Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P. Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 13
Sonny Ogawa

Kembang Jelita Peruntuh Tahta II Jilid 13

Tindakan Kaisar Cong-ceng yang paling menyakitkan golongan militer, antara lain ialah ketika menghukum mati Jenderal Wan Cong-hoan, padahal jenderal itu baru saja membuat kemenangan gemilang dalam perang melawan bangsa Manchu di Liau-tong, bahkan Jenderal Wan Cong-hoan ketika itu berhasil menewaskan raja Manchu, Kaisar Thai-cong, dalam suatu serangan hebatnya.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Kemudian lagi, jenderal yang bernama Su Ko-hoat juga pernah hampir mati disuguhi arak beracun oleh Kaisar Cong-ceng, juga karena hasutan komplotan orang kebiri. Jenderal Su Ko-hoat tidak jadi terbunuh, namun semenjak itu ia tidak pernah mau menghadap ke Ibukota Pak-khia, dan bahkan tidak datang membantu ketika Pak-khia dalam keadaan gawat dan hampir jatuh ke tangan golongan Pelangi Kuning.

Teringat serangkaian kesalahan yang dibuat oleh mendiang ayahandanya terhadap golongan militer itulah yang membuat Puteri Tiang-ping tidak yakin kalau para jenderal Beng di selatan itu masih mau bersusah-payah memikirkan dinasti Beng. Memang ada orang yang sesetia Helian Kong, tetapi berapa banyak yang seperti ini? Karena itulah Puteri Tiang-ping kemudian menarik napas dan berkata lirih,

"Saudara Helian, aku sedang tidak berselera membicarakan itu. Aku datang hanya untuk menengok kesehatanmu, sebab aku mendengar kau menyelundup ke istana ini dan tertangkap...”

“Terima kasih atas perhatian Tuan Puteri kepada hamba..." sahut Helian Kong masygul.

Agaknya, puteri dinasti Beng ini selain membutuhkan kesembuhan tubuh, juga butuh kesembuhan jiwa. Bagaimanapun, yang dialami oleh keluarganya selama ini terlalu dahsyat buat seorang gadis yang umurnya belum dua puluh tahun.

“Bagaimana dengan keadaan Tuanku Putera Mahkota Cu Sam? Apakah sehat-sehat juga?”

“Dia sehat.”

“Maksud hamba, bukan cuma tubuhnya, tetapi... apakah jiwanya tidak terguncang oleh kemelut yang baru-baru ini terjadi?" Helian Kong tanyakan ini, sebab Putera Mahkota saat itu baru berusia sepuluh tahun, masih kanak-kanak, jiwanya masih terlalu rapuh menahan keadaan sekitar sehebat saat itu.

“Secara keseluruhan dia baik. Masih agak nakal. Cuma kalau malam hari dia tidak berani tidur sendiri, minta ditemani aku. Dia juga sering menjerit kalau bermimpi buruk. Peristiwa mengerikan itu belum bisa terhapus sepenuhnya dari angan-angannya..."

Helian Kong agak prihatin. Pangeran Cu Sam bisa menjadi pemersatu bangsawanbangsawan Beng di selatan yang dikhawatirkan bersaingan itu, biarpun masih kanak-kanak namun tetap keturunan sah dinasti Beng. Biarpun setidak-tidaknya hanya sebagai raja simbolis, seperti si Kaisar bocah Sun-ti di negeri Manchu.

Puteri Tiang-ping mengambil keranjang rotan berisi penganan-penganan itu dari tangan dayangnya, lalu disodorkannya kepada Helian Kong. “Saudara Helian, aku sebagai wakil Keluarga Cu (keluarga yang memerintah dinasti Beng selama berabad-abad) menghargai kesetiaanmu kepada keluarga kami, Saudara Helian. Sayang, aku sudah bukan anggota keluarga penguasa istana ini, sehingga tidak bisa menolongmu dari kesulitan. Terimalah ini, tidak berarti tetapi sebagai tanda perhatian kami..."

Helian Kong menerima keranjang makanan dengan kedua tangannya, dalam sikap hormat. “Terima kasih, Tuan Puteri. Bagaimana orang-orangnya Li Cu-seng memperlakukan Tuan Puteri?"

"Baik. Aku dan Adinda Cu Sam diperlakukan dengan baik, tanpa merendahkan martabat kebangsawanan kami. Dan ini karena pengaruh Puteri Kong-hui kepada Baginda Tiong-ong..."

Kini Helian Kong sudah tahu kalau yang disebut Puteri Kong-hui itu adalah Tan Wan-wan. Hatinya bergetar mendengar Puteri Tiangping menyebut nama itu. “Tuan Puteri, apakah Tuan Puteri masih mencintai negeri ini?" tiba-tiba saja Helian Kong bertanya.

Puteri Tiang-ping menerawang jauh sambil menarik napas, "Dinasti keluargaku yang sudah musnah?”

“Maksud hamba, pengertian yang lebih luas dari sekedar dinasti ini atau dinasti itu, tetapi tanah yang dipijak oleh jutaan orang bangsa Han, tak peduli apa pun benderanya. Tanah yang disebut Tiong-goan ini. Apakah Tuan Puteri rela melihatnya diinjak-injak orang Manchu?"

Kali ini ada sedikit cahaya di mata Puteri Tiang-ping yang semula muram terus itu, dan ini memberikan sepercik harapan di hati Helian Kong.

“Tuan Puteri, tidakkah kita sadari bahwa sekarang ini negeri kita terancam serangan bangsa Manchu?”

“Ah, itu kan sejak dulu? Di jaman Ayahanda berkuasa dulu, orang-orang Manchu sudah memerangi kita, bahkan diam-diam menjalin kerjasama dengan Co Hua-sun.”

“Benar, Tuan Puteri. Itu dulu. Sekarang ini, selagi negeri kita dalam keadaan belum seimbang benar karena pergantian pemerintahan di Pak-khia, orang Manchu mencapai puncak kegiatannya. Negeri bangsa Han ini betul-betul terancam. Apakah Tuan Puteri tahu, apa yang mendorong hamba sampai nekad menyelundup ke istana ini?”

“Pihak istana tidak mengatakan apa-apa kepadaku, kecuali tentang tertangkapnya Saudara Helian oleh mereka."

Helian Kong mulai menceritakan masalahnya, kesulitan pasukan di San-hai-koan, kepanikan Bu Sam-kui baik menghadapi situasi maupun setelah mendengar kabar tentang diboyong-masuknya Tan Wan-wan ke istana, bujukan pihak Manchu, dan akhirnya janji Helian Kong kepada Bu Sam-kui.

Sikap acuh tak acuh Puteri Tiang-ping mencair. Bagaimanapun juga, ia masih menyimpan kepedulian terhadap negerinya. “Jadi Saudara Helian menjanjikan Tan Wan-wan kepada Bu Sam-kui agar Bu Sam-kui tidak terbujuk orang-orang Manchu?”

“Ya..." sahut Helian Kong penuh harapan menatap wajah Puteri Tiang-ping. Helian Kong rela membusuk di ruang sekapan asal San-hai-koan bisa diselamatkan.

Tak terduga wajah Puteri Tiang-ping menjadi cemberut, "Saudara Helian, begitukah caranya kau memperlakukan seorang wanita? Hanya dianggap sebagai barang mati yang dipindah-tangankan seenaknya sendiri demi tercapainya tujuanmu sendiri?"

Helian Kong kaget. Tak menyangka Puteri Tiang-ping menanggapi rencananya itu dari sudut pandangan yang sama sekali tidak terpikir oleh Helian Kong. Sudut pandang setia kawan sekaum, tidak peduli yang satu adalah bekas puteri dinasti Beng dan yang lainnya dari pihak yang meruntuhkan dinasti itu.

Beberapa saat Helian Kong jadi kelabakan menghadapi sikap Puteri Tiang-ping itu, sambil menggerutu dalam hatinya, "Kedua perempuan ini sungguh aneh. Keduanya berdiri di pihak-pihak yang bermusuhan, dan bersungguh-sungguh hati dalam memperjuangkan pihaknya masing-masing, tetapi secara pribadi mereka saling membela dan saling melindungi. Betul-betul pusing aku..."

Akhirnya Helian Kong menemukan juga kata-katanya, "Ampun Tuan Puteri, hamba ingatkan, bukankah Tan Wan-wan itu memang tunangan Bu Sam-kui? Bahkan dulu Sri Baginda almarhum dan Tuan Puteri sendiri ikut merestui. Apakah kalau hamba bawa seorang perempuan kepada tunangannya, itu dianggap merendahkan martabat kaum wanita dengan memindah-tangankan seenaknya?"

