Rajawali Hitam Jilid 06

Cerita silat Mandarin serial Gelang Kemala seri ketiga, Rajawali Hitam Jilid 06 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Rajawali Hitam Jilid 06

"Lihat seranganku!" gadis itu membentak dan sudah membuka serangan dengan cepat dan kuat.

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Namun, gerakan gadis ini bagi Yauw Seng Kun tampak lemah dan lamban sehingga dengan mudah saja dia mengelak. Dia sengaja membiarkan gadis itu menyerangnya sampai sepuluh jurus dan semua serangan itu dapat dielakkannya. Yauw Seng Kun merasa kecewa sekali.

Tadi dia sengaja memancing dan menantang untuk membuktikan sendiri siapa sebetulnya gadis yang disangkanya Souw Lee Cin itu. Dari seranganserangan gadis itu ia dapat menilai ilmu kepandaiannya dan setelah gadis itu menyerang selama sepuluh jurus dia yakin bahwa gadis ini bukan Souw Lee Cin seperti disangkanya.

Kalau gadis itu Lee Cin, tentu serangan-serangannya jauh lebih hebat dari pada ini. Akan tetapi selain dia tadinya mengira bahwa gadis ini Souw Lee Cin, dia juga tertarik akan kecantikan gadis ini dan kini setelah dia tahu bahwa gadis ini bukan musuh besarnya, dia berkeinginan untuk mempermainkan gadis yang menggiurkan hatinya itu.

Ketika Kiok Hwa memukul lagi dengan kepalan tangan kanan, Seng Kim dengan sengaja menerima pukulan itu dengan dadanya yang terbuka.

"Dukkk....!" Kiok Hwa terkejut bukan main karena ia merasa seperti memukul bantal yang empuk saja yang membuat tenaganya amblas dan lenyap. Sebelum ia dapat menarik kembali tangannya dalam kagetnya, tahu-tahu pergelangan tangan kanannya itu telah ditangkap oleh tangan kiri Seng Kun!

Ia meronta dan menarik-narik tangannya, namun tidak berhasil. Dengan penasaran dan marah ia menggunakan tangan kiri untuk menyerang, menusukkan jari tangannya ke arah mata pemuda itu. Akan tetapi kembali Seng Kun menggerakkan tangan kanannya dan menangkap pergelangan tangan kiri Kiok Hwa!

Kedua pergelangan tangan gadis itu telah di tertangkap dan Kiok Hwa tidak mampu menggerakkan kedua tangannya lagi. Diperlakukan begini Kiok Hwa menjadi malu dan marah, hampir ia menangis. "Lepaskan tanganku...!" Katanya sambil meronta-ronta dengan sia sia.

Seng Kim tersenyum, "Akan kulepaskan kalau engkau sudah mengakui bahwa engkau kalah dalam pertandingan ini, nova The!"

Kiok meronta lagi, sia-sia. Akhirnya The Siang In yang maju dan memberi hormat kepada Seng Kum "Sobat, adikku sudah kalah, harap lepaskan ia."

"Tidak, ia harus mengakui dulu kekalahannya." Seng Kim berkata dan berkeras tidak mau melepaskan kedua tangan yang sudah dipegangnya itu. Dia senang sekali melihat gadis itu menjadi kemerahan mukanya dan bersitegang untuk meronta-ronta hendak melepaskan diri dari pegangan namun sia-sia.

"Aku... aku mengaku... kalah....!" Akhirnya Kiok Hwa berkata. Ia tidak mau menyerang lagi dengan tendangan karena kini ia maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai dan ia khawatir kalau terus menyerang dengan tendangan, keadaannya akan lebih parah lagi.

Seng Kim melepaskan kedua tangan itu sambil mendorongkan dan Kiok Hwa terhuyung ke belakang. Pemuda itu tersenyum dan berkata, "Ilmu silat nona tidak jelek!" Dia lalu memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan kakak beradik itu. Mereka menghentikan pertunjukan mereka dan orang orangpun bubar meninggalkan tempat itu.

Tin Han juga ikut menonton dan dia menyaksikan semua ini. Diam-diam dia terkejut juga. Pemuda berbaju hijau itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu silat tinggi dan akan merupakan lawan tangguh baginya. Akan tetapi karena pemuda itu tidak mengganggu kakak beradik she The itu, diapun diam saja.

Akan tetapi diam-diam dia masih khawatir. Pandang mata pemuda berbaju hijau terhadap gadis itu, seperti pandang mata seekor harimau kelaparan memandang seekor domba muda yang gemuk! Dia seolah dapat melihat air liur menetes dari mulut pemuda baju hijau itu.

Setelah The Siang In dan The Kiok Hwa meninggalkan taman umum itu sambil membawa uang dari hasil sumbangan penonton dan pemberian Yauw Seng Kun, diam-diam Tin Han tetap membayanginya.

Hari telah menjelang senja dan kedua kakak beradik itu menuju ke rumah penginapan di mana Tin Han menyewa sebuah kamar. Sungguh suatu hal yang kebetulan sekali. Tak disangkanya bahwa kakak beradik itupun bermalam di situ. Hal ini membuat hatinya menjadi lega. Dengan demikian dia tidak akan bersusah payah untuk menjaga kedua orang itu.

Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu, berarti kedua kakak beradik itu terlepas dari bahaya. Kalau si baju hijau itu benar seorang jai-hwa cat seperti yang diduganya, tentu dia akan turun tangan malam ini juga untuk menculik gadis cantik yang mempunyai wajah mirip Lee Cin itu.

Akan tetapi dua buah kamar yang disewa kakak beradik itu terletak di Ujung belakang, agak jauh dari kamar yang disewanya. Malam itu juga, dia merebahkan diri dengan tetap waspada, mendengarkan kalau-kalau terdengar suara yang mencurigakan.

Menjelang tengah malam, lapat-lapat Tin Han mendengar suara langkah orang di atas atap rumah penginapan itu. Dia cepat turun dari pembaringannya dan membuka jendela kamarnya, keluar dari kamar melalui jendela dengan hati hati, kemudian setelah tiba di luar, dia meloncat ke atas genteng. Dia memandang ke arah dua kamar kakak beradik itu, dan benar saja, seperti yang telah dikhawatirkannya, ada sesosok bayangan manusia di atas atap itu.

Tin Han cepat turun kembali melepaskan pakaian luarnya dan hanya mengenakan pakaian serba hitam yang memang sudah dipakainya di balik pakaian luarnya, menggunakan sabuk kain hitam untuk menutupi mukanya sebagai topeng dan kembali dia meloncat keluar dari jendela dan terus melayang ke atas genteng.

Ketika dia memandang, ternyata di atas genteng itu sudah terjadi perkelahian! Tin Han mendekati dan bersembunyi di batik wuwungan rumah. Dilihatnya bahwa si baju hijau sedang bertanding melawan kakak beradik itu!

Kiranya dua orang kakak beradik itu agaknya sudah curiga kepada si baju hijau dan sudah menanti sehingga begitu si baju hijau tiba di atas genteng kamar mereka, keduanya sudah keluar menyambut sehingga terjadi perkelahian. The Siang In, pemuda itu menggunakan senjata sabuk birunya sedangkan The Kiok Hwa menggunakan sebuah pisau panjang. Kakak beradik itu menyerang dengan ganas, akan tetapi Yauw Seng Kun yang telah mencabut tongkat bambu kuningnya dapat menandingi mereka dengan seenaknya.

Jelas bahwa dua orang kakak beradik itu sama sekali bukan lawannya. Tiba-tiba tongkat bambu kuningnya bergerak cepat dan kedua orang kakak beradik itu secara beruntun roboh di atas genteng dalam keadaan tertotok! Seng Kun cepat menyambar tubuh Kiok Hwa dan dibawanya lari secepatnya meninggalkan tempat itu.

Tin Han tadinya tidak mengira mereka berdua itu akan kalah sedemikian cepatnya. Dia lalu melompat ke arah Siang In, sekali menggerakkan jari tangannya dia membebaskan Sian In dari totokannya, kemudian diapun berkelebat pergi untuk mengejar Seng Kun yang sudah berlari jauh.

Siang In yang sudah mampu bergerak lagi, menjadi bingung. Dia melihat betapa adiknya dilarikan si baju hijau, akan tetapi mereka sudah tidak tampak dan dia tidak tahu harus mengejar ke arah mana. Akhirnya dia hanya mengejar dengan ngawur saja dan mencari-cari orang yang telah menculik adiknya.

