Rajawali Hitam
"Dan aku akan menemaninya, bukan untuk mengeroyokmu. Aku akan hadir sebagai saksi pertandingan antara kalian." kata Cin Lan mendahului suaminya.
"Baik, kalian berdua boleh datang. Aku akan menunggu di sana!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Bhok meloncat dan pergi dari situ melalui pagar tembok yang berada di belakang taman. Melihat betapa kakek itu dapat masuk ke taman tanpa diketahui penjaga, padahal cuaca masih terang, dapat dibayangkan betapa lihainya kakek itu.
Setelah kakek itu pergi, barulah Cin Lan merasa khawatir akan keselamatan suaminya. "Dia lihai sekali, Lee-ko. Dapatkah engkau menandinginya dan mengalahkannya?"
Thian Lee tersenyum, penuh kepercayaan kepada diri sendiri. "Jangan khawatir, Lan-moi, dia tidak akan dapat mengalahkan aku dengan mudah. Yang menguntungkan aku, dia sudah mulai tua dan tentu tenaganya sudah berkurang. Kalau dia menantangku untuk mengukur kepandaian, hal itu tidak menjadi soal, akan tetapi yang membuat aku menyesal adalah bahwa tantangannya itu untuk membalas dendam kematian puteranya.
"Dengan begitu, tentu dia akan bertanding mati-matian dalam usahanya membalas dendam. Aku khawatir satu di antara kami terpaksa harus berkelahi sampai dapat merobohkan lawan, sebuah pertandingan antara mati dan hidup. Aku tidak takut, akan tetapi aku tidak ingin membunuhnya."
"Akan tetapi, dia yang menghendaki demikian, maka jangan ragu-ragu, Lee-ko. Keraguanmu akan merupakan kelemahan yang membahayakan dirimu sendiri."
Thian Lee mengangguk dan untuk menghibur hati isterinya agar jangan gelisah memikirkan pertandingan yang akan di adakan besok pagi, dia lalu menggandeng tangan isterinya dan diajak masuk ke dalam rumah. Malam itu Thian Lee tidur dengan nyenyak, sedikitpun dia tidak merasa khawatir akan apa yang terjadi besok. Dia bukanlah orang yang suka dihantui pikirannya sendiri.
Apa yang akan datang besok, akan dihadapi besok pula. Dia penuh kepercayaan kepada diri sendiri, bukan berarti meremehkan orang lain, melainkan pendiriannya, dia setiap saat akan berani menghadapi apa saja. Yang landasannya adalah kebenaran. Selama dia bertindak benar, apapun akibat tindakannya itu, akan dihadapi dengan tabah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Lan sudah bangun. Wanita ini yang lebih gelisah sehingga semalam agak sukar tidurnya. Hatinya penuh kekhawatiran akan keselamatan suaminya. Pagi-pagi sekali ia telah mempersiapkan makan pagi untuk suaminya. Setelah Thian Lee terbangun dan mandi, mereka lalu makan pagi.
Thian Lee bersikap seperti biasa, akan tetapi Cin Lan amat pendiam pagi itu. Kemudian mereka berkemas dan Thian Lee membawa sebatang tongkat yang menjadi senjata utamanya. Dengan tongkat itu ia dapat memainkan Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis) yang amat lihai. Kemudian keduanya pergi menunggang kuda menuju ke pintu gerbang utara.
Para penjaga di pintu gerbang mengenal panglima mereka, dan biarpun mereka merasa heran melihat panglima mereka pergi berdua dengan isteri tanpa pengawal dan berpakaian sebagai rakyat biasa, mereka tidak berani bertanya.
Mereka semua tahu belaka bahwa panglima muda mereka ini adalah seorang pendekar yang sakti, demikian pula isterinya. Mungkin keduanya akan berburu binatang di hutan, pikir mereka.
Suami isteri itu menjalankan kuda mereka perlahan-lahan menuju ke sebuah hutan tak jauh dari pintu gerbang. Sebuah hutan buatan yang penuh dengan binatang hutan, yang dijadikan tempat berburu binatang oleh Kaisar dan keluarganya. Matahari mulai menyinarkan cahayanya yang hangat dan pagi itu cerah dan indah sekali.
Setelah tiba di tengah hutan, di tempat terbuka yang merupakan padang rumput, mereka melihat Siang Koan Bhok telah berdiri di sana dengan dayung baja di tangannya.
"Bagus, kalian berdua datang! Song Thian Lee, turunlah dan mari kita mulai bertanding!" kata Siang Koan Bhok sambil melintangkan dayung bajanya.
"Lan-moi, jagalah kuda kita," kata Thian Lee dan diapun melompat turun dari atas punggung kudanya. Pedangnya tergantung di punggungnya dan dengan tenang dia melangkah menghampiri Siang Koan Bhok. Setelah menjura dengan hormat diapun berkata, suaranya tenang namun tegas.
"Siang Koan Lo-cian-pwe, sebelum kita bertanding, untuk terakhir kalinya aku hendak memberitahu kepadamu bahwa pertandingan ini sama sekali tidak kuinginkan. Di antara kita sesungguhnya tidak ada permusuhan apapun. Kematian puteramu adalah kematian wajar dari seorang yang tewas dalam perang sehingga tidak perlu disesalkan. Sekali lagi aku minta agar engkau menyadari hal ini dan membatalkan pertandingan yang tiada gunanya ini."
"Song Thian Lee, sejak dahulu engkau selalu menjadi penghalang bagiku! Andaikata puteraku tidak tewas di tanganmu sekalipun, aku tidak pernah merasa menjadi sahabatmu, melainkan sebagai musuh. Sudahlah, jangan banyak cakap lagi. Mari kita mulai!”
Thian Lee menghela napas panjang. Dia percaya bahwa sebagai seorang datuk besar, Siang Koan Bhok merasa pantang untuk bertindak curang, untuk melakukan pengeroyokan. Diapun maklum melihat sikap datuk itu bahwa tak mungkin dia membujuknya lagi, maka diapun melangkah maju dan mencabut pedang Jit-goat-sin-kiam dari punggungnya.
Menghadapi seorang lawan seperti Siang Koan Bhok dia tidak boleh bersikap ragu atau sungkan lagi. Lawan ini terlalu tangguh dan dayung bajanya hanya dapat dilawannya dengan pedang saja.
"Kalau begitu baiklah, lo-cian-pwe, aku sudah siap," katanya tenang. Cin Lan menalikan kendali kedua ekor kuda pada sebatang pohon dan ia menonton pertandingan itu dengan mata tak berkedip dan hati terguncang tegang.
"Lihat serangan!" Bentak Siang Koan Bhok dan mulailah dia menyerang. Dayung bajanya menyambar dengan dahsyatnya ke arah kepala Thian Lee. Dayung itu kuat dan keras sekali. Sebongkah batu besar akan hancur terkena pukulan dayung itu, apa lagi kepala oang!
Thian Lee mengelak ke bawah dan ketika dayung menyambar ke atas kepalanya, diapun membalas dengan tusukan pedang ke arah paha lawan. Siang Koan Bhok mengangkat kaki dan mundur ke belakang, dayungnya diayunkan berputar dan kembali menyambar ke arah tubuh Thian Lee.
Pemuda itu menggunakan segala kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan menghindar sambil kadang-kadang membalas dengan pedangnya. Makin lama gerakan mereka menjadi semakin cepat sehingga dayung dan pedang tidak nampak bentuknya lagi, sudah berubah menjadi segulungan besar sinar ke hitaman dan pedang itupun berubah menjadi sinar terang bergulung-gulung.
Hanya kadang-kadang saja kalau kedua senjata bertemu dan mengeluarkan bunyi nyaring, diketahui bahwa dua gulungan sinar itu adalah senjata-senjata yang ampuh!
Siang Koan Bhok menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Dia mainkan dayung baja itu dengan ilmu Swe-kut-pang (Tongkat Penghancur Tulang) dan dayungnya berubah menjadi segulungan sinar kehitaman yang mengeluarkan angin dahsyat.
