan Wilayah Barat), yang akan berkedudukan di kota Ling-he jauh di barat. Alasannya, wilayah itu berbatasan dengan Propinsi Se-cuan, propinsi lumbung besar, yang masih dikuasai oleh Jenderal Thio Hian-tiong, seorang jenderal dinasti Beng yang tetap setia kepada pemerintahan lama.
Diam-diam Kaisar berharap, dengan pindahnya Li Giam dari Pakkhia, akan meredam perselisihan tidak habis-habisnya antara Li Giam dengan Gu Kim-sing maupun Lau Cong-bin. Gu Kim-sing kelihatan sangat kurang puas dengan keputusan Kaisar, yang sama sekali tidak menghukum Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang dituduhnya sebagai pembakar anaknya, namun karena Kaisar bersikap tegas, Gu Kim-sing tidak berani berbantah-bantah lagi.
Di saat Gu Kim-sing masih penasaran akan kematian anaknya itulah datang sebuah gagasan ke kupingnya, berasal dari mulut Ang Bik, tanpa Gu Kim-sing sadari bahwa gagasan itu sebenarnya aslinya dari sebuah komplotan Manchu yang berpusat di sebuah warung bakmi.
Suatu gagasan untuk melenyapkan Li Giam di tengah perjalanan, dengan meminjam "tangan pihak ketiga" yang mudah dicari asal ada hadiahnya. Atas bisikan Ciong Ek-hi, Ang Bik menyatakan sanggup mengurus segala-galanya sampai beres.
Penugasan itu disambut Li Giam dengan hati terbuka, sebagai seorang prajurit yang patuh kepada rajanya. Begitulah, beberapa hari Li Giam mengadakan persiapan, kemudian berangkatlah ia menuju ke tempat tugasnya. Dengan kereta, pasukan berkuda dan seribu prajurit.
Di tempat tugasnya ia akan membawahi ratusan ribu prajurit bekas laskar Pelangi Kuning yang belum sempat diurus sejak Kaum Pelangi Kuning menduduki Pak-khia. Tentu saja dua pembantu kesayangannya dibawa, yaitu kakak-beradik seperguruan Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi.
Yo Kian-hi nampak menunggangi kudanya di sebelah kereta yang ditunggangi Li Giam sendiri. Wajah Yo Kian-hi nampak murung, ia berkuda sambil terus-terusan menunduk. Sampai Li Giam melalui jendela kereta menyapanya,
"Tidak ada yang perlu disesali, Saudara Yo. Aku sama sekali tidak merasa terbuang, biarpun ditempatkan jauh di sebelah barat, bahkan dekat dengan kampung halamanku. Lagi pula aku sudah merasa sumpeg dengan udara kota Pak-khia yang penuh dengan fitnah dan kedengkian..."
Yo Kian-hi menarik napas dan menjawab, "Jenderal, aku cuma masih penasaran akan tuduhan Lau... eh, maksudku Jenderal Lau dan Jenderal Gu yang mengatakan bahwa aku dan Kakak-seperguruanku terlihat tampil dalam pembakaran toko anak-sulung Jenderal Gu. Sungguh aku penasaran. Aku dan Kakak seperguruanku benar-benar tidak melakukan itu.”
“Aku percaya.”
“Aku merasa lega bahwa Jenderal tetap mempercayai aku, tapi aku benar-benar penasaran sebelum menangkap orang yang berani menyamar sebagai aku dan Kakak seperguruanku itu.”
“Ya, aku juga penasaran. Sayang kita tidak punya waktu yang cukup untuk menyelidikinya, karena harus buru-buru ke tempat tugas..."
"Jenderal, aku khawatir ini adalah kerja pihak ketiga yang berusaha mengadu-domba sesama pembesar-pembesarnya Sri Baginda untuk keuntungan mereka.”
“Siapa pihak ketiga yang kau maksud?”
“Kalau bukan sisa-sisa dinasti Beng, ya orang-orang Manchu. Atau malah bisa kedua-duanya mengadakan semacam persekutuan taktis, persekutuan sementara sampai kita kalah, sesudah itu mereka sendiri akan mengadu kekuatan.”
“Mudah-mudahan Jenderal Lau dan Jenderal Gu menyadari kemungkinan ini...”
“Jenderal, masalah yang dipertaruhkan terlalu besar, terlalu penting untuk dipertaruhkan hanya dengan sekedar kata 'mudah-mudahan' saja. Maaf kalau aku kurang ajar, tetapi terang-terangan saja, pemikiran Jenderal Lau dan Jenderal Gu terlalu jauh dari kemungkinan itu.
