Rajawali Hitam Jilid 09

Cerita silat Mandarin serial Gelang Kemala seri ketiga, rajawali hitam jilid 09 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Rajawali Hitam Jilid 09

Kini Lee Cin dan Rajawali Hitam berdiri saling berhadapan. Rasa haru mencengkeram hati Lee Cin. Ia berhadapan lagi dengan Cia Tin Han!

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

"Han-ko, aku gembira sekali bahwa engkau ternyata tidak mati di jurang itu!" katanya dengan suara gemetar.

"Nona Souw, aku... bukan....“

"Aih, Han-ko. Apakah engkau masih bersembunyi dariku? Aku melihat ketika kedokmu terbuka oleh Nenek Cia dan melihat engkau tertendang jatuh ke dalam jurang! Tidak perlu berpura-pura lagi, Han-ko. Aku tahu bahwa engkaulah Si Kedok Hitam!"

"Ah,..... engkau sudah tahu..."

Lee Cin mengangguk dan berkata dengan terharu. "Aku mengira engkau telah mati, Han-ko. Aku sudah hampir putus asa...... mencarimu ke mana-mana...... akan tetapi engkau tetap menghilang..... " Lee Cin tidak dapat menahan keharuan dan juga kebahagiaan hatinya, dan beberapa tetes air mata membasahi pipinya.

Tin Han melangkah maju dan memegang kedua tangan Lee Cin. "Cin-moi, engkau...... engkau menyedihi kematianku.....?"

"Aku.... rasanya aku kepingin mati saja, Han-ko. Aku mencarimu di dasar jurang, aku kehilangan engkau, aku menangisi kematianmu akan tetapi aku tetap penasaran karena tidak melihat jenazahmu. Harapanku hanya untuk melihatmu kalau engkau masih hidup, dan kalau engkau sudah mati, aku ingin melihat kuburanmu. Akan tetapi..... engkau kini masih hidup, di sini.....!”

"Cin-moi, apakah ini berarti bahwa engkau.... juga membalas cintaku kepadamu?"

Lee Cin menengadah dan pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang mencorong dari balik kedok. Ia tersenyum dengan mata basah lalu mengangguk.

"Ahhhhh, Cin-moi..... !" Tin Han mendekap kepala itu ke dadanya dengan kuat, seolah hendak membenamkan kepala itu ke dalam dadanya dan menyimpannya di hatinya agar jangan sampai terpisah lagi.

"Han-ko.....!" Lee Cin balas merangkul, lalu dengan lembut tangan kiri Lee Cin merenggutkan penutup muka Tin Han sehingga tampaklah Tin Han yang tampan.

Wajah itu tersenyum dan kedua matanya juga basah saking terharunya mengetahui bahwa gadis yang amat dicintanya itu juga membalas cintanya. "Cin-moi....!" Dia menunduk dan mencium pipi, hidung dan bibir Lee Cin dengan sepenuh perasaannya.

"Han-ko, tadinya aku bingung. Aku mencinta Cia Tin Han, akan tetapi aku kagum kepada Si Kedok Hitam, apa lagi ketika Si Kedok Hitam menyatakan cintanya kepadaku, seperti juga Cia Tin Han mengaku cinta kepadaku. Aku bingung harus memilih yang mana. Sampai aku melihat Nanek Cia menyingkap kedokmu. Aku berbahagia melihat bahwa engkaulah Si Kedok Hitam, akan tetapi kebahagiaan itu segera terganti hancurnya hatiku melihat engkau terjungkal ke dalam jurang itu!

"Seperti gila aku menuruni jurang dan mencarimu, Han-ko. Kukira engkau sudah mati, akan tetapi ada juga kesangsianku karena aku tidak dapat menemukan jenazahmu. Ternyata engkau masih hidup seperti yang kusangka, bahkan engkau telah membebaskan aku dari cengkeraman kedua orang itu" Lee Cin memperkuat rangkulannya di pinggang pemuda itu. "Engkau harus menceritakan apa yang kau alami ketika terjatuh ke jurang itu, Han-ko!"

Tin Han melepaskan rangkulannya dan tersenyum. "Banyak yang harus kuceritakan, banyak pula yang dapat kauceritakan, Cin-moi. Biar aku menukar dulu pakaianku."

Pemuda itu melepaskan pakaian hitamnya dan di sebelah dalam dia sudah mengenakan pakaian biasa. Dia menggulung pakaian hitam dan topeng itu, menyimpannya dalam buntalan pakaiannya dan dia mengajak Lee Cin duduk di atas batu. Mereka duduk sambil saling berpegang tangan, dan Tin Han berkata.

"Sekarang, kau ceritakan lebih dulu apa saja yang kaualami dan bagaimana engkau dapat terjatuh ke tangan dua orang jahat tadi."

Dengan kedua pipi kemerahan karena dicumbu oleh pemuda yang ia cinta tadi, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar menunjukkan kebahagiaan hatinya, Lee Cin lalu bicara, kedua tangannya masih dipegang oleh Tin Han dan kedua matanya menatap wajah pemuda itu dengan penuh kasih sayang.

"Han-ko, banyak sudah kualami sejak kita berpisah, sejak engkau membebaskan aku dari tangan keluargamu itu." Lee Cin lalu menceritakan pengalamannya, betapa ketika ia mencari-cari Tin Han di dasar jurang, ia bertemu dengan Ouw Kwan Lok dan berhasil membuntungi lengan kiri pemuda jahat itu.

"Ah, dia tentu akan lebih mendendam kepadamu, Cin-moi."

"Tentu saja, akan tetapi biarlah, aku tidak takut walaupun kemudian aku menerima kenyataan bahwa kini dia telah menjadi seorang yang berilmu tinggi dan lihai bukan main."

Lee Cin melanjutkan kisahnya, betapa ia kembali ke Hong-san dan melihat ibu kandungnya telah bersatu kembali dengan ayahnya dan mereka hidup berbahagia di Hongsan. Kemudian ia menceritakan tentang pengunduran diri ayahnya sebagai Beng-cu.

Dalam pemilihan beng-cu baru inilah Ouw Kwan Lok muncul bersama Siang Koan Bhok, datuk dari timur yang menjadi pemilik Pulau Naga itu. Dan dalam pemilihan itu diadakan pertandingan. Akhirnya Ouw Kwan Lok menangkan semua pertandingan. Orang itu kini berubah lihai bukan main setelah menjadi murid Siang Koan Bhok dan dialah yang terpaksa dipilih sebagai Beng-cu baru karena memang tidak ada yang dapat mengalahkannya.

"Tadinya aku hendak maju menentangnya, akan tetapi ayahku melarangku, agaknya memang aku belum tentu dapat menandingirya. Dia benar-benar lihai, Han-ko."

"Hemm, kalau yang menjadi beng-cu seorang yang jahat, akan dibawa ke manakah dunia kang-ouw?" kata Tin Han sambil mengerutkan alisnya yang hitam tebal.

"Benar, dan sekarang yang menjadi pimpinan dunia kang-ouw adalah para datuk sesat belaka. Ketuanya Ouw Kwan Lok dan pembantu pertamanya Siang Koan Bhok sedangkan pembantu kedua adalah Thian-te Mo-ong."

"Lalu bagaimana kelanjutan ceritamu, Cin-moi? Setelah engkau tinggal di Hong-san bersama ayah ibumu, mengapa engkau berada di sini dan menjadi tawanan kedua orang jahat tadi?"

"Aku tidak betah tinggal di Hong-san, koko. Aku ingin merantau, ingin mencarimu sampai dapat bertemu denganmu atau dengan kuburanmu. Ketika tiba di sebuah hutan di lereng bukit yang sunyi, aku mendengar jerit tangis seorang wanita. Aku segera memasuki hutan itu dan melihat orang tadi, Yauw Seng Kun, sedang hendak memperkosa seorang wanita.

"Tentu saja aku segera menolongnya dan menyerang Yauw Seng Kun. Kami berkelahi dan dia melarikan diri. Ketika aku menolong wanita yang hendak dipermainkan tadi, merangkulnya karena ia terhuyung, tiba-tiba saja wanita itu mengebutkan saputangan yang mengandung obat bius. Aku jatuh pingsan dan ketika tersadar, aku berada di tangan mereka. Mereka menotokku dan mengikat kedua tanganku. Ternyata mereka tadi hanya bersandiwara sehingga aku terjebak."

