المشاركات

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Serial Helian Kong seri kedua, Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 07 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Prajurit-prajurit di atas tembok kota lalu menggunakan cara lain. Menggunakan kaitan-kaitan besi bertangkai panjang, atau menggunakan panah-panah dan lembing-lembing. Beberapa pemanjat berhasil dikait jatuh dan mati di ujung senjata teman-teman mereka sendiri yang di bawah. Atau kalau tidak mati di ujung senjata teman sendiri, mati terhempas dari ketinggian belasan meter.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Namun ada juga yang berhasil memanjat terus, belasan orang jumlahnya, tidak terkait, juga tidak terkena panah atau lembing berkat perisai di atas kepala mereka. Prajurit-prajurit yang di atas tembok tidak kurang akal. Kini mereka menggantikan panah dan lembing dengan batu-batu besar atau balok-balok kayu raksasa.

Kalau lembing dan panah masih bisa ditangkis oleh perisai-perisai rotan para pemanjat, maka batu-batu besar biarpun bisa ditangkis dengan perisai, luncurannya tetap mampu menghempaskan para pemanjat bandel itu ke tanah. Kadang-kadang tubuh yang jatuh dari atas itu juga menimpa pemanjat-pemanjat yang di bawahnya.

Demikianlah kegigihan dari kedua belah pihak, satu pihak coba memanjat ke atas dan pihak lain bersikeras menghalang-halanginya. Pada saat yang sama, peluru-peluru meriam dari pihak Pelangi Kuning juga terus menghantam daun pintu San-hai-koan tak henti-hentinya, namun agaknya pintu gerbang San-hai-koan amat kuat.

Seorang panglima bawahan Lau Cong-bin yang bernama Ni Ho-liao menjadi gemas karena sekian lama belum dilihatnya tanda-tanda kalau prajurit-prajurit San-hai-koan bakal menyerah kalah. Padahal ia tahu kalau meriam-meriam di pihak San-hai-koan tidak dipergunakan karena tidak ada bahan peledaknya.

Saking penasarannya, Ni Ho-liao berteriak kepada regu-regu pemanjat, "Terus panjat! Terus panjat! Jangan berhenti! Kita lihat saja mereka punya berapa banyak persediaan batu dan kayu!”

Begitulah, ia menganjur-anjurkan prajurit-prajuritnya untuk maju terus, sementara ia sendiri duduk di atas kudanya tanpa mengeluarkan setetes keringat pun. Ia sudah terlanjur membual di depan Jenderal Lau bahwa San-hai-koan akan jatuh paling lambat nanti sore, soalnya ia membandingkannya dengan Pak-khia.

San-hai-koan jauh lebih kecil dari Pak-khia, dan prajurit yang menjaga Sanhai-koan juga jauh lebih sedikit dari yang mengawal Pak-khia, mutu prajuritnya juga kalah jauh, maka kalau dulu pasukan Lau Congbin berhasil menerobos masuk Pak-khia paling dulu sehingga Lau Cong-bin diangkat sebagai Panglima Tertinggi, maka dalam anggapan Ni Ho-liao sekarang untuk merebut San-hai-koan akan sama gampangnya dengan merogoh barang di kantong bajunya sendiri.

Yang terpikir saat itu ialah bagaimana untuk "menguras habis" panah, lembing, batu dan kayu dari pihak lawan. Dan untuk "menguras" itu tentu butuh umpan, umpannya ya nyawa prajuritprajuritnya sendiri yang disuruh terus menyerang supaya musuh terus memanah dan melempar batu sehingga cepat habis.

Banyaknya korban jiwa sama sekali tidak pernah terpikir oleh Ni Ho-liao, sebab ia berpikir, "Namanya juga perang..." Begitulah, sambil mengangkat tinggi-tinggi pedangnya dengan gagah tetapi dari tempat yang aman, ia berteriak pula, "Pak-khia yang besar dan kuat pernah kita rebut, apalagi hanya San-hai-koan yang kecil dan dijaga prajurit-prajurit kelaparan ini! Hayo, maju terus, pantang mundur!”

Namun ternyata prajurit-prajurit San-hai-koan memang gigih luar biasa dalam bertahan, biarpun jumlah mereka jauh lebih sedikit. Pihak penyerbu harus lebih dulu "membayar" dengan banyak nyawa dalam upaya merebut tembok itu.

Hujan panah, lembing, batu dan kayu tidak henti-hentinya tercurah dari atas tembok. Bahkan yang dilemparkan dari atas itu ada juga pot-pot bunga yang berisi tanah yang kalau menimpa jidat pasti lumayan rasanya.

Sementara itu, matahari semakin surut ke sebelah barat, dan kalau kegelapan sudah turun, nanti, pastilah panah dan sebagainya dari atas tembok akan semakin sulit dijaga, dan berarti akan semakin banyak korban di pihak Pelangi Kuning.

Seorang panglima bawahan Lau Cong-bin yang lain, Ong Ling-po yang masih muda, agaknya memperhitungkan kerugian itu. Maka dengan satu aba-aba, ia memerintahkan pasukannya agar mundur menjauhi tembok, sambil mengangkut mereka yang luka-luka.

Melihat Ong Ling-po menarik mundur pasukannya, Ni Ho-liao memacu kudanya mendekati Ong Lirig-po sambil berseru, "Adik Ong, kenapa kau tarik orang-orangmu?"

Di atas kudanya pula Ong Ling-po menjawab sambil menuding ke langit, "Sebentar lagi langit gelap, orang-orang kita akan lebih sukar menjaga serangan panah, lembing dan sebagainya. Lebih baik kutarik mundur daripada jatuh banyak korban.....”

“Aku tidak setuju!” sahut Ni Ho-liao. “Mundur sekarang berarti akan memberi kesempatan semalam lagi kepada Bu Sam-kui dan cecunguk-cecunguknya untuk menyegarkan diri. Kalau kita lanjutkan serangan sekarang ini, mungkin tengah malam nanti musuh sudah akan kehabisan panah dan batu, dan besok pagi kita sudah menguasai seluruh kota....”

“Tetapi korban di antara prajurit-prajurit kita pun akan mencapai jumlah ribuan...”

“Jumlah itu kecil dibanding jumlah seluruh prajurit kita."

"Tetapi mereka manusia, mereka punya keluarga."

Ni Ho-liao termangu-mangu, masih penasaran karena ia sangat berambisi mendapatkan nama besar dengan merebut Sanhai-koan hari itu juga tanpa mempedulikan korban yang bakal jatuh. Tetapi Ong Ling-po berpikiran lain agaknya, panglima muda itu benar-benar menarik orang-orangnya karena sayang nyawa mereka.

Sampai hari cukup gelap, Ni Ho-liao masih nekad menggempur San-hai-koan dengan pasukannya, namun akhirnya ia terpaksa mundur juga karena kegigihan prajurit-prajurit San-hai-koan. Pintu gerbang San-hai-koan yang seharian ditembaki meriam ternyata belum jebol juga, meskipun setiap kali engsel-engselnya berkeriut-keriut.

Pasukan di San-hai-koan segera memperbaiki diri. Yang luka-luka diobati, dan ternyata ada juga yang gugur meskipun jumlahnya tidak seberapa karena mereka bertahan di atas tembok. Pintu gerbang VII diperkuat kembali meskipun secara darurat dengan diikat tali-tali besar dan dilapisi papanpapan tebal.

Di atas tembok kembali dikumpulkan panah, lembing, batu dan kayu, penduduk sipil San-hai-koan yang laki-laki diperintahkan untuk ikut membantu. Bu Sam-kui dan perwira-perwira pembantunya berjalan berkeliling untuk membakar semangat para prajurit.

Bu Sam-kui sendiri kelihatan penuh debu, bahkan darah memercik di pakaiannya, karena tadi ia ikut bertempur dengan gigih di tengah-tengah para prajuritnya.

“Kalian sudah bertempur dengan baik hari ini," demikian setiap kali Bu Sarii-kui berkata sambil menepuk pundak prajurit-prajuritnya.

“Beristirahatlah malam ini agar besok kalian menjadi segar, tetapi harus ada yang berjaga secara bergantian, siapa tahu malam ini musuh membuat gerakan." Kemudian dengan tubuh lunglai, Bu Sam-kui berkuda ke tempat tinggalnya.

