Rajawali Hitam Jilid 01
Gadis itu terbangun dari tidurnya dalam sebuah kamar hotel di kota Hui-cu. Begitu terbangun dari tidurnya, gadis itu tidak segera turun dari pembaringan, melainkan duduk bersila dan bersamadhi.
Ia seorang gadis yang berusia kurang lebih duapuluh satu tahun. Pakaiannya berkembang cerah dan wajahnya cantik jelita. Mukanya bulat telur, mulutnya kecil mungil dengan bibir merah membasah. Hidungnya mancung dan ujungnya agak menjungat ke atas lucu sekali. Di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipit.
Seorang gadis yang cantik jelita, bahkan dalam keadaan baru bangun tidur dan rambutnya awut-awutan, ia masih tampak cantik sekali. Dara ini bernama Souw Lee Cin. Biarpun usianya baru kurang dari duapuluh satu tahun, namun namanya di dunia kang-ouw sudah terkenal, bahkan banyak orang menjulukinya Dewi Ular Cantik (Bi Coa Sian-li) karena gadis ini terkenal sebagai seorang pawang ular yang pandai.
Ilmu silatnya amat tinggi karena ia digembleng oleh ibunya sendiri yang berjuluk Ang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Merah) Bu Siang, seorang wanita setengah tua yang juga amat cantik akan tetapi amat ganas pula sehingga mendapat julukan seperti itu. Ang-tok Mo-li telah menurunkan seluruh ilmunya kepada muridnya yang juga puteri kandungnya ini sehingga tingkat kepandaian Lee Cin sudah hampir menyamai ibunya.
Akan tetapi ibunya itu hidup terpisah dari ayahnya, dan baru saja beberapa bulan ini mereka hidup bersama. Ayah Lee Cin adalah seorang pendekar besar bernama Souw Tek Bun yang dijuluki Sin-kiam Hok-mo (Si Pedang Sakti Penaluk Iblis) dan karena kebijaksanaannya, dalam pemilihan beng-cu dua tahun yang lalu dia terpilih sebagai Beng-cu (Pemimpin) dari dunia kang-ouw.
Di waktu mudanya, Souw Tek Bun berpisah dari Ang-tok Mo-li Bu Siang karena perbedaan watak, si wanita berwatak ganas dan kejam seperti iblis betina, yang pria berwatak gagah perkasa dan budiman seperti seorang pendekar besar.
Berkat usaha Lee Cin, maka ayah dan ibunya itu kini hidup bersama dengan bahagia di pegunungan Hong-san. Lee Cin merupakan pendekar wanita yang gagah perkasa. Ia memiliki sebatang pedang pusaka yang disebut Ang coa-kiam (Pedang Ular Merah) dan memainkannya dengan ilmu pedang coa-kiamsut.
Selain itu, dari ibunya ia mempelajari pula Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat berbahaya, ilmu silat Sin-liong-kun (Sitar Naga Sakti) yang tangguh dan dari In Kong Thai-su, seorang tokoh besar Siauw-limpai ia pernah diberi pelajaran ilmu totok It-yang-ci yang ampuhnya bukan main. Dengan semua ilmu kepandaiannya ini, Lee Cin berani malang melintang di dunia kang-ouw dan jarang menemukan tandingan.
Akan tetapi mengapa di pagi hari itu ia nampak demikian kusut dan terus bersamadhi setelah bangun tidur? Bahkan kedua matanya agak membengkak seperti orang yang kebanyakan menangis. Memang sesungguhnyalah, malam tadi Lee Cin hampir tidak dapat pulas dan sehari semalam hanya menangis saja menyesali nasib dirinya.
Kurang lebih dua tahun yang lalu cintanya terhadap seorang pemuda bernama Song Thian Lee gagal karena pemuda itu mencinta seorang dara lain yang kini telah dikawininya. Kemudian, ia jatuh cinta kepada seorang pemuda bernama Cia Tin Han, akan tetapi apa yang terjadi? Baru kemarin ia melihat sendiri betapa Tin Han ditendang oleh neneknya sendiri dan terjatuh ke dalam jurang yang amat dalam!
Ia menangisi kematian Tin Han dengan hati hancur lebur. Hanya setelah teringat akan nasihat ayahnya bahwa ia harus dapat menerima dan menghadapi kenyataan dengan gagah, ia dapat pulas dan pagi ini begitu terbangun, ia bersamadhi untuk menenteramkan pikirannya.
Baru saja ia menyadari bahwa ia mencinta Tin Han setelah Tin Han ditendang ke dalam jurang! Tadinya ia masih ragu karena Tin Han dianggapnya sebagai seorang pemuda lemah lembut yang berjiwa patriot, dan iapun tertarik kepada seorang tokoh lain yang misterius, seorang yang selalu menolongnya dan berkedok hitam, yang disebutnya saja Si Kedok Hitam.
Tidak tahunya, Si Kedok Hitam itu bukan lain adalah Cia Tin Han (Baca kisah Dewi Ular). Keluarga Cia Tin Han yang lain semua bekerja sama dengan pemberontak Panglima Phoa dan dengan orang-orang Jepang dan hal ini ditentang oleh Tin –Han, maka dia diserang sendiri oleh neneknya sehingga terlempar ke dalam jurang.
Di dalam samadhinya, bayangan Tin Han selalu mengganggunya. Akhirnya ia membiarkan bayangan itu memasuki lamunannya. Seorang pemuda yang gembira, tampan, agak ugal-ugalan akan tetapi pemberani luar biasa.
Kini pemuda yang dicintanya itu telah tiada, lenyap ditelan jurang yang lebar dan dalam. Akan tetapi jatuhnya ke jurang itu belum merupakan bukti bahwa dia telah mati. Bangkit kembali semangat Lee Cin setelah berpikir begitu!
Lee Cin membersihkan dirinya dan mandi sampai tubuhnya terasa segar kembali. Ia sudah dapat mengusir semua sisa duka dari hatinya, matanya sudah bersinar terang kembali. Ia maklum bahwa ia tidak boleh hanyut dalam seretan duka.
Ia harus menghadapi kenyataan dengan mata terbuka. Cia Tin Han terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi hal itu belum berarti bahwa dia mati. Ini bukan merupakan harapan kosong untuk menghibur hatinya.
Memang, terjatuh dari tempat setinggi itu tidak mungkin seseorang dapat hidup lagi. Akan tetapi ini bukan atau belum menjadi bukti bahwa dia mati. Ia harus mencari Tin Han ke dasar jurang. Ia harus melihat sendiri bahwa pemuda itu sudah tewas dan menguburkan jenazahnya.
Kasihan kalau Tin Han tewas di dasar jurang itu tanpa ada yang mengurus jenazahnya. Ia harus mencarinya dan membuktikan sendiri bahwa Cia Tin Han, laki-laki yang dicintanya itu, benar-benar telah tiada.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Lee Cin membayar sewa kamar, menggendong buntalan pakaiannya, kemudian meninggalkan rumah penginapan dan segera pergi keluar kota menuju ke bukit di mana kemarin ia tertawan oleh Keluarga Cia.
Dari apa yang didengarnya kemarin, ia dapat menduga bahwa Keluarga Cia tentu telah pergi meninggalkan bukit itu, karena takut kalau disergap musuh. Ia mendaki tempat di mana kemarin Tin Han terjengkang ke dalam jurang. Tempat itu sunyi, tidak nampak seorang pun manusia.
Lee Cin menghampiri jurang itu dan melongok ke bawah. Ia merasa ngeri. Jurang itu merupakan tebing yang amat curam, dan ia tidak dapat melihat dasar jurang yang tertutup kabut. Agaknya hanya burung yang memiliki sayap saja yang akan dapat menuruni tebing itu. Ia harus mencari jalan lain untuk mencapai tebing jurang itu.
Tidak mungkin rasanya menuruni jurang itu dari situ. Terlalu terjal dan sekali terpeleset, habislah sudah riwayatnya. Ia lalu mengambil jalan lain yang turunnya tidak begitu terjal. Akan tetapi inipun amat sukarnya. Ia harus melangkah dari batu ke batu dengan hati-hati karena sekali batu itu terlepas dan menggelinding ke bawah, ia sendiri tentu akan menggelinding ke bawah.