Jenderal Lau cuma sibuk mengumpulkan perempuan-perempuan cantik, dan Jenderal Gu sibuk mengumpulkan harta lewat anak-anaknya yang memegang berbagai hak monopoli barang-barang perdagangan.
Mereka tidak waspada terhadap ancaman orang-orang Manchu atau sisa-sisa dinasti Beng. Mereka menganggap kemenangan saat ini sudah tuntas dan semua musuh sudah lumpuh...." Karena luapan perasaannya, Yo Kian-hi sampai-sampai terengah-engah bicaranya.
“Saudara Yo, jangan kau anggap kekhawatiranku lebih kecil dari kekhawatiranmu. Tetapi kita bisa apa? Kita sudah ditugaskan jauh dari Pak-khia.”
“Jenderal, ijinkan aku kembali ke Pak-khia secara diam-diam untuk menyelidiki orang-orang yang memalsu diriku dan Kakakseperguruanku itu.”
“Jangan, Saudara Yo, kalau sampai kehadiranmu di Pakhia terlihat oleh kaki tangan Jenderal Lau dan Jenderal Gu, bisa menimbulkan masalah baru. Bisa saja mereka menyebarkan fitnah baru tentang diri kita. Begitu pula, pihak ketiga yang kita curigai itu juga akan melakukan banyak hal atas namamu dan Kakak-seperguruanmu....”
“Tentu saja aku akan memasuki Pak-khia dengan menyamar, Jenderal, tidak terang-terangan dengan wajah aslinya...”
“Tidak. Aku tetap ingin kau bersamaku. Bukan aku meragukan kelihaian penyamaranmu, melainkan aku khawatir kalau ada yang melihat kau tidak ada di sampingku untuk beberapa saat, dan kalau di Pak-khia kebetulan terjadi sesuatu lagi, bukankah amat gampang menuduhmu, dan aku akan jadi semakin repot membelamu?"
Yo Kian-hi bungkam tak menjawab lagi, tetapi dalam hatinya ia masih meronta penasaran. Sementara itu, beberapa penunggang kuda yang disuruh berjalan mendahului pasukan untuk mencari tempat berkemah yang memadai, telah kembali dan melaporkan bahwa di sebelah depan, di kaki sebuah bukit, ada tempat berkemah yang ideal untuk Jenderal Li dan pasukannya.
"Ada sebuah kolam kecil di kaki bukit yang airnya mengalir dari atas bukit. Airnya jernih dan bagus....." lapor orang itu.
“Bagus, kita akan mendirikan perkemahan di sana. Apakah di dekat-dekat situ juga ada pemukiman penduduk?”
“Ada sebuah desa. Penduduknya juga mempergunakan air dari danau kecil itu.”
“Kalau begitu, umumkan kepada seluruh pasukan, kita akan berkemah di situ dan larangan untuk mengganggu rakyat sipil tetap diberlakukan.”
“Baik, Jenderal."
Menjelang terbenamnya matahari, pasukan itu tiba di tempat yang dilaporkan oleh prajurit berkuda itu. Sebuah dataran sempit di kaki sebuah bukit, ada rumput untuk kuda, ada air berlimpah, memang cocok untuk mendirikan perkemahan di situ. Para prajurit pun segera mendirikan perkemahan. Seribu prajurit berkemah di satu sisi dari danau di kaki bukit itu.
Dan kehadiran dari prajurit-prajurit itu segera terasa di desa yang tidak jauh dari situ. Desa itu langsung menjadi sepi. Orang-orang bersembunyi dalam rumah, pintu-pintu ditutup, gadis-gadis desa bersembunyi lebih rapat dari siapa pun juga, takut menjadi korban keganasan para serdadu.
Melihat tidak seorang pun penduduk yang nampak di tepi danau kecil, sebagai orang yang pernah hidup di pedesaan, Li Giam menjadi heran. Tanyanya, "Katanya penduduk desa juga menggunakan air telaga ini, kenapa tidak nampak seorang pun? Padahal sore hari begini, biasanya orang-orang desa, terutama, perempuan-perempuan suka mengambil air....”
“Mungkin mereka takut, Jenderal," sahut seorang perwiranya.
“Takut?”
“Ya, begitu. Orang-orang desa selalu takut kepada orang-orang berseragam tentara seperti kita ini. Mereka dihantui anggapan lama, bahwa serdadu selalu merampas perbekalan, memperkosa dan menjatuhkan hukuman semena-mena....."
Li Giam menarik napas, la menoleh kepada Yo Kian-hi yang berdiri di sebelahnya, "Pergi ke desa itu. Katakan kepada penduduk desa bahwa kita adalah sahabat-sahabat mereka sehingga mereka tidak perlu takut. Kalau mereka ada keperluan dengan air telaga kecil ini, suruh mereka lakukan seperti biasa, kita tidak akan mengganggu mereka.”
