Rajawali Hitam Jilid 12
Siauw Leng Ci memegang tangan Tin Han dan dibawanya pemuda itu memasuki rumah besar. Di ruangan dalam yang cukup luas, dia melihat seorang nenek duduk di kursi besar, dihadap lima orang laki-laki yang tubuhnya tinggi besar dan juga muka lima orang laki laki ini dicoreng-moreng.
Hanya wajah nenek itu saja yang tidak dicorengi, dan melihat nenek itu, Tin Han teringat akan neneknya sendiri, mendiang Nenek Cia! Ada persamaan di antara keduanya. Usia sepantar dan keduanya memiliki sikap tegak dan angkuh yang sama pula. Bahkan senjata merekapun serupa, yaitu tongkat berkepala naga!
"Ibu...." Leng Ci berseru dan membungkuk sebagai pemberian hormat kepada ibunya. Tin Han berdiri dengan kedua tangan masih terikat.
Nenek itu memandang wajah Tin Han penuh selidik, lalu ia berkata kepada puterinya. "Hemm, engkau membawa seorang tawanan! Mengapa dia?"
"Dia telah menemukan tempat rahasia kita di kuil, walaupun tidak disengaja. Akan tetapi dia merobohkan dua orang anggauta kita dengan lontaran kayu bakar. Maka aku menangkapnya dan membawanya ke sini untuk mendapat keputusan ibu."
Nenek itu kembali memandang wajah Tin Han penuh perhatian. Agaknya ia merasa senang dengan wajah itu, dan ia bertanya dengan suara lirih namun mengandung desakan atau perintah untuk dijawab. "Siapa namamu, orang muda?"
"Nama saya Cia Tin Han."
"Cia?" Nenek itu memandang lebih tajam penuh selidik, "Apanya dengan Keluarga Cia di Hui-cu?"
Cepat Tin Han berpikir dan dia melihat persamaan antara nenek ini dan neneknya. Keduanya juga patriot-patriot yang membenci pemerintah penjajah Mancu. Maka dia berani berterus terang. "Saya adalah anggauta Keluarga Cia di Hui-cu."
"Ah-ah....! Bagus sekali. Leng Ci, lepaskan ikatan kedua tangannya. Dia bukan orang lain, masih segolongan sendiri."
Dengan wajah berseri, biarpun yang tampak hanya sinar matanya saja yang berseri, Leng Ci segera membuka ikatan yang membelit tubuh bagian atas Tin Han. Setelah terbebas dari ikatan, Tin Han menggerak-gerakkan kedua lengannya yang terasa agak kaku.
"Cia Tin Han, aku ingin sekali melihat kemajuan ilmu kepandaian Keluarga Cia. Leng Ci, engkau boleh mencoba ilmu silatnya!"
Leng Ci tersenyum lebar lalu menghampiri Tin Han "Nah, engkau mendengar sendiri, Tin Han. Ibu menghendaki kita bertanding untuk menguji ilmu."
"Akan tetapi, Leng Cui, aku tidak mau bermusuhan denganmu!”
"Bertanding menguji ilmu bukan berarti bermusuhan, Tin Han. Kita hanya melihat sampai di mana keunggulan masing-masing. Marilah, kehendak ibuku jangan dibantah."
Tin Han berpikir. Kalau dia menolak, tentu nenek itu akan menjadi tidak senang hati. Nenek itu hanya ingin melihat kemajuan ilmu Keluarga Cia, bukan bermaksud lain. "Baiklah, harap engkau banyak mengalah, Leng Ci," katanya dan diapun berdiri tegak di depan gadis itu. "Mulailah!"
"Awas seranganku, Tin Han!" Leng Ci sudah menerjang dan ternyata gerakan gadis ini cepat bukan main, juga tamparan tangan kirinya didahului angin pukulan yang kuat.
Tin Han diam-diam kagum. Gadis ini lihai juga! Dia mengelak dan ketika gadis itu menyerang secara bertubi-tubi, semua serangan itu dapat dielakkan dan ditangkis.
Untuk menjaga agar dia jangan dikira mempermainkan, diapun membalas dengan tamparan tangannya, tidak terlampau kuat dan tidak terlampau cepat sehingga dapat pula dielakkan dan ditangkis gadis itu. Terjadilah pertandingan yang seru. Hal ini memang disengaja oleh Tin Han.
Dia melawan hanya untuk mengimbangi tingkat kepandaian gadis itu sehingga seolah mereka itu memiliki tingkat yang sama. Padahal kalau dia menghendaki, tentu saja dia sudah dapat mengalahkan Leng Ci kurang dari tiga puluh jurus.
Kini lima orang laki-laki tinggi besar yang duduk di situ memandang kagum. Mereka adalah para pembantu utama dari Te Tok Kui-bo, akan tetapi dibandingkan dengan puteri ketua mereka, tingkat masih kalah tinggi. Dan pemuda itu ternyata mampu mengimbangi kepandaian nona mereka!
Te-tok Kui-bo sendiri memandang dengan wajah berseri. Penglihatannya yang tajam memberitahu kepadanya bahwa pemuda itu banyak mengalah dan ia percaya bahwa sebetulnya kepandaian Tin Han lebih tinggi dari tingkat puterinya. Setelah dua orang itu bertanding melewati limapuluh jurus, iapun berseru, "Tahan serangan!"
Tin Han merasa lega hatinya dan dia melompat ke belakang. Leng Ci juga melompat ke belakang dan gadis ini memandang kepada ibunya dengan sinar mata bercahaya, penuh kegembiraan mendapatkan kenyataan bahwa Tin Han dapat mengimbanginya!
"Leng Ci, sekarang coba ilmu silatnya dengan menggunakan senjata!" kata Te-tok Kui-bo kepada puterinya.
Leng Ci kembali menghampiri Tin Han dan berkata. "Tin Han, keluarkanlah senjatamu, atau kalau engkau tidak mempunyai, engkau boleh memakai senjata kami, tinggal pilih," katanya sambil menuding pada sebuah rak di sudut yang penuh dengan bermacam senjata.
Tin Han mengambil buntalan pakaiannya dan mengeluarkan Pek-kong-kaim dari dalam buntalan pakaiannya, ketika dia mencabut pedang itu, terdengar lima orang pembantu Te-tok Kui-bo berdecak kagum. Tampak sinar kilat menyilaukan mata ketika pedang yang bersinar putih itu digerakkan.
Leng Ci terkejut dan kagum sekali melihat pedang itu. Pedangnya sendiri adalah sebatang pedang pusaka, akan tetapi tidak mengeluarkan sinar kilat seperti yang berada di tangan Tin Han. Ia lalu mundur mengambil jarak dan berkata, "Mari kita mulai, Tin Han."
"Silakan, Leng Cin, aku sudah siap," jawab pemuda itu sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
"Lihat seranganku!" Leng Ci membentak dan mulai menyerang. Ternyata serangan pedangnya juga cepat dan dahsyat sekali. Tin Han mengelak sampai tiga kali dan serangan ke empat dari gadis itu dia tangkis dengan pedangnya.
"Trangg...!" api berpijar ketika dua pedang bertemu dan Leng Ci merasakan tangannya agar seimbang dengan tenaga gadis itu. Dia memang harus menang, akan tetapi meninggalkan kesan ramai atau seimbang agar tidak mendatangkan kecurigaan pada Tek-tok Kui-bo. Kemudian dia balas menyerang dan terjadilah perkelahian dengan pedang yang lebih seru dari pada perkelahian dengan pedang yang lebih seru dari pada perkelahian tangan kosong tadi.
Tin Han sejak tadi mainkan ilmu silat Keluarga Cia sehingga mampu menandingi Leng Ci dengan seimbang. Kini, setiap mengadu pedang Tin Han menambahi sedikit tenaganya sehingga setiap kali pedang bertemu, Leng Ci terhuyung. Setelah pertandingan pedang berlangsung lima puluh jurus, beberapa kali Leng Ci terhuyung ke belakang.
"Cukup, tahan senjata!" teriak Te-to Kui-bo dengan wajah cerah.
Tin Han melompat ke belakang dan Leng Ci juga menahan gerakan pedangnya.
"Bagus sekali. Engkau ternyata telah mampu menandingi ilmu silat dan ilmu pedang Leng Ci. Eh, Tin Han, berapa usiamu sekarang?"