Puteri Tiang-ping menarik napas, "Waktu itu keadaannya begitu khusus. Tindakan itu harus diambil, agar Bu Sam-kui segera kembali ke San-hai-koan, menjaga bentengnya, sebab kalau tidak demikian dia akan terus keluyuran di Pak-khia mencari Tan Wan-wan. Dan aku bersyukur, saat itu Tan Wan-wan sendiri dengan sukarela mau dipertunangkan dengan Bu Sam-kui, meski aku tahu pasti tidak mencintainya. Dia mau, hanya demi kepentingan seluruh negeri, agar San-hai-koan segera dijaga kembali. Seorang wanita berpikiran seluas Tan Wan-wan, sungguh di antara kaum pria pun belum tentu terdapat satu dari sejuta..."

Kini Helian Kong dapat melihat samarsamar apa yang membuat Puteri Tiang-ping dan Tan Wan-wan yang sekarang bergelar Puteri Kong-hui, bisa bersahabat begitu erat. Rupanya, keduanya diam-diam saling mengagumi dan saling membanggakan kehebatan kaum wanita yang bisa menjungkir-balikkan sejarah negeri Cina.

“Tuan Puteri, keadaan di San-hai-koan sekarang jauh lebih darurat dari keadaan di Pak-khia dulu. Bu Sam-kui yang pendek akalnya itu bisa-bisa mengambil suatu keputusan yang membahayakan negeri. Mengundang balatentara Manchu masuk Tiong-goan...”

“Hanya Tan Wan-wan hadir di San-hai-koan yang bisa meredakan niat Bu Sam-kui?”

“Ya.”

“Apakah Bu Sam-kui sudah demikian lembek, sehingga dalam keputusan yang amat penting pun tergantung seorang wanita?”

“Dengan berat hati hamba katakan, memang demikianlah keadaannya, Tuan Puteri. Hamba sendiri rasanya ingin memelintir kupingnya kuat-kuat, tapi... ya memang begitulah orangnya. Kita semuanya tahu.”

“Maumu?”

“Bicarakanlah dengan Tuan Puteri Kong-hui, barangkali hatinya tergerak dan dia mau lagi pergi ke San-hai-koan untuk menenangkan kegelisahan Bu Sam-kui. Kalau bukan orangnya sendiri, mungkin sepucuk suratnya bisa mempengaruhi Bu Sam-kui..."

"Kalau surat itu ternyata berisi anjuran Tan Wan-wan agar Bu Sam-kui menyerah kepada pihak Pelangi Kuning? Bagaimana? Ingat, Tan Wan-wan itu orang Pelangi Kuning lho." Helian Kong terniangu-mangu sejenak, tidak bisa menjawab. Namun akhirnya menjawab juga.

“Sebagai orang yang setia kepada dinasti Beng, hamba tidak rela San-hai-koan direbut kaum Pelangi Kuning. Tetapi sebagai orang bangsa Han yang harus berpikiran luas di atas kepentingan golongan sendiri, rasanya hamba lebih rela San-hai-koan dikuasai kaum Pelangi Kuning daripada oleh orang asing, orang Manchu...”

“Aku akan berbicara dengan Tan Wan-wan.”

“Tuan Puteri, hamba mohon jangan terlambat. Dalam mengikuti perkembangan di San-hai-koan, jangan memakai hitungan hari demi hari, tetapi detik demi detik. Setiap detik bisa saja Bu Sam-kui mengambil keputusan gila itu, karena otaknya sedang dikacau oleh arak dan bayangan Tan Wan-wan.”

“Usulmu aku perhatikan."

Puteri Tiang-ping masih bercakap-cakap beberapa saat dengan Helian Kong, dan Helian Kong kagum menyaksikan betapa dalam setiap kata-kata maupun sikapnya, tidak ada sedikit pun kesan kasihan kepada diri sendiri pada diri Puteri Tiang-ping.

Padahal, puteri itu memiliki alasan untuk beriba diri. Keluarganya yang runtuh, tangannya yang buntung, keadaannya sebagai tawanan, biarpun "tawanan elite". Ketegaran wanita muda di depannya itu mengingatkan Helian Kong pada seorang wanita lainnya. Tan Wan-wan.

“Kesamaan inilah yang barangkali mengakrabkan mereka. Benar kalau ia katakan, di antara kaum lelaki pun jarang ditemukan pribadi-pribadi setegar itu. Padahal mereka bukan jago-jago silat. Kenyataannya malah banyak lelaki jago silat yang lebih cengeng dari kedua perempuan ini."

Setelah bercakap-cakap agak lama dengan Helian Kong, Puteri Tiang-ping meninggalkan sel itu. Sebelum pergi, sekali lagi Helian Kong mengingatkannya untuk berbicara dengan Tan Wan-wan.

Setelah Puteri Tiang-ping pergi, entah dorongan apa yang membuat Helian Kong berkata kepada pengawal-pengawal Pelangi Kuning di luar terali besi selnya, "Aku gembira melihat kalian memperlakukan Puteri Tiang-ping dengan hormat. Terima kasih."

Pengawal-pengawal di luar sel itu tercengang sejenak, namun seorang pengawal berjenggot pendek menjawabnya ramah pula, "Kami mengagumi ketegarannya. Ia seperti Puteri Kong-hui kami..." Ternyata pengawal itu pun melihat kesamaan antara Puteri Tiang-ping dan Tan Wan-wan, sama seperti Helian Kong.

Sementara seorang pengawal yang lebih muda dan bermata tajam menyambung, "Kami, prajurit-prajurit didikan Jenderal Li Giam, menghargai orang-orang berpribadi seperti itu, entah lelaki entah perempuan.”

“Kalian didikan Jenderal Li Giam?”

“Ya."

"Kenapa kalian tidak ikut Jenderal Li Giam ke wilayah barat?”

“Karena kami terpilih menjadi prajurit-prajurit istana, jadi harus berada di istana. Mau kacang goreng?"

Sepiring kacang goreng disodorkan dari luar terali, dan Helian Kong yang di dalam pun menerimanya. Begitulah, lewat beberapa patah kata, kacang goreng, mereka pun jadi akrab. Semangat persahabatan Puteri Tiang-ping dan Puteri Kong-hui menular kepada mereka. Tetapi entah seandainya mereka bertemu di medan laga.

Sementara itu, Puteri Tiang-ping mengikuti anjuran Helian Kong, tidak "berhitung hari demi hari" melainkan "detik demi detik". Meninggalkan sel Helian Kong, ia langsung menemui Tan Wan-wan alias Puteri Kong-hui di bangsalnya, dengan kolam-kolamnya dan pemandangan alam buatannya yang bermodel wilayah Soh-ciu. Itulah bangsal hadiah dari almarhum Kaisar Cong-ceng, Ayahanda Puteri 1Tiang-ping, ketika tergila-gila kepada Tan Wanwan dulu.

Ketika Puteri Tiang-ping melangkah menemui Tan Wan-wan, Tan Wan-wan sedang dipinggir kolam, menebar-nebarkan makanan ikan. Wajahnya nampak kurang gembira. Dayangnya mengiringinya dari jarak agak jauh. Tetapi begitu melihat Puteri Tiang-ping melangkah mendekat, anggun, biarpun sebelah lengannya buntung sebatas pundak, Tan Wanwan menyongsongnya dengan senyuman,

"Adik Ping..."

Puteri Tiang-ping mencoba membawakan sikap tahu diri, kalau dulu Tan Wan-wan adalah tamu di istana ini, sekarang Puteri Tiang-ping lah yang jadi tamu di situ. Maka Puteri Tiang-ping lalu menekuk sebelah lututnya, hendak berlutut, sambil berkata, "Tuan Puteri Kong-hui..."

Tetapi ia gagal berlutut sebab Tan Wan-wan cepat memeluk pundaknya dengan lembut, "Jangan begitu, Adik Ping. Dunia di luar istana ini boleh jungkir-balik seribu kali, kita juga tidak terhindari dari kewajiban kita masing-masing, tetapi itu semua jangan sampai mempengaruhi hubungan kita yang sudah seperti saudara kandung."

Puteri Tiang-ping sudah bertekad akan membicarakan situasi gawat di San-hai-koan, tetapi tidak akan menyebut nama Helian Kong sama sekali. Puteri Tiang-ping tahu antara Helian Kong dan Tan Wan-wan ada hubungan istimewa di masa lalu, dan ia tidak akan mengungkit-ungkit itu. Tetapi entah Tan Wanwan sudah tahu apa belum kalau Helian Kong berada di istana sebagai tawanan?

