Para prajurit Li Giam yang terlatih itu, meskipun pada mulanya terkejut, namun segera dapat mengatur diri. Serangan batu-batu dan panah-panah tidak banyak berarti lagi ketika prajurit-prajurit Li Giam mulai menggunakan tameng-tameng mereka.
Bahkan kelompok-kelompok yang berani mulai bergerak mendekati tempat asal serangan gelap itu, sambil membalas memanah meskipun sasarannya masih belum kelihatan, masih bertabir kegelapan.
Dari pinggir hutan dan dari semak-semak kemudian muncul puluhan orang yang pakaiannya beraneka ragam, dengan bersenjata beraneka ragam pula. Mereka segera bertempur dengan prajurit-prajurit Li Giam di pinggir perkemahan.
Salah seorang perwira Li Giam yang bertugas di tempat itu, agaknya otaknya jalan juga, la melihat orang-orang yang muncul itu hanya berjumlah puluhan, biarpun setangguh apa pun mereka, pasti tidak mungkin mengalahkan orang-orangnya Li Giam, sebab dalam perjalanan ke barat itu Jenderal Li membawa seribu prajurit.
Mungkinkah orang-orang yang menyerang itu tidak punya perhitungan, tidak bisa menghitung kekuatan sendiri dibandingkan dengan kekuatan lawan? Rasanya mustahil. Maka si perwira lalu meneriaki rekan-rekannya, "Jangan semuanya ke sini. Perketat penjagaan di sekitar kemah Jenderal Li...! Orang-orang ini hanya berusaha memancing kita kemari agar penjagaan di tempat Jenderal Li lemah!”
Agaknya perkiraan perwira itu benar. Orang-orang yang muncul dari pinggir hutan maupun dari semak belukar itu tidak berusaha merangsak ke tengah perkemahan, melainkan hanya bertempur di pinggir perkemahan yang gelap, tidak terjangkau cahaya obor, sambil berputar-putar di antara pepohonan dan bebatuan besar.
Taktik itu selain karena mereka jumlahnya kalah jauh dari prajurit-prajurit Li Giam, sekaligus juga memperkuat dugaan si perwira bahwa tugas mereka cuma memecah perhatian. Karena itulah, prajurit yang menangani kekacauan di pinggir perkemahan itu juga hanya beberapa regu, dan itu sudah cukup untuk menanggulangi pengacau-pengacau itu.
Mula-mula, para pengacau itu agak memandang remeh terhadap serdadu-serdadu itu. Dianggapnya serdadu-serdadunya Li Giam itu tidak ada bedanya dengan serdadu-serdadu "kantong nasi" lainnya yang hebat gerakannya tetapi tidak becus. Tetapi setelah bertempur, nyata bahwa prajurit-prajurit Li Giam yang selalu dilatih itu berbeda dengan prajurit-prajurit lain.
Prajurit-prajurit Li Giam bertempur tangguh baik dalam ikatan kelompok maupun secara perorangan, maka para penyerbu itu pun bertambah hati-hati. Bahkan ketika mereka bersuit, mereka mengundang teman-teman dengan suitan mereka itu.
Para penyerbu di pinggir hutan itu agaknya memang ditugaskan sekedar menarik perhatian, sebab tidak lama setelah mereka bertempur, dari dalam hutan muncul sekelompok orang lain yang berjumlah sedikit namun nyata adalah orang-orang yang tangguh.
Jumlahnya hanya belasan orang, tetapi mereka berlari amat kencang seperti angin, menyeberangi gelanggang pertempuran dan langsung hendak menembus penjagaan para prajurit ke dalam perkemahan. Senjata mereka juga aneh-aneh, ada yang bersenjata cangkul, kipas, bahkan ada yang di tangannya cuma membawa sepasang keranjang rotan.
Prajurit-prajurit Li Giam pernah mendapat petunjuk, kalau ketemu lawan yang aneh-aneh macam itu, tidak boleh memandang rendah. Begitu juga, munculnya sepuluh orang aneh ini membuat seorang perwira langsung mengingatkan pasukannya,
"Perketat penjagaan! Awas musuh-musuh baru!”
Ternyata prajurit-prajurit lapisan pertama yang mengawal perkemahan itu, tidak sanggup menghadang sepuluh orang aneh itu. Bukan saja karena kesepuluh orang itu berlari amat kencang dengan berkelok-kelok, juga karena mereka amat tangkas dan punya gerakan-gerakan aneh yang tidak terduga oleh para prajurit.
Para prajurit juga dilatih silat, namun dalam gerakan-gerakan dasar yang sederhana, dan kini menghadapi gerakan-gerakan "tidak normal" maka mereka pun bingung. Salah satu dari kesepuluh orang itu bertubuh pendek dan kurus mirip Oh Kui-hou, tetapi senjata yang dipakainya justru adalah sebatang toya yang panjangnya hampir tiga kali panjang badannya sendiri.
Orang mungkin bisa geli kalau melihat dia membawa senjatanya, sedang orang-orang bertubuh normal saja senjatanya tidak sepanjang itu. Namun dalam pertempuran itu, begitu si pendek kerdil beraksi, tidak ada lagi yang sempat merasa geli.
Mula-mula ia berlari kencang dan berkelok-kelok, menghindari para prajurit, dan ketika langkahnya terhadang oleh sekelompok prajurit yang membuat pagar betis sambil menodongkan tombak-tombaknya, si kerdil tiba-tiba menjatuhkan diri bergulingan dan menderulah toya maha-panjangnya, menyapu kaki para prajurit, sehingga para prajurit roboh berpelantingan.
Si pendek kerdil pun melompat bangun dan memasuki perkemahan karena pertahanan sudah bobol. Di pihak lain, ada seorang musuh berpakaian jubah macam kaum terpelajar, begitu pula topinya, dan senjatanya juga cuma sebuah kipas bersulam gambar kembangkembang.
Ketika langkahnya dihadang beberapa prajurit, ia cuma mengebutkan kipasnya, dari kipas itu menghambur bubuk lembut seperti pupur, baunya pun wangi seperti pupur, namun ternyata para prajurit bertumbangan jatuh setelah menghisap "pupur" itu.
Si kipas-kembang pun melaju ke dalam perkemahan tanpa tertahan. Yang paling aneh adalah seorang penyerbu yang bertubuh tegap gempal, jelas-jelas seorang lelaki, namun ia memakai pakaian wanita dan senjatanya adalah sepasang keranjang rotan, seperti orang hendak berbelanja ke pasar saja.
Menghadapi hadangan para prajurit, ia terkikik-kikik genit, berlenggang-lenggok menghindari para prajurit, lagaknya seperti perempuan yang hendak dicubit lelaki kurang ajar di tengah pasar. Sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindar, ia berkali-kali menjerit kecil seperti perempuan.
Namun begitu ia "mengaktifkan" sepasang keranjang rotannya, hasilnya pun mengejutkan. Seorang prajurit menebas dengan goloknya, dihindarinya sambil menjerit seperti perempuan genit,
"Iiiiih, jangan kurang ajar ah, aku panggilkan kakakku lho..." Lalu sambil menjerit manja, "Ini lho, Kak, Adikmu dinakali orang...." keranjang di salah-satu tangannya menghantam ke wajah si serdadu yang "menakalinya itu.
Si serdadu tidak bisa nakal lagi karena wajahnya remuk seperti semangka dijatuhkan dari atap rumah. Para prajurit segera sadar kalau Si Banci ini ternyata cukup berbahaya. Mereka mencoba menahan, tetapi tidak berhasil. Si Banci langsung melesat ke dalam perkemahan sambil tertawa terkikik-kikik genit.
Perwira yang memimpin pertempuran di pinggir perkemahan itu segera insyaf betapa gawatnya keadaan, keselamatan Jenderal Li benar-benar terancam oleh munculnya sepuluh orang jagoan aneh yang tak terbendung itu.
Namun perwira itu juga tidak dapat meninggalkan prajurit-prajuritnya bertempur tanpa pimpinan di situ, maka ia hanya menyuruh seorang prajuritnya untuk melapor kepada Jenderal Li tentang ancaman bahaya itu.
“Mudah-mudahan para pengawal pribadi Jenderal dapat menahan orang-orang gila itu..."
