Rajawali Hitam Jilid 15
Selagi dua orang wanita itu kebingungan melihat tubuh Thian Lee terayun-ayun di dinding jurang, tiba-tiba terdengar kelepak sayap seekor burung dan tampaklah seekor burung rajawali hitam menyambar turun ke dalam jurang itu. Seorang bertopeng hitam menunggang burung itu dan hati Lee Cin berdebar tegang dan juga girang. Cia Tin Han!
Hek-tiauw Eng-hiong, siapa lagi kalau bukan dia? Hektiauw Eng-hiong memberi isyarat dengan tangan kepada mereka berdua agar mereka tenang dan burung itu lalu meluncur ke bawah jurang. Dengan cekatan sekali, Tin Han menyambar ujung tali yang terlepas itu dengan tangannya dan menyuruh Hek-tiauw-ko terbang kembali ke arah tebing di mana dua orang gadis itu berada. Burung itu hinggap di tebing dan Tin Han menyerahkan ujung kedua tali kepada Lee Cin sambil berkata,
"Cin-moi, kalian pegang kedua tali ini baik-baik, ikatkan di batu besar dan jaga jangan sampai ada yang membikin putus. Aku akan menjaga yang disebelah sana."
Lee Cin mengangguk dengan gembira dan bersama Cin Lan menerima kedua ujung itu. Mereka lalu menarik kedua tali itu menegang kembali dan mengikatkan ujungnya pada batu besar lalu menjaganya. Mereka melihat betapa Thian Lee dapat lagi berjalan di atas tali yang sudah ditegangkan itu.
Tin Han kembali menunggang burung rajawalinya dan terbang ke seberang, dimana dia menjaga ujung tali yang lain yang juga oleh orang telah diikatkan kepada dua batang pohon.
Tampak olehnya ada lima orang memegang golok hendak membacok putus tali itu. Burung rajawalinya menyambar dan Tin Han meloncat turun lalu mengamuk, menampar dan menendangi lima orang itu sehingga mereka jatuh bangun dan melarikan diri. Thian Lee selamat sampai di tebing seberang.
"Terima kasih atas bantuanmu tadi!" kata Thian Lee.
"Akan tetapi, sekarang engkau harus menjaga tali di seberang sana kalau-kalau ada yang hendak mengganggu selagi mereka menyeberang ke sini!"
"Baik, Lee-ko. Aku akan menjaga seberang sana!" kata Tin Han dan diapun menunggangi lagi rajawali hitam dan terbang ke seberang sana. Setelah tiba di sana, dia mempersilakan Cin Lan untuk menyeberang lebih dulu.
"Jangan khawatir, suamimu menjaga di seberang sana dan kami berdua yang akan menjaga di sini," kata Tin Han ke pada Cin Lan.
Nyonya yang gagah perkasa inipun lalu menyeberang dengan setengah berlari, memegangi tongkatnya untuk membantu keseimbangan tubuhnya. Akhirnya tibalah ia di seberang, disambut suaminya dengan lega.
Tin Han dan Lee Cin saling berhadapan. Dua pasang mata itu bertemu dan bertaut sampai lama, saling pandang dengan penuh selidik seolah hendak menjenguk isi hati masing-masing. Akhirnya Tin Han menghela napas panjang dan berkata lembut.
"Cin-moi, kesempatan ini kupergunakan untuk minta maaf kepadamu sebesar-besarnya atas segala sikap keluargaku terhadap dirimu! Sudikah engkau memaafkan aku, Cin-moi?"
Lee Cin merasa terharu. Ia tahu bahwa pemuda ini tidak bersalah apa-apa ketika keluarga pemuda itu bersikap buruk terhadap dirinya, bukan hanya menolak melainkan juga menghina ibunya, seperti juga ia tidak bersalah ketika ibunya menolak dan menghina pemuda itu.
"Han-ko, kalau engkau mau memaafkan ibuku atas sikap dan kata-katanya, akupun mau memaafkan keluargamu atas sikap dan kata-katanya."
"Tentu saja, Cin-moi, sebelum engkau minta, sudah sejak dahulu aku melupakan perlakuan ibumu itu kepadaku. Bagiku yang terpenting adalah sikapmu kepadaku, Cin-moi, bukan sikap ibumu atau siapa saja kepadaku. Aku sungguh girang bahwa engkaupun mau melupakan sikap keluargaku kepadamu."
"Akan tetapi, Han-ko. Perjodohan haruslah direstui oleh orang tua masing-masing, bagaimana kalau ibuku menentang dan juga keluargamu menentang. Masih mungkinkah...“
Tin Han melangkah maju dan memegang kedua tangan kekasihnya. "Mengapa tidak, Cin-moi? Bukankah yang terpenting itu yang akan menjalani? Kalau memang keluarga kita masing-masing tidak setuju, kita tidak perlu lagi memperhatikan mereka. Kita hidup berdua, jauh dari segala hal yang tidak menyenangkan. Bagaimanapun juga, hatiku masih terhibur karena aku yakin bahwa ayah kandungmu tidak melarang hubungan antara kita. Dan di pihakku, aku dapat minta persetujuan guru-guruku yang bijaksana untuk merestui perjodohan kita."
Sejenak Lee Cin membiarkan jari-jari tangannya diremas-remas kekasihnya. Ia lalu teringat dan berkata, "Han-ko, mereka menanti di seberang sana. Biarkan aku menyeberang dulu.'
"Tidak, mari kita menunggang Hek tiauw-ko. Dia yang akan menyeberangkan kita. Loncatlah!'
Dengan gembira dan tegang Lee Cin lalu melompat ke atas punggung Hek-tiauwko dan Tin Han melompat ke belakangnya. Burung itu lalu terbang, tampaknya ringan saja membawa dua beban itu dan melayang ke seberang jurang.
Setelah turun, Tin Han berkata kepada burung. "Hek-tiauw-ko, terima kasih dan pulanglah dulu kepada suhu."
Burung itu seperti mengerti kata-kata itu. Dia menggerakkan sayapnya dan terbang pergi dari situ.
"Pulau Naga agaknya diserang dari luar. Lihat, terjadi kebakaran di mana-mana dan di sebelah sana terdengar suara ribut-ribut seperti ada pertempuran. Ketika engkau menunggang rajawali tadi, apa yang kau lihat, Han-te?" tanya Thian Lee kepada Tin Han yang kini sudah membuka kedoknya, sehingga mukanya tampak, hanya pakaiannya yang masih serba hitam.
"Aku melihat banyak orang menaiki pulau dari arah timur dan utara. Mereka menyerang dengan anak panah berapi dan aku tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai."
"Eh, bagaimana engkau dapat tahu?"
"Aku memang telah bersepakat dengan mereka untuk mengadakan penyerbuan bersama. Pihak Pek-lian-kauw mendendam kepada Pulau Naga karena pernah diserbu dan banyak anggauta terbunuh anak buah Pulau Naga yang dibantu pasukan pemerintah. Aku menggunakan kesempatan baik selagi mereka melakukan penyerangan ini untuk menyeberang ke pulau dan mencari Ouw Kwan Lok. Tak kusangka aku melihat kalian bertiga di sana tadi."
"Bagus! Kalau mereka bertempur, kita tidak perlu mencampuri urusan mereka. Yang penting sekarang mencari Siang Koan Bhok, isterinya, dan Ouw Kwan Lok untuk merampas kembali anak kami."
"Ah, apakah yang terjadi dengan anakmu, Lee-ko?"
Lee Cin menerangkan. "Putera Lee-ko yang baru berusia tiga tahun diculik oleh Ouw Kwan Lok dan dibawa ke Pulau Naga untuk memancing datangnya Lee-ko dan isterinya yang menjadi musuh besar Ouw Kwan Lok."
"Jahanam curang!" kata Tin Han. "Kebetulan sekali ada pihak lain sedang menyerang Pulau Naga sehingga kita mendapatkan banyak kesempatan. Mari kita datangi bangunan besar itu. Kurasa di sanalah mereka berkumpul."
Makin besar rasa hati Lee Cin setelah kini Tin Han bergabung dengan mereka. Mereka berempat lalu dengan hati-hati terus mendaki ke atas bukit itu menghampiri bangunan yang berada di puncak bukit.
Sementara itu, Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok terkejut juga melihat penyerbuan orang-orang Pek-lian-kau dan Pat-kwa-pai ke pulau mereka. Hal ini sama sekali tidak pernah mereka sangka. Pasukan pemerintah baru malam tadi meninggalkan pulau untuk melakukan pengejaran terhadap para pendekar.
Bahkan banyak orang kang-ouw yang juga ikut melakukan pengejaran sehingga yang tinggal di pulau hanya beberapa orang lagi, di antaranya Tung-hai Ngo-huw, Ouw Kwan Lok dan Siang Koan Bhok bersama beberapa orang kang-ouw lainnya.
Mendapat serbuan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai tentu saja mereka melakukan perlawanan hebat dan karena memang pulau itu mempunyai tempat yang baik sekali untuk bertahan, seperti sebuah benteng saja, maka pihak Pulau Naga dapat membuat pertahanan yang kokoh kuat.
Sementara itu, Ouw Kwan Lok, Siang Koan Bhok dan kelima Tung-hai Ngo-houw berkumpul di rumah induk, sedangkan Nyonya Siang Koan Bhok tetap berada di pondok belakang di mana terdapat taman bunga yang luas. Nyonya ini tidak mau mencampuri urusan suaminya dan memang ia tidak disenanginya.
Melihat ribut-ribut di luar, Nyonya Siang Koan Bhok hanya memesan belasan orang wanita pembantunya untuk berjaga-jaga di setiap pintu masuk dengan pedang di tangan dan tidak mengijinkan siapapun memasuki daerah itu.
Akhirnya Thian Lee, Cin Lan, Tin Han dan Lee Cin tiba di bangunan itu dan berhadapan dengan pintu gerbang yang ditutup rapat dari dalam. Untuk melompati pintu gerbang itu rasanya terlalu tinggi dan tidak ada celah-celah pada pintu itu. Mereka lalu mencari dengan jalan memutar dan akhirnya dapat melompati pagar tembok di belakang dan memasuki sebuah pekarangan yang luas.
Akan tetapi baru saja mereka berempat masuk, tiba-tiba saja sudah ada belasan orang dipimpin Tung-hai Ngo-houw mengepung mereka dengan senjata golok besar di tangan. Melihat ada empat orang tahu-tahu telah berada di sebelah dalam pekarangan itu, belasan orang ini tidak banyak cakap lagi secara mengepung dan menyerang.
Akan tetapi Lee Cin sudah mencabut pedangnya dan menyambut serangan mereka, demikian juga Cin Lan sudah menggerakkan tongkatnya menyambut golok mereka. Segera terdengar bunyi golok berdencingan dan golok-golok itu beterbangan begitu bertemu dengan Ang-coa-kiam dan tongkat. Dan tendangan serta tamparan tangan kiri kedua wanita perkasa itu membuat mereka terpelantingan.
Melihat ini, Tung-hai Ngo-houw menjadi marah dan mereka lalu maju, menggerakkan golok besar mereka mengeroyok dua orang wanita itu dan segera terjadi pertempuran antara dua orang wanita perkasa melawan lima orang Tung-hai Ngo-houw. Belasan orang lain mengepung Thian Lee dan Tin Han, akan tetapi begitu dua orang pemuda ini menggerakkan kaki tangan, mereka terlempar kekanan kiri seperti daun-daun kering tertiup angin.
Tiba-tiba muncullah Siang Koan Bhok dan Ouw Kwan Lok. Dua orang ini terkejut bukan main melihat hadirnya Song Thian Lee dan juga Cia Tin Han di tempat itu. Sama sekali tidak mereka sangka-sangka bahwa serangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu ternyata ada hubungannya dengan munculnya orang yang mereka tunggu-tunggu itu. Song Thian Lee dan isterinya telah berada di situ, dan bukan mereka saja. Juga Cia Tin Han dan Souw Lee Cin!
Begitu melihat Ouw Kwan Lok, Song Thian Lee segera berseru dengan suara nyaring, "Ouw Kwan Lok, manusia pengecut! Kembalikan anakku dan mari kita bertanding sampai seribu jurus untuk menentukan siapa di antara kita yang akan menang!"