Ia melangkah dengan hati-hati, berpegangan batu dan akar pohon. Setelah agak dalam, ia melihat batang-batang pohon banyak bertumbuh di tempat itu. Dengan berpegangan pada cabang dan barang pohon, ia dapat merayap ke bawah lagi. Lee Cin harus mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk merayap seperti itu. Kadang-kadang dinding itu demikian terjalnya sehingga tegak lurus!
Hanya dengan berpegang kepada cabang pohon dan lubang-lubang yang terdapat di permukaan batu dinding itu ia dapat merayap terus ke bawah. Ia harus berhati-hati sekali karena sekali pegangannya terlepas atau injakan kakinya meleset, tubuhnya akan terhempas ke bawah dan mungkin akan terbanting ke atas batu yang akan membuat tubuhnya hancur lebur!
Lee Cin merayap terus. Dua jam telah berlalu sejak ia merayap dari penurunan pertama. Pekerjaan ini makan banyak tenaga sehingga tubuhnya sudah basah oleh keringat. Akan tetapi ia terus turun sampai akhirnya dasar tebing itu tampak olehnya. Sinar matahari telah mencapai dasar tebing dan ia terpesona. Seolah ia melihat taman sorga di bawah kakinya!
Begitu terang, kuning kehijauan, teramat indahnya. Ada sebatang sungai kecil berlekak-lekuk di bawah sana. Ada padang rumput yang hijau segar. Ia merayap terus dan akhirnya dapat menginjakkan kakinya ke atas tanah datar. Ketika ia memandang ke atas, pandangannya terhalang kabut dan ia tidak dapat melihat bagian atas tebing.
Alangkah tingginya seakan menembus awan. Matahari dengan sinarnyapun tidak dapat menembus kabut itu. Sinar yang jatuh ke permukaan dasar tebing datang dari jurusan lain yang tidak terhalang tebing. Tebing itu merupakan bukit yang menjulang tinggi. Hatinya berdebar. Mungkinkah ia dapat bertemu dengan Tin Han dalam keadaan masih hidup?
Ia menutup lamunannya. Tidak, ia tidak mengharapkan apa-apa, karena harapan ini kalau ternyata sia-sia akan menghancurkan hatinya. Ia akan mencari dan siap menemukan Tin Han dalam keadaan bagaimanapun juga. Ia harus tabah dan waspada.
Mulailah Lee Cin mencari-cari. Karena ia tidak tahu dengan presis di mana Tin Han terjatuh, tidak dapat mengkira-kirakan dari bagian mana pemuda itu terjatuh, ia lalu menyusuri pinggir dasar tebing itu yang ternyata panjang sekali.
Setelah memakan waktu lama, sampai di ujung sana, ia tidak menemukan sesuatu. Apa lagi tubuh Tin Han, bekas bekasnyapun tidak ada. la merasa penasaran dan memutar tubuhnya, mengulangi lagi dengan arah berbalik. Ia menyusuri dasar tebing dari sebelah sana sampai akhirnya tiba di bagian yang tidak ada tebingnya, melainkan tanah datar dan jauh di sana tampak genteng rumah pedusunan.
Tidak juga ia menemukan tubuh Tin Han. Ia menjadi bingung. Apakah Tin Han dapat lobos dan selamat? Rasanya tidak mungkin! Ia kembali lagi dan mulailah ia memanggil-manggil.
"Han-ko.... Han-ko... Ia mengulang-ulang panggilannya dengan pengerahan tenaga khi-kang sehingga suaranya menimbulkan gaung yang aneh. Akan tetapi tidak ada jawaban. Tin Han lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Ia melongok dari jurang ke jurang lain, jurang-jurang kecil yang berada di bawah tebing, namun tidak nampak ada tubuh orang di sana.
Akhirnya ia menjatuhkan diri, duduk di bawah sebatang pohon dengan tubuh lemas. Diambilnya sehelai saputangan untuk mengusap leher dan mukanya yang basah. Ia mengambil napas panjang untuk menghimpun tenaga murni karena ia merasa lelah sekali. Lelah lahir batin. Matanya masih liar mencari-cari, kalau-kalau melihat tubuh pemuda itu tersangkut di suatu tempat.
Lee Cin duduk bersila, memejamkan matanya, menenteramkan hatinya. Tenanglah, kata hatinya kepada diri sendiri. Tin Han tidak ada, tubuhnya tidak ada, berarti dia belum mati atau hilang. Rasanya tidak mungkin terjadi dari tempat setinggi itu tidak mati akan tetapi mengapa hilang? Kalau terbanting dari atas, tidak mungkin tubuhnya hancur lebur dan tidak meninggalkan sisa. Ia bergidik, ngeri membayangkan itu.
Ke manakah Tin Han? Apa jadinya dengan dia? Ia membuka matanya lagi, memandang ke atas yang tertutup kabut dan ke kanan kiri, kembali mencari-cari.
Jangan-jangan tadi karena lelahnya, ia mencari kurang teliti. Maka, iapun bangkit kembali, lalu sekali lagi menyusuri dasar tebing dari ujung sini ke ujung sana, kadang berhenti untuk meneliti satu bagian. Namun sia-sia belaka, tidak ditemukannya tubuh Tin Han atau bekas-bekasnya sedikitpun. Tin Han lenyap begitu saja!
Kembali Lee Cin duduk bersila, bertanya-tanya dalam hatinya kemudian seperti dengan sendirinya, matanya ditujukan ke atas, ke langit. Ya Tuhan, apa yang telah Engkau lakukan terhadap Tin Han, bisik hatinya. Masih hidup atau sudah matikah dia? Kalau masih hidup, bagaimana dan di mana dia berada? Kalau sudah mati, apa yang terjadi dengan jenazahnya?
Semua pertanyaannya tidak terjawab. Untuk mengusir rasa ke sepiannya yang teramat mendalam, ia lalu mengambil sulingnya dan seperti tanpa disengaja ia meniup sulingnya, memanggil ular-ular di daerah itu. Ia hanya teringat bahwa kalau Tin Han dapat mendengar suara sulingnya, seperti juga ular-ularnya, pasti akan datang juga ke situ.
Akan tetapi setelah beberapa lamanya meniup suling, yang berdatangan hanya ular-ular dari semua penjuru. Ular-ular besar kecil, dengan beraneka bentuk dan warna datang dan mengepung Lee Cin dalam jarak dua meter di bawah pohon. Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya, memandang kepada ular-ular yang kini diam di sekelilingnya itu dan ia merasa aman.
Ular-ular itu adalah binatang-binatang yang biarpun dianggap sebagai binatang berbahaya, namun sebenarnya merupakan binatang yang sama sekali tidak buas. Manusia lebih buas dari pada ular. Manusia menyerang mahluk lain, membunuh mahluk lain hanya untuk dimakan atau hanya untuk bersenang-senang.
Adapun ular-ular itu, tidak akan mengganggu siapapun kalau saja tidak lebih dulu diganggu. Ular-ular itu hanya mengenal membela diri dan melawan pengganggunya demi keselamatannya, tidak pernah menyerang lebih dulu tanpasebab. Lee Cin melihat seekor ular putih sebesar ibu jari tangannya merayap di dekatnya.
Ia menjulurkan tangannya dan ular itu segera merayap ke tangannya, melibatkan ekornya pada pergelangan tangan Lee Cin, lidahnya keluar masuk dan matanya memandang kepada Lee Cin dengan tajam. Alangkah lucunya!
Lee Cin membelai ular itu dengan jari-jari tangannya, lalu melepaskannya lagi. Akan tetapi senyumnya menghilang ketika ia teringat lagi kepada Tin Han. Awan duka kembali menyelimuti wajahnya. Tadi, ketika ular-ular itu datang, pikirannya sejenak melupakan Tin Han dan dukapun lenyap.
Kini ia teringat lagi dan duka kembali menguasai hatinya. Ia lalu menutup sulingnya mengusir ular-ular itu. Satu demi satu ular-ular itu merayap pergi meninggalkan Lee Cin. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya. Ia merasa seolah dirinya diteIan kesunyian.