Sementara itu, Yauw Seng Kun yang sudah berhasil menculik Kiok Hwa yang ditotoknya sehingga tidak mampu bergerak atau bersuara, membawa lari gadis itu sampai tiba di luar kota. Dengan kepandaiannya yang sudah tinggi tingkatnya, dia melompati pagar tembok kota Cin-an dan kini tiba di luar kota, di jalan yang sepi.

Tiba-tiba dia merasa ada yang mencolek pundaknya dari belakang. Dia terkejut sekali, berhenti berlari dan memutar tubuh. Ketika dia melihat seorang berpakaian hitam yang bertopeng kain hitam, dia makin kaget.

"Siapakah engkau? Mau apa engkau mengejar aku?" tanyanya untuk menghilangkan rasa heran dan kagetnya bahwa ada orang yang mampu mengejarnya, bahkan mencolek pundaknya tanpa dia mendengar sama sekali kedatangannya!

"Siapa aku tidak penting. Aku mengejarmu karena engkau telah menculik seorang gadis!"

Yauw Seng Kun menduga bahwa orang ini tentu tokoh kang-ouw yang tinggal di daerah Cin-an, maka dia sengaja memperkenalkan diri agar orang itu menjadi gentar. "Apa perdulimu: Ketahuilah, aku adalah Yauw Seng Kun, majikan dari Guha Tengkorak di Lembah Iblis, Kwi-san. Harap engkau jangan mencampuri urusanku!"

Mendengar orang itu memperkenalkan diri, Tin Han tertawa di balik topengnya. "Aku Hek-tiauw Eng-hiong, tidak perduli engkau datang dari Guha Tengkorak atau Guha Setan dan tentu saja aku akan mencampuri urusanmu selama engkau berbuat kejahatan. Sudah jadi tugasku untuk menentang setiap perbuatan jahat dan menculik seorang gadis merupakan kejahatan yang besar sekali!"

Yauw Seng Kun sudah biasa memandang rendah orang lain dan sangat tinggi hati, mengangkat diri sendiri setinggi mungkin. Juga dia amat membanggakan ilmu kepandaiannya dan mengira bahwa di dunia ini jarang terdapat orang yang mampu menandinginya. Maka, mendengar orang bertopeng hitam yang mengaku sebagai Pendekar Rajawali Hitam itu hendak menentangnya, tentu saja dia menjadi marah sekali.

"Kau berani mencampuri urusanku dan hendak menentang aku, jahanam busuk? Apakah engkau sudah bosan hidup?"

"Ha-ha-ha, justeru karena masih ingin hidup aku harus menentang orang-orang macam engkau ini. Hayo cepat lepaskan gadis itu atau engkau akan menyesal nanti!"

Yauw Seng Kun menjadi semakin marah. Karena kalau dia masih memondong gadis itu gerakannya tentu tidak leluasa, maka dia menurunkan Kiok Hwa di atas tanah. Gadis itu rebah tak berdaya, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya dan kini Yauw Seng Kun menghadapi orang bertopeng itu. Karena menduga bahwa orang bertopeng itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang bêrarti.

Dia lalu mencabut tongkat bambu kuning dari punggungnya dan memutar tongkat itu sehingga berubah menjadi segulungan sinar hitam di malam yang remang- remang itu. Bulan sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih cukup terang bagi dua orang yang sudah berhadapan dan siap untuk bertanding itu.

"Malam ini engkau akan mampus di tanganku!" Bentak Yauw Seng Kun dan segera dia menyerang dengan tongkat bambu kuningnya. Serangannya itu mengeluarkan bunyi mencicit ketika tongkatnya meluncur ke arah tenggorokan Tin Han.

Namun dengan mudahnya Tin Han mengelak ke samping dan tongkat itu mengejarnya dengan sabetan ke arah kepala. Bukan main cepatnya gerakan tongkat itu, namun Tin Han lebih cepat lagi mengelak, lalu membalas dengan tamparan tangannya.

Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang mengejutkan hati Yauw Seng Kim. Makin yakinlah kini dia bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh, maka diapun mengerahkan tenaganya dan menyerang semakin gencar.

Kiok Hwa yang rebah telentang dan tidak mampu bergerak itu hanya dapat menonton dengan jantung berdebar tegang. Ia sudah tahu akan kelihaian pe muda yang menculiknya dan ia khawatir kalau si topeng hitam yang menolongnya itu akan kalah.

Biarpun yang menjadi senjata Yauw Seng Kun hanya sebatang tongkat bambu kuning, namun di tangan pemuda itu, senjata sederhana itu dapat menjadi senjata yang amat ampuh. Bambu kuning itu dapat dipergunakan sebagai pedang untuk menusuk dan menabas, juga sebagai tongkat untuk menotok jalan darah.

Namun Tin Han dapat mengimbanginya dan ketika beberapa kali Tin Han menangkis serangan itu dengan tangannya, Yauw Seng Kun merasa betapa panas dan tergetar tangannya yang memegang bambu kuning. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga sin-kang lawannya amat kuat.

Dengan penasaran karena setelah menyerang bertubi-tubi sampai puluhan jurus tongkatnya tidak pernah menemui sasaran, Yauw Seng Kun menubruk dengan hantaman tongkatnya ke arah kepala lawan. Tin Han menggerakkan tangan kanan, memutarnya dari kiri ke kanan untuk menangkis.

"Plakkkkk!" Tangannya berhasil menangkis dan memegang tongkat lawan dan cepat dia mengerahkan untuk merampas tongkat itu! Akan tetapi Yauw Seng Kun mempertahankan. Dua tenaga sin-kang yang kuat bersitegang.

"Takk!" Tongkat itu patah menjadi dua potong! Yauw Seng Kun terkejut bukan main dan dia melompat ke belakang, lalu membalik dan melontarkan sepotong tongkat itu ke arah lawannya. Sepotong tongkat itu meluncur seperti anak panah menyerang dada Tin Han.

Akan tetapi pemuda ini sudah siap dan dia menggunakan potongan tongkat yang berada di tangannya untuk menangkis sehingga tongkat yang meluncur itu dapat terpukul runtuh. Akan tetapi ketika Tin Han mengangkat muka, ternyata lawannya telah lenyap dalam kemuraman malam, meninggalkan gadis yang masih menggeletak di atas tanah.

Menggunakan sepotong tongkat rampasan itu, Tin Han lalu menotok kedua pundak Kiok Hwa gadis itupun dapat bergerak kembali. Begitu dapat bergerak dan bersuara, Kiok Hwa menjatuhkan dirinya berlutut di depan Tin Han.

"In-kong (tuan penolong), saya The Kiok Hwa menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan in-kong. Kalau tidak ada in-kong yang menolong, entah apa jadinya dengan diri saya."

Tin Han menyentuh pundak gadis itu dengan tangannya, menyuruhnya bangkit lagi. "Berdirilah, nona dan jangan banyak sungkan. Sudah menjadi tugas kewajiban untuk menentang kejahatan. Lebih baik nona cepat kembali ke Cinan karena kakakmu tentu sedang mencarimu dengan hati gelisah"

Kiok Hwa bangkit berdiri, mencoba untuk menatap tajam sepasang mata di batik topeng itu. "Baik, in-kong. Akan tetapi selama hidupku saya tidak akan melupakan budi kebaikan in-kong. BoIehkah saya mengetahui nama in-kong dan bolehkah saya mengenal wajah inkong?"

"Nona, kalau engkau boleh melihat wajahku, untuk apa aku menggunakan topeng? Kalau mau mengenal namaku, sebut saja Hek-tiauw Eng-hiong. Sekarang, cepat nona kembali ke Cin-an,' aku membayangi dari jauh."

"Baik, in-kong," kata Kiok Hwa dan iapun memutar tubuhnya lalu berlari cepat keluar dari tempat itu menuju kembali ke kota Cin-an. Tin Han membayanginya karena khawatir kalau-kalau penculik tadi akan mengganggunya kembali.

Kiok Hwa memasuki kota Cin-an dengan melompati pagar tembok seperti ketika ia dibawa keluar oleh penculik tadi dan langsung saja kembali ke rumah penginapan. Ia mendapatkan kakaknya sedang duduk termenung dengan gelisah.

