Rajawali Hitam Jilid 08

Baca novel silat karya Kho Ping Hoo serial gelang kemala seri ketiga, rajawali hitam jilid 08

Rajawali Hitam Jilid 08

Baru saja sampai di situ dia bicara, keadaan menjadi riuh kembali berbagai tanggapan dilontarkan oleh para pengemis. Sin-ciang Mo-kao mengangkat tangan kanan ke atas memberi isyarat agar semua orang diam. Setelah keadaan menjadi tenang kembali, dia melanjutkan kata-katanya.

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

"Harap jangan memberikan tanggapan dan dengarkan dulu kata-kataku sampai habis! Saudara-saudara sekalian hidup sebagai pengemis, dipandang rendah dan dihina oleh banyak orang, dan kadang dikejar-kejar seperti penjahat. Mengapa saudara sekalian tidak mau mengubah keadaan itu? Kini tiba saatnya untuk mengubah keadaan seperti itu.

"Kalau saudara mau bekerja sama dengan pemerintah, saudara akan dilindungi. Para pejabat akan berbaik hati terhadap saudara dan tidak ada orang berani memandang rendah kaum pengemis! Semua itu diberikan kepada saudara sehingga kalau saudara meminta sumbangan, tidak ada lagi yang berani menghina atau menolak.

"Dan apakah yang saudara-saudara harus lakukan? Bersama pemerintah membasmi para pemberontak! Saudara tinggal pilih. Tidak mau bekerja sama dengan pemerintah berarti mendukung pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah, atau mendukung pemerintah membasmi pemberontak yang hanya mendatangkan kekacauan.

"Apa lagi sebagai orang-orang kang-ouw, saudara patut tunduk kepada Beng-cu kita, dan Beng-cu kita yang minta kepada saudara sekalian untuk membantu pemerintah dan menentang kaum pendekar dan patriot yang memberontak terhadap pemerintah yang sah!"

Semua orang terdiam mendengarkan ucapan itu. Mereka membayangkan betapa akan susahnya hidup mereka kalau dimusuhi pemerintah. Pasukan pemerintah akan menangkapi dan mengejar mereka sebagai anggauta pemberontak! Sebaliknya, kalau mereka diakui oleh para pejabat sebagai sekutu, tentu mereka tidak akan dimusuhi, bahkan dilindungi dan siapa yang berani menentang mereka?

Akan tetapi, di antara mereka, terutama para ketuanya, banyak yang ragu-ragu. Bagaimana mereka harus memusuhi para pendekar? Terutama para ketua yang berpendirian bersih, yang pantang melakukan kejahatan, mereka sangsi apakah benar kalau mereka membantu pemerintah membasmi para pendekar!

"Saudara sekalian! Akupun seorang pengemis! Maka, aku hendak mempergunakan kesempatan selagi kita berkumpul ini untuk mengangkat diriku sebagai pimpinan para pengemis! Biarlah aku yang bertanggung jawab dan aku yang membimbing kalian untuk bekerja sama dengan pemerintah."

Lee Cin yang mendengarkan ucapan Sin-ciang Mo-kai menjadi terkejut sekali. Kiranya Ouw Kwan Lok yang telah merebut kedudukan Beng-cu kini bekerja sama dengan pemerintah Mancu. Dan Ouw Kwan Lok agaknya hendak mengumpulkan semua tenaga di dunia kang-ouw, baik dari golongan bersih maupun kotor, untuk bersama-sama menjadi sekutu pemerintah.

Hal ini amat berbahaya bagi para pendekar dan patriot kalau usaha itu berhasil. Ia sendiri tahu betapa besarnya kekuatan para perkumpulan pengemis itu kalau dikumpulkan dan dapat dipersatukan. Tentu akan menjadi kekuatan yang dahsyat yang terdapat di mana-mana. Agaknya pemerintah Mancu telah berhasil membujuk Beng-cu Ouw Kwan Lok untuk menjadi antek mereka dan tentu sudah banyak tokoh sesat di kang-ouw yang menjadi anak buahnya.

Ayahnya sendiri ketika menjadi beng-cu, berdiri bebas, tidak menjadi antek Mancu, juga tidak menggerakkan dunia kang-ouw untuk memberontak terhadap pemerintah. Sekarang ketahuanlah mengapa Ouw Kwan Lok bersikeras untuk mengambil kedudukan beng-cu.

Sekarang, kaum sesat, telah berbalik pendirian. Kalau dulu bersekongkol dengan pemberontak, kini sebaliknya malah menjadi antek pemerintah Mancu. Ia harus memberitahu kepada Song Thian Lee akan hal ini. Kalau kaum sesat bekerja sama dengan pemerintah, sama saja dengan menarik Song Thian Lee menjadi sekutu pula.

Lee Cin mengerutkan alisnya. Merupakan ganjalan dalam hatinya melihat kenyataan bahwa Thian Lee menjadi panglima. Sungguh suatu kedudukan yang sama sekali tidak cocok dengan watak dan pendirian Thian Lee. Ia mengenal Thian Lee sebagai seorang pendekar, akan tetapi kedudukannya sebagai panglima menaruh dia di tempat yang lain bahkan yang berlawanan.

Seperti keadaannya sekarang ini, kalau Thian Lee tetap menjadi panglima, berarti dia harus bekerja sama dengan golongan sesat dan harus memusuhi para pendekar dan patriot! Tidak, ini tidak benar dan ia harus memberitahu kepada Thian Lee tentang pertemuan para pengemis ini.

Ucapan Sin-ciang Mo-kai yang mengangkat diri sendiri menjadi pimpinan kaum pengemis ini mendapat tanggapan bermacam-macam. Akan tetapi para ketua kai-pang banyak yang tidak setuju. Ketua Hwa I Kai-pang yang berpakaian berkembang-kembang itu segera berdiri dari bangkunya dan berkata dengan suara lantang.

"Kami dari Hwa I Kai-pang selamanya bekerja bebas dan tidak mengakui pimpinan orang lain kecuali ketuanya. Kami seluruh kaipang pernah mengakui Pek I Lo-kai sebagai sesepuh, akan tetapi setelah bertahun-tahun dia tidak pernah muncul, kami tidak mempunyai sesepuh lagi dan tidak ingin mengangkat sesepuh baru."

"Hemm, aku ingin bertanya. Mengapa dulu kalian mau mengangkat Pek I Lo-kai sebagai sesepuh?"

"Karena ilmu kepandaiannya yang tinggi dan dia patut menjadi pemimpin dan sesepuh kami seluruh kai-pang!" jawab Hwa I Kai-pangcu.

"Apakah kalian tidak percaya akan ilmu kepandaian kami? Kalau ada yang meragukan kepandaianku, silakan maju dan kita main-main sebentar!"

Mendengar ucapan yang nadanya menantang itu, Hwa I Kai-pangcu lain melompat ke depan sambil membawa tongkatnya yang terbuat dari pada bambu. "Biarlah kucoba-coba sebentar!" katanya, tidak berani berlagak, hanya sebagai jawaban atas tantangan itu karena diapun sudah mendengar akan nama besar Sin-ciang Mo-kai sebagai seorang tokoh pengemis tunggal yang amat lihai.

"Baik! Akupun sudah mendengar bahwa ilmu tongkat ketua Hwa I Kai-pang sudah mencapai tingkat tinggi!" kata Sin-ciang Mo-kai sambil melintangkan tongkatnya yang beracun itu di depan, dada. "Silakan mulai, Hwa I Kaipangcu!”

Ketua Hwa I Kai-pang juga tidak berlaku sungkan lagi, segera menggerakkan bambunya dan menotok ke arah dada dan perut lawan. Sin-ciang Mo-kai cepat menangkis dengan tongkatnya dan ketika dua tongkat bertemu, keduanya merasa tangannya gemetar. Sin-ciang Mo-kai menerjang ke depan dan selagi tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan, tangan kirinya juga menyambar dan menghantam ke arah dada.

Hwa I Kai-pangcu cepat mengelak dan melintangkan tongkatnya ke depan dada untuk menangkis pukulan ke arah dadanya itu. Sin-ciang Mo-kai cepat menarik kembali tangan kirinya dan kini dialah yang diserang oleh totokan tongkat bambu. Kembali dia menangkis dan mereka sudah saling serang dengan hebat.