Kesunyian sejati merupakan keheningin lahir batin dan keadaan ini dapat mengayun manusia ke dalam dimensi lain, di atas suka dan duka. Akan tetapi merasa kesepian lain lagi. Merasa kesepian merupakan kerinduan akan seseorang atau suatu dan hal ini mendatangkan siksa dalam batin.
Merasa ditinggalkan, merasa kesepian dan merasa tidak ada yang memperdulikan, membuat hati merasa nelangsa dan hidup seolah tidak ada artinya. Padahal, hidup harus berani berada dalam keadaan sunyi dan hening.
Hidup harus berani sendiri, karena segala sebab akibat berada dalam diri sendiri, segala tanggung-jawab juga harus dipikul sendiri. Hidup tidak dapat digantungkan kepada siapapun juga. Akhirnya, kalau nyawa sudah mening galkan badan, setiap orang manusia juga harus bersendirian, sendiri menghadapi maut, tidak ditemani siapapun juga.
Karena itu, di waktu masih hidup, harus berani bersunyi diri, berhening-hening karena hanya dalam keheningan lahir batin inilah dapat ditemukan apa yang selalu dicari-cari orang, yakni kebahagiaan. Keheningan berarti kebahagiaan, keheningan yang kosong tanpa di isi ingatan apapun sehingga kenangan tidak sempat masuk sehingga hati akal pikiran dijauhkan dari kenangan pahit maupun manis.
Berada di atas suka dan duka, tidak dipengaruhi suka duka dan segala perasaan lain, di situlah letaknya kebahagiaan. Kebahagiaan selalu sudah berada di dalam dan di luar diri kita dan hanya orang yang berada dalam keheningan dapat merasakan itu.
Biasanya, hidup kita bergelimang nafsu daya rendah yang menimbulkan segala macam perasaan, dan dalam keadaan seperti itu, kebahagiaanpun tidak tampak bayang annya. Ia begitu dekat, namun begitu jauh!
Dekat melebihi mata sendiri, namun kalau jauh tak tampak bayangannya. Sudah ada dan menjadi satu diri, namun masih dicari-cari, semua ini akibat ulah nafsu daya rendah manusia yang selalu berusaha menguasai diri.
Hanya orang yang berada dalam ke heninganlah yang berdekatan dengan Tuhan Yang Maha Kasih, kesadaran dirinya selalu dipenuhi kekuasaan Tuhan, bahkan setiap detak jantung menyebut Nama. Tuhan dengan penuh kepasrahan, penuh penyerahan, tunduk dan taat akan, segala kehendakNya!
Lee Cin melamun, tenggelam ke dalam lamunannya yang dipenuhi bayangan Tin Han. Tiba-tiba matanya terbelalak karena ia seperti melihat bayangan Tin Han berkelebat jauh di depan.
"Han-ko...!" Lee Cin melompat dan mengejar. Akan tetapi setelah agak dekat, keningnya berkerut, hatinya tak senang bahkan timbul kemarahannya yang hebat ketika ia mengenal bahwa pemuda yang dikejarnya itu sama sekali bukan Tin Han, melainkan Ouw Kwan Lok! Kemarahannya membuat mukanya berubah merah dan matanya menyinarkan api. Gerakan kedua kakinya dipercepat.
"Ouw Kwan Lok, manusia jahanam. Engkau tidak akan dapat lari dariku!" teriaknya dan ia sudah mengambil keputusan bahwa sekali ini ia tentu akan dapat membunuh orang yang amat keji itu. Akan tetapi Lee Cin juga teringat betapa licik dan curangnya pemuda itu, maka ia lalu mencabut pedang An coa-kiam dan melakukan pengejaran dengan hati-hati dan waspada sekali.
Pemuda itu memang Ouw Kwa Lok! Kwan Lok berlari cepat ketika melihat Lee Cin mengejarnya dan dia memasuki hutan di depan yang menyambut padang rumput yang tebal itu. Lee Cin terus mengejar memasuki hutan itu. Akhirnya ia melihat Ouw Kwan Lok berdiri menantinya sambil memegang sebatang pedang terhunus. Ketika Lee Cin tiba dalam jarak lima meter, tangan kirinya bergerak berulang-ulang dan sinar sinar terang menyambar ke arah Lee Cin.
Itulah pisau-pisau terbang yang amat berbahaya dari pemuda itu. Namun, Lee Cin sudah siap siaga. Ia mengelak dengan cepat sambil memutar pedangnya dan pisau yang tidak terelakkan ditangkis pedangnya sehingga runtuh. Setelah pisau-pisau itu habis, Lee Cin meloncat ke depan. Ouw Kwan Lok lari lagi dan menyelinap ke balik sebatang pohon besar.
"Jahanam busuk, hendak lari ke mana engkau?" Lee Cin berseru dan mengejar. Akan tetapi ketika tiba di bawah pohon, tiba-tiba saja kakinya sudah terjerat dan tali yang menjerat kaki kanannya itu ditarik ke atas oleh Kwan Lok dari balik pohon. Dengan sendirinya tubuh Lee Cin tergantung pada sebelah kakinya yang terjerat.
Akan tetapi, karena ia sudah siap siaga terhadap jebakan pemuda itu, Lee Cin tidak menjadi gugup. Sekali pedangnya berkelebat, ia telah membikin putus tali yang menjerat kakinya dan tubuhnya meluncur ke bawah kembali. Ia berjungkir balik dua kali dan dapat hinggap di atas kedua kakinya di tanah. Akan tetapi pemuda yang memasang jerat itu sudah lari lagi.
Lee Cin mengejar sekuat tenaga dan akhirnya ia dapat menyusul Ouw Kwan Lok. "Jahanam, bersiaplah untuk mampus!" teriak Lee Cin dan pedangnya menyambar ganas ke arah leher Kwan Lok dari belakang. Kwan Lok membalikkan tubuhnya dan pedangnya menangkis dengan kuatnya.
"Trangggg...!" Bunga api berpijar dan Ang-coa-kiam di tangan Lee Cin tertangkis. Keduanya terhuyung ke belakang.
Memang tenaga sin-kang Kwan Lok juga sudah kuat sekali sehingga dia mampu menandingi tenaga sin-kang gadis itu. Kwan Lok membalas serangan gadis itu dengan dahsyat pula. Dia menganggap Lee Cin musuh guru-gurunya yang harus dibunuhnya.
Sesungguhnya dia tergila-gila oleh kecantikan Lee Cin dan hatinya ingin sekali mempermainkan gadis itu lebih dulu sampai puas, baru dia akan membunuhnya untuk membalaskan dendam kedua orang gurunya.
Tadi dia sudah merasa girang berhasil menjerat kaki Lee Cin. Sayang, sebelum dia mampu menangkapnya, gadis itu telah dapat membikin putus tali jeratan itu. Kini gadis itu menyerangnya dengan mati- matian, maka Kwan Lok juga membalas dan keduanya sudah bertanding pedang dengan seru.
"Haiiitt...! Singg....!" Pedang ditangan Lee Cin menusuk dengan gerakan yang luar biasa cepat dan kuatnya. Serangan ini dilakukan Lee Cin dengan tubuh melayang seperti terbang. Itulah serangan pedang dengan jurus Naga Terbang Menembus Awan yang luar biasa cepatnya. Melihat serangan dahsyat ini, Kwan Lok terkejut dan dia pun mengelebatkan pedangnya menangkis dari samping.
"Wuuutt.... cringgg...!"
Kembali bunga api berpijar dan Kwan Lok merasa betapa tangannya tergetar hebat. Setelah menangkis, Kwan Lok miringkan tubuhnya ke kiri dan tangan kirinya meluncur ke depan untuk menangkap tangan Lee Cin yang memegang pedang. Dia menggunakan ilmu gulat dan silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam).
Sekali tubuh seorang lawan tertangkap tangannya, tentu akan disusul dengan bantingan yang cepat dan mengejutkan. Dan Lee Cin tidak dapat mengelak lagi. Lengan kanannya telah tertangkap tangan kirinya lalu bergerak, sambil kakinya menggeser sehingga pundak kirinya berada di depan, Ia menotok dengan ilmu totok It-yang-ci yang amat ampuh.