"Tuan Puteri Kong-hui...”

“Adik Ping, aku mohon, panggil aku Cici Wan-wan seperti dulu. Aku akan sangat sedih kalau permintaanku yang ini tidak kau turuti...”

“Tetapi semua orang di istana ini memanggilmu Puteri Kong-hui, juga Kaisar...”

“Kita boleh tidak pedulikan mereka. Aku rindu, mendengar orang memanggil namaku sebenarnya, dengan akrab dan hangat.”

“Baiklah, Kakak Wan..."

"Nah, begitu.”

“Dari kejauhan tadi kulihat Kakak Wan murung, ada apa?”

“Tidak apa-apa, aku hanya bosan di istana ini. Ingin melihat keadaan di luar dinding istana, tetapi ternyata tidak semudah dulu. Ada peraturannya, harus memakai tandu, harus membawa pengawal, harus ini, harus itu..."

Puteri Tiang-ping tersenyum. Perasaan seperti itu juga sering melandanya juga dulu. Sehingga sebagai puteri istana, ia sering diam-diam menyelundup keluar istana. “Apakah istana ini kurang bagus?”

“Terlalu bagus malah. Saking bagusnya hingga memisahkan aku dari kenyataan yang ingin aku lihat.”

“Kenyataan apa? Bukankah... golongan yang Kakak Wan perjuangkan sudah memenangkan perang?”

“Adik Ping, dulu aku mempertaruhkan nyawa sampai menyelundup ke istana ini, tujuanku bukan sekedar kemenangan golonganku, sehingga golonganku menggantikan memerintah negeri ini. Bukan itu. Tetapi aku ingin melihat perbaikan kehidupan rakyat kecil. Dan kehidupan rakyat kecil tidak kelihatan dari istana ini, dindingnya terlalu tinggi...”

“Dulu Kakak Wan di luar istana...”

“Ya. Sebelum kaki-tangan Jenderal Gu memergoki tempat sembunyiku bersama keluarga Siangkoan. Ketika itu aku merasa seperti ikan dalam air, sehari-hari bisa melihat kehidupan orang-orang kecil dan melaporkannya ke istana melalui Saudara Yo Kian-hi dan Jenderal Li Giam..."

Puteri Tiang-ping merasa mendapat kesempatan sedikit untuk menyodorkan masalah yang dibawanya, "Kakak Wan tahu situasi di luaran sekarang?”

“Hanya samar-samar.”

“Situasi San-hai-koan?"

Hati Tan Wan-wan berdebar. Ingat San-hai-koan, ia ingat pula panglimanya yang bernama Bu Sam-kui dan tergila-gila kepada Tan Wanwan, dan akhirnya dipertunangkan dengan Tan Wan-wan tetapi Tan Wan-wan sama sekali tidak mencintainya, hanya kasihan. Sekarang kenapa tiba-tiba Puteri Tiang-ping menyebutnya?

Puteri Tiang-ping menatap Tan Wan-wan, tanpa diminta dia menceritakan keadaan San-hai-koan seperti yang didengarnya dari Helian Kong. Wajah Tan Wan-wan berubah-ubah mendengarnya, dan ia balas menatap Puteri Tiang-ping tajam-tajam.

“Adik Ping, aku kira kau terus berkurung di bangsalmu, ternyata kau mengetahui perkembangan di luaran seteliti itu. Darimana kau mendengarnya?”

“Pokoknya dari seseorang yang bisa aku percaya."

Tan Wan-wan tiba-tiba tertawa sambil mengkitik rusuk Puteri Tiang-ping sehingga Puteri Tiang-ping menggeliat geli. Kata Tan Wan-wan, "Ayolah, Adik Ping. Atau aku harus mengerahkan orang-orangku untuk membongkar jaringan mata-matamu di istana ini, sebagai pembalasan karena dulu kau bongkar jaringanku? Ayo, katakan tidak?"

Puteri Tiang-ping tertawa geli, dan untuk sejenak kemurungannya pun mencair. Sahutnya di antara tertawanya, "Aku tidak punya jaringan mata-mata, aku hanya tahu ini dari seorang yang paling kupercayai..."

Puteri Tiang-ping ingin bertahan tidak menyebut nama Helian Kong, tetapi Tan Wanwan malah yang menyebutnya lebih dulu, "Helian Kong, ya?"

Puteri Tiang-ping tercengang. Tan Wan-wan terus berkata dengan suara datar tanpa kelihatan lonjakan emosinya, "Aku sudah mendengar dari para pengawal bahwa beberapa malam yang lalu Helian Kong menyusup ke istana ini, dan tertangkap. Aku juga sudah dengar dari Guru Ko. Dan aku tahu siang ini Adik Ping mengunjunginya di ruang tahanan...”

“Wah, ternyata Kakak Wan yang memata-matai aku.”

“Benar Helian Kong, bukan?”

“Benar."

"Aku juga sudah mendengar dari Guru Ko tentang jalan keluar yang diusulkan Helian Kong, yaitu agar aku ke San-hai-koan untuk mempengaruhi dan menenangkan Bu Sam-kui..."

Puteri Tiang-ping datang menemui Tan Wan-wan untuk membicarakan soal itu, tak terduga agaknya Tan Wan-wan sudah mengetahui semuanya lebih dulu. “Jadi, Kakak Wan sudah tahu?”

“Jangan lupa. Aku dulu mata-mata Pelangi Kuning paling hebat.”

“Paling hebat kok terbongkar olehku, dan oleh Helian Kong? Jadi siapa yang lebih hebat?"

Tan Wan-wan tertawa, senang melihat kemurungan Puteri Tiang-ping "mencair". Ingat masa lalu, ketika istana itu menjadi arena "kucing-kucingan" antara Tan Wan-wan dan orang-orangnya melawan Puteri Tiang-ping dan orang-orangnya juga.

Puteri Tiang-ping memang merasa gembira, tetapi ia ingin kembali ke persoalannya. “Kakak Wan, menghadapi situasi gawat di San-hai-koan, apa yang dilakukan... Kaisar...?”

“Coba mengorek keterangan ya?" Tan Wanwan masih berkelakar.

“Ya, karena aku tidak akan tenteram tidur sebelum tahu keadaannya."

Sesaat Tan Wan-wan jadi merasa serba salah. Kalau ia tidak memberi tahu Puteri Tiang-ping, ia khawatir Puteri Tiang-ping akan tersinggung dan kembali jadi murung, padahal Tan Wan-wan baru saja mulai lega melihat Puteri Tiang-ping sudah bisa tertawa dan berkelakar.

Tetapi kalau diberitahu, Tan Wanwan terhalang kenyataan bahwa bagaimanapun Puteri Tiang-ping adalah keturunan dinasti Beng, sedang Bu Sam-kui juga seorang panglima yang masih setia mengibarkan bendera dinasti Beng di bentengnya, bagaimana kalau Puteri Tiang-ping menyelundupkan keterangan itu sampai ke luar istana, dan menggagalkan tugas yang dibebankan Kaisar Tiong-ong ke pundak Ko Ban-seng?

Puteri Tiang-ping agaknya dapat menebak apa yang merisaukan hati Tan Wan-wan, "Kakak Wan, khawatir aku menyelamatkan Bu Sam-kui dan menggagalkan suatu rencana dari pihakmu atas diri Bu Sam-kui? Dengan membocorkan apa yang aku dengar darimu?"

"Adik Ping, setujukah kau jika San-hai-koan diserahkan oleh Bu Sam-kui kepada orang Manchu?”

“Kakak Wan, biarpun Jenderal Bu itu adalah orang dari pihakku, sudah tentu aku akan menolak mentah-mentah tindakannya yang semacam itu kalau dia lakukan."

Meski sudah mendengar kata-kata Puteri Tiang-ping seperti itu, Tan Wan-wan masih ragu-ragu untuk berterus terang. Tatapannya menatap jauh ke bunga-bunga teratai yang terapung-apung di tengah-tengah kolam, dan angsa-angsa biru yang berenang hilir-mudik di antara bunga-bunga teratai.

Akhirnya Puteri Tiang-ping yang mengalah, "Baiklah, Kakak Wan. Kalau yang aku tanyakan ini menyangkut rahasia yang penting dari pihakmu, aku bisa mengerti kalau kau tidak mau memberitahukannya kepadaku. Aku cabut pertanyaanku.”

“Terima kasih atas pengertianmu, Adik Ping. Aku benar-benar merasa punya sahabat sejati yang mau mengerti kesulitanku."