Ketika melewati rumah Jai Yong-wan, ia bertanya kepada seorang pembantu Jai Yong-wan yang sedang memasang lampu lampion di pintu depan, "Baik-baikkah keadaan Tuanmu?"

Bujang itu membungkuk hormat dan menjawab, "Baik-baik saja, Tuan. Bukankah tidak ada peluru meriam musuh yang jatuh sampai ke tengah-tengah kota ini? Kami cuma mendengar suaranya saja di kejauhan."

Bu Sam-kui mengangguk-angguk. “Kau bernyali besar. Apakah kau bisa bertempur?"

Wajah bujang itu menegang, "Maksud Tuan... maksud Tuan....."

Bu Sam-kui tertawa, "Tidak, tidak, aku belum akan menyuruh penduduk San-hai-koan bertempur. Kami, para prajurit masih mampu dengan tenaga kami sendiri mempertahankan kota ini sampai musuh terpukul mundur. Nah, sampaikan salam kepada Tuanmu, aku pulang dulu.”

“Tidak mampir dulu, Tuan Panglima?”

“Tidak. Aku harus membersihkan diri, makan dan beristirahat. Tugas untuk besok pagi barangkali akan lebih berat dari hari ini." Lalu berlalulah Bu Sam-kui.

Tidak lama setelah Bu Sam-kui berlalu, Jai Yong-wan justru menyelinap keluar dari rumahnya melalui sebuah pintu kecil di samping rumahnya. Tidak memakai jubah saudagarnya yang longgar, melainkan berpakaian ringkas, dan langsung menghilang di lorong-lorong kota San-hai-koan yang gelap dan sepi.

Sementara itu, di perkemahan Lau Cong-bin, Lau Cong-bin sendiri duduk di kursinya yang berlapis kulit macan, dan perwira-perwiranya berdiri berderet-deret di hadapannya. Di sekeliling tenda itu bagian luar maupun dalamnya, nampak pengawal-pengawal pribadi Lau Cong-bin yang terdiri dari wanita-wanita cantik itu berdiri dengan tegap dan gagah, memakai pakaian perang juga.

Jenderal Lau sedang menerima laporan dan usul-usul dari panglima-panglima bawahannya tentang usahanya merebut San-hai-koan. Usaha yang gagal. Lau Cong-bin menggeram gusar mendengar laporan itu. Hatinya panas. Setiap kali teringat kepada Bu Sam-kui yang masih bertahan di Sanhai-koan, Jenderal Lau ingat Tan Wan-wan si jelita yang gagal didapatkannya.

Yang menyakitkan bahwa Tan Wan-wan pernah mengucapkan kata-kata yang membandingkan dengan Bu Sam-kui. Rasa panas hati itulah yang menggerakkannya untuk menyerbu San-haikoan, ingin membawa pulang batok kepala Bu Sam-kui ke Pak-khia untuk ditunjukkan kepada Tan Wan-wan.

Begitulah, ribuan nyawa yang melayang hari itu ternyata ada sangkut-pautnya dengan sakit-hati pribadi Jenderal Lau yang pernah disebut "tua, gembrot dan jelek" oleh Tan Wan-wan. Sekarang di tendanya, Jenderal Lau menumpahkan banjir caci-maki yang sengit kepada panglima-panglima bawahannya.

Dan setelah puas memaki-maki, seorang pengawalnya yang cantik menyuguhkan minuman segar di atas nampan. Jenderal Lau menenggaknya dengan tegukan besar yang VII membuat tenggorokannya berbunyi keras. Minuman itu agaknya meredakan kemarahan Jenderal Lau, sehingga setelah minum maka suaranya merendah,

"Nah, sekarang kalian para kantong nasi, kalian mau omong apa? Kalian yang mengusulkan penyerangan, dan ternyata hari ini kalian gagal. Pastilah Bu Sam-kui itu semakin besar kepala..."

Ong Ling-po tiba-tiba maju ke depan dan memberi hormat, "Jenderal, bolehkah aku berbicara?”

“Mau omong apa lagi?"

Usul Ong Ling-po ternyata menunjukkan nyalinya yang besar, "Jenderal, ijinkanlah malam ini juga aku membawa seribu orang prajurit yang aku pilih dari pasukanku sendiri, untuk mencoba menyusup masuk ke dalam kota San-hai-koan, lalu membukakan pintu kota dari dalam. Aku juga mohon agar rekan-rekan panglima yang lain bersiap-siap di depan pintu kota, begitu pintu kota kami buka dengan isyarat obor, silakan langsung menyerbu masuk."

"Mau menyusup lewat mana?”

“Aku yakin ada suatu tempat yang disusupi. Apakah usulku diterima?"

Jenderal Lau melontarkannya kembali kepada panglima-panglima bawahannya, "Bagaimana menurut kalian usul Panglima Ong ini?"

Semua panglima bawahan Jenderal Lau bungkam, mereka sebenarnya ingin istirahat malam itu, setelah seharian kelelahan menggempur San-hai-koan tanpa hasil. Namun mereka tidak berani terang-terangan menolak usul Ong Ling-po itu, khawatir disebut penakut dan pemalas, dan akan memberi muka terang buat Ong Ling-po. Mereka berharap agar Jenderal Lau menolak usul itu.

Sesuatu yang kurang mereka ketahui, bahwa Jenderal Lau masih akan terngiang-ngiang kata-kata Tan Wan-wan yang membandingkannya dengan Bu Sam-kui, dan itu membuat Lau Cong-bin kurang puas sebelum dapat pulang ke Pak-khia membawa VII 1kepala Bu Sam-kui. Ia ingin hal itu terjadi secepat mungkin. Perkara kelelahan para bawahannya dan korban yang bakal jatuh, tidak jadi soal buatnya.

Karena itulah ia menyetujui usul Ong Ling-po itu, "Baik. Diam berarti setuju. Aku putuskan demikian. Ong Ling-po dengan seribu prajurit pilihan akan menyusup masuk ke San-hai-koan untuk membukakan pintu gerbang dari dalam, yang lain-lain harus bersiap-siap di luar pintu gerbang untuk segera menyerbu masuk. Tetapi jangan terlalu dekat, nanti dilihat oleh musuh dan mereka akan berjaga-jaga."

Begitulah, usai makan malam, mereka pun bersiap-siap. Sementara pasukan-pasukannya berangkat mengendap-endap di gelapnya malam yang dingin, Jenderal Lau sendiri justru berhangathangat di dalam kemahnya bersama koleksi wanita-wanita cantiknya. Tinggal menunggu laporan yang mudah-mudahan laporan baik.

Ong Ling-po dengan seribu prajurit pilihan yang masih segar, yang siang tadi belum ikut berperang, mengendap tanpa obor mendekati tembok San-hai-koan, mengendap-endap di belakang pepohonan dan semak-semak belukar.

Di atas tembok kota nampak obor-obor dipasang dalam jumlah banyak-banyak, nampak juga bayangan prajurit-prajurit San-hai-koan hilir mudik di atas tembok. Nampaknya pihak San-hai-koan benar-benar tidak mau lengah biarpun di malam hari.

Ong Ling-po menyebar orang-orangnya untuk menyelidiki bagian mana dari tembok San-hai-koan yang kelihatannya tidak terjaga. Tentu saja sisi tembok yang menghadap ke wilayah Tiong-goan, sebab ada yang menghadap ke wilayah Liau-tong, wilayahnya bangsa Manchu.

Orang-orang suruhan Ong Ling-po itu segera berpencar. Beberapa saat kemudian mereka sudah kembali satu persatu, dan bunyi laporan mereka sama. Tidak ada sejengkal pun tembok San-hai-koan yang menghadap wilayah Tiong-goan yang tidak terjaga. Setiap jengkal terjaga dengan ketat.

Ong Ling-po garuk-garuk kepala mendengar itu. Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benaknya. “Sepanjang tembok San-hai-koan yang menghadap kemari memang dijaga, tetapi bagaimana dengan sisi tembok yang menghadap keluar Tembok Besar?"

Seorang perwira bawahannya tercengang, "Maksud Hu-ciang (Kolonel), kita akan memanjat tembok San-hai-koan dari sebelah timur laut? Dari wilayah orang Manchu?”

