Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 02

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo, Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 02
Sonny Ogawa

Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 02

Apabila kita mengikuti dan memperhatikan majunya waktu detik demi detik, akan terasa amat lama sekali. Akan tetapi, sebentar saja perhatian kita beralih, maka sang waktu akan meluncur cepat laksana anak panah terlepas dari busurnya!

Novel Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Demikianlah, dua belas tahun telah lewat tak terasa semenjak tiga orang anak yang menjadi kurban bencana perang, yakni Kui Eng, Tan Bun Hong, dan Gan Beng Han, ikut kepuncak Swi-hoa-san menjadi murid Lui Sian Lojin. Kakek ini telah menurunkan seluruh ilmu kepandaiannya kepada mereka dengan adil dan tidak berat-sebelah.

Bahkan ilmu pedang ciptaannya, yakni Swi-hoa Kiam-hwat, ia ajarkan sampai tamat. Ketiga orang murid itu menerima pula latihan lweekang dan ginkang yang tinggi. Biarpun mendapat latihan berbareng dan mempelajari ilmu silat yang sama, namun ilmu silat adalah semacam ilmu yang hidup dan yang bercabang-ranting tiada batasnya, oleh karena ilmu silat termasuk cabang kesenian.

Seperti juga kesenian yang lain, ilmu silat mempunyai variasi dan keindahan yang tergantung sepenuhnya kepada yang memainkannya. Guru silat hanya memberi pelajaran dasar gerak tangan dan kaki belaka serta memberi contoh tentang gerakan atau gaya menurut keadaan peribadinya sendiri, akan tetapi selanjutnya, untuk mematangkannya tergantung kepada si murid yang memberi tambahan variasi dan gaya menurut bakat dan peribadinya masing-masing.

Demikian pula ketiga orang murid Lui Sian Lojin itu, biarpun mereka mempelajari ilmu silat yang sama, namun persamaan ini hanya terletak pada dasar gerakan kaki dan tangan mereka, sedangkan kelihaian masing-masing berbeda sifatnya.

Kui Eng memiliki gaya ilmu silat yang indah dipandang, bagaikan seorang bidadari tengah menari, lemah-lembut gayanya. Akan tetapi didalam kelemah-lembutannya ini tersembunyi tenaga lweekang yang cukup hebat dan ia memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi sedikit daripada tingkat kedua suhengnya (kakak seperguruan).

Tan Bun Hong memiliki gerakan yang cepat dan ia pandai membuat gerak-gerak tipu yang ditambahkan pada gerak-gerak tipu sesungguhnya. Yakni gerakan-gerakan palsu dengan pedangnya hingga membingungkan fihak lawan yang belum mengenal betul ilmu pedangnya. Kecepatannya memang luar biasa hingga kalau ia sedang berlatih pedang, maka pedang ditangannya berubah menjadi segulungan sinar yang ganas bagaikan seekor naga menyerbu dari langit!

Sebaliknya, Gan Beng Han memiliki tenaga dalam yang paling tinggi oleh karena ia tekun dan kuat sekali berlatih dan bersamadhi dan latihan pernapasan hingga tenaga dalamnya amat kuat. Gerakan pedangnya lambat dan tidak banyak variasi, namun gerakan kaki dan tangannya yang tetap dan teguh itu membuat pedangnya seolah-olah sebuah dinding baja yang sukar sekali ditembus! Gaya dan variasi dalam ilmu silat memang berpengaruh besar oleh sifat dan perangai pemainnya.

Karena semua gerakan itu dikendalikan oleh rasa, sedangkan perasaan seseorang mempunyai hubungan erat dengan sifat peribadinya. Lui Sian Lojin maklum sepenuhnya akan hal ini, maka ia membantu perkembangan ilmu kepandaian silat ketiga orang muridnya itu dengan menyesuaikan gerakan dengan sifat masing-masing. Ia memberikan petunjuk dan nasehat yang amat berharga dan yang ditaati sepenuhnya oleh ketiga orang murid yang juga menganggapnya sebagai orang-tua sendiri.

Dalam hati ketiga orang muda ini tumbuh kasih sayang dan bakti seperti perasaan seorang anak terhadap orang- tuanya, oleh karena mereka merasa betapa besar rasa kasih-sayang kakek ini terhadap mereka. Pada suatu hari Lui Sian Lojin memanggil ketiga orang muridnya itu berkumpul dan setelah ketiga orang muda itu duduk dan berlutut dihadapannya, ia berkata,

“Beng Han, Bun Hong, dan Eng Eng!” Telah lama ia menyebut Eng Eng kepada Kui Eng karena sesungguhnya ia amat memanjakan gadis ini, “Dua belas tahun kalian bertiga telah belajar silat ditempat ini hingga kini kalian telah memiliki ilmu kepandaian silat yang lumayan juga. Masih ingatkah kalian kepada sumpahmu dulu?”

Tentu saja ketiga anak muda itu masih ingat oleh karena seringkali suhu mereka memberi peringatan agar isi sumpah itu berakar didalam sanubari mereka, maka mereka bertiga mengangguk.

“Nah, syukurlah kalau begitu. Sekarang tibalah masanya bagi kalian untuk memberi isi kepada sumpahmu itu, turun gunung dan mempergunakan ilmu kepandaian ditempat yang benar agar kalian menjadi manusia yang berguna bagi orang lain. Kalian harus turun gunung dan mulai melakukan tugas kewajiban sebagai pendekar muda yang gagah perkasa serta mencari pengalaman hidup."

Ketiga orang muda itu merasa terkejut karena belum pernah terpikir oleh mereka untuk pergi turun gunung, terjun kedalam dunia ramai yang kini terasa asing bagi mereka itu. Terutama sekali Kui Eng merasa kaget sekali hingga ia berlutut mendekati suhunya dan berkata dengan suara mengandung keharuan,

“...Turun gunung, suhu? Turun gunung dan pergi meninggalkan kau? Suhu, kau sudah tua dan kalau kami pergi, siapakah yang akan merawatmu? Teecu tak sampai hati meninggalkan suhu dan biarlah kedua suheng ini turun gunung memperluas pengalamannya. Akan tetapi biarkan teecu tinggal disini bersama suhu. Teecu tidak ingin meninggalkan suhu.”