Puteri Tiang-ping mengangguk sambil tersenyum. Sementara Tan Wan-wan berkata pula, "Pihak kami akan memperlakukan Jenderal Bu Sam-kui sebijaksana mungkin..."

Puteri Tiang-ping mendapat kesempatan untuk menggoda Tan Wan-wan, "Kenapa Kakak Wan katakan itu padaku, seolah-olah aku mencemaskan keselamatan Jenderal Bu? Kakaklah yang lebih pantas mencemaskannya, sebab Kakak adalah tunangannya... aduh!”

Puteri Tiang-pirig mengaduh karena dicubit keras oleh Tan Wan-wan. Mereka sebenarnya masih ingin bercakap-cakap lebih lama, tetapi seorang dayang Tan Wan-wan datang berlutut dan berkata,

"Tuan Puteri Kong-hui, ada panggilan dari Baginda agar menghadap di Bangsal Tiong-cun..."

Tan Wan-wan kelihatan enggan, namun tidak berani membantah, "Katakan kepada orang suruhan Baginda itu, aku segera menuju ke Bangsal Tiong-cun...”

“Baik, Tuan Puteri," sahut si dayang sambil beranjak pergi.

Puteri Tiang-ping sudah mendengar bisik-bisik di antara hamba-hamba istana, katanya Kaisar Tiong-ong diam-diam menginginkan Tan Wan-wan juga, cuma bisik-bisik itu memang belum kelihatan buktinya. Agaknya Kaisar Tiong-ong masih mencoba mempertahankan martabatnya, takut dicap seperti pendahulunya yang ia gulingkan, mendiang Kaisar Cong-ceng yang dianggap sebagai kaisar yang lemah dan selalu dikendalikan kecantikan perempuan.

Kini Puteri Tiang-ping mendengar sendiri panggilan untuk Tan Wan-wan, dan keengganan Tan Wanwan, pikirannya langsung meluncur searah dengan bisik-bisik di antara hamba-hamba istana itu. "Apakah ada soal penting, sehingga Baginda memanggil Kakak Wan?" tanyanya.

Jawaban Tan Wan-wan mengandung keluhan, "Tidak ada urusan penting. Memang sudah biasa Baginda memanggilku, ternyata hanya untuk diajak bermain catur, melukis, minum teh, mengobrol ringan. Tetapi desas-desusnya di luaran, bukan main..."

Puteri Tiang-ping menarik napas. Dulu, kecantikan Tan Wan-wan telah meruntuhkan kebesaran seorang kaisar, yaitu ayah Puteri Tiang-ping sendiri. Sekarang, akankah Kaisar Tiong-ong menjadi "korban" kedua? Hal ini tidak bisa menyalahkan Tan Wan-wan, daya tarik Tan Wan-wan memang luar biasa meskipun tidak disengaja, bahkan Puteri Tiang-ping yang sesama wanita pun mengakuinya. Apalagi para lelaki.

Di luar dugaan ketika Tan Wan-wan melanjutkan kata-katanya dengan masygul, "Kalau sekedar desas-desus tidak apa-apa, aku khawatir justru kalau... kalau...”

“Kalau apa, Kakak Wan?"

"Kalau yang dikatakan oleh desas-desus itu ternyata benar...”

“Ha?" Puteri Tiang-ping melongo.

Tan Wan-wan menundukkan kepala.

“Kakak Wan, bukankah kau yang menjalaninya? Kau sendiri yang tahu desas-desus itu betul atau tidak..."

Tan Wan-wan tiba-tiba bangkit dan berkata, "Sudahlah. Baginda pasti sudah menungguku." Lalu Tan Wan-wan pun menuju ke Bangsal Tiong-cun.

Tetapi, ketika ia memasuki bangsal itu, segera dia tahu bahwa Kaisar Tiong-ong kali ini memanggilnya tidak sekedar untuk menemaninya bersantai. Sebab di samping Kaisar Tiong-ong, juga nampak Yo Kian-hi, perwira bawahan jenderal Li Giam, yang kali ini tidak mengenakan seragam melainkan berpakaian biasa, bahkan wajahnya babak-belur seperti habis dianiaya, dan wajahnya memancarkan kegusaran hebat.

Tan Wan-wan tidak perlu heran bahwa Yo Kian-hi bisa menerobos sampat ke hadapan Kaisar Tiong-ong dengan mudah, sebab hampir seluruh prajurit istana adalah bawahan-bawahan Jenderal Li Ciam juga. Sedetik Tan Wan-wan lupa memberi hormat kepada Kaisar karena merasa tak terduga bertemu Yo Ktan-hi di situ.

Setelah melengak sebentar, barulah Tan Wan-wan berlutut memberi hormat Kaisar, "Salam hormat hamba, Tuanku.”

“Bangkitlah, Kong-hui..."

Tan Wan-wan bangkit, dan menanti katakata kaisar selanjutnya. Ternyata kata-kata Kaisar Tiong-ong selanjutnya bukan buat Tan Wan-wan, melainkan buat Yo Kian-hi, "Perwira Yo, ulangi kembali ceritamu tadi..."

Yo Kian-hi pun bercerita dengan nada yang tegang dan tergesa-gesa. Menceritakan kegiatan mata-mata Manchu, bagai mana Yo Kian-hi berusaha melacaknya, tetapi tertangkap oleh kawanan mata-mata Manchu dan dihajar babakbelur. Hanya oleh suatu keberuntungan, Yo Kian-hi berhasil meloloskan diri dan langsung ke istana untuk memberitahu kaisar.

Di antara berita yang paling menyedihkan yang dibawa Yo Kian-hi, adalah tentang tewasnya gurunya, Ko Ban-seng, meski Yo Kian-hi tidak melihatnya sendiri melainkan hanya mendengar dari percakapan para mata-mata Manchu yang didengarnya. Selain itu, Yo Kian-hi juga menegaskan bahwa Ciong Ek-hi, salah satu perwira terpercaya Gu Kim-sing, adalah mata-mata Manchu.

“Darimana Saudara Yo mengetahuinya?" tanya Tan Wan-wan.

“Ciong Ek-hi ikut bersama-sama orang-orang Manchu yang menawan aku, berbicara bahasa Manchu, dan ternyata nama aslinya adalah Ha Cao.”

“Nama yang berbau Manchu.”

“Jadi Guru Ko tidak akan mencapai San-hai-koan, dan berarti tidak ada yang bakal mencegah Bu Sam-kui dari menyerahkan kota itu ke tangan bangsa Manchu..."

"Tuanku, apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“San-hai-koan harus diselamatkan...”

“Ya, tentu saja, tetapi bagaimana caranya?" karena tegangnya setelah mendengar cerita Yo Kian-hi tadi, Tan Wan-wan jadi bersikap agak kasar kepada kaisar.

Ketika ia menyadari sikapnya, ia buru-buru memohon maaf, "Ampun Tuanku..."

Kaisar Tiong-ong menatap Tan Wan-wan dengan perasaan berat, suaranya juga berat, "Kong-hui, bagaimana kalau aku kirim kau ke San-hai-koan?"

Tan Wan-wan terkejut. Apakah dirinya harus kembali menjadi korban, diumpankan untuk mengendalikan Bu Sam-kui? Meskipun Tan Wan-wan sendiri rela demi keselamatan seluruh negeri, tetapi diluar dugaan juga bahwa Kaisar Tiong-ong memutuskan demikian. Meskipun saat itu belum merupakan suatu keputusan pasti, baru menanyai Tan Wan-wan mau atau tidak. Tan Wan-wan termangu-mangu.

Kaisar Tiong-ong melihat itu dan buru-buru menambah penjelasan, "Kong-hui, aku maksudkan bukannya kau datang untuk mendampingi Bu Sam-kui selamanya, sebab aku tidak bisa tidak mempedulikan perasaanmu yang tidak mencintai Bu Sam-kui. Aku akan kirim kau sebagai duta kerajaan dengan segala kehormatan, hak-hak istimewa, untuk berunding dengan Bu Sam-kui. Kalau perlu, kau boleh menjanjikan penarikan seluruh pasukan Jenderal Lau Cong-bin yang saat ini menggempur San-hai-koan, kalau hal itu diajukan Bu Sam-kui sebagai syarat.”

“Hamba akan menuruti perintah Tuanku.”

“Bagus. Kita harus bergegas. Kau datang bukan sebagai umpan empuk yang disodorkan ke mulut Bu Sam-kui, melainkan atas namaku, sebagai perunding dari pihak kita.”

“Hamba mengerti. Hamba ada sebuah permohonan...”

“Apa syaratmu?”

“Ampun Tuanku, ini bukan syarat. Hamba akan tetap menjalankan perintah Tuanku dengan sepenuh hati, tidak peduli permohonan hamba ini dikabulkan atau tidak...”