“Bagaimana menurutmu?”

“Berarti kita harus memanjat Tembok Besar lebih dulu untuk menyeberang ke wilayah Manchu. Itu makan waktu, Hu-ciang. Barangkali setelah fajar menyingsing barulah kita baru bisa mulai memanjat tembok San-hai-koan. Dan teman-teman kita yang menanti terbukanya pintu kota juga barangkali sudah tidur karena bosan menunggu kita...."

Ong Ling-po mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya ke jidatnya sendiri, berpikir keras, sambil berkata, "Coba kalian ikut berpikir."

Salah seorang perwira bawahannya tiba-tiba berkata, "Ada jalan..."

Semua menoleh ke arah orang ini, dalam kegelapan malam, hanya nampak sosok tubuhnya yang ramping. Dalam kegelapan, Ong Ling-po melihat semua orang di sekelilingnya bentuknya sama, meskipun demikian ia dapat mengenali setiap perwiranya yang dekat dengannya dengan mengenal suaranya. Kali ini, suara orang yang berbicara ini tidak dikenalnya.

Tetapi Ong Ling-po tidak bersyak-wasangka, dianggapnya orang ini mungkin adalah seorang prajurit rendahan yang tidak terlalu dekat dengannya sehingga tidak dikenalnya, sekarang mencoba mengajukan usul. Mungkin untuk mempromosikan diri sendiri agar naik pangkat. Kata Ong Ling-po, "Katakan."

Sosok bayangan di bawah pohon itu, yang mengaku dirinya hanya "sebagai prajurit biasa", segera berkata, "Aku tahu ada sebuah sungai kecil yang mengalir masuk ke dalam kota San-hai-koan lewat bawah tembok kota. Kita bisa merangkak di sungai kecil itu dan muncul ke dalam kota...."

Saat itu udara sangat dingin, maka bisa dibayangkan bagaimana rasanya malam-malam merangkak di dalam sungai kecil. Tetapi bagi Ong Ling-po, itu agaknya adalah suatu jalan, dan ia langsung menyetujuinya.

“Baik," sahut Ong Ling-po.

“Kau jalan di depan untuk menunjukkan tempatnya."

Orang itu mulai bergerak, memandu Ong Ling-po dan semua prajuritnya mendekati tembok San-hai-koan di suatu arah. Mereka tidak mendekat sampai ke kaki tembok sebab bisa terlihat oleh prajurit-prajurit di atas tembok. Si pemandu memimpin sampai ke sebuah sungai kecil yang airnya gemericik, sungai itu mengalir ke arah kota San-hai-koan.

“Inilah sungainya..." kata orang itu sambil menghentikan langkah di tepi sungai kecil. “Ini menembus langsung ke dalam kota melewati bawah tembok kota."

Malam gelap, namun setelah berada di tempat yang tidak ada pepohonannya, Ong Ling-po sempat juga mengamat-amati wajah orang itu dengan bantuan cahaya bintang yang lemah. Orang itu memang berpakaian seragam perwira Pelangi Kuning, namun wajahnya yang terlalu pucat itu belum pernah dilihat oleh Ong Ling-po.

Namun Ong Ling-po tidak berprasangka, mungkin perwira ini berasal dari pasukan-pasukan yang di luar Kotaraja Pak-khia, yang memang banyak diambil dan diikut-sertakan dalam pasukan penggempur San-hai-koan itu.

“Kau dulu," perintah Ong Ling-po kepada perwira berwajah pucat itu.

Orang itu tanpa ragu-ragu turun ke dalam air, kemudian mulai merunduk maju menyibak air setinggi lutut yang amat dingin itu. Belukar yang tumbuh di sepanjang tepian sungai itu melindunginya dari pandangan prajurit-prajurit San-hai-koan di atas tembok. Lagi pula cahaya obor dari atas tembok sudah lemah sekali sampai ke bawah.

Menyusul Ong Ling-po juga turun, dan mengikuti orang itu. Begitu juga prajurit-prajuritnya. Tubuh mereka menggigil sejenak karena dinginnya air, tetapi mereka maju terus. Ong Ling-po berkata perlahan kepada prajurit yang berjalan di belakangnya,

"Pesankan kepada semua prajurit, agar melangkah perlahan supaya jangan menimbulkan kecupak air yang terlalu keras. Juga dilarang saling berbicara...."

Perintah itu diteruskan kepada orang di belakangnya dan terus ke belakangnya lagi sehingga semuanya mendengar perintah itu. Tanpa rintangan mereka mencapai kaki tembok. Dan untuk menerobos lubang di kaki tembok itu, mereka harus merangkak dalam air, sehingga yang basah bukan hanya kaki saja melainkan seluruh badan kecuali kepala.

Saking dinginnya, ada beberapa prajurit yang tidak tahan untuk tidak terkencing dalam air, sehingga prajurit-prajurit di belakangnya menggerutu dalam air. Tetapi tidak sedikit yang menggerutu itu pun ikut-ikutan terkencing dalam air, karena dinginnya. Sementara, mereka yang sudah tiba di sebelah dalam tembok San-hai-koan segera keluar.

Mereka muncul di sebuah kampung di tengah kota, banyak rumah-rumah namun suasananya sangat sepi sebab semua rumah tertutup, penduduk San-hai-koan tengah dicengkam ketakutan karena peperangan siang tadi.

Begitu keluar dari air, Ong Ling-po dan prajurit-prajuritnya melakukan sedikit senam untuk menghangatkan badan mereka yang seolah hampir beku. Ong Ling-po ingin mencatat jasa perwira berwajah pucat tadi, ia menoleh ke sekelilingnya untuk mencari orang itu, dan memanggil-manggilnya meski belum tahu namanya, tetapi orang itu sudah menghilang entah ke mana.

"He, ke mana prajurit tadi?" tanyanya kepada prajurit-prajuritnya.

Prajutir-prajuritnya saling menoleh mencari orang yang dimaksud, tetapi mereka juga hanya saling menggeleng.

"Orang aneh..." desis Ong Ling-po heran.

“Hu-ciang..." kata seorang perwira bawahannya tertahan-tahan, dan tidak dilanjutkan.

Ong Ling-po seolah dapat membaca pikiran bawahannya itu, lalu melanjutkan, "Kenapa? Maksudmu perangkap?"

Perwira yang ditanya itu membungkam, dan ia mengiyakan dengan kebungkamannya.

Ong Ling-po tidak menutupi kemungkinan itu, "Kemungkinan itu ada, tetapi kita sudah berada di dalam kota San-hai-koan sekarang, apakah akan mundur?"

Para perwiranya saling toleh, kemudian yang terdengar adalah suara Ong Ling-po yang tegas, "Kita tetap dalam rencana. Mari kita rebut salah satu pintu gerbang. Kita serang secara mendadak."

Mereka pun merunduk di antara loronglorong gelap kota San-hai-koan untuk mendekati ke pintu kota. Ong Ling-po maju paling depan dengan menggenggam erat senjatanya, sepasang Hau-thau-kau (kaitan kepala macan). Mereka tiba di sebuah pintu gerbang, dan mengintip dari persembunyian mereka, melihat pintu gerbang itu pun ternyata dijaga kuat.

Ada juga belasan ekor kuda yang tertambat di tonggak, setiap saat digunakan para penghubung untuk memberitahukan kepada yang lain kalau keadaan menjadi gawat. Ong Ling-po membisiki seorang perwira di sebelahnya,

"Bawa orang-orangmu membunuh kuda-kuda itu begitu serangan dimulai. Jangan sampai musuh bisa saling berhubungan melalui para kurir. Paham?"

Si perwira mengangguk, lalu membawa anak buahnya mengendap-endap memasuki sebuah lorong yang lain di antara rumah-rumah penduduk San-hai-koan yang gelap. Sedangkan Ong Ling-po tidak menunggu lebih lama lagi, dengan sebuah isyarat, hujan panah segera menghambur ke arah prajurit-prajurit San-hai-koan yang menjaga pintu gerbang itu.