Ilmu tongkat ketua Hwa I Kai-pang cukup hebat, gerakannya cepat dan tenaganya juga besar. Namun dia bertanding dengan Sin-ciang Mo-kai yang bukan saja lihai ilmu tongkatnya, akan tetapi juga memiliki pukulan tangan yang ampuh sehingga dia dijuluki "Sin-ciang (Tangan Sakti).

Setelah pertandingan berlangsung limapuluh jurus, mulailah ketua Hwa I Kai-pang terdesak karena lawannya selalu menyusul serangan pukulan tangan kiri setiap kali tongkat mereka bertemu.

"Haittt...!” Tongkat Hwa I Kai-pang menyambar lagi, kini menghantam ke arah kepala Sin-ciang Mo-kai. Pengemis berbaju kembang-kembang mewah ini menangkis dengan tongkatnya dan kembali tangan kirinya memukul dengan dorongan kuat. Ketua Hwa I Kai-pang menangkis dengan dorongan tangan kanan untuk mengadu tenaga.

"Dess...!" Ketika dua tangan bertemu tubuh ketua Hwa I Kai-pang terpental ke belakang dan jatuh terjengkang. Dia bangkit duduk dengan napas terengah-engah, lalu dipapah oleh anak buahnya sehingga dia mampu berdiri lagi. Dia memandang kepada Sin-ciang Mo-kai dengan mata mengandung penasaran.

"Nah, bagaimana, Hwa I Kai-pangcu? Apakah engkau menganggap aku cukup lihai untuk menjadi sesepuh semua kai-pang?"

"Kepandaianmu memang tinggi, Sin ciang Mo-kai, akan tetapi...“

""Akan tetapi apa? Apakah masih ada yang menyangsikan kemampuanku sebagai pimpinan kalian? Kalau masih ada, silakan maju!"

Tiba-tiba terdengar suara orang, "Sungguh menggelikan. Sin-ciang Mo-kai bicara besar untuk mempengaruhi para kai-pangcu!" Tiba-tiba dari luar masuklah seorang pengemis yang usianya tentu sudah mendekati tujuh puluh tahun.

Kakek yang bertubuh tinggi kurus, rambutnya sudah putih semua dan bajunya penuh tambalan dari kain putih seperti orang berkabung dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu butut. Melihat kakek pengemis berpakaian putih itu, ketua Hwa I Kai-pang berseru girang.

"Lo-cianpwe Pek I Lo-kai!" katanya dan segera dia menjatuhkan diri berlutut. Juga para ketua kai-pang yang lain cepat memberi hormat kepada Pek I Lokai (Pengemis Tua Berbaju Putih) karena kakek itu dahulu dianggap sebagai sesepuh kaum kai-pang!

Lee Cin mengintai dari tempat sembunyinya. Ia pun pernah mendengar akan nama julukan Pek I Lo-kai itu sebagai tokoh besar kaum pengemis yang tergolong bersih. Pasti akan terjadi bentrokan yang seru, pikirnya, mengingat betapa kedatangan Sin-ciang Mo-kai bermaksud mengajak para pengemis untuk menjadi antek pemerintah penjajah.

Sementara itu, ketika Sin-ciang Mo-kai mendengar ucapan Pek I Lo-kai, dia mengerutkan alisnya dan melangkah maju menyambut Pek I Lo-kai yang memasuki lapangan. "Hemm, kiranya engkau yang berjuluk Pek I Lo-kai? Aku memang sedang membujuk para kai-pangcu untuk bekerja sama dengan pemerintah menentang kaum pemberontak. Apakah ini kau anggap keliru?"

"Sin-ciang Mo-kai, sejak kapan engkau menjadi antek pemerintah penjajah? Kalau engkau menjadi antek penjajah, itu hakmu, akan tetapi jangan membujuk para kai-pangcu untuk mengikuti jejakmu. Para kai-pang adalah perkumpulan pengemis yang kerjanya hanya minta sedekah dari orang-orang budiman, dan di samping itu menentang kejahatan. Demikian aku selalu menganjurkan. Sebagai sesepuh kai-pang aku tidak setuju kalau mereka hendak menjadi antek penjajah Mancu."

"Pek I Lo-kai, kalau begitu engkau juga berjiwa pemberontak!" seru Sinciang Mo-kai marah.

"Aku bukan pemberontak, akan tetapi itu tidak berarti bahwa aku membantu pemerintah penjajah."

Dua orang yang berpakaian perwira kerajaan melompat ke depan menghadapi Pek I Lo-kai dan seorang di antara mereka menuding dengan telunjuknya. "Orang tua, kalau engkau melarang orang untuk membantu pemerintah, itu menunjukkan bahwa engkau seorang yang berjiwa pemberontak! Kami sebagai perwira perwira kerajaan berkewajiban untuk menangkap orang sepertimu." Dua orang perwira itu sudah mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.

"Hemm, kalian dapat saja menuduh aku pemberontak, akan tetapi mana buktinya? Aku tidak melakukan sesuatu yang sifatnya memberontak, aku hanya tidak ingin melihat para kai-pang dibujuk untuk memusuhi para pendekar."

"Itu artinya sudah memberontak! Hayo menyerah menjadi tawanan kami atau terpaksa kami mempergunakan kekerasan untuk menangkapmu!"

"Aku tidak bersalah apa-apa, tidak sudi aku menyerah, dan silakan menangkap aku kalau kalian mampu!" tantang Pek I Lo-kai sambil tersenyum.

Para ketua kai-pang tidak ada yang berani mencampuri. Bagaimanapun juga, dua orang itu adalah perwira kerajaan, kalau mereka memihak Pek I Lo-kai, tentu mereka akan dianggap pemberontak dan dimusuhi oleh pemerintah. Kalau sudah dimusuhi pemerintah, tentu mereka akan celaka dan tidak mempunyai tempat untuk berpijak lagi, ke mana-mana akan dikejar-kejar pasukan pemerintah. Maka, biarpun di dalam hati mereka berpihak kepada Pek I Lo-kai, mereka tidak berani menyatakan dengan terang terangan, dan hanya menonton saja.

"Bagus, kalau begitu terpaksa kami harus membunuhmu, pemberontak!" Dua orang perwira itu menggerakkan pedang mereka dan menyerang dengan ganas. Ternyata mereka adalah orang-orang yang pandai memainkan pedang dan serangan mereka cukup dahsyat.

Akan tetapi, dengan gerakan cepat dan tenang, Pek I Lokai sudah dapat mengelak dari serangan mereka. Dua orang perwira itu menjadi semakin penasaran dan mereka berdua mendesak maju, mengirim serangan beruntun dengan pedang mereka.

Pek I Lo-kai meloncat ke belakang dan ketika dua orang itu mengejar dengan serangan pedang berikutnya, dia mulai menggerakkan tongkat bambunya untuk menangkis.

"Trang-trangg.....!"

Dua batang pedang itu tertangkis tongkat dan akibatnya, dua orang perwira itu terhuyung ke belakang. Melihat ini, Sin-ciang Mo-kai melompat ke depan setelah memberi isyarat kepada rombongan dan menggerakkan tongkatnya mengeroyok Pek I Lo-kai. Delapan orang anggauta rombongannya juga sudah bangkit berdiri dan meloloskan senjata masing-masing.

Mereka adalah para tokoh sesat di dunia kang-ouw yang sudah dapat terbujuk untuk membantu gerakan Ouw-bengcu yang mengumpulkan mereka untuk membantu pemerintah Mancu. Pek I Lo-kai yang sudah mulai mendesak dua orang perwira itu, kini dikeroyok oleh sebelas orang yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tangguh.

Para ketua kai-pang hanya menonton saja dengan muka berubah pucat. Biarpun dalam hati mereka condong memihak Pek I Lo kai, namun mereka tidak ada keberanian untuk menentang mereka yang berpihak pemerintah, khawatir kalau mereka akan dianggap pemberontak dan dimusuhi pemerintah.

Melihat betapa Pek I Lo-kai dikeroyok sebelas orang, Lee Cin tentu saja tidak membiarkan saja hal itu terjadi tanpa turun tangan. Ia merasa penasaran sekali melihat para ketua kai-pang yang tinggal diam sambil menonton sesepuh mereka dikeroyok. Dengan gemas Lee Cin lalu meloncat ke depan dan berseru dengan suara lantang.