“Baik, Jenderal." Yo Kian-hi melangkah menyusuri tepian melihat desa yang terlihat dari seberang telaga kecil itu. Jadi antara perkemahan tentara Li Giam dan desa itu berseberangan.
Matahari sudah tenggelam ke bawah garis cakrawala, tinggal sisa-sisa cahayanya di langit, ketika Yo Kian-hi melangkah memasuki desa itu. Dan ia tidak begitu heran lagi ketika melihat lorong di tengah-tengah desa itu begitu sepi, deretan rumah-rumah di kiri-kanannya menutup rapat-rapat pintu-pintu mereka. Tak seorang pun kelihatan, bahkan tak sebuah pelita pun dinyalakan meski hari sudah mulai gelap.
"Seragam prajurit ini agaknya menakut-nakuti orang-orang desa ini," Yo Kian-hi berkata dalam hatinya sambil mengamat-amati pakaiannya sendiri. “Orang-orang desa yang patut dikasihani. Mereka selalu ketakutan melihat orang-orang berpakaian prajurit, sebab mereka selalu mengalami nasib kurang baik dari para serdadu, dari pihak manapun, di masa perang atau damai.
Bahkan juga dari pihak Pelangi Kuning kami yang mengaku sebagai pembela-pembela rakyat. Ternyata kemenangan kami atas dinasti Beng tidak sertamerta diartikan oleh rakyat sebagai kemenangan mereka. Mereka tetap saja ketakutan. Dulu takut kepada prajurit-prajurit Beng dan sekarang kepada kami..."
Yo Kian-hi pernah mendengar bagaimana kelakukan prajurit-prajurit bawahan Lau Congbin maupun Gu Kim-sing. Bagaimana mereka yang mengaku "pejuang-pejuang pembebasan" itu menjadi momok-momok rakyat kecil dan sudah membangkrutkan banyak warungmakanan dengan kerakusan mereka. Kalau ditagih, mereka hanya mengingatkan kepada si pemilik warung akan jasa-jasa mereka.
Selain itu, Lau Cong-bin yang punya kegemaran berburu di luar kota dengan "pasukan bidadari"nya itu juga tidak kalah menimbulkan bencana pada rakyat pedesaan di luar kota Pakkhia. Tak terhitung kembang-kembang desa yang direnggut Lau Cong-bin si Jenderal Hidung Belang itu, sebagian masuk "koleksi"nya dan sebagian hanya "sekali pakai" langsung dibuang.
Jadi rakyat yang dulunya diperintah dinasti Beng, kemudian sekarang diperintah kaum Pelangi Kuning, hanya mengalami pergantian bendera tetapi tidak pernah mengalami pergantian nasib.
Yo Kian-hi yang melangkah di lorong desa yang sepi itu jadi teringat kata-kata Jenderal Li yang diulang-ulang senantiasa di hadapan perwira-perwiranya, "Berakarlah di hati rakyat, kalian akan kokoh. Rebutlah hati rakyat di suatu negara, dan kalian akan merebut negara itu." Itu bukan teori belaka buat Li Giam dan pasukannya, melainkan dipraktekkannya di jaman perjuangan dulu.
Waktu itu pasukan Li Giam mendapat sokongan dari rakyat, baik dalam hal perbekalan makanan maupun tenaga, tidak sedikit pemuda pedesaan yang bersimpati, lalu bergabung menjadi laskar Pelangi Kuning.
Akhirnya Yo Kian-hi memutuskan untuk mengetuk pintu salah satu rumah. Ia mengetuk, mula-mula perlahan, tetapi ketika lama tidak dibukai pintu, maka ketukannya pun jadi keras. Ketika ketukannya mulai keras, pintu dibuka dan seorang lelaki desa setengah baya langsung menyambutnya dengan berlutut di ambang pintu, apalagi setelah melihat pakaian perwira Yo Kian-hi,
"Ampun... ampun... Tuan Perwira, bukan kami penduduk desa ini yang meracuni air telaga itu... bukan kami... kami diancam oleh orang-orang itu dan bahkan ada yang sudah dibunuh..."
Yo Kian-hi terkesiap mendengar omongan itu. “Hei, Pak, apa maksudmu?”
L “Siang tadi ada belasan orang menebarkan racun di telaga itu. Penduduk desa kami diancam agar tidak memberitahu siapa-siapa tentang perbuatan mereka. Bahkan seorang warga desa yang banyak bertanya-tanya telah dibunuh mati oleh orang-orang kejam itu...."
