Rajawali Hitam Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo, Rajawali Hitam Jilid 10
Sonny Ogawa

Rajawali Hitam Jilid 10

Pada hari itu, Im Yang Seng-cu, ketua Kun-lun-pai sendiri, melakukan penelitian terhadap latihan para murid Kun-lun pai. Tentu saja bukan dia sendiri yang melatih karena Im Yang Seng-cu sudah berusia tujuh puluh tahun lebih.

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Yang para murid itu adalah dua orang sutenya yang bernama Thian Hwat To-su dan Te Hwat To-su. Biarpun tingkat kepandaian kedua orang tosu ini masih setingkat di bawah ilmu kepandaiaii Im Yang Seng-cu, namun mereka berdua sudah memiliki kepandaian yang tinggi.

lm Yang Seng-cu pagi itu duduk di atas bangku dan melihat para murid sedang berlatih di bawah bimbingan kedua orang sutenya itu. Mereka berlatih di luar asrama, di dalam sebuah taman yang hawanya nyaman sekali. Para murid itu terdiri dari laki-laki semua, dan mereka melepaskah baju bagian atas.

Kini dada dan punggung mereka berkilat tertimpa sinar matahari karena mereka telah mandi keringat berlatih di bawah sinar matahari pagi itu. Ada tiga puluh orang murid yang berlatih dan Im Yang Sengcu mengangguk-angguk puas melihat hasil latihan para murid.

Tiba-tiba terdengar suara orang, "Hah, begini saja ilmu silat dari Kun-run pai ? Tidak sehebat nama besarnya!"

Tentu saja semua murid berhenti latihan dan semua orang, termasuk Im Yang Seng-cu memandang ke arah datangnya suara itu. Dan di sana, entah kapan dan dari mana datangnya, telah berdiri seorang yang perawakannya sedang. Orang itu memakai pakaian serba hitam, bahkan mukanya ditutup sehelai kain hitam.

Tentu saja semua orang terkejut. Berita tentang kematian orang-orang Siauwlim-pai oleh seorang bertopeng hitam masih hangat dalam ingatan mereka dan kini muncul orang bertopeng hitam di situ! Karena orang itu mencela ilmu silat Kun-lun-pai, tentu saja para murid, Kun-lun-pai menjadi marah.

Mereka mengambil sikap menyerang, akan tetapi Thian Hwat To-su mengangkat tangan menahan para muridnya dia bersama Te Hwat To-su menghampiri orang bertopeng itu.

"Sobat, siapakah engkau dan ada keperluan apa engkau datang ke tempat kami ini?"

Si Kedok Hitam itu tertawa. "Sebut saja aku Hek-tiauw Eng-hiong! Aku kebetulan lewat dan melihat kalian berlatih Untuk apa susah payah berlatih silat kalau tidak dipergunakan sebagai mana mestinya? Apa kah kalian berlatih silat hanya untuk pamer dan menakut-nakuti orang saja?"

"Sobat, apa maksudmu? Sejak dulu Kun lun pai memang mengajarkan silat kepada semua murid untuk menjaga kesehatan badan dan juga untuk membela diri, membela kebenaran dan keadilan."

"Membela kebenaran dan keadilan? Ha-ha-ha, kalau begitu, mengapa kalian tidak menentang pemerintah penjajah Mancu? Seharusnya sebagai pendekar-pendekar kalian harus menentang penjajah. Akan tetapi tidak, kalian bahkan menjadi antek bangsa Mancu!"

"Tutup mulutmu!" bentak Te Hwat To-su. "Kami tidak pernah menjadi antek Mancu!"

"Ha-ha-ha, orang yang tidak mau menentang penjajah Mancu berarti menjadi antek Mancu. Akan tetapi, dengan ilmu silat kalian yang rendah itu memang tentu saja kalian takut terhadap penjajah Mancu."

"Kata-katamu agaknya menghina dan mencari perkara, sobat," kata Thian Hwat To-su. "Timbul pertanyaan kami apakah engkau orangnya yang telah menyerang Siauw-limpai dan membunuh belasan orang anggauta Siauw-limpai?"

"Ha-ha-ha..... bukan lain adalah antek Mancu dan aku paling benci terhadap antek Mancu seperti kalian. Apakah kalian menjadi marah dan semua muridmu akan mau mengeroyokku? Silakan, aku tidak takut terhadap pengeroyokan orang-orang pengecut macam kalian!"

Dua orang to-su itu tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi pada saat itu lm Yang Seng-cu berkata dengan suara berwibawa, "Siancai! Tahan dulu dan bersikaplah tenang, sute. Sobat muda, katakanlah terus terang apa yang engkau kehendaki maka engkau berkunjung ke sini? Apakah engkau datang hanya untuk menghina kami tanpa sebab?"

"Aku datang untuk menantang Kun lun-pai karena Kunlun-pai menjadi antek Mancu. Siapa yang memiliki ilmu silat akan tetapi tidak menentang penjajah Mancu kuanggap sebagai antek Mancu yang patut dibasmi. Engkau orang tua tentulah lm Yang Seng-cu ketua Kun-lun-pai. Nah, aku tantang engkau untuk mengadu ilmu! Kalau kalian mau mengeroyokku, akupun tidak takut!"

"Siancai...." Im Yang Seng-cu berseru, kaget dan heran. Thian Hwa To-su segera berkata kepada ketua Kun-Iun-pai itu. "Suheng, biarkan kami yang melawan orang kurang ajar ini!"

Im Yang Sang- cu mengangguk. "Akan tetapi majulah satu satu, jangan menggunakan pengeroyokan, itu tidak sesuai dengan watak murid Kun-lun-pai!"

Te Hwat To-su sudah meloncat maju dan menantang si Kedok Hitam. "Hek-tiauw Eng-hiong, pintolah lawanmu!" tantangnya.

"Wah, engkau tidak akan mampu menandingi aku. Biarlah Im Yang Sengcu sendiri yang maju," orang berkedok itu mengejek.

"Jangan banyak cakap lagi, kalau memang berani majulah!" Te Hwa To-su yang sudah marah sekali berkata dengan lantang.

"Siapa takut padamu? Lihat seranganku!" Si Kedok Hitam menyerang dan Te Hwat To-su terkejut melihat tangan yang berubah menjadi hitam dan mengeluarkan asap hitam itu.

Dia mengelak dan balas menyerang dan mereka segera saling serang dengan sengit. Namun agaknya Te Hwat To-su memang bukan lawan Hek-tiauw Eng- hiong. Baru tigapuluh jurus mereka saling serang dan ketika Hek-tiauw Eng-hiong membentak dan memukul, tamparan tangan kirinya sudah mengenai dada to-su itu.

"Bukk......!" Te Hwa To-su terpental dan roboh tak berkutik lagi. Bajunya bagian dada robek dan tamparan itu mengenai dada meninggalkan bekas tapak tangan hitam!

Thian Hwa To-su marah sekali. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa sutenya telah tewas. Dengan pedang di tangan dia melompat ke depan dan membentak, "Manusia keji, keluarkan senjatamu!"

"Ha-ha-ha, untuk melawanmu aku tidak perlu menggunakan senjata. Pakailah pedangmu untuk menyerang aku!" Si Kedok Hitam menantang. Mendengar tantangan ini Thian Hwa To-su tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

"Lihat pedang!" Dia berseru dan secepat kilat pedangnya sudah menyambar ke arah leher Si Kedok Hitam.

Akan tetapi dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali, Si Kedok Hitam sudah dapat mengelak mundur dan begitu pedang menyambar luput, dia sudah melangkah maju lagi dan merigirim pukulan dengan tapak tangan terbuka ke arah dada Thian Hwa To-su. Maklum betapa ampuhnya pukulan itu, pukulan yang telah menewaskan sutenya, Thian Hwa To-su mengelak sambil membahat ke arah tangan yang memukul itu.

Akan tetapi Hek-tiauw Eng-hiong menarik kembali tangannya dan setelah sabatan pedang lewat, dia memukul lagi sampai tiga kali secara beruntun. Thian Hwa To-su terdesak dan memutar pedangnya melindungi dirinya, akan tetapi sebuah tendangan dari samping mengenai pinggangnya dan 'Thian Hwa To-su terhuyung-huying.