"Hei para kai-pangcu! Apakah kalian telah menjadi begitu pengecut membiarkan yang jahat mengeroyok sesepuh kalian?"

"Kami... kami tidak ingin dianggap sebagai pemberontak!" kata ketua Hwa I Kai-pang dengan muka berubah merah. Para ketua lain juga mengangguk membenarkan ucapan ketua Hwa I Kai-pang.

"Kami tidak ingin terlibat.....” kata ketua Hwa I Kai-pang dan mereka semua segera menjauhkan diri, tidak ingin terlibat dalam perkelahian itu.

Lee Cin menjadi semakin gemas. Ia mencabut pedang Ang-coa-kiam dari lilitan di pinggangnya dan melompat ke dalam pertempuran sambil berseru, "Lo-cianpwe Pek I Lokai, aku datang membantumu!" Dan pedangnya lalu menerjang Sin-ciang Mo-kai yang merupakan pengeroyok paling berbahaya bagi Pek I Lo-kai.

Melihat sinar pedang putih yang menyilaukan mata menyambar ke arahnya, Sin-ciang Mo-kai menjadi terkejut sekali dan cepat dia membuang dirinya ke belakang sambil memutar tongkatnya melindungi tubuhnya. Pedang itu menyambar bagaikan kilat saja. Ketika Sin-ciang Mo-kai yang baru saja lolos dari serangan hebat itu bangkit berdiri, pedang itu sudah menyambar lagi dan cepat Sin-ciang Mo-kai menangkis dengan tongkatnya.

"Trangg....!" Tongkat itu hampir terlepas dari pegangan tangan Sin-ciang Mo-kai. Dia menjadi semakin terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai dan ketika dia memperhatikan teringatlah dia bahwa gadis ini adalah gadis lihai yang dulu bersama Song Thian Lee pernah dia keroyok bersama rekan-rekannya di timur.

Maka dia tahu bahwa dia bukan lawan gadis itu dan dia segera berseru kepada kawan-kawannya untuk membantunya. Para pengeroyok Pek I Lo-kai terkejut dan sebagian dari mereka meninggalkan kakek pengemis baju putih itu untuk mengeroyok Lee Cin.

"Nona yang baik, jangan sembarangan membunuh orang!" Pek I Lo-kai berseru kepada Lee Cin ketika melihat betapa ganasnya pedang Lee Cin menyambar-nyambar.

Lee Cin cemberut. Kakek itu dikeroyok orang-orang secara curang dan kini malah melarangnya membunuh para pengeroyok! Sama seperti pendirian ayahnya yang tidak memperbolehkan ia mudah membunuh orang! Maka iapun mengubah gerakan pedangnya dan kini ia hanya ingin merobohkan mereka tanpa membunuh.

Sementara itu, sebenarnya Pek I Lo-kai tidak membutuhkan bantuan Lee Cin. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi kakek itu akan mampu mengalahkan semua pengeroyoknya. Kini, setelah sebagian pengeroyoknya meninggalkannya, lebih mudah baginya untuk mengalahkan para pengeroyok yang hanya tinggal lima orang itu. Berturut-turut mereka itu roboh berpelantingan terkena tendangan atau hantaman tongkat bambu Pek I Lo-kai.

Demikian pula Lee Cin, dengan ilmu pedangnya yang hebat, ia telah membuntungi senjata-senjata para pengeroyoknya, bahkan ia berhasil menendang Sin-ciang Mo-kai sehingga roboh terguling-guling. Namun Sin-ciang Mo-kai tidak terluka parah dan setelah melompat berdiri, dia lalu berseru kepada kawan-kawannya untuk lari meninggalkan gelanggang perkelahian. Sebelas orang itu lalu melarikan diri, ada yang terpincang-pincang dan ada yang saling papah. Pek I Lo-kai dan Lee Cin tidak melakukan pengejaran.

"Ha-ha-ha, nona yang lihai! Engkau mengingatkan aku akan muridku Tang Cin Lan!"

Lee Cin terbelalak. Jadi inikah guru Cin Lan? "Lo-cianpwe, kebetulan sekali aku mengenal baik enci Tang Cin Lan. Ia kini telah menjadi isteri Panglima Song Thian Lee."

"Bagus, siapakah namamu, nona?"

"Namaku Souw Lee Cin, lo-cianpwe."

"She Souw? Masih adakah hubunganmu dengan Beng-cu Souw Tek Bun?"

"Dia adalah ayahku, lo-cianpwe, akan tetapi sekarang dia bukan beng-cu lagi."

"Aku sudah mendengar bahwa ayahmu telah mengundurkan diri. Sayang ketika itu aku tidak sempat datang ke Hong-san."

"Lo-cian-pwe, para ketua kai-pang ini sungguh menjemukan. Melihat lo-cianpwe dikeroyok, mereka hanya menjadi penonton saja. Bukankah lo-cian-pwe menjadi sesepuh mereka?"

Pek I Lo-kai menghela napas panjang dan memandang kepada para pengemis yang menjauhkan diri karena tidak mau terlibat. "Jangan salahkan mereka. Mereka tentu takut melawan orang-orangnya pemerintah. Kalau pemerintah sudah memusuhi para pengemis, akan celakalah mereka, di mana-mana mereka akan ditangkap dan dikejar. Mereka tidak seharusnya membantu pemerintah, akan tetapi juga tidak perlu memusuhi pemerintah. Mereka harus berdiri bebas dan bekerja mengumpulkan sumbangan sehari-hari untuk keperluan hidup mereka."

Pada saat itu, para ketua kai-pang berdatangan memberi hormat kepada Pek I Lo-kai. Mereka merasa bersalah dan malu. "Mohon pengertian dan maaf lo-cianpwe bahwa kami para ketua kai-pang tidak berani membantu melihat lo-cianpwe dikeroyok mereka," kata ketua Hek I Kai-pang.

Pek I Lo-kai tersenyum dan mengangguk-angguk. "Aku sudah mengerti. Memang tidak perlu kalian dianggap musuh oleh pemerintah, akan tetapi kuperingatkan kalian semua, jangan sekali-kali mau diperalat pemerintah untuk memusuhi para pendekar dan patriot."

"Kami mengerti, lo-cianpwe."

"Sudahlah, sekarang kalian boleh pergi, pulang ke tempat masing-masing dan bekerjalah seperti biasa. Kami berdua pun harus pergi dari sini. Mari, Nona Souw, kita bicara di tempat lain!" Kakek itu lalu meloncat dan pergi dari situ.

Melihat kakek itu mempergunakan gin-kangnya, Lee Cin juga berkelebat lenyap dari situ, mengagumkan para ketua kai-pang yang kemudian memimpin anak buah masing-masing untuk meninggalkan hutan itu.

Setelah mengerahkan ilmunya berlari cepat, barulah Lee Cin dapat menyusul kakek itu. Pek I Lo-kai memang sengaja hendak menguji kepandaian gadis itu dan melihat betapa gadis itu mampu menyusulnya, dia tertawa kagum dan berhenti berlari. Lee Cin juga berhenti.

"Hebat, ilmu kepandaianmu hebat, nona. Apakah engkau mendapatkan semua ilmu ini dari ayahmu Sin-kiam Hok-mo (Pedang Sakti Penaluk Iblis) Souw Tek Bun?"

"Dari ayahku, juga dari ibuku dan dari In Kong Thai-su."

"In Kong Thai-su ketua Siauw-limpai? Hebat sekali kalau engkau dapat mempelajari It-yang-ci darinya."

"Memang It-yang-ci yang telah diajarkan kepadaku, locian-pwe."

"Hebat! Dan siapa ibumu?"

"Ibuku pernah berjuluk Ang-tok Mo-li," kata Lee Cin agak ragu karena maklum bahwa nama julukan ibunya itu tidak terlalu harum, melainkan julukan seorang datuk sesat!

"Aha! Jadi Ang-tok Mo-li itu isteri Souw Tek Bun? Betapa anehnya dunia kang-ouw."

"Akan tetapi sekarang ayah dan ibuku telah hidup bersama di Hong-san. Lo-cianpwe, sekarang kaum pendekar dan patriot terancam bahaya besar. Agaknya beng-cu yang sekarang, Ouw Kwan Lok itu, telah menjadi antek pemerintah Mancu dan melakukan gerakan baru. Mereka hendak menarik orang-orang kang-ouw untuk membantu pemerintah Mancu dan memusuhi para pendekar dan patriot! Sin-ciang Mo-kai tadipun merupakan orangnya Ouwbengcu. Kalau sampai semua kai-pang terpengaruh dan memusuhi para pendekar dan patriot, sungguh berbahaya, lo-cian-pwe."