Ditanya demikian, Tin Han tertegun, akan tetapi dia menjawab juga, "Duapuluh dua tahun, lo-cianpwe."
"Dan engkau belum menikah, belum bertunangan?"
Merah wajah Tin Han mendengar pertanyaan ini, akan tetapi terpaksa dia menjawab sambil menggeleng kepaIa. "Belum."
"Bagus sekali! Kalian cocok satu dengan yang lain. Tingkat kepandaian kalian juga sebanding. Tin Han, aku ingin menjodohkan engkau dengan puteriku Siauw Leng Ci."
Suara nenek itu demikian tegas dan mantap, seolah tidak dapat dibantah lagi, mengingatkan Tin Han akan watak neneknya. "Leng Ci, pergi engkau membersihkan mukamu. Tin Han harus melihat wajah aselimu!"
Tanpa menjawab Leng Ci lalu pergi dari situ setengah berlari. Tin Han segera membantah, "Akan tetapi, locianpwe....?”
"Akan tetapi apa? Apakah engkau nenolak niatku menjodohkanmu dengan Leng Ci?"
Walaupun hatinya membenarkan, Tin Han tidak berani terang-terangan menolak. Seorang locianpwe seperti nenek itu tentu amat keras hati, seperti juga neneknya dan dia akan mengalami banyak kesulitan kalau membikin ia marah atau kecewa.
"Bukan begitu, lo-cianpwe. Akan tetapi bagaimana saya dapat memutuskan sendiri urusan perjodohan saya. Masih ada ayah dan ibu di sana, tanpa persetujuan mereka, mana berani aku mengikatkan diri?"
"Aah, itu urusan mudah. Aku sendiri yang akan bicara dengan orang tuamu kelak. Hei, Leng Ci, engkau sudah membersihkan mukamu? Ke sinilah, jangan main-main!"
Gadis itu muncul dan berdegup juga rasa jantung Tin Han ketika dia melihat gadis itu. Sungguh cantik jelita dan manis sekali, melebihi yang dia bayangkan semula. Akan tetapi hatinya yang sudah memiliki dan di miliki Lee Cin tidak begitu mudah untuk jatuh cinta kepada gadis lain.
Gadis itu memandang kepadanya dan diapun balas memandang. Dua pandang mata bertemu, bertaut sejenak dan Leng Ci lalu menundukkan mukanya yang menjadi kemerah-merahan.
“Tin Han, urusan orang tuamu, biarlah aku yang akan bicara. Bagaimana dengan keadaan Nenek Cia sekarang? Aku mengenal baik nenekmu itu!"
Rasa duka menyelinap ke dalam hati Tin Han. "Nenek telah meninggal dunia, lo-cianpwe."
Te-tok Kui-bo terbelalak dan memukulkan tongkatnya ke atas lantai. "Apa? Bagaimana orang seulet dia begitu mudah meninggal dunia? Apa yang menyebabkan kematiannya?"
"Ia bertanding dengan Siang Koan Bhok dan terluka dalam yang parah lalu meninggal dunia."
"Siang Koan Bhok, si keparat busuk!" tiba-tiba Te-tok Kui-bo memaki. "Pulau Naga itu pusat kekotoran dunia! Coba ceritakan mengapa Nenek Cia sampai bertanding melawan Siang Koan Bhok!"
"Siang Koan Bhok dan kawan-kawannya datang membujuk nenek untuk bersekongkol bersama dia menjadi antek Mancu, akan tetapi nenek tidak sudi dan menolak keras, lalu timbul perkelahian di antara mereka. Nenek terluka parah kemudian meninggal dunia."
"Bangsat! Bangsat benar Siang Koan Bhok! Dia juga hendak mempengaruhi aku, mempengaruhi Te-tok-pang untuk bersekutu dan menjadi antek penjajah Mancu. Akan tetapi akupun tidak sudi. Kebetulan dia memandang kami dan para perkumpulan kang-ouw untuk berkunjung ke Pulau Naga atas nama Ouw-beng cu. Beng-cu baru yang menjadi antek Mancu itu tentu akan membujuk kami semua untuk menjadi antek Mancu. Kami semua akan datang dan beramai-ramai menolak. Hendak kulihat, mereka akan dapat berbuat apa!"
Tin Han tertarik sekali. "Kapan locianpwe hendak memimpin anggauta ke Pulau Naga?"
"Minggu depan dan kami semua akan pergi ke sana. Engkau, sebagai calon jodoh Leng Ci, harus ikut dan menjadi wakilku bersama Leng Ci, memperkuat lima orang wakilku ini. Perkenalkan, Tin Han, lima orang ini adalah para wakilku yang mempunyai kedudukan paling tinggi sesudah kami bertiga di Te-tokpang. Ngo-kwi, perkenalkan ini Cia Tin Han. Kalian sudah melihat sendiri kehebatan ilmu silatnya, maka kalian harus menjadi pembantunya."
"Baik, Kui-bo!" Sahut mereka serentak.
Akan tetapi Tin Han yang kebetulan memandang kepada mereka bahwa lima pasang mata di balik coreng moreng muka mereka itu mengeluarkan sinar tidak senang! Akan tetapi karena tidak ada alasan untuk mencurigai mereka, diapun menganggap bahwa sinar mata mereka itu memang sudah seperti itu, dan tidak memperdulikan mereka lagi.
Dia membayangkan bahwa inilah kesempatan amat baik baginya untuk memasuki Pulau Naga tanpa dikenal, karena dia dapat membaur dengan para anggauta Te-tok-pang dengan mencoreng moreng mukanya pula.
"Bagaimana, Tin Han. Engkau setuju bersama kami ke Pulau Naga? Di sana engkau berkesempatan untuk membalas kematian nenekmu dan aku akan membantumu."
"Ah, tentu saja, lo-cianpwe. Aku senang sekali," jawab Tin Han cepat-cepat.
Mulai saat itu Tin Han tinggal bersama mereka sambil menanti datanganya saat berangkat ke Pulau Naga. Sore harinya, Te-tok Kui-bo memanggilnya. Tin Han sedang bercakap-cakap dengan Leng Ci. Pergaulan antara mereka akrab dan Leng Ci ternyata seorang gadis yang lincah dan pandai bergaul.
Mendapat panggilan Te-tok Kui-bo mereka berdua lalu menghadap ke ruangan dalam di mana Te-tok Kui-bo sedang duduk dihadap lima orang Sian-san Ngo kwi.
"Duduklah kalian," nenek itu menyambut. "Tin Han dan Leng Ci, baru saja Ngo-kwi memberi laporan bahwa ada rombongan pasukan pemerintah yang akan lewat di kaki bukit ini. Mereka mengawal dua buah peti terisi emas yang akan di kirim ke kotaraja. Nah, ini kesempatan baik sekali. Jumlah mereka hanya limapuluh orang. Kalian harus dapat memimpin para anggauta untuk merampasnya!"
"Baik, ibu," jawab Leng Ci cepat dan dengan nada gembira. "Bagaimana dengan engkau, Tin Han?"
"Biarpun belum pernah saya melakukan perampasan harta pasukan Mancu, akan tetapi sekali ini saya akan membantu sekuat tenaga. Harta itu tentu mereka ambil dari rakyat jelata," jawab Tin Han.
"Bagus, sekarang kita atur siasatnya," kata Te-tok Kui-bo yang segera mengatur siasat bersama lima orang Siansan Ngo-kwi dan ternyata Leng Ci juga lincah dan gagah sekali memberi usul-usulnya.
Mereka akan menghadang barisan itu di kaki bukit sebelah selatan, di mana penuh dengan hutan-hutan lebar sehingga memudahkan mereka untuk melarikan diri kalau hal itu diperlukan. Akan tetapi mengingat bahwa perajurit itu hanya ada limapuluh orang, sedangkan anggauta Te-tok-pang ada seratus orang lebih, rasanya mereka tidak perlu melarikan diri.
Setelah berhasil merampas dua peti harta, dan memukul mundur pasukan yang mengawalnya, mereka harus mengundurkan diri sambil berpencar menjadi empat jurusan. Hal ini untuk membingungkan kalau nanti ada pasukan besar melakukan pengejaran.
Malam itu, serombongan pasukan pemerintah yang berkuda mengawal dua peti harta yang dimuat di dalam sebuah kereta, berhenti dan melewatkan malam di sebuah dusun di kaki bukit.
