Rajawali Hitam Jilid 14
"Sudahlah, Tin Han. Tidak perlu kau perdulikan gadis puteri Ang-tok Mo-li itu. Ibunya seorang jahat, anaknya tentu juga jahat pula. Ini Leng Ci berada di sini!" kata Te-tok Kui-bo.
Dengan hati panas Tin Han lalu berkata kepada nenek itu, "Lo-cianpwe, kalau Io-cianpwe mengira bahwa aku suka menjadi mantumu, pendapat itu keliru sama sekali. Aku tidak akan pernah mau menjadi suami adik Leng Ci atau suami siapapun juga, kecuali suami adik Lee Cin!"
"Tin Han!" Nenek itu berseru sambil membelalakkan matanya. Biasanya Tin Han begitu lembut dan menurut kata-katanya. "Akan tetapi kami semua sudah sepakat untuk mengikat tali perjocohan itu!"
"Masa bodoh! Siapa yang mengikat tali perjodohan itu boleh menikah. Akan tetapi aku tidak! Lo-cianpwe sendiri yang menghendaki pernikahan itu, aku belum pernah menyatakan setuju, orang hendak memaksa aku menikah dengan orang yang tidak kucinta?"
"Tin Han Engkau tidak.... tidak cinta kepadaku?" Leng Ci berseru dan wajahnya hampir menangis.
Tin Han menjadi kasihan juga. "Leng Ci, kita hanya sahabat biasa. Aku tidak pernah mencinta gadis lain kecuali Lee Cin. Kuharap kelak engkau akan menemukan jodohmu dengan baik."
"Tin Han, engkau menghancurkan harapanku. Engkau berani menampik puteriku!"
"Lo-cianpwe yang memaksa-maksa. Sekarang aku menyatakan tidak mau menjadi mantumu!'
"Tin Han...!” Ayah dan ibunya berseru dan menegur.
Kini Tin Han memandang kepada ayah dan ibunya pandang matanya penuh penyesalan. "Ayah dan ibu sudah menolak dan menghina hati Lee Cin, apakah sekarang aku harus menaatimu menikah dengan orang lain yang sama sekali tidak kucinta? Tidak, ayah dan ibu. Sekali ini aku tidak akan menuruti kata-katamu. Yang hendak menikah adalah aku, bukan ayah dan ibu. Pernikahan menyangkut kehidupanku selamanya, bagaimana hal itu harus ditentukan oleh orang lain?"
"Akan tetapi ibunya adalah Ang-tok Mo-li musuh besar nenekmu dan seorang datuk sesat yang jahat!' seru ibunya.
"Ibu, maafkan. Aku bukan hendak menikah dengan ibunya, melainkan dengan anaknya dan Lee Cin adalah seorang gadis berwatak pendekar, bukan golongan sesat."
"Tin Han, kalau engkau menolak berarti engkau menghinaku!” Te-tok Kui-bo berteriak dan menggerakkan tongkatrya. "Kami semua telah mengambil keputusan, engkau tidak bisa seenaknya saja membatalkan! Ataukah engkau berani menentangku?"
"Terserah kepadamu, Te-tok Kui-bo!" kata Tin Han dengan jengkel. "Aku tidak menentang siapa-siapa, akan tetapi akupun tidak sudi dipaksa menikah dengan siapapun juga. Tidak pula olehmu!”
"Keparat!" Te-tok Kiu-bo menerjang dengan tongkat naganya.
Akan tetapi Tin Han sudah marah sekali. Dia mengelak dan sekali kedua tangannya bergerak, dia sudah menangkap tongkat itu dengan tangan kanannya dan tangan kirinya menotok.
"Brett...!” Tongkat itu sudah berpindah ke tangannya dan sekali dia menekuk dengan kedua tangan, tongkat itupun patah menjadi dua dan dilemparkannya ke atas tanah dengan bantingan.
"Ayah, ibu, aku pergi!' katanya dan dengan isak tertahan dia lalu melompat jauh lari dari tempat itu.
Semua orang terkejut bukan main. Tidak pernah mengira bahwa Tin Han sehebat itu kepandaiannya. Nenek Te-tok Kui-bo uring-uringan, lalu mengajak puterinya dan semua anak buahnya pergi dari situ.
Cia Kun dan isterinya saling pandang dengan Cia Hok dan Cia Bhok. Isteri Cia Kun mengalirkan air mata dan diusapnya air matanya itu, lalu berkata kepada suamirya, "Tin Han marah sekali. Ke mana kita harus mencarinya?”
Cia Kun mengerutkan alisnya. "Sepatutnya dia tidak bersikap seperti itu. Kenapa dia memaksakan diri? Aku yakin kalau Ang-tok Mo-li tahu bahwa dia cucu Nenek Cia, iapun tidak akan menyetujui puterinya menikah dengan Tin Han..."
Cia Hok menghela napas panjang. "Sebetulnya kalian juga salah, memaksanya seperti itu untuk menikah dengan gadis yang tidak dicintanya. Memang baik sekali kalau dia mau menikah dengan puteri Te-tok Kui-bo yang dahulu menjadi sahabat baik ibu, dan sama-sama berjiwa patriot. Akan tetapi orang muda sekarang lebih suka memilih calon isterinya sendiri. Pula, kita harus ingat bahwa Nona Souw Lee Cin juga seorang yang gagah perkasa. Memang sayang, kebetulan ia adalah puteri Ang-tok Mo-li, akan tetapi siapa tahu sekarang Ang-tok Mo-li sudah bertaubat dan tidak merjadi tokoh sesat lagi."
Cia Bhok berkata, "Segala sesuatu telah terjadi. Tin Han telah pergi dan tidak akan mudah mencarinya. Anak itu kini telah menjadi seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Biarkanlah dia menentukan sendiri tentang perjodohannya. jodoh berada di tangan Tuhan. Kalau memang dia berjodoh dengan Nona Souw Lei Cin, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalanginya, sebaliknya kalau nona itu bukan jodohnya, tentu dia akan gagal memperisterinya. Sekarang kita harus mengambil jalan masing-masing berpencar dan bersembunyi karena pasukan pemerintah tentu akan mencari kita pula dan dianggap pemberontak."
Semua menyatakan setuju dan mereka pun berpencar mencari jalan masing-masing untuk menyelamatkan diri dari pengejaran pasukan pemerintah yang bekerja-sama dengan golongan sesat dari dunia kang-ouw.
Tin Han merasa dadanya akan meledak. Kemarahan memenuhi dadanya kalau dia ingat betapa orang-orang tua itu hendak memaksa dia menikah dengan Leng Ci, apa lagi kalau mengingat betapa ayah ibunya telah menolak dan menghina Lee Cin. Dia dapat membayangkan betapa sakit dan hancurnya hati kekasihnya karena diapun pernah mengalami ditolak dan dihina oleh ibu gadis itu. Akan tetapi siapapun yang merintangi perjodohannya dengan Lee Cin, akan ditantangnya. Yang penting adalah dia dan Lee Cin sendiri!
"Cin-moi, kasihan engkau...!” Dia mengeluh sambil berlari terus. Kemudian dia teringat akan perbuatan Ouw Kwan Lok kepadanya. Jahanam telah memalsukan namanya melakukan banyak pembunuhan untuk mencemarkan namanya. Dia merasa menyesal tidak dapat membunuh orang yang diakuinya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, setingkat dengan dirinya.
"Aku harus mencarinya dan menemukannya!" bisiknya kepada diri sendiri. Kemudian dia berhenti berlari. Kenapa dia harus mencari jauh-jauh? Dia yakin bahwa Ouw Kwan Lok masih berada di Pulau Naga, bersembunyi di sana. Sekarang, semua pasukan dan orang-orang sesat sedang mengadakan pemburuan terhadap para pendekar. Pulau Naga tentu ditinggalkan dan siapa tahu Ouw Kwan Lok masih berada di sana!
Dia tentu tidak akan meriyangka akan ada orang yang berani datang ke Pulau Naga lagi dan enak-enak saja bersembunyi di situ. Siapa tahu dugaannya benar dan dengan pikiran ini Tin Han lalu membalikkan tubuhriya hendak pergi berkunjung ke Pulau Naga lagi!