Akan tetapi Ouw Kwan Lok membalas dengan bentakan mengancam. "Song Thian Lee dan isteri, kalau kalian menghendaki anak kalian selamat, cepat menyerahkan diri, kalau tidak anak kalian akan kami bunuh!"
"Jahanam Ouw Kwan Lok!" Tin Han sudah membentak marah. "Lee-ko, jangan dengarkan ancamannya yang kosong!" Setelah berkata demikian, Tin Han sudah menerjang pemuda berlengan satu itu dengan pedangnya Pek-kong-kiam.
Karena serangan itu dahsyat bukan main, Ouw Kwan Lok tidak berani hanyak cakap lagi dan dia sudah mencabut pedangnya, menangkis dan balas menyerang. Segera di antara kedua musuh besar itu terjadi perkelahian yang seru dan mati-matian.
Thian Lee menghadapi Siang Koan Bhok. "Siang Koan Bhok, kejahatan dan penyelewenganmu sudah terlalu jauh. Mari kita tentukan dengan adu kepandaian!"
Siang Koan Bhok tidak dapat menghindar lagi. Tung-hai Ngo-houw bersama beberapa orang anak buah sudah mengeroyok dua orang wanita yang mengamuk seperti dua ekor naga betina itu, Ouw Kwan Lok juga sudah bertanding mati-matian melawan Cia Tin Han. Dia tidak dapat menghindarkan diri lagi lalu terpaksa mengerahkan tenaganya memutar tongkatnya dan menyerang Song Thian Lee dengan hebatnya.
Ilmu kepandaian Siang Koan Bhok pada saat itu sudah mencapai puncaknya, Ilmu tongkat yang dimainkan dengan dayung baja itu sudah matang dan dahsyat sekali. Akan tetapi, harus diakui bahwa usianya semakin tua padahal ini sangat tidak menolong. Daya tahannya sudah tidak seperti dulu lagi dan keuletannya juga berkurang.
Adapun yang menjadi lawannya adalah Song Thian Lee, seorang muda yang sedang kuat-kuatnya yang memiliki ilmu pedang Jit-goat-kiam sut dengan pedang pusaka Jit-goat-po kiam dan memiliki pula tenaga dahsyat Thian-te Sin-kang. Gerakan pedangnya mantap dan mengandung tenaga kuatnya sehingga dia merupakan lawan yang berat bagi Siang Koan Bhok.
Pertandingan antara Ouw Kwa Lok dan Cia Tin Han juga terjadi mati-matian. Ouw Kwan Lok tidak dapat mengharapkan bantuan siapapun juga maka dengan nekat dia mainkan pedangnya dan mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk mengimbangi Tin Han yang gagah perkasa. Pedang mereka lenyap bentuknya dan berubah menjadi dua gulungan sinar yang saling menekan dan menghimpit.
Akan tetapi Lee Cin dan Cin Lan mengamuk bagaikan sepasang naga betina yang dikeroyok belasan orang anak buah Pulau Naga. Lima orang Tung hai Ngo-houw juga mengeroyok dua wanita ini, akan tetapi tetap saja mereka terdesak hebat oleh pedang Ang-coa-kiam dan tongkat di tangan Cin Lan.
Tiba-tiba terdengar gerengan hebat dan melompatlah Hek-bin Mo-ko ke dalam pertempuran, menyerang Lee Cin dengan ruyungnya yang besar dan berduri. Lee Cin cepat mengelak dari serangan ruyung yang ampuh itu dan sekali membalik pedangnya sudah menusuk ke arah ulu hati Hek-bin Mo-ko.
Raksasa ini terkejut dan cepat membuang tubuhnya ke samping untuk menghindarkan dari tusukan itu, lalu maju lagi mengeroyok dengan yang lain-lain. Lee Cin dan Cin Lan lalu mengamuk. Senjata mereka menyambar-nyambar dengan cepatnya dan sudah beberapa orang pengeroyok roboh tak dapat bangkit kembali disambar pedang dan tongkat.
Akhirnya hanya lima orang Tung-hai Ngo-houw dan Hek-bin Mo-ko saja yang masih mengeroyok mereka, masing-masing dikeroyok tiga orang. Akan tetapi Lee Cin yang sudah marah sekali mengamuk dan ketika Hek-bin Mo-ko kurang hati-hati menghadapi sambaran pedang Lee Cin, ia berteriak dan roboh dengan dada tertusuk pedang, lalu terpelanting dan tidak dapat bangun kembali.
Robohnya Hek-bin Mo-ko ini membuat lima orang Tung-hai Ngo-houw menjadi kehilangan semangat, akan tetapi tidak mungkin mereka meninggalkan gelanggang pertempuran dan dengan mati-matian mereka masih mencoba untuk mengeroyok Lee Cin dan Cin Lan.
Namun, tingkat kepandaian lima orang Tung-hai Ngo-houw ini masih jauh kalau dibandingkan tingkat dua naga betina yang mengamuk itu. Dalam waktu singkat saja mereka berlima sudah roboh terpelanting, termakan pedang atau tertotok tongkat. Anak buah yang lain sudah siang-siang melarikan diri karena maklum bahwa mereka tidak akan menang mengeroyok dua orang pendekar wanita itu.
Setelah kehilangan lawan, Lee Cin dan Cin Lan menyimpan senjata mereka dan kini mereka hanya menonton pertandingan yang amat seru antara Song Thian Lee dan Siang Koan Bhok dan antara Cia Tin Han dan Ouw K wan Lok. Mereka berdua adalah wanita-wanita pendekar gagah perkasa.
Dan melihat betapa suaminya dan kekasih mereka tidak boleh mencampuri, apalagi melihat betapa keadaan pihak mereka tidak terdesak. Biarpun dengan tetap waspada, mereka kini menonton pertandingan yang amat hebat di puncak bukit itu, di depan bangunan indah yang bertaman bunga.
Pertandingan antara Song Thian Lee dan Siang Koan Bhok sudah berlangsung seratus jurus. Kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua kepandaiannya sehingga tidak begitu mudah bagi Thian Lee untuk mengalahkannya dalam waktu singkat. Ketika Siang Koan Bhok memainkan dayungnya dengan ilmu tongkat Swe-kut-pang (Tongkat Penghancur Tulang).
Thian Lee mengimbanginya dengan Silat Hui-eng-kun (Silat Elang Terbang) sehingga mereka bertanding sampai puluhan jurus dengan sangat seru dan saling serang. Kemudian Siang Koan Bhok mengubah gerakan tongkatnya dengan ilmu silat Kui-liong-kun (Silat Naga Siluman) dan membarengi pula dengan selingan pukulan tangan kiri dengan pukulan beracun Bantok-ciang (Tangan Selaksa Racun).
Melihat ini, Thian Lee juga mengubah ilmu silatnya. Dia mainkan Jit-goat Kiam-sut dan menyelingi dengan dorongan tangan kirinya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-kang. Beberapa kali tangan kiri kedua orang jagoan itu bertemu di udara.
Pada mulanya memang tampak seimbang dan keduanya terdorong mundur, akan tetapi lambat laun jelas bahwa Siang Koan Bhok kalah tenaga. Kalau Thian Lee hanya terdorong mundur, kakek itu terdorong sampai terhuyung!
Pada suatu saat, Siang Koan Bhok mengeluarkan ilmu dayungnya yang paling hebat. Tubuhnya bergulingan dan dayungnya yang besar panjang itu menyambar-nyambar dari bawah!
Thian Lee terkejut sekali mendapat penyerangan yang tidak terduga-duga ini. Cepat dia menggunakan ilmu Hui-eng-kun (Silat Garuda Terbang) dan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor burung garuda beterbangan.
Namun, tetap saja ketika tubuhnya menyambar turun, sebuah hantaman dayung mengenai dadanya. Melihat datangnya dayung tidak begitu kuat, Thian Lee menerima dengan dadanya dan membarengi menusuk ke bawah.
"Bukk... crotttt...!"
Dada Thian Lee terpukul dayung, akan tetapi ulu hati Siang Koan Bhok tertusuk pedang Jit-goat-kiam! Tubuh Thian Lee terlempar, akan tetapi tubuh Siang Koan Bhok rebah dan darah bercucuran dari dadanya!
Cin Lan cepat melompat dan menghampiri suaminya, membantu suaminya bangkit berdiri dan memandang dengan penuh kekhawatiran.
"Aku tidak apa-apa, hanya terluka sedikit saja," kata Thian Lee yang membikin tenang hati isterinya.
Lee Cin melompat ke dekat Siang Koan Bhok dan memandang. Ternyata kakek itu tidak mampu bangkit kembali, berkelojotan dan sebelum menghembuskan napas terkahir dia berkata dengan suara serak.
"Song Thian Lee, aku mengaku kalah!" Pengakuan yang gagah dari seorang datuk besar. Kemudian dia terkulai dan tewas.
Kini tiga orang itu menonton pertandingan antara Tin Han dan Ouw Kwan Lok. Pertandingan antara kedua orang ini tidak kalah serunya, bahkan lebih ramai dibandingkan pertandingan antara Thian Lee dan Siang Koan Bhok tadi.
Sungguh di luar dugaan Lee Cin bahwa Ouw Kwan Lok sekarang telah menjadi seorang yang sedemikian lihainya. Ia sendiri merasa bahwa agaknya sukar baginya untuk mengalahkan orang yang pernah dibuntungi lengan kirinya itu.
Sepak terjang Ouw Kwan Lok memang menggiriskan. Pemuda ini telah menyerap ilmu-ilmu dari tiga orang datuk besar, yaitu dari Pak-thian-ong, dari Thian-te Mo-ong dan yang terakhir dari Siang Koan Bhok. Dari tiga orang datuk ini, dia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan mereka dan karena dia masih muda, berbakat dan kuat maka itu menjadi lihai bukan main di tangannya. Biarpun lengan kirinya sudah buntung, namun ujung lengan baju pada lengan kirinya itu menjadi senjata yang ampuh sekali.
Mereka juga sudah bertanding selama seratus jurus lebih namun Ouw Kwan Lok masih tampak mampu melawan dengan seimbang. Pedang di tangan kanannya menyambar-nyambar ganas dan tangan kiri yang buntung itu ternyata mampu menyalurkan pukulan beracun Pek-swat Tok-ciang yang mengeluarkan uap putih!
Tangan kanannya memainkan ilmu silat Pek-wan-kun (Silat Lutung Putih) yang lincah dan cekatan sekali. Sambaran pedang silih berganti dengan sambaran ujung lengan baju kirinya, keduanya merupakan ancaman maut setiap kali menyambar. Akan tetapi sekali ini Ouw Kwan Lok benar-benar menemukan tanding!
Pedang Pek-kong-kiam di tangan Cia Tin Han adalah pemberian kakek sakti Bu Beng Lo-jin. Sejak tadi Tin Han tetap memainkan ilmu silat Hek-tiauw-kun (Silat Rajawali Hitam) yang dimainkan dengan pedangnya yang kadang bergerak seperti paruh burung dan kadang dengan cepat berubah seperti sambaran cakar. Dan Tin Han melandasi ilmu pedangnya itu dengan tenaga Khong-sim Sin-kang.
Ouw Kwan Lok mengubah-ubah ilmu silatnya dari ketiga gurunya, namun semua ilmu silatnya itu membentur karang ketika bertemu dengan Hek-tiauw-kun yang dilandasi Khong-sim Sin-kang. Terutama sekali dalam kekuatan tenaga sin-kang, lambat laun diketahui bahwa Ouw Kwan Lok masih kalah setingkat.
Kini, setiap kali kedua pedang bertemu, terdengar bunyi nyaring diikuti muncratnya bunga api yang berpijar, namun jelas tampak betapa tubuh Ouw Kwe Lok tergetar, tanda bahwa tenaganya mulai kalah kuat.
Thian Lee, Lee Cin dan Cin Lan yang menonton pertandingan itu bersikap tenang saja, penuh kepercayaan kepada Tin Han. Bagaimanapun juga, tiga orang yang telah memiliki ilmu silat tingkat tinggi ini dapat melihat bahwa Tin Han tidak dapat dibilang terdesak, bahkan ilmu pedang pemuda ini mantap sekali dan beberapa kali Ouw Kwan Lok tampak kebingungan.