Memang Li Giam punya 30 orang pengawal pribadi yang kelasnya di atas rata-rata prajurit. Di samping itu, di samping Li Giam masih ada Thai-lik-ku-hou Oh Kui-hou yang membuat perwira itu sedikit lega.
Sementara itu, sepuluh jagoan aneh itu terus merangsak ke tengah-tengah perkemahan. Meskipun perlawanan para prajurit Li Giam cukup gigih, namun belum berhasil menahan mereka. Mereka benar-benar regu pembunuh yang diupah untuk membunuh Li Giam. Dan mereka tidak menyembunyikan maksud mereka.
Ketika mereka dibentak oleh para prajurit, ditanyai apa maksudnya, Si Banci menjawab sambil cekikikan, "Kami datang cuma untuk berbelanja, membeli batok kepalanya Li Giam untuk dibuat sup. Hi-hi-hi... kalian prajurit-prajurit manis-manis dan tampan-tampan, lebih baik minggir. Tulang-tulang kalian tidak seenak tulangnya Li Giam, kami tidak berselera..."
Sudah tentu para prajurit yang setia kepada Li Giam itu tidak mau disuruh minggir begitu saja. Mereka melawan dengan gigih, meskipun beberapa orang jatuh menjadi korban keganasan regu pembunuh itu. Prajurit-prajurit Li Giam juga sudah menggunakan senjata-senjata jarak-jauh seperti panah dan lembing, tetapi rupanya tidak banyak berarti buat kesepuluh orang itu.
Akhirnya orang-orang itu tiba juga di depan kemah Li Giam. Kemah Li Giam mudah dikenali di antara kemah-kemah sebanyak itu, sebab di puncak kemah berdiri bendera besar bertulis huruf "Li". Li Giam sudah berdiri di depan kemahnya dengan pakaian perang, didampingi oleh Oh Kui-hou, dan dikelilingi pengawal pribadinya yang bersiaga.
Bagaimanapun besarnya nyali para pembunuh itu, namun kini mereka agak tergetar juga oleh kewibawaan Li Giam. Li Giam bukanlah orang yang mahir dalam pertempuran perseorangan, tetapi nama besarnya sebagai seorang Jenderal Pelangi Kuning yang banyak jasanya, mau tidak mau ada wibawanya juga.
Sementara itu, prajurit-prajurit Li Giam yang tidak termasuk pengawal pribadi, juga telah melingkari tempat itu. Bagaimanapun hebatnya pembunuh-pembunuh itu, mereka takkan membiarkan begitu saja Li Giam dibunuh.
Para perwira yang kemampuan tempur perorangannya lebih baik dari prajurit-prajurit biasa, menempatkan diri di depan, dan siap bergabung bersama para pengawal pribadi untuk menghalang-halangi niat kesepuluh orang itu.
Beberapa saat suasana sunyi mencekam, sampai Oh Kui-hou lah yang memecahkan kesunyian dengan suara tertawanya, "Luar biasa. Tujuh Pembunuh dari Gurun Utara dan Tiga Serigala Perbatasan yang biasanya berebutan rejeki, kini bergabung dalam satu regu dan melakukan kunjungan tak terduga ini. Selamat datang, sobat-sobat.
"Tetapi barangkali aku hanya bisa mengucapkan 'selamat datang' namun takkan dapat mengucapkan 'selamat jalan' sebab kalian takkan bisa pergi dari sini, kecuali ke rumah nenek-moyang kalian. Kalian sudah membunuhi prajurit-prajurit kami."
Seorang bertubuh sedang, berambut panjang terurai dengan wajah pucat yang ganas, menjawab perkataan Oh Kui-hou itu, "Kami bertujuh bisa datang, tentu bisa pergi juga, tidak peduli perkenan kalian. Kami mau mengambil batok kepala Li Ciam, setelah itu kami akan pergi, coba kalian bisa menghalangi kami atau tidak."
Seorang lainnya, yang berwajah penuh bulu dan memegang Long-ge-pang (Tongkat Gigi Serigala), yaitu tongkat besi yang di salah satu ujungnya "dihiasi" berlarik-larik gigi tajam yang mirip geraham serigala, mendengus dingin dan membantah Si Muka Pucat, "Toat-sat, jangan bermulut besar. Kamilah yang akan membawa pergi kepalanya Li Giam."
Rupanya, seperti kata-kata Oh Kui-hou yang mengenali mereka bersepuluh, sepuluh orang itu tidak terdiri dari satu kelompok saja, melainkan dua kelompok yang bergabung. Bergabung sambil sekaligus bersaing juga memperebutkan hadiah, siapa yang berhasil membunuh Li Giam.
Kelompok yang tujuh orang disebut Pak-bok-jit-sat (Tujuh Pembunuh Gurun Utara), Si Muka Pucat tadi adalah orang pertamanya. Sedang yang bersenjata Long-ge-pang adalah orang tertua dari kelompok Tiga Serigala Perbatasan. Mereka datang bersama-sama ke perkemahan itu, karena tenaga mereka disewa orang, dan mereka mengajak anak buah masing-masing.
Saat itu, suara pertempuran di pinggir perkemahan masih terdengar. Mereka pula yang menyebarkan racun di telaga, dengan harapan Li Giam dan pengiring-pengiringnya akan keracunan dan mati semua, atau setidak-tidaknya menjadi lemah sehingga perkemahannya gampang diterobos. Itulah yang membuat mereka berani menerjang ke perkemahan.
Demikianlah, meskipun batok kepala Li Giam masih nongkrong di atas lehernya, mereka sudah berani memperebutkannya, seolah-olah kepala itu sudah copot dan sudah boleh diperebutkan.
Keruan Oh Kui-hou menjadi gusar, dan berkata, "Kalian tidak usah berebutan. Lebih baik bersatu, menggabungkan tenaga, dengan demikian perlawanan kalian akan sedikit lebih kuat, meskipun akhirnya akan sama saja, kalian akan mati juga di tempat ini."
Si Banci bersenjata sepasang keranjang rotan itu menyahut, pura-pura berkata kepada pemimpinnya yang berambut panjang dan bermuka pucat, "Kak, siapa Si Kerdil ini? Mulutnya besar juga, aku jadi ingin membawa kepalanya juga....."
Sementara itu, meskipun Oh Kui-hou sedang marah karena "tamu-tamu" kurang ajarnya itu, namun tidak kehilangan perhitungannya. Ia merasa berat juga harus menghadapi sepuluh pembunuh profesional yang seumur hidupnya memang hanya berlatih memahirkan teknik-teknik membunuh itu.
la mengukur dirinya sendiri paling-paling hanya bisa mengimbangi Tiga Serigala Perbatasan, sedangkan Tujuh Pembunuh Gurun Utara harus ditangani oleh orang lain kecuali Oh Kui-hou sendiri.
"Andaikata Yo Kian-hi ada...." pikir Oh Kui-hou. Yo Kian-hi adalah adik seperguruannya, tetapi lebih jago dari dirinya, sebab lebih berbakat. Sayang, saat itu Yo Kian-hi justru sedang pergi, seandainya tidak, paling tidak empat orang dari Tujuh Pembunuh akan bisa dihadapi sekaligus oleh Yo Kian-hi dengan sepasang pedang tebalnya.
Namun tidak ada gunanya berandai-andai di hadapan lawan-lawan kejam yang sudah di depan hidung itu. Oh Kui-hou memberikan petunjuk seperlunya dengan berbisik-bisik kepada komandan pengawal pribadi, bagaimana menghadapi Tujuh Pembunuh itu.
Sudah tentu mereka bertujuh tidak bisa dilawan secara perseorangan, sebab hal itu hanya akan menambah jumlah korban di pihak Li Giam. Oh Kui-hou mencoba membesarkan hatinya, dengan mencoba memberi "nilai" kepada beberapa pengawal pribadi Jenderal Li. Meski tak seorang pun yang setara dengan Yo Kian-hi, tetapi ada beberapa orang dan mereka akan maju bersama-sama.
Sementara itu, Si Banci melangkah mendekat Oh Kui-hou sambil tertawa terkikikkikik, sambil berkata, "He, orang kerdil, apa yang sedang kau bisik-bisikkan? Apakah kau sedang menitipkan pesan untuk keluargamu di rumah sebelum kau mampus?"