Lee Cin berjalan seorang diri tanpa tujuan. Ia sendiri bingung harus pergi ke mana. Perpisahannya dengan Tin Han membuat semangatnya menjadi lemah dan segala tampak tidak menyenangkan. Satu-satunya tujuan hidupnya kini mencari Ouw Kwan Lok, orang yang selain pernah menyerang dan melukai ibunya, juga telah menjelek-jelekkan nama Hek-tiauw Eng-hiong atau Tin Han kekasihnya.
Biarlah ia melakukan sesuatu yang terakhir, yaitu membela nama baik Tin Han. Ia tidak dapat membenci Tin Han karena sikap orang tuanya, karena ia sendiri juga merasa bahwa ibunya pun bersikap seperti itu terhadap Tin Han. Tidak, ia tidak membenci Tin Han. Ia tetap mencinta pemuda itu dan ingin membelanya. Walaupun agaknya ia tidak mungkin dapat berjodoh dengan Tin Han, setidaknya ia dapat mencintanya saampai mati.
Selagi ia berjalan keluar masuk hutan, tiba-tiba tampak tiga bayangan orang berkelebat dan terkejutlah ia ketika melihat bahwa mereka bukan lain adalah musuh-musuh lamanya, yaitu Yauw Seng Kim, Ban-tok Mo-li dan yang seorang lagi adalah Ma Huan, anak buah Ouw Kwan Lok! Maklum bahwa ia menghadapi musuh dan lawan tangguh, Lee Cin sudah mengeluarkan Ang-coa-kiam dan berdiri dengan pedang melintang depan dada dan keadaan siap siaga!
Yauw Seng Kun tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya nona Souw Lee Cin yang manis berada di sini! Sungguh kebetulan sekali. Kami memang sedang mencari-cari mu."
Ban-tok Mo-li yang merasa cemburu karena tampaknya Yauw Seng Kim masih selalu tergila-gila kepada gadis itu segera membentak, "Souw Lee Cin. Menyerahlah menjadi tawanan kami sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan untuk membunuhmu!' Ia sudah mencabut pedangnya yang beracun. Yauw Seng Kun juga sudah mencabut senjatanya.
Lee Cin diikepung segi tiga. Namun, Lee Cin sama sekali tidak merasa gentar. Tanpa berkedip dan tanpa menggerakkan tubuhnya ia membentak. "Tiga ekor anjing Mancu, majulah! Siapa takut kepada kaliari?"
Melihat sikap dan mendengar bentakan ini, Ban-tok Mo-li lain berseru, "Serbu!" Ia sendiri sudah menusukkan pedangnya yang beracun ke arah dada Lee Cin. Gadis itu tidak mengelak, melainkan menggetarkan pedangnya menangkis.
"Trangg...!" Pedang di tangan Ban-tok Mo-li terpental dan wanita itu terkejut bukan main, cepat meloncat ke belakang agar pedangnya tidak sampai terlepas dari tangannya.
Pada saat itu, Ma Huan sudah membabatkan goloknya ke arah kedua kaki Lee Cin. Gadis ini melompat ke atas dan mengelebatkan pedangnya ke belakang karena pada saat itu, tongkat bambu kuning di tangan Yauw Seng Kun telah menotoknya.
"Trakk!" Tongkat itu telah tertangkis, akan tetapi pedang Ban-tok Mo-li kembali mendesak dengan bacokan ke arah kepada.
Lee Cin mengelak ke samping lain memutar pedangnya untuk membalas serangan tiga orang pengeroyoknya sehingga mereka bertiga terpaksa melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari gulungan sinar pedang merah yang amat berbahaya itu.
Kalau tiga orang itu maju satu demi satu, jelas mereka bukan lawan Lee Cin. Akan tetapi karena mereka bertiga maju mengeroyok, hal ini membuat Lee Cin kewalahan juga. Hujan serangan menyerangnya dan terpaksa ia harus memutar pedang melindungi tubuhnya. Pedang itu seolah menjadi gulungan sinar yang membalut dirinya, menjadi perisai sehingga serangan ketiga orang itu dapat tertangkis semua.
Tiba-tiba Ban-Moli mengeluarkan saputangan merah dan mengebutkan saputangan itu ke arah Lee Cin. Debu merah mengepul. Akan tetapi Lee Cin sudah tahu akan bahayanya racun yang dipergunakan Ban-tok Mo-li, maka ia menahan napas dan melompat mundur beberapa langkah sehingga tidak terkena racun itu. Tiga orang pengeroyoknya mengejar dan kembali ia terkurung.
Perlahan akan tetapi tentu Lee Cin mulai terdesak. Tongkat bambu kuning di tangan Yauw Seng Kim sudah sempat menotok pundaknya. Akan tetapi ia masih sempat memiringkan pundak itu sehingga totokan itu tidak telak dan hanya membuat tubuhnya tergetar sedikit. Ayunan pedangnya menyelamatkannya karena Yauw Seng Kun tidak lagi mampu mendesaknya. Biarpun demikian, kini Lee Cin bersilat dengan hati-hati dan ia lebih banyak menangkis dan mengelak dari pada menyerang.
Pada suatu kesempatan, selagi terdesak, kaki Lee Cin mencuat dan mergenai perut Ma Huan sehingga orang bergolok ini mengaduh dan terhuyung ke belakang. Akan tetapi dua orang kawannya segera mendesak lagi sehingga Lee Cin kembali harus memutar tubuhnya dan pedangnya menjadi semacam baling-baling yang berputar rapat melindungi dirinya.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Adik Lee Cin, jangan khawatir, kami datang membantumu!"
Bukan main girangnya hati Lee Cin ketika melihat bahwa yang datang adalah Tan Cin Lan dan Song Thian Lee! Sepasang suami isteri perkasa ini telah datang dan segera menyerbu membantunya. Tan Cin Lan yang memegang sebatang tongkat sudah menerjang dan membuat Ma Huan terdesak ke belakang.
Song Thian Lee menggunakan pedang Jit-goat-kiam yang digerakkan secara dahsyat membuat Yauw Seng Kun terhuyung kebelakang. Kini tinggal Ban-tok Mo-li seorang yang melawan Lee Cin dan sebentar saja wanita itu tidak dapat menahan gerakan pedang Ang-coa-kiam.
Setelah sepasang suami isteri itu datang membantu, tidak sampai tiga puluh jurus saja tiga orang lawan itu roboh satu demi satu. Ma Huan roboh tertotok tongkat yang mengenal ulu hatinya dan dia roboh untuk tidak dapat bangkit kembali.
Ban-tok Mo-li tertembus dadanya oleh Ang-coa-kiam dan iapun tewas seketika, sedangkan Yauw Seng Kun, biarpun sudah mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya, akhirnya roboh dengan leher nyaris putus oleh pedang Jit-goat-kiam di tangan Song Thian Lee!
Setelah tiga orang lawan itu tewas, Lee Cin merangkul Cin Lan. "Ah, untung engkau datang, enci Cin Lan!" katanya girang.
"Andaikata kami tidak datang sekalipun belum tentu tiga ekor anjing ini akan dapat mengalahkanmu."
"Lee-ko, bagaimana secara kebetulan kalian dapat muncul di sini? Bukankah ketika melarikan diri dari Pulau Naga, engkau seorang diri tanpa adanya enci Cin Lan?"
Thian Lee menghela papas panjang. "Biar kukubur dulu tiga jenazah ini dan engkau dapat mendengar peristiwa yang menimpa diri kami dari encimu."
Thian Lee membuat lubang untuk ke tiga mayat itu dan Cin Lan mengajak Lee Cin ke bawah sebatang pohon besar lalu bercerita. Kiranya ketika suaminya tidak berada di rumah, ikut mencari orang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Enghiong, Cin Lan tinggal berdua saja dengan puteranya yang baru berusia tiga tahun, Song Hong San.
Pada suatu sore, ketika Cin Lan sedang berada di taman bersama puteranya yang bermain-main mengejar kupu-kupu di antara bunga-bunga yang sedang mekar, muncul tiga orang yang mencurigakan hatinya. Yang seorang masih muda dan tampan, akan tetapi lengan kirinya buntung sebatas siku.