"Wuuuttt.... plakk!" Kwan Lok terpaksa melepaskan cengkeramannya dan menggerakkan lengan kanannya ke samping untuk menangkis tangan yang menotok itu. Keduanya melangkah mundur, kemudian maju lagi untuk menyerang dengan lebih hebat.
Kedua orang itu bertanding dengan amat serunya, masing-masing mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi setelah Lee Cin mulai menggunakan tangan kirinya untuk menyelingi serangan pedangnya dengan totokan-totokan, mulailah Ouw Kwan Lok terdesak hebat.
Pemuda ini cukup mengerti akan kehebatan totokan tangan kiri dengan satu jari itu. Totokan itu mengeluarkan bunyi seperti pedang di tusukkan, dan anginnya menyambar demikian dahsyat. Maka dia tidak berani menerima totokan itu, melainkan mengelak atau menangkis dengan pedangnya.
Pertandingan antara dua orang muda ini sudah berlangsung seratus jurus lebih. Biarpun dia amat terdesak dan main mundur terus, akan tetapi Kwan Lok masih dapat mempertahankan diri. Dia mulai merasa gentar. Dia tahu bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, akhirnya dia akan kalah.
Akan tetapi untuk melarikan diri tidak ada kesempatan lagi karena sinar pedang kemerahan yang bergulung-gulung itu menutup semua jalan keluarnya. Tidak ada lain jalan baginya kecuali melawan terus.
Lee Cin juga merasa penasaran. Ia sudah mendesak, menguasai pertandingan itu, lebih banyak menyerang, akan tapi belum juga ia mampu merobohkan lawan yang ulet dan kuat ini. Tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka. Ketika itu, Kwan Lok menggerakkan pedangnya membacok ke arah lehernya.
Lee Cin merendahkan diri mengelak akan tetapi sambil melangkah maju dengan kaki kanannya dan pedangnya menyambar ke arah leher lawan. Gerakannya amat cepat dan tidak mungkin dapat dieelakkan lagi oleh Kwan Lok.
Pemuda ini terkejut sekali dan terpaksa untuk menyelamatkan diri dari maut, tangan kirinya menangkis dari samping. Lengannya bertemu dengan pedang Ang-coa-kiam.
“Singg.... crokk....!!" Lengan kiri Kwan Lok sebatas sikut putus ketika bertemu dengan Ang-coa-kiam.
"Aduhhhh....!" Kwan Lok menjerit dan melemparkan tubuh ke belakang, kemudian dia melarikan diri dengan cepat.
Lee Cin memandang kepada tangan yang buntung dan menggeletak di atas tanah itu, kemudian memandang pedangnya, lalu mengangkat muka memandang ke arah Kwan Lok yang melarikan diri. Ia hendak mengejar, akan tetapi kembali melihat tangan itu dan kakinya tidak bergerak.
Pemuda itu memang jahat dan keji, pikirnya, akan tetapi kini telah mendapatkan pelajaran hebat, telah kehilangan sebelah lengannya. Ini sudah merupakan hajaran yang cukup keras yang mudah-mudahan akan membuat dia sadar dan jera melakukan kejahatan lagi.
Lee Cin sekali lagi memandang kepada lengan itu, kemudian memutar tubuhnya dan meninggalkan tempat itu. Harapannya untuk menemukan Tin Han di situ sudah hilang. Pemuda itu telah lenyap ke mana, dan memang tidak ada sedikitpun kemungkinan seseorang akan dapat hidup setelah tiba di tebing securam itu.
Hatinya terasa berat, akan tetapi ia tidak menangis lagi. Ia menggigit bibirnya menahan kepedihan hati. Ayahnya pernah menasihatinya untuk selain siap menghadapi peristiwa apapun yang menimpa dirinya, untuk menghadapi kenyataan yang betapa pahitpun dengan tabah dan tanpa mengeluh.
Hidup adalah tantangan, demikian ayahnya menasihatinya. Hidup berarti kita dihadapkan kepada seribu satu macam tantangan. Justeru itulah yang menjadi inti dan penggerak hidupnya. Tantangan dan tantangan datang silih berganti. Seorang gagah tidak akan lari dari tantangan itu, melainkan harus menghadapinya dengan gagah, dan harus dapat mengatasi tantangan apapun juga.
Kini ia menghadapi tantangan yang amat berat, yaitu dengan tewas atau lenyapnya orang yang dicintanya. Ia tidak boleh membiarkan dirinya hanyut oleh duka, tidak boleh menangisi dan meratapi saja. Ia harus bangkit kembali untuk melanjutkan perjalanan hidup ini, menghadapi lagi tantangan lain yang mungkin lebih hebat lagi.
Berdiri tegak dan tegar menghadapi apapun yang menimpa dirinya tanpa menggoyahkan imannya, tetap pasrah dengan penuh penyerahan kepada Tuhan namun tidak pernah patah semangat, tidak pernah tersesat melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, penuh kepercayaan bahwa apa yang terjadi itu tentu mengandung hikmah yang baik, yang belum diketahuinya.
Memang sudah demikian digariskan dalam jalan hidupnya, harus ia lalui sabar dan ikhlas sehingga ia, tetap memiliki kekuatan untuk menghadapi segala hal baru dalam hidup ini.
Kata ayahnya, segala hal yang menimpa diri kita adalah hasil daripada perbuatan kita sendiri di masa lalu, kita tidak dapat menyingkir dari akibat itu, harus menuai apa yang telah kita tanam sendiri. Karena itu, semua perbuatan yang dilakukannya haruslah dianggap sebagai menanam benih, tentu saja harus menanam benih yang baik agar kelak ia akan menuai buah yang baik pula.
Lee Cin teringat kepada ayahnya. Ia kini harus pulang ke Hong-san. Kini sudah tiba waktunya. Bulan lima telah dekat dan pada bulan itu akan diadakan pertemuan besar di Hongsan. Pertemuan di antara para tokoh kang-ouw seperti yang dikehendaki oleh para pimpinan Siauw-lim-pai, yang akan diadakan di tempat tinggal ayahnya sebagai beng-cu.
Dalam pertemuan itulah niat ayahnya untuk mundur sebagai beng-cu akan disampaikan kepada semua tokoh dan utusan partai-partai persilatan di dunia persilatan. Lee Cin mulai dengan perjalanannya pulang ke Hong-san, membawa banyak pengalaman hebat yang lebih mematangkan batinnya.
Setelah berpisah dari Lee Cin, Thian Lee lalu kembali ke markas pasukan di Hui-cu. Pasukan itu kini telah dipimpin oleh para perwira yang ditunjuk oleh Thian Lee untuk memimpin pasukan menggantikan Lai-ciangkun yang telah ditangkap karena pengkhianatannya. Para perwira menyambut kedatangan Thian Lee dengan hormat dan kagum. Panglima itu bertindak demikian cepat.
Thian Lee lalu mengajak para perwira untuk berunding dan dia mengatur siasat untuk mengerahkan pasukan ke timur dan menyerang pasukan Phoa-ciangkun yang telah bersekutu dengan para tokoh sesat dunia kang-ouw, dan juga bersekutu dengan para bajak laut Jepang.
Seluruh pasukan dari Hui-cu dikumpulkan dan ternyata kekuatan mereka ada tujuh ribu lima ratus orang. Thian Lee membagi pasukan ini menjadi tiga barisan dan pada hari itu juga mereka berangkat menuju ke pantai timur. Tiga barisan itu setelah tiba di luar markas besar pasukan di pantai, berpencar menjadi tiga.
Sebuah barisan mengepung di utara, barisan kedua datang dari barat dan barisan ke tiga mengepung dari selatan. Mereka membuat perkemahan di tiga tempat itu dan Thian Lee lalu mengirim utusan membawa suratnya yang minta agar Phoa-ciangkun menaluk saja dan tidak melakukan perlawanan. Kalau tidak, maka markasnya akan dihancurkan.
Menerima Surat ini, Phoa-ciangkun menjadi marah dan dia menyuruh penggal kepala utusan itu, kemudian orang-orangnya melemparkan kepala utusan itu keluar pintu gerbang! Thian Lee menjadi marah sekali. Phoa-ciangkun boleh saja tidak mau menyerah, akan tetapi perbuatannya membunuh utusan itu sudah menyalahi peraturan perang, melanggar kehormatan! Para perwira bawahannya juga marah dan menyarankan kepada Thian Lee untuk segera menyerang.