Bun Hong tidak berkata apa, karena didalam hatinya ia merasa gembira sekali. Biarpun ia tidak pernah menyatakan dengan mulutnya, akan tetapi setiap kali ia berdiri diatas batu karang besar yang berada dipuncak bukit dan memandang ketempat jauh, maka hatinya berdebar tegang timbul keinginannya untuk melihat bagaimana pemandangan dan keadaan didunia yang jauh itu!

Akan tetapi, setelah kini dengan tiba-tiba suhunya bicara tentang turun gunung, iapun menjadi ragu-ragu, tak obahnya seperti seekor burung yang dilepas dari kurungan dan tidak tahu harus terbang kemana! Sementara itu, Beng Han berkata kepada suhunya dengan suaranya yang tenang.

“Suhu, sungguhpun teecu ingin sekali menjalankan perintah suhu untuk turun gunung ini akan tetapi pada pendapat teecu, kata-kata sumoi tadi benar juga. Kalau teecu bertiga pergi dari sini, suhu tentu akan merasa kesepian dan siapakah yang akan merawat suhu yang sudah tua ini? Lebih baik teecu bertiga turun gunung dengan bergiliran, apabila seorang sudah kembali, barulah orang kedua pergi hingga dengan demikian, suhu tidak akan pernah ditinggalkan seorang diri.”

Lui Sian Lojin tersenyum. “Anak-anakku, kalian anggap bagaimanakah aku ini. Aku adalah seorang yang sudah biasa hidup menyendiri, dan untuk merawat tubuhku yang sudah tua ini kiranya tidaklah sukar. Aku dapat menjaga diri sendiri dan tidak ada kesenangan lain kecuali mengenangkan kalian sedang berjuang demi kebaikan didunia ramai!

"Ketahuilah bahwa pohon buah yang bagaimana lezatpun takkan ada gunanya apabila tumbuh didalam tempat yang terasing hingga buahnya takkan pernah dinikmati orang. Ibarat pohon buah-buahan, kalian bertiga adalah tiga batang pohon kecil yang baru tumbuh ketika bertemu dengan aku. Kemudian aku membawa kalian kepuncak ini, merawat dan menyirami ketiga batang pohon kecil itu hingga sekarang telah tumbuh menjadi besar dan berkembang.

"Apabila kalian tidak turun gunung sekarang untuk membiarkan kembang itu berbuah dan dinikmati orang, bukankah kembang-kembang itu akan sia-sia belaka dan buah-buahnyapun akan jatuh satu demi satu dan membusuk diatas tanah. Dan kalau sampai demikian halnya, bukankah itu berarti bahwa susah payahku selama merawat dan menyirami pohon kecil itu menjadi sia-sia belaka?”

Ketiga orang murid itu tunduk dan ucapan suhu mereka ini berkesan dihati masing-masing, karena mereka mengerti dengan baik maksud suhunya.

“Oleh karena itu, anak-anakku, kalian turunlah dari tempat ini dan merantau didunia ramai. Aku akan menunggu kalian ditempat ini dan kuberi waktu tiga tahun pada kalian untuk meluaskan pengalaman. Tiga tahun kemudian, pulanglah kalian kesini dan kurasa tubuhku yang sudah tua ini akan kuat menanti dan hidup sampai tiga tahun lagi!”

Mendengar kata-kata ini, Kui Eng mengangkat mukanya dan memandang kepada Lui Sian Lojin. Kakek ini sekarang telah nampak tua benar, rambut dan jenggotnya telah putih bagaikan benang-benang perak dan kulit mukanya telah penuh keriput. Bahkan alisnya telah berwarna putih pula semua, menandakan bahwa usianya sudah sangat lanjut.

Tiba-tiba timbul rasa kasihan dalam hati Kui Eng dan gadis itu kembali menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, “Akan tetapi, suhu, kau betul sudah sangat tua dan hatiku tidak membenarkan untuk meninggalkan suhu. Diperantauan, hati teecu akan selalu teringat kepada suhu dan selalu merasa kuatir.”

Sambil berkata demikian, kedua mata gadis itu menjadi basah. Melihat betapa gadis itu hampir menangis karena berat meninggalkannya, bukan main terharu dan girang hati kakek itu. Ia merasa amat berbahagia oleh karena ketiga orang muridnya yang telah dianggap anaknya sendiri itu ternyata amat mengasihinya hingga tidak sia-sia lah ia merawat mereka semenjak kecil. Akan tetapi, kakek ini bukanlah seorang yang lemah dan yang mementingkan diri sendiri. Maka dikuatkannya hatinya dan berkata dengan suara tetap dan keras,

“Eng Eng! Tidak selayaknya bagi seorang gadis yang gagah untuk mudah mengobral air mata! Dan tidak seharusnya seorang muridku yang gagah seperti kau ini menjadi lemah hati. Angkat mukamu dan keringkan air matamu, lalu tersenyumlah!”

Kui Eng mengangkat mukanya dengan perlahan dan ketika ia melihat betapa wajah suhunya tersenyum kepadanya dan sepasang mata orang-tua itu bersinar-sinar dengan seri-gembira, lenyaplah kelemahan hatinya dan iapun lalu tersenyum!

“Nah, begitulah seharusnya, anakku yang baik! Eng Eng, dulu kau bilang kepadaku, bahwa ibumu dilarikan penjahat. Masih ingatkah kau kepadanya?"

Kui Eng terkejut sekali mendengar ini. Telah lama ia mencoba untuk melupakan bayangan peristiwa dimasa kecilnya itu dan bayangan ini selalu mengikutinya, bahkan telah mengganggunya diwaktu tidur. Dan sekarang suhunya telah mengingatkan ia akan hal ini!

Sebetulnya tadinya Lui Sian Lojin tidak ingin membangkit-bangkitkan hal ini dalam hati ketiga orang muridnya, akan tetapi melihat keraguan hati Kui Eng untuk turun gunung, terpaksa ia mengemukakan hal ini untuk mendorong keinginan hati gadis itu turun gunung dan mencari ibunya.

Tiba-tiba terdengar gadis itu terisak ketika ia teringat akan nasib keluarganya. “Suhu, sekarang juga teecu hendak mencari orang yang menculik ibu dan hendak membelah dadanya!,” katanya dengan gemas dan marah.

“Nah, nah... sabarlah, jangan demikian mudah di kuasai nafsu, anakku. Mudah saja kau mengeluarkan kata ancaman itu seakan yang hendak kau belah dadanya itu hanyalah seekor ayam saja! Bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa orang yang melarikan ibumu itu bahkan menjadi penolongnya?”