Suatu gagasan tiba-tiba melintas di benak Oh Kui-hou. "Si Banci itu agaknya memandang remeh aku, pikir Oh Kui-hou, kalau begitu malah bagus. Dengan serangan kilat bisa kuhabisi dia, jadi mengurangi jumlah lawan dan meringankan pihakku."
Karena itulah Oh Kui-hou sengaja menunjukkan sikap gentar dan melangkah mundur sementara Si Banci mendekatinya. Namun Si Muka Pucat berambut panjang agaknya punya naluri yang tajam, yang dapat "mencium" gelagat betapa berbahayanya Oh Kui-hou yang tampangnya tidak seberapa itu. Karena itu, dia pun memperingatkan Si Banci.
“Hati-hatilah, Si Kerdil ini jangan kau anggap remeh, sebab..." Kata-kata peringatannya belum selesai karena Oh Kui-hou sudah bertindak mendahului dengan gerakan yang cepat, bahkan maha cepat, tidak memberi kesempatan calon korbannya menjadi waspada oleh peringatan kawannya.
Oh Kui-hou tiba-tiba saja melejit laksana seekor belalang ke arah Si Banci. Sepasang tangannya terkembang seperti sayap-sayap elang, namun sepasang cambuk panjangnya masih tergulung di kedua genggamannya, belum diurai. Gerak lompatannya itu barulah suatu gerak pancingan.
Si Banci memang amat kaget melihat lompatan kilat itu, dia mengira mukanya akan ditendang, maka menggunakan sepasang keranjang rotannya sekaligus untuk membela diri dan balas menyerang. Dengan keranjang di tangan kiri ia hendak "menangkap" kaki Oh Kui-hou, sekaligus keranjang rotan yang lain hendak menghantam lambung Oh Kui-hou.
Saat itulah cambuk di tangan kanan Oh Kui-hou menggeletar dahsyat mengguncang udara malam di tepi telaga kecil itu, membuat lingkaran-lingkaran panjang untuk menjerat sepasang lengan Si Banci. Tujuan Oh Kui-hou dengan lompatan kilatnya tadi memang memancing agar sepasang lengan musuh "keluar" untuk bisa dijerat.
Sepasang lengan Si Banci memang tak sempat ditarik mundur, masuk ke dalam lingkaran-lingkaran itu dan terjerat erat. Tetapi Si Banci agaknya juga seorang yang tangkas, ia malah melompat maju mengikuti tarikan cambuk Oh Kui-hou atas lenganlengannya yang terjerat.
Ia bermaksud membenturkan tubuhnya yang tinggi gempal itu ke tubuh Oh Kui-hou yang pendek-kecil supaya Oh Kui-hou "ringsek" dan mendapat kesempatan untuk melepaskan lengan-lengannya.. Tak terduga saat itulah cambuk di tangan Oh Kui-hou "keluar" pula.
Si Banci terkejut, tidak menyangka kalau lawannya bersenjata sepasang cambuk. Maklum malam cukup gelap sehingga ia tidak melihat cambuk yang tergulung rapi di telapak tangan itu. Lagi pula tidak lazim orang bersenjata sepasang cambuk, sebab kalau tidak benar-benar mahir maka cambuk itu malahan akan saling membelit dan merepotkan diri sendiri.
Maka "keluar"nya cambuk kiri Oh Kui-hou yang bagaikan kilat itu mengejutkan Si Banci dan untuk sedetik mematikan seluruh reaksinya untuk menangkalnya.
“Lan-lan, awas...." beberapa teman-temannya dari kelompok Tujuh Pembunuh serempak berseru dengan cemas.
Rupanya Si Banci ini benar-benar lebih senang jadi perempuan, sehingga namanya pun nama perempuan. Bahkan salah seorang dari rekannya, yaitu Si Cebol yang bersenjata toya yang tiga kali panjang tubuhnya, sudah menubruk maju dengan nekad untuk menolong Lan-lan si banci. Ujung toyanya yang amat panjang itu disodokkan ke ulu hati Oh Kui-hou.
Sayangnya, segala seruan peringatan dan tindakan pertolongan itu terlambat semuanya. Pertama, karena Oh Kui-hou sudah menyiapkan serangan dadakannya itu dengan baik dan gerakannya tanpa ragu-ragu, sebaliknya Si Banci Lan-lan ketika serangan itu terjadi sedang dalam sikap memandang remeh lawannya, karena belum kenal siapa lawannya.
Dua faktor yang membuat rencana Oh Kui-hou sukses, yaitu mengurangi jumlah lawan dengan segebrakan saja. Cambuk Oh Kui-hou yang sebelah kiri menyambar samping leher Lan-lan. Cambuk itu hanyalah helai-helai kulit tipis yang dianyam tiga helai jadi satu, namun di tangan Oh Kui-hou menjadi begitu tajam sehingga leher Lan-lan sampai hampir putus.
Si Banci yang jadi anggota kelompok Tujuh Pembunuh Gurun Utara itu pun roboh dan menggelepar sebentar di rerumputan seperti ayam disembelih sebelum terdiam selama-lamanya. Sementara Oh Kui-hou harus cepat-cepat bergulingan menghindari ujung toya Si Cebol yang hampir saja menyodok ulu-hatinya.
Si Cebol itu menatap tubuh Lan-lan, air matanya tiba-tiba mengalir deras, tanpa malu-malu berlutut di samping tubuh Lan-lan sambil terisak-isak dan berkeluh-kesah,
"Lan-lan.... tak kuduga hanya sampai sekian saja kita bersama-sama. Sungguh aku tidak akan melupakan saatsaat indah..." Dan seterusnya. Cukup panjang kata-katanya, yang cukup untuk dijadikan lima buah lagu cengeng sekaligus.
Orang-orang dari kelompok Tujuh Pembunuh memang tahu kalau antara Si Banci Lan-lan dan Si Cebol bertoya panjang itu ada "hubungan istimewa" meskipun kedua-duanya adalah laki-laki. Tidak mengherankan Si Cebol begitu meratapi kematian "pacar"nya.
Sementara Oh Kui-hou sudah berdiri bersiap di depan tubuh Jenderal Li, menjadi perisainya, sepasang cambuknya sudah tergulung rapi di tangannya kembali. Begitu cepat ia melakukannya, secepat seekor ular menarik lidahnya, atau seekor kodok menarik lidahnya sehabis menyambar seekor nyamuk di udara.
Oh Kui-hou lega "rencana jangka pendek"nya sukses, tetapi sadar bahwa pekerjaan bagi pihaknya cukup berat. Seperti rencana yang dibisikkannya kepada perwira-perwira pengawal pribadi Jenderal Li tadi, Oh Kui-hou akan mencoba menahan Tiga Serigala Perbatasan sekaligus, dan para pengawal akan mencoba menahan Tujuh Pembunuh yang sekarang tinggal enam. Tetapi segalanya bisa saja berjalan melenceng dari rencana.
Sementara itu, Si Cebol yang kehilangan kekasih itu sekarang menjadi kalap, la bangkit dengan mata berapi-api memandang Oh Kuihou, sambil memungut toyanya. Geramnya dengan gigi gemeretak, "Manusia cebol, kau sudah membunuh Lan-lan, sekarang kau harus membayar dengan jiwamu sendiri!”
Demikianlah dia mencaci Oh Kui-hou sebagai "manusia cebol" padahal ia sendiri lebih pendek dari Oh Kui-hou. Dan begitu selesai kata-katanya, ia melompat seperti serigala dengan toya menyodok ke arah Oh Kui-hou.
Kui-hou melompat menghindar sambil berdesis, "Sesuai rencana!”
Sesuai dengan rencana yang tadi sudah dirundingkan secara berbisik-bisik dengan para perwira, Oh Kui-hou akan menghadapi Tiga Serigala sekaligus, karena itu ia tidak akan terpancing menghadap Si Cebol bertoya panjang itu. Demikianlah Oh Kui-hou bergulingan cepat menjauhi Si Cebol.
Sementara Si Cebol dengan penuh dendam kesumat terus memburu sambil memutar toyanya, dan berteriak sengit, "Hei, Cebol! Jangan menghindari aku! Kau harus membayar hutang darah kekasihku!”
Dari tempat yang tak terjangkau toya orang itu, Oh Kui-hou membalas mengejek, "Hei, orang yang lebih cebol dari aku, jadi lelaki jelek yang bukan manusia bukan siluman itu kekasihmu?"
