Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo, Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 01

Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 01

Perang! Kata-kata ini, diucapkan dalam bahasa apapun, merupakan kutukan hebat bagi setiap bangsa, merupakan bencana yang paling mengerikan bagi setiap manusia! Siapakah orangnya yang tidak membenci perang?

Novel Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Biarpun ada orang yang tidak menguatirkan keselamatan sendiri dalam perang, setidaknya ia akan merasa ngeri apabila ia mengingat bahwa perang dapat membinasakan seluruh harta-bendanya, seluruh keluarganya, isteri, anak, handai-taulan dan orang yang paling dicintainya didunia ini.

Bunuh-membunuh antara manusia, kekacauan, pengkhianatan, kekejaman, perbuatan yang tak patut dilakukan oleh manusia yang berakal-budi dan yang menganggap dirinya sebagai makhluk semulia-mulianya dipermukaan bumi ini. Perang diliputi oleh nafsu merusak semata, nafsu membunuh dan membinasakan yang hidup dan yang indah. Semata terdorong oleh nafsu ingin menang, kemenangan hampa!

Memang, perang adalah kutukan dan bencana bagi setiap manusia, dan pada umumnya perang dibenci oleh rakyat semenjak zaman dahulu sehingga sekarang. Tiongkok semenjak dahulu selalu dilanda perang yang tak lain menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan pada rakyat.

Pada sekitar tahun 755, selama kurang lebih delapan tahun, diwaktu Kaisar Hian Cong menjadi raja, rakyat telah menderita karena timbulnya perang yang tiada hentinya. Kaisar mengangkat seorang Tartar bernama An Lu San menjadi seorang panglima besar yang diberi kekuasaan penuh di Ho-pei.

Akan tetapi, panglima ini setelah memiliki kekuasaan besar dan mengepalai banyak tentara, lalu memberontak, memimpin lima belas laksa tentara memukul dan menyerbu kearah selatan. Kaisar terpaksa lari mengungsi ke Secuan karena tentaranya tak dapat menahan serbuan ini.

Akhirnya berkat perlawanan rakyat jualah maka pemberontak itu dapat dipukul mundur, padahal ketika terjadi perang, rakyat pula yang harus menderita. Sampai pada saat kaisar Hian Cong diganti oleh kaisar Su Cong perang masih merajalela, yang ditimbulkan oleh pemberontak yang sementara itu telah diganti pula oleh Sie Se Ming.

Didalam peperangan yang ditimbulkan oleh pemberontakan ini, siapapun yang bersalah dalam hal ini, baik pihak kaisar maupun pihak pemberontak, yang sudah tetap dan pasti adalah bahwa rakyatlah yang menderita karenanya. Para tentara yang memberontak itu melakukan segala macam kejahatan.

Kampung dibakar, dirampok, orang kampung dibunuh, karena setiap orang dusun mereka curigai dan dituduh sebagai anggauta barisan gerilya yang dilakukan oleh para pemuda rakyat. Wanita diganggu, petani-petani ditebas batang-lehernya tanpa kenal ampun lagi, dan banyak pula anak kecil dibunuh dengan cara amat kejam dan diluar perikemanusiaan.

Didalam perang, iblis dan setan berpesta-ria dan hasil keindahan seni alam di injak hancur, sedikitpun tidak ada harganya lagi! Terutama sekali dusun yang dilalui oleh rombongan kaum pemberontak dibawah pimpinan An Lu San ketika ia menyerbu keselatan. Dusun ini dibakar habis dan entah berapa puluh ribu jiwa orang kampung yang dibinasakan oleh anggauta tentara pemberontak yang tidak bertanggung jawab.

Dan oleh karena yang dirampok bukan hanya harta-benda yang berada didalam rumah, akan tetapi juga hasil sawah-ladang disikat habis dan dijadikan persediaan ransum bagi barisan pemberontak yang besar jumlahnya itu, maka selain mengalami penderitaan yang timbul dari kekejaman para pemberontak, juga rakyat mendapat ancaman bahaja lapar karena kehabisan makanan sebelum sawah-ladang mereka menghasilkan panen baru.

Sisa orang yang dapat menyelamatkan diri dari tangan maut yang menjangkau dari pedang dan golok para pemberontak, kini diserang oleh tangan maut yang mencengkeram dari perut mereka sendiri yang kosong. Orang yang mati kelaparan menggeletak dimana. Ada seorang dusun yang menjadi gila karena penderitaan ini dan karena rasa lapar yang mematahkan semangat dan melumpuhkan jiwanya.

Keluarga petani tua ini telah habis binasa menjadi korban para pemberontak, dan kini dia sendiri hampir binasa menjadi korban kelaparan. Ia berlari kesana-kemari menangis diantara suara ketawanya yang mengerikan. Tubuhnya kurus-kering, pakaian compang-camping, dan berulangkali mulutnya menjerit, “Lapar... lapar!!”

Akan tetapi, siapakah yang akan dapat menolongnya? Siapa yang dapat menghiburnya? Semua orang berkeadaan sama, bahkan banyak pula yang lebih buruk daripada orang gila itu, karena sudah rebah diatas lantai gubuk bobroknya, rebah tak berdaya untuk bangun kembali, tinggal menanti datangnya maut menjemputnya dan membebaskannya daripada penderitaan itu!

Si gila itu lari kesawah yang masih kosong. Ia menjatuhkan diri diatas tanah, menangis dan meraung, makin lama makin lemas, dan tiba-tba matanya menjadi liar, dicengkeramnya tanah lembek lalu dimakannya!

“Tanah, tanah... dari kaulah segala macam makanan lezat terjadi... ibu tanah... kalau anak mu enak dimakan dan mengenyangkan perut, mengapa kau tidak...?” Biarpun ia merasa betapa kasar dan tidak enak rasa tanah didalam mulutnya itu, namun ia memaksanya memasuki perutnya!

Kejadian seperti itu masih belum hebat. Bahkan ada orang-tua yang membunuh anak mereka sendiri dengan melemparkannya kedalam sungai oleh karena sudah tak kuasa lagi memeliharanya. Dan dalam kelaparan dan penderitaan, orang dapat menjadi gelap mata dan pertimbangannya telah rusak dan tak dapat dipergunakan lagi.