Melihat lawan sudah terhuyung, Si Kedok Hitam menyusulkan pukulan. Thian Hwa To-Su menangkis dengan pedangnya, akan tetapi tangan yang memukul itu menyambut dan menjepit pedang! Pedang itu terjepit jari-jari tangan Si Kedok Hitam, tidak mampu ditarik kembali dan tiba-tiba tangan kanan Si Kedok Hitam menyambar dengan tamparannya yang mengenai pelipis Thian Hwa To-su.

"Plakk!" Thian Hwa To-su terpelanting dan roboh tak dapat bergerak lagi.

"Siancai.....!" Im Yang Seng-cu berseru dan tubuhnya melayang maju. Maksudnya hendak menolong Thian Hwa To-Su akan tetapi dia sudah terlambat.

Melihat tosu tua itu melayang datang, Si Kedok Hitam menyambutnya dengan pukulan Hek-tok-ciang yang ampuh itu. Im. Yang Seng-cu menyambut dengan dorongan tangan kanannya pula.

"Wuuutttt...... plakk!!" Dua telapak tangan bertumbuk di udara dan akibatnya, kedua orang itu lama-sama terpental sampai dua meter lebih.

Im Yang Seng-cu menahan napas dan merasa dadanya nyeri. Akan tetapi dia menahan dirinya sehingga tidak tampak terpengaruh pukulan. Sebaliknya, Si Kedok Hitam juga merasa betapa dadanya nyeri, tanda bahwa dia sudah terluka dalam. Melihat lawannya kelihatan tidak apa-apa, hatinya menjadi kecut dan tanpa banyak cakap sekali berkelebat Si Kedok Hitam lenyap dari tempat itu.

Setelah Si Kedok Hitam pergi, barulah Im Yang Seng-cu terhuyung. Beberapa orang muridnya melompat maju dan memapahnya memasuki kuil dan merebahkannya di dalam kamarnya. Im Yang Seng-cu telah menderita luka dalam yang cukup parah, akan tetapi untung nyawanya masih dapat tertolong dengan minum obat luka dalam yang ampuh dari Kun-lun-pai.

Berita tentang serangan Hek-tiauw Eng-hiong ke Kunlun-pai ini segera tersiar luas. Dunia kang-ouw mengetahui bahwa seorang pendekar muda yang baru, berjuluk Hek-tiauw Eng-hiong dan selalu mengenakan topeng hitam, memusuhi partai-partai persilatan besar, bahkan melakukan pembunuhan di kuil Siauw-lim-si dan juga di Kun-lun-pai.

Gegerlah dunia kang-ouw dan para pendekar yang merasa marah atas perbuatan Hek-tiauw Eng-hiong, ikut pula melakukan penyelidikan untuk mencari Pendekar Rajawali Hitam itu. Karena dalam penyerangan terhadap Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai itu Si Kedok Hitam menggunakan pukulan yang meninggalkan bekas tapak tangan hitam, semua orang kang-ouw menduga bahwa Si Kedok Hitam itu tentulah anggauta Keluarga Cia yang terkenal mempunyai ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)!


Tin Han yang meninggalkan Hongsan berlari cepat meninggalkan gunung itu. Hatinya terasa nyeri dan pedih. Bukan saja lamarannya ditolak, bahkan dia diusir dan dihina oleh ibu kandung Lee Cin! Kalau saja tidak teringat kepada gadis yang dicintanya itu, tentu dia sudah menantang Ang-tok Mo-li untuk mengadu kepandaian.

Dengan wajah sebentar merah sebentar pucat dia lari ke arah timur. Akhirnya dia berhenti di bawah sebatan pohon besar. Karena merasa hatinya terganggu dan semangatnya lemah, dia lalu duduk bersila di bawah pohon itu untuk menghimpun hawa murni menenangkan hatinya. Dia kini dapat berpikir dengan tenang dan tampaklah kenyataan olehnya bahwa tuduhan Ang-tok Mo-li itu tidak terlalu salah.

Wanita itu pernah bentrok dengan neneknya agaknya masih mendendam karena bentrokan itu dan menganggap Keluarga Cia sebagai musuhnya. Tentu saja ia tidak membiarkan puterinya menikah dengan anggauta keluarga yang menjadi musuhnya. Apalagi kalau diingat betapa neneknya selama ini bertindak salah bersekutu dengan para tokoh sesat. Dia menghela napas panjang. Dia merasa kasihan kepada Lee Cin.

Bagaimana dengan gadis itu? Dia tahu bahwa Lee Cin amat mencintanya seperti juga dia mencinta gadis itu. Akan tetapi kalau ibunya, menentang keras perjodohan mereka, apa yang dapat mereka lakukan? Dia membayangkan betapa sedihnya hati Lee Cin.

Dia juga menyesali perbuatanuya sendiri bahwa dahulu pernah dia menyerang dan melukai Souw Tek Bun, ayah gadis itu. Biarpun pendekar itu tidak mengandung sakit hati dan telah memaafkannya, akan tetapi isterinya tidak mau memaafkannya dan bahkan membencinya.

"Cin- moi,... kasihan... engkau... Dia bangkit berdiri dan menghela napas panjang kembali. Akan tetapi dia percaya bahwa jodoh, seperti kelahiran dan kematian, berada dalam Tangan Tuhan. Kalau memang dia berjodoh dengan Lee Cin, tentu terbuka jalan bagi dia dan Lee Cin untuk menjadi suami isteri. Akan tetapi kalau Tuhan menghendaki lain, apa dayanya? Dia hanya menyerah atas kehendak Tuhan.

Kepercayaan dan penyerahan ini menenangkan batinnya Dan dia mulai melihat cerahnya sinar matahari lagi. Tidak perlu membenamkan diri dalam kedukaan. Berlarut-larut dalam kedukaan hanya akan melemahkan batinnya, memadamkan semangatnya. Dia harus berani menghadapi segala kenyataan, betapapun pahit dan tidak enaknya kenyataan itu.

"Tin Han, engkau bukan seorang anak yang cengeng!" demikian dia mencela dirinya sendiri dan mulailah wajahnya bersinar dan berseri kembali, pandang matanya tidak muram seperti tadi. Sinar harapan memancar lagi dari pandang matanya. Tidak, dia tidak boleh putus harapan.

Bagaimanapun juga, yang penting dia dan Lee Cin saling mencinta dan tidak ada apapun juga di dunia ini yang dapat mengubahnya. Dengan sikap begini, Tin Han dapat melanjutkan perjalanannya merantau dan di manapun dia berada, selalu dia mengulurkan tangan untuk membela orang-orang yang tertindas dan menentang orang-orang jahat.

Dua bulan telah lewat dan pada suatu hari, tibalah dia menjelang senja sebuah dusun. Ketika dia memasuki dusun itu, terdengar suara ribut-ribut orang berseru minta tolong dan ada yang mengaduh-aduh. Mendengar ini, Tin Han cepat melepaskan pakaian luarnya dan sebagai Hek-tiauw Eng-hiong dia lalu berlari cepat memasuki dusun itu.

Setibanya di tengah dusun, kemarahan hatinya melihat belasan orang laki-laki yang bertampang serem sedang melakukan perampokan, pemukulan dan ada pula dua orang yang sedang menyeret seorang gadis manis sambil tertawa-tawa. Perampokan! Tin Han marah sekali.

Betapa jahatnya orang-orang itu, merampok penduduk dusun! Dengan hati panas dia melompat ke arah dua orang yang menyeret gadis itu, tangannya bergerak dua kali dan dua orang itu terpelanting roboh. Dua kali tendangan menyusul membuat mereka berdua tidak mampu bangkit berdiri lagi, hanya mengaduh-aduh kesakitan.

Para perampok yang melihat kejadian ini, tentu saja menjadi marah sekali. Dengan golok di tangan mereka menyerbu menyerang Hek-tiauw Eng-hiong, dipimpin oleh seorang yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok.

Hek-tiauw Eng-hiong tahu bahwa tentu si tinggi besar brewokan ini yang menjadi kepala perampok itu, maka melihat kepala rampok itu mengayunkan golok besar ke arahnya, dia menyambut dengan tamparan tangan kiri yang mengenai pundak kanan kepala perampok itu.