Kui Eng terkejut lagi dan kini ia menjadi bingung. “Kalau begitu... ah, teecu minta petunjuk, suhu, karena teecu tak mengerti harus berbuat apa...,” katanya gugup. Suhunya tersenyum dan menahan geli hatinya.

“Dengarkanlah Kui Eng, dan kalian juga, Beng Han dan Bun Hong Kalian telah bersumpah dihadapanku dan diantara sumpah itu terdapat pernyataan bahwa kalian tidak akan membunuh jiwa orang secara serampangan saja. Harus diingat bahwa pembunuhan adalah suatu dosa yang besar sekali dan yang akan mengikatmu dengan hukum karma hingga jiwamu akan selalu menderita.

"Kita tidak berkuasa mencipta manusia, mengapa pula kita harus mengakhiri hidup seorang manusia yang diciptakan oleh Thian? Hanya Tuhanlah yang berkuasa mencabut nyawa manusia! Ingatlah baik, kalau tidak sangat terpaksa, dan apabila masih ada jalan lain, janganlah sekali-kali kalian menurunkan tangan kejam dan membunuh orang! Lihatlah ini!”

Sambil berkata demikian kakek itu mencabut pedangnya, sebuah pedang pusaka yang bercahaya kekuningan dan yang tajamnya luar biasa sekali karena ketiga orang murid itu pernah melihat suhu mereka mendemonstrasikan kehebatan pedang itu dengan membacok batu karang sebagai orang membacok tahu saja!

“Selama aku masih hidup dan pedang ini masih berada ditanganku, kalau kalian melanggar sumpah dan melakukan kejahatan dengan mengandalkan kepandaianmu yang kalian pelajari disini, biarpun hatiku amat mencintai kalian, maka siapa yang berbuat dosa dan jahat kuserang dengan pedang ini!”

Ketika kakek ini mengucapkan kata itu, wajahnya nampak gagah dan sungguh-sungguh hingga ketiga orang muridnya menjadi gentar. “Dan sekarang, kalian boleh turun gunung. Terserah kepada kalian untuk merantau bersama atau hendak berpisah, akan tetapi aku menghendaki agar supaya kalian saling membantu dan agar kalian bertiga datang ketempat ini pada tiga tahun kemudian!”

Dengan hati berat, ketiga orang itu lalu berkemas. Selama berada disitu, suhu mereka yang amat mencintainya itu telah mencarikan pakaian yang cukup banyak bagi mereka, dan masing diberi sebatang pedang yang biarpun bukan pedang mustika, namun cukup baik. Kemudian mereka berlutut lagi didepan suhu mereka, lalu mulai meninggalkan tempat itu, turun gunung!

Lui Sian Lojin berdiri diatas batu karang yang besar itu dan memandang kepada ketiga orang muridnya sampai bayangan ketiga orang muda itu lenyap dari pandangan matanya. Kemudian ia turun dari batu itu dan berjalan perlahan memasuki pondoknya. Pondok yang kosong itu betapapun juga mempengaruhi hatinya yang tiba-tiba saja terasa kosong.

Hidupnya seakan mati dan semangatnya seperti dibawa pergi oleh ketiga orang muda itu. Dadanya terasa sesak dan kerongkongannya bagaikan disumbat sesuatu dari dalam, akan tetapi kakek yang gagah perkasa ini lalu menggunakan kekuatan batinnya untuk menindas rasa duka dan sepi itu dan duduk bersila diatas pembaringannya sambil bersamadhi dan mengatur pernapasannya.


Bukan sembarang anak muda yang turun dari gunung Swi-hoa-san pada hari itu. Kui Eng telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan wajahnya sangat manis. Rambutnya yang hitam pajang itu dikepang dua dan diikat dengan pita sutera merah, sedangkan diatas kepalanya sebelah kiri dihias dengan hiasan rambut berupa setangkai bunga bwe terbuat daripada batu merah pemberian suhunya.

Wajahnya yang cantik jelita bertambah manis karena senyumnya yang selalu menghias bibir dan sepasang matanya yang lebar dan bersinar laksana bintang pagi itu membuat wajahnya nampak terang dan berseri selalu. Tubuhnya ramping dan padat, menandakan bahwa ia memiliki tenaga yang kuat, sedangkan kulitnya yang halus putih kekuningan itu menyembunyikan kepandaiannya yang luar biasa.

Sungguhpun ia selalu berdiam diatas gunung dan jauh dari kota besar. Namun suhunya yang amat mengasihinya telah membelikan sutera hijau yang menjadi kesukaannya. Dan kini iapun mengenakan pakaian sutera berwarna hijau yang membuat kulitnya nampak lebih putih dan gemilang. Sabuk yang mengikat pinggangnya yang kecil terbuat dari kain merah, ujungnya melambai tertiup angin gunung ketika ia berlari bersama kedua suhengnya.

Sepatunya berwarna hitam dan potongannya kecil. Gagang pedang yang nampak tergantung dipinggangnya membuat ia nampak gagah. Cantik dan gagah, demikianlah sifat Kui Eng bagaikan setangkai bunga yang indah mengharum, akan tetapi ia bukanlah bunga sembarang bunga.

Bukanlah bunga harum indah yang mudah dijangkau tangan dan mudah pula dipetik. Ibarat bunga, ia berada ditempat tinggi dan kegagahannya yang melindungi kecantikannya bagaikan duri yang tajam melindungi bunga harum itu. Mudah dipandang akan tetapi sukar untuk dicapai tangan!

Tan Bun Hong yang berlari disebelah kirinya juga merupakan seorang muda yang patut dikagumi. Semenjak kecilnya mudah diduga bahwa ia akan menjadi seorang pemuda yang cakap dan tampan. Rambutnya hitam dan digelung diatas, diikat dengan sutera biru dengan erat, hingga keningnya yang tinggi dan lebar itu menambah ketampanannya. Kulit mukanya halus dan putih hingga bibirnya nampak merah bagaikan bibir seorang wanita.

Sepasang matanya kocak dan jenaka, menunjukkan bahwa ia memiliki kecerdasan otak, sedangkan senyum manis yang tak pernah meninggalkan bibirnya itu membuat orang merasa suka kepadanya. Tubuhnya agak kurus, akan tetapi bahunya lebar dan tegak sedangkan langkah kakinya yang tetap itu membuktikan adanya kekuatan besar dalam tubuhnya.