"Wirr-wirr-wirr...!" Dayung itu menyambar-nyambar dalam jarak agak jauh karena senjata itu merupakan senjata yang panjang.
Akan tetapi Thian Lee adalah seorang lawan yang sakti. Pemuda ini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan juga pengalaman bertempur yang banyak. Dia mainkan ilmu pedang Jitgoat-kiam-sut (Ilmu Pedang Matahari dan Bintang), dan menggunakan kelincahannya untuk menghindari semua sambaran dayung, sementara itu diapun membalas dengan serangan pedangnya yang merupakan sinar-sinar maut.
Cin Lan yang menonton pertempuran itu hampir tidak pernah berkedip. Ia merasa kagum bukan main dan diam-diam ia harus mengakui bahwa kakek itu luar biasa lihainya. Kalau ia yang maju melawannya, tak mungkin ia dapat bertahan lebih dari limapuluh jurus. Akan tetapi ia percaya penuh akan kemampuan suaminya dan iapun menonton dengan jantung berdegup penuh ketegangan.
Thian Lee juga maklum bahwa tidak mudah baginya untuk mengalahkan lawannya. Dayung kakek itu sungguh ampuh dan berbahaya sekali. Dia harus dapat membuat kakek itu melepaskan dayungnya karena selama kakek itu menggunakan dayung itu sebagai senjata, agaknya akan sukar sekali baginya untuk mendapat kemenangan.
Akan tetapi pandang mata dan pendengaran Thian Lee awas sekali. Dia melihat betapa wajah kakek itu menjadi agak pucat dan napasnya terasa pendek. Ini menunjukkan bahwa kakek itu telah lelah. Inilah satu-satunya kelemahan lawannya. Karena usia tua, maka daya tahan kakek itu menurun banyak. Tenaganya memang masih amat kuat, akan tetapi daya tahannya menurun dan napasnya memburu.
Thian Lee menggunakan kesempatan itu untuk mendesak Iawannya. Pedangnya menyambar-nyambar dengan ganas dan ketika kakek itu membalas dengan ayunan ke arah pinggangnya, dia miringkan tubuh, mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan membacok ke arah tengah-tengah dayung itu.
"Singgg.... trakk!!"
Dia berhasil! Dayung itu patah menjadi dua potong. Thian Lee meloncat ke belakang. "Sudah cukup, Io-cianpwe. Senjatamu sudah rusak!" katanya untuk menghentikan pertandingan.
Akan tetapi Siang Koan Bhok memandang ke arah dua potong dayung yang tinggal pendek itu di kedua tangannya, lalu membuangnya ke atas tanah sambil meludah. Kemudian dia membentak.
"Hanya dayungku yang patah, aku belum kalah!" katanya dan dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya yang berubah menjadi kehijauan, tanda bahwa kedua tangan itu mengandung hawa beracun yang amat jahat. Itulah ilmu pukulan tangan kosong beracun yang di sebut Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang dahsyat bukan kepalang.
Thian Lee adalah seorang pendekar sejati. Melihat lawan sudah kehilangan senjata dan kini maju dengan tangan kosong, diapun segera memasukkan pedangnya di sarung pedang yang tergantung di punggungnya dan menghadapi Siang Koan Bhok dengan tangan kosong pula!
Dia maklum akan hebat dan berbahayanya Ban-tok-ciang, maka diapun mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang ke dalam kedua lengannya sampai ke ujung-ujung jari untuk melindunginya dari hawa beracun di kedua tangan lawan.
Kemudian dia memasang kuda-kuda dengan kedua lengan terpentang lebar seperti sayap dan kaki kirinya di angkat seperti seekor burung sedang terbang. Dan inilah pembukaan dari ilmu silat tangan kosong yang disebut Silat Elang Terbang (Huieng-kun).
Melihat pemuda itu sudah siap, Siang Koan Bhok mulai dengan serangannya dibarengi bentakarmya yang dahsyat, "Hyaaaaatttt!"
Tubuhnya menerjang maju, kedua tangan memukul bergantian ke depan. Akan tetapi gerakan Thian Lee amat gesit seperti seekor burung, dia mengelak beberapa kali dan membalas dengan sapuan kakinya. Datuk itu melompat ke atas untuk menghindarkan sapuan dan ketika tubuhnya turun, kedua tangannya sudah menyerang lagi dengan hantaman atau cengkeraman.
Cengkeraman tangan Siang Koan Bhok bahkan lebih berbahaya dari tamparannya, karena cengkeraman ini mengandung ilmu Jiu-jit-su yang dipelajarinya dari tokoh Jepang. Sekali kena dicengkeram, jangan harap dapat terlepas lagi dan tubuh lawan tentu akan ditekuk dan dibanting!
Namun Thian Lee agaknya maklum akan kelihaian kedua tangan lawan itu. Dia mengandalkan kecepatannya untuk menghindar sambil membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Sekali-kali kedua tangan mereka beradu dan ketika kedua lengan itu bertemu, keduanya merasa tubuh mereka tergetar hebat.
Siang Koan Bhok terkejut melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh ketika beradu lengan dengan nya. Hawa sin-kang yang amat kuat melindungi kedua lengan pemuda itu menolak hawa beracun dari Ban-tok-ciang yang dimainkannya.
Kembali Cin Lan harus menyaksikan pertandingan yang mendebarkan hatinya. Ia merasa tegang sekali dan diam-diam ia menyesalkan mengapa suaminya tidak menggunakan pedangnya. Ia khawatir sekali melihat betapa kedua tangan kakek itu berwarna kehijauan tanda bahwa kedua tangan itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya.
Akan tetapi nyonya muda itu tidak berkata sesuatu, hanya di dalam hati saja ia berdoa untuk kemenangan suaminya dan menonton dengan kedua mata jarang berkedip dan hati tegang.
Perkelahian itu memang hebat sekali. Biarpun kini keduanya hanya mengandalkan kedua tangan dan kaki, namun serunya tidak kalah ketika mereka menggunakan senjata tadi. Suara pukulan mereka menderu-deru, membawa angin pukulan bersiutan dan ketika kedua lengan bertemu, tanah yang diinjak Cin Lan seakan turut bergetar.
Akan tetapi ternyata bahwa kakek itu kalah dalam daya tahan. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Dari kepalanya mengepul uap dan napasnya mulai memburu.
Melihat ini, Thian Lee merasa girang dan dia ingin mengalahkan kakek itu karena kelemahannya ini. Dia akan bertahan terus sampai kakek ini kehabisan tenaga sendiri dan terpaksa menghentikan perkelahian itu.
Siang Koan Bhok juga merasa betapa tubuhnya sudah lelah, akan tetapi dia melihat lawannya masih segar. Dia tidak akan menang kalau mengandalkan kekuatan daya tahan dan pernapasan. Dia harus mengirim pukulan maut yang tidak akan dielakkan lawan.
Tiba-tiba kakek itu meloncat ke depan dan menekuk kedua lututnya. Dengan tubuh setengah berjongkok itu dia menghantamkan kedua tangan dengan telapak tangan terbuka, mendorong sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Angin pukulan dahsyat menyambar dan mengejutkan hati Thian Lee. Dia tidak dapat lagi mengelak, maka jalan satu-satunya baginya hanya menyambut pula dengan kekerasan. Diapun mendorongkan kedua tangannya yang terbuka sehingga kedua pasang tangan itu bertemu di udara dengan tenaga yang dahsyat.
"Wuuuuuttttt... dessss...!"
Pertemuan antara dua pasang tangan itu dahsyat bukan main. Tubuh Thian Lee terdorong ke belakang walaupun kedua kakinya masih tetap memasang kuda-kuda. Dia merasa dadanya agak sesak dan cepat dia mengambil napas panjang.
Akan tetapi Siang Koan Bhok terhuyung ke belakang dan baru berhenti setelah punggungnya menabrak sebatang pohon. Dia bersandar di pohon itu sambil memejamkan kedua matanya, darah segar mengalir dari ujung bibirnya!