"Nanti dulu, harap kalian jangan dipengaruhi oleh kemarahan. Pihak musuh melakukan hal itu dengan sengaja, agaknya memancing agar kita marah dan nelakukan penyerbuan tanpa perhitungan lagi dan hal ini akan mengakibatkan kerugian kepada kita karena kita kurang waspada. Pula, aku tidak percaya bahwa semua perajurit yang berjaga di pantai ini memiliki niat memberontak.
"Pasti banyak di antara mereka yang tidak setuju dengan pemberontakan komandan mereka itu. Aku akan menyelundup ke dalam markas kota itu dan aku akan menyadarkan anak buah mereka. Kalau sudah banyak yang sadar, tentu tidak akan sukar menghancurkan kekuatan mereka. Harap diingat bahwa kekuatan mereka ada sepuluh ribu orang, maka harus dibuat kacau lebih dulu dari dalam."
Kota itu terjaga ketat oleh perajurit perajurit Phoa-ciangkun yang dibantu oleh seregu pasukan bajak laut Jepang. Pada sore hari itu, seorang petani yang memakai caping mendorong gerobak penuh ubi memasuki kota. Dia dihentikan oleh para penjaga dan diperiksa, akan tetapi karena petani itu tidak memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan.
Seorang petani setengah tua, rambutnya sudah bercampur uban dan kakinya pincang, maka diapun diperkenankan mendorong gerobak itu masuk kota. Belum sampai malam, pintu gerbang kota itu sudah ditutup dan lalu-lalang keluar masuk pintu gerbang dilarang.
Petani ubi itu adalah Thian Lee. Dengan mewarnai rambutnya, dia tampak setengah tua dan dengan berjalan pincang dia menjadi seperti seorang petani setengah tua yang tidak berbahaya. Thian Lee benar-benar menjual ubinya. Setelah ubinya diborong oleh pedagang hasil bumi dan dibayar, diapun mulai dengan penyelidikannya.
Kota itu merupakan benteng yang dijaga ketat. Dia sudah mendapat keterangan dari para perwira pembantunya bahwa tadinya Un-ciangkun mengirim belasan orang mata-mata untuk melakukan penyelidikan di kota pemberontak itu. Satu di antaranya kini membuka rumah obat di sudut kota. Thian Lee lalu menuju ke toko obat itu yang sudah mulai tutup.
"Maafkan saya, harap layani keperluan saya. Saya hendak membeli obat luka yang mujarab. Saya dengar obat luka yang dijual oleh Cui-sinshe (tuan tabib Cui) amat manjur. Tolonglah saya untuk membeli obat itu."
Seorang pria setengah tua mendekatinya. "Dari mana engkau tahu tentang obat luka buatan Cui-sin-she?"
Thian Lee memandang tajam lalu menjawab lirih, "Dari sahabat Un yang tinggal di Hui-cu."
Mendengar ini, pria itu cepat menarik tangan Thian Lee dan diajak masuk ke dalam rumah. Setelah tiba di ruangan dalam, pria itu berkata, "Sayalah orang she Cui. Ada kabar apa dari Un-ciangkun?"
Thian Lee menggeleng kepalanya. "Kabar yang buruk. Un-ciangkun telah dibunuh orang."
Cui Kang, orang itu, terbelalak dan menjadi pucat wajahnya. Dia adalah seorang kepercayaan Un-ciangkun yang dikirim ke situ sebagai mata-mata. "Pantas saja tidak ada berita darinya. Dan engkau ini siapakah, sobat? Siapa yang mengutusmu masuk ke sini?"
Thian Lee berterus terang. "Aku adalah Panglima Song Thian Lee dari kota raja. Un-ciangkun di bunuh dan wakilnya, Lai-ciangkun ikut memberontak. Dia sudah kami tawan dan pasukannya telah kami kuasai. Kami yang memimpin pasukan yang kini mengepung kota ini." Agar orang itu percaya, Thian Lee mengambil surat kuasanya.
Melihat ini, Cui Kang segera berlutut dengan sebelah kakinya memberi hormat. "Saya siap menerima perintah ciang-kun."
"Aku ingin engkau menceritakan tentang para perwira di sini. Siapa saja mereka dan siapa pula di antara mereka yang condong menentang pemberontakan Phoa-ciangkun, siapa yang mendukung."
Karena sudah lama menjadi mata-mata di situ, dengan mudah Cui Kang lalu menceritakan semua rahasia para perwira di situ, juga tempat tinggal mereka. Setelah mendengar dengan jelas, Thian Lee mengangguk dan berkata,
"Terima kasih. Keteranganmu cukup jelas. Malam ini aku akan bergerak, dan engkau siapkan segala keperluan kalau-kalau aku ketahuan dan dikejar. Aku akan menyelinap ke sini kalau dikejar dan siapkan tempat sembunyi."
"Baik, Song-ciangkun!" kata Cui Kang.
Thian Lee mulai melakukan gerakannya ketika malam tiba. Malam itu gelap, amat menolong pekerjaannya. Dia mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi muka, hanya memperlihatkan sepasang matanya saja. Hal ini perlu dia lakukan agar kalau sampai ketahuan, dia akan mudah melarikan diri dan tidak dikenal mukanya.
Perwira Co adalah seorang perwira yang masih setia kepada kerajaan. Dialah seorang di antara mereka yang ditunjuk oleh Cui Kang sebagai seorang yang diam-diam menentang pemberontakan dan Thian Lee segera menuju ke rumah perwira Co.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melayang naik ke atap rumah dan mengintai ke bawah. Dilihatnya perwira yang dicarinya duduk seorang diri menghadapi meja sambil menenggak arak. Dia mengenal Cociang kun karena Cui Kang sudah menggambarkan bagaimana orangnya.
Dengan amat hati-hati dia melayang turun ke dalam kamar itu dan sebelum Co-ciangkun yang terkejut sekali sempat berteriak, Thian Lee sudah menotoknya sehingga perwira itu menjadi lemas dan tidak mampu bergerak maupun bersuara. Thian Lee mendudukannya kembali ke atas kursinya, lalu dia mengeluarkan surat kuasa, memperlihatkannya kepada Co-ciangkun sambil berbisik,
"Aku adalah Panglima Song Thian Lee yang memimpin pasukan yang kini mengepung kota ini." Setelah berkata demikian, dia membebaskan totokannya.
Co-ciangkun lalu memberi hormat kepadanya. "Aih, Song thai-ciangkun, saya sedang bingung menghadapi keadaan ini. Apa yang harus saya lakukan?"
"Aku mendengar bahwa engkau menentang pemberontakan Phoa-ciangkun?"
"Tentu saja, akan tetapi apa yang dapat saya lakukan? Banyak perwira mendukungnya dan kalau saya terang-terangan menentang, tentu saya sudah di tawan atau dibunuh."
"Dengar baik-baik, aku sedang melakukan gerakan untuk mengacaukan pertahanan di sini. Engkau harus memerintahkan anak buah, pasukan yang kau pimpin, untuk tidak melakukan perlawanan kalau perang terjadi, membawa pasukanmu keluar dari benteng dan pura-pura menerjang musuh, akan tetapi sebetulnya lari menyeberang.
Sebagai tanda, suruh beberapa orang membawa bendera kuning. Kalau melihat bendera itu, pasukan kami tidak akan menyerang dan akan menerima pasukan dengan baik. Mengertikah engkau, Co-ciangkun? Dengan cara ini, engkau dan pasukanmu tidak akan tersangkut pemberontakan dan engkau tidak akan mendapat hukuman."
Co-ciangkun memberi hormat dan berulangkali menyatakan setuju dan mengerti. Setelah merasa yakin bahwa perintahnya akan ditaati, Thian Lee lalu pergi dari situ melalui atap seperti kedatangannya dan dia lalu mendatangi para perwira lain yang oleh Cui Kang ditunjuk sebagai perwira yang menentang pemberontakan.
Seperti cara tadi, diapun dapat mempengaruhi para perwira itu untuk menyeberang di waktu ada pertempuran. Seluruhnya ada lima belas orang perwira yang sudah menyatakan sanggup dan taat. Lewat tengah malam, Thian Lee menuju ke sebuah rumah di mana tinggal perwira yang membantu gerakan pemberontakan Phoa-ciangkun.