Pakaiannya berwarna kuning gading dengan ikat pinggang warna biru pula. Pakaiannya yang rapi dan bersih itu menandakan bahwa ia seorang yang rajin dan pesolek yang suka akan kebersihan, juga pedangnya tergantung dipinggang kiri hingga ia merupakan seorang muda yang cakap tampan dan gagah sekali.

Disepanjang jalan tiada hentinya ia bercakap-cakap hingga perlahan kedukaan hati kedua saudara seperguruannya karena berpisah dengan Lui Sian Lojin itu dapat terusir oleh kejenakaan dan kelakar yang dikeluarkan oleh Bun Hong yang berwatak gembira.

Gan Beng Han adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi, lebih tinggi dari Bun Hong dan tubuhnya lebih tegap. Rambutnya yang subur dan hitam juga diikat ke atas seperti rambut Bun Hong, diikat dengan sehelai pita warna hitam. Mukanya lebar dan sepasang telinganya besar berbentuk bagus.

Alisnya tebal, membuat wajahnya nampak lebih menarik dan gagah, sedangkan kedua matanya bersinar lembut dan jujur, bergerak lambat menandakan bahwa ia memiliki ketenangan. Dagunya yang berlekuk pada tengah-tengahnya itu menjadi tanda akan kejantanannya, akan tetapi bibirnya menunjukkan kesabaran besar.

Pakaiannya terbuat daripada kain tebal berwarna abu-abu dan karena ketiga orang muda itu membuat pakaian mereka sendiri, maka melihat pakaian yang dipakai oleh Beng Han, menunjukkan bahwa ia bukan seorang pesolek dan bahkan seorang yang berjiwa sederhana. Kulit mukanya tidak seputih Bun Hong, akan tetapi apabila orang bertemu dengan Beng Han, ia takkan ragu bahwa pemuda ini adalah seorang muda yang gagah perkasa dan boleh diharapkan.

Wajah Beng Han biarpun tidak bisa disebut buruk, akan tetapi ia lebih kelihatan gagah daripada tampan. Langkah kakinya tidak seringan Kui Eng yang berjalan disebelah kirinya, juga tidak secepat Bun Hong, akan tetapi lebih tetap dan kuat, dengan langkah yang lebar dan lenggang yang jelas membayangkan kehebatan tenaganya.

Ketiga orang muda yang pada saat itu menuruni gunung Swi-hoa-san, boleh disebut sebagai lambang dari kecantikan, ketampanan, dan kegagahan! Dan apabila orang telah mengetahui akan ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi, maka ia akan menyatakan bahwa yang sedang berlari cepat menuruni gunung itu bukanlah tiga orang muda sembarangan, akan tetapi tiga naga sakti yang turun dari langit, turun menuju kedunia ramai untuk melakukan tugas suci!

Pada masa itu, kerajaan Tang yang baru saja terlepas daripada gangguan pemberontak, dan kini yang menjadi Kaisar adalah seorang yang lemah, maka amat miskin dan tidak becus mengatur pemerintahan. Pembesar kerajaan, terutama para Thaikam (orang kebiri) yang memainkan peranan penting dalam tampuk kerajaan, adalah orang-orang yang beriman lemah dan terlalu mementingkan kesenangan sendiri hingga korupsi merajalela di kerajaan.

Kembali rakyat kecillah yang celaka dan menderita tekanan hebat. Pajak penghasilan sawah diperhebat dan diperberat hingga boleh dibilang bahwa para petani itu membanting-tulang memeras-keringat semata hanya untuk menambah gemuk para pembesar dan tuan tanah belaka!

Oleh karena tekanan berat ini, tidak heran bahwa banyak orang yang memiliki ilmu kepandaian dan kegagahan lalu lari kedalam hutan, menjadi perampok! Tekanan dan penderitaan hidup yang membuat rakyat hidup dalam keadaan miskin dan kurang makan, menimbulkan kekacauan dan mata gelap.

Ketika Kui Eng, Beng Han dan Bun Hong tiba disebuah hutan dikaki gunung Swi-hoa-san, mereka bertemu dengan orang pertama, akan tetapi pertemuan ini mengecewakan hati mereka oleh karena orang pertama yang mereka jumpai ini bukan lain ialah serombongan perampok!

Lebih dari dua puluh orang perampok yang berpakaian compang-camping dan bertubuh kurus, dengan ganas keluar dari belakang pohon dengan golok ditangan dan wajah bengis. Kepala mereka, seorang yang tinggi besar bermuka hitam, dengan golok ditangan berdiri dengan kedua kaki terbentang lebar.

“Tiga orang muda yang sedang lewat, berhenti dulu dan tinggalkanlah bungkusan dan pedang, baru boleh lewat terus!,” katanya.

Tiga anak muda itu saling pandang sambil tersenyum. “Suheng, inilah orang-orang jahat yang perlu dibasmi!,” kata Bun Hong dengan tenang sambil meraba pedangnya.

Juga Kui Eng diam meraba gagang pedangnya dengan hati berdebar karena baru kali ini akan mengalami pertempuran dan mempraktekkan ilmu kepandaiannya. Akan tetapi Beng Han tetap berlaku tenang.

“Sahabat,” katanya dengan halus dan tenang, “kita tidak pernah berkenalan, juga tak pernah bermusuhan, mengapa kamu minta yang bukan-bukan. Aku pernah mendengar bahwa orang yang minta barang orang lain secara paksa, disebut perampok. Apakah kalian ini hendak merampok kami?”

Tiba-tiba kepala rampok itu tertawa terbahak-bahak dan semua anak buahnya ikut pula tertawa geli, seakan suara ketawa kepala rampok itu merupakan perintah kepada mereka supaya tertawa!

“Anak muda, kau boleh sebut kami perampok atau apa saja. Pendeknya, kami yang berkuasa dirimba ini dan setiap orang yang bertemu dengan kami harus meninggalkan barangnya. Kalau kalian bertiga anak muda ini membantah, jangan katakan kami berlaku keterlaluan apabila golok kami yang mewakili kami bicara!”

“Perampok kurang-ajar! Kamu kira kami ini orang. apakah?” bentak Bun Hong yang tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Sambil berkata demikian, ia melangkah maju sambil mengangkat dada dan mengepalkan tinju!

“Sergap mereka!,” teriak kepala rampok itu dan belasan batang golok berkilauan menerjang mereka bertiga.