"Akan tetapi, engkau ditawan dan diajak sampai ke sini, hendak dibawa ke manakah?"

"Ke mana lagi kalau tidak ke Pulau Naga. Ternyata mereka itu menjadi anak buah Ouw Kwan Lok yang menjadi beng-cu dan tinggal di Pulau Naga."

"Hemm, aku tahu bahwa beng-cu baru Ouw Kwan Lok itu mengumpulkan para tokoh kang-ouw golongan sesat untuk bergabung dengannya," kata Tin Han.

"Mereka berada itu sengaja tidak membunuhku. Tadinya Seng Kun hendak membunuhku, akan tetapi dia dilarang oleh Ban-tok Mo-li. Mereka tahu bahwa Ouw Kwan Lok menganggap aku, Song Thian Lee, dan Tang Cin Lan sebagai musuh besarnya. Kami bertiga memang pernah bertentangan dengan guru-gurunya, yaitu mendiang Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong.

"Ban-tok Mo-li berkeras untuk menyerahkan aku sebagai tawanan kepada Ouw Kwan Lok, maka ia dan Seng Kun memaksa aku mengikuti mereka menuju ke Pulau Naga. Kalau memasuki tempat ramai, mereka membuka ikatan tanganku, akan tetapi aku ditotoknya sehingga aku tidak dapat memberontak.

"Untung sekali engkau datang, Han-ko. Kedatanganmu membawa berkah bagiku, bukan saja membuatku berbahagia melihat engkau masih hidup, akan tetapi juga sekaligus menolongku dari ancaman bahaya."

"Mereka jahat sekali, Cin-moi. Kenapa engkau melarangku membunuh mereka?"

"Ada dua hal yang membuat aku ingin membebaskan mereka, Han-ko. Pertama karena mereka tidak membunuhku dan memperlakukan aku dengan baik dan tidak menggangguku sepanjang perjalanan dalam beberapa hari ini. Dan ke dua, kuanggap merekalah yang telah berjasa mempertemukan aku denganmu!

"Kebahagiaanku bertemu denganmu tidak boleh dikotori dengan pembunuhan dan saking girangnya hatiku, maka aku membebaskan mereka berdua. Aku berterima kasih sekali kepada Thian yang telah mempertemukan kita berdua!"

Tin Han meraih kepalanya dan mencium dahinya. Lee Cin gemetar dan memejamkan matanya. Ia merasa betapa mesranya ciuman pemuda yang dikasihinya itu.

"Sekarang giliranmu, koko. Ceritakanlah pengalamanmu sejak engkau terjatuh ke dalam jurang Bagaimana engkau dapat terbebas dari kematian setelah terjatuh dari tempat yang demikian tingginya? Rasanya sukar dapat dipercaya bahwa orang yang terjatuh ke dalam jurang sedalam itu masih dapat lolos dengan selamat."

"Memang, Cin-moi, peristiwa yang kualami betapa Maha Kuasanya Tuhan, betapa tepatnya pendapat bahwa apabila Tuhan menghendaki sesuatu, pasti akan terjadi betapa tidak mungkinpun menurut pendapat manusia. Siapapun di dalam dunia ini pasti akan berpendapat sama, yaitu bahwa orang yang terjatuh dari tempat yang demikian tinggi tidak mungkin dapat lobos dengan selamat.

"Akan tetapi terjadilah suatu kemujijatan ketika aku melayang jatuh itu, Cin-moi. Ketika tubuhku melayang-layang tanpa aku dapat menguasai diriku lagi, tiba-tiba ada seekor burung rajawali hitam yang besar sekali mencengkeram leher bajuku dan membawaku terbang turun dengan selamat."

"Burung rajawali hitam yang besar? Betapa anehnya...!"

Lee Cin berseru heran sambil memandang kepada wajah Tin Han. Kalau bukan pemuda yang dicintanya ini yang bercerita, sukarlah mempercaya keterangan itu.

"Ya, nama sebutannya Hek-tiauwko dan dia ternyata adalah burung peliharaan seorang kakek sakti bernama Thai Kek Cin-jin. Ketika aku dibawa oleh Hek-tiauw-ko menghadap Thai Kek Cin-jin, aku bertemu dengan guruku, Bu Beng Lo-jin."

"Ah, jadi sebelum itu engkau telah memiliki seorang guru, Han-ko? Pantas ilmu kepandaianmu sudah begitu hebat mengatasi kepandaian keluargamu."

"Benar, Cin-moi. Aku berguru kepada Bu Beng Lo-jin yang tidak mau disebut namanya dihadapan keluargaku maka aku belajar ilmu secara rahasia kepadanya. Dan karena itu pula aku terpaksa harus menyamar sebagai Si Kedok Hitam untuk menyembunyikan kepandaianku dari keluargaku."

"Aih, engkau nakal, Han-ko. Dengan penyamaranmu itu, engkau membuat aku pusing tujuh keliling, harus memilih antara Cia Tin Han dan Si Kedok Hitam yang kedua-duanya menyatakan cinta kepadaku! Kiranya orangnya sama!"

"Aku memang sejak pertemuan pertama telah mencintamu, Cin-moi. Maka ketika bertemu denganmu sebagai Si Kedok Hitam, aku tidak tahan untuk tidak mengakui cintaku."

"Lalu bagaimana ceritamu, Han-ko?"

"Aku sempat mendapat kebahagiaan dilatih ilmu oleh Thai Kek Cin-jin selama beberapa bulan. Biarpun hanya tiga bulan, namun petunjuk beliau telah memberi kemajuan pesat kepadaku. Dua ilmu yang dia turunkan adalah Hektiauw kun dan Khong-sim Sin-kang."

"Hebat sekali! Ilmu kepandaian telah demikian hebat, apa lagi setelah mendapat petunjuk seorang sakti. Aku kagum sekali dan semakin mencinta padamu!" kata Lee Cin sambil menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya itu. Tin Han memeluknya dengan penuh perasaan bahagia.

"Aku juga melihat betapa hebatnya ilmu totok yang kau pergunakan tadi, Cin-moi. Dari siapakah engkau mempelajari ilmu totok seperti itu?"

"Itu adalah ilmu totok It-yang-ci...."

"Apa? Apakah ilmu totok dari ketua Siauw-lim-pai itu?"

"Benar, In-kong Thai-su telah melatih ilmu totok It-yangci kepadaku, Han-ko."

"Ah, pantas engkau demikian lihai, kiranya engkau adalah murid kakek sakti dari Siauw-lim-pai itu."

"Lalu bagaimana kelanjutan ceritamu, Han-ko?"

"Setelah berpisah dari suhu Thai Kek Cin-jin, aku lalu merantau. Mencari keluargaku yang ternyata telah pergi dari Hui-cu setelah persekutuan itu dihancurkan Panglima Song Thian Lee. Aku juga berusaha mencarimu di Hong-san, akan tetapi aku merasa ngeri dan khawatir membayangkan penyambutan ayahmu terhadapku yang pernah menyerangnya dahulu. Dalam perjalanan itu, kalau aku bertindak terhadap orang jahat, aku selalu menggunakan kedok dan pakaian hitam dan aku mengaku berjuluk Hek-tiauw Eng-hiong."

"Aha, engkau menggunakan nama Rajawali Hitam itu untuk penyamaranmu? Bagus sekali, Han-ko!"

"Hal ini kulakukan agar aku tidak dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah Mancu. Dalam perjalanan aku bertemu dengan orang yang bernama Yauw Seng Kun tadi. Dia menculik seorang gadis dan aku mengejarnya lalu membebaskan gadis itu setelah Yauw Seng Kun melarikan diri dan mengenalku sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Dia menculik gadis karena ia mirip sekali denganmu, Cin-moi. Aku sendiri tadinya juga mengira bahwa gadis itu adalah engkau. Akan tetapi aku segera mengenalnya. Ternyata bukan engkau."

"Mana lebih cantik, gadis itu atau aku, Cin-ko?" tanya Lee Cin dan ia merasa rikuh sendiri. Kenapa ia mendadak menjadi begini manja?