The Siang In terkejut ketika melihat adiknya membuka pintu dan masuk ke kamarnya. "Hwa-moi, engkau sudah kembali? Bagaimana engkau dapat kembali?" Dia meloncat bangun sambil memegang tangan adiknya.

Kiok Hwa berkata, "Aku hampir celaka di tangan penculik itu, koko. Aku dibawa sampai keluar kota Cin-an. Untung datang seorang Bintang penolong. Seorang laki-laki bertopeng menolongku. Orang bertopeng itu lihai bukan main. Setelah bertanding dengan penculik jahanam itu, dia dapat mengalahkannya dan penculik itupun melarikan diri. Aku lalu dibebaskan dari totokan dan in-kong itu minta kepada agar segera kembali ke sini."

"Ah, terima kasih kepada Tuhan yang masih melindungimu, moi-moi! Siapakah namanya in-kong itu?"

"ltulah yang mengecewakan hatiku, koko. Dia memakai topeng hitam dan ketika kutanya namanya, mengaku bernama Hek-tiauw Eng-hiong. Dia tidak mau memperkenalkan mukanya. Ah, aku berhutang nyawa kepadanya, koko. Kalau tidak ada dia, tentu aku mati, andaikata tidak dibunuh penculik laknat itu tentu aku akan membunuh diri."

“Sudahlah, Hwa-moi. Bagaimanapun juga; Tuhan masih melindungimu. Kita tidak pernah melakukan kejahatan, maka bagaimanapun tentu ada saja yang menolong kita. Penculik itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, kalau penolongmu itu dapat mengalahkannya, tentu dia seorang sakti."

"Wah, kepandaian in-kong itu hebat sekali, koko. Bayangkan saja, dia menghadapi penculik jahanam itu yang menggunakan tongkatnya, dengan tangan kosong saja! Dan akhirnya dia dapat mematahkan tongkat itu sehingga penculik menjadi ketakutan dan kabur. Aku berhutang nyawa kepadanya, entah bagaimana dapat membalasnya."

"Kita dapat membalas budinya dengan bersembahyang kepada Tuhan semoga in-kong itu mendapat berkah yang berlimpahan dari Tuhan, sesuai dengan budi kebaikannya, moi-moi."

Kakak beradik itu membicarakan Hek-tiauw Enghiong tiada habisnya, sama sekali mereka tidak mengira bahwa orang yang mereka bicarakan itu hanya beberapa meter saja dari kamar mereka, di sebuah kamar lain di rumah penginapan itu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi benar Tin Han berangkat meninggalkan rumah penginapan. Baru saja dia membayar sewa kamarnya, muncul Siang In dan Kiok Hwa yang juga hendak membayar sewa kamar dan meninggalkan rumah penginapan itu pagi-pagi benar. Mereka hanya bertukar pandang.

Dan Tin Han cepat mengalihkan pandang matanya ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata Kiok Hwa yang memandangnya. Akan tetapi gadis itu tidak mengenalnya, sungguhpun sejenak ada keraguan di hati gadis ini yang merasa pernah bertemu dengan Tin Han akan tetapi ia lupa lagi bilamana dan di mana.


Tin Han meninggalkan kota Cin-an. Dia bermaksud pergi ke Hong-san untuk mencari Lee Cin. Di dalam hatinya dia merasa tegang kalau membayangkan pertemuannya dengan Lee Cin dan juga dengan Souw Tek Bun. Bagaimanapun juga, dia pernah melukai Souw Tek Bun walaupun ketika dia melakukan itu dia berpakaian sebagai Si Kedok Hitam.

Bagaimana sambutan Lee Cin kalau dia muncul di sana? Dan apakah kedua orang tua gadis yang dicintanya itu akan suka menerimanya sebagai mantu? Dia menjadi tegang, karena dia belum yakin benar bahwa Lee Cin akan membalas cintanya, dan membayangkan dia ditolak pula oleh ayah-ibu Lee Cin membuat jantungnya berdebar.

Mengapa takut akan bayangan, pikirnya. Yang penting dia harus menemui Lee Cin dan bagaimana nanti sajalah akibatnya! Dia sudah merasa rindu sekali kepada Lee Cin. Kalau dia terkenang saat perjumpaannya dengan Lee Cin, pada saat terakhir. Dia sebagai Tin Han dan dia sebagai Si Kedok Hitam sudah menyatakan cintanya kepada Lee Cin!

Dan ketika dia sebagai Tin Han menyatakan cintanya terhadap gadis itu, Lee Cin tidak menolaknya, walaupun juga tidak mengatakn bahwa gadis itu membalas cintanya!. Sekarang, kalau dia bertemu lagi dengan Lee Cin, dia akan berterus terang meminangnya sebagai calon isterinya. Keputusan ini sudah tetap di hatinya.

Dia harus berani, berani meminang dan berani ditolak. Lee Cin pernah menyatakan sayang bahwa dia tidak pandai silat. Kalau kemudian gadis itu mengetahui bahwa dia pandai silat, bagaimana? Akan tetapi tentu Lee Cin akan tahu bahwa dialah Si Kedok Hitam! Serba salah jadinya. Sebaiknya kalau dia menyembunyikan kepandaiannya dari gadis itu.

Tin Han berjalan seenaknya keluar dari kota Cin-an. Ketika dia sedang berjalan melenggang seenaknya, tiba-tiba dari belakangnya terdengar seruan nyaring. "Minggir! Minggir!" dan terdengar derap kaki kuda.

Tin Han cepat minggir dan memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang membalapkan kuda di pagi hari itu. Ternyata dia seorang yang berpakaian perwira tinggi bersama duabelas orang pengawalnya. Tin Han jadi tertarik. Dia memang merasa tidak senang kepada perwira penjajah Mancu yang suka bertindak sewenang-wenang.

Karena hatinya tertarik maka dia lalu membayangi mereka dengan menggunakan ilmu berjalan cepat. Di sepanjang jalan itu masih sepi, akan tetapi karena dia tidak ingin dilihat orang berjalan cepat sekali, dia mengambil jalan dalam hutan di sebelah jalan.

Dari jauh dia melihat betapa tigabelas orang berkuda itu kini menyeberangi Sungai Huang-ho dengan menggunakan perahu besar. Mereka menyeberang bersama kuda-kuda mereka. Tin Han jadi semakin tertarik dan diapun segera menyewa perahu kecil dan minta kepada tukang perahu agar menyeberangkannya.

Setelah tiba di seberang, para penunggang kuda itu melanjutkan perjalanan mereka. Tin Han juga mendarat lalu melakukan pengejaran dengan mempergunakan ilmu berlari cepat. Akhirnya dia dapat menyusul rombongan berkuda itu yang ternyata memasuki sebuah hutan di Lembah Sungai Huang-ho. Tin Han terus mengikuti pasukan selosin pengawal yang dipimpin oleh seorang perwira yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat itu.

Pasukan itu adalah pasukan pengawal Kerajaan Mancu yang dipimpin oleh Panglima Coa Kun, yaitu wakil dari Panglima Tua Bouw Kin. Setelah berloncatan turun dari atas kuda, Coa-ciangkun lalu menghampiri pondok dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang berpakaian hitam putih dan ada gambar lm-yang di dadanya. Usianya mendekati enampuluh tahun dan kakek ini bukan lain ada lah Thian-te Mo-ong. Melihat kakek ini, Coa-ciangkun memberi hormat yang dibalas oleh Thian-te Mo-ong.

"Kebetulan sekali Coa-ciangkun sudah datang," kata Thian-te Mo-ong. "Kami sedang mengadakan pertemuan di sini."

Coa-ciangkun dipersilakan lalu masuk dan di ruangan belakang yang cukup luas telah duduk Hek-bin Mo-ko, Sin-ciang Yauw Seng Kun, Ma Huan dan beberapa orang lain lagi. Hek bin Mo-ko adalah seorang tokoh sesat yang bertubuh tinggi besar dan semua anggauta tubuhnya tampak besar dan bundar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. Hek-bin Mo-ko (Iblis Muka Hitam) ini bersenjatakan sebatang ruyung berduri yang besar dan berat.