"Krekk!" Tulang pundak itu patah dan golok besar itupun terlepas dari tangan. Sebuah tendangan membuat tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting jatuh. Anak buah perampok yang belasan oran jumlahnya lalu mengeroyok Hek-tiau Eng-hiong akan tetapi Pendekar Rajawali Hitam itu mengamuk, tamparan dan tendangannya tentu mengenai seorarang lawan dan membuatnya roboh.

Dalam waktu yang singkat saja, belasan orang perampok itu sudah roboh semua. Melihat betapa para perampok sudah roboh tak berdaya, mengamuklah para penduduk dusun. Dengan senjata seadanya mereka menghujani para perampok dengan pukulan dan tusukan. Para perampok tdak mampu melawan lagi dan banyak di antara mereka tewas oleh amukan penduduk dusun itu.

Terdengar derap kaki kuda. Lima orang laki-laki memasuki dusun itu dan melihat penduduk dusun mengamuk, mereka berseru, "Hentikan! Apa yang telah terjadi di sini?"

Mereka adalah lima orang yang berpakaian ringkas sebagai pendekar, dengan pedang di punggung mereka dan tampak gagah perkasa. Usia mereka antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun.

"Mereka adalah perampok-perampok dan beruntung kami ditolong oleh Enghiong (pendekar) ini!" kata penduduk imbil mending ke arah Hek- tiauw Eng-hiong.

"Hek-tiauw Eng-hiong!" lima orang itu berseru ketika mereka melihat Pendekar Rajawali Hitam dan segera mereka berlompatan turun dari atas kuda mereka. Seorang di antara mereka menambatkan kuda-kuda mereka itu di batang pohon, sedangkan yang empat orang sudah menghampiri Tin Han.

Tin Han tidak mengenal mereka dan dia merasa heran bahwa lima orang itu mengenal nama julukannya. Mungkin juga, pikirnya. Di mana-mana dia telah meninggalkan nama julukan itu kalau memperkenalkan diri dan karena dia berpakaian dan bertopeng hitam sehingga mudah di kenal oleh lima orang ini.

"Engkau Hek-tiauw Eng-hiong!" berkata seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung dan matanya tajam.

Pendekar Rajawali Hitam mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata, "Benar, saya Hek-tiauw Eng-hiong. Saya melihat belasan orang perampok ini sedang menyerang penduduk, maka saya lalu turun tangan membantu para penduduk."

Akan tetapi, jawaban Hek-tiauw Eng-hiong ini disambut dengan pencabutan pedang oleh lima orang itu. "Hek-tiauw Eng-hiong!" bentak orang kurus itu sambil menudingkan pedangnya ke arah muka Tin Han. "Sudah lama kami mencarimu untuk membuat perhitungan atas perbuatanmu! Bersiaplah tintuk melawan kami!"

Tin Han tertegun, heran dan terkejut mendengar tantangan itu. "Eh, apa artinya ini? Mengapa cu-wi (anda sekalian) menantangku?"

"Hek-tiauw Eng-hiong, seorang laki-laki harus berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya!"

"Nanti dulu, sobat. Perbuatanku yang mana harus kupertanggung-jawabkan?"

"Masih berpura-pura? Engkau telah membunuh dua orang paman guru kami dan masih pura-pura tidak tahu akan dosamu? Hayo para sute, serang dan bunuh keparat ini!" teriak si jangkung marah dan iapun sudah menggerakkan pedangnya untuk menyerang, diikuti oleh empat orang sutenya dan lima orang itu menghujankan serangan pedang mereka kepada Tin Han.

Tin Han terkejut sekali mendengar tuduhan itu. "Tahan dulu, aku tidak melakukan pembunuhan itu!" katanya sambil mengelak.

Akan tetapi lima orang pengeroyoknya tidak memperdulikan seruannya dan menyerang semakin hebat. Lima orang itu adalah murid-murid Kun-lun-pai tingkat atas, maka ilmu pedang mereka sudah lihai sekali.

Tin Han menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak dan meloncat ke sana sini. Dia tidak mau membalas karena maklum bahwa mereka itu adalah pendekar-pendekar Kun- lun-pai yang entah bagai mana, menuduhnya sebagai pembunuh dua orang paman guru mereka.

Karena mereka tidak mau mendengar kata- kata punyangkalannya, diapun bergerak cepat, melompat jauh dan berkelebat lenyap dari depan mereka. Lima orang itu bersiap mengejarnya, akan tetapi bayangannya telah berkelebat cepat sekali.

"Mari kita kejar!" teriak si jangkung dan mereka lalu berlompatan ke atas punggung kuda mereka dan membalapkan kuda melakukan pengejaran ke arah lenyapnya bayangan hitam tadi. Namun, Hek-tiauw Enghiong tidak dapat mereka kejar karena sudah lenyap entah kemana.

Sementara itu, orang-orang dusun menjadi bengong terheran-heran melihat penolong mereka tadi di keroyok oleh lima orang pendekar itu. Mereka tidak berani mencampuri dan setelah mereka semua pergi, para penduduk lalu mengurus mayat-mayat perampok yang mereka keroyok. Ada tujuh orang perampok yang tewas dan sisanya melarikan diri cerai berai.

Biarpun tadi mereka melihat betapa Hek-tiauw Eng-hiong dikeroyok para pendekar yang menuduhnya melakukan pembunuhan, namun orang-orang dusun itu tetap menjunjung nama Hek-tiauw Eng-hiong sebagai tuan penolong mereka.

Tin Han cepat mengenakan pakaian luarnya yang menutupi pakaian hitam itu dan melanjutkan perjalanan. Dia melihat lima orang murid Kun-lun-pai tadi membalapkan kuda mereka melewatinya, namun mereka tidak mengenalnya.

Maka mengertilah Tin Han bahwa yang mereka musuhi dan sangka sebagai pembunuh dua orang paman guru mereka di Kun-lun-pai adalah Hek-tiauw Eng-hiong dan bukan Cia Tin Han.

Ini tentu fitnah, pikirnya. Dia tidak merasa pernah membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai! Baik sebagai Tin Han maupun sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Kalau benar seperti tuduhan lima orang pendekar Kun-lun-pai tadi bahwa Hek-tiauw Eng-hiong membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai, maka yang melakukannya itu jelas orang lain yang mengaku sebagai Hek-tiauw Enghiong!

Ada orang yang memalsukannya! Dia harus menyelidiki hal ini sampai tuntas. Dia harus membuktikan bahwa bukan Hek-tiauw Eng-hiong yang melakukan pembunuhan itu melainkan orang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong.

Namanya sedang dibikin buruk orang. Dan tidak sukar baginya untuk menebak siapa orang yang telah memalsukan namanya melakukan pembunuhan. Tentu seorang di antara mereka yang pernah bentrok dengan Hek-tiuw Eng-hiong. Siapakah mereka itu? Tin Han mengingat-ingat. Banyak tokoh sesat yang pernah berurusan dengan Hek-tiauw Enghiong.

Paling akhir dia membebaskan Lee Cin dari tangan Yauw Seng Kun dan Ban-tok Mo-li sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Dua orang itu tentu sakit hati terhadap Pendekar Rajawali Hitam. Siapa lagi yang pernah ditentang Si Rajawali Hitam? Dia mengingat-ingat.

Thian Te Mo-ong dan kawan-kawannya seperti Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai yang pernah membantu pemberontakan dan menawan Song Thian Lee dan Lee Cin, kemudian juga gerombolan kaum sesat itu dia tentang ketika dia membantu Song Thian Lee dan isterinya yang diserbu mereka.

Jelaslah, tentu se orang di antara golongan sesat itu yang kini membikin pembalasan secara licik dan curang, yaitu dengan menyamar sebagai Hek- tiauw Eng-hiong melakukan pembunuhan terhadap dua orang tokoh Kun-lun-pai. Apa maksud mereka? Tentu untuk mengadu domba! Biar Hek-tiauw Eng-hiong dimusuhi para pendekar!

"Jahat, curang dan keji sekali mereka!" gerutu Tin Han sambil mengepal tinju. Akan tetapi dia yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong tentulah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Siapakah di antara mereka yang memiliki ilmu yang tinggi?