Kakek itu mengelus jenggotnya dan menggeleng kepalanya. "Ahh, belum tiba saatnya untuk memberontak. Kerajaan Ceng terlampau kuat. Akan tetapi aku percaya bahwa orang-orang kang-ouw yang masih mempunyai perasaan mencinta tanah air, tidak akan sudi menjadi antek pemerintah penjajah. Yang dapat mereka tarik tentu hanya tokoh-tokoh kang-ouw yang sesat saja.

"Aku tidak dapat membayangkan bahwa para kaipang akan menjadi antek penjajah. Mungkin mereka pura-pura tunduk karena takut, akan tetapi jarang di antara mereka yang mau memusuhi para pendekar. Tentu saja ada kecualinya, yaitu kai-pang yang memang sudah menjadi golongan sesat."

"Aku juga prihatin memikirkan keadaan panglima Song Thian Lee dan isterinya, enci Tang Cin Lan. Kalau pemerintah merangkul golongan sesat memusuhi para pendekar patriot, berarti Panglima Song harus bekerja sama dengan golongan sesat dan memusuhi kaum pendekar."

"Ha-ha, apakah engkau belum mendengar, nona Souw? Song Thian Lee telah mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima dan dia bersama isteri dan puteranya telah meninggalkan kota raja dan tinggal di Tung-sin-bun."

"Ah, benarkah, lo-cianpwe? Ah, aku ikut gembira mendengar ini!"

"Akan tetapi, baru saja aku pergi ke sana untuk mengunjungi mereka dan mendengar bahwa mereka sekeluarga terpaksa melarikan diri setelah rumah mereka diserbu serombongan orang jahat. Menurut para tetangganya, mereka dituduh pemberontak dan didatangi pasukan untuk menangkap mereka. Song Thian Lee dan anak isterinya telah melarikan diri meninggalkan Tung-sinbun dan aku tidak tahu ke mana mereka pergi."

Pek I Lo-kai menghela napas panjang. "Sebetulnya, aku sudah merasa rindu kepada muridku Cin Lan. Kasihan sekali mereka, begitu Song Thian Lee mengundurkan diri sebagai panglima muda, langsung saja dia dicap pemberontak dan dikejar-kejar."

Lee Cin mengepal tinjunya. "Jahanam benar penjajah Mancu! Siapa yang tidak mau menjadi antek mereka, langsung saja disebut pemberontak! Kita harus hancurkan penjajah, lo-cianpwe.”

"Ho-ho, tidak begitu mudah, nona muda! Pemerintah memiliki pasukan yang besar dan kuat. Mempunyai panglima-panglima yang lihai, apa lagi dibantu oleh para tokoh sesat yang berilmu tinggi. Apa yang dapat kita lakukan? Sekarang belum tiba saatnya untuk memberontak.

"Kita harus bersatu padu menyusun kekuatan, terutama menggerakkan seluruh lapisan rakyat, baru kita mempunyai kekuatan dan kesempatan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah. Sekarang, untuk sementara ini, kita hanya dapat bertindak sebagai golongan pendekar, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah yang tertindas dan menentang si kuat yang menindas."

"Akan tetapi, penindasnya adalah para pembesar penjajah, lo-cianpwe."

“Pembesar bangsa Mancu atau bangsa Han, kalau dia menindas rakyat harus kita tentang, kita kaum pendekar berkewajiban untuk menentang si jahat siapapun dan dari golongan atau bangsa apapun mereka itu. Dan kita semua harus bersiap-siap untuk mendukung kalau waktunya tiba untuk mengadakan perjuangan melawan penjajah."

"Lo-cianpwe benar," kata Lee Cin yang kemudian teringat bahwa kakek ini agaknya mengerti akan apa yang terjadi di seluruh tanah air, lalu bertanya, "Bagaimana pendapat lo-cianpwe dengan para patriot seperti Keluarga Cia di kaki bukit Lo-sian itu? Atau lo-cianpwe tidak pernah mendengar tentang mereka?"

"Keluarga Cia? Ah, tentu saja aku pernah mendengar tentang mereka. Mereka adalah keluarga patriot, akan tetapi mereka itu melakukan perjuangan secara membuta, mau bersekutu dengan golongan sesat untuk memusuhi penjajah.

"Gerakan seperti itu adalah keliru, dan gerakan mereka yang bersekutu dengan pasukan pemberontak, golongan sesat dan para bajak laut Jepang telah menderita kegagalan dan kehancuran. Perjuangan seperti itu tidak akan dilakukan oleh para patriot sejati. Patriot sejati tidak akan mengotori perjuangan dengan hubungan persahabatan dengan para golongan sesat.

"Betapa banyaknya sekarang ini muncul perkumpulan-perkumpuIan pejuang seperti itu. Mereka merangkul tokoh-tokoh sesat yang lihai untuk memperkuat diri mereka. Mereka memang mengganggu pasukan pemerintah, akan tetapi mereka juga merampok dan melakukan kejahatan lain lagi. Mereka hanya mencemarkan perjuangan yang suci."

"Siapakah mereka, Lo-cian-pwe?"

"Yang aku ketahui hanya tiga yang terbesar, yaitu Thian-li-pang, Pek-lianpang dan Pat-kwa-pang. Karena sepak terjang mereka yang tidak pantang melakukan kejahatan, para pendekar juga menentang mereka. Mereka menutupi kejahatan mereka dengan kata perjuangan, mereka minta derma dengan paksa atas nama perjuangan. Pek-lian-pang bergerak di wilayah barat, Thian-lian-pang bergerak di wilayah Utara dan Pat-kwa-pang bergerak di wilayah selatan.

"Perkumpulan-perkumpulan seperti itu berjuang melawan pemerintah penjajah dengan tujuan mencari kemuliaan dan kedudukan untuk diri sendiri. Sedangkan para patriot sejati berjuang dengan satu tujuan, yaitu membebaskan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajahan, tanpa pamrih apapun untuk diri sendiri. Itulah bedanya."

Mendengar ucapan ini, Lee Cin teringat akan Cia Tin Han. Betapa sama pendapat Pek I Lo-kai ini dengan pendapat pemuda yang dicintanya itu. Tin Han adalah seorang patriot sejati! Jantungnya terasa pedih begitu ia teringat akan pemuda itu.

"Tahukah lo-cianpwe di mana adanya Keluarga Cia sekarang?" Tentu saja yang dimaksudkan Lee Cin adalah untuk mencari tahu di mana adanya Tin Han. sekarang.

"Aku tidak tahu, nona. Aku hanya mendengar setelah mereka yang bersekongkol dengan pasukan yang memberontak di timur digagalkan oleh Song Thian Lee, mereka menghilang dan tidak terdengar lagi beritanya. Dan sekarang, engkau hendak pergi ke manakah, Nona Souw?"

"Aku hendak melanjutkan perjalananku merantau, locian-pwe. Dan lo-cianpwe hendak ke manakah?"

"Aku akan mencari di mana adanya Song Thian Lee dan Tang Cin Lan."

"Kalau begitu, selamat jalan dan selamat berpisah, locian-pwe. Kalau bertemu dengan Lee-ko dan enci Cin Lan, sampaikan salamku kepada mereka."

"Selamat berpisah, nona Souw. Aku senang sekali dapat bertemu denganmu."

Mereka lalu berpisah dan Lee Cin kembali ke kota Liok-bun. Malam itu ia bermalam di rumah penginapan Hoktiam dan dapat tidur pulas karena ia merasa lelah sekali. Pada keesokan harinya, pagi-pagi Lee Cin sudah meninggalkan rumah penginapan Hok-tiam di kota Liok-bun dan ia melanjutkan perjalanannya ke timur.


Pada suatu hari, di luar sebuah dusun di lereng Bukit Awan, selagi Lee Cin berjalan seorang diri seenaknya di tempat yang sunyi itu, tiba-tiba dari belakang terdengar derap kaki kuda. Seorang penunggang kuda membalap di sebelahnya dan tiba-tiba penunggang kuda itu menahan kudanya dan dia menoleh, memandang kepada Lee Cin dengan pandang mata tajam penuh selidik.