Orang kedua adalah seorang berusia limapuluh tahun lebih yang tubuhnya tinggi besar dan serba bundar, perutnya gendut dan kulitnya hitam. Adapun orang ketiga adalah seorang kakek berusia limapuluh tahun lebih akan tetapi tubuhnya tinggi kurus dan mukanya kuning seperti berpenyakitan dan matanya sipit seperti terpejam. Mereka itu bukan lain adalah Ouw Kwan Lok, Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-ko.
Sebetulnya maksud kunjungan tiga orang tokoh besar dari Pulau Naga ini adalah untuk mencari Song Thian Lee dan mengeroyoknya karena pendekar itu telah melukai Siang Koan Bhok. Akan tetapi ketika tiba di taman itu, mereka hanya mendapatkan isteri pendekar itu bersama puteranya.
Tan Cin Lan segera merasa curiga. Ia bangkit berdiri dan menghadapi mereka dengan pandang mata tajam penuh selidik. "Siapakah kalian dan ada keperluan apakah kalian datang memasuki taman bunga kami?" Wanita ini sama sekali tidak merasa gentar dan tangannya sudah meraih sebatang tongkat yang tadinya bersandar di bangku tempat ia duduk.
Ouw Kwan Lok menyeringai melihat wanita yang cantik jelita itu. "Kami datang untuk mencari Song Thian Lee. Panggil dia keluar."
"Suamiku tidak berada di rumah! Kalau kalian ada urusan boleh disampaikan kepadaku saja," kata Cin Lan dengan sinar mata masih penuh selidik dan kecurigaan.
Ouw Kwan Lok memandang kepada Cin Lan, lalu melirik kepada Song Hong San yang masih bermain-main mengejar kupu-kupu. "Dia itu anakmukah?" tanyanya.
Cin Lan masih khawatir dan melangkah hendak mendekati puteranya. Akan tetapi Ouw Kwan Lok menghadangnya dan berkata, "Kalau suamimu tidak ada, biarlah kami membawa anakmu dan kelak dia boleh mencari kami!" Setelah berkata demikian, Ouw Kwan Lok memberi isyarat, kepada kedua orang temannya.
Hek-bin Mo-ko yang tinggi besar melompat maju dan menggerakkan ruyung berdurinya, sedangkan Sin-ciang Mo-kai juga menggerakkan tongkatnya yang beracun untuk menyerang Cin Lan.
Wanita ini terkejut sekali dan juga marah bercampur khawatir akan puteranya. Ia sudah menyambar tongkatnya dan sekali terjang ia sudah membuat Sin-ciang Mo-kai terpelanting dan terhuyung. Ilmu tongkat nyonya muda ini memang hebat sekali, yaitu Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis).
Akan tetapi dari samping, Hek-bin Mo-ko sudah mengayun ruyungnya dengan dahsyat sehingga Cin Lan terpaksa harus mengelak untuk menghincarkan diri. Si-ciang Mo-kai sudah menerjang lagi dan kini nyonya muda itu dikeroyok oleh dua orang lawannya. Ia melakukan dengan gigih, namun perhatiannya terpecah kepada puteranya.
Pada saat itu, Ouw Kwan Lok melompat ke dekat Song Hong San dan sekali sambar dia sudah memondong anak itu. Hong San berteriak memanggil ibunya dan meronta, tidak mau dipondong laki-laki yang tidak dikenalnya itu, akan tetapi sekali tekan dengan jari tangannya, Ouw Kwan Lok membuat anak itu lemas tidak mampu berteriak maupun bergerak lagi.
"Kita pergi!" kata Ouw Kwan Lok kepada dua orang rekannya dan Hek-bin Mo-ko bersama Sin-ciang Mo-kai menyerang dengan hebat sehingga Cin Lan terpaksa melompat ke belakang. Saat itu dipergunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk melarikan diri mengejar Ouw Kwan Lok yang sudah lari terlebih dulu.
Mati-matian Tan Cin Lan melakukan pengejaran. Ia marah dan khawatir sekali akan keselamatan puteranya. Namun, tiga orang itu berpencar sehingga ia tidak tahu siapa yang membawa pergi puteranya dan ke arah mana Ia hanya dapat mengejar seorang di antara mereka dan setelah akhirnya ia dapat menyusul, ternyata yang dapat dikejarnya itu adalah Sin-ciang Mo-kai, pengemis tua yang bersenjatakan tongkat itu. Biarpun ia kecewa karena bukan pengemis itu yang melarikan puteranya, namun dengan kemarahan luar biasa Cin Lan segera menyerangnya.
Sin-ciang Mo-kai rnenangkis dengan tongkatnya. Akan tetapi benturan kedua tongkat itu membuat dia terhuyung dan Cin Lan terus mendesaknya dengan ilmu tongkat Hek-mo-tung. Perkelahian mati-matian antara kedua orang yang sama-sama mempergunakan tongkat ini terjadi dan kini setelah ia hanya melawan seorang di antara mereka, Cin Lan dapat mendesak terus.
Sin-ciang Mo-kai berusaha melawan mati-matian, akan tetapi ia kalah segala-galanya, kalah kuat dalam hal sin-kang dan kalah cepat gerakannya. Juga ilmu tongkat Hok-mo-tung itu merupakan rajanya ilmu tongkat di waktu itu. Akhirnya, setelah lewat limapuluh jurus, ujung tongkat di tangan Cin Lan berhasil menotok dada Sin-ciang Mo-kai dan pengemis tua itu terpelanting roboh. Cin Lan menodongkan ujung tongkatnya ke pelipis orang yang sudah setengah mati dan tidak mampu bergerak itu dan menghardik.
"Katakan siapa yang membawa anakku dan di mana dia dibawanya?" Ujung tongkat yang menempel di pelipis itu siap untuk ditusukkan.
Akan tetapi, totokan di dadanya tadi mengguncang jantung Sin-ciang Mo-kai dan dia terengah-engah sekarat.
"Katakan atau aku akan menyiksamu!" bentak pula Cin Lan.
Akhirnya dengan napas terengah-engah Sin-ciang Mo-kai berkata, "....Pulau Naga....!" Dan diapun terkulai, tewas.
Cin Lan tidak memperdulikannya lagi. Pikirannya penuh kegelisahan akan nasib puteranya. Maka, terpaksa dengan berduka ia pulang ke rumahnya. Pulau Naga! Ia tahu bahwa suaminya juga pergi ke Pulau Naga untuk mencari Hek-tiauw Eng-hiong palsu dan kabarnya beng-cu baru berada di Pulau Naga dan bahwa beng-cu baru itu mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk merighambakan diri kepada pemerintah. Ia menjadi bingung.
Apakah ia harus menyusul suaminya ke Pulau Naga untuk mencari Hong San di sana? Bagaimana kalau tidak bertemu dengan suaminya? Ia akan mencarinya sendiri! Akan tetapi ia harus meninggalkan pesan kepada pelayan agar kalau suaminya pulang akan mengetahui bahwa ia pergi ke Pulau Naga mencari puteranya. Ketika Cin Lan tiba di rumah, ternyata Song Thian Lee baru saja pulang!
"Engkau dari mana? Mana Hong San?" Thian Lee menyambut isterinya dengan khawatir, melihat wajah isterinya yang pucat sekali. Ditanya demikian, Cin Lan menubruk suaminya dan menangis.
"Eh, eh, ada apakah ini? Apa yang telah terjadi?" tanya Thian Lee dengan khawatir. Isterinya bukan seorang wanita cengeng, maka kalau sampai ia bersikap seperti ini tentu telah terjadi sesuatu yang hebat.
"Hong San... diculik... orang...!” akhirnya Cin Lan dapat bicara dan tentu saja Thian Lee terkejut bukan main.
"Apa? Kapan terjadinya dan bagaimana?"
"Baru saja terjadi," kata Cin Lan yang masih menangis di dada suaminya. "Aku sedang berada di taman dan Hong San bermain-main. Lalu muncul tiga orang. Yang dua orang menyerangku dan yang seorang menculik dan membawa lari Hong San."
Thian Lee mengepal kedua tangannya. "Siapa mereka?"
"Aku melakukan pengejaran akan tetapi mereka berpencar. Aku dapat menyusul seorang di antara mereka dan dalam perkelahianku aku dapat mernbunuhnya, akan tetapi yang dua orang lagi telah lari entah ke mana. Aku sudah mendesak orang yang kurobohkan dan sebelum tewas dia mengatakan Pulau Naga."