Prajurit-prajurit San-hai-koan itu jadi panik, tidak menyangka musuh menyerang malam-malam bukan dari luar pintu gerbang, tetapi dari dalam pintu gerbang. Puluhan prajurit tumbang seketika terkena hujan panah. Yang lain-lain sempat mengangkat perisai-perisai mereka sambil berteriak saling memperingatkan.

Tetapi para prajurit San-hai-koan segera membalas, meskipun agak sulit memanah sebab musuh bersembunyi di tempat-tempat gelap. Bahkan ada yang mulai menyerbu ke tempat yang gelap dengan berani.

Perwira Ong Ling-po yang ditugasi membunuh kuda segera bertindak. Ia dan orang-orangnya menghujankan panah ke arah kuda-kuda itu sehingga dalam sekejap belasan kuda itu mati semua.

“Sergap mereka!”

Ong Ling-po mengomando orang-orangnya, la sendiri langsung menyongsong prajurit-prajurit San-hai-koan dengan sepasang Hau-thau-kau-nya. Sepasang lengannya bergerak tanpa ragu-ragu, dan beberapa prajurit San-hai-koan dirobohkannya.

Orang-orangnya mengikutinya, dan bertemu dengan pengawal-pengawal pintu Sanhai-koan, seperti dua gelombang yang bertabrakan, begitulah di belakang pintu kota itu segera terjadi pertempuran sengit di bawah cahaya obor-obor.

Sengit, sebab prajuritprajurit Pelangi Kuning ingin merebut pintu gerbang secepatnya, sedang prajurit-prajurit San-hai-koan tentu saja mempertahankannya mati-matian karena pintu-pintu gerbang itulah kunci mati hidup mereka.

Ong Ling-po masih sempat merobohkan beberapa prajurit San-hai-koan lagi, tetapi ulahnya terhenti ketika di depannya muncul seorang bertubuh tegap dan bersenjata sebuah kampak bertangkai sepanjang tombak.

Orang itu adalah Miao Hu, seorang perwira bawahan Bu Sam-kui yang berdarah dingin. Tanpa berkata apa-apa, langsung saja Miao Hu mengayunkan kampak panjangnya ke ubun-ubun Ong Li-po.

Biarpun kepala Ong Ling-po mengenakan ketopong besi, namun kalau sampai terkena kampak besar yang digerakkan tenaga besar itu, pastilah ketopongnya akan penyok dan tengkorak kepalanya tetap saja bakal ringsek. Ong Ling-po tidak ingin mengalami nasib demikian.

Dengan gesit ia berkelit ke samping, membiarkan kampak itu lewat di samping tubuhnya. Bukan itu saja, kaitan kirinya mengkait "leher" kampak itu dan menariknya searah dengan gerakan awalnya. Miao Hu terseret selangkah ke depan, sementara kaitan kanan Ong Ling-po hendak mengkait ke kulit muka Miao Hu. Demikianlah sekarang balik Miao Hu yang terancam.

Tapi Miao Hu juga cukup tangkas, ia cepat menegakkan pinggangnya sambil mengangkat kedua lengannya, bagian tengah dari kampaknya ia gunakan menangkis kaitan lawan yang menyerang muka. Sambil kakinya menyapu agak tinggi ke lutut Ong Ling-po.

Ong Ling po membuat sebuah lompatan berputar, VII 2sepasang kaitannya bergetar bersama seperti sepasang sayap garuda. Begitulah, kedua perwira yang sama-sama berani dan sama-sama tangkas itu bertarung dengan sengit. Kelihatannya mereka seimbang.

Para pengawal San-hai-koan amat gigih mempertahankan pintu gerbang, mereka sadar betapa fatal akibatnya kalau sampai pintu itu dapat direbut dan pasukan musuh membanjir masuk ke kota. Di sekitar pintu gerbang itu para pengawal San-hai-koan kalah jauh dalam jumlah. Mereka hanya dua ratusan, sedang musuh yang menyelundup masuk itu seribu orang, lima kali lipat.

Namun pengawal-pengawal San-hai-koan itu berharap teman-teman mereka akan berdatangan dan segera menumpas penyusup-penyusup ini. Prajurit-prajurit San-hai-koan yang berjaga-jaga di atas tembok kota pun mengetahui keributan itu. Segera mereka memanah dari atas tembok, bahkan menjatuhkan batu-batu.

Kali ini bukan ke sebelah luar tembok kota seperti siang tadi, melainkan ke sebelah dalam. Ong Ling po membuat sebuah lompatan berputar, sepasang kaitannya bergetar bersama seperti sepasang sayap garuda. Banyak prajurit-prajurit Ong Ling-po menjadi korban.

Para perwira bawahan Ong Ling-po segera mengambil prakasa untuk menyelamatkan orang-orangnya. Mereka memecah orangorangnya menjauhi tembok, menyusup ke dalam lorong-lorong kota San-hai-koan yang gelap. Dengan demikian, tekanan berat yang dirasakan semula oleh pengawal-pengawal pintu gerbang San-hai-koan, terasa sedikit kendor.

Ong Ling-po menjadi cemas. Pintu gerbang harus direbut secepat mungkin dan dibuka, sebelum pihak musuh kedatangan bala bantuan, tapi kalau tekanan orang-orangnya kepada pengawal-pengawal pintu mengendor, persoalannya bisa berlarut-larut. Salah-salah ia sendiri dan orang-orangnya takkan bisa keluar dari San-hai-koan dan malahan tertumpas di dalam kota.

Ia meneriakkan kata-kata isyarat, agar orang-orangnya yang berpencaran itu secepatnya kembali memberi tekanan ke pengawal-pengawal pintu gerbang. Ketika anak buah Ong Ling-po kembali menyusun diri untuk menekan musuh, unsur kejutannya sudah jauh berkurang.

Meski pengawal-pengawal San-hai-koan tetap mengalami kesulitan karena jumlahnya kalah jauh, namun kegigihan dan semangat tempur mereka membuat pertahanan mereka jadi alot dan susah ditembus. Apalagi ketika pengawalpengawal San-hai-koan lainnya mulai berdatangan membantu teman-teman mereka mempertahankan pintu kota.

Kebanyakan yang datang dari atas tembok kota, turun melalui tangga batu di kiri kanan pintu gerbang. Prajurit-prajurit Pelangi Kuning coba menyumbat ujung-ujung bawah tangga-tangga itu. Tetapi banyak pengawal San-hai-koan yang tidak sabar lagi turun dengan menyusuri tangga batu yang lebarnya cuma satu meter itu.

Banyak yang baru sampai di tengah-tengah tangga dan langsung melompat turun begitu saja untuk langsung terjun ke gelanggang, meringankan beban teman-teman mereka. Begitulah, makin malam pertempuran makin sengit.

Korban-korban di kedua belah pihak sudah puluhan orang yang tewas, yang luka-luka lebih banyak lagi. Penduduk sipil Sanhai-koan gemetar ketakutan bersembunyi di rumah masing-masing, berkomat-kamit membaca doa, berharap keributan lekas selesai. Penduduk sudah acuh tak acuh, tidak peduli bendera apa yang bakal berkibar di atas kota San-hai-koan, asal perang dan permusuhan cepat selesai.

Penduduk sipil San-hai-koan sudah merasakan betapa pahitnya permusuhan yang tidak berkesudahan itu, bagaimana bahan makanan yang tinggal sedikit pun dirampas untuk persediaan tentara, bagaimana jantung mereka setiap kali serasa diperas-peras mendengar dentum meriam, suara denting senjata, dan sorak orang berperang.

Ong Ling-po yang merasa dipacu untuk segera merampungkan tugasnya, mengerahkan segenap ketangkasannya untuk segera VII 32 membereskan Miao Hu, lawannya. Lawannya itu bertenaga besar, Ong Ling-po tahu itu, maka Ong Ling-po justru memanfaatkan keunggulan dirinya, yaitu kecepatan, untuk menekan lawannya.

Ia kerahkan seluruh kecepatannya, ia boyong keluar gerak-gerak tipu yang diharapkan bisa membingungkan lawannya. Dari keunggulan kecepatan Ong Ling-po itu memang segera menunjukkan hasilnya. Miao Hu mulai terdesak, bahkan kulit di pahanya sudah terkoyak berdarah oleh kaitan lawannya, dan langkahnya mulai terpincang-pincang.