Oleh karena itu, tekanan penderitaan menimbulkan kejahatan yang tak segan dilakukan oleh seorang yang tadinya hidup secara baik dan terhormat. Maling dan mencuri terjadi disana-sini. Gadis-gadis dijual oleh ayah-ibunya sendiri ditukarkan dengan beras yang harus menghidupkan adik gadis itu!

Kejam, ganas, mengerikan! Demikianlah perang! Dimanapun dia merajalela, selalu mendatangkan kebinasaan dan menimbulkan pelbagai kengerian yang tak layak pula terjadi diatas dunia yang telah dikuasai oleh orang! Terkutuklah perang!

Dan terkutuk pula orang yang dengan sengaja maupun tidak menyalakan api peperangan! Mampuslah orang yang gila perang, pergilah keneraka jahanam, Kami, rakyat sedunia, tidak membutuhkan kalian dipermukaan bumi ini!

Sebagai akibat dari perang yang ditimbulkan oleh pemberontak An Lu San, banyak anak kehilangan orang-tuanya dan hidup terlunta, terlantar dan berkeliaran kemana saja sepasang kaki yang masih lemah itu membawa tubuh.

Pada suatu hari, diatas jalan raya didusun Hong-yan yang telah menjadi tumpukan puing, nampak seorang kakek berjalan sambil memandang kekanan-kiri dengan wAyah sedih. Berulang kakek ini menarik napas dan keluhan perlahan keluar dari dadanya kalau ia melihat pemandangan yang mengerikan akibat perang.

Orang yang masih hidup mulai berusaha membangun rumah untuk tempat tinggal mereka, yakni kalau yang mereka bangun itu boleh disebut rumah, karena sebetulnya lebih patut disebut kandang babi! Kakek ini berjalan terus dengan kening dikerutkan, dan ketika ia tiba disebuah tikungan, tiba-tiba ia mendengar suara anjing menggonggong marah.

Ketika ia menghampiri tempat itu, dilihatnya dua orang anak laki berusia kurang lebih enam tahun sedang menghadapi seekor anjing yang kurus-kering dan yang berusaha menerjang mereka. Entah mana yang lebih kurus, kedua orang anak laki atau anjing itu karena ketiga-tiganya nampak jelas tulang iga mereka yang menonjol dari kulit yang tipis dan yang tak ditutup oleh ара-apa.

Dibelakang dua orang anak laki itu, nampak seorang anak perempuan yang usianya paling banyak lima tahun tengah duduk menangis sambil memegang seekor ayam yang telah mati. Bangkai ayam itu dipegangnya erat bagaikan seorang kikir memegang kantung uangnya!

Anjing itu menyalak lagi dan tiba-tiba menyerbu, hendak menerobos dua orang penjaga itu dan merampas bangkai ayam dari tangan anak perempuan yang segera menjerit ketakutan. Akan tetapi, dua orang anak laki itu tanpa kenal takut lalu menyambut serbuan anjing dengan kaki tangan mereka yang kurus kecil.

Mereka memukul, menjepak dan membetot ekor binatang itu. Si anjing meraung marah dan membuka mulut hendak menggigit, akan tetapi sebelum ia berhasil menanamkan giginya kedalam kulit pembungkus tulang kaki anak itu, tiba-tiba ia meraung keras dan roboh dengan kepala pecah!

Ternyata bahwa kakek itu telah menyambitnya dengan sepotong batu hingga kepalanya menjadi pecah dan mati seketika itu juga. Kedua anak laki itu seakan tidak tahu dan tidak memperdulikan pertolongan yang diberikan oleh kakek itu, dan kini mereka menghampiri anak perempuan yang masih memegang bangkai ayam dan yang didekap pada dadanya yang kurus. Sepasang matanya yang sayu memandang terbelalak kepada mereka dan tiba-tiba terdengar suaranya yang nyaring,

“Jangan ambil ayamku, aku lapar...” Suara ini setengah bermohon setengah menegur.

“Siapa yang hendak mengambil ayammu? Kau makanlah, aku tidak sudi merampas makanan anak perempuan!,” kata seorang diantara kedua orang anak laki itu yang mempunya¡ tahi lalat ditengah jidatnya.

“Kita telah menolongnya, sebaliknya ia menuduh kita hendak merampas ayamnya. Memang anak perempuan tidak tahu berterima kasih!,” kata anak laki kedua yang berwajah tampan sambil bersungut?

Anak perempuan itu memandang dengan sepasang matanya yang lebar, lalu tiba-tiba tersenyum dan mengulurkan kedua tangannya yang memegang bangkai ayam itu. “Marilah, kita bagi bertiga!,” katanya.

Kedua anak laki tadi saling-pandang dan mereka pun tersenyum. Anak yang bertahi lalat pada jidatnya itu lalu menerima bangkai ayam itu dan setelah mencabuti semua bulu-bulunya lalu menarik kaki ayam dan memotongnya menjadi tiga, dibantu oleh kedua orang anak yang lain. Kemudian, mereka lalu makan daging ayam itu mentah?!

Melihat pemandangan ini, dan menyaksikan betapa lahapnya tiga mulut manusia kecil itu mengunyah daging ayam mentah, kakek tadi yang masih berdiri disitu sebagai patung, tiba-tiba memejamkan matanya untuk beberapa lama dan keningnya berkerut seakan ia menahan rasa sakit yang menikam hatinya.

Ketika ia membuka kembali kedua matanya, maka mata itu menjadi basah. Ia lalu melangkah maju menghampiri ketiga orang anak kecil itu. Anak yang berwajah tampan itu ketika melihat kedatangannya, lalu serentak berdiri dan mengepalkan kedua tinjunya yang kecil sambil membentak,

“Jangan kau mencoba untuk merampok makanan kami!” Ia berdiri dengan gagah dan siap melawan kakek itu apabila kakek itu hendak merampas daging ayam yang sedang mereka makan!

Anak yang bertahi lalat pada jidatnya itu segera mencela kawannya, “Tidak, dia takkan mengganggu kita. Dialah yang tadi membunuh anjing itu. Kakek yang baik, kalau kau juga merasa lapar, marilah kau kuberi bagian sedikit dari daging ayamku.”