"Tentu saja engkau berlipat kali lebih cantik, Cin-moi. Nah, setelah itu, aku menuju ke Hong-san. Di dalam perjalanan itu aku bertemu dengan serombongan perajurit kerajaan. Aku menjadi tertarik dan membayangi mereka. Ternyata mereka mengadakan pertemuan di sebuah hutan lembah Huang-ho, dan tahukah engkau siapa yang ditemui perwira yang memimpin serombongan perajurit itu? Ternyata perwira itu mengadakan pertemuan dengan Thian-te Moong."

"Ah, wakil ke dua dari Beng-cu? Aneh sekali, kenapa panglima kerajaan mengadakan pertemuan dengannya yang dahulu membantu pemberontakan?"

"Memang aneh sekali, tadinya akupun berpendapat begitu. Akan tetapi setelah mendengarkan percakapan mereka, mengertilah aku bahwa memang mereka itu utusan dari Ouw-bengcu untuk berhubungan dengan pihak pasukan pemerintah. Ternyata Ouw-bengcu hendak membawa semua orang kang-ouw untuk menjadi antek penjajah Mancu!" kata Tin Han dan nada suaranya menunjukkan bahwa dia menyesal dan marah sekali "Pihak Mancu agaknya mengubah politiknya, hendak mendekati kaum kang-ouw terutama golongan sesat untuk memperkuat kedudukannya, untuk menentang para pendekar dan patriot."

"Hemm, rencana yang licik dan jahat!" kata Lee Cin. "Lalu bagaimana selanjutnya, koko?"

"Dari percakapan mereka itu aku mendengar bahwa mereka hendak mencari Song Thian Lee untuk dibunuh."

"Ehhh? Song Thian Lee adalah panglima mereka sendiri!"

"Ternyata tidak, moi-moi. Song Thian Lee telah mengundurkan diri dari jabatannya dan mungkin dia dianggap orang berbahaya bagi pemerintah, maka komplotan itu berusaha hendak membunuhnya. Juga mereka hendak membunuh dan membasmi Keluarga Cia yang mereka anggap juga berbahaya bagi pemerintah!"

Lee Cin terkejut. "Jahat sekali mereka! Lalu bagaimana?"

"Karena mereka menyatakan hendak menuju ke tempat tinggal Song Thian Lee dan menyerbu, aku lalu mengikuti mereka. Ternyata Song Thian Lee yang telah meninggalkan kota raja bertempat tinggal di kota Tung-sin-bun. Rombongan itu menuju ke sana dan mereka semua yang jumlahnya banyak, termasuk pula Yauw Seng Kun tadi, dan Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo kai, segera mengeroyok Song Thian Lee dan isterinya yang menggendong seorang anak kecil berusia kira-kira tiga tahun.

"Kedua suami isteri yang perkasa itu mengamuk dan aku kagum sekali kepada mereka. Keduanya bukan main lihainya, akan tapi karena pengeroyok itu berjumlah sembilanbelas orang, aku khawatir mereka sampai terluka, apa lagi isteri Song Thian Lee yang menggendong anak kecil. Aku lalu melompat dan membantu mereka!"

"Bagus! Aku girang sekali engkau melakukan hal itu, koko. Isteri Song Thian Lee itu adalah seorang sahabat baikku, namanya Tang Cin Lan. Ia memang lihai..... lalu bagaimana?"

"Kami bertiga mengamuk dan agaknya gerombolan itu tidak dapat bertahan dan melarikan diri. Aku menasihatkan Song Thian Lee untuk segera meninggalkan tempat kediamannya itu, karena pasukan itu tentu akan mendatangkan bala bantuan dan kalau pasukan besar menyerbu, bagaimana mereka akan dapat membela diri?

"Aku lalu pergi dan dari percakapan mereka yang kudengar tadi, aku mendapat tahu bahwa keluargaku telah menyembunyikan diri di puncak Bukit Cemara. Aku lalu mendahului mereka pergi ke sana. Akan tetapi aku merasa sungkan sekali untuk bertemu mereka, karena mereka tentu menganggap aku sebagai pembantu musuh. Aku menanti sampai beberapa hari tanpa berani menemui mereka..."

"Kasihan engkau, Han-ko. Karena engkau menolongku, maka engkau bentrok dan dibenci oleh keluargamu. Maaf kan aku, Han-ko," kata Lee Cin dengan nada suara berduka.

Tin Han merangkulnya. "Jangan bersedih, Cin-moi, karena semua berakhir dengan baik. Ketika aku sedang menanti, datang rombongan Thian-te Mo-ong yang kini diperkuat oleh Siang Koan Bhok. Mereka itu membujuk nenekku untuk bergabung dengan mereka membantu pemerintah Mancu. Tentu saja nenek menolak keras dan terjadilah pertandingan satu lawan satu.

"Nenek maju bertanding melawan Siang Koan Bhok dan nenek kalah, bahkan terluka parah. Aku maju tanpa topeng, sebagai Cia Tin Han aku maju membela nenek sekeluarga. Thian-te Mo-ong dan dia dapat kukalahkan. Lalu Siang Koan Bhok yang maju bertanding denganku dan akhirnya, setelah melalui pertandingan yang sengit, aku dapat pula mengalahkan dia. Agaknya Thian- te Mo- ong putus asa setelah kekalahan Siang Koan Bhok dan mereka lalu pergi."

"Bagus, engkau dapat mengalahkan Siang Koan Bhok, itu berarti bahwa kepandaianmu telah maju pesat, koko. Jarang ada orang mampu mengalahkan dia, datuk besar dari timur itu."

"Ah, kepandaian manusia itu terbatas dan tentu ada yang melampauinya, Cin- moi. Kita sama sekali tidak boleh berbangga dan sombong karena kepandatan kita, melainkan harus dengan rendah hati siap dan waspada, karena setinggi-tingginya kepandaian orang, tentu ada yang menandingi dan melebihinya."

"Engkau lihai dan rendah hati, itulah yang membuat aku kagum kepadamu koko. Kemudian bagaimana?"

"Menyedihkan, Cin- moi. Nenek meninggal dunia karena luka dalam yang parah akibat pukulan Siang Koan Bhok."

"Ah, kasihan sekali. Nenek Cia pernah bersikap baik sekali kepadaku. Engkau tentu mendendam kepada Siang koan Bhok"

"Tidak, moi- moi. Pertandingan itu adil dan kekalahan nenek memang sewajarnya. ilmu kepandaian Siang Koan Bhok lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya. Kematiannya wajar dan memang sudah di takdirkan begitu. Aku membenci Siang Koan Bhok bukan karena dendam atas kematian nenek itu, melainkan karena..... sekarang menjadi antek penjajah Mancu untuk memusuhi para pendekar dan patriot."

"Lalu bagaimana, selanjutnya, koko?"

"Sebelum nenek meninggal dunia, kami masih sempat bercakap-cakap dahulu dan nenek dengan gagah dan jujur mengakui akan kesalahannya bahwa ia pernah bersekutu dengan golongan sesat, dengan pasukan pemberontak dan bahkan dengan orang Jepang. Ia mengakui bahwa pendapatku yang benar.

"Bahwa kita berjuang harus secara murni, tidak bersekutu dengan golongan sesat, kecuali hanya dengan rakyat jelata untuk menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu. Bahkan nenek selanjutnya berpesan kepada semua keluarganya untuk tidak mengulangi kesalahan itu."

"Lalu bagaimana?"

"Aku mengusulkan kepada keluargaku untuk berpencar karena kami menjadi buruan pemerintah. Ayah pergi bersama ibu, kedua orang paman pergi bersama, kakak Tin Siong pergi seorang diri dan aku juga pergi seorang diri, melaksanakan tugas sebagai pendekar dan patriot. Nah, dalam perjalanan terakhir ini, ketika aku hendak melanjutkan perjalanan ke Hong-san untuk mencarimu, aku bertemu dengan engkau yang menjadi tawanan dua orang jahat tadi."

"Agaknya Thian sendiri yang membimbingmu ke sini sehingga dapat bertemu dan menolongku, Han- ko. Dan sekarang, kita mau ke mana?"

"Engkau sendiri tadinya hendak ke mana, Cin-moi?"

"Sudah kukatakan kepadamu tadi bahwa aku merantau untuk mencarimu."

"Demikian pula tadinya aku hendak ke Hong-san, juga untuk mencarimu. Dan kita sudah bertemu di sini sekarang."