Sementara Ong Ling-po terus melabraknya bertubi-tubi, berlompatan mengitari lawannya, membuat lawannya semakin kebingungan harus menghadap ke mana. Dan meski pengawal-pengawal San-haikoan terus kedatangan bantuan, tetapi prajurit-prajurit Pelangi Kuning terus mendesak dengan garang dan gigih, makin berhasil mendekat ke pintu gerbang.

Prajurit-prajurit San-hai-koan sendiri juga tidak bisa seluruhnya datang ke pintu gerbang. Sebagian besar tetap berjaga-jaga di atas tembok kota untuk mewaspadai keadaan di luar kota, biarpun tidak kelihatan apa-apa, juga harus menjaga pintu-pintu gerbang yang lain karena khawatir penyusupan di berbagai tempat, juga untuk menjaga tempat-tempat penting di dalam kota, seperti kediaman Bu Sam-kui, gudang perbekalan dan lain-lain.

Prajurit-prajurit San-hai-koan jadi lebih sibuk lagi, ketika dari tengah kota tiba-tiba terlihat api berkobar menjulang tinggi. Terdengar teriakan, "Gudang bahan makanan terbakar! Gudang bahan makanan terbakar!”

Prajurit-prajurit pun jadi kalang-kabut. Bahan makanan adalah "nyawa" mereka yang terkurung di San-hai-koan itu, bahkan untuk mendapatkannya saja harus tutup-kuping dan tutup-hati dari jerit-tangis rakyat kecil yang dirampas bahan makanannya. Kini tiba-tiba tempat penyimpanan bahan makanan terbakar, keruan para prajurit San-hai-koan kebingungan.

Meskipun mereka tahu ada teman-teman mereka yang berusaha memadamkan api, tetapi prajurit-prajurit yang bertahan di pintu gerbang itu mau tidak mau terpengaruh semangatnya. Sementara mereka menyangka bahwa kota Sanhai-koan benar-benar mengalami serbuan dan penyusupan besar-besaran.

Prajurit-prajurit itu tidak tahu, bahwa Ong Ling-po sendiri sebagai pimpinan para penyerbu, juga tidak tahu dari mana tiba-tiba ada api di gudang perbekalan itu, sebab itu diluar rencananya. Sampai Ong Lingpo berpikir,

"Malam ini sudah ada dua peristiwa ganjil. Tahu-tahu saja ada orang berwajah pucat mengaku-aku sebagai prajuritku, menunjukkan jalan memasuki San-hai-koan dan setelah itu menghilang begitu saja tanpa meninggalkan namanya. Sekarang, entah siapa yang menyalakan api di gudang perbekalan San-haikoan itu?"

Apakah ada sekelompok anak buahnya yang menyimpang dan melakukan hal itu tanpa perintahnya? Memang menguntungkan pihaknya, membuat prajurit-prajurit San-hai-koan terpecah-pecah perhatiannya, tetapi sesuatu yang berjalan di luar rencana selalu membuat Ong Ling-po berpikir.

Namun yang lebih bingung adalah Miao Hu. Pikirannya sama dengan prajurit-prajurit Sanhai-koan lainnya, yaitu membayangkan ada serbuan besar-besaran dari kaum Pelangi Kuning. Karena pikirannya kacau, konsentrasinya dalam pertempurannya melawan Ong Ling-po pun semakin buyar, suatu ketika, senjata Ong Ling-po bukan hanya menambahi luka-luka di tubuh Miao Hu, tetapi juga menamatkan riwayat Miao Hu dengan sebuah sabetan ke perut.

Gugurnya Miao Hu membuat semangat tempur pengawal-pengawal San-hai-koan merosot, sebaliknya prajurit-prajurit Pelangi Kuning bertambah semangatnya. Maka dipelopori Ong Ling-po yang mengamuk lebih hebat tanpa lawan yang setanding lagi. Beberapa saat kemudian, prajurit-prajurit Pelangi Kuning pun berhasil menghalau sisa-sisa pengawal pintu gerbang San-hai-koan dan merebut pintu gerbangnya.

Tetapi tidak berarti pertempuran selesai, meski pengawal-pengawal San-hai-koan sudah terdorong minggir dari pintu gerbang, mereka tetap berusaha merebutnya kembali biarpun tanpa pimpinan karena Miao Hu sudah mati. Seorang perwira mengambil alih pimpinan dan tidak membiarkan prajurit-prajuritnya bertempur tak terarah. Mereka berusaha merebut kembali pintu gerbang.

Belasan prajurit Pelangi Kuning berhasil mengangkat palang pintu-pintu gerbang yang berat itu, dan menyingkirkannya, sementara mereka dilindungi teman-teman mereka. Kemudian dengan suara berkeriut-keriut hebat, pintu gerbang itu berhasil didorong sehingga terbuka dengan diiringi sorak gemuruh para prajurit Pelangi Kuning.

Sementara prajurit-prajurit San-hai-koan semakin ciut nyalinya melihat pintu gerbang itu sudah menganga lebar, mereka sudah membayangkan pasukan musuh akan membanjir masuk tak terbendung lagi seperti air bah, dan San-hai-koan akan jatuh dalam waktu singkat.

Pada saat prajurit-prajurit San-hai-koan hampir putus-asa itulah Bu Sam-kui muncul, menunggangi kuda, diikuti beberapa perwiranya yang juga menunggang kuda, diikuti lagi ratusan prajurit yang agak ketinggalan di belakangnya karena tidak berkuda. Menerjangkan kudanya ke tengah-tengah para prajurit-prajurit Pelang Kuning sambil menebas-nebaskan pedangnya dengan sengit, teriaknya gusar,

"Bandit-bandit Pelangi Kuning! Aku ucapkan selamat datang di San-hai-koan sekaligus selamat jalan ke neraka!”

Kedatangan Bu Sam-kui membuat orang-orangnya jadi bersemangat kembali. Apalagi setelah perwira-perwira Bu Sam-kui ikut mengamuk pula, diikuti prajurit-prajurit yang baru datang. Tetapi saat itu pintu gerbang kota sudah terbuka lebar.

Seorang prajurit Pelangi Kuning segera mencabut sebatang obor yang ada di pintu gerbang, lalu menghadap ke kegelapan di luar pintu gerbang sambil mengayun-ayunkan obor itu sebagai isyarat yang sudah ditetapkan untuk pasukan-pasukan yang di luar kota. Prajurit-prajurit San-hai-koan menjadi panik.

Bu Sam-kui berteriak di atas kudanya, "Cegah dia!”

Ong Ling-po dengan berani menghadang di depan Bu Sam-kui meskipun ia tidak menunggang kuda. Satu kaitannya menangkis sabetan pedang Bu Sam-kui, kaitan lainnya bukan menyerang Bu Sam-kuinya melainkan menyerang kudanya. Kuda itu tergores lehernya sehingga melonjak-lonjak kesakitan, Bu Sam-kui terpaksa harus melompat turun sebelum dicelakakan oleh tunggangannya sendiri.

Bu Sam-kui segera bertempur sengit dengan Ong Ling-po. Sambil bertempur, Bu Sam-kui masih sempat berseru kepada anak buahnya, "Cegah pemberi isyarat itu! Panggil pasukan-pasukan lain untuk memperkuat pertahanan di sini!” Rupanya Bu Sam-kui benar-benar mencemaskan pasukan musuh yang jauh lebih besar itu akan menyerbu seperti air bah, menenggelamkan pasukannya.

Sementara Ong Ling-po mengejeknya, "Terlambat, Bu Sam-kui. Lebih baik menyerah saja daripada mengorbankan banyak orangorangmu. Percuma mempertahankan wilayah dinasti Beng yang tinggal secuwil ini, tinggal San-hai-koan dan sekitarnya..."

Bu Sam-kui tidak menjawab, tetapi semakin sengit menikam-nikamkan pedangnya. Pertempuran di pintu gerbang yang sudah terbuka itu memang menjadi mati-matian dan sangat berdarah. Yang bertemu di tempat itu seolah sudah bukan seperti dua kelompok manusia, tetapi dua kelompok serigala yang buas.