“... Ah, anak... ah... kasihan sekali kalian...” hanya ucapan inilah yang dapat dikeluarkan oleh kakek yang merasa amat terharu hatinya itu. “Aku tak lapar dan tidak ingin mengganggu kalian. Akan tetapi, janganlah kalian makan daging mentah itu. ayam ini telah mati karena sakit, maka kalau dimakan mentah-mentah akan membahayakan kesehatan. Kalian akan jatuh sakit.”

Ketiga orang anak kecil itu memandang kepadanya dan mulut mereka tersenyum, sedangkan mata mereka seakan berkata, “Apa artinya jatuh sakit? Takkan lebih menyakitkan daripada perut yang perih karena lapar!”

Kakek itu mengerti akan perasaan hati dan pikiran mereka, maka ia lalu membuat api dan menyuruh anak itu memanggang daging ayam itu diatas api. Anak itu segera menurut dan memanggang daging ayam itu, oleh karena memang daging itu alot sekali dan akan lebih enak kalau dipanggang dan dimakan matang. Sementara itu, kakek tadi lalu menggali lubang kemudian menyeret bangkai anjing yang pecah kepalanya untuk ditanam.

“Kalau tidak ditanam, ia akan membusuk dan akan menjadi penyakit,” katanya.

Akan tetapi, sebelum ia menimbun kembali lubang itu dengan tanah, tiba-tiba datang dua orang wanita tua yang berteriak-teriak, “Jangan tanam dia, jangan...!”

Mereka berlari menghampir i dan ketika kakek itu memandang dengan heran, kedua orang wanita itu dengan girang sekali lalu menubruk bangkai anjing itu dan membawanya lari sambil berseru kegirangan, seakan anak kecil kelaparan yang diberi makanan enak! Kakek itu menggelengkan kepalanya dengan sedih.

“Ya Tuhan, semoga jangan terjadi lagi perang...,” doanya dengan suara perlahan. Setelah semua daging ayam termakan habis oleh ketiga orang anak tadi, kakek itu lalu duduk mendekati mereka dan bertanya, “Siapakah kalian ini, apakah kalian masih bersaudara?”

Ketiga orang anak itu saling pandang dan tersenyum, kemudian anak perempuan itu berkata, “Namaku Eng, she Kui. Aku tidak kenal kepada dua orang ini!”

“Dimanakah rumahmu dan siapa orang-tuamu?” tanya kakek itu dengan manis.

Tiba-tiba Kui Eng menangis terisak. “Ayah dan semua orang dalam rumah dibunuh dan rumah dibakar, ibu dibawa lari penjahat...” Kui Eng menjawab sambil megap dan menangis makin sedih. Kakek itu lalu memeluknya dengan hati hancur.

“Ayahnya adalah kepala kampung kami,” tiba-tiba anak yang tampan itu berkata.

“Dan kau siapakah, nak?” tanya kakek itu kepadanya.

“Aku bernama Bun Hong, ayahku adalah Tan-Wangwe (hartawan Tan) didusun ini. Keluargaku pun telah habis binasa oleh setan itu!” Sambil berkata demikian, kedua tangan anak ini dikepalkan dan matanya memancarkan cahaja penuh dendam!

“Dan saudaramu kah ini?” tanya kakek itu sambil menuding kearah anak bertahi-lalat dijidatnya.

“Bukan,” jawab Bun Hong, “Kami bertiga tak saling mengenal akan tetapi aku pernah melihat anak perempuan ini digedung kepala kampung kami.”

“...Siapakah kau, nak? Apakah kau juga anak dusun sini dan dimana pula keluargamu?” tanya kakek itu kepada anak ketiga.

Anak itu menggelengkan kepala dan kedua matanya menjadi basah ketika ia mendengar pertanyaan itu. “Ayahku adalah seorang petani didusun sebelah selatan sana dan namaku adalah Gan Beng Han. Ayahku tewas dalam pertempuran melawan barisan pemberontak, karena ayahku ikut dalam gerakan gerilya rakyat. Sedangkan ibuku... dan adik perempuanku entah pergi kemana. Mungkin mengungsi dengan orang lain ketika setan itu datang menyerbu. Rumah kami sudah dibakar habis, aku hidup sebatang kara.”

“Setan-setan itu kurang-ajar sekali! Bahkan semua padi dan gandum kami dirampok habis!” kata Bun Hong dengan suara gemas.

“Ah, anak, kalian hanyalah tiga diantara ribuan anak yang menjadi korban perang. Kalau kalian mau, marilah kalian ikut aku kegunung untuk belajar silat.”

Bun Hong nampak gembira sekali. “Belajar silat? Ah, aku suka sekali! Kalau aku bisa silat, tentu aku hajar semua setan yang dulu menyerbu kesini!”

Akan tetapi Beng Han memandang kepada kakek itu dan kemudian menggelengkan kepala perlahan.

“Mengapa, nak?,” tanya sikakek, “Apakah kau tidak suka belajar silat?”

“Bukan kakek yang baik. Tentu saja aku suka belajar silat dan menjadi seorang yang berguna. Akan tetapi, kalau kami bertiga ikut dengan kau orang-tua, kami harus makan.”

“Tentu saja kalian harus makan,” kata kakek itu heran.

“Inilah sukarnya! Kami tidak punya apa-apa, hanya punya tiga buah mulut dan perut yang tiap hari harus diisi. Kau adalah seorang tua yang melihat pakaianmu bukan seorang kaya, maka kalau kami ikut, selain pelajaran silat, kaupun harus memberi sedikitnya tiga mangkok nasi tiap hari. Bagaimana kau akan kuat memelihara kami?”

Kakek itu tertawa geli dan didalam hatinya ia memuji anak ini yang kelak tentu menjadi seorang yang waspada dan mempunyai pertimbangan yang baik sekali. “Beng Han, hal ini tak perlu dikuatirkan, karena aku percaya bahwa kalian bertiga tentulah bukan anak-anak malas yang hanya bisa makan, tapi tak dapat bekerja seperti watak babi! Kalian tidak mau dipersamakan dengan babi, bukan?”

Tiba-tiba Kui Eng bangkit berdiri dan memandang marah. “Siapa berani menjebutku babi?!'' Ia mengepalkan tangan dan matanya bersinar marah.