Orang kedua yang bernama Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti) adalah seorang tokoh kang-ouw golongan sesat pula yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya kekuningan seperti orang berpenyakitan, matanya sipit sekali. Seusia dengan Hek-bin Mo-ko, kurang lebih limapuluh tahun dan Pengemis Iblis ini bersenjatakan sebatang tongkat yang beracun.

Yauw Seng Kun telah kita kenal, yaitu pemuda dari Guha Tengkorak di Lembah Iblis murid mendiang Jengciang-kwi, dan Ma Huan yang berusia empatpuluh tahun adalah seorang utusan dari Pulau Naga, nembantu Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok. Empat orang lain yang duduk di situ kesemuanya adalah tokoh-tokoh sesat yang sudah dihubungi oleh Thian-te Mo-ong dan mau diajak bersekutu.

Bagaimana Thian-te Mo-ong dapat mengadakan pertemuan rahasia dengan Panglima Coa di tempat itu? Bukankah Thian-te Mo-ong pernah membantu pemberontakan dan pernah dihukum buang, bahkan kemudian menjadi pelarian yang diburu pemerintah Kerajaan Mancu?

Ternyata setelah Song Thian Lee mengundurkan diri dan semua kekuasaan atas pasukan berada sepenuhnya di tangan Panglima Tua Bouw Kin Sek, maka panglima ini telah mengubah siasatnya. Dia menyebar orang-orangnya, termasuk Panglima Coa untuk menghubungi orang-orang kang-ouw golongan sesat.

Dan membujuk mereka untuk bekerja sama dengan pasukan pemerintah memusuhi kaum pendekar dan patriot! Karena Panglima Bouw bukan hanya menjanjikan, melainkan juga dengan royal membagi-bagi hadiah, maka golongan sesat menjadi terpikat.

Karena inilah maka Thian-te Mo-ong seperti telah diampuni oleh kerajaan, asalkan dia mau membantu pemerintah untuk membasmi kaum pendekar dan patriot. Kebijaksanaan baru ini lebih menguntungkan, baik bagi pemerintah maupun bagi golongan sesat, maka banyaklah tokoh kang-ouw yang termasuk golongan sesat dapat terpikat.

Termasuk Thian-te Mo-ong tentu saja karena diampuni dan tidak lagi menjadi orang buruan pemerintah. Bahkan Thian-te Mo-ong berjanji kepada Panglima Coa untuk menghubungkannya dengan Beng-cu baru, yaitu Ouw Kwan Lok yang tinggal di Pulau Naga.

Panglima Coa masuk ke pondok dan dipersilakan duduk di ruangan belakang di mana telah berkumpul teman-teman Thian-te Mo-ong.

"Silakan duduk, ciangkun. Saudara-saudara sekalian, perkenalkan inilah Panglima Coa dari kota raja yang menjadi wakil dari Panglima Tua yang menguasai seluruh pasukan pemerintah." Thian-te Mo-ong memperkenalkan panglima itu kepada rekan-rekannya. Dia lalu memperkenalkan pula tujuh orang tokoh kangouw yang sudah hadir di situ.

Panglima Coa saling memberi hormat dengan mereka semua dan dia lalu duduk berhadapan dengan mereka. "Mo-ong, sekarang ceritakan lebih dulu tentang pengangkatan Beng-cu baru itu, siapa dia dan bagaimana kedudukannya," kata Panglima Coa.

"Beng-cu Souw Tek Bun telah mengundurkan diri dari jabatan beng-cu, ciangkun, dan ini kebetulan sekali karena diapun berhaluan menentang pemerintah. Penggantinya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, dan terhitung muridku juga, bernama Ouw Kwan Lok. Dia menangkan pertandingan pemilihan beng-cu dan sekarang tinggal di Pulau Naga, bersama Siang Koan Bhok yang juga menjadi gurunya."

"Dan bagaimana pendapatnya tentang ajakan kami untuk bekerja sama menentang golongan pendekar yang bermaksud menentang pemerintah Kerajaan Ceng?"

"Aku sudah menyampaikan kepadanya, dan dia menjawab bahwa hal itu akan dipertimbangkan melihat kesungguhan pemerintah yang mengajak bekerja sama. Dan juga beng-cu kami itu mengatakan bahwa setelah diadakan kerja-sama, biarlah beng-cu tetap bersikap mendekati para pendekar dan pemberontak, dengan demikian dia akan tahu siapa yang harus ditentang."

"Ha-ha-ha, dia ingin melihat kesungguhan hati kami? Tunggu sebentar!" Panglima Coa lalu bangkit dan memanggil pengawalnya yang masih berada di luar. Seorang pengawal datang dan membawa sebuah kantung sebesar kepala manusia, dan dia menyerahkan kantung kepada Coa-ciangkun.

"Nah, inilah hadiah pertama untuk disampaikan kepada beng-cu. Kalau kerja sama sudah menghasilkan, akan lebih banyak pula hadiah dikirimkan kepadanya."

Coa-ciangkun membuka kantung itu dan memperlihatkan isinya kepada semua yang hadir. Tampak emas permata berkilauan dalam kantung itu. Sungguh merupakan hadiah yang berharga sekali!

"Baik, kami menerimanya, ciangkun. Akan tetapi kamipun ingin mendengar penjelasan dari ciangkun mengapa sekarang pihak pimpinan pasukan mengajak kami bekerja sama? Apa yang mendorong para pimpinan ciangkun melakukan kerja sama ini? Kami harus mengetahui latar belakang perubahan sikap ini agar kami tidak ragu-ragu lagi."

"Hemm, kalian ingin mengetahui sebabnya? Dahulu, di waktu Song Thian Lee masih menjadi panglima muda dan dipercaya oleh kaisar, dia selalu menentang orang-orang kang-ouw sehingga banyak orang kang-ouw memberontak atau menentang pemerintah kerajaan. Kami menganggap sikap itu keliru sama sekali.

"Seharusnya orang kang-ouw didekati dan diajak bekerja sama sehingga tidak timbul pemberontakan, kecuali dari pihak para pendekar yang menganggap diri mereka patriot. Nah, dengan bekerja sama dengan orang-orang kang-ouw, kita tentu akan lebih mudah untuk membasmi para pendekar itu.

"Setelah kini Song Thian Lee mengundurkan diri dan tidak menjadi panglima lagi, semua kekuasaan terjatuh ke tangan Panglima Tua Bouw Kin Sek maka perubahan sikap kami ini dapat dilaksanakan. Mengertikah kalian?"

Tujuh orang itu mengangguk-angguk.

"Sekarang, untuk membuktikan bahwa kalian memang sungguh hati berniat untuk bekerja sama, kami minta kalian membantu kami untuk menangkap atau membunuh bekas panglima Song Thian Lee dan isterinya. Sanggupkah kalian?"

Tujuh orang kang-ouw itu saling pandang dan Yauw Seng Kun yang belum mengenal orang macam apa adanya Song Thian Lee, sudah menyanggupi, "Tentu saja kami dapat membantu ciangkun!"

"Akan tetapi, Song Thian Lee dan isterinya itu merupakan lawan yang tangguh," kata Thian-te Mo-ong, agak ragu.

"Hemm, biarpun dia tangguh, kalau menghadapi kita semua, dia akan mampu berbuat apakah? Aku membawa surat perintah Kaisar untuk menangkapnya dengan tuduhan bahwa dia sengaja membantu pemberontak Keluarga Cia, dan aku membawa selosin pengawal pilihan. Ditambah lagi dengan kalian bertujuh, apa dia akan mampu melawan?"

Thian-te Mo-ong mengangguk-angguk. "Kalau kita semua maju, aku merasa yakin kita akan mampu menangkap atau membunuh mereka berdua. Baik, kapan kita akan berangkat dan di mana mereka tinggal?"

"Mereka tinggal di dusun Tung-sinbun tak jauh dari kotaraja dan kita berangkat sekarang juga. Kami akan menyediakan tujuh ekor kuda untuk kalian. Selain itu, apakah engkau tahu di mana adanya Keluarga Cia, Mo-ong?"

"Tentu saja aku tahu di mana mereka bersembunyi. Ketika Beng-cu menawarkan kepada mereka untuk tinggal di Pulau Naga, mereka menolak dan mereka untuk sementara tinggal di Bukit Cemara."