Cin Lan cepat menghampiri suaminya yang bernapas dalam sambil memejamkan mata pula. "Lee-ko, engkau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Perlahan-lahan Thian Lee membuka matanya, memandang kepada isterinya, menghela napas, tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak apa-apa, jangan khawatir." Dia lalu memandang ke depan dan melihat Siang Koan Bhok yang bersandar di batang pohon sambil memejamkan matanya. Melihat darah segar mengalir di ujung bibir kakek itu, tahulah Thian Lee bahwa kakek itu telah terluka dalam yang cukup parah.
"Lo-cianpwe," katanya, "Bersediakah lo-cianpwe untuk kuobati?" Dia menawarkan.
Siang Koan Bhok membuka matanya dan sinar kebencian berkobar di dalam sinar matanya. "Aku tidak butuh bantuanmu. Sekarang aku kalah, akan tetapi akan datang saatnya engkau yang kalah melawanku. Selamat tinggal!" Dengan terhuyung kakek itu lalu pergi dari situ.
Thian Lee bergerak hendak mengejar, akan tetapi pundaknya disentuh isterinya. "Kalau dia tidak mau dibantu, itu salahnya sendiri, Leeko. Jangan perdulikan orang berkepala batu itu."
Thian Lee menahan langkahnya dan hanya memandang kepada kakek itu yang terus melangkah dengan terhuyung. Dia menghela napas panjang dan berkata dengan penuh sesal.
"Betapa keras hatinya. Aku menyesal sekali tidak dapat menyadarkannya dari kekeliruannya. Dia kelak tentu akan merupakan ancaman bagi kita. Akan tetapi apa boleh buat, kita harus siap setiap saat menghadapinya."
Suami isteri itu lalu keluar dari dalam hutan, menunggangi kuda mereka dan kembali memasuki kota raja. Setelah terjadi peristiwa itu, semakin besar keinginan Thian Lee untuk mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima dan hidup sebagai rakyat biasa bersama anak isterinya.
"San-ko, sekarang kita akan ke mana?" tanya Ceng Ceng kepada Hui San ketika mereka jalan bersama menuju ke utara.
"Aku akan pergi ke Hong-san, akan tetapi hendak singgah di kota raja dan daerahnya untuk mengundang para tokoh kang-ouw di daerah itu. Kemudian dari sana baru aku menuju ke Hong-san untuk menghadiri pertemuan penting itu. Di sana engkau akan dapat bertemu dengan gurumu, Ceng-moi."
"Baik, San-ko, aku akan ikut denganmu. Dan kebetulan sekali, kalau kita menuju ke kota raja, aku minta agar kita singgah dulu sebentar di rumah pamanku di Pao-ting. Aku tidak akan lama tinggal di sana, hanya menjenguk sebentar. Engkau tidak keberatan, San-ko?"'
"Tentu saja tidak. Pergi ke kota raja memang melewati Pao-ting dan pula akupun ingin berkenalan dengan keluarga pamanmu. Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa mereka adalah keluargamu terdekat?" kata Hui San sambil menatap wajah gadis itu dengan sinar mata tajam penuh arti.
Ceng Ceng mengangguk dan kedua pipinya berubah kemerahan. Kalau seorang pemuda ingin memperkenalkan diri kepada keluarganya, hal itu tentu saja mempunyai arti penting!
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi mereka memasuki pintu gerbang kota Pao-ting. Mereka menjalankan kuda mereka perlahan dan tepat di pintu gerbang mereka berpapasan dengan dua orang penunggang kuda lain yang keluar dari kota itu. Ceng Ceng memandang kepada mereka dan wajahnya berubah berseri gembira.
"Hwe Li....! Lai-suheng....!"
Dua orang penunggang kuda itu berhenti dan mereka memandang kepada Ceng Ceng. Souw Hwe Li segera mengenalnya dan iapun melompat turun dari atas punggung kudanya.
"Ceng Ceng.....“
Ceng Ceng juga melompat turun dan di lain saat kedua orang gadis itu sudah berangkulan dengan gembira. "Hwe Li dan suheng, perkenalkan ini sahabatku!" kata Ceng Ceng sambil menunjuk kepada Hui San. "Namanya Thio Hui San. San-ko, inilah saudara misanku Souw Hwe Li dan ini suhengku bernama Lai Siong Ek."
Hui San yang sudah turun dari atas kudanya memberi hormat kepada Hwe Li dan Siong Ek, yang dibalas oleh mereka dengan hormat pula. Ceng Ceng melihat wajah mereka berdua yang sungguh-sungguh seperti sedang tegang, maka ia bertanya.
"Kalian hendak pergi ke manakah?" "Ceng Ceng, ada urusan yang penting sekali telah terjadi dengan keluarga kami." Hwe Li lalu menggandeng Ceng Ceng ke pinggir dan bicara dengan suara perlahan.
"Pagi tadi ayahku pergi memenuhi tantangan seseorang di luar kota dan kami hendak menyusul ke sana untuk kalau perlu membantunya."
"Ah, mengapa dia ditantang? Dan paman Souw Can pergi dengan siapa?" tanya Ceng Ceng sambil mengerutkan alisnya. "Biarlah aku ikut pergi untuk membantunya!"
"Kalau begitu, mari kita menyusul ke sana, Ceng Ceng, dan akan kuceritakan di dalam perjalanan nanti." Hwe Li berkata.
Ceng Ceng segera menyetujui dan memandang kepada Hui San. "San-ko, kita ikuti mereka sebentar. Siapa tahu pamanku membutuhkan bantuan kita."
Mereka berempat menunggangi kuda mereka keluar dari pintu gerbang dan di sepanjang perjalanan Hwe Li ber cerita dengan singkat. Kiranya baru beberapa bulan yang lalu, di kota Pao-ting ada orang membuka perusahaan pengawal barang kiriman baru yang menggunakan nama Sin-liong Piauw-kiok Perusahaan Pengawal barang Naga Sakti.
Tentu saja Souw Can tidak memperdulikan, biar ada sepuluh orang membuka piauw-kiok di Pao-ting, dia tidak akan dapat berbuat apapun karena orang bebas untuk membuka perusahaan. Akan tetapi, Sin-liong Piauw-kiok yang baru itu menggunakan bendera yang sama dengan Kim-liong-piauwkiok, yaitu bendera yang bergambar naga. Hal ini tentu saja dapat dikatakan bahwa perusahaan baru itu sengaja menggunakan nama yang mirip dan memalsu bendera.
Souw Can dengan baik-baik telah mendatangi piauw-kiok itu dan menegur mereka, dan minta agar bendera mereka diubah dan tidak sama dengan bendera Kim-liong Piauw kiok. Akan tetapi pihak Sin-long Piau kiok tidak menanggapi bahkan mengambi sikap menantang. Sejak itu, kedua piauw-kiok seolah bermusuhan.
"Permusuhan berlarut-larut," Hwe Li mengakhiri ceritanya. "Pada suatu hari mereka bahkan berani menyerang para piauw-su (pengawal) kami yang sedang mengirim barang ke kota raja. Tentu saja ayah menjadi marah karena banyak piauw-su kami terluka. Dia hendak mendamaikan dan mendatangi Sin-liong Piauw-kiok, akan tetapi ayah bahkan ditantang untuk mengadu ilmu pada pagi hari ini di luar kota. Pagi tadi ayah pergi seorang diri, melarang kam untuk ikut. Kami merasa tidak enak hati lalu menyusul."
"Hemm, Sin-liong Piauw-kiok bertindak sewenang-wenang dan aku khawatir Paman Souw Can akan terjebak. Mari kita percepat perjalanan kita," kata Ceng Ceng.
Akhirnya mereka tiba di tempat itu. Karena Souw Can pergi berjalan kaki, maka dia tersusul dan baru saja dia tiba pula di tempat itu. Dan di sana sudah menanti Ji Kui, ketua Sin-liong Piauw-kiok yang datang bersama lima orang kawannya.