“Aku bukan babi!,” Bun Hong juga memandang marah. “Kami dapat bekerja, kakek, akan tetapi kau yang juga miskin ini dapat memberi pekerjaan apakah untuk kami?”

Kembali kakek itu tertawa. Melihat sikap dan mendengar jawaban ketiga orang anak ini, sudah dapat dibayangkan watak masing-masing dan ia merasa gembira sekali. Kui Eng memiliki kekerasan hati dan keangkuhan, yang baik sekali dimiliki oleh seorang wanita sedangkan Bun Hong memiliki kegembiraan dan kejenakaan, juga keangkuhan hati dan manja, mungkin karena tadinya ia seorang putera hartawan.

Sebaliknya, yang amat mengagumkan hati kakek itu ialah sikap dan ucapan Beng Han oleh karena ia dapat membayangkan bahwa kelak anak ini tentu menjadi seorang bijaksana yang berpemandangan luas.

“Anak, Thian adalah Maha Murah dan Maha Adil. Tanah subur terbentang luas, menanti digarap. Kita telah dikurniai tangan-kaki dan akal-budi, maka kalau kita kerjakan tanah itu, apakah tidak akan menghasilkan makanan yang kita butuhkan? Betapapun besar kurnia Thian, namun tanpa kita kerjakan dan usahakan, bagaimana ada makanan dapat berloncatan masuk kedalam perut kita sendiri? Dan segala macam usaha kalau kita kerjakan dengan tekun dan rajin, pasti akan berhasil baik. Maka, ayohlah anak-anak, mari ikut padaku, Mari kita bekerja!”

Ajakan ini mengandung suara gembira yang mendorong hati ketiga orang anak itu, maka tanpa diperintah untuk kedua kalinya mereka lalu berdiri dan mengikuti kakek itu keluar dari desa yang telah hancur itu, menuju kearah barat dimana nampak menjulang tinggi puncak gunung Swi-hoa-san.

Kakek itu adalah Lui Sian Lojin, seorang kakek pertapa yang telah lama mengasingkan diri dipuncak Swi-hoa-san. Dimasa mudanya Lui Sian Lojin adalah seorang hiapkek atau pendekar besar yang hidup bertualang didunia kang-ouw hanya berkawan sebatang pedangnya.

Tak terhitung banyaknya jasa kakek ini dalam menolong sesama manusia dan membasmi kejahatan, hingga selain ribuan orang mengenang namanya sebagai seorang penolong yang budiman, banyak pula orang jahat yang mengingat namanya dengan gigi gemeretak karena gemas dan sakit-hati.

Akhirnya Lui Sian Lojin merasa bosan merantau. Ia tidak mau menikah oleh karena gadis pujaannya ternyata tidak membalas cintanya, bahkan menikah dengan orang lain. Maka ia bersumpah tidak akan menikah, dan hanya hidup berdua dengan pedangnya yang dalam banyak pertempuran telah menjadi kawan dan pembelanya.

Ia memilih puncak Swi-hoa-san yang kaya akan tamasya alam indah, dan juga yang memiliki tanah subur, untuk menjadi tempat pertapaan dimana telah belasan tahun ia bertapa sambil tekun memperdalam ilmu batin dan bahkan menciptakan semacam ilmu pedang yang ia namakan Swi-hoa Kiam-hwat atau Ilmu pedang dari Swi-hoa-san.

Lui Sian Lojin belum pernah mempunyai murid karena tidak ada murid yang dianggapnya cocok dan cukup berbakat untuk menerima warisan ilmu pedangnya yang diciptakannya diatas puncak gunung itu. Kemudian ia mendengar tentang pemberontakan yang dipimpin oleh An Lu San, maka ia turun gunung untuk melihat keadaan.

Bukan main sedih dan marah hatinya melihat bekas kekejaman anak buah pemberontak itu. Hampir semua dusun dikaki gunung Swi-hoa-san yang kebetulan dilewati oleh barisan itu, rusak binasa. Dan dalam perantauannya ini ia bertemu dengan Kui Eng, Tan Bun Hong dan Gan Beng Han. Keadaan yang menjedihkan dari ketiga orang anak inilah yang menarik hatinya untuk membawa mereka keatas gunung dan mengangkat mereka menjadi murid-muridnya.

Lui Sian Lojin sengaja tidak mempergunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk menggendong ketiga orang anak itu dan berlari cepat menuju kepuncak gunung Swi-hoa-san, oleh karena ia hendak menguji keuletan ketiga calon muridnya ini.

Ketiga orang anak itu telah menjadi lemah karena tidak tentu makan dan telah menderita kesengsaraan selama berbulan-bulan. Akan tetapi biarpun perjalanan itu amat melelahkan mereka, terutama setelah jalan mulai menanjak bukit, namun mereka tak pernah mengeluh!

Lui Sian Lojin berjalan didepan sebagai penunjuk jalan dan orang-tua ini tak pernah menengok kebelakang seakan ia tidak ambil perduli. Akan tetapi sebenarnya diam-diam ia membuka telinga dan pendengarannya yang tajam dapat membuat ia tahu akan semua gerak-gerik ketiga anak itu tanpa melihat mereka.

Ketiga orang anak itu telah merasa amat lelah terutama Kui Eng dan Tan Bun Hong yang pertama oleh karena ia adalah seorang anak perempuan yang lemah, sedangkan Tan Bun Hong oleh karena sebagai bekas putera hartawan yang jarang melakukan pekerjaan berat, maka perjalanan itu terasa amat melelahkan kedua kaki dan tubuhnya.

Apalagi perut mereka telah menjadi kosong lagi dan mulai terasa perih! Sedangkan Gan Beng Han adalah seorang anak yang sudah biasa bekerja berat, membantu ayahnya bekerja disawah-ladang, mencangkul, membajak, bahkan mencari kayu dihutan-hutan hingga seringkali ia berjalan jauh, maka keadaannya lebih kuat dan ulet apabila dibandingkan dengan dua orang kawannya.