Ouw Kwan Lok sebenarnya merasa gelisah sekali. Baginya Tin Han terlampau tangguh dan dia sudah hampir putus asa untuk dapat menang. Bahkan untuk melarikan diri dia sudah tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Kalau dia lari, tentu tiga orang yang lain itu tidak akan meninggalkannya begitu saja, tentu akan turun tangan pula.
Apalagi dia melihat gurunya telah roboh di tangan Thian Lee, nyalinya sebagian besar telah terbang meninggalkan semangatnya. Diam-diam perhatiannya ditujukan kepada pisau-pisau terbangnya. Masih ada tujuh batang pisau terbang dipinggangnya dan mungkin pisau terbang ini yang akan dapat menolongnya membebaskan diri.
Dia membuat perhitungan dengan masak-masak. Tiba-tiba mulutnya mangeluarkan bentakan nyaring sekali dan pedang di tangan kanannya menyambar dahsyat ke arah Tin Han, disusul ujung lengan baju kirinya menyambar dengan cepat mengirim pukulan beracun. Menghadapi serangan ganda ini, Tin Han dengan hati-hati lalu melompat ke belakang.
Pada saat itu, tubuh Kwan Lok bergulingan dan secepat kilat tangan kanannya melepas pedang yang digigitnya dan tangan kanan itu mencabuti tujuh batang pisau itu. Sambil bergulingan cepat sekali, empat batang pisau dilontarkan menyambar ke arah tubuh Tin Han dan tiga batang yang lain menyambar ke arah Thian Lee, Lee Cin dan Cin Lan. Maksudnya untuk membuat empat orang itu mengelak dan menjauh sehingga dia akan dapat melarikan diri dari tempat berbahaya itu.
Akan tetapi Tin Han dapat mengetahui muslihatnya ini. Pemuda ini mengelak dari dua sambaran pisau pertama kedua dan ketiga. Akan tetapi pisau keempat dia sambar dengan tangan kirinya dan Iangsung saja dia lemparkan kembali kepada penyerangnya!
Ouw Kwan Lok yang sedang bergulingan dan siap melarikan diri itu sama sekali tidak mengira bahwa dia akan makan pisaunya sendiri. Pisau itu dengan tepat mengenai lambungnya, masuk sampai ke gagangnya!
"Aduhhhh....!” Ouw Kwan Lok menjerit dan melompat kearah Tin Han, menggerakkan pedangnya membacok ke arah kepala Tin Han.
Tin Han menangkis dengan pedangnya dan melihat kesempatan baik, tangan kirinya mengirim hantaman dengan Hek-tok-ciang dan mengenai dada Ouw Kwan Lok.
"Desss...!!" Tubuh Ouw K wan Lok melayang seperti layang-layang putus talinya dan diapun roboh terjengkang. Pisaunya masih menancap di lambung dan baju di bagian dadanya hangus dan nampak tanda lima jari tangan di situ. Dia hanya mengeluh panjang lalu tak bergerak lagi, tewas!
"Han-ko, engkau berhasil membunuhnya!" teriak Lee Cin girang sambil mendekati Tin Han.
Tin Han memandang ke arah mayat Ouw Kwan Lok dan menghela napas panjang. "Sayang sekali dia begitu jahat. Ilmu silatnya hebat sekali."
"Mari kita cari putera kita!" Cin Lan yang tidak pernah dapat melupakan puteranya itu berkata kepada Song Lee.
Mereka berempat lalu menghampiri pondok indah itu dan masuk ke pintu yang tadinya terkunci dari dalam, akan tetapi mereka berempat mendobraknya, sehingga terbuka. Di sebelah dalam rumah, mereka melihat belasan orang wanita sudah siap dengan pedang di tangan untuk melawan mereka!
Dan di belakang belasan orang wanita pelayan ini berdiri seorang wanita setengah tua, berusia kurang lebih limapuluh lima tahun, berpakaian indah berwajah cantik, lengan kiri memondong Hong San dan tangan lanan memegang sebatang pedang, siap pula melakukan perlawanan!
"Hong San...!" Cin Lan berteriak memanggil puteranya yang dipondong wanita itu.
Hong San segera mengenal ibunya, "Ibu....!" Akan tetapi dia tidak menangis dan agaknya dia senang berada dalam pondongan Nyonya Siang Koan Bhok yang tampak menyayangnya.
"Bibi, kembalikan anakku kepadaku!" Cin Lan berseru dengan suara lembut mendesak.
"Lo-cianpwe, anak itu adalah putera kami yang diculik oleh Ouw Kwan Lok, harap lo-cianpwe suka mengembalikan kepada kami!" kata pula Thian Lee, tidak berani menggunakan kekerasan khawatir kalau anaknya diganggu.
"Hemm, anak ini telah menjadi pengganti anakku. Tidak boleh orang mengambilnya begitu saja!" kata Nyonya Siang Koan Bhok berkeras karena ia sudah menyayang anak laki-laki yang lucu itu.
Pada saat itu, terdengar suara lembut, "Hui Cu... aku datang menyambutmu...!”
Nyonya Siang Koan Bhok terkejut dan menoleh. Dilihatnya seorang kakek berpakaian putih bersih penuh tambalan putih pula sudah berdiri tak jauh dari situ, dengan tongkatnya di tangan. Rambut dan kumis jenggot kakek ini sudah putih, akan tetapi wajahnya masih tampak segar kemerahan seperti wajah seorang muda.
"Kau... kau... mau apa engkau ke sini?"
"Hui Cu, engkau kini telah bebas. Siang Koan Bhok telah tewas, demikian pula anak buah Pulau Naga sudah melarikan diri semua. Engkau telah bebas dan marilah menghabiskan sisa hidup bersamaku, melalui jalan yang bersih tenang dan penuh damai sampai saatnya kita kembali kepada asal kita. Hui Cu, akan sia-sialah selama ini aku menantimu dengan sabar?"
"Tong Wan Yu.... masih ada harapankah hidup dengan tenang dan damai setelah berpuluh tahun ini?"
"Kenapa tidak, Hui Cu? Aku sudah pernah menyakiti hatimu dan berilah aku kesempatan untuk memperbaiki itu semua, mari kita sambut masa senja kita dengan harapan baru untuk hidup penuh ketenteraman dan kedamaian, jauh dari keributan duniawi yang serba palsu."
"Akan tetapi anak ini, aku suka padanya," kata Hui Cu meragu sambil mencium pipi Hong San.
"Ia adalah cucumu, cucu murid. Ibunya adalah muridku yang dulu pernah menerima buah sian-to darimu. Berikanlah anak itu kepada ibunya, kepada Tang Cin Lan dan mari kita pergi dari tempat ini."
Setelah meragu sejenak, Nyonya Siang Koan Bhok atau yang bernama Tha Hui Cu itu lalu menyerahkan Hon San kepada Cin Lan yang segera menggendongnya dengan hati bahagia dan ia menciumi anaknya dengan berlinang air mata.
Nyonya Siang Koan Bhok lalu memesan kepada belasan orang pelayannya. "Kalian boleh tinggal di sini atau meninggalkan tempat ini. Barang-barang berharga boleh kalian bagi-bagi, aku tidak membutuhkannya lagi. Mari Wan Yu, kita pergi."
Kakek dan nenek itu lalu pergi bergandeng tangan dan tidak sekalipun nyonya itu menengok ke belakang, agaknya ia sudah rela meninggalkan semua itu untuk hidup bersama orang yang pernah dicintanya, yaitu Kakek Pek I Lo-kai atau yang di waktu mudanya bernama Tong Wan Yu.
"Siapa saja yang tinggal di sini!" tanya Lee Cin kepada belasan orang pelayan wanita yang kini tidak lagi mengambil sikap bermusuhan.
Seorang di antara mereka yang menjadi pemimpinnya lalu maju dan berkata, "Kami tiga belas orang adalah pelayan-pelayan pribadi akan tetapi Hu-jin telah memberi perintah kepada kami untuk tinggal di sini atau meninggalkan pulau. Kami memilih meninggalkan pulau karena setelah Hu-jin tidak lagi tinggal di sini, kamipun tidak suka tinggal di pulau ini."
"Baiklah, kalau begitu kalian boleh membawa barang-barang yang berharga dan tinggalkan pulau ini," kata Lee Cin.
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang di depan pondok itu. Empat orang pendekar itu cepat keluar dan Cin Lan memondong puteranya. Ternyata yang datang Hwa Hwa Tosu dan Cin Cin To-jin, pemimpin Pek-lian-kauw dan Patkwa-pai.
Tin Han yang sudah mengenal mereka segera menyambut, kini tanpa kedok menutupi mukanya. " Jiwi Totiang, kita sudah berhasil. Jiwi sudah berhasil membasmi anak buah Pulau Naga dan akupun sudah berhasil menewaskan para pemimpinnya. Sekarang saya minta agar jiwi totiang suka membebaskan belasan orang wanita pelayan yang berada di sini dan hendak meninggalkan tempat ini. Setelah itu terserah kepada jiwi apakah hendak menduduki Pulau Naga atau tidak."
Dua orang pemimpin perkumpulan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu sudah merasa puas dengan hasil kemenangan mereka. "Untuk sementara kami akan mengambil alih pulau ini sebagai markas besar kami," kata Hwa Hwa To-su kepada Cia Tin Han.
"Baiklah, kalau begitu sekarang kami juga akan meninggalkan tempat ini karena kami sudah tidak mempunyai keperluan apa-apa lagi." Tin Han dan tiga orang temannya lalu pergi, bersama-sama belasan orang pelayan wanita itu, meninggalkan pulau menggunakan banyak perahu bekas milik anak buah Pulau Naga.
Kalau Tang Cin Lan dan Song Thian Lee bergembira karena dapat menemukan lagi putera mereka dalam keadaan sehat dan selamat, tidak demikian dengan Lee Cin dan Tin Han. Kedua orang muda ini masih tenggelam ke dalam lamunan masing-masing sehubungan dengan tidak setujunya kedua pihak orang tua mereka atas perjodohan mereka.
Song Thian Lee maklum akan hal itu karena dia juga menjadi saksi ketika keluarga Cia menolak Lee Cin menjadi jodoh Cia Tin Han. Sebagai seorang sahabat baik yang sudah mengetahui akan rahasia itu, di depan isterinya dia bertanya kepada kedua orang muda itu.
"Aku mengerti apa yang kalian berdua resahkan. Tentu karena penolakan Keluarga Cia untuk menerima Cin-moi sebagai jodohmu, bukan, Han-te?”
Cia Tin Han menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Bukan hanya itu, Lee-ko. Bahkan lebih lagi dari itu. Bukan saja keluargaku yang tidak menyetujui perjodohan kami, akan tetapi juga ibu kandung Cin-moi sama sekali tidak setuju kalau puterinya berjodoh dengan cucu mendiang Nenek Cia. Agaknya dahulu di antara mereka berdua terdapat semacam permusuhan yang sampai kini masih mengganjal hati kedua pihak."
"Orang-orang tua kalau mempunyai permusuhan memang amat kukuh hatinya. Akan tetapi kami berdua hendak mencoba untuk membantu kalian, Cin-moi dan Hante," kata pula Song Thian Lee.
"Apakah yang dapat kau lakukan, Lee-ko? Kami sudah berputus asa, bahkan kami sudah bertekad untuk berjodoh tanpa persetujuan mereka lagi," kata Tin Han.
"Ya, apa yang dapat kau lakukan, Lee-ko? jangan-jangan engkau malah akan terlibat urusan yang tidak enak dengan ibuku dan dengan Keluarga Cia. Biarlah kami hadapi dan atasi sendiri urusan ini dan jangan menyusahkanmu Lee-ko," kata Lee Cin.
"Sama sekali tidak menyusahkan. Aku sendiri merasa penasaran dan kecewa melihat sikap keluarga kalian. Kurasa mereka perlu disadarkan dan aku akan mencoba untuk menyadarkan mereka. Orang biasanya akan menjadi sadar kalau melihat kesalahan diri sendiri yang pernah dilakukan. Kami berdua akan berkunjung kepada orang tuamu Han-te, kemudian kepada orang tua Lee Cin. Mudah-mudahan saja usaha akan dapat menggerakkan hati mereka."