Ilmu kepandaian Yauw Seng Kun, Ban-tok Mo-li, Thian- te Mo-ong, Hek-bin Mo-ko, Sinciang Mo-kai dan lain-lainnya itu biarpun sudah cukup tinggi, namun kiranya belum cukup untuk berani membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai. Agaknya hanya Siang Koan Bhok yang mungkin berani melakukan hal itu. Akan tetapi Siang Koan Bhok adalah seorang datuk besar.

Maukah dia merendahkan diri sampai sedemikiati rupa, menggunakan cara yang licik dan curang untuk menjatuhkan nama Hek-tiauw Eng-hiong? Pula, Siang Koan Bhok pernah bertempur dengannya dan dia kalahkan. Akan tetapi ketika itu dia mengalahkannya sebagai Cia Tin Han, bukan sebagai Pendekar Rajawali Hitam.

Tin Han melamun sambil melanjutkan perjalanannya menuju ke timur. Dia memasuki propinsi Ho-nan dan ketika dia tiba di kaki pegunungan Sung-san, tiba-tiba dari belakangnya terdengar derap kaki banyak kuda. Makin lama suara itu semakin gemuruh dan ternyata yang lewat adalah pasukan yang jumlahnya tidak kurang dari duaratus orang! Dia minggir dan mengintai dari balik batang pohon.

Pasukan itu di pimpin oleh seorang panglima dan yang menunggang kuda paling depan, dekat sang panglima adalah orang-orang berpakaian biasa, orang-orang kang-ouw yang wajahnya bengis dan kasar. Dari lagak dan pakaiannya saja Tin Han dapat menduga bahwa belasan orang itu adalah orang-orang kang-ouw dan bukan golongan pendekar, melainkan lebih mirip golongan sesat! Bagaimana pula ini?

Orang-orang golongan sesat pergi bersama pasukan pemerintah? Dia lalu teringat akan gerakan yang dilakukan panglima kerajaan yang mengadakan pertemuan rahasia dengan Thian-te Moong dan kawan-kawannya. Benar, kini orang-orang kangouw golongan sesat sudah bekerja sama, atau dipergunakan oleh pasukan pemerintah Mancu untuk memusuhi para pendekar dan patriot!

Ke manakah rombongan ini hendak pergi? Tin Han tertarik sekali dan diam-diam dia mengikuti rombongan berkuda itu. Mereka mendaki bukit kecil di kaki pegunungan Sung-san dan memasuki sebuah hutan. Agaknya para tokoh kang-ouw itu menjadi petunjuk jalan karena mereka yang kini berjalan di depan.

Tak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah perkampungan baru dan segera terjadi pertempuran ketika dari perkampungan itu muncul puluhan orang yang segera menyerang begitu melihat rombongan pasukan pemerintah.

"Hancurkan anjing-anjing Mancu!" teriak mereka.

"Basmi penjajah Iaknat!"

Tin Han melihat betapa beberapa orang dari para penyerang itu memakai baju yang ada gambarnya sebatang teratai putih, maka tahulah dia bahwa mereka itu adalah para anggauta Pek-lian-pai (Perkumpulan Teratai Putih) yang terkenal sebagai sebuah di antara perkumpulan yang anti pemerintah Mancu. Tin Han hanya tinggal diam saja. Dia tidak ingin terlibat.

Kalau dulu, tentu mendiang neneknya akan membantu pihak Pek-lian-pai karena bagi neneknya itu, sebelum sadar menganggap bahwa siapa yang menentang pemerintah penjajah Mancu adalah sekutunya, sebaliknya siapa yang menentang penjajah adalah musuhnya. Akan tetapi dia menentang pendirian itu.

Peklian-pai memang terkenal sebagai pemberontak yang gigih, akan tetapi merekapun terkenal sebagai golongan sesat yang tidak segan-segan mengganggu rakyat jelata. Perjuangan mereka berpamrih demi kesenangan diri pribadi, merebut kekuasaan untuk berganti menjadi penguasa, bukan sekedar membebaskan rakyat jelata dari penindasan kaum penjajah.

Karena ini, melihat pertempuran itu, Tin Han tinggal diam saja, hanya menonton dari jauh. Dia naik ke atas pohon yang tinggi dan dari situ dia dapat melihat pertempuran itu. Pihak Pek-lian-pai ternyata hanya berjumlah kurang dari seratus orang, maka menghadapi pasukan pemerintah yang dua ratus orang jumlahnya itu, mereka kewalahan. Apa lagi di pihak pemerintah terdapat orang-orang kangouw yang lihai.

Dalam waktu satu jam saja mereka sudah lari kalang kabut, meninggalkan teman yang mati atau terluka. Dan Tin Han menyaksikan pembantaian yang kejam. Pasukan pemerintah itu seperti berpesta pora membacoki tubuh-tubuh para pemberontak itu sehingga mereka yang terluka tewas pula dalam keadaan mengerikan.

Kemudian pasukan itu merampok semua barang berharga yang ditinggalkan pemberontak, lalu membakar perkampungan baru yang menjadi sarang Pek-lian-pai itu. Bau sangit menusuk hidung ketika pasukan itu melempar-lemparkan semua mayat itu ke dalam api yang sedang berkobar melahap rumah-rumah kayu itu.

Setelah semua rumah bernyala, pasukan itu meninggalkan sarang Pek-lian-pai sambil bersorak gembira karena kemenangan. Kemenangan selalu membuat pasukan bergembira, lupa akan kawan-kawan yang tewas dalam pertempuran.

Tin Han menyaksikan ini semua dan dia menghela napas. Perang memang kejam. Manusia saling memburruh tanpa sebab pribadi. Mereka itu tidak saling kenal, akan tetapi saling membunuh dengan kejamnya. Dan dia maklum bahwa pemberontakan-pemberontakan itu tidak akan berhasil karena mereka tidak didukung rakyat.

Pemberontakan harus didukung seluruh rakyat, baru ada harapan akan berhasil baik. Kalau hanya pemberontakan kecil-kecilan itu, bagaimana akan mampu menandingi kekuatan pasukkan Mancu yang besar?

Setelah pasukan Mancu yang lewat di bawah pohon besar di mana dia bersembunyi dan menonton pertempuran itu pergi jauh, Tin Han turun dari pohon. Dia lalu menuruni bukit itu. Dari jauh api yang membakar perkampungan itu masih tampak asapnya dan dia menghela napas, teringat akan keadaan dirinya.

Dia baru saja mengalami himpitan batin karena terpaksa harus berpisah dari Lee Cin yang dicintanya, bahkan terpaksa harus meninggalkan gadis itu dengan hati terluka, ditolak dan diusir oleh ibu gadis itu. Belum juga luka di hatinya itu berkurang nyerinya, tiba-tiba saja dia dikeroyok lima orang pendekar Kun-lun-pai yang menuduhnya telah membunuh dua orang tokoh Kun-lun-pai sebagai Hek-tiauw Eng-hiong!

Di mana letak kesalahan ini? Jelaslah -bahwa ada orang menyaru sebagai Hek-tiauw Enghiong melakukan pembunuhan itu untuk menjatuhkan nama Hek-tianw Enghiong, agar pihak Kun-lun-pai memusuhinya.

Tiba-tiba dia teringat. Dia berada di daerah pegunungan Sung-san. Bukankah pusat Siauw-lim-pai berada di kaki Gunung ini? Dia tahu bahwa Siauw-lim-pai merupakan pusat yang melahirkan banyak pendekar yang kenamaan dan para pendekar Siauw-lim-pai tidak ada yang pernah menjadi antek Mancu.

Mungkin para tokoh Siauw-lim-pai dapat memberi penjelasan kepadanya tentang Hek-tiau Enghiong yang dituduh membunuh dua orang tokoh Kun-lunpai dan menceritakan apa sebetulnya yang terjadi. Setelah mengambil keputusan demikian, Tin Han melanjutkan langkahnya untuk mencari sebuah dusun di mana dia dapat bertanya di mana adanya kuil Siauw-limi yang tersohor itu.


Pemuda itu tampan dan gagah, tubuhnya sedang dan gerak geriknya lembut, pakaiannya juga indah seperti seorang kong-cu (tuan muda), di pinggangrya terselip sebatang suling perak. Pemuda itu adalah Cia Tin Siong.