“Baiklah, apa permohonanmu?”

“Hamba mohon ampun sekiranya permohonan hamba ini agak diwarnai oleh kepentingan pribadi hamba sendiri..." bicara sampai di sini, sepasang pipi Tan Wan-wan jadi agak memerah sehingga kecantikannya makin bercahaya. “Hamba mohon... Tuanku membebaskan teman hamba... tetapi sekali lagi ini bukan syarat, hanya permohonan...”

“Temanmu? Siapa?”

“Helian Kong."

Sepercik rasa cemburu menyengat hati Kaisar Tiong-ong. Untungnya ia bukan seorang yang mudah dikuasai perasaan. Ia cuma bertanya, "Kau tahu siapa Helian Kong?"

Tan Wan-wan menunduk, "Hamba tahu, dia adalah panglima dinasti Beng yang berhati keras, sampai sekarang masih menentang kita. Hamba hanya memohonkannya, keputusannya terserah pertimbangan Tuanku..."

Hati Kaisar Tiong-ong agak panas. Seandainya yang memohonkan kebebasan Helian Kong itu bukan Tan Wan-wan, melainkan orang lain dengan pertimbangan yang masuk akal, barangkali Kaisar Tiong-ong akan mengabulkannya. Tetapi sekarang yang memohonkan adalah Tan Wan-wan, seorang perempuan cantik yang secara khusus punya tempat di hati Kaisar, Kaisar jadi terkait perasaan pribadinya kepada Tan Wan-wan.

Saat itulah Yo Kian-hi tiba-tiba berbicara pula, "Ampun Tuanku, perkenankanlah hamba mengajukan usul.”

“Ya. Katakan.”

“Ada baiknya Helian Kong kita bebaskan. Pertama, untuk membalas budi dari pihak kita. Pernah Penasehat Militer Manchu dibantu pembunuh-pembunuh bayaran hampir berhasil membunuh Jenderal Li Giam, tetapi Helian Kong datang menolong. Ketika itu Helian Kong tidak pandang pihaknya sedang bermusuhan dengan pihak kita, tetap saja menolong Jenderal Li.

"la bersikap sebagai patriot bangsa Han yang berpandangan luas, berjiwa lapang, sanggup untuk sementara waktu melupakan permusuhan di antara sesama bangsa Han demi menghadapi musuh bersama dari luar, pembebasan Helian Kong bisa menjadi isyarat persahabatan dan perdamaian dengan sisa-sisa dinasti Beng yang sampai sekarang masih membangkang.

"Aku percaya, kalau Helian Kong dibebaskan, ia tidak akan menggunakan kesempatan ini untuk menikam kita dari belakang, tetapi malah akan menghubungi kawan-kawannya untuk memperingatkan adanya bahaya yang lebih besar bagi seluruh negeri, yaitu ancaman Manchu. Dia musuh, tetapi hamba percaya wataknya terlalu jantan untuk menikam kita dari belakang..."

Dengan perkataannya yang seolah hanya memuji Helian Kong, Yo Kian-hi seolah-olah juga memperingatkan kaisarnya agar jangan sampai bersikap kalah lapang dada dari Helian Kong. Tan Wan-wan melirik dengan sorot mata berterima kasih kepada Yo Kian-hi dan jantung Kian-hi terguncang. “Korban" Tan Wan-wan ternyata tidak cukup hanya Helian Kong, Kaisar Cong-ceng, Bu Sam-kui, Jenderal Lau Cong-bin, Kaisar Tiong-ong, tetapi Yo Kian hi pun sudah lama diam-diam mengaguminya, cuma disimpannya rapat-rapat dalam hati.

Kaisar Tiong-ong mengerutkan alisnya, kurang setuju dengan permohonan Tan Wanwan yang didukung Yo Kian-hi itu. Tetapi khawatir kalau dirinya di mata Tan Wan-wan kelihatan kalah lapang dada dan kalah hebat dari Helian Kong, akhirnya Kaisar pun berkata,

"Baiklah. Aku ingin memperagakan lebarnya kemurahan hatiku bagi sisa-sisa dinasti Beng yang masih membangkang, semacan Helian Kong dan kawan-kawannya. Aku akan bebaskan dia. Tetapi pembebasannya harus dalam peristiwa yang disaksikan dan diperhatikan banyak orang. Helian Kong akan dibawa dulu ke San-hai-koan dalam rombongan Puteri Kong-hui, nanti di San-hai-koan barulah dibebaskan!”

Tan Wan-wan berlutut, "Terima kasih Tuanku."

"Kenapa kau berterima kasih buat dia? Seberapa dekat hubunganmu dengan dia?"

Tan Wan-wan kelabakan tak mampu menjawab "serangan" itu. Kaisar berkata kepada Yo Kian-hi, "Kau ikut rombongan itu.”

“Baik Tuanku. Bagaimana dengan Ciong Ekhi alias Ha Cao?”

“Mudah saja. Dengan sepucuk surat, aku akan memerintahkan Jenderal Gu Kim-sing membawa batok kepalanya di atas nampan, pada Sidang Kerajaan besok pagi.”

“Tuanku sungguh tegas dalam mengambil tindakan."

Begitulah, niatnya Tan Wan-wan akan dikirim ke San-hai-koan seumpama air untuk memadamkan api yang membara. Begitu niatnya. Kaisar Tiong-ong agak lupa bisa terjadi sebaliknya. Pengiriman Tan Wan-wan seperti minyak yang disiramkan ke api, sebab San-hai-koan sedang berhadapan dua lelaki yang sama-sama tergila-gila kepada Tan Wan-wan.


Jenderal Lau Cong-bin dan Bu Sam-kui, dengan pasukannya masing-masing. Hari itu adalah hari kesekian San-hai-koan digempur. Pasukan besar Pelangi Kuning sudah kehilangan banyak prajurit dalam gempuran di hari-hari sebelumnya.

Ratusan pucuk senjata api yang tiba-tiba muncul di pihak pengawal San-hai-koan, meriam-meriam San-hai-koan yang semula dikira "bisu" tetapi tiba-tiba kini "menyalak" dengan galak kembali, telah mengejutkan pasukan Pelangi Kuning.

Tetapi Jenderal Lau dengan keras kepala meneruskan perintah "gempur terus sampai dapat kita rebut" tanpa menghiraukan pertimbangan apa pun, tanpa menghiraukan berapa pun korbannya. Ia begitu bernafsu untuk menunjukkan batok kepala Bu Sam-kui kepada Tan Wan-wan, ia sampai bermimpi adegan itu.

Begitu pula hari itu, gempuran ke benteng kota berlangsung dari matahari terbit sampai matahari tenggelam. Prajurit-prajurit Pelangi Kuning tidak henti-hentinya menyerbu tembok kota, mencoba memanjat, jatuh karena dipanah dari atas, yang lain coba memanjat lagi, jatuh lagi, yang lain lagi mencoba lagi, jatuh lagi.

Dan meskipun meriam-meriam Pelangi Kuning sudah hampir kehabisan bahan peledak, tetapi sekali-kali masih berbunyi juga. Lebih sebagai penambah semangat para prajurit daripada memberi hasil nyata. Ketika matahari terbenam, pasukan Pelangi Kuning pun mundur seperti kemarin, dengan membawa ribuan mayat teman-teman mereka yang bertumpuk-tumpuk di kaki tembok Sanhai-koan seperti bangkai laron di bawah dian. Dan ribuan yang luka-luka.

Bu Sam-kui menunggang kuda, menyusuri lorong-lorong San-hai-koan menuju ke tempat tinggalnya. Rakyat San-hai-koan di sepanjang jalan mengangguk hormat. Mereka tidak kelaparan lagi karena pihak Manchu mengirimi bahan makanan berlimpah setiap hari.

Meskipun demikian, ada sesuatu yang menggelisahkan Bu Sam-kui. la teringat katakata Helian Kong, yang berjanji dalam waktu sepuluh hari akan menghadirkan Tan Wan-wan di hadapannya. Sekarang sudah sembilan hari, Helian Kong belum muncul juga.

“Mudah-mudahan Saudara Helian selamat, dan Tan Wan-wan juga berhasil dibawa kemari, entah bagaimana caranya..." Bu Sam-kui berharap dalam hati.

“Kalau Helian Kong berhasil, aku rela menjadi budaknya seumur hidupnya..." Demikianlah, buat orang dimabuk cinta, tidak ada harga taruhan yang terlalu mahal untuk menggapai idamannya.