"Sebelumnya terima kasih banyak atas kesediaanmu, Lee-ko. Akan tetapi ketahuilah, ibuku berwatak keras. Satu-satunya orang yang dapat menundukkan hatinya adalah ayahku. Aku khawatir ibu bahkan akan memusuhimu."
"Jangan khawatir, Cin-moi. Kami akan bersikap hati-hati." Perahu mereka telah menyeberang dan mereka tiba di pantai daratan."Sekarang kalian hendak pergi ke mana, Han Te dan Cin-moi?"
"Kami akan mencari kedua orang suhuku, untuk minta doa restu mereka. Kalau kami tidak mendapatkan restu dari orang tua kami, kiranya sudah sepantasnya kami mendapatkan restu dari guru-guru kami," kata pula Tin Han.
"Baiklah, kami akan pulang, akan tetapi akan singgah dulu di tempat kediaman orang tua kalian masing-masing untuk mencoba usahaku membujuk mereka,. Kami tahu di mana harus mencari paman Souw Tek Bun. Dia masih tinggal di Hong-san, bukan, Lee Cin?"
"Benar, Lee-ko."
"Kami akan ke sana. Kemudian kami akan mencari Keluarga Cia. Dimana kiranya aku dapat bertemu dengan mereka, Han-te?"
"Mereka tidak akan tinggal jauh dari tempat kami semula, yaitu di sekitar bukit Lo-sian. Setidaknya ayah ibuku tentu tinggal di sana, di sebuah di antara dusun-dusun di pegunungan Lo-sian."
"Baik, kami akan mencari ke sana. Nah, sekarang juga kami akan berangkat, Han-te dan Cin-moi. Selamat berpisah dan sampai kita berjumpa kembali kelak dalam pesta pernikahan kalian!"
Lee Cin berangkulan dengan Cin Lan, kemudian mereka berpisah mengambil jalan masing-masing.
Pria itu bertubuh tinggi tegap dan mukanya persegi, alisnya tebal dan matanya mencorong, gerak geriknya membayangkan kekuatan besar dan dia gagah sekali. Usianya sekitar lima puluh tahun namun dia masih nampak kokoh. Memang Souw Tek Bun yang dahulu dijuluki orang Sin-kiam Hok-mo merupakan seorang laki-laki yang gagah perkasa.
Dia sedang duduk di atas bangku di serambi rumahnya, ditemani oleh seorang wanita yang cantik. Wanita ini berusia empat puluh sembilan tahun, bertubuh tinggi agak kurus akan tetapi mukanya cantik jelita. Dahulu, di waktu ia masih menjadi seorang datuk sesat, karena memahami ilmu beracun, mukanya pucat seperti mayat.
Akan tetapi kini berkat bimbingan suaminya dan melepaskan diri dari hawa beracun, mukanya yang halus itu kemerahan. Pakaiannya masih seperti dulu, serba merah, warna kesukaannya. Ia adalah Bu Siang, isteri pendekar itu yang tadinya berjuluk An tok Mo-li.
Setelah kini hidup berdua dengan Souw Tek Bun sebagai suaminya perubahan besar terjadi pada diri Bu Siang. Ia tidak lagi liar seperti dulu walaupun ia masih memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan masih pandai menjadi pawang ular.
Pada siang hari itu, hawanya panas sekali dan mereka berdua duduk makan angin di serambi depan. Mereka merasa demikian nyaman, tenteram dan penuh damai. Keadaan seperti itulah, duduk berdua dengan orang yang dicinta, mengobrol tentang apa saja, yang dirasakan demikian indah oleh Bu Siang.
Tidak seperti dulu ketika ia masih hidup terpisah dari Souw Tek Bun, adanya hanya tegang dan waspada, setiap saat seolah dirinya terancam bahaya. Mengalahkan atau dikalahkan, hanya itulah semboyan hidupnya ketika itu. Tak perah mengenal kedamaian.
"Aku rindu kepada Lee Cin," tiba-tiba Souw Tek Bun berkata sambil menatap wajah isterinya untuk menjenguk hatinya. Masihkah isterinya marah kepada anak mereka itu?
Sebetulnya Bu Siang amat mencinta Lee Cin. Penolakannya mati-matian ketika mengetahui bahwa Lee Cin mempunyai hubungan dengan putera Keluarga Cia, juga berdasarkan cintanya kepada puterinya. Puterinya tidak akan diperbolehkan menikah dengan keturunan orang orang yang pernah bekerja sama dengan pemberontak dan bajak-bajak laut Jepang!
Apa lagi ia pernah bentrok dengan Nenek Cia yang terhitung musuh besarnya. Dalam pandangannya, keluarga Cia tiada bedanya dengan perkumpulan-perkumpulan seperti Pek-lian-kauw dan segala perkumpulan jahat lain yang berkedok perjuangan! Bagaimana mungkin puterinya tercinta menikah dengan keturunan dari keluarga itu?
Ang-tok Mo-li Bu Siang mengerutkan alisnya mendengar ucapan suaminya, akan tetapi ia menjawab sejujurnya. "Aku juga rindu kepadanya."
"Ia pergi mencari Hek-tiauw Eng-hiong yang telah melukaimu. Sebetulnya berat hatiku melepas ia pergi seorang diri. Hek-tiauw Eng-hiong demikian lihainya, aku khawatir ia akan mendapat celaka."
"Lee Cin tentu akan mampu melawannya. Dan peristiwa itu bahkan ada baiknya, membuka matanya bahwa laki-laki yang dicintanya itu sebetulnya seorang yang curang dan jahat. Lebih baik membunuhnya dari pada bersahabat dengannya."
"Akan tetapi yakinkah engkau bahwa yang menyerang dan melukaimu, Siang-moi?"
"Hemm, masih diragukan apanya lagi? Bukankah dahulu dia juga menyerang dan melukaimu dengan pukulan yang sama dan dia telah mengakui perbuatan itu? Aku terpukul oleh Hek-tok-ciang, ilmu pukulan yang hanya dikuasai oleh Keluarga Cia yang jahat!"
"Membiarkan Lee Cin pergi sendiri mencari musuh itu, membuat hatiku dak tenteram. Ah, kenapa aku dulu tidak menemaninya mencari? Setidaknya kalau terjadi apa-apa aku dapat mengetahuinya."
"Sudahlah, Bun-ko. Tidak perlu dirisaukan keadaan LeeCin. Ia bukan anak kecil lagi dan tentang ilmu kepandaiannya, ia tidak kalah lihai olehku sendiri. Aku percaya kepadanya."
Tiba-tiba sepasang suami isteri itu berhenti bicara dan perhatian mereka ditujukan keluar pekarangan. Sepasang orang muda, yang wanita memondong anak kecil, memasuki pekarangan itu sambil tersenyum. Segera mereka mengenalnya, terutama Souw Tek Bun yan segera bangkit berdiri menyambut kedatangan mereka.
Ang-tok Mo-li Bu Siang juga bangkit berdiri ketika dua orang muda itu memberi hormat kepadanya dan kepada suaminya. Mereka adalah Song Thian Lee dan Tang Cin Lan yang menggendong Song Hong San.
"Aih, angin apakah yang membawa kalian datang berkunjung?" tanya Souw Tek Bun dengan ramah. "Mari silak duduk, thai-ciangkun."
"Ah, Paman Souw, harap jangan sebut saya dengan sebutan itu. Sudah lama sekali saya tidak lagi menjadi panglima, bahkan kini menjadi buruan pemerintah."
"Oh, ya. Maafkan kami. Eh, silakan duduk dan agaknya kalian berdua datang membawa berita yang penting."
Ang-tok Mo-li Bu Siang juga terseyum kepada Cin Lan dan berkata, "Siakan duduk."
Setelah keduanya duduk, Thian Lee segera mulai bicara. "Sebetulnya kedatangan kami ini untuk memberi kabar gembira kepada paman dan bibi, yaitu bahwa Ouw Kwan Lok, beng-cu baru itu telah mengakui bahwa dialah yang dulu menyerang dan melukai bibi Ang-tok Mo-li dengan pukulan Hek-tok-ciang."
Ang-tok Mo-li mengerutkan alisnya dan memandang tajam. "Hemm, benarkah itu? Jadi yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong itu adalah Ouw Kwan Lok?"
"Benar, Ouw Kwan Lok yang memalsukan Hek-tiauw Eng-hiong. Bukan hanya memukul bibi, akan tetapi dia melakukan banyak pembunuhan atas diri para hwe-sio Siauw-lim-pai dan to-su Kun-lun-pai dengan menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong sehingga Pendekar Rajawali Hitam itu yang tertuduh. Maksudnya untuk mengadu domba."
"Jahanam Ouw Kwan Lok!" Ang-tok Mo-li memaki.
"Akan tetapi dia kini telah tewas, bibi. Yang menewaskannya bukan lain adalah saudara Cia Tin Han atau Hek-tiauw Eng-hiong sendiri." Setelah berkata demikian, Thian Lee memandang tajam kepada wanita cantik itu.
Akan tetapi Ang-tok Mo-li masih mengerutkan alisnya. "Dan ada berita apa lagi. Song-sicu?"
"Selain Ouw Kwan Lok telah tewas, juga para pengikutnya, para tokoh sesat dunia kang-ouw yang dibawanya menghamba kepada pemerintah penjajah telah tewas. Juga Siang Koan Bhok telah tewas dan Pulau Naga telah dibinasakan."
"Apakah kalian bertemu dengan Lee Cin puteriku?" tiba-tiba Ang-to Mo-li bertanya.
"Bibi, kami bertemu dengannya. Ia dalam keadaan sehat dan selamat dan iapun membantu pembasmian para antek Mancu," kata Tang Cin Lan, kini tidak ragu-ragu lagi menyebut antek Mancu biarpun ayah tirinya juga seorang Mancu! Akan tetapi ia sudah dapat membedakan mana orang Mancu yang berjiwa penjajah dan penindas dan mana yang bukan.
"Bagus! Kenapa ia tidak pulang bersama kalian?' tanya pula Ang-tok Mo-li.
"Ia kelak akan menghadap bibi bersama Cia Tin Han, untuk mohon doa restu perjodohan mereka," kata Thian Lee sambil menahan napas.
Wajah itu berubah merah, sepasang matanya menyinarkan kemarahan. "Tidak mungkin! Tidak mungkin ia menikah dengan cucu Nyonya Cia, musuh besarku!"
"Akan tetapi, Nyonya Cia telah meninggal dunia, dan adik Lee Cin berjodoh dengan cucunya, bukan dengan Nyonya Cia. Pula, apa sih buruknya Nyonya Cia maka bibi membencinya sedemikian rupa?"
"Kau masih bertanya kejahatannya? Sayang dahulu aku hanya melukainya saja dan tidak membunuhnya. Ia pernah menghinaku, mengatakan aku datuk sesat sedangkan ia sendiri apa? Ia berkedok sebagai patriot pembela bangsa, akan tetapi ia tidak segan-segan untuk bersekutu dengan bajak laut Jepang dan dengan pasukan pemerintah. Cih, tidak tahu malu! Tidak, Lee Cin tidak boleh berjodoh dengan cucunya!"
"Akan tetapi, bibi. Harap ingat siapa adanya Cia Tin Han. Dia yang telah membunuh Ouw Kwan Lok yang pernah melukaimu. Dia membasmi para antek Mancu. Dia seorang patriot sejati yang tidak mau bergabung dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw. Dia seorang gagah sejati. Pula, kalau kita mengingat-ingat, siapakah di antara kita yang tidak pernah melakukan kesalahan dalam kehidupan kita?
"Saya sendiri pernah menjadi Panglima Mancu. Paman Souw Tek Bun pernah menjadi beng-cu yang direstui pemerintah Mancu. Dan maaf, bukankah bibi terkenal sebagai seorang datuk sesat di waktu itu? Kita semua pernah bersalah, akan tetapi apakah karena itu kita lalu selama hidup disumpahi dan tetap menjadi orang yang bersalah?
"Harap bibi ingat demi kebahagiaan puteri bibi sendiri. Dari pada adik Lee Cin berjodoh dengan Cia Tin Han di luar persetujuan paman dan bibi, alangkah baiknya kalau mereka itu berjodoh dengan restu paman dan bibi berdua." Song Thian Lee bicara penuh semangat dan suaranya terdengar lantang.