Seperti diketahui, setelah keluarga Cia berpencar. Tin Siong melakukan perjalanan seorang diri. Dalam perjalanannya itu dia selalu bertindak seperti seorang pendekar yang menolong mereka yang tertindas dan menentang kejahatan dengan gagah perkasa.

Pada suatu hari, ketika, dia melakukan perjalanan melalui sebuah lereng bukit, dia melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun dan seorang gadis cantik berusia delapanbelas tahun sedang dikeroyok oleh belasan orang perampok yang ganas. Para perampok itu semua menggunakan golok besar dan laki-laki dan gadis yang dikeroyok itu menggunakan sebatang pedang.

Biarpun laki-laki setengah tua dan gadis itu memiliki ilmu pedang yang baik, yang menurut penglihatan Tin Siong adalah ilmu pedang dari Bu-tong-pai, namun pengeroyokan belasan orang perampok itu membuat mereka terdesak hebat. Para perampok itu memiliki ilmu golok yang cukup baik dan karena jumlah mereka jauh lebih besar maka kini mereka mengepung dengan ketat dan agaknya dua orang itu tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi.

Melihat ini, mudah saja bagi Tin Siong untuk membantu pihak yang mana. Laki-laki dan gadis itu adalah murid-murid Bu-tong-pai, tentu mereka. tergolong pendekar dan melihat sikap para pengeroyok itu, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan sesat yang melakukan pengeroyokan dengan kasar dan curang.

Tin Siong tidak merasa ragu lagi untuk membantu pihak mana. Dia mencabut suling peraknya dan segera melompat dan terjun ke dalam pertempuran itu, menggunakan suling peraknya untuk menyerang para pengeroyok. Dua orang pengeroyok roboh oleh totokan sulingnya dan seorang lagi roboh oleh tamparan tangan kirinya yang menggunakan Hek-tok-ciang.

Masuknya pemuda ini dalam pertempuran dan dalam waktu singkat telah merobohkan tiga orang, para perampok menjadi gentar dan kacau sehingga pria dan gadis itu juga dapat merobohkan masing-masing dua orang. Kembali Tin Siong menampar dan seorang perampok roboh terkena hantaman di bagian dadanya. Melihat ini, sisa para perampok lalu kabur melarikan diri cerai berai.

Pria itu tidak mengejar para perampok, melainkan menghadapi Tin Siong dan mengangkat kedua tangan memberi hormat lalu berkata, "Si-cu, saya Kwe Ciang dan anak saya Kwe Li Hwa menghaturkan terima kasih atas bantuan. Bagaimana si-cu dapat mengetahui bahwa kami ayah dan anak diserang segerombolan orang jahat dan datang membantu?"

"Tidak perlu berterima kasih dan bersikap sungkan, paman. Tadi ketika saya kebetulan lewat dan melihat kalian berdua dikeroyok, memang saya merasa bimbang untuk berpihak yang mana karena kesemuanya tidak saya kenal. Akan tetapi saya mengenal ilmu pedang paman dan adik ini sebagai ilmu pedang Bu-tong-pai, maka saya tidak ragu lagi siapa yang harus saya bantu."

"Bagus, ternyata pandangan sicu jauh dan bijaksana. Sicu yang begini lihai dan berilmu tinggi, siapakah nama sicu dan dari perguruan manakah?"

"Nama saya Cia Tin Siong, paman, dan saya mempelajari ilmu silat dari keluarga saya sendiri."

Pria itu tampak terkejut dan memandang kepada Tin Siong dengan penuh perhatian. "Keluarga Cia di Hui-cu?'

Setelah bertanya demikian, pria yang bernama Kwe Ciang itu memandang ke arah dua orang perampok yang roboh dan tewas terkena tamparan tangan kiri Tin Siong. Dia melihat tanda tapak tangan hitam di dada dan leher dua orang perampok itu dan dia lalu meloncat mundur sambil menarik tangan puterinya untuk mundur menjauhi Tin Siong.

"Jadi engkau ini Hek-tiuw Enghiong yang telah membunuh banyak pendeta Siauw-lim-pai dan dua orang tosu Kun-lun-pai?" Kwe Ciang dan puterinya mundur dan dia memegang tangan puterinya lalu berkata, "Li Hwa, mari kita cepat pergi dari sini!" Dia lain menarik tangan anaknya diajak berlari cepat meninggalkan Tin Siong.

"Paman, tunggu...!" Tin Siong yang terheran-heran memanggil, akan tetapi mendengar panggilan ini Kwe Ciang dan puterinya berlari semakin cepat.

Tin Siong memandang ke arah mayat para perampok, lalu memandang dua orang yang sudah berlari jauh itu, dan mengangkat kedua pundaknya. "Heran, watak orang-orang kang-ouw memang aneh sekali." Akan tetapi dia pergi dari situ dengan alis berkerut dan memutar otaknya.

Hek-tiauw Eng-hiong. Bukankah itu julukan yang di pakai adiknya Cia Tin Han? Akan tetapi orang she Kwe tadi mengatakan bahwa Hek-tiauw Eng-hiong telah membunuhi banyak pendeta Siauw-lim-pai dan orang tosu Kun-lun-pai ? Apa artinya ini? Dia harus selidiki hal ini. Rasanya tidak mungkin kalau Tin Han membunuhi orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai.

Kebetulan sekali dia berada tidak jauh dari pusat Siauw-lim-pai. Pegunungan Sung-san tampak di depan, maka dia segera menuju ke Gunung Sung-san. Dia harus mendatangi sendiri Siauw-lim-pai dan bertanya tentang berita itu. Dia harus membela nama baik adiknya, dan juga nama baik Keluarga Cia.

Akan tetapi yang mengherankan hatinya, bagai mana Kwe Ciang tadi tahu bahwa Hek tiauw Eng-hiong adalah keluarga Cia, apakah mungkin karena pukulan Hek-tok-ciang itu? Tin Siong adalah seorang pemuda yang cerdik, maka dia dapat mengambil kesimpulan yang tepat. Namun ada kekecewaan besar di dalam hatinya.

Dia telah melihat Kwe Li Hwa tadi dan hatinya terpikat. Gadis itu dalam pandang matanya demikian cantik jelita dan serba menawan. Sayang ayah gadis itu menuduhnya yang bukan-bukan sehingga dia tidak mempunyai kesempatan untuk berkenalan dengan Li Hwa. Sebetulnya, dia tidak dapat melupakan Lee Cin.

Akan tetapi Tin Siong dapat menduga bahwa gadis itu mempunyai hubungan cinta dengan Tin Han dan dia tidak ingin mengganggu hubungan itu. Kini, melihat gadis lain yang dalam pandangannya tidak kalah cantik menarik diapun jatuh hati.

Tin Siong melakukan perjalanan cepat ke Gunung Sungsan. Akan tetapi ketika dia tiba di sebuah lapangan rumput yang luas di kaki pegunungan itu, tiba-tiba dia melihat lima orang dengan cepat sekali berlari-lari dari depan. Ketika mereka sudah tidak dekat, dengan girang dia mengenal bahwa dua dari lima orang itu adalah Kwe Ciang dan Kwe Li Hwa!

Sedangkan yang tiga orang lagi adalah hwesio-hwesio tua yang berkepala gundul dan memakai jubah longgar berwarna kuning. Tiga orang hwe-sio tua itu semuanya melangkah seenaknya namun gerakan mereka sedemikian cepat dan ringannya sehingga Tin Siong mengerti bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Dia melihat betapa Kwe Ciang menuding-nudingkan telunjuknya ke arahnya dan lima orang itu berlari menghampirinya. Tin Siong berhenti melangkah dan menanti mereka tiba dekat di depannya.

"Inilah, lo-suhu! Dia inilah Hek-tiauw Eng-hiong dari Keluarga Cia!" kata Kwe Ciang.

Tin Siong mengamati tiga orang hwe-sio itu. Dia tidak tahu bahwa tiga orang hwe-sio itu adalah tokoh- tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal. Mereka itu bukan lain adalah In Kong Thai-su yang bertubuh tinggi kurus, berusia enam puluh lima tahun dan menjadi ketua Siauw-lim-pai cabang Kwi-cu. 0rang kedua yang bertubuh gendut adalah Hui San Hwesio, wakil ketua atau pembantu dari Seng Thian Hwe-sio yang menjadi ketua pusat.