Biarpun merasa lelah sekali hingga jalannya terhuyung-huyung namun Kui Eng yang keras hati dan tidak mau menunjukkan kelemahannya serta tidak mau kalah oleh dua orang kawannya itu, terus maju dengan tindakan lunglai. Ia merasa betapa kedua kakinya telah pegal dan sakit, sedangkan rasa perih didalam perutnya membuat kedua matanya berlinang! Akan tetapi, sungguh kuat hatinya karena tidak pernah terdengar keluh-kesah atau isak-tangis keluar dari mulutnya!

Sedangkan Bun Hong yang juga merasa lelah sekali dan telapak kakinya yang telanjang itu telah menjadi pecah-pecah karena menginjak duri dan batu tajam hingga terasa sakit dan perih, juga perutnya telah menggeliat-geliat karena laparnya, namun pemuda cilik ini dengan kedua tangan terkepal, kepala ditegakkan, dan sepasang bibir digigit kedalam mulut, melangkah lebar dan gagah! Ia telah mengambil keputusan untuk bertahan dan berjalan sampai mati!

Sementara itu, biarpun merasa lelah juga, namun Beng Han masih dapat bertahan. Telapak kakinya berkulit tebal dan ia sudah biasa berjalan hingga langkahnya masih tetap, hanya peluhnya saja membasahi bajunya yang compang camping itu. Anak ini melihat keadaan Kui Eng yang terhuyung? Lalu mendekati anak perempuan itu dan mengulurkan tangan hendak menggandengnya, akan tetapi dengan angkuh Kui Eng menolakkan tangannya.

Beng Han merasa kagum akan kekerasan hati Kui Eng, maka ketika tawarannya untuk menggandengnya ditampik, ia berjalan dibelakang anak perempuan itu untuk berjaga-jaga. Ternyata dugaannya tepat karena tak lama kemudian, tiba-tiba kaki Kui Eng yang lemas itu tersandung batu dan tubuhnya terhuyung kedepan hendak jatuh.

Sebelum Kui Eng jatuh, Beng Han telah memburu dan menangkapnya hingga ia tidak jadi jatuh. Kemudian, melihat betapa tubuh anak itu menjadi lemah dan matanya dipejamkan, Beng Han lalu tanpa ragu lagi menggendongnya dibelakang punggungnya!

Kini Kui Eng tidak menolak lagi dan ia mengeluarkan napas lega ketika merasa betapa tubuhnya dapat beristirahat diatas punggung Beng Han! Sedangkan Bun Hong yang melihat hal ini, lalu berkata kepada Beng Han,

“Han, biarlah nanti kalau kau sudah lelah, kugantikan menggendongnya! Tapi kalau sudah berkurang lelahmu, kau jangan minta digendong terus, Eng, dalam waktu seperti ini, kau tidak boleh menjadi anak manja!”

Beng Han tersenyum saja sedangkan Kui Eng membuka matanya lalu mencibirkan bibirnya kepada Bun Hong. “Kau tidak mau menggendong sudahlah, jangan mengatakan orang manja segala. Kalau aku kuat berjalan, untuk apa aku minta digendong?”

Sementara itu, biarpun dengan telinganya Lui Sian Lojin dapat mengetahui semua hal ini, ia berpura-pura tidak tahu dan terus berjalan sambil diam tersenyum! Akhirnya, baik Bun Hong maupun Beng Han merasa kehabisan tenaga dan tidak kuat maju melangkah lagi. Langkah mereka makin lama makin lambat dan kemudian Beng Han berkata,

“Kakek yang baik, mohon kau orang-tua suka menaruh kasihan kepada kami dan biarkanlah kami beristirahat sebentar!”

Kakek itu berhenti dan berpaling dengan pandangan kagum, karena biarpun kedua kakinya telah menggigil kelelahan, namun Beng Han masih tetap menggendong tubuh Kui Eng, sedangkan Bun Hong menggandeng tangan kawannya yang dibebani berat itu!

“Bagus, bagus, kalian bertiga tidak mengecewakan hatiku! Jangan kuatir, hatiku tidak sekejam dugaanmu, Beng Han,” katanya sambil tertawa dan Beng Han merasa terkejut oleh karena memang tadi ia memandang dengan hati mengandung rasa penyesalan dan tuduhan bahwa kakek itu terlampau kejam membiarkan mereka bertiga menjadi kelelahan!

“Maaf, maaf, aku... tidak sengaja...,” katanya dan kakek itu tersenyum lagi.

Kemudian kakek itu lalu mematahkan sebuah cabang kayu cukup besar dan panjang. “Beng Han, dapatkah kau membuat keranjang?” tanyanya.

“...Tentu saja dapat, aku seringkali membuat keranjang untuk memikul kayu atau rumput.”

“Bagus, nah, ayo kau bantu aku membuat keranjang dari ranting kayu. Kita membuat dua dan aku akan memikul kalian didalam keranjang!”

Bun Hong dan Kuị Eng yang tidak tahu cara bagaimana membuat keranjang dari ranting kayu, lalu membantu dengan mengumpulkan ranting kayu yang cukup kuat. Beng Han dan Lui Sian Lojin lalu menganyam ranting itu menjadi dua buah keranjang yang kuat. Kedua keranjang itu lalu diikatkan dikedua ujung cabang pohon yang dipatahkan oleh kakek itu tadi.

“Sekarang Kui Eng dan Bun Hong duduklah didalam keranjang ini, Kui Eng didepan dan Bun Hong dibelakang. Sedangkan Beng Han yang masih agak kuat, kau boleh kugendong dipunggungku dan berpeganglah kuat pada leherku!”

Beng Han menurut, demikianpun Kui Eng dan Bun Hong, sungguhpun mereka merasa heran dan kurang percaya apakah kakek ini akan dapat mengangkat mereka sekaligus. Setelah Kui Eng duduk didalam keranjang didepan dan Bun Hong dibelakang, kakek itu menyuruh mereka berpegang pada tali keranjang. Kemudian ia menyuruh Beng Han melompat kepunggungnya dan berpegang pada lehernya. Beng Han lalu memeluk leher kakek itu kuat.

“Hati-hati, kalian berpeganglah erat jangan sampai jatuh!,” kata Lui Sian Lojin dan dengan tangan kanan ia lalu memikul pikulan dua keranjang yang berisi dua orang anak itu! Kemudian ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya berlari cepat hingga ketiga orang anak itu merasa betapa angin menyambar muka mereka dari depan dan yang membuat tubuh mereka merasa dingin!