Ji Kui adalah seorang pria berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya merah dan matanya tajam bersinar, berdiri tegak sambil memegang sebatang tombak setinggi tubuhnya. Lima orang kawannya rata-rata berwajah bengis dan kejam yang sepatutnya dimiliki orang-orang jahat.
Ketika Souw Can melihat ketua Sin long Piauw-kiok itu berada di situ bersama lima orang kawannya, dia tersenyum mengejek. "Bagus sekali! Engkau menantang untuk bertanding satu lawan satu, akan tetapi ternyata engkau membawa lima orang teman, orang she Ji!"
Ji Kui tertawa mengejek. "Ha-ha, demikian kecil nyalimu, Souw Can sehingga melihat kawan-kawanku engkau lantas ketakutan. Jangan khawatir, mereka ini hanya menjadi saksi saja atas pertandingan antara kita. Majulah dan bersiaplah untuk mampus di ujung tombakku!"
Akan tetapi sebelum Souw Can menjawab, tiba-tiba terdengar seruan dari belakangnya. "Ayah.....”
Souw Can menoleh dan melihat puterinya, Souw Hwe Li datang bersama Lai Siong Ek dan diapun mengenal Ceng Ceng yang datang bersama seorang pemuda yang tidak dikenalnya. Setidaknya kedatangan mereka membesarkan hatinya karena kini kawan-kawan Ji Kui itu ada tandingannya kalau mereka membantu Ji Kui. Akan tetapi untuk tidak mendatangkan kesan buruk, dia menghardik puterinya dan muridnya atau calon mantunya,
"Hwe Li dan Siong Ek, mau apa kalian ke sini?"
Ceng Ceng sudah melompat turun dari atas kudanya dan menghampiri Souw Can, memberi hormat. "Paman Souw, saya ikut datang untuk mewakilimu menghadapi orang ini!"
"Ha-ha-ha, kiranya engkau pun bukan seorang yang jujur, Souw Can Eng kau juga mengundang datang balabantuan!" Ji Kui mengejek.
Souw Can sudah maklum akan kepandaian puteri dan muridnya, dan diapun percaya penuh akan kelihaian Ceng Ceng yang menjadi murid datuk pandai, maka hatinya menjadi besar. Belum lagi diingat pemuda yang datang bersama mereka. Pemuda itu tampan dan gagah, agaknya juga bukan seorang yang lemah. Maka diapun berkata dengan suara menantang.
"Ji Kui, sekarang kita bicara seperti seorang laki-laki. Engkau berenam, aku berlima. Kita boleh saling bertanding dan melihat pihak mana yang lebih banyak menderita kekalahan! Engkau boleh mengajukan kawan-kawanmu itu dan aku mengajukan puteriku, muridku, keponakanku dan sahabatnya itu dalam pertandingan satu lawan satu!"
Ji Kui yang merasa betapa pihaknya lebih banyak, tentu saja menerima tantangan itu. Apa lagi pihak lawannya memiliki pembantu-pembantu dua orang gadis muda dan dua orang pemuda. "Baik! Kita bertanding satu lawan satu. Pihak yang kalah harus membubarkan piauw-kioknya dan meninggalkan kota Pao-ting!"
Dia lalu memberi isyarat kepada seorang pembantunya yang berkepala botak untuk maju. Si botak yang tubuhnya tinggi besar ini melangkah maju dan mencabut goloknya dengan sikap angkuh.
"Hayo, siapa di antara kalian yang berani melawan aku?" tantangnya.
"Ayah, biar aku yang maju lebih dulu!" kata Souw Hwe Li dan ayahnya mengangguk setuju. Hwe Li mencabut pedangnya dan melangkah maju, memandang si kepala botak dengan sinar mata "Majulah, aku telah siap melawanmu!" bentak Souw Hwe Li.
Si kepala botak fertawa. "Ha-ha-ha, nona muda. Aku khawatir kalau kulitmu yang halus itu akan menjadi lecet oleh golokku! Biarlah kulawan engkau dengan tangan kosong saja!" Dia beranggapan bahwa kalau melawan dengan kedua tangan kosong dia mempunyai banyak kesempatan untuk mencolek dan memegang tubuh sintal gadis cantik itu.
"Botak sombong! Lihat pedang!" Hwe Li membentak dan pedangnya sudah berkelebat menusuk ke arah dada kepala botak.
Si botak mengelak, akan tetapi begitu dia mengelak, pedang Hwe Li sudah mengejarnya dan mengirim serangan bacokan ke arah kepala botaknya. Si botak melompat ke sana sini untuk mengelak dan dia terkejut sekali karena ternyata pedang ditangan gadis cantik itu lihai sekali, cepat dan juga mengandung tenaga besar.
Sebentar saja dia terdesak dan harus berloncatan seperti seekor kera. Karena tidak dapat bertahan lagi dia terpaksa mencabut goloknya dan untuk menutupi rasa malunya, dia berteriak. "Golokku akan membunuhmu!"
Kini mereka bertanding dengan menggunakan senjata. Dan ternyata permainan golok si botak itu tidak dapat dipandang ringan. Gerakannya juga cepat dan tenaganya besar sehingga goloknya menjadi segulung sinar yang mendesak sinar pedang Hwe Li.
Akan tetapi Hwe Li memiliki kecepatan yang lebih dibandingkan lawannya. Dengan mengandalkan kecepatan gerakannya, Hwe Li berhasil membuat si botak terdesak hebat dan akhirnya dia hanya mampu mengelak dan menangkis saja, tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang!
Limapuluh jurus telah lewat dan setelah mendapat' kesempatan yang balk, pedang Hwe Li menyambar ke bawah dan si botak itu berteriak keras sambil berlompat ke belakang dan paha kanannya bercucuran darah karena telah terkena pedang Hwe Li. Tentu saja dia tidak berani maju lagi dan hanya menundukkan kepala botaknya dengan muka kemerahan karena malu.
"Ji Kui, pihakmu sudah kalah satu kali!" kata Souw Can dengan girang.
Muka Ji Kui yang kemerahan itu menjadi semakin merah saking malu dan marahnya. "Di pihak kami masih ada lima orang!" Dia memberi isyarat dan seorang di antara para pembantunya yang bertubuh pendek gendut melangkah maju.
Dia tidak membawa senjata dan dengan sikap congkak dia memandang kepada pihak Souw Can sambil tersenyum menyeringai dan berkata, "Aku tantang bertanding dengan tangan kosong. Siapa berani, melawan aku?"
Lai Siong Ek tidak mau kalah oleh tunangannya. "Suhu, biar saya menghadapinya."
Souw Can mengangguk. Dia tahu bahwa biarpun bakatnya tidak begitu baik seperti puterinya, calon mantunya yang juga muridnya ini sudah memiliki ilmu silat yang cukup baik. "Hati-hati lah," katanya.
Lai Siong Ek adalah putera jaksa Pao-ting, maka selain mengandalkan ilmu silatnya, diapun mengandalkan kedudukan ayahnya, maka hatinya besar dan penuh keberanian. "Majulah, aku telah siap melawanmu!" katanya sambil memasang kuda-kuda.
Si gendut pendek menyeringai. Tadinya dia mengharapkan bahwa gadis satunya lagi yang juga cantik jelita untuk maju melawannya. Kiranya yang maju menandinginya adalah seorang pemuda! "Bagus! Orang muda, kau jagalah seranganku ini!" bentaknya dan diapun sudah menerjang dengan pukulan kedua tangannya yang berlengan pendek-pendek tetapi yang memiliki tenaga besar itu.
Siong Ek mengelak dan pada pukul berikutnya, dia menangkis. "Dukk.....!" Dua lengan bertemu dan akibatnya Siong Ek mundur dua langkah. Dari sini saja sudah dapat diduga bahwa tenaga pemuda itu masih kalah dibanding lawannya. Akan tetapi Siong Ek tidak menjadi jerih dan diapun bersilat dengan cepat untuk membalas serangan lawan.