"Omitohud....!” Kata In Kong Thai-su sambil memandang kepada Tin Siong dengan penuh perhatian. "Orang muda, engkaukah Hek-tiauw Eng-hiong? Dan engkau seorang she Cia?"

Dengan tenang Tin Siong menjawab, "Benar, lo-suhu. Saya bernama Cia Tin Siong, akan tetapi sama sekali saya bukan Hek-tiauw Eng-hiong!"

"Omitohud..... Hek-tiauw Eng-hiong pasti dari keluarga Cia dan andai kata bukan engkau orangnya, tentu engkau tahu siapa dia. Dia telah membunuh banyak rekan pinceng menggunakan ilmu pukulan Hek-tok-Ciang," lagi In Kong Thai-su mendesak.

"Memang ada adik saya menggunakan nama julukan Hek-tiauw Eng-hiong, akan tetapi tidak mungkin dia membunuhi para hwei-sio Siauw-lim-pai. Adik saya seorang pendekar patriot sejati, tidak mungkin memusuhi sesama pendekar."

"Bukti sudah cukup jelas. Pembunuh para rekan pinceng adalah Hek-tiaw Eng-hiong dan melihat pukulannya Hek tok-ciang jelas pula bahwa dia adala anggauta keluarga Cia," kata Hui Sia Hwe-sio sambil tersenyum. "Kalau dia itu adikmu, engkaupun harus bertanggung jawab, orang muda!"

Tin Siong mengerutkan alisnya. "Saya sengaja mencari para lo-suhu untuk menjelaskan persoalan, akan tetapi samwi lo-suhu malah tetap menuduh adik saya yang melakukan pembunuhan, bahkan minta kepada saya untuk bertangung jawab. Tidak ada alasannya sama sekali bagi adik saya untuk membunuh para hwe-sio Siauw-lim-pai!"

"Omitohud....!" In Kong Thai- su menggerakkan lengan baju kirinya. "Siapa yang tidak mengenal Keluarga Cia. Yang pernah bersekutu dengan pemberontak pasukan pemerintah di timur dan bersekutu pula dengan kaum sesat di dunia kang-ouw, bahkan dengan para bajak Jepang? Keluarga Cia paling benci kepada mereka yang tidak mau ikut memberontak dan menganggap mereka musuhnya! Maka ada anehnya kalau Hek-tiauw Eng-hiong membunuhi para hwe-sio di Siauw-lim-pai?"

"Terserah kalau sam-wi lo-suhu tidak percaya. Sekarang, apa yang hendak sam-wi lakukan terhadap diri saya?"

"Omitohud, kami bukan orang-orang suka sewenang-wenang. Akan tetapi karena engkau adalah kakak dari Hektiauw Eng-hiong, terpaksa engkau akan kami tawan agar Hek-tiauw Eng-hiong sendiri mau datang mempertanggung-jawabkan perbuatannya."

"Saya tidak merasa bersalah, karena itu saya tidak mau dijadikan tawanan!"

"Omitohud, sudah pinceng sangka. Sicu tentu akan melakukan perlawanan terhadap kami? Bagus, pinceng hendak mencoba ilmu Hek-tok-ciang darimu!"

Setelah berkata demikian, In Kong Thai-su menggerakkan lengan bajunya dan tubuhnya sudah melompat ke depan Tin Siong. "Orang muda she Cia, coba tunjukkan ilmumu yang telah membunuh para rekan pin-ceng itu. Pergunakan Hek-tok-ciang untuk membunuh pinceng!"

"Saya tidak bermaksud untuk berkelahi. Akan tetapi kalau lo-suhu memaksa, silakan maju!" tantang Tin Siong yang sudah marah sekali. Dia merasa betapa para hwe-sio ini terlalu mendesaknya.

"Bagus, lihat serangan pinceng, orang muda!" In Kong Thai-su menggerakkan tangannya dan dia sudah menyerang dengan gerakan yang tampaknya, lambat namun sebenarnya cepat sekali dan mendatangkan angin yang kuat.

Tin Siong cepat mengelak dan balas menyerang. Tin Siong membela diri dengan memainkan ilmu silat Keluarga Cia yang khas dan In Kong Thai-su diam-diam kagum karena ilmu silat pemuda itu sungguh termasuk ilmu silat tinggi. Juga dari sambaran angin pukulan pemuda itu dia maklum bahwa Tin Siong memiliki sin-kang yang cukup baik. In Kong Thai-su bermaksud memaksa pemuda itu mengeluarkan Hek-tok-ciang maka tiba-tiba dia mengubah serangannya.

Kini dia menggunakan It-yang-ci! Tentu saja Tin Siong menjadi repot sekali menghindarkan diri dari serangan totokan yang ampuh itu. Ketika ia sudah kepepet sekali, ketika sebuah totokan meluncur ke arah pundaknya, dia cepat menggunakan tangan kanannya menyambut dengan pukulan telapak tangan Hek-tok-ciang. Hanya itu yang dapat dia lakukan untuk menyelamatkan diri!

"Wuuuuutt... tukk!" Jari tunggal In Kong Thai-su bertemu dengan telapak tangan menghitam itu dan akibatnya tubuh pendeta itu tergetar akan tetapi Tin Siong terpelanting roboh. Pada saat itu tampak berkelebatan bayangan hitam dan di situ sudah berdiri Hek-tiauw Eng-hiong!

"Sam-wi lo-suhu, mengapa memaksa orang yang tidak bersalah sama sekali? Ketahuilah bahwa Hek-tiauw Enghiong adalah saya dan saya tidak pernah membunuhi para hwe-sio Siauw-lim-pai! Keluarga Cia sekarang telah menjadi pejuang-pejuang patriot sejati, tidak mungkin melakukan hal tercela itu!"

"Omitohud! Hek-tiauw Eng-hiong berani muncul sendiri, ini menunjukkan kegagahannya. Akan tetapi kalau dia mengingkari perbuatannya, itu merupakan tindakan pengecut!" kata In Kong Thaisu.

Hek-tiauw Eng-hiong membantu Tin Siong bangun lalu berkata lirih kepadanya. "Mundurlah, koko, biarkan aku yang menyelesaikan urusan ini."

"In Kong Thai-su, sudah lama saya mendengar bahwa lo-suhu adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang bijaksana dan berbudi mulia. Akan tetapi apa yang lo-suhu tuduhkan ini hanya menunjukkan bahwa para hwe-sio Siauw-lim-pai kurang cermat mengadakan penilaian. Saya percaya bahwa yang muncul di Siauw-lim-pai dan membunuh para hwesio mungkin memakai pakaian dan kedok seperti saya, mengaku pula sebagai Hek-tiauw Eng-hiong.

"Akan tetapi apakah hal itu sudah dapat dijadikan kepastian bahwa saya yang melakukannya? Bagaimana kalau ada orang lain yang menyamar sebagai saya dengan maksud untuk mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Keluarga Cia? Sekali lagi saya berani bersumpah bahwa saya tidak melakukan pembunuhan itu."

"Hemm, Hek-tiauw Eng-hiong, bagaimana pula dapat dibuktikan bahwa bukan engkau yang melakukan pembunuhan itu?" tanya Hui San Hwe-sio sambil tersenyum mengejek.

"Kalau sam-wi lo-suhu tidak percaya, terserahlah. Lalu apa yang hendak sam-wi lakukan?"

"Omitohud! Hek-tiauw Eng-hiong, kami bukan orang-orang yang suka main hakim sendiri. Selain membunuh belasan orang anak murid Siauw-lim-pai, engkau juga telah membunuh dua orang to-su Kun-lun-pai. Karena itu, kami harus menangkapmu dan membawamu ke persidangan pengadilan di depan Ketua kami dan Ketua Kun-lun-pai."

"Hemm, lo-suhu. Tentu saja saya tidak mau ditangkap karena tidak merasa bersalah. Saya menawarkan tindakan lain kalau lo-suhu setuju," kata Hek-tiauw Eng-hiong.