“Kalau merasa ngeri, pejamkan matamu!,” kata Lui Sian Lojin yang mempercepat larinya. Kakek yang lihai ini berlari cepat dan kadang melompati jurang yang curam dan lebar dengan gerakan ringan sekali seperti seekor burung sedang terbang saja!

Beberapa kali ia memandang kearah murid-muridnya karena kuatir kalau mereka merasa ngeri dan takut, akan tetapi alangkah heran dan gembiranya tatkala ia melihat bahwa baik Kui Eng maupun Bun Hong, sama sekali tidak memejamkan mata, bahkan membukanya selebar-lebarnya dengan kagum dan gembira!

Kui Eng dan Bun Hong merasa seakan mereka ini naik seekor burung besar yang terbang melayang diangkasa. Mereka memandang kekanan-kiri dengan girang dan kadang kalau kakek sakti itu melompati jurang, keduanya berseru karena gembira.

“Lihat! Jurang ini curam sekali!,” seru Bun Hong sambil menjenguk keluar dari keranjang dimana ia duduk. “Dasarnya sampai tidak kelihatan!”

“Lihat, pohon berlari-larian didepan kita! Alangkah cepatnya kita meluncur kedepan. Sungguh enak dan senang!,” kata Kui Eng dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu mulai ditinggalkan awan muram dan sayu yang tadinya mengganggu keindahan matanya.

“Hush! Kalian jangan banyak bergerak!” tiba-tiba Beng Han yang digendong dipunggung menegur mereka.

Kini Kui Eng memandang Beng Han dari tempat duduknya didalam keranjang sambil melonjongkan bibirnya kepada anak dipunggung kakek itu!

“Kui Eng, jangan kau nakal. Kalau kalian banyak bergerak hingga terpelanting keluar dari keranjang, akan celaka!” kata Beng Han pula.

Ucapan ini ada pengaruhnya karena kata-kata ini membuat Kui Eng dan bahkan Bun Hong juga, merasa ngeri! Alangkah hebatnya kalau tubuh terpelanting keluar dan melayang kedalam jurang itu! Maka mereka lalu duduk diam didalam keranjang masing-masing sambil berpegang erat pada tali keranjang.

Setelah melakukan perjalanan dengan cara begini, tak lama kemudian tibalah mereka dipuncak bukit dan Lui Sian Lojin, lalu menghentikan larinya. Ketika ketiga orang anak itu turun dari tempat duduk masing-masing, ternyata mereka berada disebuah tanah datar yang penuh dengan rumput hijau dan dibawah beberapa batang pohon yang besar terdapat sebuah pondok kayu yang sederhana.

“Nah, kita sudah sampai dirumah kita!,” kata Lui Sian Lojin sambil tersenyum, dengan perasaan seorang ayah yang baru saja pulang dari melancong dengan tiga orang anaknya! Kehadiran ketiga orang anak ini mendatangkan kebahagiaan baru dalam hati Lui Sian Lojin, kakek yang selama hidupnya tak pernah kawin dan belum pernah merasai punya anak itu!

Ketiga orang anak itu memandang kekanan-kiri dengan girang karena pemandangan disitu benar-benar indah dan dari banyaknya tumbuh-tumbuhan yang hidup subur diatas bukit, dapat diduga dengan mudah bahwa tanah ditempat ini tentu subur dan baik. Tiba-tiba Beng Han menjatuhkan diri berlutut didepan Lui Sian Lojin sambil berkata,

“Setelah menjadi murid suhu, seharusnya teecu bertiga mengangkat kau orang-tua sebagai suhu lebih dulu.”

Melihat perbuatan Beng Han ini, Bun Hong dan Kui Eng juga lalu menjatuhkan diri berlutut didepan Lui Sian Lojin. Kakek itu tertawa terbahak-bahak dan sambil memandang kepada tiga orang muridnya, ia menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengeringkan kedua matanya yang tiba-tiba menjadi basah.

“Karena kalian sendiri telah mendahuluiku, maka biarlah sekarang dilakukan upacara pengangkatan guru. Ketahuilah, murid ku, aku adalah seorang pertapa ditempat ini dan namaku Lui Sian Lojin. Kalian bertiga takkan merasa menyesal bila telah menjadi murid ku, dan untuk menjaga segala kemungkinan buruk yang kuharapkan takkan terjadi selamanya. kalian harus bersumpah!”

Kemudian, Lui Sian Lojin menyuruh ketiga orang muridnya itu bersumpah untuk mentaati perintah dan pantangan-pantangan seperti berikut :

1. Mereka harus mempergunakan ilmu kepandaian yang mereka pelajari untuk menolong sesama makhluk hidup, membela kebenaran, menjunjung tinggi keadilan dan membasmi kejahatan berdasarkan perikemanusiaan.

2. Mereka harus berlaku sabar, berani mengalah dan menghindarkan permusuhan dan perkelahian yang timbul karena hal-hal yang remeh.

3. Mereka tidak boleh sembarangan menewaskan seorang lawan apabila tidak sangat perlu dan lawan itu bukan seorang yang memang benar jahat dan berbahaja bagi umum hingga perlu dibinasakan.

4. Mereka tidak boleh menyombongkan kepandaian sendiri dan sekali tidak boleh mempergunakan kepandaian untuk menindas orang lain yang lemah.

Tiga orang anak itu berlutut sambil mengucapkan sumpah untuk mentaati semua perintah itu dan mengucapkan sumpah menurut apa yang dikatakan oleh Lui Sian Lojin, Biarpun mereka masih kecil dan belum dapat mengerti dengan baik apa yang mereka ucapkan, namun mereka telah bersumpah dengan sungguh-sungguh, bahkan Kui Eng dan Bun Hong yang berwatak jenaka dan suka main-main itu pada waktu berlutut dan bersumpah, nampak sungguh-sungguh dan mengucapkan sumpah penuh penghormatan hingga guru mereka menjadi puas.

“Nah sekarang kita makan dulu. Aku mempunyai persediaan ubi didapur. Setelah makan barulah kita beristirahat dan mulai besok pagi kalian harus bekerja diladang, membantu aku mencangkul ladang di timur itu dan menanam padi,” kata Lui Sian Lojin sambil tertawa.