"Bagus! Tugas kalian, setelah kita menyerbu rumah Song Thian Lee, adalah untuk membasmi Keluarga Cia itu. Mereka adalah orang-orang yang amat membenci pemerintah Kerajaan, merupakan orang-orang berbahaya. Bagaimana, sanggupkah kalian bertujuh untuk membasmi Keluarga Cia?"

Thian-te Mo-ong tertawa. "Ha-ha-ha, membasmi mereka adalah urusan mudah, ciangkun. Yang paling lihai di antara mereka adalah Nenek Cia, dan nenek itu pernah dikalahkan oleh Bengcu yang baru. Kalau kami melaporkan permintaan ciangkun ini kepada Beng-cu, tentu akan mudah membasmi mereka."

"Baiklah, kami percaya kepada kalian. Sekarang, mari kita berangkat. Para pengawalku akan menyediakan kuda untuk kalian."

Tak seorangpun di antara mereka mengetahui bahwa semua percakapan mereka itu didengar dengan jelas oleh Tin Han! Ketika mendengar bahwa mereka hendak menyerbu rumah bekas panglima Song Thian Lee, dia mendengarkan dan kurang tertarik. Akan tetapi alangkah terkejut hatinya ketika dia mendengar bahwa mereka hendak menyerbu dan membasmi Keluarga Cia!

Tidak, dia tidak dapat tinggal diam saja. Juga dia harus melindungi keluarga Song Thian Lee yang pernah didengarnya sebagai seorang panglima muda yang bijaksana. Dari percakapan itu tahulah dia bahwa pemerintah Kerajaan Mancu telah mengubah taktiknya. Kini mereka hendak menyuap kepada para tokoh kang-ouw dari golongan sesat untuk membantu pemerintah menghancurkan para pendekar dan patriot.

Hatinya menjadi panas mendengar ini dan dia bermaksud untuk menghalangi tindakan mereka yang akan membunuh bekas panglima Song Thian Lee dan juga hendak membasmi keluarganya, Keluarga Cia!

Karena sudah mendengar bahwa mereka akan pergi ke dusun Tung-sinbun dekat kota raja dan mereka semua hendak menunggang kuda, Tin Han lalu mendahului mereka melakukan perjalanan ke arah kota raja. Ketika hari menjadi malam dan dia bermalam di rumah penginapan yang sama!

Tin Han mendapatkan pikiran yang dianggapnya bagus. Malam itu, diam-diam dia menyelinap ke kandang kuda dari penginapan itu dan mencari seekor kuda yang dipilihnya paling baik dari semua kuda yang ada.

Pada keesokan harinya, tentu saja keadaan menjadi geger ketika Coa-ciangkun mengetahui akan lenyapnya seekor kuda yang terbaik, yaitu kuda yang menjadi tunggangannya. Dia memaki-maki para petugas rumah penginapan akan tetapi tidak ada seorangpun tahu ke mana perginya kuda yang hilang itu.

Tin Han pura-pura ikut resah seperti para tamu lain dan dengan hati geli dia melihat perwira tinggi itu menyuruh anak buahnya mencari dan membeli seekor kuda lain yang baik. Setelah mendapatkan seekor kuda, berangkatlah mereka.

Tin Han juga meninggalkan rumah penginapan itu dan melepaskan kuda curiannya yang diikat pada sebuah pohon di luar kota Kan-lok, lalu membayangi rombongan itu dengan berkuda. Akhirnya, rombongan itu tiba di dusun Tung-sin-bun.

Ketika itu, senja telah tiba dan agaknya rombongan itu tidak mau berhenti dulu, langsung saja menuju ke rumah Song Thian Lee, setelah mendapat keterangan di mana rumah bekas panglima itu.

Pada sore hari itu, Song Thian Lee sedang duduk dengan isterinya di serambi depan. Tang Cin Lan sedang bermain-main dengan puteranya yang baru berusia tiga tahun. Ketika mendengar bunyi kaki kuda mendatangi rumah mereka, suami isteri ini tidak mengira bahwa merekalah yang kedatangan tamu.

Baru setelah belasan orang berkuda itu memasuki halaman rumahnya, mereka tahu bahwa rombongan orang itu datang untuk berurusan dengan mereka. Yang membuat Thian Lee terheran-heran adalah ketika dia melihat Panglima Coa dan Thian Lee masih mengenal Thian-te Mo-ong yang di tangkapnya ketika datuk ini membantu pemberontakan beberapa tahun yang lain, kemudian Thian-te Mo-ong berhasil meloloskan diri ketika dikirim ke tempat pembuangan.

Heran dia mengapa Panglima Coa dapat datang bersama Thian-te Mo-ong yang menjadi orang buruan pemerintah? Namun dia menekan keheranannya dan segera bangkit bersama isterinya yang menggendong Hong San. "Kiranya Coa-ciangkun yang datang berkunjung! Entah kepentingan apa yang membawa ciangkun datang berkunjung ke rumah kami?"

Akan tetapi Coa-ciangkun tidak turun dari atas kudanya, bahkan tidak membalas penghormatan Thian Lee, sebaliknya dia mengambil surat perintah Kaisar dan berkata lantang, "Song Thian Lee, atas perintah Kaisar kami datang untuk menangkap engkau dan seluruh keluargamu! Karena itu menyerahlah sebelum kami mempergunakan kekerasan!"

Thian Lee dan Cin Lan terkejut bukan main mendengar ucapan itu. "Coa-ciangkun! Kesalahan apakah yang kami perbuat maka Kaisar memerintahkan untuk menangkap kami?"

"Ketika engkau melakukan pembersihan di timur, engkau sengaja memberi kebebasan kepada para pemberontak Keluarga Cia. Karena itu engkau dianggap pemberontak!"

"Bohong semua itu! Suamiku ketika memegang jabatan panglima, sudah berjasa besar menumpas pemberontak-pemberontak dan orang-orang jahat! Dia bukan pemberontak dan tahukah engkau siapa aku? Aku adalah puteri Pangeran Tang Gi Su. Beranikah kalian berkurang ajar untuk menangkap aku?"

"Ini perintah Kaisar. Kami hanya menjalankan tugas. Hayo kalian cepat berlutut menyerah daripada kami harus menggunakan kekerasan!" bentak lagi Coa-ciangkun.

Thian Lee menjadi marah sekali. Dia dapat menduga bahwa semua ini bukan keluar dari lubuk hati Kaisar. Tentu Kaisar telah dihasut dan mungkin yang menghasut adalah Panglima Coa dan Panglima Bouw yang dia tahu memang merasa iri dan tidak suka kepadanya.

"Coa-ciangkun! Engkau tahu bahwa kini aku bukan lagi seorang pejabat pemerintah yang harus tunduk atas semua perintah Kaisar. Aku tidak merasa bersalah dan aku tidak mau menyerah!"

"Engkau hendak melawan Kaisar?"

"Bukan Kaisar yang kulawan, melainkan kalian! Engkau membawa pula pemberontak Thian-te Mo-ong, padahal dia orang buruan pemerintah! Engkaulah yang berbuat jahat, Coa-ciangkun!"

"Serbu!" bentak Coa-ciangkun kepada anak buahnya.

Dua belas orang pengawal itu lalu mencabut golok mereka dan berlompatan turun dari atas kuda. Demikian pula tujuh orang tokoh kangouw itu berlompatan turun dari kuda. Hek-bin Mo-ko sudah mengayun ruyungnya yang berduri, besar dan berat, sedangkan Sin-ciang Mo-kai juga mempergunakan tongkatnya yang beracun untuk menyerang Thian Lee.

Thian-te Mo-ong tidak mau ketinggalan. Song Thian Lee adalah musuh besarnya, maka diapun sudah mengeluarkan sepasang pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.

Thian Lee menyambar Jit-gwat-kiam (Pedang Matahari dan Bulan) yang berada di atas meja dan diapun menyambut penyerangan banyak orang itu. Sementara itu, Yauw Seng Kun yang melihat betapa cantiknya Tang Cin Lan, sudah menggunakan tongkat bambu kuningnya untuk menyerang wanita itu, dengan maksud untuk menangkapnya hidup-hidup.

Serangannya ini dibantu pula oleh Ma Huan dan empat orang tokoh kang-ouw lainnya. Cin Lan tidak menjadi gentar. Dia sudah menggendong Hong San di punggungnya dan memutar sebatang tongkat, memainkan ilmu tongkat Hok-mo-tang (Tongkat Penaluk Iblis) dan mengamuk.