"Tindakan apa yang kau tawarkan?" tanya In Kong Thaisu.

"Karena saya merasa betapa nama baik saya dicemarkan, maka saya berjanji akan membantu para lo-suhu untuk mencari sampai dapat orang yang membunuhi para hwesio Siauw-lim-pai dan para to-su Kun lun-pai dengan menyamar sebagai saya. Berilah waktu dua bulan untuk mencarinya, lo-suhu."

"Tidak! Jangan biarkan dia pergi, suheng. Kalau sekali kita biarkan dia pergi, akan sukarlah untuk mencarinya kembali," kata Hui Sian Hwe-sio kepada In Kong Thai-su.

"Omitohud! Kami tidak dapat menerima usulmu itu, Hektiauw Eng-hiong. Kesalahanmu sudah jelas. Engkaulah, yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dengan Hek-tok-ciang itu. Sekarang menyerahlah untuk menjadi tawanan kami."

"Terpaksa saya menolak untuk ditangkap, lo-suhu."

"Bagus, sudah pin-ceng duga bahwa engkau tentu akan menolak. Mari kita putuskan dengan sebuah pertandingan."

"Terserah kepada lo-suhu."

In Kong Thai-su lain memasang kuda-kuda dan berseru. "Awas terhadap serangan pin-ceng, Hek-tiauw Eng-hiong,"

"Silakan, lo-suhu!"

In Kong Thai-su lalu menerjang maju, mengirim pukulan dengan ujung lengan bajunya. Tin Han tidak mengelak melainkan menggerakkan jari-jari tangannya untuk menyentil ujung baju yang menyambar ke arah dadanya itu.

Wuuuttt.... pratt!" Ujung Iengan baju ini terpental kembali dan dari rangkisan ini saja tahulah In Kong Thai-su bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki sin-kang yang amat kuat.

Diapun bersilat dengan mantap dan kedua buah jari telunjuknya menyerang secara bertubi dengan ilmu totok lt-yang-ci! Hebat sekali serangan ini dan Tin Han yang maklum akan ampuhnya ilmu ini, segera mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk berkelebat ke sana sini, kadang menangkis dan juga membalas dengan serangan tamparan yang mendatangkan angin kuat.

Tin Han harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menandingi ketua Siauw-lim-pai cabang Kwi-cu ini dan setelah pertandingan berlangsung limapuluh jurus lebih, perlahan namun pasti, Tin Han mulai mendesak In Kong Thai-su.

Bagaimanapun juga, dalam keadaan tingkat kepandaian yang seimbang, akhirnya usia yang menentukan. Tin Han adalah seorang pemuda yang sedang kuat-kuatnya sedangkan In Kong Thaisu adalah seorang yang sudah mulai tua. Daya tahannya sudah berkurang dimakan usia.

Tiba- tiba In Kong Thai-su yang merasa kalah dalam hal kecepatan dan daya tahan, mengirim serangan dengan kedua tangannya menotok ke arah dua jalan darah Tin Han. Cepat datangnya serangan itu sehingga tidak ada kesempaan lagi bagi Tin Han untuk mengelak. Dia terpaksa mengerahkan seluruh tenaga di kedua tangan lalu menyambut totokan itu dengan pukulan tapak tangan yang terisi penuh tenaga Khong-sim Sin-kang.

"Winmuuttt.... dess!" Kedua orang itu terpental ke belakang, hanya bedanya kalau Tin Han dapat berjungkir balik ke belakang dan turun dengan lunak ke atas tanah, sebaliknya In Kong Thai-su terhuyung-huyung ke belakang. Dia menghela napas panjang tiga kali dan keadaannya sudah pulih kembali.

"Hek-tiauw Eng-hiong, pin-ceng masih belum kalah. Mari kita lanjutkan!" kata In Kong Thai-su yang sudah melompat ke depan sambil menghadapi Tin Han.

Pemuda inipun sudah siap dan mereka segera bergebrak kembali, saling serang dengan hebatnya karena keduanya maklum akan kelihaian lawan maka setiap serangan dilakukan dengan pengerahan sekuatnya. Pada saat itu terdengar seruan.

"Tahan, hentikan pertandingan ini!" Sesosok bayangan berkelebat dan menerjang di antara kedua orang itu yang terpaksa melompat mundur ke belakang.

Baik Tin Han maupun In Kong Thai-su segera mengenal laki-laki muda perkasa yang telah melerai mereka. Pria muda tampan tegap dan gagah dengan pakaian sederhana ini bukan lain adalah Song Thian Lee!

Bagaimana Thian Lee dapat muncul di situ? Song Thian Lee dan isterinya Tang Cin Lan membawa putera mereka, Song Hong San, pergi meninggalkan kota Tung-sin-bun karena mereka sudah menjadi orang buronan pemerintah.

Dia melarikan diri ke gunung-gunung dan akhirnya memilih untuk tinggal di lereng Bukit Hoa-san. Pada suatu hari, suami isteri pendekar ini mendengar pula berita tentang Hek-tiauw Eng-hiong yang telah membunuhi belasan orang hwe-sio Siauw-lim-pai dan membunuh dua orang to-su Kun-lun-pai. Mendengar berita Thian Lee terkejut bukan main.

"Bagaimana mungkin ini?" katanya kepada isterinya. "Aku mengenal betul orang berkedok itu! Dia menolong dan menyelamatkan aku dan adik Lee Cin. Dia seorang pendekar yang menentang komplotan kaum sesat dan bajak Jepang yang membantu pasukan memberontak di timur itu. Bagaimana mungkin orang seperti dia itu melakukan pembunuhan terhadap para hwe-sio dan to-su? Rasanya tidak masuk akal!"

"Akan tetapi kukira ada asap tentu ada apinya. Ada berita tentu ada pula kenyataannya."

"Aku tetap tidak percaya. Kebetulan sekali Sung-san tidak berapa jauh dari sini. Isteriku, kau tinggal di rumah dengan anak kita, aku akan meluangkan waktu beberapa hari untuk pergi ke kuil Siauw-lim-pai di Sung-san dan mencari keterangan yang sejelasnya tentang hal itu."

Demikianlah, Thian Lee meninggalkan isteri dan anaknya, melakukan perjalanan cepat menuju Sung-san. Dan dalam perjalanannya ke Sung-san itulah di tengah perjalanan dia melihat pertandingan yang amat seru antara seorang yang berkedok dan berpakaian hitam melawan In Kong Thai-su.

Dia melihat gerakan yang berkedok itu hebat sekali dan teringatlah dia akan Si Kedok Hitam yang pernah menolongnya. Maka cepat dia melerai karena pertandingan antara kedua orang lihai itu sudah mencapai puncak yang berbahaya sekali di mana keduanya melakukan serangan yang ampuh dan bertenaga.

Ketika In Kong Thai-su mengenal Thian Lee, dia mengerutkan alisnya dan berkata, "Omitohud! Kiranya Panglima Song Thian Lee dari kota raja yang datang melerai!"

"Lo-suhu, telah beberapa bulan ini saya sudah mengundurkan diri, tidak lagi menjadi panglima, melainkan menjadi rakyat biasa."

"Omitohud, tindakan yang tepat dan baik sekali itu. Akan tetapi mengapa engkau datang melerai pertandingan kami?"

Thian Lee menoleh ke arah Si Kedok Hitam dan tersenyum berkata, "Senang sekali dapat bertemu lagi denganmu di sini."

Si Kedok Hitam memberi hormat. "Song-ciangkun...!”

"Aku tidak lagi menjadi perwira, harap jangan sebut aku ciangkun."

"Maaf, Song-taihiap," Si Kedok Hitam berkata lagi. "Saya juga senang dapat bertemu dengan tai-hiap di sini, akan tetapi mengapa tai-hiap tadi melerai pertandingan kami?"

"Suhu In Kong Thai-su dan engkau, Si Kedok Hitam...“

"Sebut saja saya Hek-tiauw Enghi ong, tai-hiap."

"Hek- tia uw Eng-hiong dan lo-suhu, keduanya saya kenal saya kenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah dan budiman, mengapa sekarang tahu-tahu bertanding sendiri. Kita semua adalah segolongan, maka kalau ada urusan sebaiknya dirundingkan secara baik-baik."