Mereka tidak tahu bahwa di antara orang-orang dusun yang menonton rombongan mereka terdapat beberapa orang anggauta Te-tok pang yang berpakaian sebagai petani biasa memperhatikan gerak gerik mereka dan menghitung jumlah pasukan yang mengawal kereta yang berisi dua peti harta itu.
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menerangi tanah, rombongan pasukan berkuda itu melanjutkan perjalanan mereka, keluar dari dusun itu, menjadi tontonan penduduk dusun. Ketika berada di dusun, dua orang perwira yang memimpin pasukan itu bermalam di rumah kepala dusun. Kini, dua orang perwira itu dengan pakaian mereka yang mentereng, menunggang kuda di depan pasukannya, menuju ke timur.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah jalan yang sunyi, di kaki sebuah bukit yang penuh dengan hutan rimba. Dua orang perwira memberi isyarat agar anak buahnya waspada karena mereka menempuh jalan yang sunyi dan agaknya berbahaya.
Baru saja dua orang perwira itu memberi isyarat kepada anak buahnya, tiba-tiba terdengar sorak-sorak dan dari empat penjuru bermunculan orang-orang yang mukanya dicoreng-moreng dan tangan mereka membawa senjata golok atau pedang.
"Awas, kepung dan lindungi kereta!" Dua orang perwira itu memberi aba-aba dan limapuluh orang perajurit itu segera berloncatan turun dari atas kuda mereka dan membuat gerakan mengepung kereta barang.
“Hei, kalian yang berani menghadang! Kami adalah pasukan pemerintah yang sedang melakukan tugas perjalanan. Apakah kalian sudah bosan hidup berani mengganggu kami?"
"Tinggalkan kereta berisi dua peti itu!" bentak Leng Ci dengan suara dibesarkan seperti suara pria.
"Hei, berani kalian hendak merampok kami, pasukan dari kerajaan? Mundur dan jangan lanjutkan kalau kalian ingin selamat!" teriak pula komandan pasukan.
Sam-sian Ngo-kwi memberi aba-aba kepada anak buahnya. "Serbu...!”
Seratus orang lebih itu lalu mengeluarkan teriakan gemuruh dan menyerbu. Para perajurit menyambut mereka dan terjadi pertempuran yang berat sebelah.
Para perajurit itu memang rata-rata memiliki kepandaian silat, akan tetapi demikian pula para anggauta Te-tok-pang dan karena jumlah para anggauta perkumpulan itu dua kali lipat lebih banyak, sebentar saja pihak pasukan kerajaan terdesak hebat.
Sian-san Ngo-kwi mengamuk. Dengan golok besar mereka yang tajam, mereka mengamuk dan membunuh banyak perajurit. Demikian pula Leng Ci, dengan permainan pedangnya yang cepat dan indah, para pengeroyoknya berpelantingan.
Tin Han sendiri segera lari ke arah kereta yang dilindungi belasan orang perajurit. Dengan tangan kosong dia merobohkan beberapa orang perajurit, melompat naik ke atas kereta, memukul roboh kusir kereta sehingga terjungkal ke bawah dan dia sudah menguasai kereta itu.
Pertempuran hanya berlangsung sebentar saja. Para perajurit berjatuhan dan sisanya melarikan diri cerai berai begitu melihat dua orang perwira pimpinan mereka telah roboh.
"Mundur! Berpencar!" Leng Ci memberi aba-aba.
Para anggauta Te-tok-pang yang sebelumnya memang sudah diatur itu lalu melarikan diri ke jurusan yang sudah ditentukan kepada mereka masing-masing. Tin Han melarikan kereta barang itu ke arah utara, dan tiba tiba Leng Ci sudah melompat ke atas kereta dan duduk di sampingnya.
"Tin Han, kita berhasil baik!"
"Sukurlah. Ada kawan kita yang tewas?"
"Rasanya tidak ada. Hanya ada yang luka-luka dan mereka sudah di bawa lari teman-teman mereka. Kita berhasil baik sekali!" Untuk meyakinkan hatinya, Leng Ci masuk ke dalam kereta dan membuka dua peti itu. Isinya memang emas permata yang mahal.
"Hore, kita berhasil!" Leng Ci kembali ke atas kereta di sebelah Tin Han dan saking gembiranya ia merangkul pemuda itu. Hampir saja Tin Han terguling roboh dari bangku tempat mengemudi dan dia hanya tersenyum. Saking girangnya gadis itu bersikap seperti anak kecil saja!
Keberhasilan mereka itu disambut dengan pesta malam itu. Setelah itu, mereka membuat persiapan untuk berangkat ke Palau Naga. Tin Han ikut dan karena diapun memakai coreng-moreng pada mukanya, tak seorangpun akan mengenali mukanya.
Malam berikutnya, sebelum pemberangkatan, Tin Han berada di kamarnya dan jantungnya berdebar tegang kalau dia membayangkan bahwa dia akan menyusup ke Pulau Naga bersama orang-orang Te-tok-pang. Dia akan dapat menyelidiki dan kalau mungkin menangkap orang yang telah memalsu sebagai Hek tiauw Eng-hiong dan melakukan pembunuhan besar-besaran di kalangan para pendekar.
Tiba-tiba dia tertegun. Pendengarannya yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang ringan di luar kamarnya. Cepat dia berjingkat turun dan mengintai dari balik jendela. Seorang laki-laki tinggi besar melangkah menjauhi kamarnya. Suasana sudah sepi dan Tin Han merasa curiga.
Dengan mempergunakan gin-kangnya, dia bergerak tanpa menimbulkan suara, membayangi orang tinggi besar itu yang menghilang ke dalam sebuah di antara pondok-pondok bambu yang mengelilingi pondok induk tempat tinggal Te-tok Kui-bo dan Leng Ci. Dia cepat mendekati pondok itu dan menempelkan telinganya diluar jendela. Segera dia mendengar percakapan di sebelah dalam.
"Pemuda itupun sudah tidur. Semua orang agaknya sudah tidur dan inilah kesempatan baik bagi kita," kata seorang yang diduga tentu orang yang baru saja meninggalkan kamarnya.
"Twa-ko, sebaiknya kita turun tangan sekarang saja. Kita bunuh nenek tak tahu diri itu, juga si pemuda dan paksa Leng Ci menjadi isteri twa-ko. Kita kuasai harta dan anak buah, dan kita terima uluran tangan Ouw-bengcu untuk bekerja sama membantu pemerintah," kata orang kedua.
"Nenek itu sungguh menggemaskan!" terdengar kata-kata yang penuh kemarahan dan agaknya inilah suara twa-ko (kakak tertua). "Sudah puluhan tahun aku membantunya dan ia tahu bahwa aku merindukan Leng Ci untuk menjadi isteriku. Gadis itu kan bukan puteri kandungnya melainkan hanya anak angkat. Sampai setua ini aku belum menikah karena menunggu Leng Ci. Siapa kira sekarang dengan mudah saja diberikan kepada orang yang baru saja muncul!"
Jangan khawatir, kalau pemuda itu dan Leng Ci nanti tahu dan membantu nenek itu, kalian berempat cukup untuk menundukkan mereka. Bunuh pemuda itu akan tetapi jangan lukai Leng Ci. Adapun nenek itu, serahkan saja kepadaku. Dengan ilmu yang kudapat pelajari dari Ouw-bengcu, rasanya aku akan mampu mengalahkan dan membunuhnya."
Setelah mendengar dengan baik, Tin. Han yang terkejut sekali itu lalu cepat meninggalkan pondok itu tanpa bersuara dan memasuki pondok besar tempat tinggal Te-tok Kui-bu dan Leng Ci. Dia sudah tahu di mana kamar Leng Ci dan dia menghampiri jendela kamar gadis itu lalu mengetuk daun jendelanya dengan perlahan.
"Eh, siapa di situ?" terdengar suara Leng Ci. Agaknya gadis itu sudah turun dengan cepat dan bersikap waspada, tidak sembarangan membuka daun jendela.
"Sssssttt..... ini aku Tin Han. Buka lah jendelamu aku ada urusan penting sekali denganmu."
Leng Ci cepat membuka daun jendela itu tanpa menyalakan Iilin. Cuaca remang-remang karena hanya mendapat penerangan dari luar pondok di mana tergantung sebuah lampu.