Ang-tok Mo-li sendiri sampai memandang heran melihat sikap bekas panglima itu. "Song Thian Lee, mengapa engkau mati-matian membela Lee Cin agar berjodoh dengan Cia Tin Han?"
"Bibi, saya menganggap Lee Cin seperti adik saya sendiri. Dan saya bersedia untuk membelanya mati-matian."
Souw Tek Bun lalu menyentuh tangan kiri isterinya. "Siang-moi, kurasa banyak benarnya apa yang dikatakan oleh Thian Lee tadi. Kita mengetahui betapa keras watak Lee Cin. Kalau kita berkeras menolak ia berjodoh dengan Cia Tin Han, tentu ia akan memaksa dan kawin lari dengan pemuda itu. Kalau sampai terjadi hal seperti itu, bukankah kita sendiri yang akan merasa malu? Harap engkau pikirkan baik-baik, apa lagi setelah kita mendapat kepastian bahwa Cia Tin Han adalah seorang pendekar patriot yang gagah perkasa dan bijaksana."
Ang-tok Mo-li tampak ragu-ragu, lalu berulang kali ia menghela napas panjang. "Hemm, kalau ayah ibunya mau datang meminang dan mohon ampun atas kesalahan nenek mereka dahulu, biar kupertimbangkan!" Akhirnya ia berkata dan Thian Lee merasa gembira bukan main.
"Saya merasa yakin bahwa mereka akan mau melakukan hal itu, bibi. Saya sendiri yang akan membujuk mereka!"
Souw Tek Bun dan isterinya menjamu tamu yang masih muda namun mereka hormati itu dan setelah mengaso di Hong-san semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi Thian Lee sudah meninggalkan Hong-san bersama isteri dan anaknya.
Thian Lee dan Cin Lan mencari Cia Kun dan isterinya di dusun-dusun sekitar pegunungan Lo-sian dan akhirnya mereka mendapatkan suami isteri itu yang hidup sebagai petani di sebuah dusun. Cia Kun dan isterinya menyamar sebagai petani biasa.
Dan mereka terkejut sekali ketika pada suatu sore Song Thian Lee dan Tang Cin Lan bersama anak mereka datang berkunjung. Mereka menyambut dengan hormat, akan tetapi Song Thian Lee minta kepada mereka agar jangan sungkan menyambut mereka.
"Paman Cia, kami berdua datang berkunjung untuk menyampaikan berita yang amat melegakan."
"Berita apakah itu, Song-sicu?" tanya Cia Kun sambil menatap wajah tamunya yang gagah perkasa itu.
"Pertama kami hendak mengabarkan bahwa Cia Tin Han telah berhasil menemukan Hek-tiauw Eng-hiong yang palsu dan membunuhnya. Penjahat yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong itu bukan lain adalah Ouw Kwan Lok, bengcu baru yang bekerja sama dengan Siang Koan Bhok mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk menjadi antek penjajah Mancu.
"Kebetulan sekali kami berdua dan nona Souw Lee Cin juga pergi ke Pulau Naga sehingga kami dapat bersama-sama membasmi para pimpinan Pulau Naga. Saudara Cia Tin Han berhasil membersihkan namanya dan membunuh orang yang telah mencemarkan namanya selama ini."
Cia Kun dan isterinya mengerutkan alisnya mendengar bahwa Souw Lee Cin juga bekerja sama dengan putera mereka. "Kami merasa bersyukur sekali bahwa dia telah dapat membersihkan namanya," kata Cia Kun. "Akan tetapi kenapa dia tidak pulang bersama kalian?"
"Dia melakukan perjalanan bersama nona Souw Lee Cin dan mereka sedang menuju ke sini untuk minta doa restu paman berdua agar pernikahan antara mereka disetujui. Paman dan bibi, saudara Cia Tin Han saling mencinta dengan nona Souw Lee Cin dan mereka merupakan pasangan yang setimpal sekali."
"Tidak bisa!" kata Nyonya Cia Kun. “Bagaimana kita dapat mengambil menantu puteri Ang-tok Mo-li yang demikian jahat? Ia musuh besar kami dan puterinya tentu saja juga merupakan musuh besar kami. Bagaimana dapat dijodohkan dengan putera kami? Kami selamanya tidak akan setuju!"
"Isteri saya berkata benar, Song-sicu. Engkau sendiri tentu sudah mendengar siapa adanya Ang-tok Mo-li. Ia seorang datuk sesat yang jahat sekali. Bagaimana akan kata orang kalau kami, keluarga patriot Cia bermantukan puteri Ang-tok Mo-li?"
"Paman dan bibi harap ingat bahwa adik Souw Lee Cin adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan sudah banyak tokoh sesat roboh di tangannya. Ia benar-benar gagah perkasa dan bijaksana!" kata Cin Lan membela.
"Paman dan bibi, kami tahu siapa adanya Ang-tok Mo-li. Akan tetapi itu dahulu, ketika ia masih menjadi datuk sesat. Sekarang ia adalah isteri dari bekas beng-cu Souw Tek Bun yang berjuluk Sin-kiam Hok-mo dan siapa yang menyangsikan kependekaran Souw Tek Bun? Paman dan bibi, setiap orang pernah melakukan kesalahan seperti halnya Ang-tok Mo-li. Kini ia telah bertaubat dan menjadi orang baik-baik. Seperti halnya keluarga Cia sendiri, bukankah keluarga Cia pernah melakukan kesalahan yang besar sekali sehingga menodai nama sendiri sebagai patriot?"
"Hemm, kami tidak pernah melakukan kejahatan!"
"Benar, akan tetapi Keluarga Cia pernah bersekutu dengan orang-orang sesat di dunia kang-ouw, bahkan bersekutu dengan bajak laut Jepang dan dengan pasukan Mancu yang memberontak. Bukankah itu juga merupakan suatu perbuatan yang salah? Seorang patriot dan pendekar sejati berjuang demi rakyat tentu tidak akan sudi bersekutu dengan kaum sesat dan bajak laut Jepang."
"Hemm, akan tetapi semua itu sudah lewat dan kami sekarang tidak sudi lagi bersekutu dengan mereka!" kata Cia Kun.
"Nah, sama saja halnya dengan Ang-tok Mo-li," jawab Thian Lee. "Lo-cianpwe itu dulu juga melakukan kesalahan akan tetapi sekarang sudah menyadarinya dan menjadi isteri pendekar besar Souw Tek Bun, tidak lagi menjadi orang sesat. Apakah paman dan bibi tidak dapat sama-sama melupakan kesalahan yang lalu dan kini berbaik, demi ke bahagiaan putera paman dan bibi sendiri? Ingat, paman dan bibi. Yang penting, putera paman dan bibi adalah seorang pendekar patriot dan demikian pula dengan Nona Souw Lee Cin. Mereka saling mencinta dan mereka itu cocok benar untuk menjadi suami isteri."
"Hemmmm.... hemm.....” Cia Kun menggumam dan melirik kepada isterinya "Lalu apa yang dapat kami lakukan?"
"Sebagai orang tua dari Saudra Tin Han, sebaiknya kalau ji-wi pergi melakukan pinangan atas diri Nona Souw Lee Cin dari ayah bundanya di Hong-san."
"Hemm, bagaimana kalau Ang-tok Mo-li menolak mentah-mentah dan marah lalu menghina kami?"
"Tidak mungkin. Kami telah melakukan penjajakan, apa lagi di sana terdapat Paman Souw Tek Bun yang bijaksana dan dia adalah ayah kandung Nona Souw Lee Cin..."
"Hemm, baik, akan kami pikir-pikir dulu sambil menanti munculnya Ti Han."
"Terima kasih, paman. Kami lega sekali karena merasa bahwa kami telah melakukan kewajiban membela Tin Han dan Lee Cin yang kami sayang."
Suami isteri itupun bermalam satu malam di rumah Cia Kun dan pada keesokan harinya mereka berpamit untuk kembali ke tempat tinggal baru mereka di sebuah dusun yang terpencil karena mereka berdua maklum bahwa mereka tentu akan menjadi buruan pemerintah yang tidak akan segan menangkap mereka kalau mengetahui di mana mereka berada.
Sambil bergandeng tangan Tin Han mendaki bukit gersang itu. Melihat seekor burung rajawali hitam beterbangan mengelilingi puncak bukit itu tahulah dia bahwa Thay Kek Cin-jin, gurunya tentu berada di tempat itu.
Dia sudah dua kali meminjam Hek-tiauw-ko untuk membantunya mencari Ouw Kwan Lok dan sekarang dia hendak menghadap gurunya untuk minta tolong agar gurunya mau merestui perjodohannya dengan Lee Cin. Kalau kedua orang tuanya tidak mau meresrui, maka dia akan minta doa restu gurunya itu.
Setelah tiba di puncak, mereka berdua melihat dua orang kakek sedang duduk berhadapan di atas batu besar yang rata seperti meja dan dua orang kakek itu sedang asyik bermain catur! Yang seorang adalah Bu Beng Lo-jin, guru Tin Han yang pertama, sedangkan yang kedua adalah Thay Kek Cin-jin.
Baru saja dua orang kakek itu menyelesaikan permaianan catur mereka dan Bu Beng Lo-jin mengelus jenggotnya tertawa. "Thay Kek Cin-jin, kembali aku harus mengakui keunggulanmu. Sekali ini engkau menang dan kiranya benar apa yang kau ramalkan bahwa masih jauh sekali waktunya Kerajaan Ceng untuk jatuh dan kekuatan rakyat untuk bangkit dan mengusir penjajah."
"Hemm, hal itu mudah sekali diduga, Bu Beng Lo-jin. Penjajah Mancu terlalu pandai mengambil hati rakyat sehingga rakyat tidak merasa lagi bahwa sesungguhnya mereka dijajah bangsa lain. Kaisar telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang baik, membangun jalan-jalan dan terusan-terusan, mendatangkan kemakmuran kepada rakyat sehingga dengan mudah rakyat terpancing hatinya.
"Banyak tokoh kang-ouw juga tertarik untuk membantu Kerajaan Mancu yang dianggap baik, bahkan lebih baik dari Kerajaan Beng kita. Karena itu, pemberontakan-pemberontakan yang dikobarkan secara kecil-kecilan pasti akan gagal. Nanti kalau pada saatnya tiba dan seluruh rakyat di muka bumi bangkit dan bergerak, barulah ada harapan penjajah Mancu akan terusir dari tanah air. Akan tetapi semua itu hanya dapat terjadi apabila Thian menghendaki."
"Sian-cai, alangkah malangnya nasib rakyat kita kalau selama puluhan tahun dijajah bangsa lain."
"Pengalaman pahit sewaktu-waktu juga untuk bekal kehidupan di kemudian hari, Bu Beng Lo-jin. Ingat bahwa rencana Thian berbeda dengan rencana manusia, akan tetapi semua rencana itu tidak dapat diubah dan selalu menuju kebaikan."
Pada saat itu Tin Han dan Lee Cin tiba di situ dan mereka berdua segera berlutut menghadap ke arah kedua orang kakek yang duduk di batu besar itu.
"Ji-wi suhu, teecu Cia Tin Han memberi hormat," kata Tin Han dengan suara lembut.
"Teecu Souw Lee Cin memberi hormat," kata pula Lee Cin menirukan kata-kata kekasihnya.
Dua orang kakek itu menoleh. "Siancai, engkau datang lagi ke sini, Tin Han. Ada apa lagikah? Apakah engkau belum juga dapat menyelesaikan tugasmu?" tanya Thay Kek Cin-jin dengan suaranya yang lembut.
"Berkat restu suhu semua kewajiban teecu telah teecu laksanakan dengan baik. Teecu menghadap bersama adik Souw Lee Cin dengan suatu maksud untuk mohon petunjuk dan pertolongan jiwi suhu."
"Ha-ha, petunjuk apa lagi yang kau butuhkan pertolongan macam apa yang dapat kami berikan kepadamu, Tin Han?" kembali Thay Kek Cin-jin bertanya.
"Suhu, teecu dan adik Souw Lee Cin ini, telah mengambil keputusan untuk hidup bersama sebagai suami isteri, untuk berjodoh. Akan tetapi teecu berdua mengalami rintangan yang hebat dan berat dan kiranya petunjuk dan doa restu jiwi suhu saja yang akan dapat membuat teecu berdua melaksanakan apa yang menjadi cita-cita teecu."