Prajurit dari kedua belah pihak berlomba-lomba memamerkan kekejaman hewani mereka dengan maksud merontokkan semangat musuh. Namun di kedua pihak yang terjadi adalah sebaliknya. Masing-masing bukannya gentar melihat teman-teman mereka dicincang, malahan semakin buas dan terangsang untuk VII 41 melakukan hal yang sama, bahkan kalau bisa lebih hebat.

Sementara prajurit-prajurit San-hai-koan lainnya mulai berbondong-bondong datang ke pintu gerbang itu, sehingga akhirnya berjumlah lebih banyak dari orang-orangnya Ong Ling-po. Sebaliknya pasukan Pelangi Kuning yang diharap-harapkan segera datang untuk memasuki pintu yang sudah terbuka itu, ternyata sekian lama belum juga datang.

Belum satu batang hidung pun yang nampak, sorak-sorainya juga belum kedengaran, padahal itu bisa diharapkan menghancurkan semangat musuh dan menaikkan semangat di pihaknya sendiri. Karena sekian lama menunggu-nunggu pasukan itu belum muncul juga, Ong Ling-po menjadi kesal dan memaki teman-temannya sendiri dalam hati,

"Dasar kantong-kantong nasi. Mungkin mereka tertidur semua, bahkan yang disuruh mengawasi isyarat dari sini mungkin juga tidur. Atau mungkin mereka berjalan kemari tetapi dengan merangkak....."

Begitulah kesalnya Ong Ling-po, namun ia harus tetap gigih menghadapi Bu Sam-kui yang ternyata lebih tangguh dari Miao Hu yang sudah dibunuhnya tadi. Dan kepada prajurit-prajuritnya ia tetap berusaha mengobarkan semangatnya, "Tetap pertahankan pintu gerbang! Sebentar lagi teman-teman kita akan datang untuk mengambil kota ini!”

Orang-orangnya jadi bersemangat dan bertahan dengan gigih, namun yang datang membanjir ke tempat itu bukannya teman-teman mereka malahan prajurit-prajurit Sanhai-koan. Si pemberi isyarat sampai pegal lengannya mengayun-ayunkan obor di depan pintu gerbang, tanpa tanggapan apa-apa dari teman-temannya di kejauhan.

Dan seorang prajurit San-hai-koan "berbaik hati" menghilangkan pegal prajurit Pelangi Kuning pemberi isyarat itu dengan menjatuhkan sebuah batu dari atas tembok tepat ke kepala si pemberi isyarat. Ong Ling-po dan orang-orangnya berusaha bertahan gigih, masih dengan harapan temantemannya akan datang biar terlambat.

Ternyata setelah sekian lama, tetap saja tidak ada yang muncul, sementara Ong Ling-po dan orangorangnya mau tidak mau terus terdorong mundur ke sebelah luar pintu gerbang. Begitulah, perjuangan Ong Ling-po dan penyusup-penyusup itu jadi sia-sia.

Pengorbanan mereka dengan merangkak-rangkak dalam air yang dingin bahkan tidak sedikit yang sampai terkencing-kencing, lalu sekian jam perjuangan memeras tenaga sampai bisa membuka pintu gerbang, akhirnya hanya begitu saja. Mereka didorong kembali ke luar.

Sudah begitu, ketika mereka keluar pintu gerbang, prajurit-prajurit San-hai-koan yang di atas tembok menghujankan panah, lembing dan batu-batu, menambah jumlah korban di pasukannya Ong Ling-po.

Maka ketika akhirnya Ong Ling-po dan orang-orangnya terbirit-birit menghilang ke dalam kegelapan malam di luar kota San-hai-koan, pasukannya itu tinggal separuh. Berangkatnya seribu orang, kembalinya cuma lima ratus. Dari tempat yang cukup aman dari jangkauan panah, Ong Ling-po dengan sangat masygul melihat prajurit-prajurit San-hai-koan menutup kembali pintu gerbang yang tadinya sudah terbuka itu.

Di balik pintu yang sudah dipalang kembali itu, Bu Sam-kui mengusap keningnya dan berkata, "Sungguh berbahaya, hampir saja mereka merebut kota ini. Perketat kewaspadaan, dan cari dari mana mereka menyelundup masuk....."

Dalam kegelapan malam, jauh dari San-haikoan, Ong Ling-po melampiaskan kekesalannya dengan menghentak-hentakkan kaki dan memaki-maki teman-temannya sendiri yang berjanji akan menyerbu pintu San-hai-koan begitu terbuka, tetapi nyatanya tidak sehingga jerih-payahnya dan prajuritnya tak ada hasilnya. Prajurit-prajuritnya hanya memandangi saja ulah komandannya itu.

Sampai Ong Ling-po tiba-tiba menoleh kepada mereka dan berkata, "He, kenapa kalian diam saja? Kalian ingin otak kalian jadi miring karena kekecewaan yang menumpuk di kepala kalian dan tak terlampiaskan? Ayo, kalian boleh berteriak, menangis, bahkan kalau mau memaki-maki para jenderal atasan kalian juga boleh, memaki aku juga boleh! Di sini tidak ada disiplin militer, kita hanya sekelompok orang-orang yang dikecewakan!”

Prajurit-prajuritnya saling menoleh dengan kebingungan, seolah tidak percaya Ong Ling-po mengucapkan itu. Biasanya Ong Ling-po adalah seorang yang menerapkan disiplin yang baik.

“He, apakah kalian mendadak jadi bisu semua? Ayo, keluarkan suara, kalian boleh memaki siapa saja dan aku tidak akan melaporkannya! Memaki aku juga boleh, memaki ketololanku, kegoblokanku, sehingga banyak dari kalian terbunuh secara sia-sia....”

“Tidak!” seorang prajurit dari pangkat yang paling rendah, tiba-tiba saja meletupkan gejolak jiwanya. “Hu-ciang tidak bersalah! Dengan mataku sendiri aku melihat Hu-ciang mundur paling akhir untuk melindungi gerak mundur kami! Hu-ciang tidak bersalah, Hu-ciang mendapat luka-luka karena berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin dari kami...."

Ong Ling-po menyeringai kecut, desisnya, "Dalam kegoblokanku, masih ada juga yang memuji aku. Yang mau omong lagi siapa?"

"Lau Cong-bin babi...." seorang prajurit tiba-tiba nekad mengucapkannya, meskipun dengan takut-takut.

Dan ketika merasa semakin berani, ia berteriak lebih keras, "Lau Cong-bin babi busuk! Babi kebiri."

Padahal Lau Cong-bin adalah Panglima Tertinggi. Ucapan prajurit rendahan itu seolah mengawali ledakan perasaan prajurit-prajurit itu. Mulailah mereka memaki-maki, makin lama makin berani, ada juga yang melampiaskan kesalnya dengan menangis sambil tertelungkup di rerumputan sambil memukul-mukul tanah, atau berpelukan dengan teman-temannya, atau menggunakan pedang untuk membacoki tanah dan pepohonan.

Begitulah, tempat itu menjadi riuh-rendah dengan suara orang mencaci-maki, menangis, berteriak-teriak. Ong Ling-po membiarkannya saja, sampai semuanya akhirnya reda sendiri. Ia sendiri pun merasa sangat lega setelah melampiaskan kejengkelannya. Kemudian ia membawa pasukannya berbaris kembali menuju perkemahannya.

Tetapi sebelum sampai ke perkemahan, tiba-tiba dari belakang segerumbul semak belukar terdengar seorang merintih perlahan. Ong Ling-po mendengarnya, lalu menghentikan langkahnya. Dengan sebuah isyarat, ia memerintahkan prajurit-prajuritnya yang membawa obor agar mengangkat obornya lebih tinggi supaya lebih menerangi keadaan di tempat itu.

Ong Ling-po sendiri mendekati semak belukar itu sambil membentak, "Siapa di situ? Keluar!”

Sesosok tubuh melangkah keluar dari balik semak-semak itu, melangkah tertatih-tatih sambil memijit-mijit tengkuknya sendiri seperti sangat kesakitan, orang itu hanya memakai pakaian dalam di malam yang dingin itu.

Semula Ong Ling-po tidak lagi menggubris, karena disangkanya orang itu mungkin orang desa sekitar San-hai-koan yang sedang bermain cinta di semak-semak itu dengan pasangannya, tetapi mungkin ketahuan orang dan dihantam tengkuknya dan perempuannya dibawa ke tempat lain. Kejadian seperti itu biasa saja.