Si Cebol tambah gusar, biarpun Si Lan-lan itu di mata orang lain adalah lelaki banci jelek yang tingkah-lakunya membuat bulu-kuduk berdiri, tetapi bagi Si Cebol adalah kekasih yang tak tertandingi kejelitaannya. Bahkan andaikata Si Cebol disuruh memilih antara Lan-lan dan Tan Wan-wan yang disebut-sebut sebagai perempuan tercantik di kolong langit, pastilah Si Cebol akan memilih Lan-lan.
Ejekan Oh Kui-hou seperti minyak disiramkan ke dalam api, toya-super-panjang si pendek itu membawa deru angin keras menyambar lagi ke pinggang Oh Kui-hou. Namun para pengawal pribadi Jenderal Li Giam juga bertindak sesuai dengan rencana seperti yang dibisikkan Oh Kui-hou.
Seorang pengawal yang bersenjata tameng besi di tangan kiri dan golok di tangan kanan, segera melompat maju dan menyodorkan tamengnya untuk menahan laju toya Si Cebol. Terdengar suara berdentang amat keras ketika tameng digebuk toya.
Tameng itu menjadi cacad permukaannya, memunculkan sebuah jalur bekas toya, sedangkan lengan si pengawal yang memegangnya terasa linu, seolah-olah persendiannya copot semua, dan tubuhnya yang tegap itu sampai rebah ke rerumputan saking kuatnya gebukan Si Cebol.
Dengan amarah meluap-luap, Si Cebol berteriak kepada si pengawal, "Kau menghalangi aku membalaskan kematian kekasihku, kalau begitu biarlah kau dulu yang mampus!”
Dan toyanya menyambar ke kepala si pengawal yang belum sempat bangkit dan tentu saja belum dapat membela diri dengan baik kecuali mengangkat perisainya tinggi-tinggi. Tetapi pengawal-pengawal lain tidak membiarkan rekan-rekannya terancam bahaya.
Seorang pengawal lain, yang juga bersenjata toya tetapi berukuran "normal", menghadang toya Si Cebol dengan toya sendiri, sementara seorang pengawal lainnya melompat menyerang dengan pedangnya, dan dari arah lain seorang rekannya menyerang Si Cebol dengan bandringan berantai.
Begitulah, karena Si Cebol ini bersenjata kelewat panjang, maka pengawal-pengawalnya Li Giam harus bekerjasama untuk menghadapinya. Ada yang menahan senjata musuh dan ada yang menyerang.
Pengawal-pengawal itu juga bukan orang bodoh, mereka merangsek dan berusaha dalam pertempuran jarak dekat yang pasti akan merepotkan sekali lagi Si Cebol yang bersenjata amat panjang.
Tak terduga Si Cebol agaknya sudah siap menghadapi kejadian seperti ini. Ia melompat mundur beberapa langkah, dan seolah-olah ia mematahkan toya panjangnya menjadi beberapa bagian, dan berubahlah toya super panjang itu menjadi empat batang tongkat sedang yang satu sama lain dihubungkan dengan cincin-cincin.
Orang lazimnya mengenal senjata yang disebut Sam-ciat-kun (Toya Tiga Ruas), tetapi yang dipegang Si Cebol ini adalah Si-ciat-kun (Toya Empat Ruas). Dengan toya empat ruasnya inilah dia menghadapi empat orang pengawalnya Li Giam, termasuk yang bersenjata tameng tadi. Rupanya toya panjang Si Cebol itu bagian dalamnya berongga, sehingga bisa menjadi toya panjang, bisa juga menjadi toya empat ruas.
Para pembunuh bayaran dari Gurun Utara tidak membiarkan rekan mereka dikeroyok. Atas perintah pemimpin mereka, sisa lima orang lainnya termasuk pemimpinnya yang berambut panjang itu, maju menyerbu.
Sesuai dengan rencana, pengawal-pengawal Li Giam pun menghadang mereka, dibantu perwira-perwira bukan pengawal yang sedikit banyak harus diperhitungkan juga.
Demikianlah, sementara di pinggir perkemahan terjadi pertempuran yang belum selesai, di dalam perkemahan, dikemah Li Giam pun terjadi pertempuran yang lebih hebat. Orang-orang yang bertempur lebih sedikit jumlahnya, namun lebih hebat sebab yang sedikit itu adalah jagoan-jagoan ulung.
Karena perkemahan Li Giam itu menghadap ke arah danau, maka pertempuran antara pembunuh-pembunuh bayaran dengan pengawal-pengawal Li Giam pun meluas sampai ke tepian danau, bahkan ke dalam air yang dalamnya sampai ke lutut.
Sementara itu, Tiga Serigala yang datang bersama dengan Tujuh Pembunuh namun tidak benar-benar bersatu hati, sekarang melihat V 2kesempatan untuk merebut pahala bagi kelompok mereka sendiri tanpa mengikut-sertakan kelompok Tujuh Pembunuh.
Di kalangan hitam, saling sikut di antara sesama teman adalah soal biasa, bahkan seandainya mereka sedang terikat dalam perjanjian kerjasama. Tiga Serigala itu adalah tiga kakak-beradik, dua lelaki dan satu perempuan, yang wajahnya mirip satu sama lain. Dan kalau dilihat dari senjata-senjata yang mereka bawa, bisa ditebak kalau mereka adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan.
Si Kakak Tertua bersenjata Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala) yang bobotnya berat, si Nomor Dua bersenjata sepasang tongkat masing-masing satu meter panjangnya, dan untuk menegaskan ciri kelompok Tiga Serigala, di batang tongkat itu juga diberi berlarik-larik gerigi yang mirip gigi serigala.
Yang nomor tiga adalah perempuan, tidak muda lagi, tetapi dengan dandanannya dan rias wajahnya yang dahsyat dia berusaha tampak muda, senjatanya juga sepasang Tongkat Gigi Serigala seperti Kakak-keduanya, namun agaknya lebih ringan bobotnya, disesuaikan dengan pembawaannya sebagai seorang perempuan.
Melihat sebagian besar pengawal Li Giam sudah terlibat dengan kelompok pembunuh Gurun Utara, ketiga "serigala" ini saling bertukar isyarat mata, dan mereka pun merencanakan suatu sergapan mendadak atas Li Giam. Tanpa sepatah kata pun mereka "berunding" dengan isyarat mata mereka.
Dan mereka memutuskan Li Giam akan mereka tangkap hidup-hidup dulu, sebagai sandera agar mereka bisa meninggalkan tempat itu. Nanti setelah tidak dikejar Jagi, barulah Li Giam akan mereka sembelih dan batok kepalanya akan ditukar dengan hadiah dari orang-orang yang menyewa mereka.
Tetapi, mereka tidak mau langsung menerjang begitu saja, sebab mereka telah melihat Oh Kui-hou bergeser ke dekat Jenderal Li. Agaknya Oh Kui-hou tidak pernah lengah mewaspadai ketiga serigala itu. Tiga Serigala itu mulai bergeser maju, membuat sisa pengawal Li Giam yang belum "kebagian" lawan berwaspada, begitu pula Oh Kui-hou.
Tetapi sekian lama ketiga "serigala" itu belum bertindak juga, mereka rupanya sedang membuat perhitungan-perhitungan. Oh Kui-hou juga menghitung-hitung.
Menurut teori, menghadapi keroyokan musuh yang lebih dari satu, tidak boleh membiarkan musuh mendekat dalam garis menebar, sebab itu berarti membiarkan musuh menyerangnya dari sudut yang berbeda-beda dan akan sangat merepotkan.
Harusnya Oh Kui-hou mengambil posisi sedemikian rupa, sehingga ketiga lawannya akan selalu dalam posisi "antri" ke belakang hingga tidak bisa menyerang serempak. Harusnya begitu menurut teori.
Tetapi keadaan itu begitu khusus, di situ ada Jenderal Li Giam yang harus dilindunginya, sehingga Oh Kui-hou tidak bisa menerapkan teori "mengantrikan lawan", meskipun Li Giam masih ditemani beberapa pengawal namun V 32 cukup riskan kalau harus menghadapi pembunuh-pembunuh bayaran itu.
Begitulah, Oh Kui-hou mau tidak mau harus menghadapi tiga lawan dalam keadaan menebar itu. Namun Oh Kui-hou diam-diam mengincar si "serigala" ketiga kelihatannya paling lemah, untuk dibereskan lebih dulu dengan serangan mendadak seperti tadi dia membereskan Si Banci Lan-lan.