"Omitohud, Song-taihiap. Engkau tentu sudah mengetahui bahwa kami para hwe-sio adalah orang-orang yang tidak suka menggunakan kekerasan. Akan tetapi menghadapi Hek-tiauw Enghiong ini tidak mungkin untuk tidak menggunakan kekerasan. Apakah thaihiap belum mendengarnya. Dia telah membunuh delapan belas orang hwe-sio Siauw-lim-pai. Sekarang setelah dapat bertemu di sini, kami hendak menangkapnya untuk dibawa ke persidangan untuk mengadilinya, akan tetapi dia tidak mau. Terpaksa kami mempergunakan ke kerasan."

Thian Lee menoleh kepada Tin Han. "Hek-tiauw Enghiong, seorang pendekar yang gagah sepatutnya mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya. Kenapa engkau menolak untuk ditangkap?"

"Song-taihiap, saya adalah seorang laki-laki sejati. Kalau benar saya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, untuk apa saya banyak bicara lagi. Akan tetapi soalnya, saya tidak merasa melakukan pembunuhan itu. Karena merasa tidak bersalah, tentu saja saya tidak mau ditangkap. Saya sudah mengajukan usul kepada hwe-sio ini agar memberi waktu satu dua bulan kepadaku untuk mencari orang yang telah menyamar sebagai saya dan melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Akan tetapi mereka tidak mau menerima dan memaksa hendak menangkap saya."

"Hek-tiauw Eng- hiong, saya pernah merasa kagum kepadamu! Karena itu, saya bertanya sekali lagi agar hatiku yakin. Benarkah engkau yang melakukan pembunuhan terhadap delapanbelas orang hwe-sio Siauw-lim-pai itu?"

"Tidak benar! Kalau memang saya yang membunuh mereka, saya tentu akan mengakui dan mempertanggung-jawabkan perbuatan saya!"

"Bagus, saya percaya kepadamu. Suhu In Kong Thai-su, saya tidak meragukan kebenaran ucapan Hek-tiauw Enghiong. Karena itu, usulnya tadi baik sekali. Harap lo-suhu memandang muka saya untuk membebaskan dia agar dia dapat membantu mencari pembunuh kejam itu."

"Song-taihiap, apakah taihiap berani menanggung kalau dia kami lepaskan kemudian dia melarikan diri dan tidak akan muncul kembali?" tanya Hui Sian Hwe-sio.

Thian Lee tersenyum dan berkata dengan tegas. "Sekarang saya hendak membantu pula mencari penjahat bertopeng itu, kalau kelak Hek-tiauw Eng-hiong tidak muncul lagi, akulah yang akan mencarinya dan mengajaknya menghadap para lo-suhu!"

Hui Sian Hwe-sio memandang kepada In Kong Thai-su. "Bagai mana baiknya, suheng?"

In Kong Thai-su tidak ragu lagi setelah Thian Lee menanggung bahwa Hek-tiauw Eng-hiong tidak akan lari. Pula, tadi dia mendapat kenyataan betapa tingginya ilmu silat Hek-tiauw Enghiong.. Dengan ilmunya setinggi itu, mengapa dia harus mengingkari kalau memang dia yang membunuhnya? Dia dapat membela diri kalau ada orang yang hendak menangkapnya. Pula, sekarang selain Hektiauw Eng-hiong yang akan mencari pembunuh itu, Thian Lee juga memberikan janjinya untuk membantu.

"Omitohud, agaknya Song-taihiap yakin dan percaya penuh kepada Hektiauw Eng-hiong. Mengapa kita harus ragu-ragu. Baiklah, Song-taihiap, kami bebaskan Hektiauw Eng-hiong dan memberi waktu dua bulan untuk dia mencari pembunuh itu."

"Terima kasih, lo-suhu. Dan terima kasih kepadamu, Song-taihiap."

"Tidak perlu berterima kasih. Saya hanya mencarikan jalan terbaik bagi kedua pihak. Dan saya percaya bahwa engkau akan bersungguh-sungguh mencari pembunuh itu, Hek-tiauw Eng-hiong. Kalau engkau gagal, namamu akan menjadi buruk karenanya."

"Tentu saja, saya akan mencarinya sampai dapat. Mari, koko, kita pergi dari sini," kata Tin Han kepada Tin Siong.

Tin Siong mengangguk dan setelah memberi hormat kepada semua orang, dua orang kakak beradik itu lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sementara itu Thian Lee lalu bertanya kepada In Kong Thai-su, "Lo-suhu, setelah saya berjanji untuk membantu mencari pembunuh itu, saya mohon petunjuk, bagaimana ciri-ciri pembunuh itu?"

"Tidak ada ciri lain kecuali bahwa dia membunuh dengan pukulan ilmu Hek-tok-ciang. Kami semua pernah mendengar bahwa yang memiliki ilmu itu adalah Keluarga Cia dan pemuda bertopeng tadi jelas adalah anggauta Keluarga Cia. Dia adalah adik dari pemuda yang lain itu yang bernama Tin Siong. Karena itulah maka tadi kami berkeras untuk menangkapnya. Akan tetapi karena pertanggungan tai-hiap, kami terpaksa membebaskannya. Kami tidak mempunyai petunjuk lain atas ciri-ciri Hek-tiauw Eng-hiong yang telah membunuh delapanbelas orang murid Siauw-lim-pai."

Thian Lee mengangguk-angguk. Tidak ada petunjuk yang jelas akan tetapi dia dapat memperhitungkan dan mengambil kesimpulan. Jelas bahwa pembunuh itu membenci Hek-tiauw Enghiong, maka memalsukan namanya untuk merusak nama Hek-tiauw Eng-hiong dan mengadu domba dia dan pihak Siauw-lim-pai. Dan pembunuh itu tentu membenci pula kepada Siauw-lim-pai.

Siapakah yang membenci Siauw-lim-pai? Tentu saja para tokoh sesat di dunia kang-ouw. Dan siapa pula yang memusuhi Hek-tiauw Eng-hiong? Para tokoh sesat dunia kang-ouw tentu juga membencinya karena dia bertindak sebagai pendekar. Juga para pemberontak membencinya.

Thian Lee tidak ragu lagi bahwa pelaku pembunuhan itu tentu seorang tokoh sesat yang lihai sekali. Siapakah dia? Dia mengingat-ingat siapa saja tokoh sesat di dunia kangouw yang pernah memusuhinya ketika dia membasmi pemberontakan di timur. Ada Thian-te Mo-ong, Hek-bin Mo-ko, Sin-ciang Mo-kai dan beberapa orang tokoh sesat lain.

Boleh jadi seorang di antara mereka yang melakukan pembunuhan. Akan tetapi, biarpun mereka itu lihai, kiranya tidak mungkin mampu membunuh delapan belas orang hwesio Siauw-lim-pai. Tiba-tiba dia teringat. Siang Koan Bhok!

Datuk sesat majikan Pulau Naga itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan tentu saja dia membenci para pendeta Siauw-limpai. Ilmu kepandaiannya cukup tinggi dan mungkin dia melakukan pembunuhan itu dengan menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong untuk mengadu domba.

Thian Lee berpamit dari para hwesio dan segera melanjutkan perjalanannya. Dalam hati dia mencatat nama Siang Koan Bhok sebagai seorang yang patut dicurigai. Kalau perlu dia hendak menyelidiki ke Pulau Naga.


Tin Han yang pergi meninggalkan para hwe-sio Siauw-lim-pai itu menanggalkan pakaian hitamnya setelah dia dan kakaknya tiba di sebuah tempat sunyi. Dia membungkus pakaian hitamnya dan kembali menjadi Cia Tin Han.

"Siong-ko, maafkan bahwa engkau ikut terlibat dan hampir tertawan oleh para hwe-sio Siauw-lim-pai," kata Tin Han kepada kakaknya.

"Semua ini gara-gara engkau suka memakai kedok hitam," Tin Siong menyaIahkan adiknya. "Kalau engkau tidak pernah memakai kedok hitam, tentu tidak ada yang dapat menjatuhkan fitnah kepadamu. Sekarang bagaimana, bagaimana engkau akan dapat mencari orang yang telah menyamar sebagai engkau itu, Han-te...?"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.