"Hemm, halangan? Halangan apakah?”
“Halangan besar sekali, suhu. Orang tua teecu tidak setuju kalau teecu berjodoh dengan adik Souw Lee Cin, dan sebaliknya, ibu kandung adik Souw Lee Cin juga tidak setuju kalau ia berjodoh dengan teecu. Kiranya dahulu terdapat permusuhan antara orang tua teecu dan ibu kandung adik Souw Lee Cin. Karena tidak mendapat doa restu orang tua, teecu berdua mohon doa restu ji-wi suhu untuk menjadi suami isteri."
"Ha-ha-ha, mana mungkin itu? Ingat, Tin Han, aku menjadi suhumu hanya dalam waktu tiga bulan saja. Sebaiknya engkau minta restu Bu Beng Lo-jin yang sudah bertahun-tahun menjadi gurumu."
"Suhu Bu Beng Lo-jin, teecu mohon doa restu."
"Anak bodoh, bagaimana seorang guru dapat memberi doa restu tentang perjodohan muridnya? Engkau harus mendapatkan doa restu orang tuamu dan orang tua nona ini. Orang tuamu adalah Keluarga Cia yang terkenal patriotik, dan siapa ibu kandung nona ini?”
"Ia adalah Ang-tok Mo-li yang kini telah hidup sebagai isteri pendekar besar Souw Tek Bun di Hong-san."
"Ah, kalau begitu ada kesulitan apa lagi? Kalau dulu ada permusuhan, dengan berjodohnya anak masing-masing, bukankah dapat menjadi rukun kembali? Pinto memberi doa restu, Tin Han, akan tetapi keputusannya tergantung dari orang tua kalian berdua. Sebaiknya kalau kalian berdua menghadap orang-orang tua itu. Kaum pendekar sekarang harus bersatu karena dikejar-kejar pasukan, dan persatuan yang paling baik adalah melalui kekeluargaan. Pergilah dan percayalah bahwa jodoh berada di tangan Thian. Kalau memang Thian menghendaki kalian berdua menjadi jodoh masing-masing rintangan apapun pasti akan dapat kalian lampaui dan atasi," kata Bu Beng Lo-jin.
"Hayo, Bu Beng Lo-jin, kita main satu partai catur lagi sebelum berpisah,” tiba-tiba Thay Kek Cin-jin berkata.
Mengertilah Tin Han bahwa dua orang kakek itu tidak mau diganggu lebih lama lagi. Maka dia dan Lee Cin lalu memberi hormat kepada kedua orang itu. "Selamat tinggal, ji-wi suhu. Harap ji-wi suhu menjaga diri baik-baik, tee-cu berdua hendak pergi."
"Pergilah, semoga Thian bersamamu,” kata Thay Kek Cinjin.
"Pergilah dan bawalah harapan besar di hatimu, jangan putus asa!" kata pula Bu Beng Lo-jin.
Setelah memberi hormat sekali lagi sepasang orang muda itu lalu meningalkan puncak bukit gersang di mana dua orang kakek sakti itu sedang bermain catur.
Cia Kun dan isterinya sedang bekerja mencangkul sawah ketika Tin Han dan Lee Cin muncul. Mereka tidak heran melihat munculnya anak itu karena sebelumnya mereka telah ditemui Song Thian Lee. Diam-diam ada perasaan bangga dalam hati mereka melihat putera ini. Sejak kecil Tin Han dianggap seorang pemuda yang lemah, tidak tahunya malah pemuda ini yang membuat nama besar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong.
Dan melihat Lee Cin, mau tidak mau mereka merasa berbangga juga. Sejak pertemuan pertama dahulu memang mereka amat kagum kepada gadis yang berilmu tinggi dan gagah perkasa itu. Sekarang, kenyataan bahwa gadis itu adalah puteri Ang-tok Mo-li tidak mengganggu benar perasaan mereka.
Memang benar Ang-tok Mo-li dahulu seorang datuk sesat, akan tetapi hanya terkenal karena keangkuhannya, keliarannya dan tidak mau memandang mata kepada siapapun juga. Namun belum pernah wanita sakti itu dikabarkan melakukan perbuatan jahat, walaupun kekejamannya kadang mengerikan terhadap musuh-musuhnya.
Ketika melihat Lee Cin berjalan di samping Tin Han, demikian cantik jelita dan gagah, mau tidak mau hati Nyonya Cia Kun penuh kebanggaan. Lee Cin benar-benar merupakan calon mantu yang tidak mengecewakan.
"Ayah...! Ibu....!” Tin Han berseru dan menghampiri ayah ibunya yang berada di tengah sawah itu dengan keraguan di hatinya. Bagaimana ayah ibunya akan menerima dirinya dan Lee Cin?
Ketika melihat wajah kedua orang tuanya itu cerah dan gembira, hati Tin Han merasa senang sekali. "Ayah, ibu. Aku dan adik Souw Lee Cin pulang untuk menemui ayah ibu!"
"Mari kita bicara di rumah!" kata Cia Kun dan bersama isterinya dia keluar dari sawah, mencuci kaki tangannya dan mereka berempat lalu pergi ke pondok bambu tempat tinggal kedua orang tua itu yang amat sederhana.
Setelah kedua orang tua itu duduk di atas kursi, Tin Han mengajak kekasihnya berlutut di depan mereka dan berkata, "Ayah dan ibu, kami berdua ingin mohon doa restu ayah dan ibu agar kami dapat berjodoh."
Ayahnya mengangguk-angguk dan memandang kepada Lee Cin, kemudian berkata, "Tin Han, engkau sudah cukup dewasa untuk memilih calon isterimu sendiri. Kami berdua hanya dapat merestui. Semoga kalian menjadi suami isteri yang hidup rukun dan berbahagia."
"Akan tetapi, ayah. Bukan hanya doa restu ayah ibu yang kuminta."
"Hemm, apa lagi, Tin Han? Aku dan ayahmu sudah merestui, menyetujui, apa lagi yang kaukehendaki?" tanya ibunya.
"Ibu, adik Souw Lee Cin adalah puteri orang terhormat, dan ayah ibunya masih ada. Oleh karena itu, sudah sewajarnya kalau kita meminangnya sebagaimana mestinya dengan sah. Karena itu, aku mohon kepada ayah dan ibu untuk mengajukan pinangan atas diri adik Souw Lee Cin kepada orang tuanya di Hong-san. Ayah dan ibu, permintaanku sekali ini mohon ayah dan ibu suka memenuhinya," Tin Han berlutut di depan mereka.
Cia Kun dan isterinya saling pandang. Sejak mereka kedatangan Song Thian Lee, mereka sudah membayangkan akan terjadinya hal ini. Memang merupakan tugas besar bagi mereka untuk menghadap Ang-tok Mo-li dan mengajukan pinangan, akan tetapi agaknya tidak ada jalan lain bagi mereka.
"Song Thian Lee sudah datang memberitahu kepada kami tentang keadaanmu berdua, Tin Han. Baiklah, kami berdua akan pergi bersama kalian ke Hong-san. Akan tetapi kalau sampai penerimaannya di sana tidak menyenangkan, kami tidak bertanggung jawab."
"Harap paman dan bibi tenangkan hati. Saya yang akan menanggung mengenai penerimaan ayah dan ibu," kata Lee Cin dengan penuh semangat. Ia juga sudah yakin bahwa tentu Song Thian Lee sudah menemui ibunya untuk menyadarkan jalan pikiran ibunya yang kukuh. Dan ia percaya benar akan kemampuan bekas panglima besar itu.
Mereka bermalam di dusun itu dua malam, membuat persiapan dan pada hari ke tiga berangkatlah mereka berempat melakukan perjalanan menuju ke Hong-san.
Pemandangan alam di puncak Hong-san pada pagi hari itu indah bukan main. Langit cerah sehingga sinar mata hari pagi menghangatkan dan menghidupkan segala sesuatu di permukaan bumi. Burung-burung beterbangan di udara menuju ke tempat pekerjaan masing-masing. Ada yang masih bermalas-malasan berkicau sambil berloncatan dari dahan ke dahan.
Ayam-ayam hutan sudah pada turun dan mencakar-cakar di bawah semak belukar mencari cacing dan binatang hutan juga sudah mulai berkeliaran untuk mencari pengisi perut. Seluruh permukaan gunung Hong-san tampak hidup dan bergerak, namun tidak mengganggu keheningan yang menyelimutinya.
Di lereng gunung agak ke bawah tampak ibu dan bapak tani bekerja di sawah ladang. Para prianya yang tidak berbaju tampak tubuhnya mengkilat karena berpeluh. Ulah tubuh-tubuh yang bekerja keras itu tampak demikian serasi dan indah. Dan ibu-ibu yang menanam padi seperti sedang bersembahyang memuji kebesaran dan kemurahan Tuhan.
Tidak ada gerakan yang lebih indah dari pada gerakan orang bekerja karena hidup adalah bekerja. Kekuasaan Tuhan sendiri tidak pernah sedetikpun berhenti bekerja sehingga segala sesuatu berjalan dengan lancar dan sempurnanya.
Di puncak Hong-san, di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal Souw Tek Bun dan isterinya, kedua orang inipun tidak membiarkan diri bermalas-malasan di pagi hari itu. Mereka sedang merawat tanaman sayur-sayuran di ladang itu. Souw Tek Bun memegang cangkul, mencangkuli tepi-tepi pematang ladang sedangkan isterinya, Ang-tok Mo-li Bu Siang, mencabuti rumput dan daun sayur yang mengering.
Mereka bekerja tanpa banyak cakap. Dalam keadaan seperti itu, apa artinya percakapan? Dengan diam orang bahkan dapat lebih merasakan keindahan, ketenteraman dan kedamaian suasana yang menyelimuti permukaan bumi itu. Hanya kadang-kadang mereka saling lirik dan merasa senang kalau melihat yang lain sibuk bekerja. Dengan menanam sayur-sayuran, Souw Tek Bun dan Bu Siang sudah dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Hasil sayur mayur itu dapat mereka tukar dengan beras dan kebutuhan lain di pasar dusun di bawah lereng sana. Dan kebutuhan mereka tidaklah banyak. Cukup makan setiap hari. Adapun tentang pakaian, mereka membeli kain yang kasar dan kuat dan sekali beli dapat dipakai sampai bertahun.
Suasana setempat mempengaruhi kehidupan seseorang. Kalau saja sepasang pendekar ini tinggal di kota besar, tentu kebutuhan mereka melonjak. Karena lingkungan, mereka akan membutuhkan pakaian yang indah, membutuhkan makanan yang mahal dan lezat dan banyak keperluan lain.
Akan tetapi karena lingkungan di dusun membuat mereka tidak membutuhkan semua itu, keperluan hidup mereka amat sederhana. Kebutuhan kehidupan di dusun adalah benar-benar apa yang dibutuhkan oleh tubuh dalam kehidupan ini.
Sebaliknya kebutuhan kehidupan di kota besar lebih bersifat keinginan untuk bersenang-senang dan keinginan untuk bersenang ini kalau dituruti tidak akan ada batasnya, tidak akan ada habisnya, bahkan orang condong untuk saling bersaing, saling melebihi dalam segala hal.
Setelah selesai membersihkan rumput rumput dan mencabuti daun-daun yang mati dan layu, mengumpulkan semua rumput dan daun kering itu menjadi setumpuk di atas tanah lalu membakarnya, Ang-tok Mo-li Bu Siang duduk mengaso di atas batu besar yang terdapat di situ.
Melihat isterinya mengaso sambil menyeka keringat yang membasahi leher dan dahi, Souw Tek Bun juga berhenti mencangkul dan menghampiri isterinya, melepas caping lebarnya dan mengipasi tubuhnya yang terasa gerah dan berkeringat dengan capingnya. Mereka saling pandang dan tersenyum, merasakan kepuasan yang nikmat menyelubungi hati dan badan.
"Aku merasa heran sekali....”, kata Bu Siang.
"Apa yang kau herankan?" tanya Souw Tek Bun sambil duduk di atas batu depan isterinya. Kalau sedang begitu, dia sudah lupa bahwa yang duduk di depannya ini pernah menjadi Ang-tok Mo-li, wanita yang ditakuti orang-orang di dunia kang-ouw.