Kalau pun tidak seberhasil tadi, kalau bisa menciderainya akan bisa menjadi "keuntungan awal" yang barangkali saja bisa mengendorkan semangat lawan. Maka Oh Kui-hou pura-pura melangkah maju menyongsong si "serigala" pertama, sudut matanya mengincar ke "serigala" ke tiga.
Si "serigala" pertama menunggu dengan tegang karena tadi sudah melihat kehebatan Oh Kuihou ketika menjatuhkan satu dari Tujuh Pembunuh hanya dalam segebrakan. Sementara kedua adiknya bersiaga di kiri kanannya.
Bentakan Oh Kui-hou menggelegar, cemeti panjangnya yang di tangan kiri tiba-tiba menggeletar pula memenuhi angkasa seperti seribu petir mengamuk berbareng. Ketika perhatian ketiga lawannya tertarik ke cemeti yang kiri, cambuk kanan "keluar sarang" tanpa suara dan menyapu pasir di tanah sehingga muncrat ke wajah ketiga lawannya.
“Licik!” seru Si Serigala Pertama, sambil memalingkan muka menghindari pasir masuk ke mata, la mengira dirinyalah sasaran utama Oh Kui-hou, sebab bukankah tadi Oh Kui-hou sudah memelototinya terus? Begitu juga kedua adiknya menyangka, sehingga kedua-duanya serempak berseru,
"Awas, Kakak!”
Kedua "serigala" yang lain pun harus menghindari pasir yang beterbangan itu. Namun mereka sama sekali tidak menduga kalau Oh Kui-hou tiba-tiba menubruk ganas ke arah Serigala Ketiga dengan sabetan sepasang cambuk yang beruntun dan membingungkan. Serigala Pertama dan Serigala Kedua kaget, berlomba-lomba mereka hendak menyelamatkan adik mereka.
Tetapi agak terlambat, sepasang tongkat gigi serigala di tangan si adik perempuan itu sudah dibelit V 3cambuk dan direnggut lepas sehingga terlempar ke dalam danau kecil oleh cambuk kiri Oh Kuihou. Sedang cambuk kanan Oh Kui-hou berhasil menyabet betis si Serigala Ketiga sehingga celana dan kulitnya robek. Serigala Ketiga menjerit. Serigala Pertama dan Serigala Kedua beringas menerjang.
Oh Kui-hou meladeninya dengan semangat berkobar, namun pada saat pertempuran dimulai, Oh Kui-hou sudah memetik keuntungan lebih dulu. Begitulah di depan kemah Jenderal Li di tepi telaga itu terjadi pertarungan sengit antara para pembunuh bayaran dan pengawat-pengawalnya Li Giam. Para prajurit yang kurang tinggi ilmunya hanya bisa menonton di sekeliling arena, sambil mengangkat obor-obor mereka tinggi-tinggi.
Sementara suara pertempuran di pinggir perkemahan juga masih terdengar. Pengawal-pengawal Li Giam yang berjumlah banyak, untuk sementara bisa menahan Tujuh Pembunuh yang tinggal enam setelah matinya Si Banci itu.
Namun kemudian terlihat bahwa pemimpin dari kelompok Tujuh Pembunuh itu, si lelaki berwajah pucat dan berambut panjang, memiliki kelebihan dari rekan-rekannya dan di sini Oh Kui-hou agak salah hitung. Orang ini bersenjata pedang yang bentuknya sempit dan ujungnya amat runcing, agak berbeda dengan pedang-pedang biasa.
Caranya bermain pedang sungguh ganas didukung gerakannya yang cepat dan langkah kakinya yang lincah menyelinap ke sana kemari. Oh Kui-hou sudah "menjatah" orang ini dengan lima orang pengawal pilihan, dan ia menganggap itu cukup.
Ternyata yang lima orang itu dalam waktu singkat sudah tinggal dua orang yang kebingungan menghadapi kecepatan gerak Si Muka Pucat. Beberapa pengawal lagi terjun ke gelanggang, menghadang Si Muka Pucat ini, tetapi kelihatannya tidak akan banyak menolong.
Kecepatannya terlalu sulit ditandingi oleh pengawal-pengawal biasa, yang bagaimanapun juga hanyalah prajurit-prajurit V 3biasa yang memiliki kelebihan dari temantemannya lalu dipilih menjadi pengawal pribadi. Tidak jarang para pengawal itu malahan saling bertubrukan sendiri karena sasarannya menghilang begitu saja dengan gerak mahacepatnya.
Dari jarak agak jauh, Oh Kui-hou juga bisa melihat kesulitan para pengawal menghadapi pimpinan Tujuh Pembunuh Gurun Utara itu. Beberapa pengawal sudah tewas, dan korbankorban berikutnya pasti akan menyusul kalau keadaan tidak segera berubah. Tetapi Oh Kuihou tidak tahu harus berbuat apa, sebab dirinya sendiri sibuk menghadapi Tiga Serigala.
Serigala Ketiga yang kehilangan sepasang tongkat gigi serigala dan luka betisnya itu pun ternyata masih mampu bertempur mengeroyok Oh Kuihou bersama kakak-kakaknya, yaitu setelah membalut betisnya dengan robekan baju, lalu mengeluarkan sepasang pisau belati.
Dengan demikian, si pimpinan kelompok Tujuh Pembunuh itu agaknya takkan bisa dihadang dalam usahanya mendekati Li Giam. Para pengawal Li Giam tidak segan-segan kehilangan nyawa demi pemimpinnya, namun keberanian dan ke-nekadan saja tidak cukup untuk membendung Si Muka Pucat.
Para prajurit lain, yang tidak termasuk pengawal Li Giam, agaknya juga merasakan gelagat ancaman terhadap Jenderal mereka, maka mereka menempatkan diri berlapis-lapis di depan Jenderal Li, sedangkan jenderal Li sendiri diungsikan agak jauh dari kemah. Si Muka Pucat menjadi gusar karena jadi lebih sulit mendapatkan Li Giam.
Tetapi dalam gusarnya ia malahan tertawa melengking dan berkata, "Percuma menyembunyikan Li Giam biar sampai ke ujung bumi sekalipun. Biarpun sampai ke langit juga. Kalau aku sudah mengincarnya, aku akan mendapatkannya. Dan semakin banyak orang yang dipasang untuk melindungi nyawanya, hanya akan menambah jumlah korbanku saja!”
Ucapannya mungkin kedengaran amat sombong, yang terang, satu detik setelah ucapannya itu, pedang tipis-runcingnya berkelebat amat cepat dalam gerak tipu Thaipeng-tian-ci (Garuda Membentangkan Sayap), dengan tusukan dua kali ke kanan dan kiri, dia merobohkan lagi dua pengawal. Para pengawal yang terlatih itu jadi kelihatan begitu lamban di hadapannya.
Namun sesosok bayangan tiba-tiba meluncur datang seolah-olah dijatuhkan dari langit, dan langsung menjawab, "Apa iya?"
Seorang pemuda bertubuh tegap dan beralis tebal, dengan sepasang gagang pedang yang mencuat dari belakang sepasang pundaknya yang kekar. Dialah Yo Kian-hi yang sore tadi ditugaskan Jenderal Li untuk menyelidiki siapa yang meracuni air telaga kecil itu, namun Yo Kian-hi belum sempat menemukan apa-apa ketika mendengar suara pertempuran di perkemahan Jenderal Li, sehingga ia bergegas balik ke perkemahan.
Si Muka Pucat menudingkan pedangnya, "Siapa kau?”
“Salah seorang bawahan Jenderal Li."
Si Muka Pucat tidak mempercayai jawaban itu begitu saja, cara datangnya maupun penampilan Yo Kian-hi yang lain daripada yang lain menunjukkan kalau Yo Kian-hi pasti bukan pengawal biasa. Kata Si Muka Pucat, "Nampaknya kau memang melebihi pengawal-pengawal lain, anak muda. Tetapi ketahuilah, di hadapanku, kelebihanmu itu percuma. Kau akan mati seperti yang lain-lainnya..." Sambil berkata, Si Muka Pucat menuding mayat para pengawal yang bergelimpangan.