Lee Cin balas memandang dengan penuh perhatian akan ia merasa tidak mengenal laki-laki itu. Dia seorang laki-laki yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, mengenakan pakaian berwarna serba hijau, bertubuh sedang dan berwajah tampan. Rambutnya yang di kuncir panjang melibat lehernya, membuat dia tampak lebih gagah lagi. Di punggungnya terselip sebatang tongkat bambu kuning.

Lee Cin tidak mengenal laki-laki ini dan ia mengerutkan alisnya ketika orang itu mengamatinya seperti itu. Sebelum ia menegur marah, laki-laki itu telah meloncat turun dari atas kudanya dan bertanya, suaranya lembut dan sopan,

"Maaf, nona. Apakah nona She Souw?"

"Benar, siapa engkau dan mengapa engkau bertanya demikian?"

Wajah laki-laki itu berubah berseri. "Kalau begitu, nona tentu bernama Souw Hiang, bukan?"

"Bukan, namaku Souw Lee Cin. Engkau siapakah?"

"Ah, maafkan aku kalau begitu aku salah sangka, nona. Wajah nona mirip nona Souw Hiang, maka aku bertanya padamu. Aku Yauw Seng Kun, tentu tidak nona kenal. Sekali lagi maafkan kekeliruanku, nona."

Laki-laki itu meloncat ke atas kudanya lagi dan membalapkan kudanya ke depan. Lee Cin tersenyum geli. Mengapa begitu kebetulan? Wajahnya mirip dan she-nya sama pula. Ia tahu bahwa banyak terdapat orang she Souw maka hal itu dianggapnya biasa saja dan ia sudah melupakan lagi laki-laki itu setelah kuda dan penunggangnya lenyap di sebuah tikungan.

Sama sekali ia tidak tahu bahwa baru saja ia bertemu dengan seorang musuh besar yang mengancam keselamatannya. Pemuda tadi adalah Yauw Seng Kun, pemuda yang ingin membalas dendam atas kematian gurunya, yaitu mendiang Jeng ciangkwi yang tewas di tangan Lee Cin.

Ketika melewati Lee Cin, dia teringat bahwa gadis itulah Lee Cin yang dicarinya maka dia menggunakan akal menanyakan she gadis itu. Begitu mengetahui bahwa gadis itu benar musuh besarnya, maka dia lalu bersiasat, pura-pura mencari gadis she Souw yang lain lagi namanya, akan tetapi dalam hatinya dia mencatat bahwa gadis ini yang dicarinya.

Karena pernah mendengar betapa lihainya musuh besarnya itu, dia tidak mau sembrono dan langsung menyerangnya, maka dia segera meninggalkan gadis itu dan membalapkan kudanya.

Setelah hari mulai condong ke barat Lee Cin tiba di lereng bukit yang berhutan. Dari lereng itu ia dapat melihat ke kaki bukit dan melihat genteng-genteng rumah penduduk dusun di bawah. Ia lalu mempercepat jalannya agar dapat tiba di dusun itu sebelum senja.

Tiba-tiba ia mendengar jerit wanita. "Tolooongg..... !"

Mendengar ini, Lee Cin berhenti berlari dan menoleh ke arah kiri.. Dari hutan itulah suara tadi datang.

"Tolonggg.... lepaskan aku, ahh... lepaskan... toloooong....!"

Mendengar ini, Lee Cin cepat melompat ke dalam hutan dan lari ke arah datangnya suara itu. Tak lama kemudian ia melihat seorang laki-laki sedang bergumul dengan seorang wanita. Wanita itulah yang menjerit-jerit tadi. Melihat laki-laki itu hendak memperkosa wanita naiklah darah Lee Cin.

Ia melihat bahwa laki-laki itu adalah si penunggang kuda yang berpakaian serba hijau tadi. Tanpa banyak cakap lagi ia segera melompat dekat dan tangannya men cengkeram leher baju orang itu dan menariknya keras-keras. Laki-laki itu terkejut dan setelah leher bajunya dilepaskan, dia langsung menyerang Lee Cin dengan pukulan tangan kanannya. Pukulan itu kuat sekali dan ilmu silatnya juga hebat.

Lee Cin mengelak dan mereka segera saling serang dengan serunya. Ilmu silat orang itu berdasarkan pat-kwa (segi delapan) dengan perubahan-perubahan yang membingungkan, akan tetapi ketika Lee Cin menggunakan it-yang-ci, terbalik orang baju hijau itulah yang terkejut dan berulang kali terpaksa menjauhkan diri agar jangan sampai terkena totokan yang amat lihai itu.

Laki-laki itu bukan lain adalah Yauw Seng Kun! Setelah mengerahkan tenaga dan ilmu silatnya untuk menyerang Lee Cin tanpa hasil, bahkan setelah lewat limapuluh jurus dia terdesak, Seng Kun lalu mencabut tongkat bambu kuning dari punggungnya dan menyerang Lee Cin dengan senjatanya yang ampuh.

Lee Cin mengelak ke sana sini dan maklum bahwa lawannya memang tangguh. Maka iapun cepat melolos pedang Ang-coa-kiam dan kini balas menyerang dengan ganas. Terjadilah pertandingan mati-matian karena Seng Kun berniat sungguh-sungguh untuk membunuh musuh besarnya.

Akan tetapi ternyata benar yang dikhawatirkan tadi, ilmu kepandaian Lee Cin amat hebat dan sama sekali dia tidak mampu mendesak bahkan lewat puluhan jurus dia mulai terkurung sinar pedang yang putih berkilauan itu. Maklum bahwa dia tidak akan mampu menang, Seng Kun melompat ke kiri di mana kudanya berada dan langsung dia membalapkan kudanya meninggalkan tempat itu.

Lee Cin tidak mengejar dan mendengar isak tangis, ia lalu cepat menghampiri wanita tadi. Ia seorang wanita yang usianya kurang lebih duapuluh lima tahun, cantik manis dan pakaiannya mewah. Ia menangis terisak-isak dan airmatanya membasahi kedua pipinya.

"Diamlah, enci. Penjahat itu telah pergi. Engkau siapakah enci, dan tinggal di mana? Bagaimana engkau bisa berada di sini dan diserang orang tadi?"

"Aku..... aku Siu Lan.... seorang janda yang tinggal di dusun sana itu....” Wanita itu berkata sambil terisak-isak dan ketika ia mencoba melangkah, tubuhnya terguling. Tubuh itu tentu akan terpelanting kalau saja Lee Cin tidak cepat-cepat merangkulnya.

"Hati-hati, enci...."

Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan sehelai saputangan merah dan mengebutkan saputangan itu ke muka Lee Cin. Karena sedang merangkul dan sama sekali tidak menduga akan serangan itu, Lee Cin tidak sempat mengelak lagi. Ia mencium bau keras yang menyengat hidungnya.

Ia cepat meloncat ke belakang, akan tetapi pandang matanya menjadi gelap dan iapun roboh pingsan karena menyedot bau racun pembius yang amat ampuh Tubuh Lee Cin memang sudah kebal racun, akan tetapi racun yang masuk ke tubuh melalui mulut atau melalui luka, ia tidak kebal. Bahkan ibunya sendiripun tidak kebal terhadap racun yang masuk melalui penciuman ini.

Muncullah Yang Seng Kun dari balik semak belukar. Kiranya pemuda ini tadi hanya berpura-pura saja melarikan kudanya, padahal dia berhenti lagi dan kembali dengan berlari dan mengintai apa yang terjadi. Kini dia muncul dan berseru, "Bagus sekali Mo-li (Wanita Iblis), sandiwaramu bagus sekali sehingga kita berhasil!"

Wanita yang mengaku bernama Sui Lan itu menoleh dan tertawa. "Hi- hik, engkau juga pandai bermain sandiwara menjadi tukang perkosa, agaknya engkau memang sudah biasa memperkosa wanita!" ia menggoda.

"Serahkan ia kepadaku, Mo-li..."

Wanita itu memang bernama Teng Sui Lan, akan tetapi lebih terkenal dengan julukan Ban-tok Mo-li (Wanita Iblis Selaksa Racun). Ban-tok Mo-li Teng Siu Lan adalah seorang tokoh baru dalam kalangan sesat di dunia kangouw. Ia datang dari selatan dan sejak lama ia telah menjadi sahabat baik Yauw Seng Kun.