Terjadilah perkelahian yang seru. Mereka itu saling serang, saling desak sehingga menjadi pertanding an yang seru dan menegangkan. Saling pukul juga terjadi dimana tangkisan atau elakkan tidak sempat lagi dilakukan sehingga tubuh terkena pukulan. Kalau si gendut yang terkena pukulan, tubuhnya hanya bergoyang sedikit.
Akan tetapi kalau Siong Ek yang terkena pukulan, tubuhnya terhuyung mundur dua langkah! Biarpun Siong Ek yang menang cepat itu lebih banyak memukul dan mengenai tubuh lawan, akan tetapi karena tiap kali terkena pukulan dia merasa nyeri maka makin lama pertahanannya menjadi semakin lemah.
Souw Can melihat bahwa kalau dilanjutkan, muridnya itu akan kalah. Dia khawatir kalau Siong Ek terluka parah, maka dia melompat ke depan dan berkata, "Siong Ek, mundurlah!"
Siong Ek yang sudah kewalahan itu terpaksa mundur, dan Souw Can berkata Ji Kui. "Kami mengakui bahwa muridku kalah, maka keadaan kita kini satu-satu. Biarlah aku sendiri yang maju!"
"Tidak, paman!" kata Ceng Ceng yang sudah melompat ke depan. "Paman merupakan pimpinan, sepantasnya maju paling akhir. Biarlah aku yang menghadapi lawan!"
Souw Can yang maklum bahwa Ceng Ceng kini menjadi lihai sekali, hanya mengangguk. Si gendut melihat Ceng Ceng maju, menyeringai lebar dan berkata kepada Ji Kui.
"Ji-toako, biar aku maju sekali lagi menghadapi gadis ini!" Ji Kui tersenyum. Dia memandang rendah Ceng Ceng yang kelihatan lemah lembut itu maka dia mengangguk.
"Nona manis, hati-hatilah melawan aku. Aku tidak ingin memukul seorang gadis cantik seperti engkau!" si gendut mengejek sambil menyeringai lebar.
"Babi gendut! Engkau boleh pilih, menggunakan senjata atau tangan kosong?" kata Ceng Ceng.
Dimaki babi gendut, si gendut menjadi marah akan tetapi dia masih tertawa mengejek. "Mari main-main dengan tangan kosong. Aku ingin mendekap tubuhmu yang molek itu!"
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Lihat seranganku!" bentaknya dan secepat kilat kakinya menendang.
Si gendut terkejut dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan perutnya dari tendangan, kemudian dia mengembangkan kedua lengannya dan menerjang maju, menubruk untuk merangkul gadis itu. Akan tetapi dengan lincah dan ringannya Ceng Ceng mengelak, meloncat ke sebelah kanan si gendut dan tangannya menampar ke arah pelipisnya!
"Wuuuuttt....!" Tamparan itu dapat dielakkan, akan tetapi si gendut makin terkejut karena tamparan itu nyaris mengenai pelipisnya dan terasa ada angin kuat menyambar. Gadis ini tidak boleh dipandang ringan! Dia menggereng dan kini menyerang bagaikan kesetanan, bukan lagi ingin mencolek, menowel atau mendekap, akan tetapi memukul sungguh sungguh dengan kedua tangannya.
Pertandingan ini pun berlangsung seru, akan tetapi setelah lewat tigapuluh jurus, sebuah tendangan kaki kiri Ceng Ceng mengenai perut yang gendut itu. Si gendut terjengkang dan terbanting keras sehingga mulutnya mengeluarkan suara "ngek!" dan dia terengah-engah!
Agaknya dia merasa malu sekali dan menutupi mulutnya dengan kemarahan. Tangan kanannya meraba pinggangnya dan dia susah menghunus sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Tanpa memberi tahu lagi, secara curang, dia telah menubruk maju dan menyerang dengan goloknya secara membabi buta!
Melihat serangan yang nekat itu, Ceng Ceng melolos kebutannya tanpa mencabut pedang. Kebutannya yang berbulu merah berkelebatan menangkis datangnya golok ini. Baru belasan jurus saja, bulu kebutan dapat melibat golok dan sebelum si gendut dapat menarik kembali goloknya, kembali kaki kirinya menendang dengan kuatnya dan sekali ini mengenai dada si gendut.
"Ngekk...!!” goloknya terlepas, tubuhnya terbanting keras dan sekali ini dengan susah payah baru dia dapat merangkak bangun, di bantu oleh seorang kawannya.
"Hemm, Ji Kui, pihakmu kalah lagi sehingga kedudukan menjadi dua satu untuk kemenangan kami !" kata Souw Can dengan girang sekali.
Ji Kui mengerutkan alisnya dan memberi isyarat kepada pembantunya yang ke tiga, seorang berwajah hitam dan bertubuh kokoh dan tegap. Si muka hitam ini maju sambil mencabut sebatang pedang dari pinggangnya dan menantang dengan suara lantang. "Siapa berani melawan aku?"
"Paman Souw, saya masih belum lelah. Biarkan saya menandingi kerbau muka hitam ini!" kata pula Ceng Ceng, sengaja memaki lawan agar lawan menjadi marah.
Kemarahan mengurangi kewaspadaan maka melemahkan pertahanan lawan. Ceng Ceng dapat menduga bahwa tentu si muka hitam yang diajukan ini lebih lihai dari pada si gendut, maka ia pun tidak segan-segan untuk mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan kebutan bulu merahnya dipegang dengan tangan kirinya.
Umpan Ceng Ceng berhasil. Si muka hitam menjadi marah sekali dimaki kerbau muka hitam dan tanpa memberi peringatan lagi dia sudah mengayun goloknya dibacokkan ke arah kepala Ceng Ceng. Agaknya dia hendak membelah kepala itu dengan sekali bacokan saja. Namun Ceng Ceng mengelak dengan mudah, bahkan membarengi dengan tusukkan pedangnya yang disusul dengan menyambar kebutan ke arah muka lawan.
Si muka hitam terkejut, cepat mundur dan memutar goloknya untuk menangkis dan membabat putus tali kebutan. Akan tetapi usahanya gagal karena Ceng Ceng juga sudah menarik kembali kebutannya dan membiarkan pedangnya tertangkis untuk menguji tenaga lawan.
"Trangg.....!" Bunga api berpijar ketika golok bertemu pedang. Ceng Ceng merasakan tangan kanannya tergetar, akan tetapi si muka hitam lebih kaget lagi karena pedang itu sedemikian kuatnya sehingga goloknya terpental ke belakang! Dia menjadi penasaran dan marah. Bagaikan seekor kerbau gila dia menyerang lagi, memutar goloknya dan menyerang secara bertubi-tubi.
Namun Ceng Ceng menyambutnya dengan tenang dan cepat. Perkelahian ini lebih menegangkan dari tadi. Akan tetapi, hanya Souw Can, Souw Hwe Li dan. Li Siang Ek saja yang merasa tegang dan takut kalau-kalau Ceng Ceng kalah. Thio Hui San menonton dengan tenang dan tersenyum karena dia yakin bahwa gadis yang dicintanya itu tidak akan kalah. Baik mengenai tenaga sakti maupun kecepatannya, Ceng Ceng masih menang setingkat dari lawannya.
Dugaannya benar. Setelah lewat lima puluh jurus, Ceng Ceng berseru nyaring, "Kena....!!" Ujung kebutannya menyambar kearah mata lawan dan ketika si muka hitam menarik kepalanya ke belakang, kesempatan itu dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk menusukkan pedangnya ke arah lengan kanan si muka hitam.
"Haiiiitttt.... aduhhh....!" Si muka hitam terpaksa mejepaskan goloknya dan lengannya berdarah karena terluka oleh ujung pedang di tangan Ceng Ceng. Tentu saja dengan luka di lengan kanan, si muka hitam tidak dapat maju lagi.
"Nah, Ji Kui, pihakmu kalah lagi. Kedudukan menjadi tiga satu untuk kemenangan kami. Apakah engkau sudah mengaku kalah sekarang?"