"Ahhhh....! Bagaimana keadaan mereka itu? Siapa mereka?"
"Yang terbunuh olehku seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan baru, bersenjata tongkat. Orang kedua adalah seorang kakek tinggi besar gendut bermuka hitam dan bersenjata sebatang ruyung berduri. Adapun orang ketiga yang menculik Hong San adalah seorang pemuda yang lengan kirinya buntung sebatas siku."
"Jahanam keparat! Itu adalah Ouw Kwan Lok, beng-cu baru jahanam itu! Dan yang gemuk hitam itu tentu Hek-bin Mo-ko sedangkan yang terbunuh olehmu tentu Sin-ciang Mo-kai. Mereka berdua adalah kaki tangan Ouw Kwan Lok. Jadi anak kita dibawa ke Pulau Naga? Apa yang mereka katakan ketika mereka muncul."
"Orang muda berlengan buntung sebelah itu tadinya menanyakan engkau. Ketika aku mengatakan bahwa engkau tidak berada di rumah, dia lalu bilang bahwa dia akan membawa Hong San dan kelak engkau boleh mencari mereka."
"Jahanam! Sekarang juga kita pergi ke Pulau Naga menyusul mereka!" kata Song Thian Lee dengan marah.
Setelah membuat persiapan tergesa-gesa, kedua orang suami isteri perkasa ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Pulau Naga. Di sepanjang perjalanan Thian Lee bercerita kepada isterinya tentang pertempuran yang terjadi di Pulau Naga sehingga akhirnya para pendekar menyelamatkan diri dan lari dari Pulau Naga karena ada pasukan pemerintah yang besar jumlahnya datang membantu pihak beng-cu dan para tokoh sesat.
"Kalau begitu, keadaan di Pulau Naga sekarang ini tidak aman, terjaga banyak pasukan," kata Cin Lan.
"Kurasa tidak. Pasukan itu tentu melakukan pengejaran ke daratan dan pulau itu sudah sepi kembali. Yang tinggal di sana Siang Koan Bhck dan tentu Ouw Kwan Lok dan para kaki tangannya. tokoh-tokoh kang-ouw yang sesat. Akan tetapi kita tidak perlu takut. Kita harus pergi ke sana untuk merampas kembali anak kita. Kalau perlu kita akan mengamuk mati-matian, atau kita dapat menyusup ke pulau dengan menyamar. Kita melihat keadaannya dulu di sana."
Lega juga hati Cin Lan setelah bertemu dengan suaminya. Iapun bukan seorang bodoh. Pihak musuh menculik Hong San tentu bukan bermaksud membunuh anak itu, melainkan untuk memancing suaminya datang ke Pulau Naga. Dan kelau pergi berdua dengan suaminya, biarpun ke sarang naga ia tidak takut!
Demikianlah, semua ini diceritakan Cin Lan kepada Lee Cin. Lee Cin yang mendengar cerita itu, ikut menjadi marah sekali. "Jahanam benar Ouw Kwan Lok itu. Tidak malu dia berbuat curang, menculik seorang anak kecil. Kalau mernang dia gagah, kenapa tidak langsung saja menantang Lee-ko? Jangan khawatir, enci Lan. Aku akan menyertai kalian masuk ke Pulau Naga! Akupun ingin membunuh Ouw Kwan Lok itu. Sayang dahulu aku hanya membuntungi lengan kirinya, bukan lehernya!' katanya gemas.
Thian Lee telah selesai menguburkan mayat-mayat Ma Huan, Yauw Seng Kun dan Ban-tok Mo-li. Dia membersihkan kedua tangannya yang terkena tanah, lalu menghampiri mereka.
"Keadaan Pulau Naga sekarang sudah tidak begitu kuat lagi," katanya. "Sin-ciang Mo-kai, Ma Huan, Yauw Seng Kun, dan Ban-tok Mo-li telah dapat kita tewaskan."
"Masih ada seorang lagi yang berhasil kutewaskan, yaitu Thian-te Mo-ong?' kata Lee Cin yang segera menceritakan bagaimana ia berhasil membunuh tokoh sesat itu.
Thian Lee mengangguk-angguk girang. "Kalau begitu, kedudukan Ouw Kwan Lok sudah lemah. Hanya tinggal dia seorang, Siang Koan Bhok dan Nyonya Siang Koan Bhok yang kabarnya juga lihai sekali."
"Memang ia lihai," kata isterinya. "Aku dahulu pernah bertemu dengannya dan ia berwatak aneh. Setelah ia tahu bahwa aku mencarikan obat untuk guruku Pek I Lo-kai, ia membebaskan aku bahkan menyerahkan buah sian-tho di Pulau Ular Emas untuk dipakai mengobati guruku."
"Aih, menarik sekali!" kata Lee Cin. "Bagaimana ceritanya, enci Lan?"
"Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan dan dalam perjalanan itu Cin Lan menceritakan pengalamannya dahulu," kata Thian Lee.
Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Pulau Naga dan di sepanjang jalan ini Cin Lan bercerita tentang pengalamannya dahulu.
"Peristiwa itu amat mengesankan hatiku karena aku mengalami hal aneh di sana. Terjadinya dahulu ketika aku masih merjadi murid Pek I Lo-kai," Cin Lan mulai bercerita.
Ketika itu, beberapa tahun yang lalu, Cin Lan masih seorang gadis muda, puteri tiri Pangeran Tang Gi Su dan menjadi murid Fek I Lo-kai. Pada suatu hari Fek I Lo-,kai bertanding melawan datuk besar Jeng-ciang-kwi.
Jeng-ciang-kui kalah oleh Pek I Lo-kai, mengaku kalah dan terluka. Akan tetapi diam-diam Pek I Lo-kai juga terluka parah dan menurut pemeriksaan seorang nikou yang pandai ilmu pengobatan, obat untuk kakek pengemis berbaju putih itu hanyalah buah sian-tho yang tumbuh di Pulau Ular Emas. Mendengar ini, Cin Lan yang amat sayang kepada gurunya, diam-diam pergi ke pulau itu untuk mencarikan obat bagi gurunya.
Setelah tiba di pantai dan menemukan seorang tukang perahu tua yang berani membawanya ke Pulau Ular Emas, mereka berangkat. Dalam pelayaran itu mereka melewati Pulau Naga dan ketika Cin Lan mendengar bahwa Pulau Naga itu dihuni iblis dan semua orang takut mendekatinya, ia malah memaksa kakek perahu untuk singgah dan melihat pulau yang dihuni iblis itu!
Di pulau Naga Cin Lan berjumpa dengan Siang Koan Tek. Mereka bertanding dan Cin Lan terjebak, tertawan oleh Siang Koan Tek yang nyaris memperkosanya. Akan tetapi muncullah Nyonya Siang Koan Bhok yang memarahi puteranya dan membebaskan Cin Lan, apalagi mendengar bahwa Cin Lan adalah puteri Pek I Lo-kai. Cin Lan setelah dibebaskan meninggalkan Pulau Naga dan menuju ke Pulau Ular Emas.
Ternyata, di sana telah ada beberapa orang kangouw yang juga hendak mengambil buah sian-tho. Mereka berunding untuk bertanding satu lawan satu dan siapa yang menang berhak memperoleh sian-tho. Akan tetapi tiba-tiba muncul Nyonya Siang Koan Bhok bersama Siang Koan Tek.
Nyonya ini mengatakan bahwa Sian-tho adalah haknya dan kalau orang orang itu dapat mengalahkannya baru boleh mengambil sian-tho. Dua orang di antara orang kang-ouw itu tewas setelah bertanding melawan Nyonya Siang Koan Bhok.
Akan tetapi Cin Lan tidak takut. Ia bertanding dengan Nyonya Siang Koan Bhok, menggunakan tongkat dan ilmu tongkat Hek-mo-tung. Nyonya itu teringat akan Pek I Lo-kai yang dikenalnya dengan baik, mengagumi Hek-mo-tung dan mengalah, lalu menyuruh Siang Koan Tek menyerahkan buah sian tho kepada Cin Lan untuk mengobati gurunya.