Karena sama-sama dari satu golongan, mereka segera menjadi akrab, bukan hanya sebagai teman melainkan juga sebagai kekasih. Seng Kun segera membawanya ke Pulau Naga untuk bergabung dengan beng-cu Ouw Kwan Lok. Kemudian mereka berdua mendapat tugas untuk membujuk orang-orang kang-ouw agar mau bergabung dengan beng-cu Ouw Kwan Lok di Pulau Naga.

Pada siang hari itu, Seng Kun melakukan perjalanan untuk menyusul kekasihnya yang berada di dusun bawah bukit itu. Secara kebetulan dia bertemu dengan Lee Cin di tengah perjalanan dan setelah yakin bahwa gadis itu Souw Lee Cin musuh besar yang dicari-carinya, dia lalu membalapkan kudanya menuju ke dusun.

Setelah bertemu dengan Bantok Mo-li, dia segera mengatur siasat untuk menjebak Lee Cin. Tadinya dia yang berpura-pura menjadi pemerkosa itu menguji kepandaian Lee Cin, akan tetapi kemudian dia tahu bahwa gadis itu benar-benar amat lihai dan tak dapat dikalahkannya.

Karena itu dia melarikan diri, kemudian kembali dengan berlari untuk membantu Ban-tok Mo-li kalau-kalau wanita iblis itu gagal membius Lee Cin. Akan tetapi ternyata Ban-tok Mo-li berhasil baik dan dengan girang Seng Kun lalu muncul dan memuji kekasihnya itu.

"Serahkan kepadamu untuk kau perkosa?" Ban-tok Mo-li bertanya dengan alis berkerut. "Kau hendak mengkhianati cintaku?"

Wajah Seng Kun berubah merah. "Tidak, aku akan menyiksanya dulu lalu membunuhnya!" katanya dengan geram, teringat akan gurunya yang tewas di tangan Lee Cin.

Dia mendekati tubuh Lee Cin, lalu menotoknya untuk membuat gadis itu tidak dapat menggerakkan kedua tangannya kalau sadar nanti kemudian dia masih mengeluarkan tali yang kuat untuk membelenggu kedua tangan Lee Cin ke belakang tubuhnya.

Pada saat itu Lee Cin membuka matanya. Tubuhnya yang kuat itu hanya sebentar saja terpengaruh bius. Akan tetapi setelah ia sadar dan hendak bangkit, ia tidak dapat menggerakkan kedua tangannya dan selain lumpuh tertotok, juga terbelenggu. Dengan susah payah ia dapat bangkit dan bangun berdiri karena ia masih mampu menggerakkan kedua kakinya. Ia memandang kepada laki-laki dan wanita itu.

"Seng Kun, aku tidak sudi melihat engkau memperkosanya dan akupun tidak ingin engkau membunuhnya."

Le Cin yang berdiri dengan kedua tangan terbelenggu memandang mereka dan mendengarkan percakapan itu.

"Hemm, ia musuh besarku, mengapa aku tidak boleh membunuhnya, Mo-li?"

"Seng Kun, lupakah engkau akan pesan Beng-cu? Dia berpesan kepada kita untuk mencari tiga orang, yaitu Song Thian Lee, Tang Cin Lan, dan Souw Lee Cin. Sekarang kita sudah mendapatkan seorang di antara mereka, tidak boleh membunuhnya, harus dihadapkan kepada Beng-cu. Kalau Beng-cu tahu bahwa engkau membunuhnya, apa yang akan dilakukannya terhadapmu, terhadap kita? Tidak, engkau tidak boleh membunuhnya!"

"Akan tetapi ia musuh besarku yang telah membunuh guruku!" bantah Seng Kun.

"Oleh Beng-cu ia akan dibunuh juga, atau engkau nanti boleh minta kepada Beng-cu agar engkau yang membunuhnya. Bukankah itu sama juga? Pendeknya, aku tidak mau engkau membunuhnya sekarang dan kita harus membawanya menghadap Beng-cu. Ingat, akulah yang menangkapnya, bukan engkau!"

Lee Cin yang mendengarkan percakapan itu lalu tersenyum mengejek. "Hemm, kalian sungguh orang-orang pengecut yang tidak tahu malu. Kalau memang kalian memiliki kegagahan, mengapa menjebakku dengan cara yang demikian curangnya? Kalau berani, lepaskan aku dan kalian boleh mengeroyokku, kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi!"

"Hemm, perempuan sombong! Engkau sudah terjatuh ke tangan kami, nyawamu berada di telapak tangan kami dan engkau masih berani bersikap sombong?" bentak Ban-tok Mo-li dengan muka merah.

Baru sekarang ada orang berani menghinanya seperti itu, mengatakan ia pengecut dan curang, tanpa ia dapat berbuat sesuatu karena ia tahu bahwa kalau dilepaskan, Lee Cin merupakan lawan yang amat berbahaya dan ia sangsi apakah ia dan Seng Kun berdua akan mampu mengalahkannya.

"Kau perempuan tak tahu malu!" bentak Lee Cin marah sekali mengingat betapa wanita ini yang menjatuhkannya dengan cara yang amat curang.

"Plakk!" Ban-tok menampar pipi Lee Cin, keras sekali, akan tetapi Lee Cin menerima tamparan itu tanpa berkedip dan memandang dengan mata bernyala penuh kemarahan.

"Manusia tidak tahu diri! Aku dapat menyiksamu sampai mati!"

"Hemm, apa artinya menyiksa orang yang tidak mampu melawan? Itu hanya dilakukan orang-orang yang berwatak rendah dan pengecut. Setidaknya, katakan kenapa kalian menangkap aku!"

Yauw Seng Kun menyeringai di depan Lee Cin. "Engkau mau tahu mengapa aku menangkapmu? Ingatkah engkau akan kematian suhu Jeng-ciang-kwi?"

"Hemm, kiranya engkau ini murid Jeng-ciang-kwi? Pantas engkau tidak pantang melakukan kecurangan yang memalukan ini. Engkau hendak membalas kematian Jeng-ciang-kwi? Memang dia mampus di tanganku. Kalau engkau hendak membalas kematiannya, bunuhlah aku, aku tidak takut mati!"

Seng Kun yang masih memegang bambu kuningnya,menggerakkan bambu itu untuk menyerang Lee Cin yang sudah tidak berdaya. “Plakk!" dari samping Ban-tok Mo-li menangkis tongkat bambu kuning itu.

"Tidak boleh, Seng Kun! Gadis ini harus dihadapkan kepada Beng-cu!" bentak wanita itu.

Dan Seng Kun hanya dapat cemberut. Kalau menurut hatinya, dia ingin mempermainkan Lee Cin, memperkosanya sampai puas, menghinanya lain membunuhnya. Baru akan puas kalau sudah membalas secara begitu. Akan tetapi dia tidak berani melakukan hal itu karena ancaman Ban tok Mo-li.

Dia tidak ingin wanita itu marah dan menjauhkan diri darinya. Apalagi kalau sampai Ban-tok Mo-li melapor kepada Ouw Beng-cu, dia bisa celaka. Dia tidak berani menentang beng-cu yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu. Terpaksa dia harus menahan diri dan bersabar.

"Souw Lee Cin, engkau sudah berada di tangan kami dan kami hendak membawamu ke Pulau Naga. Kalau engkau mau ikut dengan baik, kamipun tidak akan mengganggumu, akan tetapi kalau engkau tidak menurut, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan menyeretmu ke Pulau Naga."

Lee Cin tersenyum. Ia mengerti. Tentu ia akan dihadapkan kepada bengcu baru Ouw Kwan Lok itu. Dan dari orang macam Ouw Kwan Lok ia tidak dapat mengharapkan yang baik. Orang itu pernah menjebaknya dan nyaris memperkosanya karena ia dianggap musuh besar, di samping Song Thian Lee dan Tang Cin Lan. Kalau ia terjatuh ke tangan Ouw Kwan Lok, keadaan dirinya tidak akan menjadi lebih baik.

Akan tetapi perjalanan menuju ke Pulau Naga masih jauh dan selama dalam perjalanan ia diperlakukan dengan baik, masih ada harapan baginya untuk meloloskan diri dari tangan dua orang jahat ini. Kalau ia tidak menurut dan berusaha memberontak, dan mereka menggunakan kekerasan, akan lebih buruk keadaannya.