Demikianlah, semenjak hari itu, ketiga orang anak itu hidup diatas puncak gunung Swi-hoa-san, mempelajari ilmu silat sambil melakukan pekerjaan bertani, Dibawah pimpinan Lui Sian Lojin yang amat menyayangi mereka seperti anaknya sendiri.

Selain mendidik mereka dengan ilmu silat yang tinggi, juga Lui Sian Lojin memberi pelajaran ilmu surat-menjurat kepada murid-muridnya, karena walaupun dia bukan seorang ahli sastera yang pandai, namun berkat kerajinan dan ketekunannya mendidik ketiga anak itu, mereka tidak buta huruf dan dapat membaca dan menulis dengan baiknya.

Disamping semua ini, Lui Sian Lojin memberi dasar ilmu batin dan pelajaran budi-pekerti hingga ketiga orang anak itu mengerti dan terbuka mata batin mereka bahwa diantara segala ilmu pengetahuan, yang terpenting adalah perilaku yang baik agar jalan hidup mereka tidak sampai tersesat kelembah kehinaan dan kejahatan.


Kita tinggalkan dulu ketiga orang anak yang berlatih dan mengejar ilmu dipuncak Swi-hoa-san itu, dan marilah kita mengikuti pengalaman ibu dari Kui Eng atau nyonya Kui Lok. Benar sebagaimana pengakuan Kui Eng ketika ditanya oleh Lui Sian Lojin, ketika tentara pemberontak menyerbu dan masuk dusun Hong-yan.

Mereka tidak memberi ampun kepada dusun itu dan terutama kepala kampungnya, yakni Kui Lok, segera dibunuh mati, hartanya dirampok habis dan nyonya Kui Lok yang masih muda dan cantik itu lalu dilarikan oleh seorang laki bernama Bu Pok Seng.

Memang belum nasib Kui Eng untuk tewas maka pada waktu hal itu terjadi, ia dapat melarikan diri dan para pemberontak tidak begitu memperhatikan seorang anak kecil. Bu Pok Seng ini adalah seorang penjahat yang tadinya menjadi kepala perampok. Ia masih muda dan ilmu silatnya cukup tinggi, akan tetapi oleh karena semenjak kecil berhubungan dengan orang-orang jahat, maka akhirnya ia menjadi seorang yang jahat pula.

Ia ikut menggabungkan diri dengan pemberontak bukan oleh karena ia bersimpati terhadap usaha pemberontakan itu, akan tetapi semata untuk mencari kesempatan memperkaya diri sendiri dengan hasil perampokan dikota dan didusun yang diserbu oleh barisan pemberontak. Memang banyak sekali orang-orang jahat semacam Bu Pok Seng ini jang membonceng pemberontakan untuk memburu nafsu sendiri.

Untuk beberapa lamanya, semenjak mengikuti gerakan pemberontakan Bu Pok Seng telah berhasil mengumpulkan barang berharga terdiri dari emas dan perhiasan-perhiasan orang yang dirampok. Akan tetapi, ketika ia ikut menyerbu ke Hong-yan dan melihat kecantikan nyonya kepala kampung Kui Lok, hatinya menjadi tertarik sekali, maka diculiknyalah nyonya muda yang cantik itu dan dibawanya lari.

Tak seorangpun memperhatikan perbuatannya itu oleh karena memang sudah menjadi pemandangan yang tidak aneh lagi apabila anggauta-anggauta pemberontak itu menculik wanita! Akan tetapi, kali ini Bu Pok Seng menculik nyonya Kui Lok bukan hanya dengan maksud mengganggunya. Ia benar-benar jatuh hati kepada nyonya muda itu dan setelah berhasil melarikan nyonya cantik itu.

Ia tidak mau kembali kepasukannya dan membawa nyonya itu keselatan. Dengan lemah-lembut ia membujuk nyonya Kui Lok untuk menjadi isterinya. Nyonya Kui Lok adalah seorang wanita yang lemah dan melihat betapa suami dan seluruh keluarganya telah tewas serta rumahnya. telah habis dimakan api, hatinya hancur dan semangatnya seakan telah meninggalkan tubuhnya.

Ia merasa berat sekali untuk menerima bujukan Bu Pok Seng, akan tetapi oleh karena ia tidak berani menolak sedangkan untuk membunuh diri ia tidak mempunyai cukup keberanian, akhirnya ia menerimanya juga. Bu Pok Seng merasa girang sekali dan ia lalu membuka sebuah rumah penginapan dikota Kauw-ciu, mempergunakan barang perhiasan hasil rampokannya sebagai modal!

Semenjak itu, ia hidup berbahagia dengan isterinya dan nyonya Kui Lok lambat-laun juga terhibur hatinya oleh karena Bu Pok Seng yang dulu berhati kejam dan jahat itu ternyata amat tunduk terhadapnya! Cinta hatinya terhadap isterinya ini benar-benar besar, terutama sekali ketika dua tahun kemudian isterinya melahirkan seorang anak perempuan. Dan terlahirnya anak ini merupakan obat yang amat mustajab bagi luka dihati nyonya itu,

Karena muka anak ini sama benar dengan anak perempuannya, yaitu Kui Eng, yang disangkanya juga binasa didalam kekacauan ketika para pemberontak menyerbu Hong-yan. Ia mulai menjadi gembira dan oleh karena rumah penginapan yang mereka buka itu mendatangkan hasil yang lumayan, maka boleh dikata hidup mereka cukup beruntung.

Sementara itu, dusun disebelah timur kampung Hong-yan tempat tinggal orang-tua Gan Beng Han, juga tidak terluput daripada keganasan para pemberontak, ayah Beng Han adalah seorang petani yang hidup dengan isteri dan dua orang anaknya, yakni Beng Han dan seorang anak perempuan bernama Beng Lian dan pada waktu penyerbuan terjadi, baru berusia empat tahun.