"Ada apa, Tin Han?" tanyanya heran. Leng Ci yang sudah percaya sepenuhnya kepada pemuda yang menawan hatinya itu, membalik untuk mengambil pedangnya kemudian meloncat ke luar jendela dan tiba di luar kamar.
"Mari ikuti aku!" bisik Tin Han Mereka berdua keluar dari pondok dan Tin Han mengajaknya mendekam dan mengintai. Sambil berbisik dia lalu menceritakan rencana Sian-san Ngo kwi untuk membunuh dia, Te-tok Kui-bu dan menangkap Leng Ci.
"Celaka!" seru Leng Ci dengan muka berubah pucat. "Bagaimana mereka dapat berkhianat seperti itu? Aku harus cepat memberitahu ibuku!" Gadis itu lalu berlari menuju ke kamar Te-tok Kui-bo dan menggedor pintu kamarnya.
"Eh, Leng Ci, ada apakah?"
"Ssstt, ibu. Ada bahaya mengancam. Sian-san Ngo-kwi merencanakan membunuh ibu dan merampas kedudukan ketua. Tin Han yang mengabarkannya kepadaku."
"Hemm, mereka berani, ya? Biarlah, engkau menanti di luar saja, aku akan menghadapi dan menghajar mereka kalau mereka berani datang ke sini!"
"Harap ibu berhati-hati," pesan Leng Ci yang segera keluar kembali, mengintai bersama Tin Han.
Menjelang tengah malam, lima sosok bayangan berkelebat di dalam pondok besar itu. Leng Ci sudah hampir melompat, namun Tin Han memegang lengannya.
"Belum waktunya," kata pemuda itu.
Lima orang itu kini sudah tiba di depan kamar Te-tok Kui-bo. Selagi mereka hendak mencokel jendela, terdengar seruan dari dalam kamar. "Daun pintuku tidak terkunci, mengapa pakai cokel jendela?"
Lima orang itu terkejut dan mundur. Daun pintu kamar itu terbuka dan nenek itu sudah berdiri di depan pintu dengan senjata tongkat naga di tangannya.
"Kalian berlima hendak membunuhku dan merebut kedudukan? Pengkhianat kalian. Aku akan mengantar kalian ke neraka dengan tongkat ini!"
Setelah berkata demikian, nenek itu menggerakkan tongkatnya dan menyerang orang tertua dari lima saudara itu. Giam Su, orang pertama itu, segera menangkis dengan goloknya dan diapun membalas dan berkelahilah kedua orang ini.
Diam-diam Te-tok Kui-bo terkejut karena mendapat kenyataan betapa Giam Su tidak seperti biasanya, ilmu goloknya berubah hebat dan tenaganya juga kuat sekali. Dia dapat menduga bahwa bekas pembantunya ini tentu telah mempelajari ilmu silat golok dari orang lain. Akan tetapi nenek itu tidak menjadi gentar dan menyerangnya dengan dahsyat. Ketika empat orang yang lain menggerakkan golok hendak mengeroyok terdengar bentakan nyaring,
"Pengkhianat pengkhianat keparat!" Dan Leng Ci sudah muncul dengan pedang di tangan, langsung saja gadis ini menyerang empat orang itu. Serangannya di sambut oleh dua orang pengeroyok, dan yang dua orang lainnya langsung saja menerjang Tin Han yang datang bersama Leng Ci.
Giam Su, orang pertama dari Sian-san Ngo-kwi, baru-baru ini menerima pelajaran tambahan dari Ouw Kwan Lok yang hendak menarik Te-tok-pang menjadi sekutunya. Biarpun setelah mendapat petunjuk dari Ouw-bengcu ilmu silatnya maju pesat tetap saja dia masih kewalahan menghadapi tongkat naga di tangan nenek itu. Dia mulai terdesak mundur dan menggunakan golok besarnya hanya untuk menangkis saja.
Dua orang yang mengeroyok Leng Ci berada dalam keadaan seimbang. Kalau mereka maju satu demi satu, mereka memang tidak akan mampu menandingi Leng Ci. Akan tetapi setelah mengeroyok dua, mereka dapat mengimbangi kekuatan Leng Ci.
Namun Leng Ci yang sudah marah sekali mengamuk dan pedangnya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga dua orang lawannya harus memutar golok mereka dengan cepat untuk melindungi tubuh mereka.
Pertandingan antara Tin Han dan dua orang pengeroyoknya yang paling tidak seimbang. Tin Han hanya melawan dengan tangan kosong, akan tetapi baru belasan gebrakan saja dua orang itu telah terpelanting keras, yang seorang terkena tamparan tangan Tin Han dan yang kedua terkena tendangannya.
Melihat Leng Ci masih belum dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya, Tin Han meloncat ke depan dan sekali kakinya mencuat, dada seorang pengeroyok terkena tendangannya sehingga dia terjengkang dan terbanting keras. Yang seorang lagi menjadi panik dan sambaran pedang Leng Ci merobohkannya dengan tusukan yang mengenai pundak kanannya.
Giam Su yang masih bertanding melawan Te-tok Kui-bo, terkejut bukan main melihat semua kawannya roboh. Dia telah salah perhitungan! Kalau saja di situ tidak terdapat Cia Tin Han, boleh jadi rencananya akan berhasil. Akan tetapi ternyata pemuda itu menjadi batu sandungan yang besar dan tidak disangka-sangka. Dia menjadi nekat dan menggerakkan goloknya dengan cepat, mengamuk tanpa memperdulikan keselamatan dirinya.
Sementara itu, para anak buah Te-tok-pang berdatangan ketika mereka mendengar ribut-ribut itu dan mereka terheran-heran melihat Sian-san Ngo-kwi menyerang ketua mereka. Akan tetapi karena tidak mengerti akan duduknya persoalan, mereka tidak berani berkutik dan hanya menjadi penonton.
"Mampuslah!" teriak Te-tok Kui-bo dan tiba-tiba tongkat naganya menyambar dahsyat. Giam Su masih mencoba untuk menangkis dengan goloknya, namun goloknya terlepas dari pegangannya dan tongkat itu masih terus menyambar ke arah kepalanya.
"Prok!" Tubuh Giam Su terpelanting dengan kepala retak dan dia tewas seketika! Nenek itu dengan mata liar dan galak masih memandang ke kanan kiri. Melihat empat orang pembantu yang lain masih belum tewas walaupun sudah roboh, ia meloncat dan tongkatnya menyambar bertubi-tubi mengenai kepala empat orang itu dan tewaslah Sian-san Ngo-kwi dengan kepala retak!
Melihat semua anggautanya sudah memenuhi tempat itu, Te-tok Kui-bo lalu berseru, "Lihatlah, lima orang ini berkhianat dan hendak membunuhku, maka sebagai hukumannya mereka harus mampus! Agar menjadi pelajaran bagi yang lain, yang mempunyai hati untuk berkhianat!"
Semua anggauta menjadi gentar dan mereka semua menjatuhkan diri berlutut menghadap nenek itu dan terdengar suara-suara menyangkal bahwa mereka hendak berkhianat.
"Baik, aku percaya kepada kalian. Sekarang bawa mayat-mayat ini dan kuburkan sebagaimana mestinya. Jangan sampai ada orang luar mengetahui tentang peristiwa memalukan ini!"
Para anggauta lalu menggotong lima mayat itu dan pergi meninggalkankan pondok kayu, meninggalkan Te-tok Kui-bo, Leng Ci dan Tin Han.
"Tin Han, engkau yang memberitahu, kepada Leng Ci tentang pengkhianatan ini. Jasamu cukup besar dan mulai sekarang, hanya engkau dan calon isterimu Leng Ci..."
"Maaf, lo-cianpwe. Sebelum ada persetujuan dari orang tua saya, harap lo-cianpwe jangan menganggap saya sebagai calon suami Leng Ci, melainkan sebagai sahabat saja."
"Hemm, baiklah. Akan tetapi begitu aku menerima kesanggupan dan persetujuan kedua orang tuarnu kalian harus segera menikah. Kuulangi lagi, mulai sekarang, hanya engkau dan Leng Ci yang menjadi pembantu utama dan wakilku. Mari kita berangkat secepatnya ke Pulau Naga."