Bahkan Nyonya Siang Koan Bhok menyatakan sukanya kepada Cin Lan untuk mengambilnya sebagai mantu. Cin Lan meninggalkan Pulau Ular Emas membawa buah sian-tho. Akan tetapi di pantai ia melihat seekor ular putih dikeroyok ular-ular emas. Ia penasaran melihat ular putih dikeroyok, maka turun tangan membantu membunuhi ular emas. Ada ular emas menggigit kakinya yang terasa amat panas, lalu ular putih juga menggigit kakinya yang mendatangkan rasa dingin.
Cin Lan pingsan, dibawa oleh kakek perahu ke dalam perahu lalu melayarkannya meninggalkan pulau berbahaya itu. Ketika siuman, Cin Lan merasa ada hawa sin-kang yang kuat membuat tubuhnya ringan dan mendatangkan tenaga dahsyat.
"Peristiwa itu tidak terlupakan olehku karena dalam peristiwa itulah untuk pertama kalinya aku bertemu dengan ayahnya Hong San," kata Cin Lan sambil melirik ke arah Thian Lee yang hanya tersenyum mendengarnya.
Lee Cin menjadi tertarik sekali. ''Bagaimana terjadinya, enci Lan?" tanyanya mendesak.
"Setelah aku mendarat di pantai daratan, aku bertemu dengan empat orang pencari sian-tho yang tadi melarikan diri dari Pulau Ular Emas. Mereka minta bagian buah sian-tho. Tentu saja tidak kuberikan dan mereka berempat lalu mengeroyokku. Selagi aku terdesak, muncullah dia menolongku," katanya sambil menuding ke arah Thian Lee. "Itu merupakan pertemuan kami yang pertama kali."
"Ceritamu menarik sekali, enci Lan. Jadi engkau pernah bertanding melawan Nyonya Siang Koan Bhok dan ia memang lihai sekali? Akan tetapi mengapa setelah ia mendengar bahwa engkau murid Pek I Lo-kai ia lalu mengalah dan malah memberikan buah sian-tho itu kepadamu?"
"Aku sendiripun merasa heran. Agaknya ada hubungan sesuatu antara guruku dan Nyonya Siang Koan Bhok. Hanya menurut dugaanku, ia tidaklah sejahat suaminya."
"Memang tampaknya demikian," kata Song Thian Lee. "Buktinya, dalam gerakan yang dilakukan Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu pemerintah penjajah, nyonya itu tidak pernah ikut campur. Mudah-mudahan saja begitu sehingga keadaan mereka tidak begitu kuat, juga mudah-mudahan dengan adanya Nyonya Siang Koan Bhok, kita akan lebih mudah mendapatKan kembali Hong San dari tangan mereka."
Tiga orang itu melanjutkan perjalanan dan perjalanan terasa ringan dan menyenangkan bagi mereka bertiga walau pun mereka semua merasa prihatin dengan hilangnya Hong San. Mereka bertiga merasa kuat dan siap menghadapi lawan yang bagaimanapun.
Ketika Ouw Kwan Lok dan Hek-bin Mo-ko tiba di Pulau Naga membawa Hong San, Siang Koan Bhok dan isterinya sedang duduk di taman bunga milik Nyonya Siang Koan Bhok. Nyonya Siang Koan Bhok sudah mendengar tentang keributan di Pulau Naga dan ia menegur suaminya.
"Mengapa engkau mencari penyakit? Kita sudah tenang-tenang hidup di sini, tidak ada orang datang memusuhi kita, engkau malah menuruti kehendak Ouw Kwan Lok itu untuk bekerja sama dengan pemerintah. Akibatnya, para orang gagah memusuhimu dan sekarang kita mempunyai banyak musuh," demikian Nyonya Siang Koan Bhok menegur suaminya dengan suaranya yang lembut. Memang gerak gerik nyonya ini serba lembut, tidak menunjukkan bahwa sebetulnya seorang yang lihai sekali ilmu silatnya.
"Sudah sewajarnya kalau ada pihak yang menjadi kawan, tentu ada pihak lain menjadi lawan," bantah Siang Koa Bhok. "Kita berkawan dengan orang-orang kang-ouw dan dengan pemerintah Ceng biarpun dimusuhi orang-orang yang menamakan dirinya pendekar, kita tidak perlu takut. Pasukan pemerintah sewaktu-waktu akan membantu kita. Sekarangpun, pasukan sudah disebar untuk melakukan pengejaran dan penumpasan terhadap mereka yang memusuhi kita."
"Akan tetapi apa sih untungnya bekerja untuk pemerintah penjajah? Kita dibenci rakyat jelata."
"Penjajah atau bukan akan tetapi kenyataannya pemerintah adalah yang berkuasa. Rakyat tinggal menurut saja atau akan dicap pemberontak. Banyak kebaikannya kalau bekerja dengan pemerintah. Kita dilindungi dan seandainya kita mencari kedudukanpun akan mudah. Kita tidak akan dihimpit pajak dan dalam segala perkara kita akan dimenangkan. Bukankah lebih baik dilindungi pemerintah dari pada menjadi musuh dan buronan pemerintah? Sudahlah, isteriku, engkau tidak tahu apa-apa, cukup tinggallah di sini dengan tenang dan serahkan segala urusannya kepadaku."
Nyonya Siang Koan Bhok mengerutkan alisnya yang hitam dan menundukkan wajahnya yang masih tampak cantik. "Baiklah, asal nanti kalau ada apa-apa yang menyusahkan jangan mengganggu aku."
Pada saat itulah Ouw Kwan Lok dan Hek-bin Mo-ko memasuki taman itu. Melihat Ouw Kwan Lok datang memondong seorang anak laki-laki berusia tiga tahun suami isteri itu memandang heran.
"Kwan Lok, siapakah anak itu dan dari mana kau dapatkan dia?" tanya Siang Koan Bhok sambil memandang tajam. Dia bangga akan kegagahan dan kecerdikan muridnya itu yang kini memiliki tingkat kepandaian yang sudah melampaui tingkatnya sendiri. Dan penyamaran Ouw Kwan Lok menjadi Hek tiauw Eng-hiong dianggapnya amat cerdik karena telah mampu mengadu domba para pendekar walaupun pada akhirnya rahasia itu ketahuan.
"Suhu tentu tidak dapat menduga siapa anak ini," kata Ouw Kwan Lok dengan bangga. "Kami telah mencari biang keladi kegagalan pasukan menghancurkan mereka, yaitu Song Thian Lee yang telah mengatur siasat sehingga semua orang dapat lolos dari pulau ini. Akan tetapi ketika kami tiba di rumah persembunyiannya, dia belum pulang dan kami hanya bertemu dengan isterinya dan anaknya. Saya lalu membawa anaknya ini untuk memancing agar dia mau datang ke sini untuk kita bunuh. Sebelum Song Thian Lee dapat dimusnakan, usaha kita akan banyak mengalami hambatan dan gangguan."
"Hemm, jadi dia putera Song Thian Lee? Bagus, ini umpan yang baik sekali, Kwan Lok dan aku yakin bahwa Song Thian Lee pasti akan datang ke sini menyerahkan diri. Akan tetapi, di mana teman-teman yang lain?"
"Sian-ciang Mo-kai berpencar untuk memecah perhatian ibu anak ini yang juga lihai sehingga anak ini dapat saya bawa pergi dengan aman. Adapun teman-teman yang lain sedang sibuk ikut melakukan pengejaran terhadap para pelarian," kata Kwan Lok yang sekali tidak tahu bahkan tidak menduga bahwa Sin-ciang Mo-kai telah tewas di tangan Tan Cin Lan dan banyak kawannya juga sudah tewas di tangan para pendekar.
"Ouw Kwan Lok, berikan anak itu kepadaku!' tiba-tiba Nyonya Siam Koan Bhok berseru.
Kwan Lok memandang dengan heran. "Akan tetapi, subo, ini adalah anak musuh kita."
"Tidak perduli! Kalau orang tuanya musuh, anak ini masih kecil dan tidak ikut apa-apa. Serahkan kepadaku untuk kurawat sementara kalian menanti kedatangan ayahnya."
Nyonya Siang Koan Bhok menghampiri Ouw Kwan Lok. Pemuda ini dengan bingung memandang kepada gurunya dan Siang Koan Bhok mengangguk. "Memang lebih baik berada di tangannya lebih aman dan tentu ia lebih pandai merawatnya dari pada engkau."