"Seng Kun, cepat cari seekor kuda lagi untukku. Biar ia berboncengan dengan aku sehingga setiap saat aku dapat menjaga agar ia tidak sempat meloloskan diri," kata Ban-tok Mo-li.

Seng Kun mengangguk dan pergi, menunggang kuda yang ditinggalkan agak jauh kemudian dia pergi membeli seekor kuda di dusun bawah lereng. Tak lama kemudian dia sudah kembali menunggang kuda dan menuntun seekor kuda lain.

Ban-tok Mo-li memeriksa ikatan pada kedua tangan Lee Cin lalu berkata kepada tawanannya itu, "Naiklah ke atas kuda itu!"

Lee Cin tidak membantah. Masih mending diajak menunggang kuda berboncengan dengan wanita iblis itu, dari pada diseret atau disuruh menunggang kuda bersama Seng Kun. Nasibnya masih baik karena wanita iblis yang cantik itu agaknya cemburu kepadanya dan tidak mau membiarkan Seng Kun memboncengkannya.

Demikianlah, tiga orang itu melakukan perjalanan. Kalau berhenti di sebuah kota, Ban-tok Mo-li menotok dulu tubuh Lee Cin sehingga gadis ini tidak dapat menggerakkan kedua tangannya, lalu melepaskan ikatan kedua tangan Lee Cin dan menggandeng tangan gadis itu memasuki rumah penginapan. Juga mereka memesan makanan dalam kamar sehingga tidak melihat betapa mereka menawan seorang gadis yang tentu oleh orang luar dianggap sebagai kawan juga.

Setelah berada dalam kamar, mereka mengikat kedua tangan Lee Ciri kembali dan membebaskan totokan. KaIau tiba waktunya makan, mereka mengikat kedua tangan Lee Cin di depan tubuhnya sehingga dengan kedua tangan terikat itu ia dapat makan sendiri.


Sudah sepekan Lee Cin menjadi tawanan dua orang itu. Ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk dapat meloloskan diri. Kalau tidak tertotok, kedua tangannya tentu dibelenggu dan ia tidak mendapat kesempatan untuk melepaskan ikatan kedua tangannya karena dijaga ketat dan terus diawasi penuh perhatian. Bahkan di waktu malam, dua orang itu bergiliran menjaganya, pedang Ang-coa-kiam telah dirampasnya dan kini melingkar di pinggang Ban-tok Mo-li.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Seng Kun dan Ban-tok Mo-li sudah meninggalkan sebuah rumah penginapan di kota Hui-an. Seperti biasa, kalau hendak membawa Lee Cin di tempat umum, mereka menotok jalan darah di tubuh Lee Cin sehingga gadis ini tidak mampu menggerakkan kedua tangannya. Ikatan kedua tangan itu dibuka dan Lee Cin digandeng oleh Ban-tok Mo-li keluar dari rumah penginapan.

Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu depan rumah penginapan itu mereka berpapasan dengan seorang pemuda. Hampir saja Lee Cin menjerit ketika ia mengenal pemuda itu yang bukan lain dari Cia Tin Han! Pemuda itu juga memandang wajah Lee Cin dan sedetik dua pandang mata itu saling tatap. Tin Han terheran-heran dan Lee Cin mengedipkan sebelah matanya.

Isyarat itu cukup bagi Tin Han. Dia melihat betapa Lee Cin bergerak dengan kaki di bagian tubuh atasnya, dan di pergelangan kedua tangannya terdapat tanda merah bekas ikatan. Dia memperhatikan dua orang itu. Dia memandang kepada Ban-tok Mo-li dan tidak mengenalnya, akan tetapi ketika dia memandang kepada Yauw Seng Kun, dia terkejut! Dia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pernah menculik The Kiok Hwa.

Akan tetapi sebaliknya Seng Kun tidak mengenal Tin Han. Sama sekali dia tidak tahu bahwa pemuda itu adalah Hek-tiauw Eng-hiong, Si Kedok Hitam yang pernah menyerangnya dan membebaskan Kiok Hwa dari cengkeramannya.

Jantung Lee Cin berdebar-debar dan wajahnya berubah kemerahan dan berseri-seri. Hatinya berbahagia sekali melihat Tin Han. Pemuda yang dicintanya itu tidak mati! Tin Han masih hidup dan baru saja ia melihatnya! Ia merasa gembira luar biasa. Ingin ia bersorak dan bernyanyi, dan iapun yakin bahwa tentu Tin Han akan membebaskannya.

Ban-tok Mo-li melihat perubahan pada wajah Lee Cin dan ia menjadi curiga. Diperiksanya totokannya pada diri Lee Cin. Gadis itu masih tidak mampu menggerakkan kedua tangannya! Akan tetapi kenapa tersenyum-senyum dan wajahnya berseri kemerahan seperti seorang yang berbahagia sekali?

"Kenapa engkau tersenyum-senyum?" tanya Ban-tok Moli kepada Lee Cin setelah mereka menunggang kuda dan keluar dari kota Hui-an. Lee Cin tersenyum.

"Aku sedang membayangkan dan memikirkan apa yang akan kulakukan terhadap kalian setelah aku terbebas dari tangan kalian."

"Hemm, engkau tidak akan dapat bebas dari tangan kami sebelum tiba di Pulau Naga. Di sana kami akan menyerahkan engkau kepada Ouw Beng-cu dan dia boleh melakukan apa saja atas dirimu. Akan tetapi mengingat betapa engkau adalah salah seorang musuh besarnya, aku yakin engkau akan dibunuhnya!"

"Yang jelas aku tidak akan membunuh kalian. Kalian tidak membunuhku dan di sepanjang jalan bersikap baik ke padaku, untuk itu, aku hanya akan menghajar kalian, tidak akan membunuh kalian. Aku masih mengharapkan agar kalian bertaubat dan kembali ke jalan benar!"

Mereka sudah tiba di luar kota dan Ban-tok Mo-li menghentikan kudanya, diturut oleh Yauw Seng Kun. Wanita Iblis itu lalu mengikat kedua tangan Lee Cin ke belakang tubuhnya, dan melanjutkan perjalannya. Lee Cin menunggu dengan sabar. Ia yakin bahwa Tin Han tentu akan membebaskannya. Ia hanya menunggu waktu.

Di depan ada segerombol hutan, mungkin di tempat itu Tin Han akan turun tangan. Ia percaya bahwa sekarang Tin Han tentu telah mendahului mereka dan menghadang di jalan. Perkiraannya memang tepat sekali. Setelah mereka memasuki hutan yang sunyi itu, sebuah batu kerikil menyambar cepat dan mengenai pundak Lee Cin.

Seketika Lee Cin merasa betapa totokannya terbuka dan ia sudah dapat menggerakkan kedua tangannya. Akan tetapi ia berada di atas kuda, di depan Ban-tok Mo-li sehingga kalau ia mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali yang mengikat kedua tangannya, tentu akan ketahuan dan wanita iblis itu akan turun tangan lebih dulu. Karena itu ia tinggal diam saja menanti kesempatan baik.

Tiba-tiba tampak bayangan hitam berkelebat dan di depan dua ekor kuda itu telah berdiri Si Kedok Hitam! Lee Cin tersenyum. Engkau tidak perlu berpura-pura terhadapku lagi, Cia Tin Han. Aku tahu bahwa engkaulah Si Kedok Hitam, Lee Cin bersorak dalam hatinya.

Sementara itu, Ban-tok Mo-li dan Seng Kun terkejut bukan main ketika melihat Si Kedok Hitam tiba-tiba berdiri di depan mereka. Terutama sekali Seng Kun amat terkejut ketika mengenal orang yang dulu pernah membebaskan Kiok Hwa dan dia sudah merasakan betapa lihatnya Hek-tiauw Eng-hiong ini!

Akan tetapi, mengingat bahwa di situ terdapat Ban-tok Mo-li, dia tidak takut dan cepat melompat turun dari atas kudanya. “Mo-li, dia ini musuhku, mari kita bunuh dia!"

Ban-tok Mo-li juga melompat turun dari atas kudanya meninggalkan Lee Cin. Gadis itu tertotok dan terbelenggu, tentu tidak akan mampu melakukan sesuatu, pikirnya.

"Jahanam, siapa engkau? Kenapa engkau menghadang kami?" bentak Ban tok Mo-li sambil mencabut pedangnya. Tampak sinar pedang kehijauan karena pedang itu beracun.