"Souw Can siapa yang kalah? Bersama aku, kami masih mempunyai tiga orang jago!" Dia memberi isyarat kepada seorang pembantunya yang belum maju. Orang ini melompar ke depan. Orangnya bertubuh kecil kurus, akan tetapi rupanya gesit sekali dan karena dia diajukan belakangan, dapat diduga bahwa ilmu kepandaiannya tentu lebih lihai dari pada tiga orang yang pernah maju bertanding tadi.
Melihat senjatanya saja orang sudah merasa ngeri. Senjatanya itu berupa dua buah bintang baja sebesar kepalan tangan yang disambung dengan sehelai rantai baja. Dia sudah memegang senjatanya dan menantang. "Siapa berani melawanku, majulah dan bersiaplah untuk mampus!"
Souw Can hendak maju sendiri, akan tetapi Ceng Ceng mencegahnya. "Paman Souw, belum tiba saatnya paman maju sendiri. Di sini ada seorang sahabat baikku, dia ini bernama Thio Hui San dan biarlah aku minta bantuannya agar dia yang maju mewakili paman. San-ko, maukah engkau membantu kami untuk menandingi orang ini?"
"Tentu saja," jawab Hui San sambil tersenyum dan memberi hormat kepada Souw Can. "Kalau saja paman mengijinkan."
"Tentu saja, orang muda. Kalau Ceng Ceng yang mengusulkan engkau maju, tentu saja aku menyetujui sepenuhnya!"
Hui San lalu melangkah maju menghadapi si kecil kurus yang memegang senjata rantai berujung dua bintang ba ja itu. "Sobat," katanya kepada orang itu, lalu memandang kepada Ji Kui. "Pihak kalian masih ada tiga orang sedangkan kami hanya tinggal aku dan Paman Souw, dua orang saja. Karena itu, bagaimana kalau dari pihak kalian dua orang saja yang maju bersama untuk melawanku dan nanti pimpinan kalian bertanding melawan Paman Souw Can?"
Sungguh sebuah tantangan yang terlalu berani. Souw Can sendiri terkejut dan mengerutkan alisnya. Mengapa sahabat Ceng Ceng itu demikian sombong dan gegabah, menantang dua orang sekaligus? Akan tetapi Ceng Ceng hanya tersenyum. Dia yakin akan kehebatan ilmu kepandaian pria yang menarik hatinya itu dan dengan girang ia mendapat pikiran bahwa agaknya Hui San hendak memamerkan ilmu kepandaiannya kepada keluarganya!
"Akan tetapi dua lawan satu? Itu tidak adil!" kata Souw Can memprotes.
Ceng Ceng segera berkata, "Paman, harap paman jangan sangsi lagi. Aku yakin San-ko akan mampu menang dan pula, pertandingan ini agar dapat diselesaikan secepat mungkin!"
Ji Kui diam-diam merasa girang dan dia memberi isyarat kepada pembantunya yang pertama, seorang raksasa yang bermata lebar, untuk maju memban to rekannya yang kecil kurus. Raksasa ini melangkah maju dan segera mencabut golok besarnya dan menyeringai!
"Bocah sombong, engkau mencari kematian sendiri!" geramnya.
Akan tetapi Thio Hui San yang bertubuh jangkung tegap, berpakaian biru itu tersenyum kepada dua orang calon lawannya. "Majulah kalian berdua dan aku akan melawan kalian dengan tangan kosong!"
Akan tetapi dua orang itu sudah marah sekali dan tanpa banyak cakap, si raksasa sudah menggerakkan goloknya yang menyambar ke arah leher Hui San sedangkan yang kecil kurus begitu menggerakkan tangannya, dua bintang baja itu sudah mengaung-ngaung di udara dan menyambar-nyambar ke arah kepala Hui San.
Dengan tenang namun cepat sekali Hui San mengelak mundur, kemudian cepat sekali dia sudah menyerang maju dengan kedua tangannya. Akan tetapi dua orang lawannya juga mengelak dan mereka segera menghujankan serangan dengan senjata mereka ke arah Hui San.
Pemuda ini mempergunakan ginkangnya dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, sedikitpun senjata-senjata itu tidak dapat menyentuh tubuhnya. Kadang dia bahkan berani menangkis golok dari samping dengan tangan miring dan menghantam bintang yang menyambarnya dengan tangan terbuka!
Perkelahian ini terjadi paling ramai dan paling menegangkan. Terutama sekali bagi pihak Souw Can, kecuali Ceng Ceng. Gadis ini menonton dengan tersenyum kagum. Ia mengagumi ginkang dari pemuda yang menarik hatinya itu dan maklum bahwa dengan gin-kangnya itu, Hui San tentu dapat menghindarkan diri dari semua serangan. Ia kagum melihat pemuda itu menggunakan ilmu silat Kongjiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyambut Seratus Golok).
Setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Hui San mendapat kesempatan untuk menangkap sebuah di antara dua bintang baja yang menyambar kepadanya dan dengan kecepatan kilat dia melontarkan bintang baja itu ke arah bintang baja kedua. Lontarannya demikian kuatnya sehingga pemiliknya, si kecil kurus itu tidak sempat menghindarkan tabrakan kedua bintang baja itu.
"Wuuutttt... darrrr....!!"
Dua buah bintang baja itu bertumbukan di udara dan. pecah! Bukan itu saja, bahkan pecahan dua buah bintang baja itu menyambar dan mengenai leher dan pundak pemiliknya. sehingga si kecil kurus berteriak kesakitan dan melompat keluar dari kalangan pertandingan dengan leher dan pundak terluka!
Tinggal si raksasa yang menyerang dengan goloknya. Ketika golok membacok ke arah Hui San, pemuda ini mendahului, menggunakan sebuah jari tangan untuk melakukan totokan It-yang-ci dan raksasa itu tiba-tiba saja berdiri dalam posisi menyerang dengan goloknya sama sekali tidak bergerak seperti telah berubah menjadi patung!
Hui San lalu menendang dengan kaki kirinya dan si raksasa itu terlempar ke belakang, akan tetapi totokan tadi punah dan si raksasa merangkak bangun sambil menyeringai kesakitan karena tendangan tadi mengenai dadanya yang membuat napasnya sesak.
Bukan main kagumnya Hwe Li dan Siong Ek. Mereka tidak dapat menahan diri lagi dan bertepuk tangan untuk menyambut kemenangan Hui San tadi. Juga diam-diam Souw Can kagum bukan main dan tahulah dia bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bukan hanya dia, juga musuhnya, Ji Kui, merasa terkejut dan hatinya merasa jerih. Akan tetapi dia sudah terlanjur menantang, akan ditaruh ke mana kalau dia lalu mengundur kan diri?
"Baiklah, pihakku telah kalah dan aku tidak akan melanggar janji. Aku akan membubarkan Sin-Hong Piauwkiok dan akan meninggalkan Pao-ting, akan tetapi hatiku masih belum puas kalau belum menguji kepandaianmu, Souw Can. Marilah kita bertanding satu lawan satu!"
"Akan tetapi pihakmu telah kalah sehingga pertandingan ini tidak masuk hitungan lagi!" kata Souw Hwe Li.
"Andaikata engkau dapat menangkan ayahku sekalipun, tetap saja pihakmu telah kalah dan engkau harus membubarkan piauw-kiokmu dan minggat dari Pao-ting!"
Wajah yang sudah merah dan menjadi semakin merah karena marah dan malu. Dia menghentikan gagang tombaknya di atas tanah dan berkata, "Aku tidak akan melanggar janji. Aku hanya ingin tahu sampai di mana tingkat kepandaian Souw Can! Kecuali kalau dia tidak berani, akupun tidak ingin mengubah sifatnya yang pengecut!"
"Ji Kui, manusia sombong. Selama ini engkau yang mencari perkara dengan pihak kami. Sekarang engkau menantangku, apa kau kira aku takut kepadamu? Majulah, aku siap menghadapi tantanganmu!" Setelah berkata demikian, Souw Can meloncat ke depan dan mencabut pedangnya. Ji Kul juga tidak banyak cakap lagi, segera menyerang dengan tombaknya.