“Jangan gunakan pedang!” Beng Han memperingatkan kedua saudara seperguruannya dan ketika dua puluh lebih golok para perampok itu maju mengerojok, tiga bayangan Kui Eng, Bun Hong dan Beng Han berkelebat kesana-kemari seperti tiga ekor naga sakti mengamuk.

Terdengar pekik kesakitan susul-menyusul dan golok-golok beterbangan keatas tanah. Sebentar saja, termasuk kepala rampok itu, telah rebah diatas tanah dalam keadaan tertotok, terpukul dan tertendang yang membuat mereka tak dapat bangun lagi!

Para perampok itu lebih merasa heran dan terkejut daripada menahan rasa sakit. Mereka hanya rebah dan memandang dengan mata terbelalak dan mulut menganga. Bahkan kepala rampok yang terpukul oleh sentilan jari tangan Bun Hong pada iganya itu lalu merayap bangun dan berlutut didepan ketiga pendekar muda itu.

“Ampunkan kami, sam-wi enghiong (tiga orang gagah)! Mata kami telah buta dan tidak mengenal tiga hiap-kek (pendekar) besar yang sedang melakukan perjalanan!”

Bun Hong dan Kui Eng memandang dengan senyum sindir, akan tetapi Beng Han segera membangunkan kepala rampok itu dan berkata, “Sahabat, mengapa kalian yang masih muda-muda dan gagah ini melakukan pekerjaan yang demikian rendah?”

Kepala rampok itu memang sedari masih muda telah menjadi rampok, maka ia tidak dapat menjawab dan pula tidak berani menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Akan tetapi anak-buahnya dengan suara sedih menjawab,

“Hohan (orang budiman), kami menjadi perampok oleh karena terpaksa! Anak-isteri dirumah harus diberi makan dan pekerjaan halal apakah yang dapat kami kerjakan pada waktu begini sukarnya? Harap hohan sudi mengampunkan kami yang sengsara ini!”

“Alasan kosong belaka!,” tiba-tiba Bun Hong membentak sambil memandang tajam. “Kalian harus insyaf dan tidak mengulangi pekerjaan jahat ini. Awas, kalau lain kali aku lewat disini dan melihat kalian masih menjadi perampok, aku takkan mempergunakan tangan dan kaki belaka akan tetapi aku tentu akan menggunakan pedangku untuk menamatkan riwajat hidup kalian!”

Sambil menganggukkan kepala karena takut, semua perampok berjanji untuk mentaati perintah ini. Kemudian ketiga pendekar muda itu lalu melanjutkan perjalanan mereka. Mereka langsung menuju kedusun Hong-yan. Melihat dusun tempat kelahiran mereka, Bun Hong dan Kui Eng merasa terharu sekali dan terbayanglah segala peristiwa dulu didepan mata, hingga diam-diam Kui Eng menggunakan saputangan untuk menghapus air mata yang menitik turun keatas pipinya.

Dusun itu telah banyak berobah semenjak mereka pergi. Rumah baru telah dibangun, akan tetapi orang yang tinggal didusun itu sebagian besar adalah pendatang baru dari lain dusun. Biarpun masih banyak penduduk lama kembali ditempat itu dan mendirikan rumah lagi, akan tetapi oleh karena Bun Hong dan Kui Eng pergi meninggalkan Hong-yan diwaktu mereka masih kecil, maka tidak ada orang yang mengenal mereka, sedangkan mereka berduapun tak melihat seorangpun yang dikenalnya.

Ketika kedua orang muda itu mencoba untuk bertanya kepada orang-orang disitu tentang keadaan keluarga mereka, jawaban yang mereka dapat dari penduduk lama hanyalah helaan napas dan gelengan kepala, sambil dibarengi ucapan sedih,

“Semua binasa, semua habis...!”

Demikian pula dengan keadaan dusun tempat kelahiran Beng Han. Melihat keadaan dusun yang amat miskin dan penghidupan rakyat dusun yang amat sengsara itu, ketiga pendekar muda ini merasa terharu dan kasihan sekali.

Pada masa itu, para pembesar Thaikam yang berkuasa penuh di kotaraja, mengadakan peraturan pajak yang amat menekan dan mengisap darah para petani dan menentukan pajak sebanyak lima puluh sampai seratus kati gandum bagi tiap mou sawah. Pajak ini luar biasa beratnya, karena hampir meliputi bagian terbesar dari hasil tanah, bahkan diwaktu musim kering, sawah tak dapat menghasilkan gandum sebanyak itu!

Oleh karena mendapat contoh dari pembesar tertinggi, maka para tuan tanah dikampung dan para petugas yang mendapat kekuasaan seperti kepala kampung, tidak mau kalah dan menurut contoh ini dengan setia. Merekapun menetapkan pajak sebesar itu bagi para petani hingga keluh-kesah rakyat kecil makin menghebat, yang menjadi kepala kampung di Hong-yan adalah seorang pendatang baru yang kaya, seorang she Gu. Untuk dapat menjalankan pekerjaannya dengan lancar, kepala kampung she Gu ini memelihara beberapa belas orang tukang pukul.

Karena banyak terjadi pertentangan dengan para petani yang merasa mashgul dikenakan pajak yang amat berat itu. Tiap orang petani yang tak dapat memenuhi dan membajar pajaknya, akan ditangkap dan diberi hadiah beberapa puluh kali cambukan pada punggungnya! Apabila ada petani yang hendak membangkang dan melawan, tukang pukul itulah yang akan beraksi dan menghentikan segala sikap membangkang itu dengan pukulan dan pembunuhan!

Biarpun kepala kampung she Gu ini boleh disebut kejam dan jahat, namun ia hanyalah merupakan mata-rantai kecil dari kekuasaan jahat yang berkuasa pada waktu itu. Kepala kampung inipun berada dibawah kekuasaan pembesar atasannya yang berada dikota An-kian yang kekuasaannya meliputi wilajah dusun Hong-yan dan dusun-dusun disekitarnya.

Pembesar ini berpangkat Tihu dan she Yap dan dialah yang menetapkan besarnya pajak bagi para petani didusun-dusun, hingga terpaksa kepala kampung Gu itu harus mentaati perintahnya. Namun, oleh karena tiap kali ada “makanan enak dan mudah,” anjing datang berebutan kepala kampung inipun tidak mau kalah dan menumpuk penghasilan dan hartanya dengan jalan mengkorup hasil pajak atau memberi tambahan extra untuk dia sendiri pada pajak yang sudah amat berat menekan itu!