Thian Lee dan Cin Lan adalah suami isteri yang lihai ilmu silatnya. Cin Lan adalah murid Pek I Lo-kai dan tubuhnya kebal racun karena pernah digigit ular merah dan ular putih yang racunnya berlawanan. Ilmu tongkatnya Hok-mo-tang amat dahsyat, dan iapun seorang yang pemberani dan tabah berkat pengalamannya ketika ia masih gadis dan suka merantau mencari pengalaman.

Terutama sekali Thian Lee. Ilmunya lebih tinggi dibandingkan isterinya. Pendekar ini pernah menjadi murid Liok-te Lo-mo, kemudian pernah pula menjadi murid Jeng-ciang-kwi, kemudian menjadi murid Kim Sim Yok-sian si Dewa Obat dan murid Tan Jeng Kun. Seorang pertapa sakti yang mengasingkan diri dari dunia ramai.

Semua itu masih ditambah lagi ketika dia menemukan pedang Jit-goat-kiam dan dua kitab, yaitu Thian-te Sin-kang dan Jit-goat Kiam-sut. Ilmu kepandaiannya pada masa itu jarang menemukan tandingan.

Akan tetapi dia sekali ini menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai, dan dia tidak dapat memusatkan perhariannya karena perhatiannya terbagi kepada isteri dan anaknya yang juga dikeroyok banyak orang pandai. Hanya dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, dia dapat mencegah desakan para pengeroyoknya dan selalu berusaha mendekat isterinya untuk melindunginya.

Tin Han menyaksikan ini semua dan dia terbelalak kagum. Suami isteri itu sungguh hebat, pikirnya. Apa lagi ilmu pedang Song Thian Lee. Dia hanya melihat sinar pedang bergulung-gulung menyelimuti suami isteri itu sehingga tidak ada senjata lawan yang mampu menembusnya.

Akan tetapi, suami isteri itu kini hanya dapat bertahan saja dan kalau dilanjutkan perkelahian seperti itu, akhirnya mereka akan terancam bahaya. Cepat dia melepaskan pakaian luarnya dan menutupi mukanya dengan kain hitam, lalu mengambil sebatang pedangnya yang selalu disimpan dalam buntalan. Itulah pedang Pekkong-kiam (Pedang Sinar Putih) pemberian Bu Beng Lo-jin, gurunya yang pertama.

Setelah menyembunyikan buntalan dan pakaiannya, dia lalu melompat memasuki gelanggang pertempuran dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu membantu suami isteri itu menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.

Pedang di tangan Thian Lee sudah merobohkan empat orang pengawal, sedangkan tongkat di tangan Cin Lan juga sudah merobohkan tiga orang pengawal. Biarpun para jagoannya belum ada yang roboh, sedikitnya robohnya tujuh orang pengawal itu membuat para pengawal lainnya menjadi jerih dan menambah semangat mereka.

Ketika mereka melihat seorang berkedok hitam memasuki gelanggang perkelahian dan membantu mereka, Thian Lee segera mengenal Si Kedok Hitam yang pernah menolongnya ketika dia dan Lee Cin ditawan oleh Keluarga Cia. (Baca Kisah Si Dewi Ular).

"Terima kasih, sobat. Engkau kembali menolongku!" kata Thian Lee kepada Si Kedok Hitam yang begitu masuk sudah merobohkan dua orang pengawal.

Tiga orang pengawal lain lalu mundur dan tidak berani lagi maju mengeroyok. Kini Thian Lee menghadapi Thian-te Mo-ong, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang. Yauw Seng Kun berhadapan dengan Cin Lan dan dia dibantu oleh Ma Huan dan empat orang tokoh kang-ouw lainnya.

Kalau Thian Lee dapat mengimbangi pengeroyokan tiga orang lawan itu, sebaliknya Cin Lan mulai terdesak hebat. Hal ini adalah karena para pengeroyoknya mulai bermain curang, yaitu serangan mereka ditujukan kepada anak yang berada dalam gendongan di punggungnya.

Melihat nyonya muda itu terdesak dan anaknya terancam bahaya, Tin Han segera menyerang Yauw Seng Kim yang dia lihat paling berbahaya di antara para pengeroyok Cin Lan.

Begitu diserang oleh pedang di tangan Tin Han, Yauw Seng Kun menangkis dengan tongkatnya. Dia sudah merasa jerih menghadapi Si Kedok Hitam yang pernah bertanding dengannya ketika Si Kedok Hitam itu menolong Kiok Hwa terlepas dari tangannya.

"Trangggg.....!" Tongkat bambu kuning di tangan Seng Kun putus tinggal sepotong. Hal ini membuatnya amat terkejut dan Ma Huan segera menolong dan membacokkan goloknya kepada Si Kedok Hitam. Akan tetapi goloknya terpental ketika bertemu dengan Pek-kong-kiam dan sebuah tendangan dari Tin Han membuat Yauw Seng Kun terhuyung ke belakang.

Melihat bantuan yang amat kuat itu, Cin Lan mengamuk dan tongkatnya menotok roboh dua orang tokoh kang-ouw yang bantu mengeroyok. Melihat kini Cin Lan tidak terancam bahaya, Tin Han menubruk dengan pedangnya menyerang Thian-te Mo-ong.

"Sing..... tranggg.....!" Sepasang pedang Thian-te Mo-ong dipergunakan untuk menangkis sinar putih pedang di tangan Tin Han dan akibatnya, Thian-te Mo-ong harus melompat mundur karena kedua tangannya tergetar hebat.

Agaknya Coa-ciangkun dapat melihat gelagat buruk. Dia lalu melompat ke atas kudanya, melarikan diri untuk mencari bala bantuan. Melihat ini, Thian-te Mo-ong kehilangan nyalinya. Diapun berseru kepada semua rekannya.

"Kita mundur!"

Karena memang kini sudah terdesak, para pengeroyok itu lalu berloncatan ke belakang, melompat pula ke atas punggung kuda mereka dan mereka melarikan diri tunggang langgang.

Thian Lee dan Cin Lan tidak melakukan pengejaran. Thian Lee menjura kepada Tin Han dan berkata, "Sobat, kembali engkau menyelamatkan kami. Terima kasih atas budimu."

"Tidak perlu berterima kasih, Song taihiap. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong dari ancaman antek-antek Mancu itu. Yang penting sekarang sebaiknya engkau dan isterimu cepat pergi meninggalkan dusun ini karena kalau mereka datang lagi membawa bala bantuan pasukan besar, bagaimana kalian akan dapat melawan mereka?"

"Kata-katamu benar, sobat. Setidaknya, beri kami tahu siapa namamu agar kami mengetahui siapa yang menolong kami."

"Sebut saja Hek-tiauw Eng-hiong. Nah, selamat berpisah!" Tin Han segera melarikan diri dari tempat itu dan kembali mengenakan pakaiannya, dan menunggang kudanya.

Thian Lee sekeluarga telah selamat dan sekarang dia harus menyelamatkan keluarganya sendiri yang juga terancam oleh antek-antek Mancu. Thian Lee bersama isterinya bergegas mengumpulkan pakaian dan uang, lalu keduanya pergi meninggalkan dusun Tung-sin-bun, memberi pesangon kepada para pembantu mereka dan menyuruh mereka cepat pergi pula karena dikhawatirkan mereka akan tersangkut urusan mereka.

Benar saja seperti yang di khawatirkan Tin Han, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali duaratus orang pasukan memasuki dusun Tung-sin-bun dan mereka menyerbu rumah Thian Lee. Akan tetapi mereka tidak menemukan siapapun juga di rumah itu, maka isi rumah lalu dirampas oleh mereka dan dalam hal mengamankan barang-barang milik Thian Lee ini, ulah mereka tiada ubahnya seperti segerombolan perampok!


Tin Han dapat menemukan tempat persembunyian keluarganya. Ternyata keluarganya membuat tiga buah pondok kayu di puncak Bukit Cemara dan tempat itu terkurung hutan yang lebat dan mengandung banyak pohon cemara di samping pohon-pohon liar.

Akan tetapi dia tidak berani menghadap keluarganya. Dia sudah ketahuan bahwa dialah Si Kedok Hitam yang selalu menentang mereka ketika mereka hendak membunuh Lee Cin dan Thian Lee. Bahkan neneknya sendiri telah menendangnya masuk ke dalam jurang. kalau kini dia menghadap, bagaimana penerimaan mereka? Tentu dia dianggap sebagai pengkhianat.