Mereka semua berkemas dan membuat persiapan, kemudian berangkatlah Te tok Kui-bo, Siauw Leng Ci dan Cia Tin Han, diikuti seratus orang lebih anggauta Te-tokpang. Para anggauta itu tidak ada yang menikah karena pernikahan dan membentuk keluarga dianggap suatu kelemahan bagi mereka. Kalau ada yang menikah, maka dia harus keluar dari perkumpulan itu.
Karena tidak ada yang berkeluarga, hari itu mereka semua meninggalkan sarang mereka dari ptmdak bukit itu yang ditinggalkan kosong sama sekali. Mereka membawa perbekalan secukupnya, dan kelebihan harta yang tidak dibawa, disembunyikan dalam guha yang tersembunyi, jauh di puncak bukit yang liar dan tak pernah didatangi manusia.
Diam-diam Tin Han merasa girang. Dia akan dapat masuk Pulau Naga dengan mudah dan karena Te-tok-pang mengambil sikap menentang kehendak Ouw-bengcu, maka dia merasa mendapatkan teman sehaluan.
Setelah mengangkat diri sendiri menjadi beng-cu dan mengalahkan semua orang yang dicalonkan sebagai beng-cu, Ouw Kwan Lok lalu tinggal di Pulau Naga sebagai beng-cu dan gurunya sendiri, Siang Koan Bhok dijadikan wakil atau pembantu utamanya. Begitu dia menjadi beng-cu, Ouw Kwan Lok lalu mengambil cara hidup yang lain dari pada para beng-cu sebelumnya.
Kalau para beng-cu sebelumnya adalah pendekar yang tidak mau bergaul dengan golongan sesat, juga tidak sudi tunduk kepada kerajaan penjajah Mancu, beng-cu yang sekarang ini telah dibujuk oleh Panglima Tua Bouw Kin Sek untuk menjadi sekutu pemerintah! Dengan janji yang muluk-muluk.
Ouw Kwan Lok mau menjadi pembantu pemerintah untuk membasmi para pemberontak yang menamakan dirinya pejuang, kemudian membagi dunia kang-ouw menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendukung dan kelompok yang menentang Kerajaan Mancu. Mereka yang pro ditarik menjadi sekutu, sedangkan yang anti lalu dianggap musuh dan kalau perlu dihancurkan!
Banyak sudah perkumpulan-perkumpulan yang dipimpin tokoh-tokoh sesat menyerahkan diri membantu beng-cu setelah ketuanya dikalahkan dan ditundukkan. Banyak pula perkumpulan yang dipimpin oleh pendekar yang bersih, di musuhi karena tidak mau bersekutu!
Setelah pengaruh dan kekuasaannya cukup besar, Ouw Kwan Lok lalu mengirim undangan kepada perkumpulan-perkumpulan persilatan dan para tokoh dunia persilatan untuk mengadakan pertemuan di Pulau Naga, di mana dia sebagai Beng-cu akan mengumumkan pandangannya mengenal pergolakan yang ada.
Dia tidak takut kalau-kalau para pendekar akan menyerangnya karena dia sudah mendapat persetujuan Panglima Coa Kim, wakil Panglima Tua Bouw Kin Sek yang berjanji akan mengirim seribu orang perajurit untuk melindungi Pulau Naga pada saat pertemuan diadakan.
Ouw Kwan Lok merasa dirinya kuat karena dilindungi oleh sekelompok tokoh sesat yang lihai. Selain gurunya sendiri yang kini tingkat kepandaiannya sudah kalah tinggi dibandingkan dirinya, kelompok itu terdiri pula dari Thian-te Mo-ong, Kim-to Sam-ong yaitu ketua perkumpulan Kim-to-pang di Liang-cu kaki bukit Lo-sian-san, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai, Ma Huan, Yauw Seng Kun dan Bantok Mo-li, dan masih banyak tokoh sesat lain yang sudah menjadi kaki tangan Ouw-bengcu.
Para tokoh itu tinggal di Pulau Naga bersama para anak buah mereka sehingga di Pulau Naga itu terdapat tidak kurang dari tigaratus anak buah yang kuat. Setiap beberapa hari sekali ada saja pembantunya yang datang membawa sekutu baru sehingga keadaan Pulau Naga menjadi semakin kuat.
Pada suatu hari. Ma Huan, penyelidik yang paling rajin, datang menggadap Ouw Kwan Lok dan melaporkan bahwa di pantai daratan terdapat kurang lebih seratus anak buah Pek-Lian-kauw yang mengadakan pertemuan dengan para bajak laut Jepang. Mendengar ini, Ouw Kwan Lok segera memanggil para pembantunya untuk berunding.
"Mengapa kita mesti mencampuri urusan mereka?" kata Thian- te Mo-ong kepada bekas muridnya itu. "Mereka bukan dari golongan pendekar. Lebih baik kita diamkan saja dan tidak mencari bibit permusuhan dengan mereka."
"Kalau begitu suhu berpikiran keliru. Kita sudah sepakat untuk membantu pemerintah dan kita mengetahui bahwa Pek-lian-kauw, biarpun bukan golongan pendekar, merupakan perkumpulan yang gigih menentang pemerintah Mancu. Kalau kita biarkan saja mereka melewati daerah kita tampa berbuat apa-apa, tentu dunia kang-ouw akan menganggap kami bersekutu pula dengan gerombolan Peklian-kauw dan pemerintah juga akan mencurigai kami.
"Tidak, kami harus menyerang dan mengusir gerombolan Pek-lian-kauw dari daerah ini. Juga kalau kita memusuhi para bajak laut Jepang, kita akan mendapat simpati rakyat dan golongan pendekar sehingga lebih mudah membujuk mereka bekerja dengan kita untuk mendukung pemerintah Mancu," demikian Ouw Kwan Lok berkata dan pendapat ini dibenarkan pula oeh Siang Koan Bhok dan para tokoh lain.
Demikianlah, pada hari itu juga Ouw Kwan Lok sendiri memimpin dua ratus orang anggauta para perkumpulan 'yang sudah bergabung dengan Pulau Naga untuk menyerbu orang-orang Pek-lian-kauw yang mengadakan pertemuan dengan para bajak laut Jepang di pantai daratan itu.
Penyerbuan dilakukan mendadak dan karena jumlah para penyerbu amat banyak, maka orang-orang Pek-lian-kauw dan para bajak laut Jepang dapat dihancurkan, para pemimpin mereka dibunuh dan sebagaian anak buahnya terbunuh dan sisanya melarikan diri cerai berai.
Peristiwa ini segera terdengar oleh orang-orang bahwa gerombolan Pek-lian-kauw dan bajak laut Jepang dibasmi oleh orang-orang Pulau Naga dan sebentar saja dunia kangouw juga mengetahuinya. Panglima Bouw Kim Sek juga mendengar dan panglima tua ini segera mengirim utusan ke Pulau Naga untuk menyampaikan penghargaannya. Juga banyak tokoh kang-ouw yang memuji tindakan Pulau Naga yang dipimpin beng-cu Ouw Kwan Lok ini.
"Hari undangan kita kepada semua golongan di dunia kang-ouw telah hampir tiba. Kalian semua ingatlah bahwa kita harus bersikap baik terhadap semua golongan, terutama terhadap golongan para pendekar. Tidak boleh memperlihatkan permusuhan terhadap mereka selama mereka menjadi tamu di sini demi menjaga nama baikku sebagai bengcu. Kelak mudah bagi kita untuk membereskan dan membasmi mereka yang benar-benar tidak mau bekerja sama," demikian Ouw Kwan Lok memesan kepada para sekutunya.
Hari yang ditentukau dalam undangan bengcu baru itupun tiba dan berbondong-bondong mulai berdatanganlah orang-orang kang-ouw dari segala golongan menuju ke Pulau Naga. Selain perkumpulan dan golongan sesat yang berdatangan, juga perkumpulan-perkumpulan atau partai bersih kaum pendekar berdatangan pula.
Mereka yang mengirim wakil-wakilnya adalah dari Siauw-lim-pai, Kunlun-pai, Bu-tong-pai, Kong-thong pai, Go-bi-pai dan masih banyak lagi perkumpulan para pendekar yang menaruh perhatian karena undangan ini menyangkut pendirian mereka terhadap pemerintah Mancu.
In Kong Thai-su sendiri datang dengan empat orang hwe-sio lain mewakili Siauw-lim-pai, Im Yang Seng-cu mewakili Kun-lun-pai diikuti empat orang to-su lainnya, dan para perkumpulan pendekar lainnya juga mengirim wakil-wakilnya.