Ketika mendengar tentang keadaan ini dari para petani bukan main marah dan gemas hati Kui Eng. Bun Hong dan Beng Han. Terutama sekali Kui Eng yang menjadi puteri seorang kepala kampung yang amat jujur. Terbangunlah semangatnya ketika seorang petani tua yang mendengar cerita kawannya kepada mereka menghela napas dan berkata,

“Alangkah baiknya kalau Kui-Khungcu (kepala kampung Kui) masih hidup dan menjadi kepala kampung kita...”

Kui Eng maklum bahwa petani tua ini memuji ayahnya, maka ia lalu mengajak kedua suhengnya untuk pergi kerumah kepala kampung she Gu itu. “Kita harus memberi pelajaran kepada kepala kampung pemeras itu!,” katanya dengan sengit.

Kedua suhengnya mempunyai pendapat yang sama, maka bertiga lalu pergi menuju kerumah kepala kampung Gu yang merupakan gedung besar dan mewah. Kedatangan mereka disambut oleh para tukang pukul yang merasa curiga melihat kedatangan tiga orang muda asing yang membawa pedang pada pinggang mereka.

“Sam-wi hendak mencari siapa?,” tanya kepala tukang pukul yang bertubuh pendek gemuk dan agaknya pandai ilmu silat.

“...Siauwte bertiga ingin bertemu dengan Gu-Khungcu,” jawab Beng Han sambil mengangkat kedua lengan memberi hormat.

“Siapa nama dan ada keperluan apa?,” tanya kepala pengawal itu.

Pertanyaan dan sikap pengawal yang sombong ini menggemaskan hati Bun Hong yang segera berkata kaku, “Laporkan saja kepada kepala kampung supaya keluar menjumpai kami, soal nama dan keperluannya kau si gemuk tak perlu tahu!”

Marahlah pengawal gemuk itu. Ia adalah terkenal sebagai seorang kepala tukang pukul yang ditakuti orang dikampung Hong-yan dan belum pernah ada orang berani berlaku kasar kepadanya, apalagi menghinanya seperti yang dilakukan oleh pemuda tampan ini. Maka dengan mata melotot ia menjawab, “Kalian ini orang kurang ajar pergilah dari sini! Gu-Khungcu sedang sibuk dan tidak ada waktu melayani kalian!”

Melihat hal ini, Beng Han segera berkata dengan suara halus, “Twako, janganlah mencari perkara dengan kami. Kami tidak mempunyai urusan dengan kau, kami hanya ingin berbicara dengan kepala kampung.”

Akan tetapi, kepala pengawal itu telah menjadi marah dan berkata, “Setiap orang yang hendak menghadap Gu-khungcu harus bersikap sopan dan tidak boleh sekali membawa senjata tajam. Kalau kalian mau menanggalkan pedang, menyerahkannya kepada kami lalu menanti disini sambil berlutut, barulah kami mau melaporkan kedatanganmu!”

“Apa?” Kui Eng melangkah maju dengan marah. “Menanggalkan pedangku? Eh, babi gemuk, dengarlah! Kami sengaja membawa pedang untuk digunakan mengetok kepala orang she Gu itu beserta semua kaki-tangannya, termasuk kau!”

“Perempuan kurang ajar!” Pengawal gemuk itu lalu mengulurkan tangan hendak mencengkeram tubuh Kui Eng. Akan tetapi sekali ia memutar tubuhnya, cengkeraman itu menangkap angin dan sebelum si gemuk tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tahu-tahu tubuhnya telah terpelanting dan dadanya terasa sakit sekali terkena pukulan Kui Eng yang dilakukan cepat sekali hingga hampir tidak terlihat oleh yang dipukulnya!

Dengan marah dan membentak keras, beberapa orang pengawal maju mengeroyok, akan tetapi Kui Eng, Bun Hong, dan Beng Han menangkap mereka seorang demi seorang dan melemparkan mereka kekanan dan kekiri, lalu melangkah maju terus kedalam gedung itu.

Gu-Khungcu yang mendengar suara ribut diluar, lalu keluar untuk melihat dan menegur akan tetapi ketika melihat tiga orang muda sedang melabrak tukang pukulnya, ia menjadi ketakutan dan hendak lari pergi. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu seorang gadis jelita dan gagah berdiri didepannya dan menodongnya dengan pedang tajam didadanya! Lemaslah kedua kaki kepala kampung itu. Dengan tubuh menggigil dan suara gemetar ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Lihiap... ampunkan jiwaku...”

Sementara itu, belasan tukang pukul telah dapat dibikin roboh hingga tak berdaya oleh pukulan Bun Hong dan Beng Han yang keras hingga mereka hanya bisa merangkak dan mencoba bangun sambil memandang kearah kepala kampung dengan mata terbelalak.

“Orang she Gu!,” Kui Eng membentak sambil mengancam dengan pedangnya keleher kepala kampung itu, “Apakah kau benar ingin hidup?”

Dengan suara menggigil bagaikan orang terserang penyakit demam, kepala kampung itu menganggukkan kepalanya berulang-ulang dan berkata, “Hamba ingin hidup... Lihiap... ampunilah hamba...”

“Kalau kau ingin memelihara nyawamu yang rendah, mulai sekarang kau harus merobah peraturan pajak pada para petani yang miskin! Kau adalah kepala kampung disini, dan seorang kepala kampung seharusnya menjadi ayah dari seluruh penduduk, mengatur, membela, dan menjaga agar semua orang hidup dalam kebahagiaan. Akan tetapi, sebaliknya kau bahkan memeras mereka dan hidup mewah dari hasil cucuran peluh dan darah mereka!”

“Anjing macam ini seharusnya dibunuh saja, sumoi!,” kata Bun Hong dengan suara sengaja dikeraskan untuk menakut-nakuti kepala kampung itu.

“Benar, bunuh saja!,” kata Beng Han yang tahu akan maksud sutenya.

Makin ketakutanlah kepala kampung itu. “Baik, baik... bagaimanakah aku akan dapat kuatur sebaiknya, mengurangi pajak akan yang tetapi... sudah ditetapkan...? Akupun hanya menjalankan perintah atasan...”

“Siapa yang menetapkan besarnya pajak itu?,” tanya Beng Han.