Akhirnya batallah Yo Kian-hi melakukan seperti yang diperintahkan kepadanya oleh Jenderal Li Giam, yaitu menenteramkan hati penduduk. Bagaimana bisa tenteram, kalau Yo Kian-hi tiba-tiba membayangkan prajurit-prajuritnya bergelimpangan keracunan? Karena itu, Yo Kian-hi tiba-tiba saja meninggalkan tempat itu dan berlari sekencang-kencangnya menuju ke perkemahan, meninggalkan si lelaki desa yang terlongong-longong.
Ketika Yo Kian-hi tiba di perkemahan tentara, ia memang melihat kesibukan yang agak lebih dari biasanya. Ia bertanya-tanya, dan diberitahu kalau ada puluhan prajurit yang muntah-muntah setelah meminum air telaga kecil itu, beberapa di antaranya dalam keadaan gawat. Maka tabib tentara pun menjadi sibuk.
“Di mana mereka sekarang?”
“Di kemah pengobatan."
Yo Kian-hi berlari-lari ke kemah yang disebutkan itu, dan melihat di sekitar kemah itu banyak tubuh bergelimpangan, sementara para tabib dibantu serdadu-serdadu yang masih sehat sedang berusaha mati-matian menolong mereka. Ada yang ditekan-tekan perutnya agar muntah, ada yang diminumi obat dan sebagainya. Ada juga beberapa korban yang sudah diminggirkan karena sudah tidak tertolong lagi.
Tidak lama kemudian, Li Giam dan pengawal-pengawalnya pun datang ke tempat itu. Rupanya ia sudah mendapat laporan, dan dia heran melihat Yo Kian-hi sudah kembali ke tempat itu.
“Secepat ini kau kembali?" tanya jenderal Li.
Yo Kian-hi memberi hormat dan menjawab, "Dari orang desa pertama yang aku jumpai, aku langsung tahu tentang peristiwa keracunan di sini, lalu aku secepatnya kemari."
Seorang perwira Li Giam mengomentari dengan geram, "Pasti ini adalah ulah busuk sisa-sisa dinasti Beng. Banyak kabar yang mengatakan bahwa mereka masih sering berkeliaran di sekitar kota Pak-khia, di hutan-hutan dan gunung-gunung. Mereka pengecut yang tidak berani bersikap jantan, beraninya hanya menebarkan racun....."
Yo Kian-hi menyahut, "Bukan hanya sisa-sisa dinasti Beng yang ingin kita mampus, bahkan orang-orang yang mengaku seperjuangan dengan kita juga.....”
“Yo Kian-hi!”
Li Giam cepat-cepat memotong. Li Giam tahu Yo Kian-hi masih panas hati terhadap Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing, namun Li Giam khawatir kalau Yo Kian-hi mengeluarkan uneg-unegnya secara terbuka dan didengar oleh perwira-perwira lain, maka perpecahan akan menghebat di golongan Pelangi Kuning sendiri. Golongan yang sekarang sedang memerintah.
Seorang bertubuh pendek dan kurus yang sejak tadi berdiam diri dengan wajah murung di samping Jenderal Li, seorang yang berpakaian biasa dan tidak berseragam perwira, kini membuka suara, "Kejadian ini menyedihkan, tetapi kita tidak harus kehilangan pengendalian diri. Jangan sembarangan mengeluarkan pendapat yang akan lebih membingungkan seluruh pasukan, lebih baik kalau kita selidiki."
Lelaki pendek kurus itu agaknya mempunyai cukup kewibawaan atas diri Yo Kian-hi, sebab lelaki itu adalah Kakak-seperguruan Yo Kian-hi yang bernama Oh Kui-hou yang berjuluk Thailik Ku-hou (Macan Kerempeng Berkekuatan Raksasa). Meskipun ia gigih membantu perjuangan Li Giam sejak dulu, namun setelah Li Giam menjadi salah seorang tokoh di pemerintahan yang baru, Oh Kui-hou tetap emoh menerima kedudukan untuk jasa-jasanya.
Itulah sebabnya ia tidak berpakaian prajurit, bahkan tidak punya pangkat apa-apa, meskipun tetap berada di dekat Li Giam dan suaranya disegani siapa pun. Malahan Oh Kui-hou secara berkelakar pernah berkata, "Tubuhku terlalu kecil untuk berpakaian seragam prajurit. Nanti malah dikira anak kecil sedang bermain prajurit-prajuritan."
Ketika itu, langit sudah gelap, obor-obor sudah dinyalakan. Prajurit-prajurit yang kehausan terpaksa hanya berani minum sedikit-sedikit dari bekal air yang mereka bawa dari Pak-khia, tidak berani minum dari air telaga itu.
