Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri kedua, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 06 karya Stevanus S.P

Demikianlah Kat Hu-yong dikeroyok dua. Sebagian besar beban perlawanan ada di pundak Helian Kong sebab tingkat kepandaiannya lebih dari Yo Kian-hi, namun Yo Kian-hi bukannya tanpa arti.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Perwira muda yang bersenjatakan sepasang pedang yang tebal dan berat itu seperti seekor gajah yang mengamuk, dan biarpun tidak sepesat Helian Kong, ada juga kemajuan Yo Kian-hi. Sekarang pertempuran itu kelihatannya seimbang.

Tetapi yang masih mengherankan semua orang adalah Kat Hu-yong belum juga memakai "golok tak berwujud"nya. Dan seandainya orang-orang yang menonton pertempuran itu tahu isi hati Kat Hu-yong, mereka akan lebih heran lagi. Sebab diamdiam Kat Hu-yong timbul rasa sayangnya kepada kedua anak muda lawannya itu! Ya, rasa sayang! Itulah yang terjadi.

Kalau seorang panglima Dinasti Beng seperti Helian Kong sampai bisa bekerja sama dengan seorang panglima Pelangi Kuning seperti Yo Kian-hi saja sudah sesuatu yang mengherankan, maka timbulnya perasaan sayang Kat Hu-yong kepada kedua lawannya yang muda itu tentunya sesuatu yang tidak masuk akal.

Tetapi memang itulah yang terjadi digelanggang itu, meski tidak dapat dilihat dengan mata jasmaniah. Muncul ikatan-ikatan batin antar sesama manusia yang secara kebetulan berdiri di pihak-pihak yang bermusuhan.

Helian Kong dan Yo Kian-hi tentu saja belum sempat merasakan getar hati Kat Hu-yong itu. Mereka cuma masih heran kenapa "golok tak berwujud" itu tidak keluar-keluar juga, meski VI mereka sudah siap-siap menghadapinya sejak tadi. Akhirnya ilmu golok yang dinanti-nantikannya keluar juga.

Pada suatu gebrakan, Kat Hu-yong tiba-tiba meluncur mundur dengan sepasang kaki tetap menempel di tanah, sepasang lengannya dengan telapak tangan terbuka menyilang di depan dadanya, matanya menyorot tajam dari balik kain kedoknya.

“Awas!” Helian Kong dan Yo Kian-hi saling memperingatkan.

Bahkan Oh Kui-hou yang di luar gelanggang juga ikut berseru, "Awas!”

Sepasang telapak tangan Kat Hu-yong sudah terayun sejajar ke depan dan dua jalur angin tajam juga mendesis ke depan. Bu-heng To-hoat akhirnya keluar juga. Tetapi ternyata Kat Huyong tidak mengarahkan serangannya ke tubuh Helian Kong maupun Yo Kian-hi, melainkan hanya ke senjata-senjata mereka.

Helian Kong merasakan pedang Tiat-eng Pokiamnya seperti ditabrak halilintar, telapak tangannya yang memegang pedang terasa panas VI dalam satu detik dan saat itu pulalah pedangnya terbang dan jatuh menancap di tepi telaga. Untung saja pedang pusaka perguruannya itu tidak nyemplung dan tenggelam di tengah telaga.

Demikianlah pula yang dialami Yo Kian-hi. Sepasang pedangnya seolah tersapu mendatar oleh kekuatan tak terlihat yang membuat sepasang pedangnya lepas dari tangannya pula. Menyangka bahwa serangan susulan jarak jauh akan dilancarkan, Helian Kong dan Yo Kian-hi sama-sama bersiaga.

Tetapi ternyata Kat Hu-yong tetap berdiri di tempatnya dengan sikap santai dan berkata, "Cukup sekian permainan kita, anak-anak muda. Ketangguhan kalian membuat aku merasa cepat tua...."

Helian Kong dan Yo Kian-hi termangu-mangu, tidak tahu harus menjawab yang bagaimana terhadap kata-kata yang tidak bersifat bermusuhan itu. Bingung juga mereka. Di satu pihak mereka tahu Kat Hu-yong adalah musuh, di lain pihak mereka berdua bukan orang tolol, mereka memahami bahwa baru saja Kat Hu-yong berbelas kasihan kepada mereka dengan hanya merontokkan senjata mereka namun tidak menciderai mereka.

“Sekarang mau apa kau?" akhirnya Oh Kui-hau lah yang bertanya. Sambil menempatkan diri di depan tubuh Jenderal Li, bersiaga kalau-kalau tokoh Manchu itu masih berniat membunuh Jenderal Li.

Ternyata jawaban Kat Hu-yong di luar dugaan, "Aku mau pulang, makan, lalu tidur sampai pagi."

Keruan orang-orang di pihak Li Giam senang mendengar kata-kata itu, namun tidak dapat segera mempercayai. Khawatir kalau kata-kata itu sekedar untuk melengahkan kewaspadaan mereka.

Sementara itu, kelompok para pembunuh bayaran yang sudah terlanjur mengerahkan anak buah, menyabung nyawa, dan yakin bahwa tentu saat itu ada anak buah mereka yang sudah terbang ke akherat, malahan dari kelompok Tujuh Pembunuh juga sudah kehilangan satu teman mereka, yaitu Si Banci Lan-lan, tentu saja menjadi penasaran mendengar keputusan Kat Hu-yong yang membatalkan untuk mengambil kepala Li Giam itu.

Lalu buat apa pengorbanan mereka yang sudah sekian jauh, kalau akhirnya harus pulang dengan tangan kosong? Sedangkan mereka yakin Kat Hu-yong dengan kepandaiannya yang tinggi akan bias membunuh Li Giam.

Tetapi sebelum kelompok pembunuh itu menyatakan rasa penasaran mereka, mereka lebih dulu terkejut karena sorot mata Kat Hu-yong menatap penuh kemarahan dari balik lubang kedoknya. Menatap penuh kemarahan ke arah pembunuh-pembunuh itu sendiri, bukan ke arah lawan-lawan mereka.

Para pembunuh itu terkejut dan bertanya-tanya dalam hati, apa salah mereka? Yang kemudian terdengar adalah suara Kat Hu-yong yang dingin,

"Kita pergi dari sini."

Si pemimpin kelompok Tujuh Pembunuh memberanikan diri bertanya, "Bagaimana dengan rencana kita membunuh Li Giam? Kami sudah terlanjur..."

"Tutup mulutmu! Ada yang harus kalian pertanggung-jawabkan terhadapku.”

“Apa?”

“Kita pergi dulu dari sini." Kemarahan yang terpancar dari mata Kat Hu-yong agaknya menggetarkan para pembunuh itu.

Sehingga mereka tidak membantah lagi diajak pergi dari situ, sambil membawa mayat Si Banci Lan-lan yang masih saja ditangisi oleh Si Cebol bertongkat panjang.

Jenderal Li Giam memerintahkan seluruh anak buahnya agar tidak menghalang-halangi kepergian mereka. Li Giam sendiri boleh merasa lega bahwa Kat Hu-yong tiba-tiba saja "tidak berselera" lagi kepada kepalanya, entah kenapa sebabnya. Mungkin sudah punya perhitungan baru.

Dengan mundurnya Kat Hu-yong serta pembunuh-pembunuh bayaran itu, tentu saja anak buah para pembunuh itu juga ikut pergi, maka pertempuran di perkemahan itu pun selesai, dengan korban-korban di kedua pihak.

Sementara itu, setelah perginya Kat Huyong, Helian Kong kini sendirian menghadapi Jenderal Li dan orang-orangnya yang bersikap canggung, "Nah, apakah sekarang kalian hendak menangkap aku, si buronan sisa-sisa Kerajaan Beng ini?"

Meskipun baru saja bekerja sama menghadapi Kat Hu-yong, Yo Kian-hi menjadi panas hati mendengar kata-kata Helian Kong yang bernada menantang itu. Ia memungut sepasang pedangnya yang tadi dijatuhkan oleh Kat Hu-yong, memegangnya erat-erat sambil menggeram,

"Di hadapan iblis Manchu tadi kita bersatu, sekarang iblis itu sudah pergi, dan kita tentukan nasib melalui pedang-pedang kita. Jangan kau sangka kami takut melihat kemajuan permainan pedangmu."