“Hamba mendapat perintah dari Yap-Tihu...”

“Dimana tinggalnya Yap-Tihu itu?”

“Dia... dia tinggal dikota An-kian dan kampung ini berada dalam wilajah dan kekuasaannya.”

“Baik, kami hendak mendatangi Tihu keparat itu. Akan tetapi, mulai sekarang, kau harus bubarkan semua tukang pukulmu itu dan jangan berlaku sewenang-wenang kepada rakyat. Kalau kau tidak mau merobah kelakuanmu, pasti aku akan datang kembali mengambil kepalamu!,” kata Bun Hong dengan suara mengancam.

“...Dan jangan kira bahwa kami hanya mengeluarkan ancaman kosong belaka” kata Kui Eng. Lihat, apakan lehermu lebih keras daripada balok itu?” Gadis itu memandang keatas, kearah sebatang balok sebesar pinggang yang melintang diatas. Ia lalu mengayunkan tubuhnya melompat cepat kearah balok itu sambil mengajunkan tangan yang memegang pedang menyabet.

Melihat hal itu, Bun Hong juga melompat keatas dengan pedang ditangan meniru perbuatan gadis itu, menyabet kearah balok dengan pedangnya, Beng Han tersenyum dan merasa bahwa hal ini perlu sekali untuk meyakinkan dan menakutkan hati kepala kampung, maka sambil berseru iapun melompat keatas dan menyabet dengan pedangnya.

Kemudian ketiga orang pendekar muda itu meninggalkan rumah Gu-Khungcu. Kepala kampung dengan sekalian tukang pukulnya memandang dengan bimbang. Balok itu terbuat daripada kaju keras dan melintang ditempat yang tinggi.

Akan tetapi, ketiga orang pemuda itu dengan sekali loncat dan sekali bacok saja ternyata sudah berhasil membabat putus balok itu dan biarpun balok itu telah dibacok hingga putus ditiga tempat, akan tetapi karena tajamnya pedang dan keras serta cepatnya bacokan, maka balok yang melintang itu tidak jatuh kebawah!

Kepandaian yang hebat ini tentu saja membuat Gu-Khungcu menjadi bergidik ketakutan dan pada hari itu juga ia lalu memberi hadiah kepada semua tukang pukulnya dan minta supaya mereka semua meninggalkan kampung Hong-yan. Hal ini diturut oleh semua tukang pukul yang masih merasa beruntung tidak terganggu keselamatan mereka oleh tiga pendekar itu!

Dan semenjak hari itu, benar saja Gu-Khungcu mengubah kelakuannya dan melakukan tugasnya sebagai seorang kepala kampung yang baik hingga penduduk dusun Hong-yan merasa amat beruntung dan berterima-kasih.


Semenjak ibunya menjadi Nikouw diKuil Kwan-Im-Bio diluar tembok kota An-kian, Beng Lian juga tinggal diKuil itu dan mempelajari ilmu silat dari Pek I Nikouw serta ilmu surat-menjurat dari Nikouw lain. Kini, dua belas tahun telah lewat dan ia telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang manis dan gagah. Gadis manis ini oleh ibunya telah ditunangkan dengan putera Tihu bernama Yap Yu Tek.

Dan pertemuan antara kedua anak muda ini terjadi dalam sebuah peristiwa yang menarik. Lebih kurang setahun yang lalu, ketika Beng Lian baru berusia lima belas tahun dikota An-kian ribut karena gangguan seorang penjahat yang melakukan pencurian dan juga gangguan terhadap anak-bini orang. Telah ada tiga rumah orang hartawan didatanginya dan mengambil sejumlah besar harta mereka, bahkan seorang gadis telah terbunuh mati ketika melakukan perlawanan terhadap gangguan penjahat kejam itu!

Tihu dikota An-kian bernama Yap Kam Kun, seorang pembesar yang berbeda dengan pembesar lainnya, karena ia melakukan tugasnya dengan taat dan keras menurut perintah dari kotaraja, akan tetapi sedikitpun ia tidak mau melakukan perbuatan yang bersifat buruk dan tidak mau melakukan korupsi hingga keadaannya tidak kaya seperti halnya lain pembesar pada umumnya.

Ketika mendengar laporan tentang sepak-terjang penjahat yang berani mengganggu kotanya, Yap-Tihu lalu mengerahkan pasukan penjaga kota untuk menangkap maling itu. Akan tetapi, ternyata penjahat itu memiliki ilmu silat yang tinggi dan ketika ia pernah kepergok dan dikepung, ia berhasil mengalahkan dan merobohkan banyak anggauta penjaga keamanan hingga keadaan menjadi gempar.

Kepala penjaga sendiri yang terkenal gagah telah terluka pada dadanya oleh golok penjahat itu maka diam-diam Yap-Tihu merasa kuatir sekali. Pembesar ini pernah mendengar berita bahwa kepala Nikouw diKuil Kwan-Im- Bio, yakni Pek I Nikouw, adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ia sendiri lalu pergi ke Kuil itu untuk minta bantuan Pek I Nikouw agar supaya pendeta wanita tua itu suka membantunya.

“Taijin,” jawab Pek I Nikouw dengan suaranya yang halus, pinni (aku wanita bodoh) adalah seorang wanita lemah dan tua yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Urusan ini adalah menjadi tanggung-jawab Taijin yang menjadi pembesar ditempat ini. Mengapa Taijin tidak mendatangkan perwira-perwira yang gagah untuk membasmi penjahat ini? Bukan sepatutnya kalau seorang Nikouw harus mengurus segala-macam kejahatan.”

Nikouw tua ini memang merasa kurang puas terhadap para petugas pemerintah yang sebagian besar hanya kenal memeras rakyat mengumpulkan harta benda belaka.

“Maaf Suthai,” kata Yap Kam Kun dengan hormat. “Memang seharusnya aku tidak boleh mengganggu ketenteraman hidup Suthai, dan memang sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus sendiri hal ini, akan tetapi, siapa lagi yang kuharapkan untuk menghadapi penjahat yang lihai ini? Para penjaga keamanan telah kewalahan menghadapinya, bahkan kepala penjaga telah menderita luka. Kalau Suthai tidak sudi mengulurkan tangan membantu, apakah akan jadinya dengan kota kita ini?”