Ouw Kwan Lok melepaskan anak itu ke dalam pondongan Nyonya Sian Koan Bhok yang segera menekan pundak anak itu. Song Hong San dapat bersuara lagi dan anak itu lalu menangis keras. Nyonya Siang Koan Bhok lalu mebawanya masuk ke dalam rumah.
"Mari kita berunding di dalam dan panggil Tung-hai Ngohouw (Lima Harimau Laut Timur) untuk hadir," kata Siang Koan Bhok kepada muridnya.
Ouw Kwan Lok menuju ke belakang untuk mencari Lima Harimau yang menjadi kaki tangan gurunya itu, kemudian mereka mengadakan perundingan di bagian belakang rumah besar. Tung-hai Ngo-houw adalah lima orang bajak laut yang tubuhnya tinggi besar, usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun dan mereka memiliki ilmu silat yang cukup tinggi menggunakan sebatang golok besar.
Dahulunya mereka adalah bajak-bajak laut yang sudah menyerah menjadi kaki tangan Siang Koan Bhok di Pulau Naga. Ketika para rekan kang-ouw golongan sesat bersama para pasukan pemerintah melakukan pengejaran terhadap para pendekar, lima orang ini tidak ikut karena tugas mereka menjaga di Pulau Naga bersama anak buah mereka yang kini tinggal seratus orang kurang setelah banyak di antara mereka tewas dalam pertempuran melawan anak buah Te-tok-pang tempo hari.
Setelah Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok berunding dengan Tung-hai Ngo-houw, Ouw Kwan Lok berkata kepada mereka, "Kalian berlima tidak boleh lengah. Biarpun musuh sudah melarikan diri semua, akan tetapi siapa tahu ada yang diam-diam datang kembali. Apa lagi setelah sekarang kami mempunyai umpan untuk memancing datangnya Song Thian Lee. Kalian harus berhati-hati melakukan penjagaan. Sebar semua anak buah mengawasi di seluruh penjuru dan hidupkan semua alat jebakan dan perangkap. Kalau Song Thian Lee dan isterinya berani datang, kita harus menangkapnya, mati atau hidup. Mengerti?"
"Baik, Beng-cu," kata mereka berlima.
"Lakukan giliran Siang dan malam dan sedikitpun tidak boleh lengah karena musuh adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Nah, sekarang mundurlah dan atur penjagaan itu sebaiknya sambil menanti kembalinya kawan-kawan yang lain."
Lima orang itu mundur, tak tahu bahwa mereka harus menanti selamanya karena kebanyakan kawan mereka itu sudah gugur.
"Saya kira sebaiknya kalau kita memanggil lebih banyak rekan untuk berjaga di sini, Beng-cu," kata Hek-bin Mo-ko. "Bagaimanapun juga, saya mendengar bahwa Song Thian Lee adalah seorang bekas panglima perang yang banyak akalnya."
"Kau kumpulkan mereka dan panggil ke sini untuk diajak berunding. Siapa saja yang masih berada di sini dan siapa pula yang ikut keluar pulau melakukan pengejaran terhadap para pendekar."
Hek-bin Mo-ko menuju ke belakang rumah di mana terdapat pondok-pondok kecil tempat tinggal para anak buah Pulau Naga dan tempat mondok para orang kang-ouw yang bergabung di situ. Di situ masih terdapat beberapa orang tokoh kang-ouw yang sudah bergabung, yaitu di antaranya Kim-to Sam-ong (Tiga Raja Golok Emas) ketua Kim-to-pang yang juga sudah bergabung.
Dan dua orang kakak beradik Ouw-yang Twa-mo dan Ouwyang Siauw-mo (Iblis besar Ouwyang dan Iblis kecil Ouwyang). Dua orang yang terakhir ini dahulunya adalah sepasang perampok yang ganas. Seperti juga Kim-to Sam-ong, ilmu silat kedua orang bersaudara Ouwyang ini dapat dimasukkan golongan lihai.
Hek-bin Mo-ko segera mengundang mereka berlima untuk ikut berunding dengan Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok. Kepada mereka berlima, Ouw Kwan Lok memerintahkan agar mulai hari itu mereka waspada dan mengadakan perondaan di sekitar pulau untuk menjaga kalau-kalau ada orang yang berani menyelundup ke dalarn pulau.
Lima orang itu menyatakan kesanggupan mereka dan segera pergi melaksanakan tugas yang diberikan kepada mereka. Segala persiapan untuk menyambut kalau Song Thian Lee dan isterinya benar berani datang telah dibuat oleh Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok.
Kakek ini telah sembuh dari luka dalam akibat perkelahiannya dengan Song Thian Lee dan dia tidak pernah terpisah dari dayung bajanya. Juga Ouw Kwan Lok tidak pernah meninggalkan pedang yang dibawa di punggungnya. Bajunya kini berlengan panjang sehingga lengan baju kirinya tergantung lepas di lengan kirinya yang buntung. Lengan baju ini merupakan senjata yang ampuh juga.
Hanya Nyonya Siang Koan Bhok yang tidak ikut gelisah menjaga diri. Ia suka sekali kepada Hong San yang cerdik. Begitu diperlakukan dengan manis, Hong San tidak menangis lagi bahkan suka tertawa-tawa dengan lucunya, mengeluarkan sepatah dua patah kata yang dapat merighibur hati Nyonya Siang Koan Bhok selama ini kesepian, apa lagi setelah kematian puteranya, Siang Koan Tek.
Timbul rasa sayang ke pada Hong San di dalam hati wanita yang gerak geriknya lembut itu. Ia mempunyai beberapa orang pelayan wanita yang mengurus dan melayani segala kebutuhannya, tinggal di pondok indah bertaman bunga itu.
Suasana di Pulau Naga tampak sunyi dan tenang, namun sebenarnya para penghuninya berada dalam keadaan siap siaga dan waspada penuh ketegangan karena mereka maklum bahwa Song Thian Lee dan isterinya tidak mungkin tidak datang mencari puteranya di tempat itu.
Bahkan Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok menjadi agak gelisah ketika dinanti sampai beberapa hari, kawan-kawan mereka yang melakukan pengejaran terhadap para pendekar belum juga kembali. Sama sekali mereka tidak pernah mimpi bahwa banyak kawan mereka telah tewas di tangan para pendekar.
Terdapat kurang lebih duaratus orang di dalam hutan lebat itu. Seratus orang adalah anggauta Pek-lian-kauw yang pernah diserang dan diporak-porandakan orang-orang Pulau Naga dan pasukan pemerintah dan seratus orang lagi adalah orang-orang Pat-kwa-pai, sekutu mereka. Mereka adalah golongan pemberontak yang membenci terhadap pemerintah penjajah Mancu.
Akan tetapi mereka juga tidak segan untuk melakukan kejahatan kepada rakyat jelata. Mereka adalah golongan sesat yang membenci penjajah mancu dan di mana-mana membikin kacau dan bahkan berani menyerang pasukan Mancu kalau ada pasukan yang jumlah lebih kecil dari jumlah mereka.
Mereka sedang mengadakan pertemuan di hutan itu bersama rekan-rekan mereka, kaum Pat-kwa-pai. Biarpun mereka berlainan aliran dan keagamaan, akan tetapi karena sama-sama memusuhi pemerintah Mancu, mereka dapat bekerja sama. Beberapa orang pimpinan mereka sedang mengadakan perundingan.
Seorang berpakaian tosu yang tinggi kurus, matanya sipit dan suaranya meninggi, bangkit berdiri dan bicara kepada beberapa orang yang berjongkok membuat lingkaran. Di tengah mereka terdapat api unggun karena hari telah menjelang senja dan nyamuk telah banyak berdatanga menyerang mereka. Tosu tinggi ini adalah Hwa-Hwa To-su, ketua cabang Pek-lian-kauw yang berkumpul di situ.
"Kita telah diserang oleh orang-orang Pulau Naga sehingga kehilangan banyak saudara. Orang-orang Pulau Naga bersekutu dengan penjajah Maricu, karena itu kita harus membalas dendam dan kita harus membasmi orang-orang Pulau Naga. Kami harapkan bantuan pihak Pat-kwa-pai sebagai rekan seperjuangan untuk menghadapi orang-orang Pulau Naga."