Hatinya merasa rindu sekali kepada ayah dan ibunya, juga kepada kakaknya, kedua pamannya dan neneknya. Dia rindu untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan mereka semua. Akan tetapi dia merasa ngeri membayangkan mereka akan menerimanya sebagai seorang musuh! Dia tidak akan dapat mencari alasan mengapa dia membela Lee Cin dan Thian Lee.

Keluarganya membenci penjajah Mancu dan membeci semua orang yang bekerja kepada pemerintah Mancu. Bahkan untuk melakukan pemberontakan, keluarganya tidak segan-segan untuk bersekutu dengan perwira yang memberontak, dan lebih lagi malah, bersekutu dengan golongan sesat dan dengan orang Jepang!

Pendirian seperti itu berbeda jauh dengan pendiriannya, bahkan bertentangan. Bagaimana mungkin dia menyadarkan keluarganya, terutama sekali neneknya bahkan melakukan perjuangan bersekutu dengan golongan sesat dan dengan orang asing adalah keliru sama sekali? Dia mengenal neneknya sebagai seorang yang keras hati, yang membenci penjajah sampai ke tulang sumsumnya, melebihi kebenciannya kepada golongan sesat.

Sampai sepekan lamanya dia hanya berkeliaran saja di daerah pegunungan Cemara itu, tidak berani Iangsung menemui keluarganya. Dia mencari kesempatan kalau-kalau dapat melihat ibunya seorang diri meninggalkan puncak.

Hanya kepada ibunya saja dia akan mampu berhadapan. Ibunya amat mencintanya dan tentu dapat memaafkannya. Akan tetapi ditunggu sampai sepekan, tidak tampak ibunya menuruni puncak atau keluar dari pondok.

Selagi Tin Han kesal menunggu, tiba-tiba pada saat pagi dia melihat serombongan orang menunggang kuda mendaki bukit itu. Ada orang-orang yang datang, jumlahnya ada enam orang. Cepat Tin Han bersembunyi dan mengintai, untuk melihat siapa yang datang mendaki bukit Cemara.

Setelah mereka tiba dekat, dia mengenal beberapa orang di antara mereka, yaitu orang-orang yang baru-baru ini menyerbu rumah Song Thian Lee. Mereka adalah Thian-te Mo-ong, Hek-bin Mo- ko, Sin-ciang Mo-kai, Yauw Seng Kun, Ma Huan dan ditambah seorang kakek lagi yang tidak dikenalnya. Kakek ini tampak gagah perkasa, tinggi besar bermuka merah dan dia memegang sebatang dayung baja.

Melihat wajah dan senjata itu, teringatlah Tin Han akan cerita neneknya. Neneknya seringkali bercerita kepadanya tentang para datuk persilatan di dunia kang-ouw dan melihat wajah dan perawakan kakek itu, juga melihat senjatanya, dia menduga bahwa tentu kakek ini yang berjuluk Tung-hai-ong (Raja Lautan Timur), datuk wilayah timur yang bernama Siang Koan Bhok dan menjadi majikan Pulau Naga!

Dia pernah mendengar neneknya bercerita bahwa di antara Empat Datuk Besar di empat penjuru, kepandaian Siang Koan Bhok inilah yang paling tinggi. Jantung Tin Han berdebar tegang. Tidak salah lagi, mereka ini tentu akan melaksanakan rencana mereka untuk membasmi Keluarga Cia seperti yang diperintahkan oleh panglima yang bersekongkol dengan Thian-te Mo-ong itu.

Keparat, pikirnya. Kalian tidak akan dapat membasmi Keluarga Cia selama aku masih hidup! Akan tetapi dia menahan kesabarannya dan hendak melihat dulu apa yang akan terjadi. Dia lalu tersembunyi di balik semak belukar dan mengintai.

Enam orang itu telah tiba di depan tiga pondok yang berdiri berjajar. Mereka turun dari atas kuda mereka dan mengikatkan kuda-kuda itu di batang pohon, lalu Thian-te Mo-ong dengan suara lantang berteriak, "Haiiii, Keluarga Cia, keluarlah kami hendak bicara!"

"Thian-te Mo-ong, mau apa engkau di sini?" terdengar bentakan dari dalam pondok di tengah dan muncullah Nenek Cia yang memegang tongkat kepala naganya. Ia memandang kepada Thian-te Mo-ong dengan alis berkerut ketika melihat bahwa Thian-te Mo-ong datang bersama banyak orang.

Mendengar teriakan Thian-te Mo-ong tadi, kini bermunculanlah Cia Kim dan isterinya, Cia Tin Siong dan kedua saudara Cia Hok dan Cia Bhok. Lengkaplah Keluarga Cia kini berada di depan pondok menyambut kedatangan enam orang itu. Jumlah pihak tuan rumah juga ada enam orang dan agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh Thian-te Mo-ong maka diapun datang berenam untuk mengimbangi pihak keluarga Cia.

"Nenek Cia, kebetulan sekali keluargamu lengkap, atau masih kurang seorang lagi? Ah, cucumu yang seorang lagi itu tidak masuk hitungan, bukan?"

"Katakan apa keperluanmu datang berkunjung ke tempat tinggal kami?" kata pula Nenek Cia dengan ketus. Ia tahu orang macam apa adanya Thian-te Mo-ong, maka baru bertemu saja ia sudah merasa tidak senang, akan tetapi diam-diam ia juga terkejut melihat Siang Koan Bhok datang bersama Thian te Mo-ong.

"Keluarga Cia sejak dahulu terkenal sebagai orang-orang yang membenci pemerintah Kerajaan Ceng. Akan tetapi kalian lihat sendiri betapa bodohnya memusuhi Kerajaan yang amat kuat. Kini ternyata Kerajaan Ceng mengulurkan tangan persahabatan kepada kalian, maukah kalian menerimanya?"

"Apa? Jadi engkau sekarang sudah menjadi anjing peliharaan Mancu, Thia-te Mo-ong? Engkau membujuk kami untuk bersahabat dengan penjajah Mancu? Tidak sudi! Katakan kepada majikanmu di kota raja bahwa selama kami masih bernapas, kami akan selalu menentang dan memusuhi penjajah Mancu!"

"Ha-ha-ha, sudah kuduga engkau nenek kepala batu akan menjawab begitu. Apa engkau tidak takut terhadap kekuatan kami? Kami diberi wewenang untuk membasmi keluarga Cia kalau kalian membangkang!"

"Jahanam busuk! Kalian akan mengerahkan tenaga pasukan Mancu. Biar ada seribu orang dari mereka, kami tidak takut dan tidak akan mundur!"

"Nenek sombong! Kami tidak perlu menggunakan tenaga pasukan untuk membasmi kalian. Kita boleh bertanding dengan adil dan jujur, satu lawan satu! Siapa di antara kalian yang menjadi jagoan pertama, silakan maju, akan kami lawan dengan seorang di antara kami."

Cia Tin Siong, Cia Hok dan Cia Bhok melangkah maju, akan tetapi Nenek Cia membentak. "Mundur kalian! Aku sendiri yang akan maju lebih dulu!"

Nenek Cia melompat ke depan dan memalangkan tongkat nya di depan dada, lalu menghardik kepada Thian-te Mo-ong. "Nah, aku yang maju. Kalian maju satu demi satu atau semua, aku tidak akan mundur!"

"Nenek sombong! Akulah lawanmu dan dayungku akan melumatkan kepalamu yang keras itu!" Siang Koan Bhok membentak dan diapun melompat maju sambil memutar dayungnya.

Hal ini memang sudah diatur oleh Thian-te Moong yang sudah mengetahui tingkat kepandaian Keluarga Cia. Yang paling lihai adalah Nenek Cia maka sebelumnya dia sudah mengatur agar Siang Koan Bhok yang menghadapi nenek tangguh itu.

"Bagus, Siang Koan Bhok, aku tidak takut kepadamu!" bentak Nenek Cia dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, tongkat naganya diputar cepat dan dia menyerang dengan dahsyatnya.

"Trangg! Trakk!"