Seperti yang sudah-sudah, dia memasuki rumah itu, langsung menuju ke kamar tidur perwira itu, menotok isterinya dan menyeret perwira itu turun dari pembaringan. Sebelum perwira itu sempat berteriak, dia menotoknya sehingga perwira itu terkulai lemas tidak mampu bergerak atau berteriak lagi.
"Manusia tidak mengenal budi," Thian Lee memaki. "Engkau sudah memperoleh kedudukan yang baik, akan tetapi masih berkhianat dan mendukung pemberontakan Phoa-ciangkun. Karena itu engkau layak dihukum!"
Setelah berkata demikian, Thian Lee lalu memukul dada perwira itu, tidak cukup kuat sehingga tidak mematikan, akan tetapi akan membuat perwira itu menderita luka berat yang baru akan pulih setelah beristirahat sedikitnya sebulan!
Demikianlah, Thian Lee mendatangi tidak kurang dari dua puluh perwira yang dipukulnya seperti itu. Ketika hendak memasuki rumah besar Phoa-ciangkun, dia melihat penjagaan yang teramat ketat sehingga dia tidak mau membahayakan diri sendiri dan menganggap perbuatannya telah cukup untuk mengacaukan pertahanan benteng kota itu.
Pada keesokan paginya, petani yang kemarin sore memasuki pintu gerbang sudah keluar lagi mendorong gerobaknya yang sudah kosong. Kini pintu gerbang dijaga lebih ketat lagi dan orang yang sedikit saja mencurigakan akan ditahan atau tidak boleh keluar dari kola. Dan pada hari itu, mulailah larangan memasuki pintu gerbang kota.
Setelah tiba kembali di pasukannya, Thian Lee lalu mengatur serangan. Dia mengumpulkan para pembantunya dan menceritakan apa yang telah dilakukannya malam tadi. Para perwira itu merasa kagum sekali.
"Jangan lupa. Kalau ada pasukan membawa bendera kuning keluar dari pintu gerbang benteng, jangan serang, melainkan terimalah mereka karena mereka itu adalah pasukan yang dipimpin perwira-perwira yang masih setia dan yang menyeberang kepada kita. Juga kalau keadaan musuh sudah terdesak dan terjepit, berlakulah murah kepada perajurit musuh. Yang menaluk harus diterima dengan baik dan jangan dibunuh."
Demikianlah, terompet dan tambur dibunyikan riuh rendah ketika tiga pasukan kerajaan itu maju bersama dari tiga jurusan. Dari dalam pintu gerbang keluar pasukan Panglima Phoa yang menyambut serangan itu. Akan tetapi terjadi kekacauan pada pasukan itu.
Ketika musuh menyatakan perang dengan tambur dan terompet mereka dan Phoa ciangkun mengumpulkan perwira-perwiranya, ada duapuluh orang perwira yang tidak mampu hadir karena mereka menderita sakit berat!
Dan dia tidak tahu bahwa ada belasan orang perwira yang hadir adalah perwira-perwira yang menentangnya dan yang siap melakukan penyeberangan dengan pasukan mereka kepada pasukan dari Hui-cu. Dengan agak bingung Phoa-ciangkun memerintahkan para perwira memimpin pasukan masing-masing untuk menyerbu keluar, dibantu oleh pasukan gerombolan bajak laut Jepang.
Ketika Thian Lee melihat bahwa di antara pasukan pemberontak itu terdapat seorang pemuda yang mengamuk bagaikan naga marah, dia terkejut sekali dan cepat diapun berlari menghampiri. Ternyata pemuda itu adalah musuhnya, yaitu Siangkoan Tek!
"Jahanam Siang Koan Tek, akulah lawanmu!" bentak Thian Lee.
Melihat pemuda berpakaian panglima ini, Siangkoan Tek segera mengenalnya. Karena gentar, dia lalu meneriaki beberapa orang Jepang untuk membantunya dan segera Thian Lee dikeroyok oleh Siang Koan Tek dan lima orang bajak Jepang yang menggunakan samurai. Terjadi perkelahian yang seru sekali.
Sementara itu, para perwira yang memimpin pasukan yang membawa bendera kuning telah diterima oleh pasukan dari Hui-cu, dan mereka kini membalik, membantu pasukan kerajaan melawan pasukan pemberontak. Pertempuran menjadi kacau balau. Setelah banyak pasukan menyeberang sekarang jumlah mereka berimbang banyaknya.
Akan tetapi pasukan pemberontak kehilangan semangat karena mereka kehilangan pimpinan perwira-perwira atasan mereka yang tidak dapat ikut bertempur karena menderita sakit berat. Yang memimpin mereka adalah perwira perwira muda yang kurang pengalaman, maka mereka bertempur dengan membabi buta dan ngawur.
Perkelahian antara Thian Lee dan Siang Koan Tek yang dibantu lima orang Jepang masih berlangsung seru. Lima orang Jepang itu cukup lihai sehingga Thian Lee diserang dari segala jurusan. Akan tetapi, Thian Lee dengan pedang Jit-goat-kiam mengamuk. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar terang dan setiap kali senjatanya bertemu dengan senjata lawan.
Tentu lawan itu terhuyung dan merasa tangannya sakit, tanda bahwa dalam hal tenaga dalam, tak seorangpun di antara mereka mampu menandingi Thian Lee. Hal ini tidak mengherankan karena Thian Lee telah menguasai Thian-te Sin-kang yang amat kuat.
Setelah memutar pedangnya lebih cepat lagi, akhirnya Thian Lee dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya. Dua orang jepang itu terpelanting dengan luka pada leher dan paha mereka sehingga mereka tidak mampu untuk bangkit kembali. Siang Koan Tek menjadi marah. Dengan Kui-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Setan) dia menyerang Thian Lee.
Pada saat itu, pedang Thian Lee sedang menahan dua samurai dan begitu samurai itu terpental, sebatang samurai lain telah menyapu kakinya. Thian Lee melompat ke atas dan pada saat itulah pedang Siang Koan Tek menyerangnya dengan sebuah tusukan ke arah perut.
Tubuh Thian Lee masih berada di udara ketika serangan tiba. Dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang pada tangan kirinya, menyambut tusukan itu dengan tangan kiri dan mencengkeram pedang dan pada saat Siang Koan Tek terkejut, Thian Lee menggerakkan pedangnya ke depan.
"Singgg.... cappp....!”
Pedangnya menusuk dada Siang Koan Tek. Pemuda itu berseru keras dan roboh terjengkang, darah bercucuran dari dada yang didekapnya dengan kedua tangan. Pedangnya sendiri terlempar entah ke mana. Tiga orang Jepang menjadi gentar. Mereka masih melawan, akan tetapi dalam waktu singkat saja merekapun roboh oleh pedang di tangan Thian Lee.
Thian Lee mencari-cari dengan matanya. Kalau ayah pemuda yang baru saja roboh itu maju, yaitu Siang Koan Bhok, tidak akan ada di antara para perwira yang akan kuat melawannya. Harus dia sendiri yang maju. Akan tetapi ternyata tidak mendapatkan datuk timur itu. Agaknya Siang Koan Bhok tidak mau terlibat dalam pemberontakan, hanya puteranya yang berambisi besar itu yang langsung terlibat. Pertempuran berlangsung beberapa jam saja.
Setelah terdesak hebat dan para perwira kerajaan meneriakkan agar mereka menyerah, banyak di antara perajurit pemberontakan yang melempar senjata dan berlutut menyerah. Phoa-ciangkun masih mengamuk, akan tetapi akhirnya dia tewas di bawah hujan senjata para perwira. Pertempuran itupun berhenti dan banyak sekali perajurit pemberontak yang menaluk.
Selesailah penumpasan pemberontakan itu. Orang-orang Jepang yang tidak terbunuh dalam pertempuran itu, melarikan diri dengan perahu-perahu mereka, kembali ke lautan di mana mereka menjadi bajak laut. Orang-orang kang-ouw yang membantu gerakan pemberontakan itupun banyak yang melarikan diri setelah melihat pihaknya menderita kekalahan.