Seorang tosu yang pakaian di dadanya ada gambar Pat-kwa, yaitu Cin Cin To-jin tokoh Pat-kwa-pai, bangkit berdiri dan mengepal tinju. "Kami dan Pek kwa-pai adalah rekan-rekan seperjuangan, sudah seharusnya kalau kami membantu Pek-lian-pai. Marilah kita bersama menghancurkan orang-orang Pulau Naga!"
Pada saat itu terdengar ucapan nyaring, "Bagus sekali rencana itu, kalau kita bekerja sama tentu hasilnya akan lebih baik lagi”
Semua orang terkejut dan menoleh kepada orang yang mengeluarkan suara itu. Mereka melihat seorang berpakaian hitam yang berkedok hitam pula telah berdiri di atas sebuah batu besar sehingga dapat tampak mudah dari situ.
"Siapa engkau?" Hwa Hwa To-su tokoh Pek-lian-kauw membentak penuh curiga.
"Dia bukan orang kita!' kata pula Cin Cin To-jin dari Patkwa-pai dengan curiga. Semua anggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai telah bersiap-siap dengan senjata mereka untuk menyerang orang berkedok itu.
Akan tetapi orang berkedok itu berkata dengan nyaring. "Aku adalah Hek-tiauw Eng-hiong yang juga anti penjajah Mancu seperti kalian. Walaupun kita masing-masing mengambil jalan kita sendiri, akan tetapi dalam menghadapi Pulau Naga kepentingan kita sama. Karena itu, kalau kita bekerja sama, tentu hasilnya akan lebih baik.”
"Hek-tiauw Eng-hiong, turunlah dan mari kita bicara,” kata Hwa Hwa Tosu dan berkata kepada anak buahnya, "Biarlah dia bicara dengan kita."
Orang itu memang Hek-tiauw Eng-hiong atau Cia Tin Han. Secara tidak disengaja Tin Han mendapatkan mereka sedang berbincang-bincang di situ. Maklum bahwa mereka itu adalah musuh-musuh Pulau Naga, dia lalu mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa tidak membiarkan mereka bentrok dengan orang-orang Pulau Naga dan dia mendapatkan keuntungan itu dengan menyusup ke Pulau Naga dan mencari Ouw Kwan Lok? Demikianlah, maka dia lalu muncul sebagai Hek-tiauw Eng-hiong.
Dengan beraninya Tin Han menerima tawaran orang-orang itu datang ke tengah mereka mengadakan perundingan bersama. Setelah dia berada di antar mereka, Hwa Hwa Tosu lalu bertanya, "Hek-tiauw Eng-hiong, apa yang dapat kau tawarkan kepada kami?"
"Begini, kita dapat bekerja sama. Pulau Naga sekarang dipimpin oleh beng-cu baru bernama Ouw Kwan Lok yang amat jahat dan juga lihai sekali. Dia yang telah mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan menjadi antek penjajah. Kalian boleh menyerbu dan membasmi orang-orang Pulau Naga, dan akulah yang akan menghadapi dan menandingi Ouw Kwan Lok yang jahat dan lihai itu. Dialah musuh besarku.”
"Nanti dulu," kata Cin Cin To-jin. 'Bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau akan mampu menandingi Ouw Kwan Lok yang kami dengar juga memiliki kelihaian melebihi Siang Koan Bhok itu?"
"Aku pernah bertanding dengan dia dan sudah mengukur kemampuannya. Aku akan dapat menangkap atau membunuhnya," kata Tin Han.
"Ho-ho, orang muda. Kami tidak mengenalmu, tidak tahu sampai di mana kepandaianmu, bagaimana kami dapat percaya untuk bekerja sama denganmu? Mari, aku akan menguji lebih dulu kemampuanmu!” kata Cin Cin To-jin yang masih curiga. "Kalau engkau mampu mengalahkan tongkatku ini, baru aku percaya akan kemampuanmu."
Para anggauta Pat-kwa-pai dan Pek lian-kauw segera memberi ruangan untuk kedua orang itu yang hendak mengadu kepandaian. Cin Cin To-jin adalah ketua Pat-kwa-pai yang memiliki ilmu tongkat hebat dan dahsyat, di samping tenaganya yang besar. Tubuhnya memang tinggi besar dan dia amat terkenal dengan tenaganya yang sebesar gajah.
Hwa Hwa Tosu yang mengenal kemampuan rekannya itu membiarkan saja. Diapun harus melihat dulu kepandaian orang yang menawarkan kerja sama untuk menyerang Pulau Naga sebelum menyetujuinya.
Cia Tin Han lalu melompat dari atas batu besar itu. Tubuhnya melayang bagaikan seekor rajawali hitam dan hinggap di depan Cin Cin To-jin yang sudah melintangkan tongkat bajanya di depan dada. "Baiklah, totiang. Kalau engkau menghendaki itu. Mari kita main-main sebentar."
"Hek-tiauw Eng-hiong, keluarkan senjatamu!” bentak Cin Cin To-jin kepada calon lawannya.
"To-tiang, di antara kita tidak terdapat permusuhan, bahkan aku mengajak totiang bekerja sama untuk menyerang Pulau Naga. Oleh karena itu, dalam main-main ini biarlah aku menggunakan tangan kosong saja menghadapi tongkatmu."
Ucapan itu mengejutkan semua orang. Cin Cin To-jin amat terkenal dengan permainan tongkatnya yang dahsyat, bagaimana orang berkedok ini akan menghadapinya dengan tangan kosong saja.
"Hek-tiauw Eng-hiong, kunasihatkan engkau, cabutlah senjatamu. Tongkatku tidak bermata dan aku tidak ingin melukai atau membunuh seorang yang ingin bekerja sama," kata Cin Cin To-jin.
"Jangan khawatir, to-tiang. Kalau sampai aku terluka atau terbunuh, anggap saja itu kesalahanku sendiri dan tidak ada seorangpun akan menyalahkanmu. Mari, aku telah siap, mulailah!" Tin Han berseru menantang.
"Bagus, kalau begitu, lihat tongkatku!” Cin Cin To-jin sudah menyerang dan ternyata serangannya memang dahsyat sekali. Tongkatnya bergerak dengan cepat dan mengandung tenaga besar.
Tin Han maklum akan hal ini, maka diapun menggunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak. Bagaikan seekor burung saja dia berloncatan ke sana sini sehingga semua serangan Cin Cin To-jin mengenai tempat kosong belaka.
Hal ini membuat tosu itu menjadi penasaran sekali dan dia mempercepat gerakannya sehingga tongkatnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi segulungan sinar yang menyambar-nyambar.
Pertandingan itu menjadi menarik karena selain diterangi api unggun, juga para anggauta dua perkumpulan itu kini menyalakan obor sehingga tempat itu menjadi terang dan pertandingan itu dapat tampak nyata.
Tubuh Hek-tiauw Eng-hiong merupakan bayangan hitam yang berkelebatan di antara gulungan sinar tongkat sehingga merupakan pemandangan yang luar biasa, seolah-olah pemuda itu sedang menari saja disambar tongkat dari segala jurusan namun tidak pernah mengenai sasaran.
Hwa Hwa Tosu yang memperhatikan gerakan Hek-tiauw Eng-hiong, diam-diam terkejut bukan main. Dia mengenal ilmu tongkat Cin Cin Tojin yang hebat dan dahsyat, tenaganya yang besar, akan tetapi sekali ini semua gerakan tongkat Cin Cin To-jin mengenai angin belaka. Suara tongkat menyambar-nyambar berciutan, namun tidak pernah dapat mengenai tubuh Hek-tiauw Eng-hiong.
Dan setelah berlangsung limapuluh jurus di mana pemuda itu hanya mergandalkan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, tiba-tiba Tin Han mengeluarkan bentakan keras dan ketika tongkat menyambar ke arah kepalanya, dia merangkis dengan tangan kanannya. Tangkisan itu membuat tongkat terpental dan sebelum Cin Cin To-jin tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja tongkatnya terenggut lepas dan telah pindah ke tangan lawannya!
Cin Cin To-jin terkejut bukan main, menubruk untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Tin Han menyodorkan tongkat itu untuk dipegang oleh pemiliknya, namun tidak dapat di renggut lepas. Mereka berbetotan sambil mengerahkan tenaga. Cin Cin To-jin yang mengerahkan seluruh tenaga tidak mampu merampas tongkat. Dia penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk membetot tongkatnya dari tangan Tin Han.