Ayah Beng Lian ketika itu sedang bekerja disawah dan tidak terluput dari ujung senjata para pemberontak yang menewaskannya, dan ibu Beng Han beserta Beng Lian dapat melarikan diri bersama lain pengungsi, terpisah dari Beng Han yang tidak lari mengungsi bersama ibunya, hanya bersembunji saja didalam hutan. Ibu Beng Han atau nyonya Gan ini bernama Ong Siok Nio. Sambil menggendong Beng Lian, ia berlari menjelamatkan diri dengan hati duka.

Ia telah mendengar bahwa suaminya telah terbunuh mati disawah oleh para pemberontak yang mengetahui bahwa suaminya itu adalah anggauta pasukan gerilya yang mengadakan perlawanan. Memang para gerilya itu kalau siang bekerja biasa sebagai petani agar tidak menimbulkan kecurigaan, akan tetapi ketika mereka menyerbu sampai ke Hong-yan, mereka telah tahu akan siasat ini.

Maka tiap orang laki disemua dusun mereka bunuh tanpa memeriksanya lagi! Siok Nio mempunyai seorang paman diselatan, maka ia lalu menuju ketempat tinggal pamannya itu. Oleh karena perjalanan itu jauh dan makan waktu sedikitnya tiga hari perjalanan, sedangkan ia tidak membawa apa ketika melarikan diri, maka dapat dibajangkan betapa sengsaranya nyonya muda ini.

Pada keesokan harinya ketika ia berjalan sampai disebuah hutan, tiba-tiba muncul serombongan perampok yang banyak terdapat dimasa itu. Melihat seorang wanita muda menggendong seorang anak perempuan lewat dihutan itu, mereka timbul maksud jahat hendak mempermainkannya, sedangkan Siok Nio ketika melihat dirinya dikurung oleh belasan orang laki-laki tinggi besar dan kasar, tak dapat berbuat lain kecuali menangis ketakutan.

Juga Beng Lian menangis dan menjerit dalam gendongan ibunya. Anak yang baru berusia empat tahun ini sudah dapat membedakan orang baik dan jahat, maka melihat sikap kasar dan muka penuh cambang-bauk dari para perampok itu, ia memekik-mekik dengan keras membuat para perampok itu menjadi gemas.

Seorang diantara mereka mengulurkan tangan hendak menangkap anak kecil itu untuk dibantingkannya, akan tetapi tiba-tiba ia roboh dengan leher tertancap sebatang jarum.

“Perampok-perampok jahat jangan mengganggu orang!,” terdengar bentakan halus dan tahu-tahu disitu telah muncul seorang Nikouw (pendeta wanita) berjubah putih yang sikapnya lemah-lembut.

Perampok itu berjumlah belasan orang, yang bertubuh kuat dan berwatak ganas. Tentu saja mereka tidak takut menghadapi seorang Nikouw tua yang bertubuh lemah, maka mereka segera maju dengan golok diangkat untuk menghancurkan tubuh Nikouw itu.

Akan tetapi, Nikouw itu mengajunkan kedua tangannya dan dari setiap tangannya melayang keluar tiga sinar putih yang kecil menyambar kearah enam orang perampok yang segera menjerit kesakitan dan roboh dengan jalan darah ditubuh mereka tertusuk jarum terbang!

Sisa perampok yang menyaksikan kelihaian ini, menjadi gentar, dan mereka lalu melarikan diri sambil menyeret tubuh kawan-kawan mereka yang terluka! Nikouw itu tersenyum melihat hal ini dan ia lalu bertanya kepada Siok Nio yang masih duduk diatas tanah sambil menangis dan memeluk anaknya.

“Toanio, siapakah kau dan mengapa kau berada didalam hutan liar ini berdua saja dengan puterimu?” Sambil menangis, Siok Nio lalu menceritakan mala-petaka yang menimpa kampungnya dan yang mengakibatkan tewasnya suami dan puteranya, bahkan yang membuat seluruh rumah-tangganya hancur berantakan. Nikouw itu menghela napas panjang dan berkata,

“Telah banyak pinni mendengar tentang kerusakan ini. Semoga Thian segera membebaskan kita dari keadaan yang amat buruk ini. Toanio tidak baik bagi seorang wanita muda seperti kau melakukan perjalanan seorang diri dalam waktu sekacau ini. Kalau kau suka, lebih baik untuk sementara waktu kau tinggal bersama pinni diKuil Kwan-Im-Bio. Orang yang baik tentu akan mendapat perlindungan Thian dan mendapat berkah Pouwsat (Dewi Kwan-Im).”

Siok Nio berlutut dan mengaturkan terima-kasihnya dengan bercucuran air-mata. Kemudian ia lalu pergi mengikuti Nikouw tua itu menuju kesebuah Bio (Kuil) yang berada diluar tembok kota An-kian. Oleh karena Nikouw tua itu pandai sekali menghiburnya dan juga menceritakannya tentang kebahagiaan seorang beribadat, maka akhirnya Siok Nio mengambil keputusan untuk menggunduli kepalanya dan masuk menjadi seorang Nikouw!

Nikouw tua itu bernama Pek-I Nikouw dan mengepalai sejumlah besar Nikouw yang berdiam diKuil Kwan-Im-Bio yang besar. Ia adalah seorang Nikouw yang berilmu tinggi karena Pek Nikouw adalah seorang anak murid Thai-san-pai yang telah mencapai tingkat kedua. Siok Nio setelah masuk menjadi Nikouw, diberi nama Siok Thian Nikouw dan nyonya janda ini menjalani penghidupan suci sambil merawat puterinya yang segera menyadi kesayangan semua Nikouw didalam Kuil itu.

Pek I Nikouw sendiri amat suka kepada Beng Lian dan mulai memberi latihan silat kepada anak perempuan itu, sedangkan Nikouw lainnya yang pandai ilmu surat-menjurat lalu memberi pelajaran membaca dan menulis padanya. Beng Lian yang semenjak umur empat tahun hidup didalam Bio dan bergaul dengan orang yang menuntut penghidupan suci.

Tentu saja mempunyai perangai yang halus dan sopan, bergaja lemah-lembut, dan pandai bergaul serta suka merendahkan diri, hingga siapa saja yang melihatnya akan merasa suka dan sedikitpun takkan menyangka bahwa dia memiliki ilmu silat yang diwariskan oleh Pek I Nikouw yang berilmu tinggi itu...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.