Thian Lee menguasai kota perbentengan di pantai itu dan meninggalkan lima ribu orang perajurit dengan beberapa orang perwira untuk menguasai kota dan mengatur kembali kehidupan di situ, sementara menanti keputusan dari kota raja yang akan mengirim seorang panglima baru.
Thian Lee lalu kembali dengan pasukannya ke Hui-cu. Di sini diapun menyerahkan semua pasukan ke tangan para perwira untuk menjanjikan akan mengirimkan seorang panglima baru dari kota raja. Setelah semua urusan selesai berangkatlah dia pulang ke kota raja, membawa berita gembira bahwa pemberontakan telah berhasil dipadamkan di pantai timur dan para pimpinan pemberontak dapat ditawan.
Tentu saja Kaisar menyambut kembalinya dengan penuh kegembiraan dan memuji keberhasilan panglima besar itu. Akan tetapi yang lebih bahagia lagi adalah Cin Lan yang menyambut suaminya dengan rasa bangga dan syukur. Banyak yang diceritakan Thian Lee kepada isterinya, juga tentang Lee Cin yang dijumpainya dan yang telah membantunya dalam membasmi kawanan pemberontak.
"Lee Cin? Kenapa tidak engkau ajak ia singgah di sini. Aku sudah rindu kepadanya!" kata Cin Lan gembira.
"Ia sedang berada dalam kebimbangan. Bayangkan saja, ayahnya telah diserang dan dilukai oleh seorang yang berkedok hitam. Ia mencari Si Kedok Hitam sampai ke Huicu, akan tetapi di sana beberapa kali ia terancam bahaya maut dan siapa yang menolongnya? Bukan lain adalah Si Kedok Hitam itu sen diri! Tentu saja ia menjadi bimbang. Aku sendiri pernah ditolong Si Kedok Hitam dan ilmu silatnya memang hebat. Akan tetapi dia masih terselubung rahasia, aku dan Lee Cin tidak tahu siapa dia sebenarnya." Thian Lee lalu bercerita tentang Keluarga Cia yang terlibat dalam pemberontakan.
"Tentu engkau sudah menangkap semua Keluarga Cia... bukan?"
Thian Lee menggeleng kepalanya. "Sama sekali tidak. Aku sengaja membiarkan mereka dapat meloloskan diri. Mereka adalah pendekar-pendekar patriot, bukan orang jahat. Mereka hanya terpedaya oleh Panglima Phoa dan orang-orang Jepang. Aku mengharap mereka akan menyadari kesalahan mereka, berjuang bersama-sama orang Jepang dan panglima yang berkhianat. Hal ini juga diminta oleh Lee Cin kepadaku. Keluarga itu bersikap baik kepadanya terutama dua orang mudanya yang agaknya jatuh cinta kepada Lee Cin. Kuharap saja ia akan menemukan jodohnya yang baik dan tepat."
"Mudah- mudahan saja, akupun mengharapkan demikian," kata Cin Lan dan ia teringat betapa dulu Lee Cin mencinta suaminya akan tetapi gadis itu mundur dan mengalah ketika mengetahui bahwa Thian Lee mencintanya.
Pemandangan di luar kota benteng di pantai timur itu sungguh mengerikan. Perang baru saja berhenti dan tempat itu penuh dengan manusia yang rebah malang melintang dan berserakan, Ada yang sudah menjadi mayat, ada yang masih mengerang kesakitan karena luka parah. Banjir darah di mana-mana.
Kalau tadi di waktu bertempur, mereka merupakan orang-orang yang dipenuhi nafsu membunuh, kini mereka menggeletak tidak berdaya dan suara yang terdengar hanyalah ratap tangis kesakitan. Pasukan yang bertugas membersihkan tempat belum sempat bekerja, dan pasukan yang mendapat kemenangan sudah memasuki kota perbentengan.
Di antara mayat-mayat yang berserakan itu, tiba-tiba terdapat seorang yang berjalan ke sana sini memandangi mayat-mayat itu, seperti sedang mencari sesuatu. Dia membalik-balikkan mayat yang telungkup untuk melihat wajah mayat itu. Dia seorang kakek berusia hampir enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan gagah, membawa sebatang dayung baja.
Orang itu bukan lair adalah Siang Koan Bhok, datuk timur yang telah mendengar adanya pertempuran di tempat itu. Karena putera tunggalnya, Siang Koan Tek terlibat dalam pertempuran itu, hatinya merasa khawatir sekali dan kini setelah pertempuran selesai, dia mencari-cari puteranya di antara mereka yang tewas atau terluka.
Setelah mencari-cari beberapa Iamanya, akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Dia melihat puteranya, Siang Koan Tek, rebah telentang dengan mata terbuka, terbelalak dan muka membayangkan kenyerian hebat, telah tewas. Tubuhnya bersimbah darah dan dadanya terluka.
Sejenak dia hanya berdiri seperti berubah menjadi patung. Matanya terbelalak memandang mayat itu, seperti tidak percaya. Akhirnya dia menghela napas, menelan kembali rintihan yang keluar dari hatinya.
"Siang Koan Tek...!" Bibirnya bergerak lemah dan dia lalu membungkuk, mengangkat mayat itu dan dipondongnya mayat itu. Wajahnya penuh kerut merut, sinar matanya seperti api hampir padam, dan dia melangkah di antara mayat-mayat itu, pergi meninggalkan tempat itu sambil memondong mayat puteranya.
Di atas sebuah bukit yang hijau, Siang Koan Bhok mengubur jenazah puteranya. Penguburan yang sunyi dan sederhana. Tidak dihadiri seorangpun, tidak ada yang berkabung, kecuali sang ayah yang mengerjakan semua penggalian dan mengubur jenazah puteranya dengan hati yang seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Tak lama kemudian penguburan selesai dan kakek itu duduk bersila di depan kuburan puteranya, kemudian perlahan-lahan dia memukul- mukulkan dayungnya ke atas gundukan tanah dan terdengar suaranya yang parau. "Siang Koan Tek, aku berjanji akan membawa kepala Song Thian Lee untuk kupakai bersembahyang di depan kuburmu ini. Tunggu saja, anakku, dendammu akan terbalas!"
Janji itu diucapkan dengan suara serak dan perlahan, akan tetapi terdengar sangat menyeramkan. Kemudian perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan menyeret dayungnya, pergi dari puncak bukit itu seperti seorang yang kehabisan tenaga dan kehilangan semangat. Yang memenuhi hati dan akal pikirannya hanya dendam dan kedukaan.
Bagi orang yang tidak mau menghadapi kenyataan hidup, tidak mau waspada mengamati segala perbuatan diri sendiri, maka segala peristiwa yang menimpa dirinya tentu akan mendatangkan guncangan hebat. Siangkoan Bhok menerima kenyataan ini sebagai sesuatu yang amat pahit, yang menghancurkan hatinya, sesuatu yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain sehingga timbullah dendam yang setinggi langit sedalam lautan.
Dia lupa bahwa semua itu bersumber dari kelakuannya sendiri. Kalau saja dia menjadi seorang ayah yang baik, yang mendidik puteranya itu menjadi seorang yang baik, belum tentu Siang Koan Tek akan mengalami kematian demikian menyedihkan.
Dia tidak menyadari bahwa puteranya telah menjadi seorang pemuda yang jahat sekali, dan dia seperti buta, tidak melihat kejahatan puteranya. Inilah akibatnya kalau orang tidak pernah mawas diri, selalu menganggap dirinya baik, bahkan perbuatan yang jahat dan merugikan orangpun dianggapnya baik.
Maka kalau sampai ada mala petaka terjadi atas dirinya, dia menganggap hal itu tidak adil dan menimbulkan dendam kepada orang lain. Kakek itu melangkah terus dan hanya satu tujuan yang terkandung di dalam hati, yaitu membalas dendam kematian anaknya kepada Song Thian Lee!
Pada suatu sore, Song Thian Lee sedang duduk istirahat di dalam taman di belakang gedungnya bersama Tang Cin Lan, isterinya. Mereka berdua duduk sambil mengobrol dan Cin Lan mengajak Hong San putera mereka, bermain-main. Tidak ada seorangpun pelayan di situ karena ia ingin menyendiri menikmati udara sore yang sejuk.