Sahut Yo Kian-hi, menirukan kata-kata lawannya, "Nampaknya kau memang melebihi pencoleng-pencoleng lain, Muka Pucat. Tetapi ketahuilah, dihadapanku, kelebihanmu itu percuma. Kau akan tertangkap seperti pencoleng-pencoleng lainnya di pasar...."
Dada Si Muka Pucat hampir meledak oleh kemarahan, tetapi ia menahan diri dan malah tertawa dingin, "Kau pintar bercanda, anak muda, sayang kau memilih saat dan tempat yang salah untuk bercanda. Lebih baik pulanglah, Ibumu akan menetekimu....."
Yo Kian-hi menjawab, "Kau pintar bercanda, pencoleng kecil, sayang kau memilih saat dan tempat yang salah untuk bercanda. Lebih baik pulang saja, Ibumu akan menetekimu.....”
“Keparat! Cabut pedangmu, agar aku tidak dituduh membunuh orang yang tidak bersenjata!”
"Keparat! Gerakkan pedangmu, agar aku tidak dituduh membunuh orang yang tidak melawan!”
Si Muka Pucat habis sabarnya, tak peduli Yo Kian-hi belum menghunus pedangnya, ia sudah menyerang lebih dulu. Pedangnya bergerak secepat lidah seekor ular yang menyambar ke depan, ke tenggorokan Yo Kian-hi. Seperti kebiasaannya, waktu menikamkan pedangnya, ia langsung mengerahkan seluruh kecepatan, kekuatan, bahkan seluruh jiwa dan semangatnya diikut-sertakan juga.
Permainan pedangnya tidak kenal segala macam gerak kembangan yang dianggapnya hanya membuang-buang waktu saja. Suatu kebiasaan lain, ia sering memejamkan mata waktu begitu yakin bahwa serangannya kena. Ia menganggap sebagai suatu kenikmatan kalau ujung pedangnya tertancap di leher lawan, getarannya sampai ke dalam jiwanya setelah melalui batang pedang dan lengannya.
la benar-benar membunuh bukan sekedar untuk uang, melainkan karena kenikmatan. Begitu pula kali ini, terasa nikmatnya merasakan ujung pedangnya sudah terjepit daging tubuh lawan. Tetapi ia kaget dan membuka mata ketika merasakan lambungnya kena tumbukan keras sehingga ia terpental ke belakang dengan perut terasa mual.
Ia melihat lawan muda yang diremehkannya itu telah menjepit ujung pedangnya dengan sepasang telapak tangan yang ditangkupkan. Itulah sebabnya tadi ia merasa pedangnya seolah-olah sudah kena sasaran, ternyata bukan. Dan tumbukan keras ke lambungnya tadi adalah tendangan Yo Kian-hi.
Sekarang ia melihat Yo Kian-hi dengan sikap amat menghina mematah-matahkan pedang tipis kebanggaannya itu menjadi empat potong, hanya dengan jari-jari tangannya. Si pemimpin kelompok Tujuh Pembunuh ini pun gusar bukan main, ia mencabut sepasang pedang belati yang tersembunyi di sepatunya, lalu menerjang Yo Kian-hi. Begitulah, terjadi pertempuran baru.
Ternyata dengan sepasang belatinya, Si Muka Pucat tidak kalah berbahayanya dengan ketika masih memegang pedangnya. Cuma kali ini karena kebentur Yo Kian-hi, mau tidak mau harus tersudut pada pengakuan dalam hati, bahwa lawan yang satu ini tidak bisa "dilewati".
Pengakuan dalam hati yang diperkuat oleh nyeri-nyeri di sekujur tubuhnya yang sering terkena tangan atau kaki Yo Kian-hi dan membuatnya sering jatuh terguling-guling. Dengan demikian, rasanya regu pembunuh upahan itu sudah kehilangan harapan akan menerima upah dengan membawa batok kepala Li Giam.
Tidak peduli dari kelompok Tujuh V 4Pembunuh Gurun Utara (Pak-bok 3it-sat) maupun Tiga Serigala Perbatasan (Koan-gwa Sam-long), justru para pembunuh itulah yang terancam bahaya. Mungkin merekalah yang bakal kehilangan batok kepala di tangan algojoalgojonya Li Giam. Tetapi rupanya masih ada "kartu" yang belum keluar di pihak pembunuh-pembunuh itu.
Salah satu dari mereka tiba-tiba bersuit nyaring. Biasanya, isyarat seperti itu berarti menyuruh mundur semua orang-orangnya. Namun, kali ini nampaknya suitan itu bukan isyarat untuk mengundurkan diri, melainkan semacam mengundang bantuan.
Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi bisa merasakannya, sehingga kakak-beradik seperguruan itu biarpun masing-masing sedang sibuk bertempur dan berjauhan satu sama lain, seolah digerakkan oleh satu pikiran, bersama-sama memperingatkan para pengawal,
"Awas! Tetap lindungi Jenderal U!”
Li Giam pun seperti terkurung di tengahtengah sekelompok pengawal pribadi dan V 4perwira-perwira yang dengan senjata terhunus mengitarinya dengan membelakangi Jenderal Li, menghadap ke segala arah dengan waspada. Dan mereka yang menghadap ke arah telaga adalah yang pertama-tama menyaksikan suatu pemandangan yang mencengangkan.
Dari kegelapan di tengah-tengah telaga, ada sesosok tubuh yang berjalan di atas permukaan air telaga! Sesosok tubuh kurus, memakai jubah, namun wajahnya tidak kelihatan, sebab dikerudungi kantong kain hitam yang dilubangi hanya pada sepasang matanya.
Bahkan jagoan-jagoan sekaliber Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi pun berdesir jantungnya, sekilas pandang saja mereka sudah tahu kalau yang datang ini adalah tokoh yang sekaliber guru mereka. Mereka berdua bergabung pun belum tentu bisa menandingi tokoh yang baru datang ini. Bersama-sama mereka mengeluh dalam hati.
Agaknya upaya untuk melindungi Jenderal Li harus menghadapi tantangan berat, bahkan berhasil atau tidaknya juga diragukan. Orang yang datang dari tengah-tengah telaga itu melangkah dengan santai ke tepian, nampak tidak membawa senjata apa-apa, namun terang jauh lebih berbahaya dari gerombolan regu pembunuh bayaran itu.
Apakah orang ini juga pembunuh bayaran? Pertempuran seolah dikomando sehingga berhenti, semua mata memperhatikan orang ini. Ketika orang itu mulai naik ke tepian, terlihat pada sepasang sepatunya diikatkan papan-papan kecil, jadi ia tadi tidak benar-benar "berjalan di atas air", melainkan dibantu papan-papan itu.
Toh ilmu meringankan tubuh setinggi itu menunjukkan kelasnya di dunia para jagoan. Ketika ia mendarat, sepasang papan itu dikebaskannya lepas dari kaki kakinya seperti orang melepaskan sandal.
Ia menatap para pembunuh bayaran itu, sambil bertanya dengan suara dingin, "Kenapa kalian memanggil aku?"
Si Muka Pucat yang pongah itu pun kini bersikap hormat, bahkan agak takut-takut, ketika berkata, "Kami mohon maaf, terpaksa merepotkan Tuan. Perkara upah, kami rela dikurangi separuh karena kegagalan kami. Sekarang kami hanya berkedudukan sebagai pembantu Tuan..."
Cukup dengan kata-kata dari Si Muka Pucat, orang-orang di pihak Jenderal Li Giam sudah dapat menyimpulkan kalau orang yang datang lewat telaga itu tidak sekomplotan dengan pembunuh-pembunuhnya, tetapi bahkan orang yang mengupah pembunuh-pembunuh itu.
Dengan demikian, orang itu akan lebih berbahaya dari pembunuh-pembunuh bayaran itu, bukan karena ilmunya saja yang tinggi melainkan juga pastilah pamrih kepentingannya akan lebih kuat. Oh Kui-hou, Yo Kian-hi, pengawal-pengawal pribadi dan lain-lainnya sudah berjajar merapat di depan Li Giam, siap melindungi junjungan mereka mati-matian.
Sambil mengamat-amati orang kurus berjubah yang datang dari telaga itu, Oh Kui-hou samar-samar teringat sepertinya pernah melihat orang itu. Tetapi kapan dan di mana, ia sudah tidak bisa mengingatnya, lagi pula saat itu pikirannya sedang dikerahkan untuk mengamat-amati gerak-gerik musuh, tidak sempat melamun ke masa lalu.