"Syuuutttt... tranggg...!"
Terdengar suara lantang ketika tombak itu ditangkis pedang di tangan Souw Can. Mereka segera saling serang dengan seru dan hebatnya. Ternyata permainan tombak Ji Kui lihai sekali, ketika tombak digetarkan ujung mata tombak seolah telah berubah menjadi banyak. Luncuran tusukan tombaknya kuat sekali, juga pukulannya dengan gagang tombak amat berbahaya.
Akan tetapi kini dia menghadapi Souw Can yang memainkai ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut yang selain indah juga amat kokoh kuat. Bukan hanya kuat dalam pertahanan, melainkan hebat dan dahsyat pula dalam serangannya. Kedua orang piauw-su ini bertanding dengan seimbang.
Mereka memang seimbang, baik kecepatan maupun tenaganya. Melihat ini, Hwe Li dan Siong Ek menjadi tegang sekali, khawatir kalau ayah dan guru mereka kalah. Ceng Ceng yang juga menonton dengan penuh perhatian, dapat melihat kelemahan Ji Kui. Maka dengan suara lantang ia bertanya kenada Hwe Li,
"Hwe Li, ilmu tombak itu memang ampuh sekali. Akan tetapi tahukah engkau di mana kelemahannya?"
Hwe Li yang memang tidak mengerti, menjawab heran. "Aku tidak tahu, Ceng Ceng."
"Tombak itu melayang-layang seperti seekor naga yang menyerang dengan moncongnya, akan tetapi kedudukan kakinya lemah sekali sehingga kalau diserang, dari bawah tentu akan sulit menghadapi lawan!"
Tentu saja Souw Can mendengar ini. Maka iapun cepat mengubah gerakan pedangnya dan kini dia mengirim serangan dari bawah, ke arah kedua kaki lawan secara bertubi-tubi!
Ji Kui terkejut bukan main. Dia masih mencoba untuk memutar tombaknya ke bawah untuk melindungi kedua kakinya, namun pertahanannya lemah sekali dan pada suatu saat, pedang Souw Can telah menyambar dan melukai betisnya yang kiri dan tanpa dapat dihindarkan lagi Ji Kui jatuh berlutut dengan sebelah kakinya.
Souw Can menghentikan gerakannya dan bertanya, "Bagaimana, Ji Kui, apakah engkau masih ingin melanjutkan?"
Ji Kui bangkit berdiri, bertopang pada tombaknya dan terpincang-pincang. "Aku mengaku kalah," katanya singkat dan dia lalu meninggalkan tempat itu, dibantu seorang pembantunya yang memapahnya.
Souw Can memandang sampai ke enam orang pergi jauh, lalu dia membalikkan tubuh menghadapi Ceng Ceng dan berkata, "Ceng Ceng, ternyata pandanganmu tajam sekali sehingga engkau sudah dapat menemukan kelemahannya. Engkau tadi telah membantuku, Ceng Ceng."
"Aih, paman. Apa artinya itu? Sudah sepantasnya kalau saya membantu paman."
"Dan Engkau, orang muda. Tanpa adanya engkau di sini, belum tentu pihak kami akan mendapatkan kemenangan. Banyak terima kasih atas bantuanmu itu."
"Harap jangan sungkan, paman. Paman adalah keluarga baik dan dekat dari Ceng-moi, maka bagi saya tidak ada soal bantu membantu melainkan sudah menjadi kewajiban saya."
"Mari kita semua pulang. Kemenangan ini harus dirayakan, sekalian sebagai sambutan atas kedatangan Ceng Ceng dan Thio Hui San," kata Souw Can dengan girang.
Mereka semua menunggang kuda. Ceng Ceng berboncengan dengan Hwe Li. Setelah mereka tiba di Kim-liong Piauw-kiok, para anak buah perusahaan itu menyambut dengan gembira setelah mendengar akan kemenangan ketua mereka. Tentu saja isteri Souw Can juga merasa girang sekali, apa lagi melihat kedatangan Ceng Ceng.
Mereka lalu merayakan kemenangan itu, dihadiri oleh para anggauta Kim-liong Piauw-kiok. Souw Can dan sekeluarganya, termasuk Ceng Ceng dan Thio Hui San, makan satu meja besar di bagian dalam. Dan mereka makan minum sambil bercakap-cakap, terutama sekali mereka menghujani Ceng Ceng dengan pertanyaan sehingga gadis itu terpaksa menceritakan semua pengalamannya.
Kemudian Souw Can yang sudah berpengalaman dan berpemandangan tajam itu melihat bahwa ada tali hubungan yang erat antara keponakannya dengan pemuda berpakaian biru itu, maka sambil tersenyum dia lalu mengangkat cawan arak mengajak semua orang minum sambil berkata, "Mari kita minum secawan arak untuk menghormati kedatangan Thio-thiante."
Semua orang minum arak dan Hui San cepat menghaturkan terima kasih atas penghormatan itu.
"Thio-thiante, kalau boleh kami mengetahui, tahun ini berapakah usiamu?"
Hui San tersenyum dan mukanya agak kemerahan, mungkin karena arak atau mungkin juga karena pertanyaan yang sangat pribadi itu. "Usia saya sudah dua puluh enam... paman."
"Ah, kalau usiamu sudah sebanyak itu, tentu engkau sudah beristeri, bukan?"
Kini wajah pemuda itu benar-benar kemerahan, dan Ceng Ceng juga menundukkan mukanya yang kemerahan dan tidak berani menentang pandang mata orang lain. Ia sudah dapat menduga ke mana arah pertanyaan pamannya itu.
"Saya adalah seorang yatim piatu, tidak ada orang yang mengurus tentang perjodohan saya sehingga sampai sekarang masih belum beristeri," kata Hui San lirih.
"Tapi tentu sudah mempunyai tunangan?"
"Juga belum," sahut Hui San sambil menundukkan mukanya.
"Wah, kebetulan sekali kalau begitu! Mari kita minum lagi secawan arak sebelum aku menyatakan usulku yang amat baik ini!" Semua orang minum lagi secawan arak.
"Thio-thiante, engkau seorang yang yatim piatu, dan kebetulan sekali keponakanku Liu Ceng ini juga yatim piatu! Kalian berdua sama-sama memiliki ilmu kepandaian tinggi dan juga kalian sudah bersahabat baik, tentu sudah dapat mengetahui watak masing-masing. Oleh karena itu, aku mempunyai usul. Bagaimana kalau kalian berdua berjodoh? Hio-thiante, bagaimana pendapatmu?"
Hui San tersenyum dan tersipu. "Ini... ini.... saya merasa tidak berharga.....”
"Aku tidak bertanya berharga atau tidak, akan tetapi jawablah, mau atau tidak engkau kujodohkan dengan Ceng Ceng?"
Hui San menghela napas panjang. Hatinya menjerit "mau!" akan tetapi bibirnya tidak mampu menjawab. Setelah didesak dia berkata, "Hal ini.... saya serahkan kepada Ceng-moi saja bagaimana pendapatnya....“
"Ha-ha-ha-ha!" Souw Can tersenyum, maklum akan isi hati pemuda itu. Dia lalu menoleh kepada Ceng Ceng yang sudah menundukkan mukanya yang kemerahan. "Nah, Ceng Ceng, keponakanku yang manis. Engkau sudah mendengar sendiri jawaban Hui San. Bagaimana kalau engkau kujodohkan dengan Hui San? Maukah engkau atau tidak?"
"A ihhh, paman..." Ceng Ceng berkata lirih dan kepalanya semakin menunduk.
"Eh, bagaimana sih engkau ini, Ceng Ceng? Ayah bertanya kok dijawab aih-aih begitu. Katakan saja engkau mau, begitu kata hatimu, bukan? Kalau begitu, kelak pernikahan kalian dirayakan bersama pernikahanku dengan Lai-suheng..." kata' Souw Hwe li yang ramah.