Ong Ling-po sudah bermaksud meninggalkannya begitu saja, kalau tidak seorang perwiranya tiba-tiba berkata dengan kaget, "Hei, bukankah ini Si A-lok?"

Ong Ling-po menoleh ke arah perwiranya yang bersuara tadi dan bertanya, "A-lok siapa?"

Sahut perwira bawahanpya itu; "A-lok juga seorang rekan kami, perwira yang berpangkat sama dengan aku dan satu pasukan denganku, tadi juga ikut berangkat untuk menyusup ke San-hai-koan..."

Ong Ling-po tercengang, "Kalau ikut berangkat, kenapa sekarang malahan ada di balik semak-semak itu, dan ke mana pakaian seragamnya?"

A-lok si perwira yang baru keluar dari balik semak-semak hanya dengan pakaian dalam itu, cepat-cepat berlutut di depan Ong Ling-po untuk melaporkan, "Lapor, Komandan, aku sampai seperti ini bukan karena mengabaikan disiplin, melainkan karena mengalami sesuatu...”

“Sesuatu apa? Ceritakan!”

"Tadi ketika aku bersama pasukan berangkat ke San-hai-koan, aku mendapat tempat di barisan belakang. Tiba-tiba aku merasa ingin kencing, lalu diam-diam aku keluar dari barisan dan menghampiri semak-semak di pinggir jalan untuk kencing. Belum sempat kencing, tahu-tahu dari semak-semak melompat keluar seseorang yang langsung memukul aku sehingga pingsan. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama pingsan, hanya begitu sadar aku sudah seperti ini Seragamku lenyap entah kemana..."

Meskipun tidak diceritakan, Ong Ling-po dan lain-lainnya bisa menerka dengan mudah apa yang terjadi selama Si A-lok ini pingsan. Penyergap itu melucuti pakaian seragam A-lok, dan buat apa lagi kalau bukan digunakan menyamar ke tengah-tengah pasukan Ong Lingpo? Tak sengaja Ong Ling-po menoleh ke arah anak buahnya, seolah-olah ingin menemukan siapa yang palsu di antara mereka, yang memakai pakaian seragam kepunyaan A-lok.

Lalu menoleh kembali kepada A-lok, "A-lok, kau bisa mengenali wajah orang yang menyerangmu itu?"

A-lok mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat. "Saat itu terjadi begitu cepat, dan terjadinya di dalam gelap pula, aku tidak yakin benar apa yang aku lihat. Tetapi sekilas... sekilas wajah orang itu sepertinya... begitu pucat hanya itu, Hu-ciang."

Ong Ling-po langsung teringat kepada seorang yang tiba-tiba saja muncul dan menunjukkan jalan untuk menyusup ke dalam San-hai-koan, kemudian setelah tiba di bagian dalam tembok San-hai-koan, orang itu menghilang begitu saja. Orang itu mengaku sebagai "seorang perwira rendahan" saja bahkan menyebutkan namanya saja tidak mau.

Kemudian, selama pertempuran di pintu gerbang tadi, juga terjadi kebakaran gudang perbekalan makanan di tengah San-Hai-koan, padahal tidak ada satupun anak buah Ong-lingpo yang melakukannya. Sesuatu yang cukup aneh, dan tidak mungkin dijawab hanya dengan "Mungkin penjaga-penjaga gudang sendiri yang kurang hati-hati sehingga terbit kebakaran itu," dan semacamnya.

Ong ling-po menganggap semuanya itu bukan secara kebetulan saja. Memang yang dilakukan orang berwajah pucat itu semuanya menguntungkannya. Menunjukkan cara masuk San-hai-koan, yang seandainya tidak ditunjukkan kepada Ong Ling-po dan pasukannya tentu sulit sekali memasuki San-hai-koan.

Juga kebakaran di gudang perbekalan itu menguntungkan, membuat prajurit-prajurit San-hai-koan kebingungan karena menyangka terjadinya penyusupan besar-besaran. Tetapi yang dipikirkan Ong Ling-po bukan soal menguntungkannya saja, tetapi apa maksud orang itu di balik tindakan-tindakannya? Maksud baik? Atau maksud-maksud lainnya?

Namun saat itu Ong Ling-po dalam keadaan lelah lahir-batin, rasa kesal di hatinya juga belum bersih benar sehingga mempengaruhi otaknya yang biasanya rajin berpikir. Ia tidak memikirkannya lagi, meski bukan berarti melupakannya. Demikianlah ia mengajak orang-orangnya kembali ke perkemahan.

Ketika mereka melewati sebuah lapangan di balik bukit tidak jauh dari San-hai-koan, tempat di mana seharusnya pasukan yang menunggu menyerbu masuk San-hai-koan apabila diberi isyarat, ternyata di tempat itu tidak kelihatan seorang pun. Tetapi di rerumputan ada bekas-bekas kalau tadinya ada pasukan menunggu di situ, namun kemudian ditarik kembali ke perkemahan.

"Pantas, kita beri isyarat lama tidak ada tanggapan apa-apa...." gerutu Ong Ling-po. “Mereka sudah di sini, tapi kemudian kembali ke perkemahan, entah ada apa...”

“Mungkin karena mengantuk...”

“Kalau hanya mengantuk saja lalu mempertaruhkan nyawa kita sebanyak ini, sungguh mereka semua keturunan babi..."

Bermacam dugaan timbul, tetapi setelah dekat dengan perkemahan, mereka heran melihat kesibukan di perkemahan itu. Saat itu sudah larut malam, namun nampak kesiagaan yang tinggi di sekitar dan di dalam perkemahan itu. Biasanya juga ada penjagaan, tetapi tidak seperti ini. Ini berkali lipat.

Seorang panglima bawahan Lau Cong-bin menyongsong Ong Ling-po, berkata dengan sungkan, "Saudara Ong, harap maafkan aku sebab....."

Kata-katanya tak sempat diselesaikannya sebab Ong Ling-po tiba-tiba saja sudah menjotos rahangnya sehingga ia jatuh terkapar! Ong Ling-po berbuat demikiah sebab panglima yang menyongsongnya ini adalah yang ditugaskan menyerbu kepintu San-hai-koan kalau sudah diberi isyarat.

Perwira itu cepat melompat bangun, dengan gusar mencabut pedangnya sambil berteriak "Kurang ajar! Hendak diberi penjelasan baik-baik kok malah main jotos seenaknya saja!"

Ong Ling-po juga segera menyiapkan sepasang kaitannya sambil menyahut, "Tidak perlu kau jelaskan kepadaku. Jelaskan saja kepada arwah prajurit-prajuritku yang malam ini gugur secara penasaran dan sia-sia di Sanhai-koan!”

Kedua orang sesama panglima bawahan Jenderal Lau itu hampir saja saling gebrak dengan Senjata, kalau tidak muncul beberapa panglima lain yang melerai mereka. Di antaranya adalah Deng Hu-koan yang paling disegani oleh panglima-panglima lain, karena dia adalah orang yang kedudukannya paling dekat dengan Jenderal Lau.

Kepada Ong Ling-po, Deng Hu-koan menjelaskan, "Saudara Ong, di antara rekan-rekanmu di perkemahan ini tidak ada satu pun yang bermaksud menjerumuskan kau ke dalam bencana. Memang seharusnya semua berjalan menurut rencana, begitu melihat isyarat di pintu gerbang San-hai-koan, Saudara Phui ini akan langsung menyerbu dengan pasukannya.

"Tetapi ada perkembangan lain yang membuat rencana tidak berjalan seperti semula. Tidak lama setelah kau dan pasukanmu pergi, perkemahan kita diserbu dari arah pegunungan. Mungkin sisa-sisa pasukan dinasti Beng yang menjadi kawan-kawan Bu Sam-kui. Mereka menyerbu dan membakar, kemudian menghilang kembali ke pegunungan dengan gerak cepat.

"Waktu itu Jenderal Lau mencemaskan keselamatan dirinya, sehingga menyuruh seluruh pasukan menghalau penyerbu itu. Termasuk pasukan Saudara Phui yang disiapkan untuk merebut pintu gerbang itu juga harus ditarik ke belakang.....”