Di antara mereka yang tampak hadir terdapat Song Thian Lee mantan panglima besar pasukan Mancu yang telah mengundurkan diri, yang muncul seorang diri. Cia Tin Siong datang bersama Kwee Ciang dan Kwe Li Hwa sebagai rombongan dari Bu- tong-pai mengikuti tiga orang to-su Bu-tong-pai yang menjadi guru Kwe Ciang.
Dalam rombongan Siauw-lim-pai terdapat pula Thio Hui San murid In Kong Thai-su bersama Lui Ceng murid Thian- tok Gu Kiat Seng. Berdatangan pula sisa Keluarga Cia, yaitu Cia Kun dan isterinya, Cia Hok dan Cia Bhok. Mereka saling berjumpa ketika hendak menyeberangi lautan menuju Pulau Naga dan datang bersama.
Tin Han dengan muka coreng moreng tidak dikenal oleh keluarganya sendiri, apalagi dia datang bersama rombongan besar dari Te-tok-pang yang berjumlah seratus orang lebih dengan coreng moreng mukanya kecuali pemimpinnya yaitu Te-tok Kui-bo. Namun dari penyamarannya ini Tin Han dapat mengenal mereka yang datang menghadiri pertemuan di Pulau Naga itu.
Dengan jantung berdebar girang dan tegang ia melihat pula Lee Cin yang datang seorang diri. Tin Han kagum akan keberanian Lee Cin datang di sarang harimau itu, seorang diri saja. Kekasihnya itu benar-benar seorang wanita gagah perkasa yang tidak gentar menghadapi apa pun juga.
Hanya dia yang tahu bahwa kedatangan Lee Cin, juga Thian Lee, bukan semata-mata karena ingin mendengar tentang pendapat beng-cu mengenai hubungannya dengan pemerintah Mancu, akan tetapi terutama sekali untuk menyelidiki siapa pelaku pembunuhan terhadap para hwesio Siauw-lim-pai dan to-su Kun-lun-pai yang menyamar sebagai dirinya.
Para tamu yang datang sehari di muka itu mendapatkan rumah pondok di luar perkampungan para anggauta Pulau Naga, di pantai, untuk melewatkan malam. Di situ, berjajar telah dibangun rumah-rumah pondok di pantai yang terbuat dari pada bambu untuk menampung para tamu yang datang sebelum hari pertemuan dibuka. Tin Han diam-diam meninggalkan rombongannya dan seorang diri dia pergi ke pantai yang sepi, jauh dari perumahan para tamu.
Hari telah menjelang senja, sinar merah matahari yang hendak tenggelam di ufuk barat itu mulai membakar langit. Matahari sendiri sudah merupakan bola merah yang besar mengambang di permukaan laut sebelah barat. Dia berada di ujung utara pulau itu. Tiba-tiba dia mendengar suara pekik yang tidak asing lagi baginya. Ketika dia menengadah, dia melihat seekor burung rajawali hitam terbang melayang di atas kepalanya.
"Hek- tiauw-ko!" Serunya girang ketika mengenal burung rajawali hitam yang pernah menjadi temannya bermain dan bermain silat.
Burung itu mendengar seruannya dan menyambar turun. Tin Han melihat betapa seorang kakek berambut dan berjenggot putih menunggangi burung rajawali itu, jenggot dan rambutnya berkibar seperti bendera putih.
"Suhu...!” Serunya, akan tetapi burung rajawali sudah mengulur kukunya dan mencengkeram punggung bajunya dan membawanya terbang tinggi! Karena sudah mengenal burung itu, Tin Han tidak merasa takut dibawa terbang seperti itu.
Burung itu ternyata terbang ke sebuah pulau lain yang tidak begitu jauh dari Pulau Naga, sebuah pulau kecil saja yang tidak berpenghuni. Bahkan binatang yang mau singgah di pulau itu hanya burung laut karena tanah pada dan batu karang yang keras dari pula itu hanya menghasilkan tumbuh-tumbuhan laut yang tidak ada gunanya bagi binatang.
Rajawali Hitam menurunkan Tin Han perlahan di atas pulau itu dan Thai Kek Cin-jin juga melompat turun dari punggung rajawali hitam. Tin Han cepat maju berlutut di depan kakek Thai Kek Cin-jin dan memberi hormat.
"Apakah suhu dalam keadaan sehat saja selama ini?" sapanya.
Akan tetapi kakek itu langsung menegurnya. "Tin Han, apa yang kudengar selama ini ? Aku mendengar bahwa engkau sebagai Hek-tiauw Eng-hiong telah membunuhi belasan orang hwe-sio Siauw-lim-pai dan to-su Kun-lun-pai? Aku tidak dapat tinggal diam saja atas perbuatanmu yang jahat itu!"
Tin Han tersenyum. "Kiranya berita itu sudah sampai pula ke telinga suhu? Betapa hebat tersiarnya. Suhu, sesungguhnya karena ada berita itulah maka teecu sampai ke Pulau Naga, menyamar sebagai anggauta Te-tok-pang untuk melakukan penyelidikan. Teecu sama sekali tidak melakukan itu, suhu, akan tetapi ada orang lain yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong melakukan semua itu untuk mengadu domba."
"Hemm, bagaimana pula ini? Mengapa terjadi hal seperti itu? Siapa dia yang menyamar dan memburukkan namamu sebagai Hek-tiauw Eng-hiong?"
"Siapa dia sesungguhnya belum dapat teecu ketahui, suhu. Akan tetapi mengingat bahwa orang-orang yang memusuhi teecu juga memusuhi Siauw-limpai dan Kun-lunpai datang dari Pulau Naga, maka teecu merasa yakin bahwa penjahat itu tentu bersembunyi di sana. Ada yang teecu curigai, yaitu bengcu Ouw Kwan Lok sendiri. Akan tetapi karena lengannya buntung sebelah kiri, agaknya bukan dia yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Biarpun demikian, dia tentu tahu siapa orangnya, mungkin seorang di antara kaki tangannya..."
"Dan orang-orang dunia kang-ouw itu sekarang berkumpul di Pulau Naga, ada keperluan apakah?"
"Semua ini ulah beng-cu yang baru yang bernama Ouw Kwan Lok itu, suhu. Setelah menjadi beng-cu, dia mengambil sikap bersahabat dengan pemerintah Mancu dan menentang para pendekar yang memusuhi penjajah. Padahal ketika dia pertama kali diangkat menjadi beng-cu, dia menyatakan bahwa penjajah adalah musuh kita semua. Dan dia membujuk para tokoh kang-ouw golongan sesat untuk bekerja sama dengan dia membantu pemerintah penjajah untuk membasmi para pendekar patriot dan membujuk dunia kang-ouw untuk membela pemerintah Mancu. Sekarang dia mengundang semua orang kang-ouw untuk datang ke Pulau Naga dan bicara tentang sikap terhadap pemerintah Mancu itu."
"Siancai....! Aku sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan dunia. Aku sengaja mencarimu untuk bertanya tentang sepak terjang Hek-tiauw Eng-hiong yang namanya menjadi demikian tercela. Tidak tahunya ada orang yang sengaja memburukkan nama itu. Engkau harus bertindak, jangan sampai nama Rajawali Hitam menjadi kotor. Engkau harus memancing agar Rajawali Hitam yang palsu muncul."
"Baik, suhu. Memang kedatangan teecu ke pulau ini justeru untuk mencari orang itu dan membersihkan nama tee-cu sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Akan tetapi untuk itu, teecu mohon dapat diberi pinjam Hek-tiauw-ko untuk membantu teecu."
"Baiklah, aku akan beristirahat di pulau kecil ini selama tiga hari, sampai engkau berhasil menelanjangi orang yang memburukkan nama Hek-tiauw Eng-hiong."
"Terima kasih, suhu. Teecu mohon pamit."
"Pergilah, akan tetapi ingatlah, jangan sampai engkau terjerumus menjadi pembantu penjajah Mancu, walaupun untuk berjuang menumbangkan pemerintah penjajah sekarang belum tiba saatnya. Kalau saatnya belum tiba, walaupun engkau berusaha juga tidak akan berhasil. Masih harus ditunggu beberapa puluh tahun lagi sampai kesadaran dan semangat rakyat benar-benar matang untuk mengadakan perjuangan mengusir penjajah dari tanah air."