Secara tiba-tiba Tin Han melepaskan tongkatnya dan tanpa dapat dicegah lagi Cin Cin To-jin jatuh terjengkang! Terdengar tepuk tangan dart Hwa Hwa Tosu dan para arggauta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai juga banyak yang bertepuk tangan kagum. Siapa yang tidak akan kagum melihat seorang dapat mengalahkan Cin Cin To-jin yang bertongkat itu dengan tangan kosong belaka?
Cin Cin To-jin merangkak bangun dan dengan tulus mengakui kekalahannya, mengangkat tangan di depan dada memberi hormat dan berkata, "Hek-tiauw Enghiong memang gagah perkasa dan pantas untuk menjadi sekutu kami menyerbu Pulau Naga."
"Urusanku di Pulau Naga hanya mengenai urusan pribadi dengan Ouw Kwan Lok," kata Tin Han. "Karena itu, kalian boleh mengamuk dan membalas dendam kepada anak buah Pulau Naga, sementara itu biarkan Ouw Kwan Lok aku yang menandingi. Akan tetapi, hendaknya ji-wi to-tiang tidak memandang rendah kepada penghuni Pulau Naga. Biarpun dia sudah tua, namun Siang Koan Bhok merupakan lawan yang tangguh sekali dan aku mendengar kabar bahwa isterinya juga seorang yang amat lihai. Belum dihitung lagi para tokoh kang-ouw yang sudah bergabung ke Pulau Naga. Selain itu, aku mendengar pula bahwa di Pulau Naga terdapat perangkap-perangkap dan jebakan-jebakan rahasia yang berbahaya."
"Sicu, hal itu tidak perlu khawatir. Banyak di antara orang kami yang sudah mengetahui akan jebakan-jebakan rahasia itu dan telah mempelajari. Kami tahu bagaimana harus menyerbu Pulau Naga," kata Hwa Hwa Tosu.
"Kalau begitu, lebih baik lagi. Sebaiknya kapan kita akan menyerbu ke sana?"
"Kita menyerbu besok pagi-pagi sekali mereka belum mengadakan persiapan. Kita serbu dan membuat mereka panik. Anak buah kami bagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama yang menjadi penunjuk jalan menghalau rintangan jebakan, bagian kedua yang menggunakan panah api melakukan pembakaran dan bagian ketiga yang terbesar baru melakukan penyerbuan."
"Bagus sekali rencana itu, dan aku akan menyusup bersama para pembakar untuk mencari Ouw Kwan Lok dan mencegah dia melarikan diri."
Malam itu Tin Han dijamu oleh orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan beristirahat di sebuah pondok.
Pada keesokan harinya, ketika ayam hutan mulai berkokok, bangkitlah mereka semua dan dengan teratur mereka menggunakan perahu-perahu untuk, menyeberang ke Pulau Naga. Mereka menggunakan obor karena pagi masih gelap pekat dan puluhan perahu itu meluncur ke arah Pulau Naga dengan cepat.
Sebuah perahu kecil meluncur pada pagi hari itu menuju ke Pulau Naga. Yang berada di perahu itu adalah Song Thian Lee, Souw Lee Cin dan Tan Cin Lan. Tiga orang ini dengan penuh keberanian menuju ke Pulau Naga untuk mencari dan merampas kembali putera Song Thian Lee yang diculik orang dan dibawa ke Pulau Naga.
Mereka tidak tahu akan tetapi dapat menduga bahwa kedatangan mereka tentu telah diketahui oleh para penghuni Pulau Naga. Akan tetapi mereka tidak perduli dan tidak merasa takut. Tadinya Tang Ci Lan mengusulkan agar mereka menyamar.
Akan tetapi Thian Lee membantah. "Mereka sengaja menculik anak kita untuk memancing kita datang ke sini. Menyamarpun mereka akan mengetahui juga. Pendeknya, kita datangi mereka, kalau dapat secara halus kita minta kembali anak kita, kalau tidak dapat secara halus, kita menggunakan kekerasan."
"Kurasa sebaiknya demikian," Lee Cin membenarkan. "Mereka adalah orang-orang yang curang, tentu telah mengintai dan mengawasi semua tempat ini sehingga kedatangan kita tentu akan mereka ketahui. Lebih baik kita datang terang-terangan dan menantang mereka! Dengan bertiga, aku tidak takut menghadapi siapapun juga di pulau ini!"
Hati Tang Cin Lan menjadi besar mendengar kesanggupan suaminya dan Lee Cin. Ia sendiri seorang wanita gagah perkasa yang tidak mengenal takut, apalagi untuk membebaskan puteranya dari kekuasaan para penculiknya.
Akhirnya mereka tiba di bagian selatan dari Pulau Naga, yaitu di bagian ekornya yang memanjang dan penuh dengan hutan di bukit yang berbatu. Keadaan di situ sunyi saja, agaknya tidak ada seorangpun yang berada di sekitar tempat itu. Namun ketiganya dapat merasakan bahwa gerak-gerik mereka tentu diamati orang yang bersembunyi.
Bangunan-bangunan yang menjadi tempat tinggal para penghuni Pulau Naga berada di bukit tengah yang paling besar, dekat puncak dan sudah tampak dari situ sebagian dindingnya yang putih dan gentengnya yang merah. Thian Lee memimpin dua orang wanita itu mendaki bukit menuju ke bukit besar di mana terdapat bangunan itu. Mereka bermaksud untuk langsung mendatangi tempat itu dengan waspada agar jangan sampai terjebak di tengah perjalanan menuju ke bukit itu.
Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut ketika mendengar suara ledakan-ledakan keras disusul berkobarnya api di mana-mana! Biarpun tidak mengetahui dengan pasti, Thian Lee yang melihat keadaan itu dapat menduga bahwa Pulau Naga tentu mendapat serangan dari luar!
"Pulau Naga ada yang menyerang! Lihat itu kobaran api yang disebabkan oleh panah api dan alat-alat peledak. Entah siapa yang sedang melakukan peryerangan itu, akan tetapi hal ini kebetulan sekali. Dalam keadaan terserang dan panik, mereka tentu tidak begitu memperhatikan kita dan kita dapat menyusup masuk. Mari cepat!' Thian Lee lalu berlari ke depan mendaki puncak bukit kecil di bagian ekor naga itu.
Tiba-tiba dia berhenti dan dua orang wanita yang mengikutinya juga berhenti. Mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam dan lebar. Tidak mungkin melompati jurang itu. Akan tetapi di atas jurang itu terdapat dua helai tali besar terbentang dari seberang sini ke seberang sana. Agaknya itulah jalan satu-satunya untuk menyeberangi jurang itu dan untuk mendekati tempat di mana terdapat bangunan-bangunan para penghuni Pulau Naga.
"Tidak ada lain jalan, kita harus mengambil jalan melalui tali ini. Biar aku yang akan mencobanya lebih dulu!” kata Thian Lee sambil menarik-narik tali itu untuk menguji keuletannya. "Aku akan lebih dulu menyeberang dan di sana aku akan menjaga jembatan tali ini kalau kalian hendak menyeberang nanti."
"Akan tetapi, hati-hatilah!” kata Cin Lan.
"Lee-ko, berhati-hatilah, aku masih curiga kepada kelicikan mereka?” kata pula Lee Cin.
"Jangan khawatir!” katanya dan dia pun sudah melangkah ke atas dua helai tali yang besarnya seibu jari kaki itu. Dia melangkah ke depan, tali itu bergoyang-goyang akan tetapi Thian Lee dapat mengatur keseimbangan tubuhnya.
Dua orang wanita itu memandang dengan hati khawatir. Ketika Thian Lee sudah tiba di tengah-tengah jembatan, tiba-tiba tali jembatan itu terlepas! Entah siapa yang melepaskannya. Tentu saja dengan sendirinya tubuh Thian Lee terayun turun. Untung dengan sigapnya dia masih dapat menangkap kedua tali itu sehingga tubuhnya tidak terjatuh ke dalam jurang, melainkan terayun-ayun, secara mergerikan sekali.
"Ahhhh....!!” Dua orang wanita itu memandang dengan wajah pucat. Karena terputusnya tali itu terjadi dari sebelah sini, mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong Thian Lee.