Helian Kong melangkah ke tepi telaga, mengambil pedangnya yang tadi juga terlempar, namun untuk langsung disarungkan. Yo Kian-hi menjadi gusar karena menyangka Helian Kong sedang meremehkan dirinya, "Helian Kong, kau ingin menghadapi aku dengan tangan kosong? Sungguh congkak kau!”

Namun sebelum Yo Kian-hi melabrak Helian Kong, Jenderal Li Giam agaknya lebih peka menangkap sikap Helian Kong, cepat-cepat mencegah Yo Kian-hi, "Saudara Yo, agaknya kedatangan Tuan Helian ke perkemahan ini punya maksud lain dari yang kita sangka. Tidakkah kita membiarkannya bicara?"

Helian Kong kemudian berkata, "Memang, aku datang untuk sekedar melunasi hutang piutang. Aku mengucapkan terima kasih karena selama ini kalian telah melindungi isteriku, ayah mertuaku dan saudara iparku di Pak-khia. Sekarang aku sudah menolongmu dari iblis Manchu dan pembunuh-pembunuh upahan itu, dengan demikian utang-piutang kita impas. Selanjutnya kalau kita bertemu di medan tempur, kita tidak akan saling sungkan-sungkan lagi.”

“Sungguh besar mulut orang ini...." geram Yo Kian-hi sambil menoleh kepada Jenderal Li, minta persetujuan untuk diperbolehkan menyerang.

Ternyata sikap Jenderal Li malahan lain. Li Giam mengangguk ramah dan berkata, "Baik. Aku juga mengucapkan terima kasih secara pribadi kepadamu, Tuan Helian, karena kedatanganmu bagaimanapun membuatku batal bertamasya ke akherat melalui tangan orang Manchu tadi. Kalau Tuan mau menerima, aku mengundang Tuan untuk minum arak bersama sambil sejenak melupakan permusuhan kita.”

“Tidak," sahut Helian Kong getas. “Aku harus pergi.”

“Tuan takut kami suguhi arak beracun?”

“Tidak. Aku percaya orang sejantan Jenderal Li takkan melakukan tipu-daya serendah itu. Tetapi aku ada pekerjaan lain. Apakah aku diijinkan pergi dengan baik-baik, atau harus kuterobos dengan pedangku?"

Yo Kian-hi kembali mengertakkan gigi dengan geram mendengar kata-kata ini. Tetapi sikap Li Giam tetap lebih terkendali, sahutnya sambil tersenyum, "Malam ini kuanggap kita dapat saling lebih mengenal pribadi masing-masing, meskipun itu sama sekali tidak akan mempengaruhi kedudukan kita dalam pihak-pihak yang masih bermusuhan. Selamat jalan, Tuan Helian, aku akan memerintahkan orang-orangku untuk tidak merintangimu."

Helian Kong mengambil dua potong papan yang ditinggalkan Kat Hu-yong tadi, papan-papan yang digunakan Kat Hu-yong untuk menyeberangi telaga, lalu sekarang Helian Kong lah yang menggunakannya untuk pergi dari situ dengan melewati air telaga.

Dengan itu, Helian Kong seolah mampu menunjukkan bahwa seandainya Li Giam menyuruh orang-orangnya untuk menghalangi, tentunya juga takkan ada yang bisa. Tak ada orang-orangnya Li Giam yang bisa berbuat seperti itu, termasuk Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi sekalipun.

Tetapi agaknya Yo Kian-hi merasa tertantang oleh kepongahan itu. Ia berdiri di tepi telaga sambil mengatur napas dan memusatkan tenaga, tiba-tiba kakinya menghentak ke permukaan tanah di tepi telaga itu, berulang kali, sambil berteriak ke arah Helian Kong yang sudah belasan kaki dari tepian, "Hati-hati, Tuan Helian, ada gelombang besar!”

Memang hasil hentakkan kaki Yo Kian-hi itu menimbulkan gelombang air yang meskipun tidak sebesar gelombang lautan, namun tingginya lebih setengah meter, mendampar keras ke tengah-tengah telaga yang semula airnya bening bagaikan kaca.

Dengan datangnya "gelombang buatan" itu, Helian Kong tidak dapat lagi meluncur di air dengan santai, melainkan terguncang dan harus melakukan beberapa gerakan agak panik agar tidak tercebur ke dalam telaga itu. Helian Kong berhasil menyelamatkan "perahu-perahu kecilnya" dari damparan gelombang, tetapi tak urung sekujur tubuhnya basah kuyup.

Sebelum Helian Kong menghilang di kegelapan milam di tengah telaga, Helian Kong masih sempat mengacungkan jempolnya kepada Yo Kian-hi. Padahal Yo Kian-hi sendiri sedang masygul karena gagal menjungkirkan Helian Kong ke air.

Sementara, yang terpikir oleh Li Giam adalah sesuatu yang lebih besar, yaitu keselamatan seluruh tanah air yang wajib dipikirkan setiap orang Han, entah dari "golongan Pelangi Kuning maupun Dinasti Beng, yaitu dengan ikut campurnya orang-orang Manchu dalam masalah itu.

Dan Li Giam sungguh prihatin membayangkan bahwa baik Lau Cong-bin maupun Gu Kim-sing pasti tidak waspada akan hal itu. Akhirnya di tengah-tengah kesibukan pasukannya mengurusi orang-orang yang terluka dan terbunuh, Li Giam memikirkan untuk mengirim orang ke Pak-khia, memberi peringatan kepada Kaisar Tiong-ong tentang keterlibatan orang-orang Manchu.

Keterlibatan yang tidak tanggung-tanggung sebab Penasehat Militer Pangeran Toh Sek-kun sendiri, Kat Huyong, muncul di Pak-khia dan sekitarnya. Sementara, dengan pikiran yang sama dengan Li Giam, Helian Kong juga sedang pusing memikirkan keterlibatan orang-orang Manchu.

la bermusuhan dengan orang-orang Pelangi Kuning, tapi kalau pihak Manchu mengancam, ia akan lebih senang bergandengan dengan orang Pelangi Kuning untuk menghadapi Manchu. Biarpun musuh, Helian Kong menganggap Li Giam lebih baik daripada Lau Cong-bin yang mata keranjang maupun Gu Kim-sing yang rakus harta, dan sungguh celaka bahwa orang semacam Li Giam justru sedang "dibuang" dengan ditempatkan ke pos yang jauh dari ibukota.

Sambil berlari-lari menembus kegelapan malam, menuju tempat persembunyian pasukannya di tengah hutan, Helian Kong berpikir-pikir, "Selama keadaan masih sama saja, pembesar yang baik disingkirkan dan pembesar yang korup makin berpengaruh, maka kesengsaraan orang-orang kecil akan sama saja. Keadaan negeri yang rapuh juga akan memberi kesempatan kepada orang-orang Manchu...."

Tempat persembunyian Helian Kong dan pasukannya, adalah sebuah desa buatan yang terbenam jauh di tengah hutan pegunungan. Setiap lelaki dewasa di "desa tiban" itu adalah prajurit anak buah Helian Kong, yang sehari-harinya hidup berladang namun oleh Helian Kong tidak pernah lupa diwajibkan latihan agar setiap saat dapat digerakkan untuk kembalinya dinasti Beng ke singgasana.

Tidak heran kalau di desa itu amat jarang ditemui wanita dan anak-anak, sebab ketika para prajurit mengungsi ke tempat itu, mereka tidak sempat membawa keluarga mereka. Kebanyakan keluarga para prajurit masih ketinggalan di Pakkhia atau sekitarnya.

Helian Kong mengijinkan orang-orangnya menengok keluarganya di Pakkhia dan sekitarnya secara bergantian, asalkan berhati-hati, jangan sampai tertangkap oleh orang-orang Pelangi Kuning yang sedang berkuasa, apalagi kalau sampai disuruh menunjukkan tempat persembunyian.

Keluarga Helian Kong sendiri sudah berkumpul bersama di tempat itu, yaitu ayah mertuanya, Siangkoan Hi yang adalah bekas seorang menteri di jaman Kerajaan Beng, lalu saudara iparnya, Siangkoan Heng, dan isterinya, Siangkoan Yan yang tengah hamil muda.

Ketika Helian Kong tiba di tempat tinggalnya di tengah hutan itu, sebuah gubuk berdinding tanah liat dan beratap ilalang, di tengah-tengah ratusan gubug serupa dari para prajurit, Helian Kong melihat masih ada cahaya api menyorot dari celah-celah pintu rumahnya, pertanda isterinya masih menunggu kedatangannya biar sudah larut malam. Helian Kong mengetuk pintu dan Siangkoan Yan isterinya membukakan pintu.

“Sudah tidur semua?" tanya Helian Kong lirih agar tidak membangunkan ayah mertua dan saudara iparnya yang sudah tidur.

Siangkoan Yan cuma mengangguk. Helian Kong melepas pedang dari punggungnya sambil bertanya pula, "Ada kejadian penting?”

“Tidak.”

“Tidak ada laporan dari orang-orang kita di Ibukota Pak-khia atau dari tempat lain?"

Hampir saja Siangkoan Yan menggeleng pula, ketika dari kejauhan terdengar suara derap kuda yang dipacu kencang, makin lama makin dekat, di kesunyian malam. Helian Kong memiringkan kepalanya sedikit untuk mempertajam pendengarannya. Didengarnya derap kuda itu berhenti sekejap, mungkin dihentikan oleh penjaga-penjaga yang dipasang oleh Helian Kong di sekitar tempat itu.

Kemudian derap kuda itu terdengar kembali meskipun tidak sekencang semula, dan berhenti tepat di depan gubug kediaman Helian Kong. Penunggang kuda itu seorang yang berpakaian seperti pengemis, tetapi kuda tunggangnya adalah kuda yang sangat baik, kuda yang benar-benar mahal. Buat orang yang mata duitan, pasti akan memilih kudanya, bukan penunggangnya. Tetapi Helian Kong telah membuka pintu rumahnya dan menyongsong orangnya, bukan kudanya.

“Saudara In..." Si pengemis gadungan yang bernama In Kaipeng itu membungkuk hormat dan berkata, "Maaf kalau mengejutkan Cong-peng. Ada hal penting yang harus aku laporkan."

Wajah Helian Kong menegang, tetapi ia berusaha untuk tenang, "Katakan, Saudara In.”

“Si jenderal hidung-belang Lau Cong-bin memutuskan untuk menggerakkan pasukan besar menggempur San-hai-koan...."

Jantung Helian Kong berdesir. San-hai-koan adalah sebuah kota perbatasan di timur-laut, sebuah kota kecil tetapi punya posisi kunci, sebuah kota yang masih tetap mengibarkan bendera dinasti Beng di bawah pimpinan Bu Sam-kui, sahabat baik Helian Kong. Sebuah kota yang letaknya terjepit antara wilayah Manchu di utara dan timurnya, dan wilayah kaum Pelangi Kuning di sebelah barat dan selatannya.

Tiba-tiba Helian Kong berkeringat dingin, ia adalah sahabat Bu Sam-kui si penjaga San-hai-koan, dan ia paham betul bahwa Bu Sam-kui bukan seorang yang teguh pendirian. Gencetan dari pihak Lau Cong-bin bukan tidak mungkin akan mendorong Bu Sam-kui masuk ke dalam rangkulan pihak Manchu, dan kalau kota kunci San-hai-koan jatuh ke tangan orang Manchu, berarti balatentara Manchu yang dahsyat itu akan mendapatkan jalan masuk yang leluasa ke seluruh daratan tengah.

“Gila! Apa yang mendorong Lau Cong-bin melakukan hal itu?"

In Kai-peng tampaknya tahu jawabannya, tetapi beberapa saat lamanya ia seperti ragu-ragu.

“Cepat katakan, Saudara In. Kau tahu awabannya bukan?”

“Ya, tahu...”

“Nah, katakan!”

"Cong-peng, aku... aku hanya mendengar berita yang kurang jelas tentang... tentang... yang mendorong si Hidung Belang itu memutuskan demikian. Ini... ini menyangkut diri. Nona Tan Wan-wan...."

Helian Kong menarik napas mendengar disebutnya nama Tan Wan-wan. Pantas kalau In Ka-peng yang biasanya bicara dengan tegas itu sekarang ragu-ragu mengatakannya, rupanya karena tahu kalau Tan Wan-wan bekas kekasih Helian Kong.

Tan Wan-wan pernah juga menjadi mata-mata andalan Li Cu-seng dalam pemberontakannya menggulingkan dinasti Beng, mestinya setiap orang dinasti Beng membenci Tan Wan-wan, tetapi setiap anak buah Helian Kong tetap sungkan kalau menyebut Tan Wan-wan mengingat "hubungan khususnya" dengan Helian Kong. Apalagi Tan Wan-wan juga pernah melindungi keselamatan isteri, ayah mertua dan ipar Helian Kong.

Itulah sebabnya orang-orangnya Helian Kong menyebut Lau Cong-bin sebagai Si Hidung Belang dan Gu Kim-sing sebagai Si Kerbau, bahkan Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong juga mereka sebut "kaisar-kaisaran", tetapi terhadap Tan Wan-wan, semuanya tetap bersikap hormat dalam menyebutnya, setidak-tidaknya di depan Helian Kong.

Helian Kong sendiri juga berusaha memendam dalam-dalam kenangan lamanya terhadap Tan Wan-wan, selalu berusaha mengingatkan diri sendiri bahwa betapapun istimewa Tan Wan-wan baginya, namun Tan Wan-wan sekarang berkedudukan sebagai musuh, orang yang menyebabkan runtuhnya dinasti Beng, Lagi pula secara pribadi Helian Kong sudah punya isteri, dan Helian Kong harus belajar menyingkirkan perempuan lain dari hatinya.

Namun kali ini, mendengar laporan yang begitu penting dan ada sangkut-pautnya dengan Tan Wan-wan, mau tidak mau Helian Kong ingin tahu juga, "Katakan saja, tidak usah sungkan-sungkan, Jangan ada yang disembunyikan, sebab antara aku dan.... Wan-wan sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi..."

Di sini Helian Kong sedikit berbohong soal "sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi" itu. Bagaimanapun, kenangan masa lalu tidak mudah dihapuskan begitu saja.

In Kai-peng menyahut, "Baiklah, Cong-peng, tetapi sekali lagi aku katakan bahwa yang aku dengar ini bukan laporan orang-orang kita melainkan cuma kabar angin dari sana-sini...”

“Iya, iya, cepat katakan."

"Katanya, Lau Cong-bin bertekad menggencet Bu Sam-kui di San-hai-koan sebagai pelampiasan kejengkelannya ke pada Nona Tan. Seperti kita ketahui, Si Hidung Belang itu sebenarnya sangat menginginkan Tan Wan-wan, dan berhasil menyekapnya. Tetapi selama dalam penyekapan itu, kabarnya ia tidak pernah berhasil menyentuh Tan Wan-wan biarpun cuma dengan ujung jarinya. Harga dirinya lebih terpukul lagi, katanya... tapi sekali lagi ini cuma kabar angin lho... katanya.... katanya...”

“Saudara In, kau biasanya bicara dengan tegas, singkat dan jelas, kenapa sekarang bicaramu plegukan macam ini?”

“Maaf, Cong-peng. Katanya Tan Wan-wan setiap kali menolak ajakan Lau Cong-bin, Tan Wan-wan selalu membandingkan Lau Cong-bin yang gembrot dan jelek itu dengan Bu Sam-kui yang ramping dan tampan. Tetapi ini cuma kabar angin lho..." masih saja In Ka-peng bersikap sungkan.

Dulu sebelum runtuhnya dinasti Beng, kedok Tan Wan-wan sebagai mata-mata Pelangi Kuning yang diselundupkan ke istana keburu dilucuti oleh Puteri Tiang-ping. Untung Puteri Tiang-ping menaruh belas kasihan karena mengetahui riwayat Tan Wan-wan yang penuh kepahitan, maka Puteri Tiang-ping hanya mengeluarkan Tan Wan-wan dari istana ke suatu tempat tersembunyi.

Tidak dibunuh, asal tidak lagi berdekatan dengan Kaisar Cong-ceng dan mendapat bocoran rahasia kerajaan. Tetapi rupanya persembunyian itu diketahui oleh Bu Sam-kui yang sudah lama tergila-gila kepada Tan Wan-wan, padahal waktu itu Bu Sam-kui sudah punya kedudukan strategis sebagai penjaga San-hai-koan.

Untuk "menenangkan" Bu Sam-kui, Tan Wan-Wan pun dijanjikan akan diberikan kepada Bu Sam-kui untuk menjadi isterinya. Sayang, sebelum janji itu terwujud, Kotaraja Pak-khia sudah direbut oleh kaum Pelangi Kuning.

Tan Wan-wan menjadi tokoh Pelangi Kuning yang dihormati karena jasa besarnya, Bu Sam-kui tetap berada di bawah bendera Tit-goat-ki (bendera dinasti Beng) dan terpencil sendirian di Pak-khia, terjepit di antara kekuatan-kekuatan besar.

Kini urusan hubungan Tan Wan-wan dan Bu Sam-kui tiba-tiba menjadi penting kembali karena pertaruhannya menyangkut nasib seluruh negeri. Sesuatu yang barangkali tak terjangkau oleh pikiran Lau Cong-bin yang memang malas berpikir itu.

Ada sesuatu yang menggigit hati Helian Kong, membayangkan betapa sakit hati Tan Wan-wan diperlakukan seperti benda mati yang dipindah-pindah tangankan ke sana ke mari. Tak terasa dia menggeram,

"Buat orang semacam Lau Cong-bin pertimbangan apa yang lebih penting dari urusan perempuan? Memang cuma itu isi otaknya. Kini negeri bangsa Han ini benar-benar terancam oleh ulahnya yang tolol.”

“Cong-peng anggap tindakan Lau Cong-bin hendak menyerbu San-hai-koan itu sebagai tindakan tolol?”

“Ya. Bukan cuma tolol, bahkan juga membahayakan negeri. Aku kenal Bu Sam-kui bukan orang yang berhati teguh, kalau dia bingung menghadapi situasi, dia bisa melakukan tindak tak terduga, dan yang tak terduga itu bisa sangat merugikan.”

“Astaga! Lalu..."

Sementara itu, pikiran Helian Kong bercabang dua. Pertempurannya tadi di pinggir telaga memberitahu dia suatu hal, yaitu ikut campurnya orang Manchu yang tentunya untuk kepentingan mereka sendiri, bahkan tidak tanggung-tanggung, Penasehat Militernya Pangeran Toh Sek-kun sendiri keluyuran di Tiong-goan, dan urusan yang lain adalah urusan bergeraknya Lau Cong-bin untuk merebut Sanhai-koan, yang seolah-olah bisa menghasilkan bencana mengingat tololnya Lau Cong-bin.

Tetapi setelah pikirannya mulai tenang, Helian Kong memutuskan suatu tindakan dalam hatinya, "Meskipun Li Giam adalah musuhku, aku cukup percaya dia akan bersikap mengutamakan keselamatan tanah-airnya daripada golongannya. Entah dengan cara bagaimana, ia akan memberitahu Li Cu-seng akan keterlibatan orang-orang Manchu. Jadi urusan ini tidak perlu aku memusingkannya.

"Yang aku harus lakukan sekarang adalah menimbulkan ketabahan Bu Sam-kui dalam menghadapi situasi, jangan sampai dia mengambil tindakan yang merugikan seluruh negeri tanpa pandang golongan politiknya..."

Keputusan dalam hati langsung diterjemahkan ke dalam perintah kepada In Kapeng, "Saudara In, setelah seluruh prajurit kita terkumpul sebagian besar, kita berangkat ke San-hai-koan. Kita memang hanya punya sepuluh ribu prajurit, tidak sebanding dengan pasukan besar yang pasti akan dibawa oleh Lau Cong-bin, tetapi kehadiran kita di dekat-dekat San-hai-koan barangkali bisa menenteramkan hati Bu Sam-kui, sehingga pikiran jernihnya bisa timbul dalam mengambil keputusan-keputusan penting...”

“Di dekat-dekat San-hai-koan? Kenapa tidak bergabung di dalam benteng San-hai-koan sekali?”

“Ada dua pertimbangan. Pertama, kalau pasukan kita bergabung ke dalam kota dan bergabung dengan pasukan Bu Sam-kui yang jumlahnya kurang lebih sama dengan kita, seandainya pasukan Lau Cong-bin datang dan mengepung Sanhai-koan maka kita akan ikut terperangkap di dalam kota itu seperti tikus dalam kerangkeng. Kedua, perbekalan pasukan Bu Sam-kui dalam kota pasti akan bertambah berat kalau ketambahan sepuluh ribu mulut prajurit-prajurit kita.”

“Baik..."


Hari itu, sebuah pasukan besar berangkat meninggalkan kotaraja Pak-khia, megah dengan ribuan kuda yang berderap dan bendera-bendera besar dan kecil yang memenuhi langit, seragam mentereng prajurit-prajuritnya. Tentu saja harus megah, sebab pemegang komando tertinggi dalam pasukan yang hebat itu adalah Jenderal Lau Cong-bin sendiri, Panglima Tertinggi kaum Pelangi Kuning.

Keputusan Lau Cong-bin untuk menyerbu San-hai-koan itu sebenarnya kurang disetujui Kaisar Tiong-ong, karena Kaisar sudah mendengar pertimbangan Tan Wan-wan bagaimana bahayanya menyudutkan Bu Sam-kui begitu rupa, mengingat Bu Sam-kui bukan seorang yang mampu berpikir panjang.

Namun Lau Cong-bin terus mendesakkan usulnya, didukung Gu Kim-sing dan panglima-panglima lainnya yang sudah dipengaruhi Lau Cong-bin. Usul Lau Cong-bin itu akhirnya diterima. Pasukan itu terdiri dari seratus ribu prajurit tempur, belum terhitung para tukang masak, perawat kuda, dan tentu saja pasukan pengawal pribadi Lau Cong-bin yang cantik-cantik itu.

Pasukan sebesar itu tidak hanya yang berada di dalam kota Pak-khia, melainkan juga dari beberapa daerah di sekitar kotaraja. Pasukan itu langsung menuju ke timur laut, langsung ke sasarannya, San-hai-koan.

Jauh di depan pasukan itu, seorang penunggang kuda memacu tunggangannya secepat-cepatnya, sehingga kuda itu lari bagaikan dikejar setan. Sepotong ranting pohon yang digunakannya sebagai cambuk kuda, terus-menerus dihantamkan ke pantat kuda.

Tidak peduli kuda itu sudah berlari dengan tenaga maksimalnya. Di suatu desa yang dilewatinya, ia menukar kudanya, lalu melanjutkan perjalanannya. Bahkan ia makan bakpao sambil tetap berkuda. Tujuannya adalah San-hai-koan juga.

Di San-hai-koan, kota perbatasan yang terjepit antara wilayah Manchu dan wilayah kaum Pelangi Kuning itu, siang itu Bu Sam-kui dan perwira-perwiranya sedang berada di atas tembok kota di sisi yang menghadap ke wilayah Manchu.

Dengan sebuah teropong buatan Portugis yang jauh jangkauannya, teropong para pelaut, Bu Sam-kui menatap jauh ke timur laut seakan hendak melihat apa yang ada di balik cakrawala. Bu Sam-kui menurunkan teropongnya, menarik napas dan kelihatannya agak lega.

Katanya sambil tetap menatap ke kejauhan, "Benar kata pengintai-pengintai kita. Perkemahan tentara orang-orang Manchu itu sudah tidak kelihatan. Barangkali memang mereka menarik diri menjauhi perbatasan."

Di antara orang-orang yang berdiri di dekat Bu Sam-kui itu ada seorang yang tidak berseragam perwira, melainkan berjubah seperti kaum saudagar kaya umumnya. Tetapi sebelum orang-orang berseragam perwira menyahut perkataan Bu Sam-kui, malahan si Saudagar yang menyahut lebih dulu,

"Bukan barangkali Panglima, tetapi memang pasti begitu. Aku melihat sendiri banyak perkemahan dibongkar dan banyak tentara yang pulang ke tangsi-tangsi di kota masing-masing, sukarelawan-sukarelawan kembali ke rumahnya masing-masing." Orang itu memang bukan perwira, ia memang seorang saudagar keliling seperti pengakuannya sendiri, dan sahabat baik Bu Sam-kui.

Menurut pengakuannya, dia adalah orang dari Semenanjung Tiau-sian (Korea) yang bernama Jai Yong-wan, dan lagi-lagi menurut pengakuannya, ia tidak suka melihat Korea dikuasai orang Jepang maupun Manchu, katanya lebih suka kalau Korea dibawah dinasti Beng seperti dulu.

Itulah sebabnya la meninggalkan Semenanjung Tiau-sian dan menyeberang ke San-hai-koan untuk berdagang, bahkan katanya sudah berulang kali melihat pelabuhan Nagasaki dan Makao yang dikuasai Portugis sejak jaman Kaisar Wan-li.

Bu Sam-kui senang berteman dengan orang ini bukan cuma karena sering mendapat oleh-oleh berharga setiap kali Jai Yong-wan pulang bepergian dari "perjalanan dagangnya", melainkan karena saudagar itu berpengalaman luas berkat pengalaman perjalanannya.

Tidak jarang Jai Yong-wan berniga sampai ke wilayah Manchu, sehingga bisa memberi keterangan yang lebih tepat dan lebih cepat daripada para mata-mata Bu Samkui sendiri. Bu Sam-kui jadi sangat mempercayai orang yang mengaku saudagar keliling ini. Bu Sam-kui mengangguk-angguk.

“Menurut Saudara Jai, apakah pihak Manchu membatalkan serangannya ke Tiong-goan?"

"Cong-peng, menurut aku, kata membatalkan yang Cong-peng pakai itu kurang tepat. Mereka tidak membatalkan, sebab sebenarnya mereka tidak pernah punya niat menyerang Tiong-goan. Nyali orang-orang Manchu itu pasti pecah melihat jumlah penduduk Tiong-goan yang belasan kali lipat dari jumlah rakyat mereka sendiri. Mereka sadar, bahwa menyerbu Tiong-goan sama dengan menjebloskan diri ke dalam rawa-rawa kesulitan..."

Bu Sam-kui yang mudah percaya itu pun mengangguk-angguk, tetapi ada seorang perwiranya yang menukas, "Bagaimanapun juga, kita wajib tetap berhati-hati. Bukan mustahil orang-orang Manchu itu ingin mengulangi keberhasilan nenek-moyang mereka ratusan tahun yang lalu, ketika mereka mengakangi separuh wilayah Tiong-goan bagian utara dan mendirikan dinasti Kim. Jangan lupa bahwa orang-orang Manchu yang sekarang ini adalah keturunan orang-orang Kim, sehingga mereka disebut juga Hau-kim (Kim Baru)...."

Perwira muda berwajah keras itu adalah Kongsun Koan, keponakan Kongsun Hui, seorang panglima dinasti Beng sahabat Bu Sam-kui. Ketika Pak-khia jatuh ke tangan kaum Pelangi Kuning, kebetulan Kongsun Hui dan pasukannya sedang berada di luar kota. Dan sekarang di mana beradanya pasukan Kongsun Hui tidak diketahui, mungkin bergerilya seperti Helian Kong dan pasukannya.

Keponakan Kongsun Hui yang bernama Kongsun Koan ini adalah bawahan Bu Sam-kui yang paling tidak senang melihat Bu Sam-kui terlalu mempercayai Jai Yong-wan.

Jai Yong-wan bersikap tenang menghadapi debatan Kongsun Koan itu, katanaya, "Keadaan dahulu dan sekarang berbeda. Dulu wilayah utara Tiong-goan dikuasai bangsa Liau dan wilayah selatannya oleh bangsa Han dalam Kerajaan Song. Baik Liau maupun Song sedang lemah saat itu.

"Sehingga orang-orang Kim dapat menguasai wilayah dengan gampang. Tetapi sekarang lain. Sekarang tidak ada yang namanya bangsa Liao, sudah berabad-abad mereka melebur jadi, satu dengan bangsa Han sehingga bangsa Han sangat kuat.

"Biarpun sedang terpecah antara golongan yang setia kepada dinasti Beng dan golongan Pelangi Kuning, tetapi asal ada seorang Manchu saja berani melangkahi perbatasan, seluruh orang Han pasti bersatu menentang mereka. Orang-orang Manchu rupanya menyadari ini, makanya mereka memilih mundur daripada mengutikutik perbatasan Tiong-goan....”

“Aku tidak percaya orang-orang Manchu sebaik itu hatinya. Mereka pernah bertempur bertahun-tahun dengan kita di jaman Kaisar Thian-ke dan Kaisar Cong-ceng almarhum. Ingat kisah Jenderal Wan Cong-hoan yang gagah berani menahan serbuan mereka...”

“Aku rasa, saat itu mereka lebih bersifat mempertahankan diri, mempertahankan wilayah mereka. Jadi waktu itu pihak Kerajaan Benglah yang menyerang, memasuki wilayah mereka...."

"Lho, bicaranya Tuan Jai ini kok jadi kedengarannya membela orang-orang Manchu?"

Jai Yong-wan terkejut mendengar tuduhan terang-terangan dari Kongsun Koan itu. Matanya berkilat sekejap, namun buru-buru ditenangkannya sedikit, lalu dengan sikap terkendali dan amat tenang ia berkata, "Mana bisa aku malah membela orang-orang Manchu yang telah merebut negeriku, Korea? Tidak, aku tidak membela mereka.

"Aku hanya mengatakan bahwa orang-orang Manchu takkan punya keberanian untuk melangkah sejengkal pun memasuki wilayah Tiong-goan. Ini perlu aku katakan supaya kita jangan memandang orang-orang Manchu itu sebagai hantu-hantu yang menakutkan dan siap menerkam kita....."

Kongsun Koan tertawa dingin, "Siapa memandang mereka sebagai hantu-hantu, apalagi sampai takut kepada mereka? Hem, aku justru menunggu mereka maju tetapi mereka maju-mundur saja, tidak juga segera menyerang kemari...."

Jai Yong-wan tertawa, "Nah, itu tandanya omonganku benar. Mereka takkan penah berani menyerbu Tiong-goan....”

“Tetapi kita jangan lengah, jangan lalu menganggap mereka sebagai domba-domba jinak yang tidak berbahaya lagi. Mereka tetap serigala-serigala berbahaya yang penuh tipu daya yang licik!” kata Kongsun Koan penuh emosi.

Jawaban Jai Yong-wan kalem saja, "O, tentu saja. Apakah aku tadi menganjurkan agar kita mengendorkan kewaspadaan kita? Aku tidak berkata seperti itu bukan?"

Bu Sam-kui cepat-cepat menengahi, "Sudahlah, sudahlah, jangan bertengkar. Aku senang kalau orang Manchu tahu diri dan tidak menyerang kita, tetapi aku juga tidak akan mengurangi kewaspadaan terhadap mereka."

Kongsun Koan bungkam, sementara Jai Yong-wan cepat-cepat memuji, "Sikap yang bijaksana..."

Ketika itulah seekor kuda berderap di bawah tangga tembok benteng, penunggangnya yang tidak berseragam prajurit, lusuh, berkeringat dan penuh debu, langsung menaiki tangga ke atas tembok benteng dengan diantarkan oleh seorang prajuritnya Bu Sam-kui. Mereka memberi hormat kepada Bu Samkui, si perajurit pengantar lebih dulu melaporkan,

"Cong-peng, orang ini mengaku datang dari Pak-khia dan menyatakan ingin bertemu dan berbicara dengan Cong-peng. Katanya ada urusan penting..."

Bu Sam-kui menatap penunggang kuda yang baru datang itu, dan mengenali bahwa orang itu memang orang yang diperintahkannya tinggal di Pak-khia untuk melaporkan hal-hal penting yang terjadi di pusat kerajaan itu. Orang itu penduduk asli Pak-khia, sehingga tidak dikenal oleh prajurit-prajurit Bu Sam-kui di San-hai-koan, itulah sebabnya untuk menghadap Bu Sam-kui harus diantar.

“Apa yang hendak kamu laporkan?" tanya Bu Sam-kui.

Laporan orang itu singkat saja, tidak bertele-tele, namun membuat jantung pendengar-pendengarnya hampir copot, "Cong-peng, Lau Cong-bin sedang membawa pasukan besarnya kemari."

Bu Sam-kui berdehem untuk melegakan tenggorokannya sendiri yang seolah tersumbat mendadak akibat laporan itu. Lalu tanyanya, "Kekuatan mereka?" la berusaha kelihatan tenang, seolah-olah tidak gentar, ketika menanyakan itu.

Yang menjawab pun tidak kalah tenang, "Seratus ribu prajurit tempur, ratusan gerobag perbekalan, dan kira-kira tiga puluh pucuk meriam besar."

Seorang perwira matanya menerawang ke kejauhan ketika mendengar itu, yang lain menggaruk-garuk perutnya, yang lain lagi mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin. Sedangkan Bu Sam-kui sendiri menatap ke arah bendera Jit-goat-ki (bendera Rembulan dan Matahari, bendera dinasti Beng) yang dipasang di puncak tiang di atas tembok VI 40 benteng itu.

Tak ada angin bertiup saat itu, sehingga kain bendera itu terkulai seperti sebuah lengan yang lumpuh. Kalau ada angin yang datang sedikit dan menyentuhnya, bendera itu bergerak sedikit, seolah-olah "lengan yang lumpuh" itu masih bermimpi dan berupaya untuk melakukan sesuatu yang besar.

Bu Sam-kui tiba-tiba merasa kalau bendera itu adalah cerminan dirinya sendiri yang sudah terjepit namun masih berangan-angan muluk. Laporan dari orang di hadapannya itu seolah terngiang kembali di kupingnya. Seratus ribu prajurit tempur Lau Cong-bin, itu berarti sepuluh kali lipat dari tentaranya di San-haikoan.

Ratusan gerobag perbekalan yang berarti jauh lebih banyak dari perbekalan di gudang tentara di San-hai-koan yang mulai menipis, itu saja masih bisa menambah dari luar sedangkan yang terkurung di San-hai-koan tentu tidak bisa menambah dari mana-mana. Dan tiga puluh pucuk meriam besar. Jumlah meriamnya seimbang dengan yang ada di San-hai-koan. Di San-hai-koan juga ada tiga puluh.

Bedanya, meriam-meriam yang di San-hai-koan tidak ada isinya, bubuk mesiu untuk pengisi meriam itu sudah begitu sedikit sehingga untuk membuat lima buah mercon kecil saja belum tentu cukup. Meriam-meriam di San-hai-koan adalah meriam-meriam bisu. Hati Bu Sam-kui jadi goyah. Suatu pertanyaan muncul dalam hatinya sendiri.

“Apa yang aku pertaruhkan mati-matian di sini? Secarik kain kuning bergambar matahari merah dan bulan-sabit putih di tengahnya?"

Lamunan Bu Sam-kui dibuyarkan oleh kata-kata Jai Yong-wan, "Nah, ancaman yang sejati ternyata bukan datang dari timur-laut, melainkan dari Pak-khia..."

Kongsun Koan tidak memberi kesempatan Jai Yong-wan berbicara lebih banyak lagi, cepat-cepat ia menyerobot kesempatan omong, "Cong-peng, sebaiknya kita segera rundingkan langkah-langkah untuk menanggulangi tindakan musuh ini..."

Bu Sam-kui mengangguk, menegakkan tubuh membusungkan dada, menyembunyikan kebimbangannya dari mata anak buahnya. Jawabnya gagah, "Baik. Mari kita kembali ke markas. Suruh semua komandan pasukan berkumpul di markas."

Jai Yong-wan pun menanggapi usul itu dengan penuh semangat, "Betul, kita memang harus merundingkannya dengan cermat..."

Kongsun Koan menoleh kepada saudagar itu dan berkata dengan sengit, "Kita? Tuan Jai, maaf, perundingan ini tentunya dimaksudkan hanya untuk para perwira, mengingat banyak rahasia militer yang dibeberkan. Kami tidak berani merepotkan dengan mengundang Tuan."

Jai Yong-wan terperangah sekejap, lalu tertawa, "O ya, akulah yang harus minta maaf, Tuan Kongsun, aku begitu tak tahu diri. Karena merasa ikut memikirkan kota ini sebagai seorang warga kota San-hai-koan, aku sampai melangkah melewati batas. Sekali lagi aku minta maaf. Tentu saja aku tidak akan hadir dalam perundingan para perwira yang akan membicarakan banyak rahasia militer..."

Kongsun Koan hanya mendengus dengan muka dingin. Sedangkan Jai Yong-wan biarpun di luarnya kelihatan menyesal dan minta maaf bersungguh-sungguh, padahal dalam hatinya ia membatin, "Hem, memangnya kalau tidak hadir dalam pertemuan para perwira itu, lalu aku tidak bisa mengetahui hasil pembicaraan kalian?"

Sementara Bu Sam-kui sudah mengajak perwira-perwiranya untuk menuju ke markas. Jai Yong-wan minta diri dan pulang ke kediamannya sendiri. Di markas, perundingan tidak segera di mulai, sebab masih ada beberapa komandan pasukan yang belum hadir dan masih ditunggu kedatangannya.

Para perwira dan komandan yang sudah hadir saling berbicara sendiri dengan topik berita yang baru saja tiba di San-hai-koan, ada yang sampai berdebat. Bu Sam-kui sudah duduk di kursinya, namun tidak ikut berbicara, cuma melamun sambil bertopang dagu. Angan-angannya membayang jauh ke Pak-khia, namun bukan memikirkan soal politik atau militer sedikit pun, ia sedang membayangkan calon isterinya yang cantik jelita yang ditinggalkannya di Pak-khia. Tan Wan-wan.

Entah sedang apa sekarang si jantung hati itu. Mungkin sedang menyiram bunga, atau menyulam, atau barangkali juga sedang melamunkan dirinya karena rindu? Hati Bu Sam-kui melonjak begitu gembira, sehingga ia menepuk meja sambil berseru gembira, "Ya, dia pasti sedang merindukan aku!”

Para perwira yang sedang membicarakan berbagai taktik perang menghadapi musuh itu pun terkejut mendengar seruan panglima mereka. Serempak semuanya berhenti bercakap-cakap dan menatap heran ke arah panglima mereka.

Bu Sam-kui jadi sadar sendiri akan ulahnya yang konyol, dan tersipu-sipu malu sendiri. Buru-buru ia merubah sikapnya, pura-pura geram memukul meja sambil berkata, "Ya, aku pasti akan menghancurkan Lau Cong-bin kalau dia berani muncul didepan pintu kota San-haikoan..."

Para perwiranya tidak ada yang berani bertanya tentang kejanggalan antara dua pernyataan yang susah dihubungkan secara logis itu. Antara "dia pasti sedang merindukan aku" dengan "aku pasti akan menghancurkan Lau Cong-bin" tadi, meskipun kedua pernyataan itu sama-sama diucapkan sambil menggebrak meja.

Sementara itu, para perwira dan komandan yang belum hadir pun sekarang sudah komplit berkumpul di ruangan itu. Yang hadir bukan hanya orang-orang tempur yang bertanggungjawab di garis depan, tapi juga orang-orang garis belakang, seperti kepala bagian perbekalan, pengobatan dan sebagainya.

Rapat dibuka dengan penjelasan Bu Sam-kui tentang laporan yang baru saja diterimanya, supaya perwira-perwiranya yang tadi belum mendengar, sekarang mengetahui situasinya. "Nah, sekarang aku ingin mendengar pendapat Saudara-saudara," kata Bu Sam-kui mengakhiri kata pembukaannya.

Kongsun Koan lah yang pertama kali mengajukan usul, "Ijinkan aku memberi usul, Cong-peng. Ada baiknya kita memecah-mecah pasukan, sebagian berada di dalam kota, sebagian berada di luar kota. Yang di luar kota bersembunyi di hutan-hutan pegunungan di luar kota, tugasnya mengganggu garis belakang pasukan Lau Cong-bin. Seperti membakar perbekalan, merusak jembatan-jembatan dan sebagainya, sehingga gerak maju pasukan Lau Cong-bin akan terhambat. Kalau semuanya berada di balik tembok kota, tentu semuanya akan ikut terkurung dan tidak berdaya...”

“Siapa yang ada usul lain, atau ingin menambahkan pada usul Saudara Kong-sun?" Ternyata semuanya bungkam, sehingga Bu Sam-kui langsung memutuskan,

"Baik. Usul Saudara Kongsun aku terima. Aku akan menempatkan tiga ribu prajurit di luar kota, prajurit-prajurit kita yang ada terlatih bertempur di pegunungan. Sekarang, siapa yang akan memimpin pasukan itu?"

Tidak ada yang menjawab, tetapi mata semua orang ditujukan ke arah Kongsun Koan, seolah-olah semua orang mau berkata, "Kamu yang mengajukan usul, kamulah yang bertanggung-jawab..."

Kongsun Koan paham arti kata dari pandangan rekan-rekannya, sehingga ia tertawa lalu berkata, "Cong-peng, kalau Cong-peng mengijinkan aku memimpin pasukan itu..."

Bu Sam-kui yang memang sedang malas berpikir itu, serta-merta menanggapi usul Kongsun Koan dengan bersemangat, "Bagus. Saudara Kongsun, kau yang memimpin pasukan itu. Pilih orang-orang yang tangguh dan berani. Biar Lau Cong-bin kelabakan karena pantatnya kau sundut dengan api..." Bu Sam-kui tertawa sendiri akan kelakarnya itu, dan beberapa perwiranya pun ikut nyengir sebagai basa-basi. Kongsun Koan kemudian menerima leng-ki (bendera wewenang) untuk tugasnya itu.

"Nah, ada usul atau laporan?" tanya Bu Sam-kui.

Seorang perwira yang sangat gendut melangkah ke depan dan bersuara, "Aku hendak melapor, Cong-peng...." Perwira itu bernama Li Lim-hong, penanggung-jawab bagian perbekalan makanan.

Dan meskipun tubuhnya begitu subur, laporannya selalu bertentangan dengan keadaan tubuhnya. Bu Sam-kui sendiri agak segan mendengar laporan orang ini, sebab ia hampir pasti menebak apa yang hendak dilaporkan. Toh Bu Sam-kui harus mendengarkannya juga,

"Silakan, Saudara Li."

Sudah bisa ditebak, inilah laporan Li Lim-hong, "Cong-peng, aku melaporkan bahwa perbekalan sudah menipis. Nasi untuk makan pagi dan siang ini sudah harus dicampuri banyak air sehingga mirip bubur, kalau tidak begitu tidak akan cukup. Banyak prajurit memprotes, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Campuran air untuk makan malam nanti bakal lebih banyak kalau sekarang tidak diambil tindakan....."

Bu Sam-kui paling benci kepada kata "ambil tindakan" dalam urusan perbekalan ini. sebab kedua patah kata itu berarti mengambil persediaan makanan dari penduduk di desa-desa sekitar San-hai-koan. Hanya itulah cara untuk mempertahankan hidup prajurit-prajuritnya sejak kota Pak-khia jatuh ke tangan kaum Pelangi Kuning dan tidak ada lagi kiriman perbekalan dari Pak-khia.

Padahal penduduk di sekitar San-hai-koan itu sendiri sudah kempas-kempis hidupnya. Bu Sam-kui sendiri tahu pasti bahwa tindakan perampasan perbekalan itu amat dibenci penduduk sipil. Makin sering tindakan itu dilakukan, berarti makin sering menggusarkan penduduk meskipun tidak terang-terangan dan berarti pula makin menjauhkan hati rakyat.

Tidak berakar di hati rakyat adalah sesuatu yang tidak menguntungkan, tapi rasanya tidak ada jalan lain karena Bu Sam-kui tidak bisa membiarkan prajurit-prajuritnya kelaparan.

"Baiklah. Terpaksa kita harus kembali mengambil bahan makanan dari rakyat yang sehari-harinya saja sudah kelaparan..." perintah Bu Sam-kui itu lebih mirip keluhan daripada perintah. “Tetapi jangan keterlaluan, jangan terlalu menyusahkan rakyat. Di mata mereka, kita ini sudah mirip perampok-perampok berseragam...."

Biasanya kalau sudah mendapat ijin seperti itu, Li Lim-hong akan segera berangkat menjalankan tugasnya, tetapi kali ini ia bersikap lain. Katanya, "Cong-peng, keadaan kali ini berbeda...”

“Apa?”

“Bukankah tadi Cong-peng sendiri menjelaskan bahwa kita sedang diserbu musuh. Kita akan dikepung dalam kota ini entah berapa lama, jadi persediaan perbekalannya juga harus melebihi keadaan biasa.”

“Itu artinya mengambil lebih banyak?" tanya Bu Sam-kui.

“Apakah ada jalan lain, Cong-peng?" Li Lim-hong balik bertanya.

Bu Sam-kui menarik napas. Tidak tega ia mendengar anak-anak kecil di seputar San-haikoan menjerit kelaparan, bahkan mungkin ada yang akan mati kelaparan, karena persediaan makanan orang tua mereka dirampas tentara. Apalagi ketika seorang perwiranya yang bernama Miao Hu mengusulkan dengan suara dingin tanpa perasaan,

"Dan perlu ditambahkan satu hal lagi, agar jangan persediaan perbekalan itu menguntungkan Lau Cong-bin, kita harus ambil seluruhnya ke dalam kota. Seluruhnya. Kalau ada juga yang tidak terbawa, haruslah dimusnahkan! Supaya jangan nanti dimanfaatkan oleh Lau Cong-bin!”

Bu Sam-kui termangu-mangu, sekian lama, berat rasa hatinya. Miao Hu mendesaknya,

"Cong-peng, hal ini harus segera diputuskan, semuanya menunggu, perintahmu, sementara waktu kita tidak banyak lagi sebab pasukan Lau Cong-bin sedang bergerak maju terus ke tempat ini."

Akhirnya Bu Sam-kui menganggukkan kepalanya. Hari itu juga, apa yang diputuskan rapat para perwira itu dilaksanakan. Kongsun Koan dengan tiga ribu prajuritnya berbaris keluar kota San-hai-koan dan langsung menghilang ke dalam hutan-hutan di pegunungan di luar kota San-hai-koan. Sebelum menghilang, jejak-jejak kaki di pinggir hutan pun mereka hapuskan.

Sementara itu, Li Lim-hong dan pasukannya juga keluar kota San-hai-koan menjalankan tugas lain. Mengambil apa yang bisa diambil dari bahan makanan kepunyaan penduduk dari desa-desa sekitar San-hai-koan. Dan sisa bahan makanan yang tidak terambil dikumpulkan untuk dibakar! Jerit tangis penduduk, terutama wanita dan anak-anak sudah terlalu sering memasuki kuping Li Lim-hong, sehingga ia sudah "kebal".

Dan penduduk desa pun mencium gelagat bakal terjadinya perang besar, maka mereka pun berbondong-bondong mengungsi ke tempat lain. Ada yang masuk ke dalam kota San-hai-koan, ada yang justru menjauhinya. Pasukan Bu. Sam-kui yang dalam kota Sanhai-koan sendiri segera mengadakan persiapan seperlunya.

Prajurit-prajurit yang dibekali peringatan waspada setiap saat ditempatkan di atas tembok kota atau di tempat-tempat penting di seluruh kota. Meriam-meriam dipasang di atas tembok kota, biarpun meriam yang sudah tidak ada isinya namun moncong-moncong meriam sengaja ditonjolkan di atas tebok kota untuk menggertak lawan.

Di atas tembok kota juga dipersiapkan banyak batu-batu besar, balok-balok kayu, panah dan lembing dalam jumlah amat banyak. Kaitan-kaitan besi bertangkai panjang juga disediakan untuk mengait jatuh kalau ada musuh yang coba-coba merambat naik. Suasana perang mencekam seluruh San-hai-koan.

Untuk sedikit mengendorkan ketegangannya, Bu Sam-kui sering datang ke tempat tinggal Jai Yong-wan, saudagar Korea sahabatnya untuk minum arak, main catur dan ngobrol soal-soal ringan.


Beberapa hari kemudian, yang dinantinantikan dengan tegang itu pun datanglah. Pasukan besar Lau Cong-biri langsung memasang perkemahan di sekitar kota San-haikoan. Sebagian menempati desa-desa yang sudah kosong karena ditinggal mengungsi oleh penghuni-penghuninya.

Maka kalau dipandang dari atas tembok kota San-hai-koan, sejauh mata memandang di arah barat, barat-laut dan selatan dari kota perbatasan itu, yang terlihat adalah perkemahan tentaranya Lau Cong-bin dengan bendera-benderanya yang berkibar-kibar.