Jenderal Li berunding dengan pembantu-pembantu kepercayaannya, dan akhirnya memutuskan untuk menyuruh Yo Kian-hi mencoba menyelidiki pihak mana yang meracuni air itu.
“Tentu saja dalam penyelidikanmu tidak dalam pakaian seragam prajurit seperti itu.." kata Jenderal Li. “Pakailah pakaian preman. Dan ingat, ada batas waktunya. Besok pagi-pagi hari haruslah kau sudah kembali ke perkemahan ini untuk melapor, tidak peduli penyelidikanmu berhasil atau tidak.”
“Baik, Jenderal..." sahut Yo Kian-hi sudah akan beranjak pergi, namun langkahnya tertahan karena Jenderal Li berkata,
"Tunggu!”
"Masih ada pesan apa lagi, Jenderal?”
“Kau hanya boleh menyelidiki di sekitar tempat ini, tidak boleh sampai masuk kembali ke Pak-khia, meskipun Pak-khia belum jauh dari sini."
Yo Kian-hi menarik napas. Kadang-kadang sikap Jenderal Li yang kelewat berhati-hati itu membuatnya kesal juga. Toh ia menjawab juga, "Baik.”
“Satu hal lagi."
Yo Kian-hi mendengarkan dengan patuh, sekali pun hatinya sudah tidak sabaran. Ternyata hanya ini yang dikatakan Jenderal Li Giam, "Tugasmu hanya menyelidiki, tetapi tidak untuk bertindak menangani sendiri. Menyelidiki lalu melaporkan kepadaku, hanya itu, paham?"
Rupanya Li Giam khawatir kalau-kalau dalam urusan itu Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing berada di belakang layar sebagai dalang, dan kalau kepergok Yo Kian-hi yang berdarah panas itu, akan terjadi pertentangan terbuka antar jenderal-jenderal Pelangi Kuning.
Li Giam juga jengkel terhadap Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing, tetapi dalam kejengkelannya ia masih ingat bahwa pemerintahan Pelangi Kuning yang masih "bayi" itu membutuhkan persatuan, karena ada bahaya sisa-sisa dinasti Beng dan orang-orang Manchu di luar perbatasan. Itulah sebabnya ia tidak mengijinkan Yo Kian-hi bertindak sendiri, melainkan harus melaporkannya lebih dulu.
Yo Kian-hi pun berangkat, menembus gelapnya malam di luar perkemahan. Dalam pakaian orang biasa, namun sudah tentu tidak ketinggalan adalah sepasang pedang tebalnya yang tergendong menyilang di punggungnya. Di perkemahan sendiri, suasana tegang melingkupi di segala sudutnya.
Suara orang bercakap-cakap terdengar jarang-jarang, sehingga suara keluhan dari prajurit-prajurit yang keracunan yang dikumpulkan di kemah pengobatan terdengar nyata. Malam itu, beberapa prajurit lagi menyusul teman-temannya ke akherat, tetapi ada juga yang membaik setelah muntah-muntah dan minum obat. Dengan demikian, muncul masalah baru buat Li Giam.
Sudah tentu dia tidak dapat membawa pasukannya untuk melanjutkan perjalanan, setidak-tidaknya dalam beberapa hari, sampai prajurit-prajurit menjadi sembuh semuanya. Namun berkemah di tempat itu pun menimbulkan masalah, yaitu air.
Suasana perkemahan begitu sunyi, penjaga-penjaga disebar di pinggir-pinggir perkemahan, mengawasi setiap gerakan di luar perkemahan dengan waspada. Api unggun dinyalakan di beberapa tempat untuk menerangi keadaan.
Menjelang tengah malam, ketika sebagian besar penghuni perkemahan sudah lelap, dari sisi perkemahan yang berhadapan dengan hutan lebat, tiba-tiba meluncurlah dua butir batu yang langsung menghantam jidat dari dua prajurit yang berjaga di sebelah situ. Kedua prajurit itu tumbang seketika. Suasana jadi gempar. Prajurit-prajurit lain bersiaga sambil berseru-seru.
“Awas, ada serangan musuh!”
"Awasi pinggiran hutan itu!”
"Awasi tempat lain juga!”
Belum sampai diketahui siapa pelempar batu-batu itu, dari balik semak-semak di arah lain tiba-tiba berluncuran panah-panah, kembali beberapa prajurit menjadi korban. Bahkan ada panah-panah api yang membakar perkemahan. Sementara batu-batu pun kembali beterbangan dari tempat gelap, mengincar jidatjidat sasarannya....