"Aku merasa heran sekali merasakan betapa nikmat dan senangnya hidup seperti ini, di dalam keheningan pegunungan jauh dari manusia lain ini. Aku merasakan hidup begini penuh dengan ketenangan dan kebahagiaan, tidak pernah kekurangan sesuatupun."
Suaminya tersenyum. "Memang itulah rahasianya hidup bahagia, isteriku. Orang yang tidak pernah merasa kekurangan, dia adalah orang yang sebahagia-bahagianya, karena orang itu dapat hidup seutuhnya menikmati anugerah Tuhan yang memang sudah berlimpahan. Orang yang tidak pernah merasa kekurangan, berarti dia orang kaya dalam arti yang sebenarnya, karena segala apa yang diperoleh dan dimilikinya merupakan harta yang tak ternilai harganya.
"Sebaliknya, orang yang selalu merasa kekurangan hidupnya, walaupun dia kaya raya dan hidup dalam kemewahan dan kemuliaan, sesungguhnya dia orang yang paling sengsara hidupnya, orang -orang semiskin-miskinnya karena dia tidak pernah dapat menikmatinya apa yang diperolehnya, yang selalu dirasakan kurang cukup banyak. Kita, kita dapat bersorak dan berkata dengan sepenuh hati bahwa KITA TlDAK BUTUH APA-APA, bukankah begitu, Siang-moi?"
Wanita itu mengangguk-angguk dan tersenyum manis. "Kalau saja aku dapat membayangkan akan hidup seperti ini, rasanya sudah sejak puluhan tahun yang lalu aku ikut denganmu, Bun-ko."
"Belum terlambat, Siang-moi. Kita masih dapat menghabiskan sisa hidup kita di tempat ini, atau tempat lain yang kita sukai, dengan bebas merdeka tidak terikat apapun, dan tidak dipusingkan dengan urusan dunia persilatan yang selalu mendatangkan masalah dan urusan."
"Aih, aku dahulu sungguh bodoh, Bun-ko. Baru sekaranglah terbuka mata hatiku bahwa kebahagiaan tidak bisa didapatkan melalui kesenangan dan kemuliaan lahiriah. Baru sekarang mataku dapat melihat sebongkah tanah yang subur dan indah berbau harum, padahal dahulunya aku melihatnya sebagai benda tidak berharga yang kotor."
Souw Tek Bun mendekati isterinya dan memegang kedua pundaknya, memandang penuh kasih sayang. "Aku merasa berbahagia sekali mendengar semua kata-katamu, Siang-moi. Memang yang kutunggu-tunggu, yakni pengakuan kebahagiaanmu."
Tiba-tiba terdengar suara lantang "Ha-ha, ha, Souw Tek Bun! Engkau sungguh mencemarkan nama besar suhu!"
Suami isteri itu terkejut dan melompat turun dari atas batu, melihat adanya seorang kakek berusia enampuluh tahun berdiri di situ dengan sikap angkuh. Kakek ini mengenakan jubah seperti seorang tosu dan wajahnya yang berjenggot dan berkumis abu-abu itu tampak bengis.
"Toa-suheng....!" Souw Tek Bun terkejut melihat tosu itu.
Tosu itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya kehitaman dan mengangkat pedang itu ke atas. "Pinto datang atas nama mendiang suhu! Tidak lekas berlutut?" bentaknya.
Melihat pedang hitam itu, Souw Tek Bun lalu merapikan pakaiannya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan tosu itu. "Apa yang dapat saya lakukan untuk suheng atas nama suhu?" tanya Souw Tek Bun dengan sikap merendah dan taat.
"Souw Tek Bun, setelah suhu kita tidak ada, apakah engkau lalu hendak berbuat tidak berbakti dan mendurhaka? Lupakah engkau apa yang dikatakan suhu puluhan tahun yang lalu ketika engkau hendak menikahi seorang wanita sesat berjuluk Ang-tok Mo-li ini? Sekarang, setelah suhu meninggal dunia engkau bahkan hidup bersamanya sebagai suami isteri. Aku, sebagai suhengmu, tentu saja tidak dapat mendiamkan begitu saja!”
“Akan tetapi, suheng. Sekarang kami sama-sama tua dan sudah mencuci tangan dari urusan dunia kang-ouw. Isteriku ini bukan lagi seorang datuk sesat, melainkan seorang isteri yang berbudi mulia."
"Omong kosong! Sekali orang berbuat jahat, mana bisa begitu mudah untuk mengubah diri? Ia tetap Ang-tok Mo li dan engkau tetap dilarang untuk hidup di sampingnya. Bersahabatpun tidak boleh, apa lagi menjadi suami isteri?"
"Akan tetapi, suheng!"
"Cukup! Apakah engkau masih mengangap pusaka ini sebagai pengganti suhu?"
"Saya tetap menghormatinya."
"Kalau begitu, engkau harus menaati perintah pinto seperti wakil dari suhu. Ingat suhu pernah berkata bahwa siapa yang memegang pusaka ini berarti dia memiliki kekuasaan seperti suhu dan harus di taati!"
"Apa yang harus saya lakukan, suheng?"
"Sekarang juga, engkau harus bunuh perempuan sesat ini untuk menebus dosa dan kekotoranmu! Bunuh ia, sekarang juga!"
Souw Tek Bun membelalakkan matanya. "Saya... saya tidak dapat melakukan hal itu, suheng?"
"Apa? Engkau berani membantah dan tidak taat?" Tosu itu menghampiri dengan langkah lebar dan sekali dia mengangkat kaki, dia telah menendang tubuh Souw Tek Bun. Yang ditendang itu terlempar seperti bola dan tubuhnya terpelanting lalu menggelinding di atas tanah.
Akan tetapi Souw Tek Bun menghampiri lagi suhengnya dan menjatuhkan diri berlutut. "Ampun, saya tidak berani membantah," katanya.
"Kalau begitu, cepat bunuh perempuan yang merusak nama perguruan kita itu!" kata tosu itu sambil menudingkan pedangnya ke arah Ang-tok Mo-li.
"Akan tetapi, saya tidak dapat melakukan hal itu, suheng. Ampunkan kami!"
"Jahanam! Masih banyak membantah lagi!" Kini tangan kiri tosu itu menampar.
"Dessss...!" Tubuh Souw Tek Bun terpelanting dan darah segar keluar dari bibirnya yang pecah.
Melihat ini Ang-tok Mo-li tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia melompat ke depan tosu itu dan membentak. "Tosu jahat, kenapa engkau maksa orang?"
Ia telah meloloskan kebutannya yang berbulu merah dan menyerang ke arah tosu itu dengan dahsyatnya. Kebutannya menyambar disusul cakaran kuku tangan kirinya yang panjang dan masih dapat mengeluarkan racun yang berbahaya.
"Hemm, perempuan sesat!" Tosu itu mengelak dan mengelebatkan pedangnya yang bersinar hitam. Sinar hitam berkelebat dan mengaung di atas kepala Ang-tok Mo-li.
Wanita ini terkejut sekali dan menggulingkan tubuhnya sehingga terlepas dari bahaya maut.
"Siang-moi, jangan...!” Souw Tek Bun menubruk dan memegangi kedua tangan isterinya.
"Akan tetapi, dia jahat! Dia hendak membunuh kita!" teriak Ang-tok Mo-li.
"Jangan, kita tidak boleh melawannya. Dia mewakili suhu dengan memegang pedang Hek-in-kiam itu, dan engkau pun tidak boleh melawan suhu. Itu dosa besar, Siang-moi," kata Souw Tek Bun.
Tosu itu menghampiri mereka dan tersenyum dingin. "Souw Tek Bun, engkau masih mengenal dosa? Nah, bunuhlah perempuan sesat ini, baru aku akan dapat mengampunimu!" Dengan senyum dingin dia menghampiri suami isteri yang berangkulan itu.
"Tidak, aku tidak dapat membunuh isteriku. Biarlah engkau membunuh kami berdua, suheng. Kami tidak akan melawan!" kata Souw Tek Bun dengan pasrah.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring. "Tua bangka dan jahanam dari mana berani datang untuk membunuh ayah ibuku?" Dan Lee Cin sudah berdiri di situ, menghalangi ayah dan ibunya dari tosu itu dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
Tosu itu terkejut melihat munculnya empat orang. Mereka ini adalah Lee Cin, Cia Tin Han dan ayah ibunya.
Apalagi melihat Lee Cin menentangnya dengan sinar mata yang seakan hendak membakar dirinya. "Hemm, inikah hasil hubungan sesat itu, Souw Tek Bun? Inikah puterimu. Pantas iapun menjadi gadis sesat yang kurang ajar!" Tosu itu mengejek.
"Lee Cin, jangan melawan... dia itu supekmu, wakil dari suhu. Berlututlah!" kata Souw Tek Bun kepada puterinya.
"Tidak sudi aku berlutut di depan orang yang hendak membunuh ayah ibu biar orang itu kakek guruku sendiri sekalipun!" Lee Cin segera mengeluarkan Ang-coa-kiam dan menerjang tosu itu dengan dahsyat.
"Mampuslah engkau tosu busuk!' bentaknya dan pedangnya sudah menyambar dengan hebatnya. Akan tetapi tosu itu mundur dan menangkis dengan Hek-in kiam (Pedang Awan Hitam).
"Tranggg....!" Tangkisan itu demikian kuat sehingga Lee Cin terhuyung ke belakang. Ayahnya segera merangkulnya.
"Lee Cin, engkau tidak boleh melawan. Selama dia memegang Hek-in-kiam, dia mewakili suhu yang telah tiada dan kita tidak boleh melawannya," kata Souw Tek Bun.
"Paman Souw Tek Bun, kalau paman sekeluarga tidak boleh melawan, mungkin ada benarnya. Akan tetapi aku orang lain, bukan apa-apanya, maka aku boleh melawannya!" Yang bicara ini adalah Cia Tin Han dan pemuda ini sudah menghadapi tosu itu.
"Singgg....!" Dia mencabut Pek-hong kiam dan sinar putih berkelebat menyilaukan mata.
Tosu itu terkejut dan melangkah mundur. "Pek-kong-kiam...." gumamnya.
Tin Han melangkah maju dan tersenyum. "Agaknya engkau mengenal pula po-kiam ku, kakek yang jahat. Kalau mereka tidak boleh melawanmu, maka akulah lawanmu. Aku bukan apa-apamu! Atau, engkau takut menghadapi Pek-kong-kiam ini?"
"Bocah sombong, pinto Kong Goan Cin-jin tidak pernah takut kepada siapapun juga!" Dia lalu melangkah maju. "Kalau engkau membela suteku Souw Tek Bun, terpaksa engkau akan kusingkirkan lebih dulu!" Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan pedang sinar hitamnya.
Serangannya demikian mantap dan kuat. Sambaran angin pedang itu saja memberitahu Tin Han bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh sekali. Akan tetapi dia mengelak dan cepat balas menyerang dengan Pek kong-kiam dan serangannya juga tidak kalah dahsyatnya. Kakek itu tampak terkejut dan melompat ke belakang, lalu memutar pedangnya dengan hati-hati karena dia juga maklum bahwa pemuda yang menjadi lawannya ini ternyata lihai bukan main.
Terjadilah pertandingan pedang yang amat hebat. Souw Tek Bun dan Ang-tok Mo-li memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka melihat kenyataan betapa hebatnya kepandaian Tin Han. Pemuda itu mampu menandingi Kong Goan Cin-jin, twa-suheng dari Souw Tek Bun yang sudah puluhan tahun tidak pernah dijumpainya.
Guru Souw Tek Bun adalah seorang pertapa maha sakti yang bertapa di pegunungan Himalaya. Mereka semua ada empat orang murid, dan yang tertua adalah Kong Goan Cinjin itulah. Guru Souw Tek Bun memang berwatak keras dan sama sekali melarang para muridnya untuk melakukan kejahatan, bahkan dilarang keras bergaul dengan orang dari dunia sesat.