"Teecu akan selalu mengingat akan semua nasihat suhu," kata Tin Han yang segera memberi hormat dan dia menghampiri Hek-tiauw-ko yang mendekam tidak jauh dari situ. "Hek-tiauw-ko, sekali ini aku mengharapkan bantuanmu," kata Tin Han sambil merangkul leher burung itu.
Agaknya coreng moreng di muka Tin Han tidak membuat burung itu asing bagi dirinya dan masih mengenalnya dengan baik. Burung itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah hendak menyatakan setuju.
"Sekarang terbangkan aku kembali ke Pulau Naga, turunkan di tempat yang sunyi di mana engkau membawaku tadi." Tin Han segera melompat ke punggung rajawali itu.
Akan tetapi rajawali itu hanya berdiri dan tidak mau terbang, memandang ke arah Thai Kek Cin-jin. Kakek itu tersenyum dan berkata, "Engkau boleh pergi membantu Tin Han, Hek-tiauw-ko!" kata kakek itu.
Dan setelah mendengar persetujuan kakek itu, barulah burung rajawali itu mengembangkan sayapnya dan mengenjot kedua kakinya lalu terbang ke atas dengan cepat sekali. Burung itu menukik turun ke arah Pulau Naga dan tak lama kemudian Tin Han sudah tiba di tempat di mana tadi dia dibawa terbang. Dia melompat turun dari punggung rajawali, merangkul lehernya seperti dulu ketika dia masih tinggal bersama Thai Kek Cin-jin dan burung ini, dan berkata,
"Terima kasih, Hek-tiauw-ko. Sekarang harap engkau tunggu aku di tempat ini dan jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu."
Setelah berkata demikian, dengan keyakinan bahwa burung itu mengerti akan maksud kata-katanya, Tin Han lalu melompat dan meninggalkan burung rajawali itu. Tin Han mencari-cari dan akhirnya dia dapat menemukan di mana Lee Cin tinggal.
Malam telah tiba dan di pondok pondok para tamu telah digantungi lampu penerangan. Ternyata Lee Cin menempati sebuah pondok kecil seorang diri saja dan dia menghampiri daun jendela pondok itu dan mengetuknya perlahan.
"Siapa?" terdengar bentakan dari dalam pondok.
"Aku Cia Tin Han, Cin-moi. Bukalah pintu pondokmu dan keluarlah, aku menantimu di luar dan ingin membicarakan urusan penting sekali denganmu."
Hening sejenak. Lee Cin yang mendengar suara Tin Han ini terkejut dan juga berdebar jantungnya. Sejak kedatangannya tadi ia memasang mata mencari-cari adanya Tin Han, akan tetapi dengan hati kecewa ia tidak mendapatkan orang yang dicari. Ia ikut datang ke Pulau Naga karena hampir yakin bahwa penyerang ibunya yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong tentulah orang dari Pulau Naga.
Maka, menggunakan kesempatan selagi para tokoh kang-ouw berkunjung ke Pulau Naga, dara inipun bertekat untuk memasuki Pulau Naga dan mengadakan penyelidikan. Dia telah bersikap menuduh, bahkan menghina dan menyeret-nyeret Tin Han yang dianggapnya telah menyerang ibunya.
Akan tetapi setelah bertemu dengan Thian Lee dan mendengar keterangan pemuda perkasa itu, ia pun menyadari bahwa besar kemungkinannya Tin Han difitnah, penyamarannya sebagai Hek-tiauw Eng-hiong dipergunakan orang untuk mengadu domba dan merusak nama baik Hek-tiauw Eng-hiong. Kini ia harus membantu Tin Han untuk menemukan pembunuh yang sebenarnya.
Ketika mendengar suara lirih kekasihnya itu, Lee Cin agak gemetar karena tegangnya. Ia cepat meniup padam lilin di atas meja, lalu berindap keluar dan membuka daun pintu, lalu keluar dari pondok itu. Ia melihat bayangan orang berkelebat dan bayangan itu berdiri di bawah lampu gantung di luar pondok.
Ia terkejut bukan main melihat muka yang dicoreng-moreng itu. Ia tahu bahwa muka yang dicoreng-moreng itu merupakan tanda sebagai anggauta Te-tok-pang yang datang siang tadi dengan jumlah anggauta lebih dari seratus orang. Karena curiga ia berhenti melangkah dan memandang tajam.
"Cin-moi, apakah engkau tidak mengenali aku? Aku adalah Tin Han," kata Tin Han sambil menghampiri Lee Cin.
Dari suaranya Lee Cin yakin bahwa ia benar berhadapan dengan Tin Han.
"Mari ikuti aku. Kita bicara di tempat yang aman," kata pula Tin Han sambil berlari meninggalkan tempat Lee Cin mengikutinya dengan perasaan heran. Kiranya Tin Han dapat menyamar sebagai anggauta Te-tok-pang, pantas saja ia mencari-cari siang tadi tanpa hasil. Tin Han berhenti di pantai laut yang sunyi.
Lee Cin menghampirinya. "Ada apakah engkau memanggilku?" tanya Lee Cin. Suaranya masih kaku karena ia masih merasa sungkan, mengingat akan perlakuannya terhadap Tin Han beberapa waktu yang lalu.
"Cin-moi, maukah engkau membantu aku untuk menangkap orang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Enghiong dan melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, juga telah menyerang dan melukai ibumu?"
“Hemm, tentu saja. Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Lee Cin, kekakuannya agak berkurang.
"Menurut dugaanku, yang mengetahui akan rahasia itu hanyalah beng-cu Ouw Kwan Lok. Dia sendiri yang menyamar sebagai Hek-tiauw Enghiong palsu, atau kalau bukan dia, tentu seorang di antara anak buahnya."
"Segala kemungkinan bisa terjadi. Lalu bagaimana?"
"Aku minta kepadamu untuk menemuinya besok pagi-pagi benar sebelum pertemuan dimulai dan engkau katakan kepadanya bahwa engkau sudah tahu akan semua rahasianya, akan pembunuhan terhadap orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai dan katakan bahwa engkau akan membuka rahasia itu dalam pertemuan nanti."
"Hemm, apa artinya kata-kataku seperti itu kepadanya? Apa gunanya?"
"Untuk memancing keluarnya Hek tiauw Eng-hiong palsu. Kalau dia mendengar ancamanmu tentu dia akan merasa khawatir sekali dan mungkin saja, hal ini yang menjadi harapanku, dia akan berusaha untuk melenyapkan atau membunuhmu sebelum pertemuan dibuka. Dan yang paling tepat, untuk melakukan hal itu tentu Hek-tiauw Enghiong yang palsu akan muncul agar kembali kesalahan dijatuhkan kepadaku."
"Tapi... tapi.....”
"Aku yakin engkau tidak takut dan mampu menandinginya kalau dia muncul, dan aku akan berada tak jauh dari situ untuk membantu. Bagaimana Cin-moi, masih maukah engkau membantuku menangkap penjahat yang ingin memisahkan kita itu?"
Dalam suara Tin Han terkandung permohonan dan hati Lee Cin tergerak. Tentu saja ia mau melakukan apa yang diminta pemuda itu. Bagai mana pun juga, ia semakin yakin bahwa apa yang ia tuduhkan atas diri Tin Han tidaklah benar, bahwa memang ada orang yang memalsukan samarannya kemudian menyerang ibunya.
Ia pun mempunyai kepentingan untuk mengetahui orang itu. Kalau Hek-tiauw Eng-hiong benar-benar muncul, yaitu Hek-tiauw Eng-hiong yang palsu, ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membalas perbuatan penjahat itu terhadap ibunya.
"Baiklah, Han-ko. Akan kulakukan apa yang engkau pesan. Mudah-mudahan berhasil."
Tin Han merasa girang sekali, terutama melihat sikap gadis itu yang sudah lunak terhadap dirinya. “Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, Cin-moi. Akan kubuktikan bahwa kepercayaanmu kepadaku itu tidak sia-sia. Nah, sekarang kita berpisah dulu, selamat malam." Pemuda itu lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam dan Lee Cin juga kembali ke pondok kecilnya.
Setelah menemui Lee Cin dan mendapat persetujuan gadis itu untuk memancing keluar Hek-tiauw Eng-hiong yang palsu, Tin Han lalu berkunjung ke perkemahan para utusan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Kebetulan pondok-pondok yang ditinggali kedua utusan ini berdekatan dan ketika dia mengunjungi In Kong Thai-su, Im Yang Seng-cu juga berada di situ sedang bercakap-cakap dengan ketua Siauw-lim-pai di Kwi-cu itu.