"Aihh, Hwe Li....!" Akhirnya nyonya Souw Can yang berkata, "Begini saja, aku sekarang mengajak semua orang minum secawan arak untuk menjawab. Yang ikut minum berarti menyetujui perjodohan itu. Yang tidak setuju boleh tidak usah minum!"
Nyonya itu mengangkat cawan araknya dan mau tidak mau Hui San dan Cen Ceng, biarpun malu-malu, terpaksa minum araknya karena di dalam hati mereka memang sudah ada pertalian kasih yang belum mereka utarakan dalam kata-kata, namun sudah seringkali mereka saling lihat dalam suara dan pandang mata masing-masing.
"Bagus, pertunangan ini harus dirayakan pula! Tambah dagingnya dan araknya!" kata Souw Can gembira.
"Pertunangan disahkan sekarang juga dan kami semua yang menjadi saksinya! Soal pernikahan, dapat diatur kemudian."
"Maafkan kami, paman Souw," kata Hui San. "Harap paman tidak tergesa-gesa dengan pernikahan karena kami masih mempunyai tugas. Saya harus mengundang para tokoh kang-ouw untuk menghadiri pertemuan di tempat tinggal Souw-bengcu di Hong-san dan Ceng-moi juga akan bertemu dengan gurunya di sana."
"Benar, paman. Saya ingin bertemu dengan suhu dan minta restunya lebih dulu tentang... ini....”
"Bagus! Kami akan menanti dengan sabar dan mempersiapkan segala peralatan pernikahan ganda ini."
Mereka berdua bermalam satu malam di rumah Souw Can, dan pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka berangkat meninggalkan Pao-ting. Ketika melakukan perjalanan meninggalkan kota Pao-ting, Hui San dan Ceng Ceng sama-sama diam saja tidak banyak bicara. Akhirnya Hui San membuka percakapan.
"Ceng-moi, kulihat engkau sejak tadi diam saja. Kenapakah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Ceng Ceng berhenti melangkah dan memandang kepada pemuda itu. "Aku teringat akan peristiwa di rumah paman Souw Can tadi. San-ko, tidak kelirukah jawabanmu atas pertanyaan Souw-ce (paman Souw) tadi? Tidak salahkah pilihanmu? Aku hanya seorang gadis yatim piatu yang tidak punya apa-apa sedangkan engkau...."
"Akupun seorang yatim piatu yang tidak punya apa-apa, Ceng-moi."
"Akan tetapi engkau seorang pendekar besar, seorang murid Siauw-lim-pai yang terkenal!"
"Aih, Ceng-moi, harap jangan berkata demikian. Perjodohan bukan melihat keadaan lahiriah seseorang, melainkan keadaan hatinya. Dan tentang hatiku, sudah sejak pertemuan kita pertama kali aku telah jatuh cinta kepadamu, Ceng moi."
"Benarkah katamu itu, San-ko?"
"Untuk apa aku berbohong, Ceng-moi? Dan engkau sendiri, engkau tidak menolak usul perjodohan yang diajukan Paman Souw! Kenapa?"
Wajah yang cantik itu berubah merah dan senyumnya dikulum. "Ah, aku.... aku hanya menyerahkan saja kepada kebijaksanaan Paman Souw....."
"Kalau begitu, engkau hanya menurut pamanmu dan tidak cinta kepadaku?"
"Aih, San-ko...!" Ceng Ceng semakin tersipu.
Hui San melangkah maju dan memegang kedua tangan gadis itu. Kedua tangan itu terasa hangat seperti dua ekor anak ayam. "Jawablah, Ceng-moi, adakah cinta di hatimu kepadaku?"
Ceng Ceng tidak menjawab, hanya mengangguk dan ia menyandarkan mukanya di dada Hui San. Pemuda itu merasa bahagia sekali, hatinya seperti membesar dan dia mendekap kepala itu, dibenamkan di dadanya. Sampai beberapa lamanya mereka dalam keadaan seperti itu, kemudian Hui San melepaskan dekapannya dan mereka melanjutkan perjalanan sambil bergandeng tangan.
Tidak ada kesenangan lebih besar dari pada bertemunya dua hati dalam cinta asmara. Pada saat seperti itu, keduanya sudah kehilangan ruang dan waktu, lupa segala. Dunia ini milik mereka berdua dan segala apa yang tampak di depan mata menjadi semakin indah, langit tampak semakin biru, sinar matahari semakin cerah, daun-daun semakin hijau. Segalanya serba indah dan semua suara seperti berubah menjadi nyanyian merdu yang merayakan dua hati mereka yang bersatu dalam cinta!
Kakek tinggi besar bermuka merah itu melangkah lebar. Wajahnya yang gagah itu kelihatan berkerut, sinar matanya yang mencorong itu kehilangan sinarnya. Dia melangkah sambil menyeret sebatang dayung baja dan mulutnya berkemak-kemik bicara kepada diri sendiri. "Awas kau Song Thian Lee..., awas kau Song Thian Lee....!”
Kakek itu adalah Siang Koan Bhok yang berjuluk Tunghai-ong (Raja Laut Timur) yang menjadi majikan dari Pulau Naga. Siang Koan Bhok adalah seorang di antara para datuk besar di dunia kang-ouw dan namanya sudah dikenal oleh semua orang kang-ouw dengan perasaan gentar. Baru saja dia mengalami hal yang membuat dia berduka dan marah.
Ketika mendengar tentang perang yang terjadi antara pasukan pemberontak yang bermarkas di pantai timur dan pasukan pemerintah, dia menjadi khawatir. Dia sendiri tidak terlibat dalam perang, akan tetapi putera tunggalnya yang amat dikasihinya, Siang Koan Tek ikut membantu pemberontak dan ikut pula dalam perang.
Dan seperti yang dikhawatirkannya, ketika dia mencari-cari di antara mayat yang berserakan, dia menemukan mayat Siang Koan Tek, puteranya! Dengan hati hancur dia mengangkat mayat puteranya dan menguburkannya di bukit yang sunyi.
Kemudian, dengan hati penuh geram dia mendatangi tempat tinggal Song Thian Lee, panglima yang memimpin pasukan pemerintah yang telah menghancurkan pasukan pemberontak. Siang Koan Bhok menantang Song Thian Lee dan mereka bertanding satu lawan satu.
Dalam sebuah pertandingan yang mati-matian dan seimbang itu akhirnya Siang Koan Bhok kalah dan terluka dalam. Usianya yang sudah limapuluh delapan membuat dia kalah tenaga. Maka dia meninggalkan musuh besarnya dengan hati penasaran dan mengandung dendam.
Setelah mengobati lukanya sampai sembuh, kini Siang Koan Bhok menuju pulang ke Pulau Naga. Dia berniat untuk melatih diri dengan tekun untuk kemudian dapat menantang Song Thian Lee lagi dan mengalahkannya, membunuhnya!
Dia melakukan perjalanan dalam keadaan berduka dan marah, dan dalam beberapa waktu saja sejak dia menemukan mayat puteranya, Siang Koan Bhok tampak jauh lebih tua dari pada biasanya. Rambutnya yang tebal panjang itu kini telah berubah putih semua!
Pagi itu dia memasuki sebuah dusun. Kebetulan sekali di dusun itu kepala dusun sedang merayakan pernikahan puterinya. Maka seluruh desa menjadi sibuk. Semua orang ikut merayakannya. Ketika Siang Koan Bhok melihat keramaian ini, dia menyeret dayungnya dan memasuki rumah yang sedang merayakan pesta.
Para petugas menerima tamu yang tidak mengenalnya mengira bahwa kakek ini datang hendak mengemis, karena biarpun pakaian kakek itu mewah akan tetapi sudah kotor dan kusut sekali. Empat orang petugas itu lalu menyambutnya dan seorang di antara mereka berkata.
"Orang tua, kini bukan waktunya minta sedekah. Pergilah dan lain kali saja kau datang..."