Bu Sam-kui kemudian membersihkan diri di tempat tinggalnya, dan seperti malam-malam sebelumnya, ia menenggelamkan diri dalam arak, sampai mabuk mengigau menyebut-nyebut nama Tan Wan-wan. Ketika malam semakin larut, dua sosok tubuh mengendap mendekati tembok San-hai-koan.

Berlindung di bayangan pepohonan belukar, menghindari cahaya obor di atas tembok San-hai-koan maupun cahaya obor para peronda Pelangi Kuning, meskipun salah satu dari orang-orang yang mengendap itu berpakaian seragam perwira Pelangi Kuning.

“Lewat mana?" tanya seorang.

Yang berseragam perwira menjawab, "Lewat sebuah sungai kecil yang menerobos di bawah tembok San-hai-koan. Perwira Jai juga pernah menuntun pasukan Pelangi Kuning lewat tempat itu."

Ketika sampai di sungai yang dimaksud, mereka turun ke sungai yang airnya tingginya selutut, kemudian melangkah merunduk sampai ke bawah kaki tembok, masuk ke bawah kaki tembok yang dialiri air.

Yang berseragam perwira Pelangi Kuning berdesis, "Dulu setelah pihak San-hai-koan ketelusupan prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang hampir saja berhasil mengundang masuk seluruh balatentara Pelangi Kuning ke dalam San-hai-koan, pihak San-hai-koan lalu memasang terali-terali besi di mulut terowongan air di bawah tembok ini. Tetapi Saudara Goh jangan khawatir, Saudara Jai sudah memberi tahu aku rahasia melewatinya..."

Dan mereka pun sudah sampai di ujung terowongan dan bertemu dengan terali-terali itu. Si perwira Pelangi Kuning menghitung-hitung terali itu, "Terali nomor enam dari sebelah kiri, nomor tujuh dan delapan..." Lalu ia pegang kuat-kuat terali nomor enam, diguncang-guncang pelan dan copotlah terali itu.

Si perwira tersenyum kepada kawannya, lalu dia lakukan hal yang sama dengan terali ke tujuh dan delapan. Sekarang terbukalah suatu celah untuk menyusup masuk orang itu. Orang yang tidak berseragam perwira itu bukan lain adalah Goh Lung, perwira pasukan rahasia Manchu yang di Ibukota Pak-khia menyelubungi kegiatannya dengan warung bakminya.

Sebelum ia menyelinap ke sebelah sana terali, Goh Lung memegang pundak pengantarnya yang berseragam perwira Pelangi Kuning itu, katanya dalam bahasa Manchu, "Jangan lupa tugasmu, Saudara Ung, dengan nasehat-nasehatmu kepada si goblok Lau Cong-bin itu, kau harus tetap membuat golongan Pelangi Kuning dan sisa-sisa dinasti Beng tidak bersatu.”

“Aku mengerti, Kakak Goh. Titip salam buat Kakak Jai."

Goh Lung mengangguk, lalu menyelinap. Pengantarnya memasang kembali terali-terali itu kemudian pulang ke perkemahan Pelangi Kuning. Sementara Goh Lung yang masih berada di sebelah dalam tembok San-hai-koan, kini berjalan di antara lorong-lorong gelap kota Sanhai-koan yang sepi.

Sepi, sebab penduduk umumnya tidak berani keluar rumah di jaman perang itu, dan kelompok-kelompok prajurit peronda hanya sekali-kali lewat. Goh Lung langsung menuju ke rumah Jai Yong-wan dan melompati dindingnya dan membuat ketukan isyarat di jendela. Di dalam ruangan terlihat ada lilin dinyalakan, lalu pintunya dibuka.

Jai Yong-wan mengangkat lilin untuk menerangi wajah orang di depannya, dan berdesis, "Saudara Goh...”

“Betul, ini aku..." Goh Lung menyelinap masuk, berbicara kira-kira sejam dengan Jai Yong-wan.

Lalu Jai Yong-wan mengeluarkan seperangkat kotak rias dan cermin. Dibantu oleh Goh Lung, dia pun mulai merias diri. Ketika itu, Bu Sam-kui tengah setengah mabuk setelah kebanyakan arak. Pandangan matanya kabur, kadang-kadang ia seolah-olah melihat Tan Wan-wan berdiri di depannya dan melambai kepadanya. Tetapi kalau Bu Sam-kui meraihnya, bayangan itu lenyap.

Prajurit-prajurit yang berjaga di luar tahu kalau panglima mereka sedang mabuk, namun mereka biarkan saja karena hal itu sudah biasa. Setiap malam prajurit penjaga disuruh ke dapur tangsi untuk mengambil arak. Para prajurit heran juga, bahwa meski setiap malam Bu Samkui mabuk, siangnya masih bisa memberikan komando-komando di atas benteng San-haikoan sehari penuh.

Ada prajurit yang bertanya-tanya, apakah arak itu sumber kekuatan Bu Sam-kui? Mereka tidak tahu bahwa sumber kekuatan Bu Sam-kui bukan arak, melainkan kemarahan. Kemarahan karena Tan Wan-wan. Itulah yang membuat Bu Sam-kui begitu berkobar-kobar di siang hari di antara prajurit-prajuritnya di tembok kota pada waktu pertempuran.

Ketika itulah prajurit-prajurit di luar tiba-tiba melihat sosok bayangan berjalan mendekat. Mereka bersiaga, namun kemudian mengendorkan kesiagaan mereka setelah cahaya lampion menggapai wajah kedua orang itu, yang ternyata adalah Helian Kong dan seorang temannya entah siapa. Tidak berpakaian seragam, dekil, sedekil Helian Kong sendiri.

Seorang komandan regu tiba-tiba saja merasa sangat lega melihat Helian Kong, sehingga berkata, "Kiranya Panglima Helian. Selamat datang kembali di San-hai-koan, Panglima...”

“Terima kasih," sahut Helian Kong agak kaku, suaranya maupun sikapnya. Suaranya juga agak serak dan sengau.

Selamat datang kembali di San-hai-koan, Panglima..."

Komandan regu itu diam-diam menduga, "Mungkin karena berada di pegunungan, kesehatan Panglima Helian jadi agak terganggu..." Perwira itu tidak tahu tentang perjalanan Helian Kong ke Pak-khia untuk "mengambil" Tan Wan-wan bagi Bu Sam-kui, sebab hal itu memang tidak disebar luaskan oleh Bu Sam-kui.

Bu Sam-kui khawatir hal itu bocor ke telinga orang-orang Pelangi Kuning dan bakal mempersulit Helian Kong, Bu Sam-kui "hanya" menceritakannya kepada sahabat terpercayanya, Jai Yong-wan.

Sementara itu, Helian Kong bertanya kepada komandan jaga, "Jenderal Bu ada?”

“Ada. Justru Panglima Helian lah yang selalu ditunggu-tunggu oleh Panglima kami. Silakan masuk."

Helian Kong dan kawannya pun melangkah masuk. Mereka jumpai Bu Sam-kui sedang menenggak araknya di ruang tengah. Tidak mabuk, tetapi setengah mabuk. Mulutnya yang berleleran arak terus mengigau, "Tan Wan-wan kekasihku... tunggulah, Kakanda datang membebaskanmu... Kakanda akan cincang si maling Li Cu-seng itu dihadapanmu... bidadariku, tunggulah Kakanda..."

Helian Kong dan temannya bertukar senyuman tersembunyi dan anggukan kecil. Teman Helian Kong berdesis, "Lebih gampang..."

Helian Kong kemudian menepuk pundak Bu Sam-kui sambil berkata, "Saudara Bu, ini aku, Helian Kong. Aku sudah kembali dari Pakkhia..."

Bu Sam-kui membelalakkan matanya yang merah. “Saudara Helian...”

“Ya, ini aku, Saudara Bu..."

Dengan keadaannya yang setengah mabuk, Bu Sam-kui tidak memperhatikan benar kalau Helian Kong yang di depannya ini suaranya agak lain, dan tidak membawa pedang Elang Besinya, padahal biasanya pedang itu tidak pernah terpisah dari tubuh Helian Kong. Bahkan Bu Sam-kui menyangka bayangan tubuh yang bersama Helian Kong itu adalah Tan Wan-wan,

"Saudara Helian, apakah Tan Wan-wan... bersamamu?" Lalu dengan langkah miring khas orang mabuk Bu Sam-kui melangkah mendekat sambil mengembangkan lengan-lengannya, siap memeluk, sambil mengigau, "Mari, Adinda Wanwan... peluklah Kakanda..."