Oleh karena itu para muridnya semua menjadi pendekar yang kenamaan, termasuk Souw Tek Bun. Akan tetapi ketika di waktu mudanya Souw Tek Bun bersahabat dan berhubungan dengan Ang-tok Mo-li Bu Siang, gurunya marah dan mengutus Kong Goan Cin-jin turun gunung untuk melarang Souw Tek Bun melanjutkan hubungannya dengan Ang-tok Mo-li.
Karena takut dan taat kepada gurunya, terpaksa Souw Tek Bun berpisah dari Ang-tok Moli yang kemudian karena marah hati kepada Souw Tek Bun menjadi datuk. Sekarang, setelah kedua orang kekasih itu sudah sama tuanya, mereka bersatu kembali.
Dan sama sekali tidak mereka sangka bahwa hal itu akan mendatangkan Kong Goan Cin-jin untuk mencampuri dan menghalangi. Padahal, guru Souw Tek Bun telah lama meninggal dunia. Agaknya Kong Goan Cin-jin yang selamanya hidup membujang itu merasa iri melihat kebahagiaan sutenya!
Cia Kun dan isterinya juga menonton pertandingan itu hati gelisah. Mereka tahu akan kepandaian putera mereka akan tetapi melihat tosu itu demikian kokoh kuat, mereka merasa khawatir akan keselamatan putera mereka. Mereka datang ke Hong-san untuk meminang Lee Cin, tidak tahunya dihadapkan pada urusan perkelahian itu sehingga melibatkan putera mereka.
Tadi Lee Cin yang merasa marah sekali tidak berdaya karena dicegah ayahnya untuk melawan tosu itu. Kini melihat Tin Han sudah bertanding dengan tosu itu, dalam keadaan yang seru menegangkan, hatinya diliputi kekhawatiran besar kalau-kalau Tin Han akan kalah dan celaka oleh tosu yang galak itu. Karena itu, ia meronta dari pegangan ayahnya dan melompat ke depan untuk membantu Tin Han.
"Lee Cin, engkau tidak boleh melawannya!" kembali Souw Tek Bun berseru keras.
"Ayah, tosu itu keterlaluan hendak memaksakan kehendaknya, hendak membunuh ibu. Dan sekarang yang menandinginya adalah calon suamiku, bagaimana aku tidak boleh mencampuri? Biar harus mempertaruhkan nyawa, aku harus membela orang yang kucinta!" kata Lee Cin dengan suara nyaring dan iapun sudah menerjang ke depan dengan pedang Ang-coa-kiam digerakkan secara dahsyat.
"Ia benar! Orang harus membela orang yang dicinta dengan taruhan nyawa kalau perlu!" terdengar Ang-tok Mo-li berkata sambil memegang tangan suaminya.
Souw Tek Bun memandang dengan bingung. Dia sendiri sebetulnya tidak takut kepada suhengnya. Akan tetapi dengan Hek-in-kiam di tangan, suhengnya seolah menjadi wakil suhunya dan tentu saja dia harus menaatinya.
Sementara itu, pertandingan berjalan semakin seru. Akan tetapi sekali ini Kong Goan Cin-jin terdesak hebat. Baru berhadapan dengan Tin Han seorang saja, keadaannya sudah berimbang. Apa lagi kini masuk Lee Cin yang ilmu pedangnya demikian hebat, maka diapun hanya dapat menangkis dan mengelak ke sana sini saja tanpa mampu membalas serangan kedua orang muda yang sudah marah itu.
Dengan marah Kong Goan Cin-ji kini menggunakan tangan kirinya untuk memukul dengan dorongan tangan terbuka. Begitu dia memukul ke arah Lee Cin ada dorongan angin kuat sekali menerpa tubuh Lee Cin dan biarpun gadis ini sudah mempertahankan diri, tetap saja ia terhuyung ke belakang, terbawa oleh angin pukulan yang keras.
Kembali kakek itu memukul, kini ke arah Tin Han. Pemuda ini dengan beraninya lalu rnendorongkan tangan kirinya sambil mengerahkan seluruh tenaganya, menggunaan tenaga Khong-sim Sin-kang sambil membuat gerakan memutar lengan agar tenaganya dapat dipergunakan sepenuhnya.
"Wuuuuuuuuttt... desssss....!” tubuh kakek itu terpelanting keras sedangkan tubuh Cia Tin Han gemetar.
Lee Cin melompat dan menggunakan pedangnya untuk membabat ke arah lengan kanan kakek itu. Kakek itu dalam keadaan terhuyung menarik kembali lengannya, akan tetapi masih saja lengannya tergores pedang di tangan Lee Cin. Kakek itu mengeluh dan pedang Hek-in-kiam di tangannya terlepas.
Tin Han menyambar ke depan dan di lain saat pedang Hek-in-kiam telah berada di tangannya. Lee Cin menghampirinya, mengambil pedang itu dari tangan Tin Han dan menyerahkannya kepada ayahnya.
"Ayah, ambil pedang ini? Cepat, ayah!"
Karena dipaksa puterinya, Souw Tek Bun menerima juga pedang Hek-in kiam dan Lee Cin lalu berseru kepada tosu yang sudah berdiri tegak kembali itu.
"Heh, tosu busuk. Kau lihat apa yang dipegang oleh ayahku ini? Inilah pedang kekuasaan dan pemegangnya sebagai wakil guru kalian, apakah engkau masih juga belum mau tunduk dan memberi hormat?"
Sejenak tosu itu melongo. Melihat Souw Tek Bun mengangkat pedang itu ke atas kepala, tiba-tiba dia membereskan pakaiannya lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap pedang itu. "Teecu tidak berani...!" katanya lemah.
Dalam hatinya Souk Tek Bun merasa kasihan kepada suhengnya yang demikian tunduk kepada pedang itu. Akan tetapi diapun tahu bahwa kalau pedang itu berada di tangan suhengnya orang itu pasti akan mendesak dan memaksanya membunuh isterinya.
"Kong Goan Cin-jin, apakah engkau sudah mengetahui kesalahanmu?" bentak Souw Tek Bun, memberanikan hatinya.
“Teecu belum mengerti,” kata tosu itu lemah.
"Engkau hendak memaksa orang membunuh isterinya, itu satu perbuatan yang sama tidak benar. Sekarang, kembalilah engkau ke Himalaya dan bertaubatlah, bersihkan jiwamu dan jangan mencampuri dunia kang-ouw lagi. Berangkatlah!"
"Saya.... saya pergi...“ Kong Goan Cin-jin lalu memutar tubuhnya berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kasihan kakek tua ini. Sudah terlalu lama dia tinggal di pengasingan, jauh dari dunia ramai, jauh dari kehidupan manusia sehingga dia tidak dapat mempertimbangkan tentang kehidupan suami isteri dan sebagainya lagi. Yang diketahuinya hanyalah amat taat kepada suhunya yang telah meninggal dunia, yang meninggalkan pedang Hek-in-kiam dan siapa yang memegang pedang itu menjadi wakil gurunya. Karena itulah dia bersikap demikian anehnya.
Setelah suhengnya pergi, barulah Souw Tek kun menyimpan pedang Hek-in-kiam dan menghela napas panjang. "Sungguh berbahaya sekali, ilmu kepandaian toa-suheng itu jauh melebihi aku. Akan tetapi sungguh mengagumkan pemuda she Cia itu. Dia mampu menandinginya."
"Akan tetapi mau apa dia datang bersama Lee Cin dan orang tuanya? Apakah kau kira mereka mau....” kata Bu Siang sambil memandang kepada pemuda dan orang tuanya itu.
"Mau apapun mereka, harus kita temui. Mereka adalah tamu-tamu kita, dan pemuda itu baru saja menghindarkan kita dari malapetaka."
Keduanya lalu maju menghampiri tamu. Cia Kun dan isterinya lalu maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat, diturut oleh Tin Han. "Kami sekeluarga ikut merasa lega bahwa ji-wi telah terhindar dari keadaan yang tidak menyenangkan tadi," kata Cia Kun.
"Berkat kehadiran sam-wi bertiga kami tertolong," kata Souw Tek Bun merendah. "Kalau boleh saya mengetahui siapakah ji-wi ini,” tanya Souw Tek Bun yang baru sekali itu berjumpa dengan Cia Kun dan isterinya.
"Mereka adalah putera tertua dari Keluarga Cia, bernama Cia Kun dan isterinya. Bukankah begitu?' kata Bu Siang.
Cia Kun dan isterinya kembali memberi hormat. "Ternyata ingatan Nyonya tajam sekali. Kami memang Cia Kun dan ini isteri kami. Kunjungan kami ini selain untuk mempererat perkenalan dan memberi hormat, juga membawa keperluan yang penting sekali menyangkut kehidupan anak kita berdua yaitu Souw Lee Cin dan anak kami Cia Tin Han."
Sebelum Souw Tek Bun menjawab, isterinya telah lebih dulu berkata dengan suara yang datar akan tetapi tidak ketus. "Ada apakah dengan mereka berdua?" Ia menoleh kepada Tin Han dan Lee Cin yang berdiri sambil menundukkan muka dan dengan hati tegang berdebar.
"Sebagaimana mungkin Souw-taihiap dan nyonya telah mengetahuinya, di antara putera kami Cia Tin Han dan puteri ji-wi Souw Lee Cin telah terdapat ikatan batin yang amat kuat. Oleh karena itu, menuruti keinginan mereka berdua, kami memberanikan diri menghadap ji-wi untuk mengajukan pinangan secara sah agar nona Souw Lee Cin menjadi jodoh anak kami Cia Tin Han."
"Saudara Cia Kun, tidak salahkah pendengaranku ini? Benarkah engkau meminang anakku? Bukankah engkau juga mengetahui bahwa dahulu ibumu bermusuhan dengan aku?" Tanya Bu Siang atau Ang-tok Mo-li.
Cia Kun saling pandang dengan isterinya, akan tetapi karena ucapan itu dikeluarkan dengan nada lembut, diapun memberanikan diri menjawab. "Kami telah melupakan semua itu, Nyonya. Dan kami bersedia meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan ibu kami yang telah meninggal dunia itu."
"Ah, kesalahannya bukan terletak di pundak mendiang ibu kalian semata, akupun keras kepala ketika itu. Baiklah, kalau kita semua sudah melupakan segala peristiwa itu, mari kita bicarakan tentang perjodohan anak kita."
Bukan main gembiranya hati Cia Kun dan isterinya, sedangkan Tin Han yang mendengar ini cepat berlutut di depan Souw Tek Bun dan isterinya, memberi hormat yang diturut pula oleh Lee Cin.
"Ibu dan ayah, saya sungguh merasa berbahagia dan berterima kasih sekali kepada ibu dan ayah yang telah merestui perjodohan kami," kata Lee Cin.
Ang-tok Mo-li Bu Siang merangkul puterinya dan berbisik. "Mudah-mudahan engkau sekali ini tidak keliru dalam pemilihanmu, Lee Cin."
Cia Kun menjadi tamu kehormatan dan dijamu dengan sederhana oleh Souw Tek Bun dan mereka bercakap-cakap dengan gembira, sama-sama merasa cocok dengan pendapat mereka tentang perjuangan. Mereka akan tetap hidup sebagai pendekar dan patriot, menentang pembesarpembesar penjajah yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan selalu siap untuk membela kebenaran dan keadilan.
Pernikahan antara Tin Han dan Lee Cin dilangsungkan secara sederhana pula, akan tetapi dihadiri orang-orang yang dekat dengan mereka. Tentu saja pendekar Song Thian Lee dan isterinya, Tang Cin Lan, tidak ketinggalan menghadiri pesta pernikahan itu. Bahkan suami isteri ini dianggap sebagai orang-orang yang sudah banyak jasanya dalam perjodohan antara Cia Tin Han dan Souw Lee Cin.
Sementara itu, di tempat lain juga dilangsungkan pernikahan antara Song Hwe li dan Lay Siong Ek, antara Liu Ceng dan Thio Hui San dan antara Kwee Li Hwa dan Cia Tin Siong. Mereka semua hidup sebagai suami isteri pendekar yang saling mencinta dan sepak terjang mereka dalam kehidupan sebagai pendekar banyak menyusahkan pemerintah penjajah Mancu.
Sampai di sini selesailah sudah Kisah Pendekar Rajawali Hitam ini dan mudah-mudahan kisah ini dapat menghibur hati para pembacanya di waktu senggang. Sampai jumpa di lain kisah.