"Aku tidak ingin berpisah lagi dari mu, Han-ko."

"Demikian pula aku, Cin-moi. Kita tidak akan pernah berpisah lagi sekarang. Suka-duka harus kita pikul bersama. Maka, marilah kita lanjutkan perjalanan kita ke Hong-san. Aku ingin menghadap orang tuamu, bukan saja untuk membicarakan urusan kita berdua, akan tetapi juga untuk minta ma’af atas penyeranganku tempo hari."

"Han-ko, perlukah hal itu kauceritakan? Ayahku tidak mengenalmu, hanya tahu bahwa yang menyerangnya adalah Si Kedok Hitam. Apakah tidak sebaiknya kalau hal itu didiamkan saja agar tidak menimbulkan persoalan baru?"

Tin Han memandang kekasihnya dengan sinar mata tegas. "Tidak, Cin-moi. Di dalam kehidupan kita, kita harus bersikap jujur. Aku akan selamanya merasa bersalah kalau aku berdiam saja terhadap ayahmu, aku merasa telah berlaku curang kepada calon mertuaku sendiri. Aku harus mengaku terus terang, mengapa aku menyerangnya ketika itu. Aku memang bersalah. Kuanggap tadinya bahwa ayahmu diangkat menjadi beng-cu atas restu dan pilihan pemerintah penjajah, maka aku tidak senang dan ingin sekedar memberi peringatan."

Lee Cin mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, Han-ko. Aku khawatir sekali, apa lagi mengingat bahwa ibu kini berada di sana. Mungkin ayah dapat memaafkanmu, akan tetapi ibu berhati amat keras. Bagaimana kalau ia menjadi marah?"

"Apapun akibatnya harus kutanggung, Cin- moi. Seorang pencdekar harus berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya, bukan? Biar apapun akibatnya akan kuterima dengan lapang dada."

"Ah, Han-ko..... !" Lee Cin merangkul dan menempelkan mukanya ke dada pemuda itu. Tubuhnya agak gemetar, "Aku takut, aku khawatir sekali, Han-ko."

"Percayalah, aku akan sanggup menerima segala akibatnya. Harap engkau tidak khawatir, apapun akibatnya, aku akan tetap mencintamu, sampai mati sekalipun."

"Han-ko, jangan sebut-sebut tentang kematian. Engkau bagiku pernah mati sekali, jangan ulangi lagi hal itu."

Tin Han merangkul dan menghibur. "Sudahlah, tabahkan hatimu dan mari kita berdua menghadapi kenyataan yang tidak dapat diubah lagi. Mari kita berangkat , Cin-moi."

Dengan bergandeng tangan, dua orang yang sedang dimabok asmara itu lalu meninggalkan hutan itu dan melakukan perjalanan berdua. Biarpun dibayangi kekhawatiran besar, Lee Cin tetap merasa berbahagia bahwa sekarang Ia telah melakukan perjalanan di samping orang yang di kasihinya dan yang telah membuat ia menderita kesedihan dan kerinduan selama berbulan-bulan itu.

Entah bagaimana, mendadak saja segala sesuatu yang dilihatnya tampak indah sekali. Pohon-pohon, rumput-rumputan, daun dan bunga, bahkan sawah ladang yang jauh itu tampak demikian indahnya bagi Lee Cin dan juga bagi Tin Han.

Memang demikianlah pengaruh cinta asmara antara kedua insan yang sedang dimabok asmara. Hidup rasanya indah bukan main, cerah dan menggembirakan hati. Dunia ini serasa mereka berdua saja yang punya. Semua ingatan terlupakan, yang ada hanya diri mereka masing-masing. Kalau cinta sudah bertemu cinta, hidup ini serba indah berbunga-bunga.


Souw Tek Bun dan isterinya, Ang-tok Mo-li Bu Siang, sedang duduk berdua di beranda depan. Bekas beng-cu dan isterinya ini hidup tenang dan damai dan menikmati kehidupan di hari tua yang tenteram. Bu Siang sudah sama sekali mencuci tangan tidak lagi mau mencampuri urusan dunia kang-ouw, sedangkan Bun Tek juga tidak ingin pergi merantau sebagai seorang pendekar lagi.

Mereka berdua menganggap bahwa kehidupan di dunia persilatan penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Mereka tidak ingin tengganggu ketenangan hidup yang mereka nikmati itu dengan kekerasan dan permusuhan lagi. Lega hati Souw Tek Bun bahwa dia sudah mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai beng-cu. Sekarang tidak akan ada lagi orang kang-ouw yang mencarinya.

Tiba-tiba mereka melihat dua sosok bayangan orang datang menuju ke pondok tempat tinggal mereka. Setelah melihat dua sosok bayangan itu semakin dekat, Ang-tok Moli berseru gembira, "Itu Lee Cin!"

Mereka bangkit dan Souw Tek Bun tersenyum ketika melihat bahwa yang datang itu betul Lee Cin bersama seorang pemuda tampan yang kelihatan lembut. Jantung kedua orang tua ini berdegup tegang melihat ini. Siapakah pemuda itu? Apakah pemuda itu pilihan hati Lee Cin? Mereka merasa tegang dengan harapan dan kegembiraan.

"Ayah.....!" kata Lee Cin gembira dan ia segera merangkul ibunya.

Tin Han memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan membungkukkan tubuhnya di depan suami isteri itu. "Paman dan bibi berdua, terimalah hormat saya."

"Eh, Lee Cin, siapakah orang muda ini?" tanya Ang-tok Mo-li Bu Sian sambil menatap wajah yang tampan dan lembut itu.

"Ini adalah koko Cia Tin Han, ibu dan ayah. Dia sahabat baikku yang sudah berulang kali menolong dan menyelamatkan aku dari bahaya maut."

Mendengar keterangan ini, suami isteri itu dapat menduga bahwa pemuda yang nampak halus ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ini mengingatkan Ang-tok Mo-li akan sesuatu. "She Cia, ya? Apakah ada hubungannya dengan Keluarga Cia di Hui-cu?"

"Benar sekali, ibu! Kak Tin Han adalah cucu kedua dari Nenek Cia Hui-cu!"

"Hemm, bagus. Jadi ini cucu Nyonya Cia? Aku pernah bertanding mengadu ilmu dengan Nyonya Cia, dan keadaan kami seimbang. Ingin aku sekali lagi mengadu ilmu dengannya!"

"Akan tetapi Nenek Cia telah meninggal dunia, ibu. Ia terluka akibat bertanding melawan Siang Koan Bhok."

"Hemm, kalau begitu, boleh juga aku mencoba ilmu kepandaian yang ia turunkan kepada cucunya ini."

“Ibu jangan begitu! Kak Tin Han adalah sahabat baikku yang telah berulang kali menyelamatkan nyawaku."

"Sudahlah, isteriku, untuk apa mencari keributan lagi? Cucu Nyonya Cia ini tidak tahu apa-apa, jangan libatkan dia dalam pertandinganmu melawan Nyonya Cia. Mari, silakan masuk. Kita bicara di dalam saja." Mereka lalu masuk ke dalam dan duduk di ruangan depan yang cukup luas.

"Lee Cin, inikah pemuda yang kau ceritakan dahulu itu? Yang kau sangka mati masuk ke dalam jurang?"

Lee Cin mengangguk dan kedua. Pipinya berubah kemerahan. Agaknya ayahnya tahu apa yang terasa olehnya. "Benar, ayah. Ternyata dia tidak terjatuh dan mati, melainkan tertolong oleh seorang sakti yang memiliki burung rajawali hitam."

"Rajawali Hitam kau bilang? Hem, aku pernah mendengar tentang seorang manusia setengah dewa yang memiliki burung seperti itu. Kalau tidak salah nama julukannya adalah Thai Kek Cin-jin, akan tetapi nama itu hanya seperti nama tokoh dalam dongeng."

"Memang dialah orangnya, ayah! Malah dia menurunkan ilmu-ilmu silat kepada Han-ko!" kata Lee Cin gembira.

"Hemm, begitukah?" Souw Tek Bun mengangguk-angguk dan memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian dan kagum.

"Paman Souw Tek Bun, saya sengaja ikut dengan Cin-moi datang menghadap paman dan bibi berdua untuk menyampaikan dua hal penting. Akan tetapi sebelumnya saya mohon maaf terlebih dahulu."

Ang-tok Mo-li masih memandang dengan penasaran, akan tetapi Souw Tek Bun menjawab sambil tersenyum, "Katakanlah, Tin Han, apa yang ingin kau sampaikan kepada kami?"

"Pertama-tama, saya mohon maaf bahwa dahulu saya pernah menyerang paman, bahkan melukai paman dalam penyamaran saya sebagai Kedok Hitam. Sayalah orangnya, paman dan saya merasa menyesal sekali."

"Ah, itukah? Lee Cin sudah menceritakan kepada kami dan aku sudah melupakan peristiwa itu. Apalagi engkau sudah berulang kali menyelamatkan nyawa Lee Cin, maka perhitungan antara kita sudah impas. Lebih lagi kalau diingat bahwa dalam pertandingan itu akupun telah melukai lenganmu dengan pedangku. Hanya ada satu hal yang masih belum kuketahui benar. Mengapa engkau menantang dan menyerangku ketika itu, Tin Han?"

"Ampun, paman. Ketika itu, saya masih hijau dan semangat saya menggebu-gebu. Saya membenci semua orang yang bekerja untuk pemerintah penjajah dan karena paman diangkat sebagai beng-cu atas pilihan dan restu pemerintah, maka saya menganggap paman juga seorang... antek pemerintah penjajah. Itulah sebabnya saya menyerang paman."

"Ha-ha-ha, sudah kuduga begitu! Tahukah engkau, orang muda. Penyeranganmu atas diriku itulah yang menyadarkan aku bahwa kedudukanku sebagai beng-cu tidak akan mengangkat derajat dan kehormatanku sebagai seorang pendekar. Karena itu aku mengundurkan diri dari kedudukan beng-cu. Seperti kau katakan tadi, aku memaafkanmu dan bahkan sudah melupakan peristiwa itu. Sebelum menjadi murid Thai Kek Cin-jin engkau sudah begitu lihai, apa lagi setelah menjadi murid manusia setengah dewa itu, tentu kepandaianmu telah meningkat tinggi sekali, Tin Han."

“Ah, biasa-biasa saja, paman."

"Dia memang lihai sekali, ayah. Bahkan Siang Koan Bhok pernah dikalahkannya dalam pertandingan," kata Lee Cin yang sudah mendengar tentang pertandingan itu dari mulut Tin Han.

Souw Tek Bun membelalakkan matanya. "Begitukah? Ah, hebat sekali kalau begitu. Pada waktu sekarang ini sukarlah dicari orang yang akan mampu menandingi Siang Koan Bhok kecuali mungkin hanya Panglima.... eh, maksudku mantan Panglima Song Thian Lee. Lalu, hal apakah yang kedua, yang ingin kausampaikan kepada kami?"

Tin Han memandang kepada Lee Cin seperti ingin minta kekuatan dari gadis itu. Lee Cin balas memandang dan tersenyum menenangkan. Tin Han lalu mengumpulkan keberanian hatinya dan berkata, "Paman Souw dan bibi, terus terang saja bahwa di antara adik Lee Cin dan saya telah ada persetujuan untuk hidup bersama, untuk menjadi suami isteri. Oleh karena itu, sekarang saya mohon persetujuan paman berdua. Kalau sudah begitu, saya akan minta kepada orang tua saya untuk mengajukan pinangan."

Souw Tek Bun terbelalak kaget dan heran mendengar pernyataan yang demikian terus terang dan terbuka, akan tetapi mulutnya tersenyum karena diam-diam dia menyetujui kalau Lee Cin berjodoh dengan pemuda yang lihai ini. Akan tetapi sebelum dia dapat memberi jawaban, isterinya sudah cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara ketus.

"Tidak bisa! Aku pernah bermusuhan dengan Nyonya Cia, dan engkau sendiri pernah menyerang suamiku. Bagaimana mungkin aku dapat menerimanya sebagai mantu? Tidak, aku tidak setuju sama sekali!"

"Ibu.....!" Lee Cin berseru kaget.

"Lee Cin, aku adalah ibumu. Aku lebih tahu dari pada engkau. Pendeknya engkau tidak boleh berjodoh dengan pemuda ini. Hei, Cia Tin Han, engkau sudah mendengar penolakanku? Jangan suruh ayah bundamu ke sini untuk meminang Lee Cin karena aku tentu akan menolaknya dan kalau mereta berani datang, kuanggap mereka tidak tahu diri dan mungkin akan kusambut dengan tantangan!"

Lee Cin dan ayahnya terkejut sekali mendengar kata-kata yang keras dan ketus dari Ang-tok Mo-li itu. Tin Han sendiri menggigit bibirnya dan mukanya berubah pucat.

"Siang-moi! Jangan berkata demikian..." kata Souw Tek Bun kepada isterinya.

"Pendeknya aku tidak setuju kalau Lee Cin berjodoh dengan pemuda ini, habis perkara!" kata pula Ang-tok Mo-li dengan marah.

Tin Han bangkit dengan perlahan, memandang kepada Lee Cin dengan wajah pucat lalu menjadi merah, dan dengan lirih dia berkata, "Cin-moi..... aku mohon diri, engkau sudah mendengar sendiri kata-kata ibumu."

"Tidak, Han-ko!"

"Lee Cin, apakah engkau hendak menentang pendapat ibumu sendiri? Lupakah engkau bahwa sejak kecil engkau kubesarkan kudidik dan kugembleng, hanya untuk menentangku sesudah engkau dewasa? Hei, Cia Tin Han, apakah engkau tidak tahu malu? Sudah kutolak masih juga belum pergi dari sini?"

Tin Han membalikkan tubuhnya memandang kepada wanita yang marah itu, wajahnya kini berubah kemerahan dan diapun berkata, "Paman Souw dan bibi, aku mohon diri. Cin-moi selamat tinggal!" Tin Han lalu berkelebat lenyap dari situ, sudah keluar dari pondok itu dengan cepat sekali.

"Han-ko !" Lee Cin mengejar, akan tetapi ketika tiba di luar rumah ia sudah tidak melihat lagi bayangan pemuda itu dan ia tidak tahu kearah mana Tin Han pergi. Kemudian ia mengejar ke arah selatan, akan tetapi sampai belasan li ia berlari, tidak juga dapat menyusul Tin Han yang mungkin lari ke lain jurusam. Air mata Lee Ci bercucuran dan ia masih menangis ketika memasuki rumahnya.

"Ibu, kau keterlaluan, ibu! Kenapa ibu menolak bahkan mengusir Han-ko? Apa salahnya?" Ia menuntut kepada ibunya yang masih duduk di ruangan depan bersama ayahnya.

"Aku bertindak demi kebaikanmu, Lee Cin. Aku tidak setuju kalau engkau menjadi isteri keturunan keluarga Cia!"

"Akan tetapi mengapa, ibu? Apa alasanmu?" Lee Cin mendesak.

Souw Tek Bun juga berkata kepada isterinya. "Engkau harus menerangkan alasanmu yang kau katakan kepadaku tadi agar anak kita dapat mengerti, isteriku."

"Kau mau tahu? Duduklah, Lee Cin," kata Ang-tok Mo-li kepada puterinya. "Ketahuilah, Keluarga Cia itu adalah manusia-manusia yang tidak baik. Mereka mengaku sebagai patriot pembela tanah air dan hendak berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air."

"Memang benar mereka patriot!" jawab Lee Cin. "Apa salahnya dengan itu? Jangan ibu katakan bahwa ibu membela Kerajaan Mancu penjajah!"

"Huh, siapa yang membela penjajah? Aku hendak mengatakan bahwa Keluarga ia itu adalah patriot-patriot palsu. Mereka telah bersekutu dengan orang-orang jahat, bersekutu dengan orang Jepang para bajak dan bersekutu dengan pasukan pemerintah yang memberontak. Mereka menjadi patriot dan pejuang hanya untuk kedok saja.

"Sebetulnya mereka adalah orang-orang yang jahat. Ingat saja. Cia Tin Han itu nyaris membunuh ayahmu dengan memakai kedok pula, bukankah itu perbuatan pengecut dan jahat ? Dan engkau akan menjadi isterinya? Menjadi mantu Keluarga Cia yang brengsek itu?"

"Ibu salah sangka! Han-ko tidak bersekutu dengan orang-orang jahat! Dia bahkan menentang orang-orang jahat, dan ketika Keluarga Cia bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat, diam-diam dia bahkan menentangnya. Akan tetapi sekarang KeIuarga Cia sudah sadar akan kesalahan mereka dan mereka menjadi pendekar dan patriot sejati."

"Engkau membela karena engkau sudah kegilaan kepada pemuda itu! Pendeknya, kami tidak setuju kalau engkau berjodoh dengannya!"

"Ibu....!" Akan tetapi Ang-tok Mo-li membalikkan tubuhnya tidak mau memandang kepada puterinya.

"Ayah......!!" Lee Cin menoleh kepada ayahnya.

Akan tetapi orang tua ini pun hanya menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundak seperti orang yang tidak berdaya. Lee Cin terisak lalu lari ke dalam kamarnya, melempar diri ke atas pembaringan dan menangis sesenggukan Ia merasa hatinya hancur lebur, kebahagiaan yang dirasakannya ketika melakukan perjalanan bersama Tin Han lenyap seperti asap ditiup angin dan hatinya merasa perih, merasa dan bingung.

Ingin ia lari menyusul Tin Han, akan tetapi ke mana? Pemuda itu tentu sakit hati dan marah sekali karena telah ditolak, diusir dan dihina dan kalau Tin Han sengaja tidak mau menemuinya lagi, biar ia mencari keliling dunia juga tidak akan dapat berjumpa.

"Han-ko.....!" Ia merintih dan tangisnya semakin mengguguk, sampai bantalnya basah semua dan akhirnya ia jatuh pulas setengah pingsan, tidak ingat apa-apa lagi.

Malam itu Lee Cin masih rebah di dalam kamarnya. Ketika ibunya datang mengajaknya makan, ia tidak menjawab dan pura-pura tidur. Ayahnya juga datang dan meraba dahinya, akan tetapi ia pura-pura tidur juga sehingga kedua orang tua itu meninggalkan kamar dan menutup daun pintu kamarnya.

Malam telah larut, dan Lee Cin kini sadar sepenuhnya. Ia tidak tahu apakah ia tadi tidur atau pingsan. Karena tubuhnya lemas akibat dari kesedihannya yang amat sangat sehingga melukai perasaannya, Lee Cin segera bangkit duduk dan bersila di atas pembaringannya. Ia harus menjaga kesehatannya karena ia sudah mengambil keputusan untuk besok pergi meninggalkan rumah orang tuanya untuk mencari Tin Han!

Dalam keadaan seperti itu, panca indera Lee Cin menjadi peka bukan main. Oleh karena itu ia dapat mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng rumah itu. Seperti suara orang berjalan dengan ringannya di atas genting! Jantungnya berdebar penuh harap ketegangan. Mungkin Tin Han yang datang!

"Han-ko.....!” Bibirnya berbisik dan ia pun cepat keluar dari kamarnya dan melompat keluar rumah melayang naik ke atas genteng.

Akan tetapi mendengar suara gedebukan di bawah sperti orang berkelahi disusul jeritan ibunya. Ketika ia melayang turun kembali ke ruangan dalam ia melihat berkelebatnya bayangan hitam. Cia Tin Han yang menyamar menjadi Hek-tiauw Eng tong, pikirnya. Akan tetapi karena khawatir mendengar jerit ibunya tadi, ia pun tentu saja masuk ke ruangan belakang dari mana suara tadi terdengar.

"Ibu...... !" Lee Cin berseru. Ia melihat ibunya yang berwajah pucat dipapah oleh ayahnya. "Kau kenapa?"

Souw Tek Bun bersikap tenang. "Ia terluka oleh pukulan..... orang itu!"

Lee Cin cepat memeriksa keadaan ibunya yang sudah direbahkan di atas pembaringan. Ternyata di pundak ibunya terdapat tanda telapak tangan hitam sepert i yang pernah diderita ayahnya. Pukulan dari Cia Tin Han!

Lee Cin menahan mulutnya yang sudah penuh pertanyaan itu. Lebih dulu harus menolong ibunya. Dengan ilmu totok It-yang-ci Lee Cin merawat ibunya, menotok beberapa jalan darah untuk menyembuhkan luka mengandung hawa beracun itu. Itulah pukulan Hek-tokciang yang dimiliki oleh Keluarga Cia, pikirnya.

Untung tubuh ibunya kuat, maka luka itu tidak sampai membahayakan nyawanya. Setelah mengusir hawa beracun itu dari tubuh ibunya dan melihat ibunya tidak menderita lagi bahkan dapat tidur pulas, barulah Lee Cin bertanya kepada ayahnya.

"Ayah, apakah yang telah terjadi?" tanyanya.

Ayahnya menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Sungguh aku tidak menyangka sama sekali bahwa dia akan berbuat seperti ini!"

"Ayah, apa maksudmu?"

"Dia.... dia datang kembali menyerang kami. Dia lihai sehingga ibumu terpukul pundaknya, lalu dia melarikan diri."

"Dia siapa, ayah?" tanya Lee Cin dengan hati berdebar keras karena ia sudah menduga siapa orangnya.

"Aku menyesal sekali harus bicara terus terang padamu, Lee Cin. Yang menyerang kami tadi adalah seorang yang memakai pakaian dan topeng hitam, persis seperti yang kualami dahulu itu. Dialah yang telah melukai ibumu."

"Cia Tin Han?" Lee Cin mendesak.

Souw Tek Bun menghela napas. Kurasa dia orangnya, siapa lagi yang begitu lihai dapat melukai ibumu walau pun kami maju berdua? Dan lukanya sama benar dengan luka yang kuderita dahulu, bukan?"

Lee Cin mengangguk dan suaranya terdengar seperti berbisik, "Hek-tok-ci-ang....“

"Ternyata dia merasa sakit hati kepada ibumu karena siang tadi dia ditolak dan diusir, maka dia melukai ibumu. Ah, aku tidak mengira dia dapat melakukan hal seperti ini."

"Aku juga tidak percaya bahwa Han-ko dapat melakukan hal itu!" kata Lee Cin cepat.

"Akan tetapi buktinya... Lee Cin. Tidak dapat disangkal lagi bahwa tentu dia. yang melakukan hal ini.”

"Ah...... aku...... aku akan mencari dia, ayah. Kalau benar dia telah menyerang ibu dan melukainya, aku akan mengadu nyawa dengannya!"

Setelah berkata demikian, Lee Cin meninggalkan kamar ibunya dan kembali ke kamarnya sendiri. Kembali dara ini menangis sedih, akan tetapi sebab tangisnya kini berbeda dari tadi. Di dalam hatinya terjadi perang antara rindu dan benci. Kenapa Tin Han melakukan hal itu kepada ibunya? Karena sakit hati ditolak dan diusir tadi?

Akan tetapi, kalau ia perhatikan tingkah laku Tin Han selama ini, demikian gembira, demikian tenang dan demikian gagah, rasanya tidak mungkin Tin Han melakukan itu. Akan tetapi siapa tahu hati orang? Dahulu pun Tin Han pernah menyerang dan melukai ayahnya dengan pukulan yang sama.

"Awas kau.... awas kau.....! Aku akan membalas perbuatanmu ini!" Kembali Lee Cin menangis setelah mengucapkan ancaman itu.

Dan pada keesokan harinya, setelah menengok ibunya dan melihat bahwa ibunya tidak lagi terancam bahaya dan kesehatannya sudah hampir pulih kembali, ia berkata kepada ibunya.

"Tenangkanlah hatimu, ibu. Aku akan pergi mencari orang yang telah melukaimu dan akan membalaskan sakit hati ini!"

Ibunya memandang dengan sinar mata menyelidik. "Kau tahu siapa orangnya?"

"Siapa lagi kalau bukan dia ibu?"

Ibunya mengangguk. "Sudah kuduga dia bukan orang baik-baik. Keluarga Cia memang bukan keluarga yang baik. Akan tetapi engkau harus berhati-hati sekali, anakku. Dia itu lihai bukan main. Aku dan ayahmu juga tidak dapat menandinginya."

Dengan hati yang perih sekali Lee Cin menjawab, "Aku tahu, ibu. Bagaimanapun lihainya, aku tidak takut dan dia harus membayar hutangnya malam tadi."

Souw Tek Bun mencoba untuk mencegah Lee Cin pergi. "Lee Cin, tenangkan dulu hatimu dan jangan tergesa-gesa. Siapa tahu kalau pelaku penyerangan tadi malam bukan Cia Tin Han. Bagaimanapun juga, kita belum mempunyai bukti bahwa dia yang menyerang dan melukai ibumu."

"Siapa lagi kalau bukan dia, ayah? Tidak perlu bukti nyata, semuanya sudah dapat diduga. Tentu dia merasa kecewa, menyesal dan sakit hati karena kemarin ibu telah menolaknya, bahkan mengusirnya. Aku sendiri tadinya juga merasa kecewa dan menyesal sekali atas perbuatan ibu. Akan tetapi sekarang aku harus membenarkan ibu.

"Dia itu bukan seorang manusia baik-baik, seperti juga keluarganya. Aku harus menemukannya dan membalas dendam sakit hati ini. Bukan hanya karena dia telah melukai ibuku, melainkan karena dia telah mengecewakan dan menghancurkan kepercayaan dan kebahagiaan hidupku!"

Souw Tek Bun tidak dapat lagi menahan Lee Cin, maka dia hanya berpesan kepada puterinya itu, "Bagaimanapun juga, aku harap engkau tidak mengambil keputusan yang gegabah. Selidiki lebih dulu sebelum engkau bertindak sesuatu terhadap dirinya."

Berangkatlah Lee Cin meninggalkan rumahnya. Sekali ini hatinya tidak berduka karena kehilangan Tin Han, melainkan berduka karena dianggapnya Tin Han telah merusak kebahagiaan hidupnya.


Kuil Siauw-lim-pai yang berada di tepi atau Lembah Sungai Huang-ho pada hari itu tampak sunyi. Para hwe-sio sudah melakukan pekerjaan masing-masing. juga tidak tampak orang yang datang untuk bersembahyang. Karena itu, maka In Tiong Hwe-sio, ketuanya yang berusia enam puluh dua tahun, dengan santai berjalan-jalan di ruangan kuil yang luas.

Beberapa orang hwe-sio bekerja di pekarangan kuil. Ada yang merawat tumbuh-tumbuhan bunga di situ, ada yang menyapu dan ada yang membersihkan dinding dan pintu serta jendela. Melihat ini, In Tiong Hwe-sio lalu keluar ke pekarangan dan berjalan-jalan di situ. Lima orang hwesio yang bekerja di sekitar tempat itu menyambut dengan membungkuk hormat kepada ketua mereka yang dibalas oleh In Tiong Hwe-sio dengan meletakkan tangan kiri di depan dadanya.

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan di pekarangan ini telah berdiri seorang yang mengenakan pakaian hitam dan menutupi mukanya. Orang bertopeng ini segera mcnghampiri In Tiong Hwe-sio dan suaranya lantang ketika dia bertanya, "Apakah engkau yang bernama In Tiong Hwesio ketua kuil Siauw-lim-pai ini?"

In Tiong Hwesio memandang dengan penuh perhatian. "Omitohud, siapakah si-cu? Pin-ceng memang benar In Tiong Hwe-sio ketua Siauw-lim-pai (Kuil Siauw lim-si) ini."

"Ketahuilah, aku adalah Hek-tiauw Eng-hiong dan aku sengaja datang mencarimu untuk menantangmu bertanding."

"Hemm, Hek-tiauw Eng-hiong. Pinceng tidak pernah mengenalmu dan tidak ada urusan denganmu. Kenapa engkau menantang pinceng?"

"Aku menantangmu karena engkau adalah antek penjajah Mancu, karena itu mau atau tidak mau engkau harus menerima tantanganku, atau aku akan membunuhmu begitu saja walau engkau tidak menerima tantanganku. Nah, bersiaplah engkau, In Tiong Hwesio!"

Lima orang hwesio yang berada di pekarangan itu mendengar suara orang bertopeng itu dan mereka menjadi marah.

"Hei, dari mana datangnya orang gila yang menantang-nantang tidak karuan?" bentak seorang di antara mereka dan mereka berlima sudah datang mengepung si orang bertopeng. "Pergilah dari sini atau terpaksa kami akan menggunakan kekerasan menyerangmu!"

Hek-tiau Eng-hiong tertawa bergelak "Ha-ha-ha, kalian ini anjing-anjing gundul kecil berani menggonggong!"

Tentu saja lima orang hwe-sio itu menjadi marah sekali karena dimaki anjing gundul kecil. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu menubruk hendak menangkap orang bertopeng itu dan menyeretnya keluar dari halaman kuil. Akan tetapi orang bertopeng yang mengaku bernama Hek-tiauw Enghiong itu, tiba-tiba memutar tubuh dan kedua tangannya menyambar-nyambar dan robohlah lima orang itu terkena tamparan pada kepala mereka dan tidak dapat bangun kembali!

"Omitohud...!" In Tiong Hwe-sio memeriksa tubuh lima orang hwe-sio itu ternyata telah tewas dan di bagian kepala yang ditampar itu tampak tanda telapak tangan hitam! "Omitohud, engkau telah melakukan pembunuhan terhadap lima orang yang tidak berdosa!" katanya dengan marah.

"Akupun akan mengirimmu menyusul ke sana!" kata si topeng hitam.

Pada saat itu, dua orang hwe-sio lain muncul dan mereka terkejut melihat lima orang rekan mereka roboh tewas. Merekamenonton sambil bersem-bunyi di balik tembok, mendengarkandan juga menonton guru mereka menghadapi orang berto-peng itu.

"Omitohud, orang seperti engkau ini harus dibasmi dari permukaan bumi karena hanya membikin kotor saja!"

Setelah berkata demikian, In Tiong Hwe-sio menyerang orang bertopeng itu dengan kedua ujung bajunya.. Baju itu longgar dan panjang, dan lengan bajunya juga lebih panjang dari lengannya. Biarpun hanya terbuat dari kain, begintu digerakkan oleh In Tiong Hwe-sio, ujung lengan baju itu menyambar seperti terbuat dari benda keras.

"Wuuuut, wuuuuuttt...!!" sambaran ujung lengan baju itu mendatangkan angin yang kuat.

Akan tetapi Hek-tiauw Enghiong mengelak dengan ringan dan cepat pula. Kemudian dia membalas dengan pukulan-pukulannya yang ampuh. In Tiong Hwe-sio terkejut dan maklum bahwa tamparan yang sekaligus membunuh lima orang muridnya itu tidak boleh dipandang ringan.

Itu adalah pukulan yang mengandung hawa beracun, maka diapun mengelak beberapa kali lalu mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menangkis. Dua kali lengan baju kanan kiri itu menangkis tamparan yang bertubi tubi datangnya.

"Brett- bretttl" Kedua ujung lengan baju itu pecah dan robek ketika bertemu dengan tangan orang bertopeng itu.

Tentu saja In Tiong Hwe-sio menjadi semakin kaget dan terpaksa dia melawan dengan kedua tangannya. Hwe-sio ini merupakan seorang ketua cabang, dan dia adalah satu dari In Kong Thai-su ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu, maka ilmu kepandaiannya sebetulnya sudah mencapai tingkat tinggi.

Akan tetapi, kini menghadapi orang bertopeng yang mengaku sebagai Hek-tiauw Eng-hiong, dia kewalahan! Orang bertopeng itu ternyata lihai bukan main dan setelah mempertahankan diri selama limapuluh jurus lebih, akhirnya dada In Tiong Hwe-sio terkena pukulan tangan kanan orang bertopeng itu.

Tubuhnya terdorong mundur sampai beberapa meter dan hwe-sio itu terjengkang roboh dan tidak bergerak lagi. Di baju bagian dadanya terdapat tanda telapak tangan hitam yang menghanguskan baju itu dan menembus sampai ke kulit dadanya.

Setelah merobohkan In Tiong Hwesio, orang bertopeng itu lalu memasuki kuil dan begitu bertemu dengan hwe-sio dia menyerang dan merobohkannya sehingga tidak kurang dari duabelas orang hwe-sio kuil itu roboh dan tewas. Jumlah mereka yang tewas bersama In Tiong Hwe-sio ada delapan belas orang!

Setelah si topeng hitam itu pergi, barulah para hwesio yang tadi bersembunyi berani dan mereka semua dengan berduka sekali mengurus delapan belas jenazah itu. Beberapa orang hwe-sio segera melaporkan peristiwa hebat itu ke kuil Siauw-lim-si di Kwi-cu.

Dan ada pula yang langsung pergi ke pusat Siauw-limpai yang berada di kaki Gunung Sung-san di Propinsi Honan di mana yang menjadi ketuanya adalah Sang Thian Hwe-sio yang usianya sudah delapan puluh tahun dan hwe-sio tua ini merupakan susiok dari In Kong Thai-su dan juga In Tiong hwe-sio yang baru saja terbunuh.

Gegerlah Siauw-lim-pai dengan adanya peristiwa ini. Sang Thian Hwe-sio lalu memerintahkan seluruh murid Siauw lim-pai untuk mencari tahu siapa si topeng hitam berjuluk Hek-tiauw Eng-hiong dan mencarinya untuk membuat perhitungan. Juga ketua Siauw-lim-pai ini mengajak para muridnya untuk berunding, dan menyelidiki apa yang menjadi sebab pembunuhan itu.

"Menurut keterangan murid yang menyaksikan semua itu sambil bersembunyi dikatakan bahwa si topeng hitam memaki sute In Tiong Hwe-sio sebagai antek penjajah Mancu. Jelas bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh seorang patriot yang membenci pemerintah. Seorang patriot yang fanatik biasanya menganggap semua orang yang tidak mendukung gerakannya sebagai antek Mancu."

Sang Thian Hwe-sio menghela napas panjang. "Omitohud, kalau benar seperti keterangan itu. berarti bahwa patriot memusuhi kita yang dianggap membantu pemerintah Mancu. Padahal, kita ini adalah orang-orang beribadat yang hanya mengurus perkembangan agama, bagaimana kita dapat ikut-ikutan memberontak terhadap pemerintah Mancu seperti patriot itu?"

"Susiok, di antara para patriot banyak yang melakukan penyelewengan. Mereka memberontak terhadap pemerintah Mancu dan tidak segan untuk bergandengan tangan dengan tokoh-tokoh sesat dan bahkan dengan bajak-bajak Jepang. Pinceng rasa orang-orang seperti itulah yang telah membunuhi para murid Siauw-lim-pai."

"Bagaimanapun juga, kita harus menyelidiki dan mencari Hek-tiauw Enghiong itu. Apa yang telah dia lakukan terhadap para murid kita sudah keterlaluan. Engkau sendiri harus turun tangan karena orang itu memiliki ilmu silat yang tinggi, dan menurut pemeriksaan pin-ceng, para murid tewas karena pukulan semacam ilmu pukulan seperti Hektok-ciang."

"Susiok, tee-cu ingat bahwa yang terkenal dengan ilmu Hek-tok-ciang adalah Keluarga Cia yang dahulu tinggal di Hui-cu. Keluarga Cia memang terkenal sebagai patriot-patriot yang membenci pemerintah Mancu, bahkan membenci semua orang yang tidak mau memusuhi pemerintah penjajah. Besar kemungkinan seorang di antara mereka yang telah membunuh sute In Tiong Hwe-sio."

"Apakah ilmu kepandaian Keluarga Cia itu sedemikian tinggi?"

"Sepanjang pengetahuan tee-cu, yang paling lihai di antara mereka adalah Nyonya Cia atau Nenek Cia, akan tetapi siapa tahu bahwa di antara mereka kini ada yang memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi. Atau mungkin Nenek Cia sendiri yang memakai topeng hitam melakukan pembunuhan ini."

"Bagaimanapun juga, engkau harus melakukan penyelidikan."

"Baik, susiok, tee-cu akan menyebar murid-murid untuk melakukan penyelidikan dan tee-cu sendiri akan turun tangan.” kata In Kong Thai-su yang juga merasa penasaran sekali.

Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang bersih. Sekarang delapanbelas orang murid Siauw-lim-pai dibunuh begitu saja dengan tuduhan sebagai antek Mancu. Siapa yang tidak merasa penasaran?

Delapan belas jenazah itu lalu diperabukan dan diadakan upacara sembahyang besar. Banyak tokoh kang-ouw yang berdekatan dan mendengar akan berita ini datang melayat.

Pada keesokan harinya setelah upacara perabuan itu selesai, kuil Siauw lim-pai itu kedatangan serombongan pasukan pemerintah sebanyak dua losin prajurit. Rombongan pasukan ini dipimpin sendiri oleh Panglima Coa Kun, wakil Panglima Tua Bouw Kin Sek. In Kong Thai-su yang masih berada di situ dan memimpin upacara perabuan segera keluar menyambut.

"Omitohud, kepentingan apakah yang membuat ciangkun datang berkunjung ke kuil kami?" tanya In Kong Thaisu setelah mempersilakan Coa-ciang kun mengambil tempat duduk di sebelah dalam kuil.

"Kami mendengar tentang malapetaka yang menimpa kuil ini, lo-suhu. Sebetulnya, apakah yang terjadi sehingga kami mendengar ada banyak hwe-sio terbunuh? Siapa pembunuh mereka dan mengapa pula mereka dibunuh?"

"Kami sendiri tidak mengenal pembunuh itu, ciangkun, karena dia memakai topeng hitam. Dia hanya mengatakan bahwa kami adalah antek pemerintah dan dia lalu mengamuk dan melakukan pembunuhan terhadap delapan belas anggauta kami."

"Hemm, kalau begitu mudah sekali diduga. Pembunuh itu tentulah seorang pemberontak yang menentang pemerintah yang sah. Apakah ada ciri-ciri tertentu pada diri pembunuh itu? Kami merasa bertanggung-jawab untuk menyelidki dan menangkap pelakunya, Lo-suhu."

"Dia mengenakan pakaian dan kedok hitam, bertubuh sedang dan dari suaranya dia mungkin seorang muda. Tidak ada ciri-cirinya kecuali bahwa dia membunuh dengan memakai ilmu Hek-tok ciang atau semacam itu yang membuat korban tewas oleh pukulan beracun yang meninggalkan bekas tapak tangan hitam."

"Hemm, Hek-tok-ciang? Petunjuk itupun cukup. Kami akan rnengerahkan banyak mata-mata untuk menyelidiki di kalangan kang-ouw, siapa yang memiliki pukulan seperti itu. Kami merasa yakin bahwa dia seorang pemberontak yang membenci kalian karena Siauw-lim-pai bukan pemberontak. Mari kita bekerja sama untuk menangkap pemberontak itu, lo-suhu."

Di dalam hatinya In Kong Thai-su sama sekali tidak suka kalau diharuskan bekerja sama dengan pemerintah Mancu, akan tetapi untuk menolak secara terang-terangan dia merasa tidak enak. Apalagi perwira itu mengulurkan tangan untuk bantu menyelidiki dan menangkap pembunuh itu. Maka dia lalu merangkap kedua tangan depan dada dan berkata.

"Omitohud, terima kasih sekali atas maksud ciangkun yang hendak membantu kami menyelidiki dan menangkap pembunuh itu. Akan tetapi kami sendiri sudah mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan sendiri."

"Baik kalau begitu, lo-suhu. Kalau kami mendapatkan jejak, akan kami beritahukan kepada kalian, akan tetapi sebaliknya kalau kalian menemukan jejak, harus memberitahu kami agar kami dapat bertindak menangkap pembunuh itu."

"Omitohud, baik, ciangkun," jawab In Kong Thai-su, namun dalam hatinya dia mengambil keputusan untuk tidak melibatkan pemerintah dalam urusan Siauw-lim-pai dengan pembunuh itu. Bahkan In Kong Thai-su tidak memberitahukan kepada Coa-ciangkun bahwa pembunuh itu meninggalkan nama, yaitu Hek-tiauw Eng-hiong.

Tidak sampai sebulan kemudian, terjadi hal yang menghebohkan di Kun-lun-pai. Para tosu Kun-lun-pai mendengar pula akan pembunuhan sadis yang dilakukan seorang bertopeng hitam terhadap orang-orang Siauw-lim-pai di Lembah Huang-ho. Mereka bahkan mengirim utusan untuk menyampaikan bela sungkawa....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.