“Kenapa aku tidak diberi tahu, sehingga penyerbuanku ke dalam kota San-hai-koan menjadi suatu tindakan yang percuma dan bodoh?" tanya Ong Ling-po penasaran. “Bahkan separuh dari pasukanku mampus sia-sia di dalam kota San-hai-koan. Pengorbanan mereka sepertinya begitu sia-sia!”

"Kami menyesalkan itu, Saudara Ong. Tetapi kami juga sudah menyuruh seorang untuk menyusul pasukanmu dan membatalkan rencana penyusupan itu. Sayang, sudah tidak tersusul."

Sudah dijelaskan seperti itu, Ong Ling-po merasa tidak pantas juga kalau terus menerus menyalahkan. Akhirnya ia cuma bisa menarik napas sambil berkata penuh sesal, "Kalau memang begitu kejadiannya, ya sudahlah. Memang prajurit-prajuritku yang gugur malam ini rupanya sudah ditakdirkan menjadi arwah-arwah penasaran. Suatu saat harus kuadakan upacara sembahyang khusus untuk menenangkan roh mereka...”

“Bagus kalau kau bisa memahami, Saudara Ong.”

“Besarkah kerugian yang disebabkan oleh penyerbuan itu?" Ong Ling-po kemudian bertanya, pura-pura memberi perhatian, sekedar untuk mengalihkan kemasygulannya yang tidak akan mudah dihapus hanya dengan penjelasan.

Deng Hu-koan mengertakkan gigi, "Penyergap-penyergap itu betul-betul pengecut. Mereka menyerbu selagi kita tidur, dan yang mereka serang juga bukan perkemahan prajurit tempur, melainkan garis belakang, tempat perbekalan makanan kita disimpan. Sebagian besar perbekalan makanan kita musnah! Benar-benar sisa-sisa dinasti Beng itu berkelahi seperti perempuan!”

Waktu itu, angin malam yang bertiup memang sayup-sayup membawa bau barang-barang terbakar. Mendengar, penjelasan tentang terbakarnya perbekalan, Ong Ling-po tiba-tiba teringat bahwa perbekalan pasukan di San-hai-koan pun telah dibakar seorang yang misterius.

Tiba-tiba pula Ong Ling-po tertawa geli dan berkata, "Hehe-he, di luar kota San-hai-koan ini bakal berhadapan dua pasukan yang sama-sama kelaparan, sama-sama bertempur dengan perut kosong...”

“Apa yang terjadi di San-hai-koan?"

Secara ringkas Ong Ling-po menceritakan pengalamannya. Ia ceritakan apa adanya, bahwa orang yang membakar gudang perbekalan pasukan itu tidak dikenalnya. Sedikit berbeda dengan perwira-perwira bawahan Lau Cong-bin yang biasanya suka menjilat dan suka mengakui jasa orang lain sebagai jasanya sendiri, Ong Ling-po membeberkan apa adanya. Meskipun seandainya ia mengakui pembakaran gudang perbekalan itu sebagai "hasil karya"nya juga takkan ada yang bisa membuktikan sebaliknya.

Deng Hu-koan tertawa dingin, "Bagus. Tetapi posisi kita lebih menguntungkan. Biarpun bahan makanan kita habis, kita bisa mendapat kiriman. Besok pagi-pagi juga akan kukirim kurir ke Pak-khia untuk minta kiriman perbekalan baru. Sedangkan Bu Sam-kui yang terkurung di San-hai-koan takkan bisa ke manamana, ia hanya menunggu mati kelaparan bersama prajurit-prajuritnya..."

Ong Ling-po cuma menarik napas, kemudian berkata, "Maaf, Kakak Deng. Aku lelah. Prajurit-prajuritku juga banyak yang terluka dan harus diobati.”

“O, baik-baik. Istirahatlah."


Keesokan harinya, Jenderal Lau mengumpulkan perwira-perwiranya, dan sebagaimana sudah diduga oleh perwira-perwira itu, mereka berkumpul hanya untuk didamprat dan dicaci-maki. Tidak seorang pun diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya, semuanya hanya harus memberi kuping kepada caci-makinya yang menghambur.

Di dalam deretan para perwira, diam-diam Ong Ling-po membatin, "Kalau Panglima Tertinggi bisanya cuma marah-marah tetapi tidak menemukan jalan keluar dari masalahnya, entah bagaimana jadinya masa depan negeri ini. Sungguh mengherankan bahwa orang macam inilah yang dulu berhasil memasuki Pak-khia untuk pertama kali, bukan orang seperti Jenderal Li..."

Ong Ling-po jadi teringat Li Giam yang diam-diam dikaguminya. Sayang, dalam susunan ketentaraan, ia justru ditaruh di bawah Jenderal Lau yang kerjanya cuma main cewek ini.

Sementara itu, selesai mendamprat semua orang, Jenderal Lau begitu terengah-engah, sehingga seorang gadis cantik pengawalnya buru-buru menyuguhkan secangkir minuman segar. Seorang pengawal jelita lainnya menyeka dahi Sang Jenderal dengan handuk yang lembut.

Kemudian keluarlah perintah Jenderal Lau, "Hari ini, kerahkan seluruh kekuatan untuk menggempur San-hai-koan!”

Tak sengaja seorang perwiranya menyeletuk, "Seluruh?”

“Ya! Seluruh kekuatan! Apa maksudmu dengan pertanyaan tadi?”

“Maaf, Jenderal, kalau seluruh kekuatan maju ke garis depan, siapa yang akan melindungi Jenderal di perkemahan ini, seandainya saja pengacau-pengacau dari pegunungan itu datang kembali?"

Jenderal Lau tercengang, lalu garuk-garuk kepala, "O, iya ya?”

“Jenderal, tentu saja kami dukung seruan Jenderal untuk menggempur San-hai-koan sekuat tenaga biar Bu Sam-kui tidak sempat bernapas, kalau perlu kita gempur siang-malam secara bergantian karena prajurit kita jauh lebih banyak dari musuh sehingga prajurit-prajurit San-hai-koan akan kelelahan. Tetapi keselamatan Jenderal juga suatu hal yang penting, kami semua masih membutuhkan pimpinan dan kebijaksanaan Jenderal yang sudah kami anggap sebagai ayah dan Guru kami sendiri...."

Demikianlah perwira itu mengusulkan bercampur menjilat juga, dengan harapan menyenangkan hati atasannya, syukur-syukur kalau dipercepat kenaikan pangkatnya. Memang Jenderal Lau segera mengangguk-angguk puas, menikmati penjilatan terang terangan itu. Lalu katanya kepada perwira penjilat itu,

"Baik. Kau dan pasukanmu tetap berada di sampingku."

Si perwira penjilat dengari berseri-seri berkata sambil memberi hormat, "Terima kasih, Jenderal. Sungguh besar kehormatan yang Jenderal berikan kepadaku, sehingga aku dipercayai tanggung-jawab akan keselamatan Jenderal. Alangkah berbahagianya orang seperti aku yang siap mengabdi..."

Kata-kata penjilatan yang lebih dahsyat tentu akan berhamburan lebih banyak lagi seandainya Ong Ling-po yang mulai jemu itu tidak cepat-cepat menukasnya,

"Jenderal, kalau melihat jejak yang ditinggalkan oleh pengacau-pengacau dari pegunungan itu, aku perhitungkan jumlah mereka sebenarnya tidak besar. Hanya karena mereka menyerang di malam hari dan secara mendadak, mereka kelihatan banyak dan berhasil menimbulkan kerugian besar.

"Kalau Jenderal berkenan, ijinkanlah aku membawa orang secukupnya untuk mengejar mereka ke pegunungan. Aku pernah melatih pasukan selama berbulan-bulan di pegunungan dan tahu bagaimana caranya hidup di pegunungan.

"Pengacau-pengacau di pegunungan itu harus dibasmi lebih dulu, kalau tidak mereka akan selalu menjadi duri di garis belakang kita."

Jenderal Lau pura-pura berpikir sebentar, agar jangan sampai dianggap malas berpikir, lalu tanyanya, "Berapa kira-kira jumlah musuh yang menyerbu semalam, menurut taksiranmu...?"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.