"Hemm, kalian hendak mengetahui siapa aku? Sobat ini sudah mengenalku!" Dia menuding ke arah Seng Kun. "Sebut saja aku Hek-tiauw Eng-hiong!"

"Kenapa engkau menghadang kami?"

"Kalian menangkap seorang gadis yang tidak bersalah. Aku minta kalian membebaskannya!"

"Serang....!” Seng Kun sudah membentak dan dia sudah menyerang dengan tongkat bambu kuningnya.

Melihat ini, Ban-tok Mo-li juga menggerakkan pedangnya menyerang. Menghadapi dua, serangan yang dahsyat itu, Hek-tiauw Eng-hiong mencelat ke belakang sambil mencabut pedangnya. Tampak sinar putih berkilauan ketika dia mencabut Pek-kong-kiam. Ban-tok Mo-li menerjang lagi. Sekali ini Si Rajawali Hitam menggerakkan pedangnya menangkis.

"Tranggg.....!" Kedua pedang bertemu di udara dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Ban-tok Mo-li terkejut dan melangkah ke belakang. Ia merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat seolah-olah pedangnya bertemu dengan dinding baja yang keras dan kuat. Maklumlah ia bahwa Rajawali Hitam ini memang lihai sekali maka iapun membantu Seng Kun yang sudah menghujankan serangannya.

Yauw Seng Kun bernafsu sekali untuk mengalahkan Rajawali Hitam, untuk menebus kekalahannya ketika pendekar itu membebaskan Kiok Hwa. Dia mainkan Patkwa-sin-kun dengan tongkat bambu kuningnya. Bambu kuning itu menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, merupakan gulungan sinar kuning melingkar-lingkar.

Semua serangan yang dahsyat ini ditambah lagi oleh serangan pedang beracun di tangan Ban-tok Mo-li, maka dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan kedua orang itu. Akan tetapi Hek-tiauw Eng-hiong bersikap tenang, pedangnya diputar merupakan perisai putih berkilauan yang tidak dapat ditembus tongkat bambu dan pedang beracun.

"Hyaaattttt...!" Seng Kun membentak dan tongkatnya meluncur dengan tusukan ke arah tenggorokan Tin Han.

"Syatttt...!" Pedang beracun membarengi gerakan tongkat itu menusuk ke arah perut Tin Han.

Pemuda itu bersikap waspada, maklum akan hebatnya dua serangan yang dilakukan dalam saat yang bersamaan itu. Dia miringkan tubuh untuk mengelak dari sambaran tongkat yang meluncur ke arah lehernya, lalu memutar pedang untuk menangkis pedang yang menusuk perutnya.

"Trangggg......!" kembali bunga api berpijar dan Tin Han menggerakkan kakinya menendang kepada Ban-tok Mo-li, menggunakan kesempatan selagi wanita itu melangkah mundur ketika kedua pedang bertemu.

"Wuuuuuttt...." Ban-tok Mo-li terpaksa melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, baru ia terbebas dari tendangan yang mengancam perutnya itu.

Karena tongkatnya dielakkan, Seng Kun menjadi penasaran dan kembali tongkatnya menusuk-nusuk dengan cepat mengarah jalan darah di bagian depan tubuh Tin Han. Pemuda ini terpaksa memutar pedangnya melindungi tubuhnya. Saat itu kembali pedang Ban-tok Mo-li menyambar, sekali ini membabat ke arah lehernya.

Tin Han yang masih memutar pedang melindungi tubuh bagian bawah, merendahkan tubuh sehingga babatan pedang Ban-tok Mo-li meluncur lewat di atas kepalanya. Dengan memutar tubuh Tin Han menusukkan pedangnya ke dada wanita itu dan kakinya mencuat menyambar ke arah Seng Kun. Dengan tergopoh-gopoh kedua orang itu, mengelak dari serangan yang cepat dan berbahaya itu.

Kembali mereka saling serang dan kedua orang itu mengurung ketat, namun gerakan pedang Tin Han tetap melindungi tubuhnya dan sukar pertahanannya ditembus.

Sementara itu, Lee Cin yang sudah dapat menggerakkan kedua tangannya, mulai menghimpun tenaganya. Ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya ke arah kedua lengannya, kemudian menggerakkan kedua tangannya dan putuslah tali pengikat kedua pergelangan tangannya.

Setelah bebas dari belenggu, Lee Cin melompat turun dari punggung kuda. Melihat betapa Tin Han dikeroyok oleh dua orang itu, ia cepat masuk ke dalam gelanggang perkelahian dan dengan menggunakan Ang-tok-ciang ia menyerang ke arah dada Ban-tok Mo-li.

Pukulan yang dilakukan Lee Cin ini dahsyat bukan main, mengejutkan Ban-tok Mo-li. Ia mengelak dan mencoba untuk balas menyerang dengan pedangnya, akan tetapi Lee Cin tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyerangnya. Lee Cin sudah menghujani lawan dengan totokan It-yang-ci yang amat lihai.

Ban-tok Mo-li mengeluarkan seruan kaget dan terpaksa ia mengelak ke sana sini sambil membabatkan pedangnya, mencoba untuk membutungi kedua tangan Lee Cin yang melakukan totokan.

Kini Seng Kun terpaksa menghadapi Tin Han seorang diri, dan tentu saja begitu ditinggalkan Ban-tok Mo-li segera terdesak hebat oleh sinar pedang di tangan Tin Han. Si Kedok Hitam atau Si Rajawali Hitam ini mendesaknya dan ketika Seng Kun sudah mundur-mundur kewalahan, sebuah tendangan menyambar dan mengenai tangan Seng Kun yang memegang tongkat bambu kuning.

Tongkat itu terlepas dari tangannya dan terlempar jauh. Dengan tangan kirinya, Tin Han dapat menotok pundak Seng Kun dan pemuda itupun terguling dan tidak mampu bergerak lagi.

Melihat Seng Kun sudah roboh. Ban-tok Mo-li menjadi panik. Gerakannya makin kacau dan karena ia suduh terdesak oleh serangan It-yang-ci, akhirnya ia tidak dapat mengelak dari sebuah totokan jari tangan kiri Lee Cin dan iapun roboh dengan lemas tak dapat menggerakkan kedua tangannya lagi.

Melihat lawannya sudah roboh, cepat Lee Cin meraih ke arah pinggang Ban-tok Mo-li, merenggut lepas pedang Ang-coa-kiam dan memasangnya sebagai sabuk di pinggangnya sendiri. Setelah itu ia memutar tubuhnya, menghadapi Rajawali Hitam dan memandang dengan sinar mata berseri penuh kegembiraan.

Tin Han tidak tahu bahwa Lee Cin sudah mengetahui rahasianya, bahwa gadis itu sudah tahu akan penyamarannya sebagai Kedok Hitam, maka dia tidak berkata apa-apa dan menghampiri Seng kun sambil menodongkan pedangnya ke arah dada orang itu.

"Jangan...! Jangan bunuh mereka. Betapapun juga, mereka tidak membunuhku. Sekali ini biarlah mereka bebas sebagai balasanku bahwa mereka tidak membunuh atau menggangguku!"

Setelah ia berkata demikian, Lee Cin menotok ke arah tubuh Ban-tok Mo-li untuk mengembalikan jalan darahnya. Melihat ini, Tin Han juga membebaskan totokannya atas diri Seng Kun. Setelah kedua orang itu bangkit dan menggeliat, Lee Cin berkata kepada mereka dengan lantang,

"Yauw Seng Kun dan Ban-tok MoIi, kalian tidak membunuhku dan telah memperlakukan aku dengan baik, maka sekali ini aku maafkan kalian. Kalian boleh pergi. Akan tetapi kalau lain kali aku bertemu dengan kalian dan kalian masih melakukan kejahatan, aku tidak akan mengampuni kalian lagi. Pergilah!"

Seng Kun mengambil tongkat bambu kuningnya dan Ban-tok Mo-li juga memungut pedangnya, kemudian kedua orang ini berlari pergi tanpa sepatahpun kata. Mereka merasa amat penasaran dan juga marah dan kecewa. Terutama sekali Seng Kun. Kalau tahu akan begini kesudahannya, tentu sudah kemarin-kemarin dia membunuh Lee Cin...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.