Orang kurus berjubah itu melangkah dengan santai mendekati orang-orang yang siap melindungi Li Giam. Gayanya benar-benar amat santai, tidak sedikit pun mirip dengan orang yang hendak berkelahi, melainkan seperti orang sedang berjalan-jalan mencari angin saja.
Kata-katanya juga tidak membentak atau berteriak atau mengancam, tetapi lembut seperti orang membujuk anak-anak yang sedang menangis, "Aku cuma ingin batok kepala Li Giam seorang, tidak mau yang lain-lainnya. Maka yang lain minggirlah, aku kasihan kepada kalian."
Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi mengertak gigi dengan geram, tapi mereka sadar juga bahwa. Sambil mengamat-amati orang kurus berjubah yang datang dari telaga itu, Oh Kui-hou samar-samar teringat sepertinya pernah melihat orang itu. Lawan kali ini jauh lebih tinggi kemampuannya dari mereka berdua digabung sekalipun.
Namun mereka tidak mau minggir. Mereka sudah bertekad, kalaupun mereka kalau gagal melindungi Jenderal Li, mereka sendiri rela ikut mati. Dan tekad yang sama agaknya juga menyala di hati pengawal-pengawal Li Giam lainnya. Orang kurus berjubah itu menunggu sejenak, dan ketika melihat tak seorang pun pengikut-pengikut Li Giam itu yang mau minggir, ia menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik napas berulang-ulang.
Kata-katanya bernada sesal, "Kenapa kalian begitu bandel, anak-anak? Apakali kalian menyangka aku tidak dapat membunuh kalian semua? Apakah kalian menyangka aku hanya memiliki ilmu berjalan di atas air saja?" Lalu Si Kurus Berjubah itu memutar tubuh, menghadap ke sebuah pohon yang batangnya sebesar paha, mengayunkan telapak tangannya seperti membacok ke batang pohon itu.
Telapak tangannya tidak mengenai pohon itu, sebab jaraknya ada sepuluh sebelas langkah, namun pohon itu roboh. Sebab batangnya terpotong rapi seperti dibacok dengan golok tajam yang diayunkan dengan kekuatan raksasa.
Semua orang terkesiap, Oh Kui-hou bahkan langsung mengenali ilmu itu dan tanpa sadar berdesis, "Bu-heng To-hoat (Ilmu Golok Tak Berwujud)..."
Tetapi ada hal mengejutkan lainnya yang terjadi. Sebab dari atas pohon yang tumbang itu tiba-tiba melompat keluar seorang yang berpakaian hitam dan mengenakan kedok pula. Orang itu mengumpat, "Kat Hu-yong, kalau kau cuma mau pamer ilmu picisanmu, kenapa kau paksa aku keluar dari persembunyianku?"
Maka seolah terjadi rangkaian kejutan di tempat itu, termasuk orang kurus berjubah itu sendiri, karena namanya segera dikenali oleh orang yang melompat dari pohon itu. Begitu juga karena sekian lama ada orang bersembunyi di dekatnya namun tidak diketahuinya, menandakan kalau orang yang baru muncul itu bukan orang sembarangan juga.
Sedangkan bagi Jenderal Li, Oh Kui-hou dan lain-lainnya, nama Kat Hu-yong yang disebutkan oleh orang berkedok yang datang belakangan itu pun mengejutkan. Mereka tentu saja pernah mendengar nama Kat Hu-yong biarpun belum pernah melihat wajahnya. Nama itu adalah nama seorang penasehat militer Pangeran Toh Sek-kun, Panglima Angkatan Perang Manchuria yang terkenal.
“Musuh bersama!" baik sisa-sisa Dinasti Beng maupun kaum Pelangi Kuning. Sebab orang Manchu dianggap sebagai penyerbu asing yang senantiasa berambisi menyerbu negerinya bangsa Han. Orang Han dari golongan Dinasti Beng maupun golongan Pelangi Kuning, sama-sama menganggap bangsa Manchu sebagai musuh berbahaya yang tidak layak diberi kesempatan.
Sementara ingatan Oh Kui-hou sendiri langsung menjadi cerah, ingat kapan dan di mana ia pernah melihat Si Kurus Berjubah yang ternyata adalah tangan kanan Pangeran Toh Sek-kun itu. Dulu ketika kaum Pelangi Kuning masih berjuang menumbangkan Dinasti Beng, Oh Kui-hou ada di pihak Pelangi Kuning. Dan saat itu pun orang-orang Manchu sudah ikut campur dalam pertikaian antara sesama bangsa Han itu.
Waktu itu Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi tertangkap oleh prajurit-prajurit Dinasti Beng, dan hendak dibawa ke Pak-khia untuk dihukum mati. Di tengah jalan, guru Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, yaitu Tiat-thau-siang (Gajah Berkepala Besi) Ko Beng-seng menghadang iring-iringan dengan maksud membebaskan murid-muridnya.
Ko Beng-seng hampir berhasil, tetapi kemudian gagal karena munculnya Kat Hu-yong yang saat itu juga berkedok. Kini ternyata yang mendalangi usaha pembunuhan terhadap Li Giam bukannya Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing, melainkan justru orang Manchu ini pula.
Tidak heran kalau pihak Manchu pun menghendaki lenyapnya Jenderal Li, panglima yang paling berwibawa dan berotak cemerlang yang diperhitungkan akan menjadi lawan paling berat buat pihak Manchu apabila kelak menyeberangi perbatasan.
Kat Hu-yong, Si orang kurus berjubah itu menjadi gusar karena identitasnya dikenali orang yang baru datang itu. Sesaat ia mengamati orang yang baru datang itu. Dilihatnya di belakang pundak orang mencuat sebuah gagang pedang yang pelindung pegangan pedangnya berbentuk seekor elang yang mengembangkan sayapnya. Maka Kat Huyong pun segera bisa mengenali siapa yang datang itu.
Katanya, "Helian Kong, kau pun percuma bersembunyi di balik kedok itu, sebab aku sudah mengenalimu. Lebih baik kalau malam ini kita bekerja sama membunuh Li Giam. Bukankah pihakmu dan pihakku sama-sama mengingini kematiannya? Bukankah Li Giam juga yang menyerbu istana Kerajaan Beng dan memaksa rajamu, Yang Mulia Sri Baginda Cong-ceng, menggantung diri di Bukit Bwe-san? Inilah kesempatan untuk membalaskan sakit hati rajamu..."
Begitulah, untuk membujuk Helian Kong bekerja sama, Kat Hu-yong tidak segan-segan menyebut Kaisar Cong-ceng dengan "Yang Mulia Sri Baginda" segala. Sementara di pihak orang-orangnya Li Giam pun berdebar-debar menunggu bagaimana tanggapan Helian Kong terhadap tawaran Kat Hu-yong itu. Kalau Helian Kong menerima tawaran itu, pihak Li Giam akan bertambah kedodoran.
Orang berkedok yang datang belakangan itu membuka kedoknya, dan ternyata ia memang Helian Kong. Panglima setia Dinasti Beng yang masih buron dan diketahui masih memiliki pasukan yang kuat yang entah bersembunyi di mana. Helian Kong adalah buronan kelas kakap bagi pihak Pelangi Kuning. Tak terduga sekarang berani muncul di perkemahannya Li Giam.
Suasana sunyi senyap, menunggu jawaban Helian Kong. Lalu terdengar kata-katanya sepatah demi sepatah, "Aku membenci kaum Pelangi Kuning yang sudah menumbangkan junjunganku, Baginda Cong-ceng. Aku harus menyelesaikan sakit hati ini suatu kali kelak, tetapi dengan syarat..."
Helian Kong berhenti beberapa saat, dan suasana tetap sunyi mencekam, sampai kelanjutan kata-kata Helian Kong terdengar. "Dengan syarat tidak ada pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari pertikaian sesama bangsa Han. Apalagi kalau pihak ketiga itu adalah bangsa asing dari luar perbatasan."
Kat Hu-yong tertawa dingin, "Jadi, buat apa kau muncul kemari?”
“Buat memukul mundur kau, orang Manchu!” sahut Helian Kong sambil menatap tajam Kat Hu-yong. “Dan memperingatkan setiap bangsa Han di pihak mana pun, bahwa ada kekuatan asing yang mengintai di luar perbatasan dan menyebar jaring mata-matanya di dalam negeri."