Tetapi Helian Kong yang menyongsong Bu Sam-kui, menahannya agar tidak roboh, sambil berkata, "Ini bukan Tan Wan-wan, Saudara Bu. Duduklah dan dengarkan penjelasanku."

Bu Sam-kui seperti diguyur air dingin mendengar kata-kata itu, kesadarannya pulih kembali sebagian kecil, matanya membelalak dan melihat jelas orang yang bersama Helian Kong itu bukan Tan Wan-wan melainkan seorang laki-laki dekil, mana ada kesamaannya sedikit pun dengan Tan Wa-wan? Bu Sam-kui sempoyongan mencari tempat duduk dan berdesah, "Mana Tan Wan-wan?”

“Aku minta maaf, Saudara Bu, aku sudah berusaha sekuat tenagaku, tapi aku gagal membawa dia bersamamu kemari."

"Apa yang terjadi dengan dia?”

“Dia sangat menderita, Saudara Bu, dia selalu merindukanmu. Tetapi si bajingan Li Cu-seng itu mengurungnya dan... dan... ah, aku tidak sanggup mengatakannya..."

Cukup kata-kata ini saja sudah membuat perasaan Bu Sam-kui campur-aduk tak keruan, antara kecewa, marah, iba diri dan macammacam lagi. Ia menggebrak meja lalu meraung-raung, "Kekasihku, sungguh kau menderita di tangan si maling itu! Tunggulah, Kakanda akan kerahkan pasukan menyerbu Fak-khia untuk membebaskanmu..."

Helian Kong menghiburnya, "Kita pasti akan melakukan itu demi Tan Wan-wan, Saudara Bu. Tetapi apa daya, kekuatan kita terlalu kecil dibanding kekuatan musuh. Bahkan seandainya pasukanmu digabung dengan pasukanku yang di luar kota sekalipun, takkan cukup untuk mendobrak pecah kepungan Lau Cong-bin atas San-hai-koan ini...”

“Aku punya lima ratus pucuk senjata api!”

"Itu tidak cukup kalau kita menghadapi pasukan yang seperti semut jumlahnya, pasukan garong Pelangi Kuning itu. Kita mungkin sempat menembak beberapa gelombang dan membunuh ribuan musuh, tetapi setelah itu musuh pasti akan menjadi dekat dan tak terhindari perang jarak dekat yang membuat bedil-bedil tak berguna lagi. Kita, yang jauh lebih sedikit, pasti akan tenggelam dan digilas musuh yang jauh lebih banyak..."

Biar kepalanya masih puyeng, Bu Sam-kui mengerti juga apa yang dikatakan Helian Kong itu. “Lalu bagaimana?"

Helian Kong nampak berpikir sebentar, kemudian mulai berkata dengan hati-hati, "Saudara Bu, di Ibukota Pak-khia, ternyata aku bertemu dengan beberapa utusan dari kawan-kawan kita di selatan, mereka sedang mengamat-amati perkembangan di Pak-khia dengan menyamar untuk menentukan langkah. Salah satunya adalah Saudara Tian ini..."

Orang yang bersama Helian Kong itu mengangguk hormat kepada Bu Sairi-kui dan berkata dengan logat selatannya yang kental, "Aku sampaikan salam dari Kok-po Su Ko-hoat di Yang-ciu..."

Bu Sam-kui tercengang. Su Ko-hoat adalah seorang pembesar dinasti Beng yang masih punya pasukan sangat kuat di Yang-ciu. Seorang yang kadang-kadang diimpikan Bu Sam-kui datang membantu dengan pasukannya yang kuat. “Jadi... jadi sobat ini adalah utusan Kok-po Su Ko-hoat?”

“Ya. Di Pak-khia aku juga bertemu utusan jenderal-jenderal lainnya, tentu saja mereka menyamar semua. Kami berunding membahas situasi, akhirnya kami memutuskan untuk mengambil tindakan bersama. Jenderal-jenderal di selatan akan menggerakkan pasukan ke arah utara, memancing sebagian besar kekuatan Pelangi Kuning ke sebelah selatan. Kemudian Saudara Bu harus bergerak menggempur Pakkhia yang tentu agak kosong dari kekuatan..."

"Lho! Saudara Helian ini tadi bilang kekuatan kita tidak cukup untuk...”

“Kita pinjam kekuatan Manchu!”

Bu Sam-kui sudah lama memikirkan kemungkinan itu, meskipun masih takut-takut membicarakannya secara terbuka, sekarang kaget mendengar Helian Kong bicara begitu tegas.

Padahal Helian Kong pula yang sebelumnya gigih mencegah Bu Sam-kui bekerja sama dengan Manchu, bahkan Helian Kong sanggup mempertaruhkan nyawa untuk menyelundup ke istana dan menculik Tan Wanwan demi mencegah kerjasama Bu Sam-kui dan Manchu. Sekarang kenapa Helian Kong bersikap demikian?

"Saudara Helian Kong...”

“Biar aku jelaskan perubahan sikapku dulu, Saudara Bu. Setelah bertemu dengan saudara-saudara kita di Pak-khia, aku mendapat gambaran bahwa kekuatan kita di selatan sungguh besar, sekali digerakkan ke utara, tak ada kekuatan yang bisa membendungnya! Dan mereka sedang merencanakan untuk bergerak ke utara secara besar-besaran, itulah sebabnya kita tidak perlu khawatir lagi seandainya Manchu masuk ke Tiong-goan lalu tidak bisa mengusirnya lagi. Itu kekhawatiran yang tidak beralasan.

"Saudara Bu buka pintu agar Manchu masuk dan saling gempur dengan kaum Pelangi Kuning sampai kedua pihak sama-sama hancurhancuran, dan kekuatan kita dari selatanlah yang akan sama sekali menghabisi kedua kekuatan yang tinggal sisa-sisanya itu. Saudara Bu, sungguh jasamu sangat besar untuk pemulihan dinasti Beng kalau melakukan ini..."

Hal itu memang sudah lama diinginkan Bu Sam-kui, bukan apa-apa, hanya demi Tan Wanwan. Cuma selama ini masih ragu-ragu bagaimana nanti komentar rekan-rekan sesama dinasti Beng, sekarang demi mendengar "dukungan penuh dari kawan-kawan di selatan" maka keragu-raguan Bu Sam-kui pun lenyap semua.

Untuk lebih memantapkan diri lagi, Bu Sam-kui menambahkan, "Memang, tidak perlu kita ketakutan kepada Manchu. Mereka sendiri sebenarnya tidak berambisi menduduki negeri kita. Mereka sadar kecilnya kekuatan mereka dan jumlah penduduk Tiong-goan yang belasan kali lipat dari penduduk Liau-tong. Mereka tahu diri dan tidak ingin menjajah kita, dan seandainya ingin, mereka tidak akan mampu..."

Kali ini Helian Kong tidak membantah seperti dulu, melainkan malah menyokongnya bersama-sama orang yang mengaku "utusan Su Ko-hoat" itu. Begitulah, Bu Sam-kui sudah mengambil keputusan.

Keesokan harinya, Bu Sam-kui kumpulkan semua komandan bawahannya, dan setelah menjelaskan panjang lebar apa yang dikatakan Helian Kong dan "utusan Su Ko-hoat" itu, Bu Sam-kui mengumumkan keputusannya. Akan "meminjam" pasukan Manchu untuk menghantam kaum Pelangi Kuning, bukan hanya yang mengepung San-hai-koan, bahkan sampai ke Pak-khia.

Akibat penjelasan sebelumnya, rupanya tidak ada komandan bawahan yang terkejut. Tidak ada lagi yang menganggap masuknya pasukan Manchu itu terlalu riskan, mengingat "besarnya kekuatan kita di selatan". Bahkan ada yang menganggap itulah peluang emas untuk menghancurkan kekuatan Pelangi Kuning sekaligus kekuatan Manchu "yang tidak seberapa" itu.

Mereka juga dipengaruhi perasaan jemu terkurung terus-menerus di San-hai-koan. Mereka semua sudah membayangkan kemenangan yang hebat. Mereka semua tidak melihat di ruang dalam di rumah Jai Yong-wan, Helian Kong mengelupas kulit palsu di wajahnya dan berubah rupa menjadi Jai Yong-wan. Di hadapan "utusan Su Ko-hoat" yang bukan lain adalah Goh Lung. Mereka tertawa-tawa, sambil minum arak tetapi tidak terlalu banyak.


Esok harinya, tanpa mempedulikan pasukannya yang kelelahan setelah 5menggempur San-hai-koan berhari-hari tanpa "libur" sehari pun, Jenderal Lau Cong-bin memerintahkan agar San-hai-koan digempur lagi.