Dayung menangkis bertemu dengan tongkat naga dan nenek itu terhuyung ke belakang sedangkan Siang Koan Bhok hanya mundur dua langkah. Dari akibat pertemuan dua senjata ini saja sudah dapat dilihat bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Siang Koan Bhok masih menang setingkat.

Namun nenek itu memang seorang yang amat berani. Walaupun ia tahu pula bahwa tenaganya kalah kuat, namun ia menyerang lagi dengan hebatnya. Tongkatnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan angin pukulan yang mengeluarkan bunyi berciutan.

Akan tetapi Siang Koan Bhok yang tidak berani memandang rendah kepada nenek itu dan diapun mengimbangi dengan permainan keras, mengandalkan tenaga sin-kangnya yang memang lebih kuat.

Pertandingan itu berlangsung seru dan dahsyat sekali. Angin pukulan tongkat dan dayung baja itu terasa oleh semua yang hadir di situ, terasa menyambarnyambar.

Tin Han yang menonton dari tempat sembunyinya, mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa neneknya kalah tenaga dan mulailah neneknya itu terdesak. Gerakan tongkatnya tidak setangkas tadi. Setelah bertandingan selama seratus jurus lebih, neneknya yang seringkali tergetar ketika senjatanya bertemu dengan senjata lawan itu mulai kehabisan tenaga.

Kekhawatiran Tin Han segera terbukti. Ketika itu, Nenek Cia mengerahkan seluruh tenaganya menghantamkan tongkat naganya, agaknya dengan nekat hendak mengadu tenaga. Tongkatnya menyambar seperti seekor naga yang menyerang.

Dan melihat ini, Siang Koan Bhok juga mengerahkan tenaga pada dayung bajanya, menyambut hantaman itu dengan tangkisan yang amat kuat. Tak dapat dicegah lagi, adu tenaga melalui senjata itupun terjadilah. Dua senjata panjang itu bertemu di udara.

"Darrr....!!" Terdengar seperti ledakan ketika dua buah senjata itu bertemu di udara.

Siang Koan Bhok terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi Nenek Cia terhuyung-huyung dan tongkatnya hampir terlepas dari pegangannya. Pada saat ia kehilangan tenaga dan keseimbangannya itu, mulutnya juga mengeluarkan darah segar tanda bahwa nenek ini telah menderita luka dalam yang parah.

Siang Koan Bhok masih mengayun dayung bajanya, mengirim hantaman ke arah kepala Nenek Cia. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi hendak melumatkan kepala nenek itu dengan dayung bajanya.

Pada saat itu tampak sesosok bayangan menyambar dan dayung baja yang sudah menyambar itu tertahan di udara. Siang Koan Bhok terkejut sekali dan menarik kembali dayungnya. Pada saat itu, Tin Han sudah menyambar tubuh neneknya yang terhuyung sehingga tidak sampai terjatuh.

"Nek, bagaimana keadaanmu nek?" tanya Tin Han dan segera dia memegang nadi tangan neneknya. Nadinya berdenyut lemah sekali dan Nenek Cia hanya menggeleng kepalanya, lalu melepaskan diri dari rangkulan Tin Han, duduk bersila mengatur pernapasan.

Thian-te Mo-ong segera melangkah maju dan dengan gembira dia berkata lantang. "Nah, Keluarga Cia, pihakmu telah kalah. Apakah ada lagi yang berani mencoba-coba untuk maju?"

Sebelum lain orang menjawab, Tin Han sudah melompat berdiri dan dia yang menghadapi Thian-te Mo-ong sambil berkata, "Akulah yang maju mewakili Keluarga Cia!"

Melihat pemuda itu, Thian-te Moong berkata, "Siapakah engkau, orang muda?"

"Aku bernama Tin Han, cucu dari Nenek Cia."

Melihat Tin Han yang mereka kira telah tewas itu maju, Cia Kun cepat berkata, "Tin Han, jangan sembrono. Biarkan aku yang maju!" bentaknya.

Tin Han menghibur ayahnya, "Ayah, kalau Nenek saja kalah, apakah ayah kira mampu menandingi Siang Koan Bhok? Biarkan aku yang maju untuk mencoba-coba, hitung-hitung aku menebus dosa dan kalau aku kalah olehnya, barulah ayah yang maju sendiri," kata-kata Tin Han ini terdengar demikian meyakinkan.

Diam-diam Cia Kun, ayahnya berpikir. Mereka semua telah tahu bahwa Tin Han ternyata Si Kedok Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapa tahu pemuda itu benar-benar akan dapat menandingi Siang Koan Bhok! Maka dia mengangguk lalu mundur. Ketika Cia Tin Siong hendak maju melarang adiknya, Cia Kun memberi isyarat agar Tin Siong membiarkan Tin Han main lebih dulu.

Akan tetapi Thian-te Mo-ong tertawa bergelak. Kini dia tahu bahwa Tin Han adalah seorang cucu lain dari Nenek Cia yang dikabarkan tidak memiliki ilmu silat, melainkan hanya pandai sastra, maka dia mengambil keuntungan ini dan berkata, "Saudara Siang Koan Bhok telah menangkan pertandingan, harap beristirahat dulu. Biarkan aku sendiri yang akan menghadapi pemuda ini!"

Berkata demikian, Thian-te Mo-ong melangkah maju menghadapi Tin Han tanpa mencabut sepasang pedangnya. Jelas bahwa dia memandang ringan lawannya. "Cia Tin Han, engkau boleh maju menyerangku!" tantangnya.

Tin Han juga bertangan kosong. Dia masih menyimpan pedang Pek-kong-kiam di buntalannya. Buntalan pakaian itu kini dia gantungkan pada sebatang cabang pohon yang tumbuh di situ, lalu dengan tangan kosong dia menghadapi lawannya.

Ibunya, Nyonya Cia Kun, memandang dengan penuh kekhawatiran dan tiba-tiba is berkata, "Tin Han, pergunakanlah pedangku ini!"

Akan tetapi Tin Han menoleh kepadanya dan berkata, "Tidak usah, ibu. Melawan kakek tua ini tidak perlu aku menggunakan pedang. Kedua tangan dan kakiku juga sudah cukup!"

Ibunya mengerutkan alisnya mendengar ini dan menganggap ucapan puteranya yang kedua itu sebagai gertak sambal belaka dan ia menjadi amat khawatir. Ia tahu bahwa ilmu kepandaian Thian-te Mo-ong amat tinggi, mungkin setingkat dengan kepandaian suaminya.

Bagaimana kini puteranya yang biasanya lembut dan tidak pandai berkelahi itu berani memandang rendah kepada kakek itu? Akan tetapi karena Tin Han menolak dipinjami pedang, iapun tidak dapat memaksa, hanya menonton dengan hati terguncang dan tegang.

Thian-te Mo-ong yang juga mendengar kata-kata Tin Han itu menjadi merah mukanya. Pemuda itu berani memandang rendah kepadanya! Kalau tadinya dia hanya ingin mengalahkan Tin Han, kini timbul keinginannya untuk membunuh pemuda sombong itu.

"Cia Tin Han, jangan banyak bicara. Cepat serang aku!" tantangnya.

"Baik, aku akan menyerangmu dengan pukulan tangan kanan lalu dilanjutkan tamparan tangan kiri. Awas serangan!"

Mana ada orang hendak menyerang memberitahu lebih dulu dengan serangan bagaimana dia akan melakukannya? Dan benar saja, tangan kanannya menyambar dan memukul ke arah dada Thian-te Mo-ong dan ketika kakek itu mengelak, disusul tamparan tangan kirinya menyambar ke arah muka Thian-te Mo-ong.

Dan gerakan tangan kiri yang menampar itu sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat dielakkan lagi oleh kakek itu yang terpaksa menangkis dengan tangan kanannya.

"Dukk...!" Tangkisan itu dilakukan dengan kuatnya akan tetapi akibatnya, Thian-te Mo-ong terhuyung ke belakang!

Bukan main kagetnya kakek ini karena dari pertemuan tangan itu dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuatnya. Thian-te Mo-ong menjadi marah sekali dan dia segera mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menyerang dengan ilmu Pek-swat Tok-ciang (Tangan Beracun Salju Putih) yang amat ampuh itu.

Pukulan ini selain mendatangkan hawa dingin yang amat kuat, juga mengandung racun dan siapa terkena pukulan ini tentu akan keracunan dan darahnya dapat menjadi beku karena kedinginan...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.