Hampir bersamaan Jenderal Li Giam dan pengawal-pengawalnya menghembuskan napas lega. Orang menghembuskan napas mestinya suaranya tidak terlalu keras, tetapi karena banyak orang melakukannya bersama-sama, maka jadi seperti "paduan suara" yang aneh.
Dalam hatinya, Li Giam, Oh Kui-hou serta Yo Kian-hi sangat menghormati sikap satria Helian Kong yang tidak mau mengambil keuntungan atas pihaknya selagi dalam keadaan terjepit, tetapi lebih mengutamakan keselamatan seluruh tanah air daripada golongan politiknya sendiri.
Sikap yang sama juga pernah ditunjukkan Li Giam ketika ia mengambil keputusan untuk melindungi keluarga Siangkoan dari gelombang hukuman mati yang sedang "diobral" oleh Lau Cong-bin sebagai Panglima Tertinggi, tidak peduli keluarga Siangkoan adalah keluarga pembesar Dinasti Beng. Li Giam tahu Siangkoan Hi adalah seorang pembesar yang jujur dan dicintai banyak orang.
Kalau sampai orang seperti Siangkoan Hi dihukum mati, banyak orang akan memendam kemarahan yang pada waktunya nanti bakal tidak menguntungkan kaum Pelangi Kuning, Jadi Li Giam dan Helian Kong, biarpun musuh, punya pikiran yang sama, yang menomor-satukan tanah air dari kepentingan golongan.
Sedangkan Kat Hu-yong yang orang Manchu pun hormat kepada sikap itu, meskipun ia menentangnya dalam kedudukannya sebagai orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya. Kata Kat Hu-yong,
"Helian Kong, golongan manusia yang kau sebut bangsa Han itu dulu-dulunya juga memiliki berbagai asal usul yang beraneka ragam, dengan hak apa kau menganggap dirimu sebagai orang Han asli kemudian merasa berhak menganggap kami, orang-orang Manchu, sebagai orang asing? Bukankah nama depanmu saja menunjukkan bahwa kau bukan orang Han asli melainkan orang Liao?"
Memang nama keluarga Helian berasal dari kawasan barat laut. Kawasan itu pada jaman ratusan tahun yang lalu, dihuni bangsa Liao yang tidak termasuk bangsa Han, sedangkan yang termasuk bangsa Han hanyalah penduduk Kerajaan Song waktu itu.
Kemudian setelah Song runtuh, disusul ratusan tahun pemerintahan dinasti-dinasti Goan dan Beng yang mencakup kawasan barat laut, maka orang-orang barat laut itu ikut-ikutan menyebut diri mereka "orang Han" juga, bersatu dengan orang-orang kawasan tengah dan selatan, meski tampang muka dan logat bahasanya sedikit berbeda.
Sanggahan Kat Hu-yong tidak membuat Helian Kong mundur. Ia mencabut pedang dipunggungnya, pedang Tiat-eng Po-kiam (Pedang Pusaka Elang Besi), ujung pedang ditudingkan ke arah Kat Hu-yong sambil berkata, "Kat Hu-yong, menyingkir dari sini bersama orang-orangmu!”
Menurut tingkatan-tingkatan di kalangan para jagoan, Helian Kong belum pantas menantang Kat Hu-yong, sebab Kat Hu-yong setingkat dengan guru Helian Kong yang sudah almarhum. Tetapi sikap Helian Kong yang begitu mantap tak tergetar sedikit pun, menimbulkan dugaan kalau Helian Kong punya sesuatu yang diandalkan untuk menghadapi Kat Hu-yong.
Kat Hu-yong jadi gatal tangannya melihat sikap Helian Kong itu. Katanya, "Baiklah, sebelum aku ambil kepala Li Giam, aku ambil dulu kepalamu."
Lalu tubuhnya terlontar cepat ke arah Helian Kong, dengan sepasang lengan menerkam bersamaan. Agaknya dalam gebrakan-gebrakan pertama, Kat Hu-yong tidak langsung menggunakan Bu-heng To-hoatnya. Ia ingin menjajal dulu kecepatan, kekuatan dan ketangkasan Helian Kong yang mengingatkannya kepada muridnya, Sek Honghua.
Ternyata Helian Kong dapat mengimbanginya, sehingga terjadilah pertarungan seru antara dua jagoan dari angkatan yang berbeda itu. Meskipun Helian Kong menggunakan pedangnya sedang Kat Hu-yong bertangan kosong, tetapi tidak seorang pun menganggap pertandingan itu tidak adil.
Sebab Kat Hu-yong itu tingkatannya sama dengan guru Helian Kong. Apalagi Kat Hu-yong punya "golok tak berwujud" yang belum digunakan dalam pertempuran itu. Bahkan Kat Hu-yong sendiri juga tidak merasa diperlakukan tidak adil.
Demikianlah, pertarungan satu lawan satu itu berlangsung makin sengit disaksikan orang-orang dari kedua pihak. Kat Hu-yong menerjang bagaikan angin puyuh yang menggulung, Helian Kong mencoba mengimbangi setangkas harimau jantan yang perkasa. Berguling, melompat, menerjang dengan amat cepat, pedangnya yang cuma sebatang itu seolah pecah menjadi belasan batang yang bayangannya berkelebatan ke sana ke mari.
Melihat ketangkasan Helian Kong, Yo Kian-hi diam-diam menarik napas. Dulu Helian Kong itu tingkat ilmunya bisa dibilang seimbang dengan Yo Kian-hi, kalau pun ada sedikit kelebihan di pihak Helian Kong, maka kelebihan itu hanyalah selapis tipis.
Jaman itu ada tiga jago muda yang setingkat, yaitu Helian Kong, Yo Kian-hi dan Sek Hong-hua. Sekarang Yo Kian-hi harus mengakui bahwa Helian Kong sudah maju pesat dan beberapa langkah di depannya.
Seandainya Yo Kian-hi yang disuruh melawan Kat Hu-yong, pastilah tidak lebih dari dua puluh gebrakan Yo Kian-hi akan keok, tetapi sekarang dilihatnya Helian Kong dapat begitu gigih melawan seorang angkatan tua macam Kat Hu-yong, mau tidak mau Yo Kian-hi jadi kagum.
Namun lama kelamaan, setelah hampir seratus jurus gebrakan, kelihatan juga kalau Helian Kong belum mampu mengimbangi Kat Hu-yong, tidak peduli betapa hebat semangatnya dan betapa pesat kemajuannya. Helian Kong mulai sering terdesak, dan kadang-kadang sempoyongan kalau serangan Kat Hu-yong mengenainya.
Waktu itu Kat Hu-yong masih menggunakan pukulan biasa, belum "golok tanpa wujud"nya. Yo Kian-hi tidak tahan lagi melihat Helian Kong sering dikenai, bahkan dijatuhkan serangan lawannya.
Sejenak lupa kalau Helian Kong berasal dari golongan yang bertentangan dengan golongannya, Yo Kian-hi saat itu hanya tidak rela melihat Helian Kong bakal menjadi korban dalam usahanya membela Li Giam.
Maka ketika melihat untuk kesekian kalinya Helian Kong agak pontang-panting menghadapi hujan serangan yang gencar dari si Penasehat Militer Manchu itu, Yo Kian-hi melupakan permusuhannya dengan Helian Kong dan melompat ke tengah gelanggang dengan sepasang pedangnya sudah terhunus, langsung menyabet bersilangan ke arah Kat Hu-yong.
Karena serangan itu, Kat Hu-yong terpecah perhatiannya, dan ini memberi kesempatan kepada Helian Kong untuk memperbaiki posisinya.
“Adik Yo!” Oh Kui-hou memanggil adik seperguruannya, khawatir tindakan tanpa ijin itu akan kurang berkenan di hati Li Giam.
Tetapi Li Giam yang menyahut, "Biarkan saja, Saudara Oh, aku setuju dia membantu Helian Kong."
Begitulah, pertempuran sekarang jadi satu lawan dua. Ada dua orang dari kelompok pembunuh bayaran yang juga hendak memasuki gelanggang untuk membendung Yo Kian-hi, tetapi Kat Hu-yong sendiri yang membentak para pembunuh bayaran itu,
"Jangan ikut campur! Aku sendiri senang bermain-main dengan kedua anak manis ini!”