“Jangan hanya melihat kelelahan diri kita, ketahuilah, musuh jauh lebih lelah dari kita karena mereka jauh lebih sedikit..." teriak Jenderal Lau di atas kudanya.

Dalam seragam tempurnya yang gemerlapan. Dan di tengah-tengah pengawal-pengawal wanitanya yang cantik-cantik. Di bawah bendera-benderanya yang megah berkibaran. Di depan prajurit-prajuritnya yang menggerutu dalam hati.

“Hari ini aku sendiri akan berada di medan tempur!” seru Lau Cong-bin sambil mengangkat tinggi-tinggi goloknya yang mengkilat dan indah, yang tidak pernah benar-benar digunakan untuk bertempur.

Beberapa prajurit bersorak basa-basi menyambut "tekad" itu, meski mereka tahu Jenderal Lau akan berada di jarak yang aman dari tembok San-hai-koan. Begitulah, begitu fajar merekah di belakang kota San-hai-koan, pasukan yang jumlahnya masih cukup besar itu pun keluar dari perkemahan mereka, tidak dalam satu jalur saja melainkan dalam beberapa jalur. Mereka melewati suatu tempat yang sudah menjadi kuburan massal teman-teman mereka.

Begitu tembok San-hai-koan nampak di depan mata, komandan-komandan lapangan berteriak-teriak dan barisan pun menebar melebar, maju serempak mendekati tembok. Barisan yang membawa perisai lebar persegi berjajar rapat di sebelah depan seperti tembok berjalan. Di belakangnya para pemanah merunduk.

Suatu siasat yang berguna kalau posisi musuh sama tingginya, tapi kurang gunanya menghadapi musuh yang berkedudukan lebih tinggi, seperti prajuritprajurit San-hai-koan yang di atas tembok. Tetapi prajurit-prajurit Pelangi Kuning melakukannya juga.

Tidak lama, pengulangan adegan-adegan yang kemarin pun terjadi lagi. Kedua pihak 5saling memanah dan melempar lembing, dari pihak pengawal-pengawal San-hai-koan juga menjatuhkan batu-batu besar dan menembakkan bedil-bedil pemberian Manchu.

Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan, kebanyakan di pihak Pelangi Kuning yang posisinya lebih terbuka karena bertindak sebagai penyerang. Tetapi di pihak San-hai-koan jatuh korban juga. Panah-panah pasukan Pelangi Kuning banyak yang menyambar ke atas tembok, dan prajurit-prajurit San-hai-koan yang tidak berlindung dengan baik akan menjadi korban panah.

Yang agak mengherankan pihak Pelangi Kuning adalah karena meriam-meriam San-hai-koan yang kemarin masih kelihatan di atas tembok, dan menyalak dengan garang, kini tidak kelihatan satu pun.

Tetapi dari pihak Pelangi Kuning juga tidak ada suara meriam sebab mereka sudah kehabisan bubuk mesiu. Kemudian setelah acara "pemanasan yang berujud panah-memanah itu, dari pihak Pelangi Kuning mulai terdengar perintah-perintah untuk menyerbu dan memanjat tembok.

“Acara" yang paling banyak makan korban jiwa, tapi kalau perintah sudah dikeluarkan, siapa peduli? Begitulah, prajurit-prajurit Pelangi Kuning berlarian ke depan dengan membawa tangga-tangga yang panjang. Teman-temannya yang membawa perisai, melindungi mereka, tetapi perlindungannya tidak benar-benar rapat.

Dengan "membayar sejumlah harga" berupa nyawa-nyawa, mereka berhasil mendekati tembok dan menegakkan tangga-tangga panjang mereka. Tangga-tangga itu harus dipegangi, sebab pengawal-pengawal San-hai-koan yang di atas mencoba merobohkannya. Berikutnya, prajurit-prajurit yang berani memanjat tangga-tangga itu.

Tetapi perlawanan pengawal-pengawal San-hai-koan kali ini terasa tidak segigih hari-hari sebelumnya. Puluhan prajurit Pelangi Kuning berhasil mencapai bagian atas tembok San-hai-koan, dan diiringi sorak-sorai teman-teman mereka yang di bawah tembok, puluhan prajurit lainnya pun memanjat ke atas.

Sungguh di luar dugaan bahwa di atas tembok San-hai-koan ternyata hanya ada puluhan prajurit San-hai-koan yang bersenjata senapan. Mereka hanya memberi perlawanan sedikit, lalu berlari turun ke bawah tembok melalui undakan batu. Suka cita prajurit-prajurit Pelangi Kuning pun tak terkatakan.

Setelah mereka gempur San-hai-koan berhari-hari dengan korban tidak sedikit di pihak mereka, bahkan mereka hampir putus-asa, tiba-tiba hari ini mereka melihat sesuatu yang lain. Pertempuran belum berlangsung lama dan nampaknya San-hai-koan akan berhasil mereka rebut.

Di mulai dengan teriakan prajurit-prajurit yang telah memanjat ke atas tembok yang berteriak, "Kita menang!”

Disambut prajurit-prajurit yang di luar tembok, "Kita menang! Kita menang!”

Segera seruan itu bergelora ke seluruh pasukan. Dan pasukan yang lesu itu pun mendapat tambahan kekuatan. Tiba-tiba dataran di luar kota San-hai-koan itu seolah bergetar karena sorak-sorai menggemuruh. Di garis belakang, Jenderal Lau Cong-bin mendapat laporan dari garis depan melalui seorang penghubung berkuda.

Mendengar laporan itu, hati Jenderal Lau melonjak gembira. “Bagus! Bagus! Kerahkan seluruh kek... kek..." dan ia pun terbatuk-batuk hebat, saking gembiranya sehingga tersedak-sedak.

Setelah batuknya reda, barulah ia lanjutkan perintahnya yang tadi, "Kerahkan seluruh kekuatan! Jangan biarkan prajurit-prajurit musuh ambil napas! Aku menghendaki batok kepala Bu Sam-kui dipersembahkan kepadaku di atas sebuah nampan, sebelum matahari tenggelam!”

Perintah itu pun disampaikan ke garis depan. Demikianlah, pasukan Pelangi Kuning bergerak ke depan serempak bagaikan gelombang samudera. Regu-regu pendobrak pintu yang menggunakan balok-balok besar pun maju ke depan, siap menjebol pintu kota San-hai-koan.

Kali ini tidak perlu takut serangan panah dari atas tembok, sebab yang di atas tembok sekarang adalah kawan-kawan sendiri. Yang di bawah tembok dan bersorak-sorai membayangkan kemenangan itu tidak tahu, bahwa teman-teman mereka yang sudah di atas tembok sekarang memucat wajahnya, bibir gemetar kelu, menatap ke suatu arah yang hanya terlihat dari atas tembok. Yang di bawah tembok tidak melihat.

Di jalan-jalan di tengah kota San-hai-koan, terlihat suatu pasukan besar, yang amat besar, ujung senjata-senjatanya mencuat ke langit serapat daun ilalang di padang ilalang. Prajurit-prajuritnya berseragam biru yang amat sederhana, kain belacu yang dicelup, jauh dari kesan gemerlapan. Topi mereka berbentuk caping, tetapi dari rotan. Tetapi pasukan ini berderap maju dalam perbawa yang terasa menggetarkan. Tanpa sorak-sorai, tanpa bendera-bendera.

"Orang-orang Manchu..." desis prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang sudah terlanjur di atas tembok. “Beritahu kawan-kawan kita!”

Mereka pun bergegas turun dari atas tembok, ke sebelah luar, ada yang berteriak-teriak dari atas tembok. Berita itu mengejutkan, simpang-siur yang diteriakkan oleh pasukan Pelangi Kuning. Ada yang meneriakkan kemenangan, ada yang meneriakan kedatangan orang-orang Manchu. Barisan pun jadi kacau.

Para komandan bawahan mengambil tindakan sendiri-sendiri. Ada yang menyuruh terus menggempur, ada yang menyuruh mundur, ada yang mengusulkan agar minta petunjuk Jenderal Lau dulu digaris belakang. Ketika itulah pintu gerbang San-hai-koan terbuka. Bukan didobrak dari luar oleh pasukan Pelangi Kuning, melainkan dari dalam oleh pasukan Manchu.

Pasukan Manchu itu seolah pasukan yang terdiri dari orang-orang bisu semua. Mereka benar-benar tidak ada yang berkata-kata sepatah kata pun, begitu pintu terbuka, mereka langsung menghambur keluar menyerbu pasukan Pelangi Kuning. Dan mereka keluar terus dari pintu kota tak ada habis-habisnya...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.