Pek I Nikouw menghela napas panjang. “Taijin pandai mengumpulkan hasil pajak untuk disetorkan kepada pemerintah, mengapa tidak pandai menolak bahaya yang sedemikian kecilnya saja? Apakah akan kata rakyat yang telah memeras keringat untuk membajar pajak apabila gangguan ini saja fihak pemerintah tak dapat menghalanginya?”

Yap Kam Kun adalah seorang yang mempunyai pertimbangan adil, maka mendengar sindiran ini ia hanya menundukkan kepalanya. Memang ia maklum akan keburukan pemerintah pada waktu itu, apakah akan sebagai seorang pembesar yang hanya berpangkat Tihu, ia dapat berdaya? yang dapat dilakukannya tak lain hanya menurut perintah atasan dan menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Melihat pembesar itu tak dapat menjawab dan berdiam saja, Pek I Nikouw berkata lagi,

“Mengapa Kaisar tidak teringat akan pelajaran Nabi Khong Cu tentang sembilan jalan kebenaran sebagai syarat memimpin negara dan rakyat? Tahukah Taijin akan maksud pinni? Apakah Taijin masih ingat syarat keenam daripada sembilan jalan kebenaran itu?”

Yap-Tihu menganggukkan kepalanya. “Aku masih ingat dengan baik dan syarat keenam itu ialah, Mencintai rakyat seperti anak sendiri.”

“Nah, itulah! Mengapa sekarang rakyat bukannya diberi kecintaan dan kasih-sayang, diperhatikan nasib mereka dan diperlakukan dengan seadil-adilnya sehingga mereka itu dapat bekerja dengan gembira dan mempertinggi hasil pertanian? Sebaliknya rakyat diperas habis-habisan, diperlakukan dengan tidak adil, dibiarkan menderita dan sengsara. Kalau timbul kejahatan yang datang dari kegelapan pikiran disebabkan oleh semua penderitaan ini salah siapakah itu?”

Yap-Tihu mendengarkan segala ucapan pendeta wanita itu dengan tunduk dan tak dapat membantah. Memang, ia sendiri dapat memaklumi bahwa Kaisar yang sekarang memegang kendali pemerintah, amat lemah hingga lupa akan segala petuah dan nasehat yang diajarkan oleh para cerdik pandai di zaman kuna.

Ujar-ujar Nabi Khong Cu yang disebut oleh Pek I Nikouw tadi adalah ujar-ujar yang terdapat dalam kitab Tiong Yong fatsal kedua puluh ayat kedua belas yang berisi pelajaran Nabi Khong Cu dan yang selengkapnya berbunyi seperti berikut,

Untuk memimpin negara dan rakyat terdapat sembilan syarat atau jalan kebenaran, yakni,

  1. Memperbaiki (mengoreksi) diri peribadi.
  2. Menghargai para cerdik pandai.
  3. Mencintai seluruh anggauta keluarga.
  4. Menghormati pembesar-pembesar tinggi.
  5. Membimbing pembesar tingkat rendah.
  6. Mencintai rakyat seperti anak sendiri.
  7. Mengundang ahli pembangunan.
  8. Menyambut tamu-tamu dari luar negeri dengan ramah-tamah.
  9. Menarik simpati dan persahabatan dari negara lain.

Setelah mendengar segala macam ucapan yang dikeluarkan Pek I Nikouw sebagai penyesalan dan teguran kepada keadaan pemerintah pada waktu itu yang timbul dari kemenyesalan dan kemarahan yang ditahan-tahan, Yap-Tihu lalu berkata,

“Semua ucapan Suthai memang benar belaka, akan tetapi, apakah daya kita? Suthai hanya seorang pertapa wanita, akan tetapi akupun hanyalah seorang Tihu yang tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri urusan ketata-negaraan yang berada dalam tangan para pembesar tinggi. Mungkin baru sepatah kata saja keluar dari mulutku, aku akan ditangkap dan dihukum dengan semua keluargaku, dituduh pemberontak! Biarlah, Suthai, kalau kau memang sudi menolong dan hendak bermurah hati, jangan pikirkan dan ingat kepada pemerintah. Anggap saja bahwa kau bukan menolong seorang Tihu, akan tetapi hanya menolong rakyat atau penduduk An-kian yang sedang berada dalam ketakutan dan kecemasan dengan adanya gangguan penjahat itu.”

Pek I Nikouw mengangguk. “Yap-Tihu, pinni sudah tahu keadaanmu dan seringkali pinni hanya dapat menarik napas panjang. Seorang pembesar seperti Taijin ini tidak layak menghambakan diri kepada pemerintah yang demikian buruknya. Alangkah baiknya kalau Taijin menjadi pembesar pemerintah yang baik. Tentu penduduk didaerah ini akan menikmati hidup sebagaimana mestinya. Akan tetapi, segala peristiwa yang terjadi pada seseorang itu timbul dari perbuatannya sendiri, sebagai buah daripada pohon yang ditanamnya. Taijin seorang yang jujur dan bersih, akan tetapi sayang sekali Taijin kurang memperhatikan keadaan keluarga sendiri hingga tidak tahu bahwa didalam rumah telah ada seorang penjaga yang cukup tangguh.”

Yap-Tihu terkejut dan memandang kepada Nikouw itu dengan bingung dan heran. “Apakah maksud Suthai?”

Pek I Nikouw tersenyum. “Sudahlah, nanti Taijin tentu akan mengerti sendiri. Sekarang pulanglah dengan hati tenteram oleh karena malam hari ini pinni akan mengutus murid pinni pergi mencari dan menangkap penjahat itu!”

Bukan main girang hati pembesar itu. Walaupun ia belum tahu siapa adanya murid Nikouw itu, akan tetapi ia telah merasa lega, oleh karena kalau murid itu tidak pandai, tidak nanti Nikouw tua ini akan mengutusnya menangkap penjahat yang ganas! Ia lalu menjura dan mengaturkan terima-kasihnya, lalu pulang ke gedungnya.

Setelah pembesar itu pergi, Pek I Nikouw lalu memanggil Beng Lian. Gadis ini menghadap kepada gurunya dan menerima perintah untuk keluar pada malam hari itu, meronda diseluruh kota dan mengintai penjahat yang sedang merajalela di An-kian.

“Beng Lian, kau belum pernah bertempur menghadapi lawan yang sungguh-sungguh, maka kuharap kau harus berlaku hati. Kalau kiranya penjahat itu terlalu kuat bagimu kau boleh pergunakan jarummu untuk merobohkannya....”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.