In Kong Thai-su yang pernah bertemu dengan Tin Han dan pernah pula bertanding dengannya karena mengira Tin Han adalah Hek-tiauw Eng-hiong yang membunuh belasan orang anak buahnya, cepat bangkit berdiri menyambut.
"Omitohud! Engkau juga sudah berada di sini, Cia-sicu? Bagaimana, apakah engkau sudah memperoleh jejak pembunuh itu?" In Kong Thai-su mengenal Tin Han yang kini sudah menghapus coreng-moreng dari mukanya.
"Kabar baik, lo-suhu. Akan tetapi saya mengharapkan bantuan lo-suhu agar pembunuh jahat itu dapat tertangkap atau setidaknya dapat diketahui bahwa orangnya bukanlah saya."
"Omitohud, tentu saja kami suka membantu. Bukankah begitu, to-yu?" In Kong Thai-su menoleh kepada Im Yang Seng-cu.
"Siancai, urusan apakah yang kalian bicarakan ini? Pinto belum dapat menangkapnya."
"To-yu, perkenalkan pemuda ini adalah Cia Tin Han."
"She Cia?" Im Yang Seng-cu berseru sambil memandang tajam wajah Tin Han.
"Benar, dialah Hek-tiauw Eng-hiong."
Im Yang Seng-cu melompat bangun dengan alis berkerut.
"Omitohud, tenanglah, to-yu. Cia-sicu ini adalah Hektiauw Eng-hiong yang tulen, sedangkan yang telah membunuhi para murid kita itu adalah Hek-tiauw Enghiong yang palsu. Cia-sicu ini tadinya pun hendak kami tawan, akan tetapi atas usul mantan panglima Song Thian Lee, kami setuju melepaskannya lagi dengan perjanjian bahwa dia akan sanggup menangkap Hek-tiauw Eng-hiong yang palsu itu dalam dua bulan.
"Sekarang sudah hampir lewat satu bulan dan menurut keterangannya tadi, dia sudah hampir dapat menangkap pembunuh itu. Nah, Cia-sicu, sekarang jelaskan duduk perkaranya dan bagaimana engkau mengatakan bahwa engkau akan dapat menangkap penjahat itu dengan bantuan kami."
"Begini, lo-suhu. Saya telah melakukan penyelidikan dan yakin bahwa orang palsu itu berada di Pulau Naga ini. Saya telah minta bantuan nona Souw Lee Cin untuk memancingnya keluar. Kalau usahanya itu berhasil, besok pagi-pagi dia tentu akan keluar untuk membunuh nona Souw Lee Cin. Nah, pada saat itulah saya mengharap agar to-suhu beserta para suhu lain muncul dan melihat sendiri siapa adanya Hek-tiauw Eng-hiong yang palsu itu, dengan menangkapnya."
"Siancai, bagus sekali kalau begitu. Pinto juga ingin turut menangkap penjahat itu besok pagi-pagi. Di mana kami semua harus bersiap siaga?"
"Itu baik sekali, semakin banyak yang menyaksikan semakin baik. Menurut perkiraan saya, penjahat itu akan muncul di dekat pondok kecil yang menjadi tempat tinggal nona Souw Lee Cin. Sebaiknya kalau kita bersembunyi dan mengintai dekat pondok yang ditinggali Nona Souw."
Semua menyatakan sepakat, bahkan Im Yang Seng-cu hendak mengabari para to-su Bu-tong-pai untuk ikut menyaksikan dan menangkap penjahat yang telah banyak melakukan pernbunuhan itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lee Cin pergi ke rumah induk dimana tinggal keluarga Siang Koan Bhok dan juga Ouw Kwan Lok. Secara kebetulan sekali ia melihat Kwan Lok sedang berjalan seorang diri di taman bunga di samping rumah induk dan bergegas ia menghampiri pemuda itu.
"Eh, Nona Souw Lee Cin, kiranya engkau juga sudah berada di sini? Sungguh pertemuan yang menyenangkan sekali," kata Ouw Kwan Lok sambil memandang tajam.
Dalam hatinya timbul kebencian yang besar. Nona di depannya ini telah menjadi musuh besar guru-gurunya, dan bahkan telah membuntungi lengan kirinya. "Aku mendapat kesempatan untuk membalas budi kebaikanmu!"
Kata-kata terakhir ini tentu saja mengandung sindiran, bukan membalas budi melainkan membalas dendam. Dia akan membalas dendam secara berlipat ganda, akan mempermainkan dan menghina gadis itu habis-habisan lebih dulu sebelum menyiksa dan membunuhnya.
"Hemm, aku juga menyesal mengapa dulu aku tidak memenggal lehermu, hanya memenggal lengan kirimu. Orang macam engkau ini layak seratus kali mati. Ouw Kwan Lok, jangan dikira aku tidak tahu akan semua rahasia busukmu. Engkau menyamar sebagai orang lain untuk membunuhi banyak orang. Akan tetapi aku sudah mengetahui rahasiamu, dapat pula membuktikan dan tunggulah, nanti akan kubongkar semua rahasiamu itu di depan para lo-cianpwe dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!"
Setelah berkata demikian, Lee Cin membalikkan diri dan tanpa memberi kesempatan kepada orang itu untuk menjawab ia sudah berlari cepat kembali ke pondoknya.
Ouw Kwan Lok tertegun mendengar ucapan ini dan wajahnya berubah pucat. Dia lari memasuki rumah dan mengambil sepasang pedang yang diselipkan ke punggungnya. Tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dengan pakaian serba hitam dan sehelai kain sutera hitam menutupi mukanya hanya memperlihatkan dua lubang mata. Gerakannya cepat sekali ketika dia keluar dari rumah itu melalui pintu samping.
Pagi itu masih sunyi dan tidak ada orang yang melihat dia keluar dalam pakaian sebagai Hektiauw Eng-hiong itu. Dia mengambil keputusan untuk membunuh Souw Lee Cin sebelum gadis itu membongkar rahasianya dan untuk melakukan pembunuhan itu, sebaiknya dia menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong sehingga kalau ada yang melihatnya, maka akan menjadi saksi bahwa pembunuhnya adalah Hek tiauw Eng-hiong!
Lee Cin yang berlari menuju pondoknya, sengaja tidak masuk ke dalam pondok. Ia berdiri di belakang pondok itu, di mana terdapat sebuah taman bunga. Ia berdiri termenung seperti memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia mendengar desir angin dan tiga batang pisau terbang bergagang hitam menyambar ke arah paha, perut dan dadanya. Serangan mendadak dengan senjata rahasia itu amat berbahaya karena datangnya cepat seperti anak panah.
Namun, sejak tadi Lee Cin telah waspada karena maklum bahwa kemungkinan besar Oaw Kwan Lok akan muncul dan menyerangnya seperti yang diperhitungkan oleh Cia Tin Han. Begitu mendengar desir senjata pisau terbang itu dan melihat tiga sinar menyambar ke arahnya, tubuhnya sudah melompat jauh ke samping sehingga tiga batang pisau itu terbang lewat di sisi tubuhnya.
Hek-tiauw Eng-hiong yang melepaskan senjata rahasia namun gagal itu lalu melompat dan menerjang Lee Cin dengan sepasang pedangnya! Melihat betapa orang berkedok hitam itu menggunakan sepasang pedang, Lee Cin terkejut.
Kalau begitu orang itu bukan Kwan Lok, pikirnya. Sudah jelas bahwa Kwan Lok hanya memiliki sebelah tangan kanan saja, bagaimana mungkin kini memainkan siang-kiam (sepasang pedang)? Akan tetapi ia tidak mau memusingkan kepalanya dengan hal ini.
Serangan sepasang pedang itu dahsyat sekali, maka iapun cepat melolos Ang-coa-kiam dari pinggangnya dan begitu ia memutar Ang-coa-kiam, tampak sinar merah bergulung-gulung menyambut sepasang pedang yang di mainkan Hek-tiauw Eng-hiong. Terjadilah perkelahian pedang yang amat seru dan seimbang.
Pada saat itu, bermunculanlah para hwesio Siauw-lim-pai, para tosu Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai....