Rajawali Hitam Jilid 03
Mendengar ini, Siang Koan Bhok memandang empat orang itu dengan mata mencorong. "Kalian mengira aku mengemis?"
"Habis apa lagi kalau bukan...." Belum habis orang itu berkata, dayung itu menyambar dan empat orang itu berpelantingan dengan kepala remuk dan tewas seketika.
Belasan orang yang menganggap diri mereka kuat segera berdatangan dan melihat empat orang tewas oleh seorang kakek, mereka menjadi marah dan mencabut senjata mereka. Akan tetapi Siang Koan Bhok yang sedang kesal hatinya itu kembali mengayunkan dayungnya beberapa kali dan belasan orang itupun berpelantingan dan tewas!
Melihat ini, kepala dusun yang menjadi tuan rumah terkejut sekali dan cepat dia maju dan berlutut di depan Siang Koan Bhok. "Lo-cianpwe, mohon lo-cianpwe mengampuni kami yang tidak bersalah dan sedang merayakan pernikahan anak perempuan kami."
"Hemm, tidak tahukah kalian bahwa tuan besarmu datang karena merasa haus dan lapar? Hayo keluarkan hidangan untukku, dan yang harus melayani aku adalah sepasang mempelai itu. Cepat kerjakan atau aku akan membunuh semua orang yang berada di sini!"
"Baik, baik,... lo-cianpwe,... silakan duduk di dalam...!”
Siang Koan Bhok menyeret dayungnya dan dipersilakan duduk di meja kehormatan. Sepasang mempelai pun di paksa ayah mereka untuk keluar, memberi hormat lalu melayani kakek itu makan minum!
Selagi Siang Koan Bhok makan minum, tiba-tiba terdengar suara lantang dari luar. "Siang Koan Bhok, tua bangka iblis! Sampai sekarang engkau belum juga mengubah watakmu yang kejam. Sekali ini aku tidak mungkin tinggal diam saja!"
Di luar rumah itu telah berdiri seorang kakek yang tubuhnya pendek gendut serba bulat, pakaiannya seperti jubah pertapa yang sederhana. Tangan kanannya memegang sebuah kebutan panjang berbulu putih.
Melihat kakek yang usianya sekitar limapuluh tiga tahun ini, Siang Koan Bhok mengerutkan alisnya dan kemarahannya memuncak. Setelah menenggak lagi cawan araknya sampai habis, dia lalu bangkit berdiri dan menyeret dayungnya keluar dari rumah itu sampai dia berhadapan dengan si kakek gendut.
"Hemm, Thian Tok. Berani engkau mengganggu aku? Rupanya engkau sudah bosan hidup, ya?"
Kakek pendek gendut itu bernama Gu Kiat Seng dan berjuluk Thian Tok (Racun Langit), seorang di antara para datuk dan terkenal sebagai Datuk Barat. Akan tetapi berbeda dengan para datuk besar yang biasanya berwatak keras dan kejam, menghendaki agar segala kemauannya ditaati siapa saja, tidak demikian dengan Thian Tok. Biarpun dia bukan golongan pendekar, akan tetapi dia tidak pernah melakukan kejahatan.
"Bagus, mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita. Akan tetapi bukan di dusun ini. Mari kita mencari tempat sunyi di luar dusun!" Setelah berkata demikian, Thian Tok melompat dan cepat sekali pergi dari situ, dikejar oleh Siang Koan Bhok. Dalam keadaan sakit hati, duka dan marah seperti itu, semua orang dianggap musuh oleh Siang Koan Bhok, maka tantangan itu tentu saja diterimanya dengan marah.
Setelah kedua orang kakek yang berlari cepat seperti terbang itu tiba jauh dari dusun, di sebuah lapangan rumput yang sunyi dan di sana tidak tampak seorangpun, Thian Tok berhenti. Siang Koan Bhok segera menghadapinya dan dua orang kakek itu berdiri saling berhadapan seperti dua ekor ayam jantan hendak bertanding!
"Thian Tok, engkau lancang mencampuri urusanku, berarti engkau sudah bosan hidup!" kata Siang Koan Bhok sambil melintangkan dayung bajanya di depan dada.
"Hemm, justeru engkau yang bosan hidup. Engkau membunuh belasan orang dusun yang tidak berdosa. Kalau aku tidak melihatnya masih tidak mengapa. Akan tetapi setelah aku melihatnya, terpaksa aku harus melenyapkan iblis keji seperti engkau dari permukaan bumi agar jangan membunuhi orang tidak berdosa lagi," kata Thian Tok yang sudah mempersiapkan senjatanya, yaitu kebutan berbulu merah.
"Thian Tok, jahanam sombong. Engkaulah yang akan mampus!" Siang Koan Bhok berteriak dan dayungnya menyambar dahsyat.
Akan tetapi sekali ini yang diserangnya adalah Datuk Barat, maka dengan mudahnya Thian Tok mengelak dan kebutannya menyambar ke depan. Hebatnya, begitu kebutan menyambar, bulu kebutan yang biasanya halus lemah itu tiba-tiba menjadi kaku dan kuat seperti kawat-kawat baja dijadikan satu.
Kebutan itu menusuk ke arah perut Siang Koan Bhok. Akan tetapi majikan Pulau Naga inipun sudah mengenal kehebatan lawan, maka dia memutar dayungnya menangkis, lalu menyerang lagi dengan dahsyat.
Demikianlah, terjadi perkelahian satu lawan satu yang seru dan hebat, dan tidak disaksikan oleh siapapun. Begitu hebat tenaga mereka sehingga di sekitar mereka ada angin menyambar-nyambar dengan kuatnya.
Mereka tidak tahu bahwa di belakang sebatang pohon yang tumbuh tidak jauh dari situ, terdapat seorang yang mengintai dan menonton pertandingan mereka. Orang ini masih muda, berpakaian serba putih, wajahnya tampan dan gerak geriknya lembut dan halus, akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku sehingga lengan baju bagian kiri itu kosong dan tergantung lepas di sisi tubuhnya.
Pemuda ini bukan lain adalah Ouw Kwan Lok! Pemuda yang pernah menjadi murid mendiang Pak-thian-ong Datuk Utara dan juga Thian-te Mo-ong Datuk Besar Selatan itu menonton perkelahian dengan penuh perhatian. Seperti kita ketahui, belum lama ini Ouw Kwan Lok bertemu dengan Lee Cin, seorang di antara tiga musuh-musuh gurunya yang harus dibunuhnya.
Dua orang yang lain adalah Song Thian Lee dan isterinya, Tang Cin Lan. Akan tetapi dalam perkelahiannya melawan Lee Cin, dia kehilangan lengan kirinya. Untung dia masih dapat melarikan diri sehingga tidak sampai terbunuh oleh gadis perkasa itu. Dia mengobati luka di lengan buntungnya dan pagi hari ini secara tidak disengaja dia menjadi saksi sebuah perkelahian yang seru dan hebat antara dua orang datuk besar itu!
Kwan Lok pernah bertanding melawan Thian Tok ketika dia menculik Ceng Ceng dan terpaksa dia melarikan diri me ninggalkan Ceng Ceng yang kemudian menjadi murid datuk itu. Dan kini dia melihat datuk yang pernah mengalahkan dia itu bertanding dengan seorang kakek yang bersenjatakan sebatang dayung baja. Biarpun dia belum pernah berjumpa dengan Siang Koan Bhok, akan tetapi dia telah mendengar banyak tentang Para datuk dari gurunya.
Maka dia segera mengetahui siapa adanya kakek gagah perkasa itu. Diapun tahu bahwa Siang Koan Bhok adalah ayah dari Siang Koan Tek yang telah dikenalnya dan mengetahui pula bahwa Siang Koan Tek telah tewas dalam perang ketika pasukan pemerintah kerajaan menyerbu pasukan pemberontak. Dia sendiri tidak ikut dalam perang karena sebelum itu lengannya sudah buntung oleh Lee Cin.
Pertandingan antara kedua orang datuk itu semakin seru. Mereka telah bertanding hampir dua ratus jurus, akan tetapi masih belum ada yang tampak terdesak. Agaknya tingkat kepandaian mereka memang seimbang, dan demikian pula tenaga mereka.
Akan tetapi kini perlahan-lahan Siang Koan Bhok mulai terdesak. Hal ini disebabkan karena dia baru saja sembuh dari luka dalam yang dideritanya ketika dia bertanding melawan Song Thian Lee. Kebutan bulu putih di tangan Thian Tok kini menyambar-nyambar dengan ganasnya dan Siang Koan Bhok hanya mampu mengelak dan menangkis saja, tidak mendapat kesempatan sedikitpun untuk membalas, bahkan jelas nampak betapa napasnya mulai ngos-ngosan.
Ouw Kwan Lok berpikir cepat. Mudah saja baginya untuk memihak siapa. Dengan tangan kanannya dia mengambil lima batang pisau terbangnya dan keluarlah dia dari balik pohon besar itu. Dengan hati-hati dia menimpukkan pisaupisaunya beruntun ke arah Thian Tok yang tengah bertanding dengan Siang Koan Bhok.
"Wirrr-wirr-wirr-wirr-wirr...!
Lima sinar menyambar ke arah tubuh Thian Tok. Kakek ini terkejut bukan main akan tetapi dia dapat melompat ke belakang dan memutar kebutannya sehingga pisau-pisau terbang itu runtuh semua. Akan tetapi Kwan Lok sudah melompat dan menerjangnya dengan pedangnya.
Biasanya dia mempergunakan sepasang pedang di kedua tangannya, akan tetapi karena tangan kirinya sudah buntung, dia hanya menggunakan sebatang pedang saja. Akan tetapi serangannya masih berbahaya!
Thian Tok mengelak dan pada saat itu, Siang Koan Bhok yang merasa mendapat bantuan juga sudah mengayun dayung bajanya sehingga Thian Tok dikeroyok dua. Karena ilmu silat Ouw Kwan Lok, biarpun sebelah tangannya buntung, masih tangguh sekali, maka pengeroyokannya membuat suasana pertandingan berubah. Kini Thian Tok terdesak hebat dan dia hanya main mundur!
Masih untung baginya bahwa Siang Koan Bhok sudah hampir kehabisan tenaga maka dia masih mampu menghindarkan diri dari desakan datuk itu. Melihat bahwa keadaannya berbahaya dan kalau dilanjutkan tentu dia akan kalah, Thian Tok lalu menggunakan gin-kangnya meloncat jauh keluar dari kalangan pertandingan sambil berseru keras.
"Siang Koan Bhok manusia curang!' Dia lalu melarikan diri dengan amat cepatnya. Tubuhnya yang pendek gendut itu seperti bola menggelinding cepat sekali.
Siang Koan Bhok yang sudah kehabisan tenaga tidak mungkin dapat mengejarnya dan Ouw Kwan Lok tidak akan berani mengganggunya kalau hanya seorang diri. Maka, Thian Tok dapat melarikan diri dengan aman.
Kini Siang Koan Bhok, dengan napas terengah-engah, berdiri memandang kepada Kwan Lok, matanya memancarkan perasaan tidak senang. Dia adalah seorang datuk yang angkuh, maka biarpun sudah dibantu orang, hal ini malah membuat dia marah karena hal itu dianggap merendahkan dirinya.
"Siapa engkau dan mengapa engkau membantuku?" bentak kakek itu.
Dari suara bentakannya, tahulah Kwan Lok bahwa kakek itu marah kepadanya. Dia cerdik sekali. Tiba-tiba Kwan Lok menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Harap lo-cianpwe memaafkan kelancangan saya. Saya bernama Ouw Kwan Lok dan saya adalah sahabat baik putera lo-cian-pwe, mendiang Siang Koan Tek. Secara kebetulan saja saya melihat lo-cian-pwe bertanding melawan Thian Tok. Saya sendiri pernah bentrok dengan Thian Tok, oleh karena itu biarpun saya tahu bahwa lo-cianpwe sama sekali tidak akan kalah oleh Thian Tok, saya membantu untuk merobohkannya. Harap lo-cianpwe suka memandang muka mendiang sahabat saya Siang Koan Tek untuk memaafkan kelancangan saya."
Senang hati Siang Koan Bhok mendengar kata-kata yang teratur baik dan sopan itu. "Hemm, permainan pedangmu seperti kukenal. Siapakah gurumu, Kwan Lok?"
Kwan Lok juga tahu bahwa kedua orang gurunya adalah juga datuk-datuk besar, dapat dibilang rekan-rekan dari Siang Koan Bhok walaupun tingkat kepandaian Siang Koan Bhok menurut penuturan Thian-te Mo-ong lebih tinggi dari mereka. Maka diapun tidak perlu menyembunyikan diri dan dia menjawab dengan sikap hormat.
"Guru saya yang pertama adalah mendiang Pak-thian-ong, adapun guru saya yang kedua adalah Thian-te Mo-ong. Kedua orang guru saya sudah bercerita banyak tentang kehebatan ilmu yang dimiliki lo-cian-pwe. Maka, setelah kini bertemu di sini secara kebetulan sekali, saya merasa beruntung sekali dan mohon petunjuk dari lo-cianpwe."
Siang Koan Bhok memandang wajah pemuda itu dengan hati senang. Dia telah kehilangan putera dan tidak mempunyai murid dan pemuda ini agaknya akan dapat menjadi muridnya yang baik, yang dapat digemblengnya dan kelak pemuda ini sebagai muridnya dapat mewakilinya untuk membalas dendam kepada Song Thian Lee!
"Ouw Kwan Lok, bagaimana lengan kirimu sampai buntung? Apakah sejak kecil?"
Mendengar ini, Ouw Kwan Lok nenggigit bibirnya dan matanya menjadi merah seolah dia menahan turunnya air mata karena duka. "Tidak sejak kecil, lo cianpwe. Dan karena lengan saya buntung inilah maka saya tidak dapat ikut berperang bersama mendiang Siang Koan tek. Lengan saya ini buntung dalam usaha saya untuk membalaskan dendam kenatian guru saya Pak-thian-ong dan kesengsaraan hidup guru saya Thian-te Mo ong.”
"Siapa musuhmu?"
"Musuh saya ada tiga orang, lo-cian pwe. Pertama Song Thian Lee, kedua isterinya Tang Cin Lan dan ke tiga Souw Lee Cin."
"Dan siapa yang membuntungi lengan mu?"
"Ketika kebetulan saya bertemu dengan Souw Lee Cin kami bertanding dan karena kurang hati-hati lengan kiri saya menjadi buntung, lo-cianpwe."
Siang Koan Bhok sudah senang sekali. Kiranya Song Thian Lee merupakan seorang di antara musuh-musuh pemuda ini. "Dengar baik-baik, Kwan Lok. Engkau sudah tahu bahwa puteraku Siang Koan Tek telah tewas dalam perang dan semua ini adalah karena perbuatan Song Thian Lee. Kalau aku mengambilmu sebagai murid dan anak angkat, maukah engkau kelak membalaskan kematian Siang Koan Tek kepada Song Thian Lee?"
Bukan main girangnya rasa hati Kwan Lok. Dia memberi hormat sambil berlutut dan berkata. "Suhu yang mulia, tentu saja teecu akan merasa bahagia kalau dapat menjadi murid suhu, dan tentang membalas dendam kepada Song Thian Lee, teecu bersumpah untuk melakukannya, sekalian untuk membalaskan kedua orang suhu teecu."
"Bagus, kalau begitu mari kau ikut aku ke Pulau Naga."
"Baik, suhu!"
Pergilah kedua orang itu dan di sepanjang perjaalanan ke Pulau Naga, Kwan Lok bersikap baik sekali kepada gurunya. Dia melayani suhunya dan menyediakan segala keperluan suhunya dan bersikap sangat hormat. Siang Koan Bhok semakin girang dan bangga. Puteranya sendiri tidak pernah bersikap sedemikian baiknya seperti Kwan Lok. Maka dia mengambil keputusan untuk mewariskan seluruh ilmunya kepada murid ini.
Mati dan hidupnya setiap orang manusia berada di tangan Tuhan. Hal ini tidak dapat dibantah oleh siapapun juga. Kalau Tuhan sudah menghendaki kematian seseorang, tidak ada dewa manapun akan mampu menyelamatkannya. Biar dia bersembunyi di lubang semut, maut akan tetap saja menjemput.
Sebaliknya kalau Tuhan tidak menghendaki seseorang itu mati, dewa manapun tidak akan dapat membunuhnya. Biar dihujani seribu batang anak panah, tidak satupun ada yang mematikannya. Demikian pula dengan diri Cia Tin Han atau yang tadinya hanya dikenal se bagai Si Kedok Hitam oleh Souw Lee Cin.
Ketika untuk ke sekian kalinya Si Kedok Hitam menolong Lee Cin terbebas dari tangan keluarga Cia, dia menyuruh Lee Cin lari dan bersembunyi sedangkan dia sendiri menghadapi keluarga Cia yang amat lihai. Nenek Cia demikian marah kepada Si Kedok Hitam sehingga ia menyerangnya dengan tongkatnya dan berhasil merenggut kain penutup muka itu.
Alangkah kagetnya semua anggauta keluarga Cia itu ketika melihat bahwa wajah di balik kedok itu adalah wajah Cia Tin Han! Dan nenek Cia menjadi demikian marah melihat bahwa cucunya sendiri yang menentang mereka, lalu mengirim tendangan yang membuat tubuh Tin Han terlempar ke dalam jurang di belakangnya. Jurang yang tak terukur dalamnya, bahkan dasarnya tidak tampak dari atas karena selalu berkabut.
Cia Tin Han adalah seorang pemuda berusia duapuluh dua tahun, berwajah tampan dan sikapnya seperti seorang pemuda terpelajar yang tidak mengenal ilmu silat! Namun, dia pemberani luar biasa, selalu gembira dan jenaka.
Ketika Tin Han masih kecil, bersama kakaknya yang bernama Cia Tin Siong dan yang lebih tua dua tahun darinya, diapun dididik ilmu silat oleh keluarga Cia yang terkenal memiliki ilmu silat yang tangguh. Akan tetapi Tin Han sejak kecil kurang berminat mempelajari ilmu silat dan lebih bersemangat mempelajari kesusasteraan.
Akan tetapi ketika Tin Han berusia sepuluh tahun, terjadi hal yang luar biasa. Pada suatu hari dia bermain seorang diri dan entah apa yang mendorongnya, dia mendaki bukit Lo-sian-san (Bukit Dewa Tua) yang berada dekat kota Hui-cu. Bahkan kota Hui-cu terletak di kaki bukit itu. Dia terus mendaki sampai ke puncak bukit itu dan setelah tiba di puncak dia menjadi bingung bagaimana harus turun ke sana.
Ketika mendaki puncak, dia melewati daerah berhutan yang merupakan daerah liar. Tidak ada jalan untuk turun karena naiknya tadipun dia tidak menurutkan jalan setapak, hanya berusaha mendaki saja. Kini dia menjadi bingung karena setelah dicobanya turun, selalu dia berhadapan dengan jurang yang dalam!
Tin Han adalah seorang anak yang berani dan tidak pernah menangis. Walau pun dia bingung sekali, diapun tidak menangis dan tidak pernah berhenti berusaha mencari jalan turun. Akan tetapi, jalan yang di ambilnya bahkan membuat dia tersesat jauh dan hanya berputar-putar di sekeliling puncak itu.
Sampai hari menjadi sore dia masih berputar-putar di situ. Akhirrnya terpaksa dia berhenti karena selain kedua kakinya terasa lelah sekali, juga perutnya lapar, membuat dia kehabisan tenaga dan tubuhnya terasa lemas.
Selagi dia duduk di bawah pohon untuk mengaso, cuaca mulai menjadi remang-remang karena senja telah tiba. Dia merasa bingung, akan tetapi dia tidak takut. Tiba-tiba terdengar suara auman yang menggetarkan jantung dan Tin Han melompat berdiri. Tahu-tahu di depannya telah berdiri seekor harimau kumbang yang cukup besar, yang mendesis-desis dan memperlihatkan taringnya ketika binatang itu melihat Tin Han.
Anak lain tentu sudah menangis dan tubuhnya menjadi lumpuh berhadapan dengan harimau itu. Akan tetapi Tin Han dengan tabah lalu menakut-nakuti harimau itu dengan menggereng pula dan tangannya mengambil sebongkah batu untuk disambitkan kepada harimau. Akan tetapi, harimau itu pandai mengelak lalu mengaum lagi, kini siap untuk meloncat dan menerkam bocah yang berani menyerangnya itu.
Tin Han menyambar sepotong kayu dari bawah pohon dan siap- untuk melawan. Dia tidak akan menyerah begitu saja! Dengan penuh keberanian dia memegang tongkat kayu itu dan siap memukul kalau harimau itu berani mendekatinya.
Tiba-tiba harimau itu menggereng dan melompat, menerkam ke arah Tin Han. Akan tetapi berbareng dengan itu sebuah sinar hitam menyambar dan ternyata sinar itu adalah sepotong batu yang menyambar cepat dan mengenai hidung harimau itu.
Harimau itu terpelanting dan menggereng kesakitan, memandang Tin Han dengan bingung. Mendadak menyambar lagi sepotong batu yang mengenai kepalanya. Batu itu menyambar demikian kuatnya sehingga harimau itu menggereng kesakitan lalu membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang meninggalkan Tin Han.
Tentu saja Tin Han merasa heran bukan main. Tiba-tiba terdengar seruan dari belakangnya. "Sian-cai...!”
Dia cepat memutar tubuhnya dan melihat seorang kakek berpakaian kuning berdiri di situ. Kakek ini sudah tua, paling sedikit enam puluh lima tahun usianya dan berjenggot panjang putih, akan tetapi kepalanya botak dan dia memakai sebuah topi kain.
Melihat kakek itu, Tin Han yang cerdik mengerti mengapa harimau itu tadi melarikan diri. Kiranya kakek ini yang telah menolongnya dan menyambitkan batu kepada harimau itu. Dengan sikap hormat dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu, kakek yang baik. Kalau tidak ada kakek yang menolong, tentu sekarang saya sudah berada dalam perut harimau tadi!" katanya sambil memberi hormat.
Kakek itu mengelus jenggotnya yang panjang. "Anak yang baik, engkau tidak takut menghadapi harimau itu?"
"Saya tidak takut dan akan melawan mati-matian, kek."
"Siapakah namamu, anak yang baik?"
"Nama saya Cia Tin Han, kek."
Kakek itu melebarkan kedua matanya yang sipit. "Ah, kiranya engkau ini keturunan keluarga Cia yang berada di Huicu?"
"Benar sekali, kek."
"Engkau tentu pandai bersilat maka begitu berani."
"Tidak, kek. Aku tidak pandai silat, malah aku tidak senang mempelajari ilmu silat."
"Ehhh? Bukankah engkau ini keturunan keluarga Cia? Siapakah ayahmu, anak Cia Hok atau Cia Bhok?"
"Paman Cia Hok dan paman Cia Bhok belum menikah, kek. Saya adalah anak ayah Cia Kun"
"Hemm, bagus. Cia Kun itu putera pertama dari nenek Cia, tentu ilmu silatnya lihai. Kenapa engkau tidak suka belajar silat?"
"Ilmu silat itu kasar dan hanya dipakai untuk berkelahi saja. Aku tidak suka berkelahi."
"Ha-ha, akan tetapi ada kalanya engkau dipaksa untuk berkelahi, sepert ketika engkau bertemu dengan harimau tadi. Kalau engkau pandai silat, tentu engkau akan mampu mengalahkan harimau tadi. Begini saja, engkau mempelajari ilmu silat dari aku, bagaimana? Tidak perlu orang tuamu dan keluarga Cia tahu. Aku mengajarmu dengan diam-diam dan engkau boleh terus menyembunyikan kepandaianmu. Sekali waktu kepandaianmu itu tentu akan ada gunanya."
"Aku tidak suka, kek."
Kakek itu mengerutkan alisnya. "Hemm, engkau anak yang keras hati. Baiklah, kalau begitu aku tidak akan menunjukkan jalan pulang padamu. Hendak kulihat sampai di mana kekerasan hatimu. Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itu sudah lenyap dari depan Tin Han.
Tin Han menjadi bingung. Hari sudah hampir malam dan dia masih belum dapat pulang. Karena mencari jalan pulang di waktu malam gelap lebih tidak mungkin lagi, maka dia lalu memanjat pohon itu dan bertekad melewatkan malam di atas pohon. Dengan demikian tidak akan ada harimau yang mengancamnya! Dia sudah melupakan lagi kakek tadi.
Semalam suntuk Tin Han tidak dapat memejamkan matanya. Dia takut kalau sampai tertidur lalu terjatuh dari atas pohon. Malam itu dinginnya menembus tulang. Dia kedinginan dan kelaparan. Akan tetapi tetap saja dia tidak mengeluh apa lagi menangis.
Pada keesokan paginya, dia turun dari atas pohon dan kembali dia berusaha mencari jalan untuk menuruni puncak. Dan seperti juga kemarin, usahanya tidak pernah berhasil dan dia hanya berputar-putar sekeliling puncak. Perutnya semakin lapar dan tenaganya semakin habis. Akhirnya dia tiba di bawah pohon yang kemarin di mana dia berhadapan dengan kakek itu. Dia benar-benar bingung.
Kedua kakinya seperti patah-patah rasanya dan seluruh tubuhnya lemas. Malam kembali tiba. Sehari tadi dia hanya dapat mengisi perutnya dengan air yang didapatnya dalam perjalanan mencari jalan turun itu. Kini perutnya terasa perih sekali dan sering berkeruyuk. Setelah malam tiba, kembali dia memanjat pohon dan berdiam di atas pohon.
Akan tetapi rasa kantuk menyerangnya. Tak tertahankan rasanya. Matanya terpejam dan diapun jatuh tertidur. Akan tetapi tubuhnya terguling dari atas batang pohon dan tubuh itu tentu telah terbanting ke atas tanah sekiranya dia tidak cepat mencengkeram ke kanan kiri dan berhasil mencengkeram ranting pohon.
Dengan sisa tenaga yang masih ada, dia mengangkat tubuhnya kembali sehingga dapat duduk di atas ba tang pohon. Tin Han sudah lemas sekali. Akan tetapi dia berkeras hati untuk bertahan dan menggosok-gosok kedua matanya sampai pedih sehingga dia tidak sampai tertidur.
Pada keesokan paginya dia sudah tidak dapat turun dari pohon itu. Ketika dicobanya untuk turun, kaki tangannya gemetar dan tidak bertenaga sama sekali sehingga dia hanya mendekap batang pohon itu dan tidak dapat turun.
Tiba-tiba di bawah pohon telah berdiri kakek yang kemarin dulu berada di situ. Kakek itu menengadah dan melihat Tin Han memeluk batang pohon, dia tertawa.
"Bagus! Kekerasan hatimu luar biasa dan daya tahanmu juga luar biasa. Engkau berbakat baik sekali. Cia Tin Han, aku mau menolongmu turun dan memberi makan, akan tetapi berjanjilah dulu bahwa engkau suka menjadi muridku. Engkau akan kuantar pulang dan secara diam-diam aku akan mengajarkan silat kepadamu! Bagaimana? Apakah engkau memilih mati kelaparan di atas pohon itu dari pada menjadi muridku? Apakah engkau sebodoh itu?"
Tin Han berpikir keras. Tentu saja bodoh sekali kalau dia memilih mati. Biarlah dia berjanji menjadi murid kakek itu. Kelak kalau kakek itu melihat dia tidak berbakat, tentu akan berhenti sendiri mengajar. "Baiklah, kakek. Saya mau menjadi muridmu," katanya dengan suara lemah.
Kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya tiba-tiba melayang naik ke atas pohon. Dia memegang lengan Tin Han lalu melayang lagi ke bawah membawa Tin Han yang akhirnya dapat selamat tiba di atas tanah. Karena kedua kakinya lemas, Tin Han jatuh berluttit dan diapun memenuhi janjinya, menyebut, "Suhu...!" dan memberi hormat.
"Ha-ha-ha, ketahuilah, Tin Han. Aku ini bukan orang lain karena aku adalah suheng dari nenekmu. Nenek Cia adalah adik seperguruanku, akan tetapi sudah lama aku menghilang dari dunia ramai sehingga nenekmu sendiri tentu mengira bahwa aku sudah mati. Dahulu sekali, orang menyebutku dengan kata-kata pujian, akan tetapi aku sudah melupakan itu dan sekarang, karena aku memang tidak mempunyai nama, bagimu aku adalah Bu Beng Lo-jin (Orang Tua Tak Bernama). Mulai saat ini engkau menjadi muridku. Aku akan menentukan di mana engkau akan belajar dariku. Sekarang, lebih dulu makan dan minumlah!"
Dari balik jubahnya kakek itu mengeluarkan sepotong besar roti kering dan daging kering, juga sebuah guci yang isinya air jernih. Tanpa disuruh dua kali Tin Han lalu makan roti dan daging kering. Dia minum air dari guci itu dan perutnya terasa kenyang, tenaganya pulih kembali.
"Sekarang mari ikuti aku pulang. Kalau ditanya keluargamu katakan saja bahwa engkau tersesat selama dua hari dua malam. Kemudian kau boleh pulang bersama keluargamu. Akan tetapi setiap malam engkau harus pergi keluar dari kota Hui-cu, di luar pintu gerbang utara dan aku akan menantimu di sana."
Mereka lalu menuruni puncak. Karena kalek itu mengenal jalan, maka sebentar saja mereka sudah tiba di lereng bukit Lo-sian. Tiba-tiba mereka mendengar suara memanggil-manggil namanya.
"Tin Han... Tin Han...!"
Tin Han mengenal suara ayahnya. Bu Beng Lo-jin lalu berkata, "Nah, engkau. temuilah mereka. Aku akan pergi dulu. Ingat, malam nanti di luar pintu gerbang utara." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itu sudah menghilang.
"Tin Han...!" Suara itu kembali terdengar.
"Ayah, aku berada di sini!" Tin Han berseru sambil berlari menghampiri ke arah suara. Tak lama kemudian dia melihat ayahnya, kedua orang pamannya dan juga neneknya berlari-lari menghampirinya.
"Tin Han....!" Cia Kun membungkuk lalu memondongnya. "Engkau membikin kami gelisah setengah mati! Ke mana saja engkau pergi?" tanya ayah yang merasa girang bukan main melihat anaknya yang kedua ini dalam keadaan selamat.
"Aku bermain-main di puncak, lalu tersesat dan tidak dapat turun sampai dua hari dua malam," kata Tin Han.
Nenek Cia menghampiri Tin Han dan memegang lengannya untuk merasakan denyut nadinya. Nenek itu mengerutkan alisnya dan memandang heran. "Akan tetapi engkau tidak kelaparan! Apa saja yang kau makan?" tanyanya sambil memandang dengan tajam penuh elidik.
Tin Han maklum akan kelihaian nenek yang tentu tidak dapat dibohongi bahwa dia tidak makan apa-apa, maka diapun lalu berkata, "Aku kelaparan dan aku memetik daun-daun muda untuk kumakan, nek. Dan minum air jernih. Untung tadi aku menemukan jalah turun."
Nenek Cia percaya dan dengan gembira keluarga itu membawa Tin Han pulang. Demikianlah, mulai malam itu, Tin Han diam-diam meninggalkan rumahnya, lalu pergi keluar pintu gerbang utara, di mama Bu Beng Lo-jin sudah menunggu dan dia dibawa ke sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi di luar hutan dan' mulai mengajarkan ilmu silat kepadanya.
Sungguh aneh. Setelah diberi petunjuk oleh kakek itu, timbul keinginan Tin Han untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Pengalamannya tersesat di puncak itu agaknya telah menyadarkannya bahwa ilmu silat amat berguna untuk membela diri dari bahaya.
Untuk menghilangkan kecurigaan keluarganya, terutama nenek Cia, mulai hari itu Tin Han mau juga dilatih ilmu silat oleh ayahnya. Dia mulai mengenal ilmu silat keluarga Cia, akan tetapi dibandingkan dengan kakaknya, Cia Tin Siong, dia ketinggalan jauh dalam ilmu silat keluarga mereka itu. Semua ilmu yang dipelajarinya dari Bu Berg Lo-jin dirahasiakan dan tidak pernah diperlihatkan kepada siapapun juga.
Setelah mempelajari ilmu silat selama sepuluh tahun, dalam usia duapuluh tahun, Tin Han ditinggalkan Bu Beng Lojin. "Engkau sudah maju pesat sungguhpun belum mencapai kesempurnaan dalam ilmu silatmu. Dengan ilmu silatmu sekarang, agaknya sudah sukar dicari orang yang dapat mengalahkanmu. Sudah tiba waktunya kita berpisah, Tin Han. Ingat, Jangan sekali-kali menceritakan tentang diriku kepada siapapun juga."
Bu Beng Lo-jin meninggalkan Tin Han. Pemuda ini dalam pandangan keluarganya tetap sebagai seorang pemuda yang lebih pandai ilmu sastra ketimbang imu silat. Mereka menganggap bahwa ilmu silat yang dikuasai Tin Han tidak terlalu tinggi, tidak seperti yang dikuasai Cia Tin Siong. Dan selalu Tin Han juga bersikap seperti seorang pemuda yang lemah lembut.
Akan tetapi pemuda ini mewaris watak patriot dari keluarganya. Ia pun membenci pemerintah penjajah Manchu. Dia tidak dapat tinggal diam saja melihat betapa penjajah Mancu menguasai tanah airnya. Berbeda dengan keluarganya yang menentang penjajah secara terang-terangan, Tin Han menentang secara diam-diam.
Bahkan setiap kali dia melakukan sesuatu untuk menentang para penjajah, dia selalu mengenakan pakaian hitam dan juga topeng hitam sehingga dia hanya dikenal sebagai Si Kedok Hitam.
Hanya ada perbedaan antara sikap Tin Han dan sikap keluarga Cia. Keluarga. Cia membenci semua orang yang memegang kedudukan sebagai pembesar Mancu dan memusuhi mereka. Bahkan keluarga Cia tidak segan-segan untuk bersekutu dengan orang-orang golongan hitam untuk memberontak.
Akan tetapi Tin Han tidak demikian. Dia seorang patriot sejati yang tidak sudi bersekutu dengan perjahat, bahkan dia bersikap sebagai seorang pendekar yang menentang kejahatan walaupun hal ini dilakukan dengan diam-diam pula.
Setelah ditinggalkan gurunya, banyak yang sudah dikerjakan Tin Han secara diam-diam. Bahkan ketika dia mendengar betapa Beng-cu, yaitu pemimpin dunia kangouw, direstui oleh pemerintah Mancu, dia menjadi penasaran dan menganggap Beng-cu itu sebagai antek Mancu. Diam-diam dia lalu mendatangi Beng-cu Souw Tek Bun di Hong-san dan menantangnya.
Dalam pertandingan yang seru, dia terluka sedikit lengannya oleh pedang yang lihai dan Souw Tek Bun, akan tetapi sebaliknya, dia berhasil memberi pukulan yang dahsyat kepada Beng-cu itu sehingga Souw Tek Bun menderita luka lalam yang cukup parah.
Perbuatan inilah yang membuat Souw Lee Cin mendendam kepada Si Kedok Hitam! Ia mendengar dari ayahnya bahwa penyerangnya adalah seorang pemuda berkedok hitam dan Lee Cin berangkat pergi untuk mencari Si Kedok Hitam untuk membalas dendam.
Dalam kisah Dewi Ular sudah diceritakan dengan jelas tentang pertemuan Lee Cin dengan Si Kedok Hitam. Akan tetapi berulang kali Si Kedok Hitam menyelamatkan Lee Cin sehingga membuat gadis ini menjadi bingung. Di satu pihak dia mendendam kepada Si Kedok Hitam, yang sudah melukai ayahnya akan tetapi di lain pihak berulang kali dia diselamatkan oleh Si Kedok Hitam.
Paling akhir, kembali Lee Cin yang dikeroyok keluarga Cia diselamatka oleh Si Kedok Hitam. Gadis ini lari bersembunyi dan mengintai bagaimana Si Kedok Hitam dikeroyok oleh keluargga Cia. Ia melihat pula ketika Nenek Cia menggunakan tongkatnya untuk merenggut lepas topeng hitam sehingga ia melihat bahwa Si Kedok Hitam itu bukan lain adalah Cia Tin Han!
Akan tetapi ketika itu, Nenek Cia yang marah sekali melihat bahwa orang yang selama ini menentangnya adalah cucunya sendiri, mengiri tendangan yang membuat Tin Han terlempar dan jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam! Akan tetapi ketika gadis itu mencari jenazah pemuda yang terjatu dari tempat yang demikian tinggi, ia tidak dapat menemukan jenazah itu! Tin Han telah lenyap seperti ditelan bumi.
Apakah yang telah terjadi dengan Tin Han? Benarkah dia mati ketika terjatuh ke dalam jurang yang demikian dalamnya? Tuhan Yang Maha Kuasa agaknya belum menghendaki kematian pemuda ini!
Ketika dirinya tertendang dan terlempar jatuh ke dalam jurang, Tin Han masih sadar. Dia merasakan tubuhnya melayang, makin lama semakin cepat dan dia tidak dapat berdaya. Kepalanya menjadi pening dan matanya menjadi gelap. Dia tidak dapat berdaya untuk menolong diri sendiri, maka diapun sudah pasrah saja, memejamkan matanya dan menghadapi kematian.
Namun tiba-tiba sekali sesosok bayangan hitam menyambar dari atas dan Tin Han merasa tubuhnya tertahan dari kejatuhannya. Punggung bajunya terkait sesuatu, akan tetapi tubuhnya tidak berhenti melainkan melayang terus ke depan, tidak jatuh ke bawah! Diapun mendengar kelepak sayap burung.
Ketika dia berdongak dan memandang ke atas, matanya terbelalak dan dia terkejut setengah mati karena mendapatkan dirinya dicengkeram oleh seekor burung rajawali hitam yang sangat besar! Cengkeraman kaki burung itulah yang mengait punggung bajunya dan kini burung itu membawanya terbang ke arah depan, dengan kecepatan yang membuat dia pening!
Tin Han menggoyang kepalanya untuk mengusir kepeningannya dan mulai berpikir. Apa yang harus dilakukannya? Kalau dia meronta dan memegang kaki burung lalu menghantamnya, tentu dia akan celaka. Kalau burung itu melepaskan cengkeram kakinya, tentu dia akan terjatuh ke bawah! Akan tetapi kalau membiarkan dirinya, dia hendak dibawa ke manakah? Mungkin ke sarang burung itu, di mana dia, akan dimangsa bersama anak-anaknya.
Akan tetapi kemungkinan kedua ini lebih baik. Kalau dia sudah dilepaskan oleh burung itu, dimana saja, baru dia akan melawan burung itu dan mengusirnya. Maka, diapun diam saja dan diam-diam mengumpulkan hawa murni untuk menghimpun kekuatan agar nanti dapat dipergunakan untuk melawan burung rajawali hitam yang amat besar ini.
Dari atas dia melihat bahwa rajawali hitam itu membawanya terbang ke arah sebuah bukit, bukan lagi bukit Lo-sian, melainkan sebuah bukit yang berdekatan dengan Lo-sian-san. Dia teringat bahwa bukit itu disebut Bukit Hitam karena dari jauh hutan-hutannya yang lebat membuat bukit itu tampak menghitam.
Hutan-hutannya amat besar dan liar, dan kabarnya tidak pernah ada orang berani memasuki hutan itu. Dan kini rajawali hitam itu membawanya ke bukit yang menakutkan itu!
Setelah tiba di atas bukit itu, rajawali mulai turun lalu terbang berputaran di atas puncak bukit. Tak lama lagi aku tentu akan diturunkan di sarangnya, pikir Tin Han dan dia sudah bersiap-siap untuk menyerang begitu diturunkan.
Kini rajawali hitam itu terbang berputaran di atas sebuah pondok yang terdapat di puncak itu! Sebuah pondok! Tempat tinggal manusia, bukan sarang burung. Beberapa kali burung itu mengeluarkan teriakan yang melengking, memekakkan telinga Tin Han.
Dia melihat dua orang keluar dari pintu pondok itu dan mereka berdongak ke atas, lalu menuding-nuding ke arah burung. Seorang di antara mereka lalu berseru dengan suara nyaring, "Hek-tiauw-ko (Rajawali Hitam), turunkan pemuda itu di sini perlahan-lahan!"
Burung itu seperti mengerti ucapan orang itu, lalu menyambar turun dan setelah dekat dengan tanah, dia melepaskan cengkeramannya. Tin Han melompat turun dan dapat hinggap di atas tanah dengan selamat. Burung itupun turun tak jauh dari situ, lalu membersihkan bulu-bulunya dengan paruhnya.
Tin Han merasa kecelik. Burung itu tidak hendak menjadikan dia sebagai mangsanya, melainkan menyerahkan kepada majikannya. Dia cepat memutar tubuh menghadapi kedua orang itu dan dia terbelalak, lalu cepat menjatuhkan dirinya berlutut.
"Suhu...!" Dia berseru girang sekali. Kiranya seorang di antara kedua orang itu adalah Bu Beng Lo-jin, gurunya ang sudah hampir dua tahun meninggalkannya.
"Tin Han, tidak kami sangka engkau orangnya yang dibawa Hek-tiauw-ko ke sini. Bagaimana asal mulanya engkau dapat dibawa burung itu ke sini?"
"Suhu, kalau tidak ada burung rajawali itu yang menolong teecu, sekarang teecu tentu sudah mati. Teecu terjatuh dari tebing gunung yang amat curam, lalu disambar oleh burung rajawali ini."
"Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali. Memang burung itu dilatih untuk itu. Dan engkau harus menghaturkan terima kasihmu kepada sahabatku ini. Karena Thay Kek Cinjin inilah yang menjadi majikan Hek-tiauw-ko!" Bu Beng Lojin menunjuk kepada seorang kakek lain yang sejak tadi berdiri di sebelahnya.
Tin Han memandang kakek itu dan terkejut melihat sinar mata kakek itu yang ketika memandangnya dia merasa seperti ada kilat menyambar. Begitu penuh wibawa sinar mata itu. Tin Han lalu berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Teecu Cia Tin Han menghaturkan terima kasih kepada lo-cianpwe."
Kakek itupun berjenggot panjang dan dia mengelus jenggotnya sambil berseru, "Sungguh kalau sudah jodoh tak dapat dihalangi lagi. Hek-tiauw-ko sudah menyelamatkanmu, itu berarti sudah jodoh. Dan pinto (saya) tidak dapat menentang takdir. Bu Beng Lo-jin, kebetulan sekali yang berjodoh itu muridmu sendiri sehingga pinto tidak akan meragukan lagi wataknya!"
"Ha-ha-ha! Tin Han, mengertikah engkau? Cepat haturkan terima kasih karena baru saja They Kek Cin-jin ini menerima engkau menjadi muridnya! Peruntunganmu sungguh baik sekali. Terlepas dari cengkeraman maut bahkan bertemu dengan seorang manusia dewa yang sukar dicari keduanya di dunia ini, ha-ha ha!"
Tin Han terkejut dan girang sekali. Kiranya kakek tadi bicara soal jodoh antara guru dan murid. Tentu saja dia girang dan cepat dia memberi hormat sambil berlutut, lalu menyebut, "Suhu, teecu siap melaksanakan semua petunjuk suhu."
Kakek yang disebut sebagai Thay Kek Cin-jin itu mengangguk-angguk dan berkata, "Tin Han, jangan lupa mengucapkan terima kasih kepada Hek-tiauw-ko atau dia akan menganggap engkau seorang manusia yang tidak mengenal budi."
Tin Han lalu bangkit berdiri dan menghampiri burung itu. Burung itu besar sekali, tingginya lebih dari Tin Han. Tin Han lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada burung itu dan berkata, "Hek-tiauw-ko, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu yang sudah menyelamatkan nyawaku."
Burung itu mengangkat muka ke atas dan mengeluarkan bunyi nyaring tiga kali, kemudian mengebut-ngebutkan sayapnya dan terbang melayang berputaran di atas pondok itu.
Dua orang kakek itu tertawa dan Thay Kek Cin-jin berkata, "Hek-tiauw-ko tidak mengenal terima kasih dan sikap Tin Han hanya membuat dia malu."
Diam-diam Tin Han kagum bukan main kepada burung itu. Bu Beng Lo-jin lalu menghampirinya dan berkata, "Nah, Tin Han. Engkau berdiamlah di sini dan jadilah murid yang baik dari Thay Kek Cin-jin."
"Ha-ha-ha, Bu Beng Lo-jin. Pinto tidak dapat lama-lama berdiam di sini. Paling lama pinto hanya dapat mengajarkan ilmu selama tiga bulan saja kepada Tin Han," kata Thay Kek Cin-jin.
Bu Beng Lo-jin lalu berkata lagi kepada Tin Han. "Tin Han, kalau dia mau mengajarmu selama tiga bulan, itu sama saja dengan kalau engkau belajar selama sepuluh tahun dariku. Cepat haturkan terima kasih!"
Tin Han terkejut dan girang, lalu menghaturkan terima kasih kepada gurunya yang baru.
"Thay Kek Cin-jin, sekarang terpaksa aku harus meninggalkan tempat ini. Sudah tiga hari tiga malam aku tinggal sini, sudah cukup lama. Selamat berpisah kawan, dan engkau rajin-rajinlah mempelajari ilmu di sini, Tin Han!"
"Sian-cai..... engkau selalu melakukan perjalanan. Kapankah perjalananmu itu akan berhenti, sobat?" kata Thay Kek Cin-jin.
"Bukankah hidup ini suatu perjalanan? Aku menurutkan hati dan kakiku, Cin-jin dan selama ini hati dan kakiku tak pernah mengecewakan aku. Nah, selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, Bu Beng Lo-jin berkelebat dan lenyap dari situ.
"Nah, Tin Han. Pinto hanya dapat memberi bimbingan kepadamu selama tiga bulan saja. Karena itu pinto harus melihat dulu sampai di mana tingkat kepandaianmu. Hek-tiauw-ko yang akan menjadi teman berlatih untukmu."
Kakek itu lalu mengeluarkan suara melengking pendek dan burung rajawali hitam itu lalu menyambar turun dan hinggap di atas tanah depan Thay Kek Cin-jin. "Hek-tiauw-ko, engkau harus melayani Tin Han ini berlatih setiap kali dikehendakinya. Sekarang, ujilah kepandaiannya, akan tetapi jangan melukainya!"
Burung itu seperti mengerti ucapan orang dan dia lalu berloncatan menghadapi Tin Han, lain mengeluarkan suara pendek tiga kali seperti menantang bertanding!
"Bersiaplah, Tin Han. Jangan pandang ringan Hek-tiauw-ko atau engkau akan dirobohkan dalam beberapa gebrakan saja! Mulailah, engkau boleh menyerangnya lebih dulu!"
Tin Han menaati perintah ini. Dia lain menerjang ke depan untuk menghantam ke arah dada burung rajawali itu.
"Wuuuutt..... plakk!"
Tin Han terkejut sekali ketika sayap burung itu menangkis pukulannya dan hampir saja dia terpelanting. Demikian kuatnya sayap itu. Hal ini membuatnya lebih berhati-hati dan dia lalu menerjang lagi, menampar ke arah kepala burung sambil melompat ke atas. Akan tetapi kembali sayap burung menangkis dan Tin Han menarik kembali tamparannya lalu kakinya menendang ke arah perut burung.
Hek-tiauw-ko kembali dapat mengelak dan mereka lalu bertanding dengan serunya. Tin Han membatasi pukulannya karena dia tidak mau melukai burung yang telah menyelamatkan nyawanya. Burung itupun menyerang dengan patukan paruhnya dan sabetan sayapnya.
Akan tetapi Tin Han yang maklum akan besarnya tenaga burung itu, mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi sampai limapuluh jurus, belum juga dia dapat mengalahkan Hek-tiauw-ko, bahkan ketika burung itu membuka kedua sayapnya dan menyerang dengan kedua sayap bergantian, dia menjadi terdesak dan terhuyung.
"Cukup!" kata Thay Kek Cin-jin dan burung itupun menghentikan gerakannya dan melompat ke belakang. Juga Tin Han menghentikan gerakannya, lalu menghadap gurunya.
"Bagus, ternyata tidak sia-sia Bu Beng Lo-jin memimpinmu selama sepuluh tahun, Tin Han. Ilmu kepandaianmu sudah cukup bagus dan kalau engkau tidak membatasi tenagamu, belum tentu Hek-tiauw-ko akan mampu mempertahankan diri terhadap serangamu.
"Dalam waktu tiga bulan ini, pinto akan mengajarkan cara menghimpun sin-kang untuk memperkuat sin-kang dalam tubuhmu dan semacam ilmu silat tangan kosong yang pinto ambil dari gerakan-gerakan Hek-tiauw-ko. Ilmu silat ini boleh kau namakan Hek-tiauw-kun (Silat Rajawali Hati Kosong).
"Disebut demikian karena untuk dapat menghimpunnya, engkau harus dapat mengosongkan semua hati akal pikiranmu, dan kalau engkau sudah dapat melatih sampai ke puncaknya, kiranya akan sukar ada orang dapat menandingi sin-kang mu itu. Nah, kini perhatikan Hektiauwkun yang harus kaupelajari baik-baik."
Kakek itu lalu bersilat dan banyak gerakannya mirip dengan gerakan burung rajawali, kedua lengan menjadi seperti sayap dan kedua kaki menjadi cakar. Bahkan kepala dapat dipergunakan untuk menyerang seperti seekor burung rajawali menyerang dengan paruhnya.
Mulai hari itu, Tin Han belajar ilmu silat dengan tekun sekali. Selain mempelajari ilmu silat, diapun melayani suhunya dengan baik. Mencarikan sayur-sayuran yang disukai gurunya, memasakkan masakan dan mencarikan air minum. Semua dilakukan dengan tekun dan penuh perhatian sehingga hati Thay Kek Cin-jin menjadi semakin suka kepada pemuda itu.
Baru sebulan belajar, Hek-tiauw-ko sudah tidak mampu melawannya. Dalam belasan jurus saja dia sudah mampu merobohkan burung itu sehingga terpelanting dan akhirnya burung itu tidak mau lagi diajak berlatih!
Waktu berlalu dengan amat cepatnya dan tahu-tahu tiga bulan telah lewat! Akan tetapi, Tin Han sudah mampu menguasai dua ilmu itu dalam waktu tiga bulan! Hal ini bukan karena ilmunya yang mudah dipelajari, akan tetapi karena dia telah memiliki dasar yang kuat yang diberikan oleh Bu Beng Lo-jin dan terutama sekali karena ketekunannya. Setiap hari dia berlatih sampai jauh malam!
Setelah lewat tiga bulan, pada suatu hari Thay Kek Cinjin memanggilnya. Tin Han yang telah tahu bahwa waktunya tiba, segera menghadap kakek itu dan dia berlutut di depan kakinya.
"Tin Han, engkau tentu telah mengetahui bahwa waktu tiga bulan yang kuberikan kepadamu telah tiba. Hari ini engkau harus berpisah dari pin-to. Pinto sendiri akan pergi meninggalkan tempat ini dan entah kapan akan kembali.
"Pesan pin-to yang terakhir, jangan meniru perbuatan keluarga Cia yang demi perjuangan tidak segan untuk bersekutu dengan orang jahat dan orang Jepang seperti yang telah kau ceritakan kepada pinto. Pendapatmu sudah benar.
"Perjuangan mengusir penjajah Mancu baru akan dapat terlaksana kalau semua orang gagah semua penjuru bersatu menghimpun tenaga rakyat, karena hanya rakyat dengan pimpinan pendekar patriot sejati saja yang akan mampu mengusir penjajah Mancu yang saat ini sangat kuat.
"Sebelum mendapat kesempatan ke arah itu, engkau bertindaklah sebagai seorang pendekar yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan, menolong yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang.
"Ingat, banyak pejabat Mancu yang terdiri dari orang-orang Han yang gagah perkasa dan mereka itu sedikit banyak mengurangi penindasan yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat. Kebiasaan yang dahulu dengan menyembunyikan diri di balik kedok adalah suatu hal yang baik dan menguntungkan.
"Membantu dan menolong orang tidak perlu menonjolkan diri dan tidak perlu dikenal, selain itu engkau tidak mudah dicari oleh orang-orang Mancu yang mungkin akan mengejar ngejarmu sebagai seorang penjahat yang menentang pemerintah. Mengertikah engkau, Tin Han?"
"Teecu mengerti, suhu. Ada satu hal yang. Teecu mengharapkan akan mendapat persetujuan suhu."
"Hemm, katakanlah. Apa itu?"
"Kalau teecu menyembunyikan diri di balik kedok, teecu harus menyembunyikan juga nama aseli teecu. Karena itu, kalau suhu menyetujui, teecu akan memakai nama Hek-tiauw-ko sebagai nama samaran karena biasanya teecu memang suka mempergunakan pakaian serba hitam."
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Pin-to setuju! Engkau boleh memakai nama Hek-tiauw Eng-hiong (Pendekar Rajawali Hitam), akan tetapi ingat, jangan mencemarkan nama baik Hek-tiauw-ko yang pernah menyelamatkan nyawamu."
"Teecu akan menaati semua pesan suhu."
"Nah, sekarang pin-to akan pergi!" Kakek itu lalu mengeluarkan pekik melengking pendek dan tak lama kemudian Hek-tiauw-ko terbang menyambar ke bawah.
Tin Han cepat menghampiri burung itu dan merangkul lehernya. "Hek-tiauw-ko, kita akan berpisah. Yang baik-baik menjaga suhu dan dirimu sendiri." Hati Tin Han terharu juga karena burung raksasa itu telah menjadi sahabat baiknya, bahkan menjadi teman berlatihnya.
Thay Kek Cin-jin lalu melompat dan dengan ringan tubuhnya melayang naik ke atas punggung burung itu. "Hek tiauw-ko mari kita pergi!" katanya dan sekali kakinya menendang, burung itu mengembangkan sayapnya dan terbang ke atas dengan cepatnya.
Tin Han mengikuti dengan pandang mata kagum. Dia sendiri selama beberapa bulan di situ, sudah pernah beberapa kali menunggang Hek-tiauw-ko dan dibawa terbang sampai ke awan di langit. Setelah berputar beberapa kali, burung itu mengeluarkan pekik nyaring beberapa kali seolah memberi salam kepada Tin Han, lalu dia melayang jauh.
Tin Han memandang sampai titik hitam itu lenyap dari pandang matanya. Kemudian diapun meninggalkan tempat itu sambil menikmati pemandangan alam yang tampak dari puncak itu. Jalan menuruni bukit penuh dengan hutan belukar, akan tetapi dengan hati ringan dia memasuki hutan. Halangan jurang kalau tidak terlalu lebar dia lompati dengan mudah. Setelah dia melatih diri dengan Khong-sim Sin-kang, tubuhnya terasa ringan dan lompatannya juga amat jauh.
Dia merasa berkewajiban untuk mencari keluarganya, setidaknya mencari ayah ibunya. Betapapun marahnya ayah ibunya, dia yakin kalau melihat dia yakin kalau melihat dia selamat mereka tentu akan merasa senang sekali. Kalau neneknya masih marah kepadanya, dia akan minta ampun kepada neneknya yang amat galak itu. Dia lalu menggunakan ilmu berlari cepat menuruni lereng bukit itu.
Pegunungan Hong-san tampak indah berseri karena musim bunga telah tiba. Di mana-mana pada permukaan pegunungan itu tampak kehijauan dihias warna-warni bunga beraneka ragam. Indah sekali di pegunungan kalau musim semi atau musim bunga tiba.
Dan suasana yang indah itu menjadi meriah dan indah sekali dengan beterbangannya ratusan ekor kupu-kupu yang juga berwarna-warni. Burung-burung berkicau di pohon-pohon dengan suara riang gembira.
Souw Lee Cin ikut merasakan suasana yang cerah dan riang gembira itu. Hatinya juga gembira karena ia akan bertemu dengan ayahnya. Telah lama ia meninggalkan ayahnya dan merasa rindu. Juga dengan penuh harapan ia mendaki bukit Hong-san itu, harapan untuk melihat ibunya berada di puncak menemani ayahnya!
Setelah tiba di pondok yang berada di puncak gunung Hong-san, harapan Lee Cin terpenuhi. Dengan girang sekali ia melihat ayahnya keluar dari pondok menyambutnya, dengan Ang-tok Mo-li Bu Siang di sisinya!
Dan ibunya juga tampak cantik dan bersih, sinar matanya cemerlang dan tidak ada lagi sinar kejam yang dahulu tampak dari pandang mata ibunya. Dari pandang mata dan senyum di bibir ibunya, ia dapat mengetahui bahwa ibunya merasa berbahagia!
"Ayah.... Ibu....!" Lee Cin berlari menghampiri dan di lain saat ia telah berangkulan dengan ibunya. Dan Lee Cin tidak dapat menahan lagi air matanya! Air mata bahagia dan sekaligus air mata kedukaan! Melihat ibunya kini berbahagia dengan ayahnya tentu saja ia merasa senang, akan tetapi juga mengingatkan ia kepada Cia Tin Han yang membuatnya terharu dan bersedih.
"Eh? Kenapa engkau menangis, anakku?" Bu Siang bertanya heran sekali. Sepanjang pengetahuannya, ketika Lee Cin masih hidup bersamanya, gadis itu berhati keras dan pantang menangis. Kini, pertemuan begitu saja membuatnya menangis! Hal ini jelas menunjukkan bahwa perangai anaknya itu telah menjadi halus.
"Aku menangis karena bahagia melihat engkau telah berada di samping ayah, ibu!" Kemudian iapun melepaskan rangkulannya dan memberi hormat kepada, ayahnya.
"Mari, mari kita masuk dan bicara di dalam, Lee Cin."
"Nah, sekarang ceritakan tentang hal yang paling penting. Tentang ibumu tidak usah kau ceritakan karena aku telah mendengar semuanya dari ibumu."
"Lalu apa yang harus kuceritakan lebih dulu, ayah?"
"Tentang urusanku hendak mengundurkan diri dari jabatan Beng-cu. Apakah engkau sudah menyampaikan kepada Hui Sian Hwe-sio atau Im Yang Sengcu tentang keputusanku itu?"
"Aku sudah menghadap Hui Sian Hwe-sio dan suhu In Kong Thai-su dan menyampaikan keinginan ayah kepada mereka. Dua orang tua itu lalu mengatakan bahwa pengunduran diri ayah itu sebaiknya disampaikan dalam rapat pertemuan yang akan diadakan di sini dalam bulan ini juga. Dalam rapat itupun akan dibicarakan tentang orang-orang kang-ouw yang terbujuk oleh para bajak laut Jepang untuk melakukan pemberontakan. Karena itu, kita harus bersiap menerima banyak orang kang-ouw yang akan berdatangan ke sini atas undangan Hui Sian Hwe- sio dan suhu In Kong Thai-su."
Souw Tek Bun mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya begitu. Akan lebih sah lagi kalau pengunduran diriku diputuskan dalam rapat pertemuan itu. Sekarang ceritakan bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang Si Kedok Hitam."
Wajah Lee Cin berubah muram mendengar pertanyaan ini karena ia segera teringat akan Cia Tin Han yang terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam itu. Bu Siang adalah seorang wanita yang berpengalaman. Melihat perubahan pada wajah anaknya, ia lalu bertanya,
"Eh, apa yang telah terjadi, Lee Cin? Pertanyaan ayahmu tentang Si Kedok Hitam agaknya mendatangkan duka di hatimu...?"
Lee Cin terkejut. Ia tidak mengira bahwa ibunya telah dapat membaca isi hatinya. Maka iapun mengambil keputusan untuk berterus terang. "Ayah, aku sudah temukan Si Kedok Hitam. Akan tetapi ternyata dia bukan seorang jahat. Bahkan tiga empat kali dia menyelamatkan nyawaku dari ancaman bahaya yang mengancam diriku. Aku sudah bertanya kepadanya tentang penyerangannya kepada ayah dan dia menjawab sejujurnya bahwa memang benar dia yang melakukannya.
"Akan tetapi dia katakan bahwa hal itu dilakukan hanya untuk memperingatkan ayah. Dia menganggap bahwa ayah adalah seorang beng-cu dukungan pemerintah Mancu. Dia seorang patriot sejati, ayah, maka dia tidak senang kalau ada orang Han membantu pemerintah penjajah Mancu. Diapun bilang bahwa dia juga terluka lengannya oleh pedang ayah.
"Bagaimana aku dapat mendendam kepadanya, ayah? Dia menyerang ayah dengan alasan kuat dan sebaliknya dia telah berulang kali menyelamatkan nyawaku. Pantaskah kalau aku memaksanya mengadu ilmu dan nyawa?"
Souw Tek Bun menghela napas. "Sudah kuduga demikian. Dia memang tidak bermaksud membunuhku karena kalau hal itu dilakukan, tentu sekarang aku sudah tidak berada di dunia ini. Dan alasannya memang kuat. Sebetulnya itulah sebabnya mengapa aku hendak mengundurkan diri. Pengangkatanku sebagai beng-cu disaksikan dan direstui oleh orang-orang pemerintah Mancu.
"Hal ini membuat aku merasa tidak enak, seolah-olah aku diangkat oleh pemerintah Mancu. Padahal, di sudut hatiku sendiri aku tidak suka kepada pemerintah Mancu yang menjajah tanah air kita. Sudahlah, Lee Cin, urusanku dengan Si Kedok Hitam sudah kuanggap selesai dan tidak perlu lagi kita mencarinya, tidak perlu kami saling mendendam. Mungkin dia yang berada di pihak yang benar."
Mendengar ini, wajah Lee Cin semakin muram. Apa artinya menghabiskan permusuhan itu kalau Si Kedok Hitam telah tewas?
"Kenapa engkau masih merasa berduka, Lee Cin?" tanya ibunya.
"Aku teringat kepada Si Kedok Hitam, ibu. Sudah kukatakan tadi betapa sudah beberapa kali dia menyelamatkan diriku dari ancaman bahaya. Dan yang terakhir kalinya, ketika dia menolong dan membelaku, dia terkena tendangan yang membuat dia terlempar dan jatuh ke dalam jurang yang teramat dalam. Aku... aku sudah mencari jenazahnya, akan tetapi tidak berhasil. Ia mati dalam keadaan mengerikan, bahkan jenazahnya tidak dapat kutemukan."
Lee Cin tidak dapat menahan kesedihannya dan cepat menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut beberapa titik air mata yang membasahi pipinya.
Bu Siang dan Souw Tek Bun saling pandang. Mereka sudah cukup tua untuk dapat menduga apa yang bergolak dalam Kati puteri mereka.
"Lee Cin, kau..... kau cinta padanya?" tanya Bu Siang.
Lee Cin memandang kepada ibunya, tidak dapat menjawab dan tiba-tiba ia menubruk dan merangkul ibunya sambil menangis! Ulahnya ini sudah merupakan jawaban yang jelas sekali bagi suami isteri itu. Mereka juga ikut berduka bahwa puteri mereka jatuh cinta kepada seorang yang telah mati!
"Lee Cin, tenangkan hatimu," kata Souw Tek Bun dengan suara menghibur. "Kau katakan sendiri bahwa engkau tidak berhasil menemukan jenazahnya! Hal itu berarti bahwa sangat boleh jadi dia belum mati."
Lee Cin melepaskan rangkulan pada ibunya, menyusut air matanya dan memandang kepada ayahnya dengan mata basah. "Bagaimana mungkin itu, ayah? Tinggi tebing dari mana dia terjatuh itu ribuan kaki. Ketika dari atas tebing aku menjenguk ke bawah, dasarnya tidak nampak, yang tampak hanya kabut. Tidak mungkin seseorang yang terjatuh ke dalam jurang yang demikian dalamnya masih dapat selamat."
"Akan tetapi buktinya, ketika engkau menuruni tebing itu, engkau tidak dapat menemukan jenazahnya, bukan? Tidak mungkin jenazah hilang begitu saja. Banyak peristiwa aneh terjadi di dunia anakku. Siapa tahu Si Kedok Hitam itu dapat tertolong ketika dia melayang jatuh dari atas tebing itu."
Mendengar ucapan ayahnya, wajah yang muram itu mendapatkan sinar kembali. Sinar harapan yang memenuhi hatinya dan terpancar keluar dari pandang matanya.
"Lee Cin," kata ibunya. "Engkau hanya menyebut dia Si Kedok Hitam. Sebetulnya siapakah dia? Siapa namanya?"
"Namanya Cia Tin Han, ibu."
"Di mana dia tinggal?"
"Tadinya keluarganya tinggal di Hui-cu."
"Ahhh! Apakah dia mempunyai hubungan dengan keluarga Cia, keluarga pendekar yang tinggal di Hui-cu itu?"
"Benar, ibu. Dia putera kedua."
"Lalu siapa yang menendangnya sampai dia terjatuh ke dalam jurang itu...?"