Bunga-bunga di taman itu sedang berkembang dan suasananya tenteram dan menyejukkan hati. Akan tetapi, agaknya ada sesuatu yang mengganggu hati Thian Lee di saat itu. Wajahnya yang tampan itu tidak begitu cerah. Sedikit perubahan ini sudah cukup bagi Cin Lan untuk dapat menduga bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya.
Maka ia lalu memanggil seorang pengasuh, menyuruh pengasuh membawa masuk Hong San sehingga ia kini berdua saja dengan suaminya di dalam taman itu.
"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Apakah itu? Bolehkah aku ikut memikirkannya?" tanya Cin Lan sambil duduk di dekat suaminya.
Thian Lee menghela napas dan memandang wajah isterinya dengan kagum. Isterinya ternyata amat waspada, dapat menjenguk isi hatinya walaupun dia tidak menyatakan sesuatu. Diapun tidak pernah menyimpan suatu rahasia dari isterinya, maka dia menjawab dengan sejujurnya.
"Engkau benar. Ada sesuatu yang amat menggangguku, sejak aku kembali dari timur menumpas pemberontakan. Aku melihat kenyataan bahwa kedudukanku yang sekarang ini sesungguhnya tidak tepat bagiku."
"Eh, kenapa begitu?" tanya Ci Lan sambil menatap wajah suaminya dengan tajam.
"Hal itu kusadari ketika aku berhadapan dengan Keluarga Cia, Lan-moi. Mereka adalah patriot-patriot yang ingin membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah, dan aku harus memusuhi dan membasmi orang-orang seperti itu. Hal ini sungguh menyedihkan hatiku.
"Sudah berulang kali aku dihadapkan dengan orang-orang yang berpendirian seperti itu. Mula-mula ketika Thian Tok menemuiku dan memaki aku sebagi antek penjajah. Kemudian Keluarga Cia itu. Sungguh menyakitkan hati sekali, Lan-moi. Dan biarpun pada hakekatnya aku bukan membantu pemerintah Mancu untuk menindas rakyat.
"Namun siapakah yang percaya bahwa aku tidak melakukan penindasan terhadap para patriot? Aku menjadi serba salah, Lan-moi. Aku menghambakan diri kepada Kaisar, menerima anugerah pangkat dari Kaisar karena aku yakin akan kebijaksanaan Kaisar. Akan tetapi harus diakui bahwa tidak semua pembesar Mancu bijaksana seperti Kaisar.
Di antara mereka banyak yang telakukan penindasan sebagai penguasa-penguasa penjajah Mancu. Dengan sendirinya aku terbawa-bawa. Maka, aku sungguh melihat kenyataan bahwa kedudukanku sebagai panglima besar ini sungguh tidak tepat bagiku." Thian Lee menghela napas panjang mengakhiri kata-katanya.
Cin Lan memandang suaminya dengan khawatir. "Lalu, apa rencanamu, Lee-ko?"
"Tidak ada jalan lain, Lan-moi. Aku harus mengundurkan diri dari jabatanku ini. Aku akan menghadap Kaisar dan akan berkata terus terang apa yang menyebabkan aku mengundurkan diri. Kaisar amat bijaksana dan dia dapat menyelami perasaan dan kehidupan para pendekar. Aku akan mengabdi kepada rakyat sebagai seorang pendekar saja, bukan melalui kedudukanku yang membuat aku bertentangan dengan para patriot."
"Aku menyetujui saja pendapat dan pendirianmu, Lee-ko. Akan tetapi ingatlah bahwa aku sendiri puteri seorang pangeran Mancu. Bagaimana aku harus bicara kepada ayahku tentang pengunduran dirimu ini?"
Thian Lee memandang kepada isterinya dengan penuh kasih. "Aku tidak menyalahkan engkau sebagai seorang puteri pangeran, Lan-moi, karena biarpun ayahmu seorang pangeran, namun beliau seperti juga Kaisar, memiliki kebijaksanaan dan tidak mau menindas rakyat jelata. Apa lagi engkau hanya puteri tiri pangeran, dan ayah kandungmu adalah seorang pendekar patriot, seperti juga mendiang ayah kandungku."
Keduanya termenung, teringat akan ayah kandung masing-masing. Ayah kandung Thian Lee bernama Song Tek Kwi, seorang tokoh Kun-lun-pai, seorang pendekar dan patriot sejati. Demikian pula ayah kandung Cin Lan adalah seorang pendekar dan patriot sejati bernama Bu Cian. Kedua orang pendekar itu tewas di tangan para perajurit kerajaan, mereka tewas sebagai patriot-patriot sejati yang menentang kelaliman pembesar Mancu.
"Akan tetapi, ayah tiriku itu, Pangeran Tang Gi Su, amat bijaksana dan amat baik kepadaku, Lee-ko. Rasanya sukar bagiku untuk menjelaskan pendirianmu kepadanya, aku merasa sungkan sekali."
"Biarlah, kalau begitu kita berdua yang akan menghadap ayahmu, dan biarkan aku yang akan bicara kepadanya.”
Tiba-tiba terdengar angin gerakan orang dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek tinggi besar di dalam taman itu. Thian Lee segera mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Siangkoan Bhok, ayah dari Siangkoan Tek yang tewas dalam pertempuran di pantai timur itu. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri kakek itu yang berdiri tegak, dayung di tangan kanan dan matanya mencorong memandang kepada Thian Lee.
"Selamat datang, lo-cianpwe!" kata Thian Lee dengan suara tenang. "Keperluan, apakah yang mendorong lo-cianpwe datang berkunjung?"
Sementara itu, Cin Lan yang juga sudah mengenal kakek itu, bangkit pula berdiri dan siap siaga. Ia tahu betapa lihainya datuk dari timur, majikan Pulau Naga ini. Di waktu mudanya sebagai seorang gadis belia, ia pernah mencarikan sian-tho (buah tho dewa) untuk mengobati gurunya, Pek I Lokai yang terlalu parah.
Ketika memberi buah itu ke Pulau Ular Emas, ia tersasar ke Pulau Naga dan bertemu dengan Siang Koan Tek dan ibunya yang amat lihai (baca Kisah Sepasang Gelang Kemala).
"Song Thian Lee, bersiaplah engkau untuk mampus. Aku datang untuk membalaskan kematian puteraku, Siang Koan Tek!"
"Lo-cianpwe, Siangkoan Tek tewas dalam pertempuran karena dia membantu pemberontak yang bersekongkol dengan bajak laut Jepang. Aku tidak sengaja membunuhnya." jawab Thian Lee membela diri.
"Tidak perduli apa alasanmu, yang jelas kematiannya adalah karena engkau dan sekarang engkau harus menebus dengan nyawamu. Kecuali kalau engkau takut melawanku, engkau boleh mengerahkan tenaga bantuan, aku tidak takut!"
Thian Lee tersenyum. "Bukan watak seorang pendekar untuk menjawab tantangan dengan pengeroyokan. Aku hanya memberitahu kepadamu bahwa puteramu tewas dalam perang dan bukan salahku kalau sampai dia tewas. Akan tetapi kalau engkau menantangku, aku tidak akan mundur selangkahpun, Tung-hai-ong!"
Tung-hai-ong (Raja Lautan Timur) adalah julukan Siang Koan Bhok. "Bagus! Aku percaya akan omonganmu. Berjanjilah sekali lagi bahwa engkau akan menghadapi tantanganku tanpa pengeroyokan. Isterimu itupun tidak boleh mengeroyok. Kalau kemudian dia menantangku bertanding satu lawan satu, akan kulayani."
"Siang Koan Bhok, suamiku sudah berkata tidak akan mengeroyok dan kami bukanlah pengecut-pengecut yang suka mengandalkan pengeroyokan!” kata Cin Lan yang percaya penuh akan kemampuan suaminya.
"Kalau begitu, aku menantangmu untuk datang ke hutan buatan di utara kota raja besok pagi setelah matahari muncul, untuk bertanding satu lawan satu! Kalau engkau tidak muncul atau datang dengan bawa teman banyak, berarti engkau seorang pengecut hina!"
"Jangan khawatir, aku akan datang...."