Namun apabila Bu Sam-kui meneropong ke arah pegunungan di belakangan perkemahan itu, setitik harapan muncul di hatinya, membayangkan Kongsun Koan dengan tiga ribu prajuritnya sedang mengendap-ngendap di balik pepohonan menunggu malam tiba untuk mengacau pasukan Lau Cong-bin dari belakangnya.

Sementara kepada prajurit-prajuritnya sendiri yang berjaga di atas tembok kota, Bu Sam-kui selalu mengeluarkan kata-kata yang membesarkan hati.

Pasukan Lau Cong-bin hanya beristirahat satu hari setelah perjalanan mereka dari Pakkhia, kemudian keesokan harinya mereka mulai bertindak. Begitu fajar menyingsing, beberapa orang perwira Lau Cong-bin yang punya tenggorokan kuat dan bisa bersuara keras, mulai mendekati pintu kota dengan menunggang kuda.

Lalu dari situ berteriak-teriak kepada prajurit-prajurit Bu Sam-kui yang di atas tembok kota, isinya ya menggertak, menyombongkan kekuatan pihaknya sendiri dan kemudian menganjurkan agar prajurit-prajurit San-hai-koan menyerah saja.

Di antaranya yang mendengar omongan perwiranya Lau Cong-bin itu adalah Bu Sam-kui sendiri, didampingi beberapa perwiranya dan juga Jai Yong-wan yang tetap saja berpakaian jubah saudagarnya. Kata Jai Yong-wan kepada Bu Sam-kui,

"Cong-peng, kalau si mulut besar itu dibiarkan membual terus, mungkin akan ada sebagian prajurit kita yang berhati kurang teguh akan terpengaruh oleh kata-katanya dan menjadi lemah semangatnya...."

Apalagi para prajurit, sedangkan Bu Samkui sendiri saat itu sudah berkeringat dingin melihat besarnya pasukan Lau Cong-bin itu. Namun sebagai pimpinan tertinggi di San-haikoan, ia harus menyembunyikan rasa gentarnya. Lalu untuk menuruti anjuran Jai Yong-wan, ia mengambil busur dan sebatang anak panah dari salah seorang prajurit di dekatnya.

Dari atas tembok kota ia memanah ke arah seorang perwira Lau Cong-bin yang berteriak-teriak itu. Biasanya Bu Sam-kui adalah seorang pemanah yang baik, tapi kali ini" karena kurang konsentrasi dan tangannya terasa agak dingin, maka anak panahnya tidak mengenai sasarannya, lewat sejengkal di atas topi sasarannya.

Perwira bawahan Lau Cong-bin itu menjadi gusar, lalu berteriak ke atas tembok kota, "Kalian tidak menggubris tawaran baik kami, malahan berusaha membunuhku! Baik, kami pun tidak akan sungkan-sungkan lagi terhadap kalian!”

Lalu perwira itu dan pengawal-pengawalnya memutar kuda-kuda tunggangan mereka dan mundur ke perkemahan. Tidak lama kemudian, dari arah perkemahan Pelangi Kuning kelihatan meriam-meriam beroda didorong maju, diikuti prajurit-prajurit yang memanggul tong-tong mesiu dan peluru-peluru meriam yang berujud bola besi maupun bola batu.

Mereka langsung menempatkan meriam-meriam itu di belakang gundukan-gundukan tanah yang dibuat sehari sebelumnya, dan mengarahkan moncong-moncongnya ke arah tembok San-hai-koan. Mereka tidak berani terlalu dekat sebab mereka rnelihat di atas tembok San-hai-koan juga ada beberapa moncong meriam. Mereka mengira meriam-meriam itu ada isinya.

Munculnya meriam-meriam dari pihak Lau Cong-bin itu membuat prajurit-prajurit Bu Sam-kui kecut. Bu Sam-kui sendiri memberi perintah, "Cari tempat perlindungan!”

Sesaat kemudian, meriam-meriam dari pihak Lau Cong-bin pun menggelegar salingsusul, memuntahkan bola-bola besi dan bolabola batu yang menghantam tembok kota San-hai-koan, terutama pintu gerbangnya, dengan dahsyat.

Bumi seolah bergetar, pintu gerbang yang sudah dilapisi besi itu pun gemeretuk seakan hendak copot setiap peluru meriam menghantam daun pintunya. Dan setiap kali meriam berdentum, Bu Samkui dan prajurit-prajuritnya juga merasa digedor jantungnya.

Sementara Bu Sam-kui dan orang-orangnya berlindung, Jai Yong-wan bersembunyi entah di mana. Sedangkan pihak Lau Cong-bin seakan ingin memamerkan betapa melimpahnya persediaan bubuk mesiu mereka, sehingga gelegar meriam mereka juga tidak pernah terputus.

Mula-mula mereka heran juga melihat pihak San-hai-koan tidak membalas sekian lama, dan akhirnya mereka mengambil kesimpulan, kalau meriam-meriam di pihak San-hai-koan itu hanyalah meriam-meriam "bisu" yang cuma dipajang untuk gertak-sambal.

Mengetahui hal ini, perwira-perwira bawahan Lau Cong-bin semakin berbesar hati. Mereka melaporkannya kepada Lau Cong-bin, dan Lau Cong-bin pun dengan amat bersemangat menjatuhkan perintah, "Arahkan meriam-meriam hanya ke arah pintu-pintu gerbang. Panjat tembok dan rebut kota hari ini juga!”

Perintah itu diteruskan ke garis depan. Meriam-meriam ditarik lebih dekat ke tembok San-hai-koan, digeser arah tembakannya ke arah pintu gerbang barat San-hai-koan.

Sementara puluhan ribu prajurit serempak maju sambil bersorak-sorai. Mereka menyeberangi tempat terbuka antara perkemahan dengan tembok San-haikoan. Mereka membawa tangga-tangga kayu yang panjang-panjang untuk memanjat tembok.

Menghadapi ini, prajurit-prajurit San-haikoan harus keluar dari persembunyian mereka, dan bersiap-siap di atas tembok untuk menanggulangi usaha musuh. Para pemanah dan pelempar lembing di atas tembok kota adalah yang pertama mendapatkan pekerjaan.

Begitu aba-aba diteriakkan, hujan panah dan lembing pun menghambur dari atas tembok ke arah pasukan Lau Cong-bin yang sedang bergelombang mendekat tembok. Puluhan prajurit Lau Cong-bin yang terlambat mengangkat perisainya, segera roboh bertumbangan terkena panah atau lembing.

Mereka yang roboh dilompati begitu saja oleh teman-teman mereka dari belakang. Kalau ada yang sedikit menaruh perhatian, mereka rhencari teman-teman yang belum mati dan masih bisa diselamatkan untuk diseret mundur ke belakang.

Sementara yang lain seolah dibakar nafsu membunuh yang berkobar-kobar dan terus menerjang ke depan sambil mengangkat perisai untuk melindungi diri. Toh, tetap saja ada panah atau lembing yang lolos dari perisai dan mematuk tubuh si pemegang perisai.

Sebagian besar berhasil mencapai kaki tembok, kemudian yang membawa tangga segera menegakkan tangga-tangga itu untuk menggapai bagian atas tembok. Prajurit-prajurit San-hai-koan yang di atas tembok tentu saja tidak membiarkan tangga-tangga itu mapan.

Mereka berusaha mendorong tangga-tangga itu agar roboh, tetapi prajurit-prajurit musuh yang di bawah memeganginya kuat-kuat, sehingga terjadilah adu tenaga antara prajurit-prajurit San-hai-koan yang di atas dan prajurit-prajurit Lau Cong-bin yang di bawah.

Adu tenaga yang tersalur lewat tangga panjang itu. Beberapa tangga berhasil didorong roboh kembali, namun kebanyakan tidak. Dan yang tidak roboh itu langsung digunakan memanjat oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning.

Mereka memanjat sambil dengan satu tangan mengangkat perisai di atas kepala mereka. Sedang pedangnya mereka bawa dengan digigit, dan tangan yang tidak metjiegang perisai membantu memanjat. Mereka naik susul menyusul. Sehingga pada tangga sepanjang belasan meter itu ada beberapa orang memanjat sekaligus.

Tangga itu tetap digoyang-goyang dari atas oleh prajurit-prajurit San-hai-koan, dengan maksud agar pemanjat-pemanjat itu runtuh ke bawah, namun pemanjat-pemanjat itu agaknya berpegangan cukup kuat...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.