Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 03

Novel silat online karya Kho Ping Hoo, Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 03
Sonny Ogawa

Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 04

Nikouw tua ini memberi banyak nasehat kepada Beng Lian yang segera mempersiapkan diri untuk melakukan tugas pertama semenjak ia belajar silat itu. Biarpun usianya pada waktu itu baru lima belas tahun, namun ia memiliki ketabahan hati yang besar dan keberaniannya ini dipertebal karena pengertiannya bahwa ia sedang menghadapi semacam tugas kebajikan, yakni menolong orang terhindar dari pengaruh yang jahat.

Novel Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Sementara itu, setelah hari menjadi gelap, diatas genteng Yap-Tihu berputar- putar bayangan putih yang cepat sekali gerakannya. Bayangan ini bukan lain ialah Pek I Nikouw sendiri yang segera menuju kebagian belakang gedung itu, lalu mengintai dari jendela kamar yang berada disudut kiri sebelah belakang.

Didalam kamar itu nampak seorang pemuda yang tampan dan yang sedang membaca sebuah kitab tebal dengan asyiknya. Karena ringannya gerakan kaki Pek I Nikouw, maka pemuda itu sama sekali tidak mendengar sesuatu dan tetap membaca dengan asyik. Tiba-tiba Nikouw itu mengajunkan tangan kirinya dan sebuah benda putih melayang dan menancap didepan pemuda itu, diatas meja dekat tangannya!

Orang akan merasa heran melihat betapa pemuda yang berpakaian sebagai seorang sasterawan muda itu dengan gerakan cepat sekali telah meniup padam lampu didepannya, kemudian sekali ia mengayunkan tubuhnya, ia telah melompat keluar dari jendela dan terus meloncat keatas genteng! Bukan main cepatnya gerakan pemuda ini yang ternyata telah menggunakan gerak loncat Burung Walet Menyambar Belalang.

Akan tetapi, betapapun cepatnya gerakan pemuda itu, gerakan Pek I Nikouw lebih cepat lagi hingga ketika pemuda itu telah berada diatas genteng dan menengok kesana-kemari mencari dengan mata, disitu kosong dan sunyi tak terlihat bayangan seorang pun!

Pemuda itu terheran, kemudian menarik napas panjang dan melompat turun lalu masuk kedalam kamarnya kembali. Di nyalakannya lagi api lampu di mejanya dan diamat-amatinya jarum kecil yang menancap dimejanya. Ternyata bahwa jarum itu digunakan untuk menyambitkan sepucuk kertas yang dilipat kecil.

Ketika pemuda itu mengambil jarum dan membuka lipatan kertas, maka ternyata kertas itu merupakan sepucuk surat yang ditulis dengan tulisan tangan halus. Ia membaca dengan cepat lalu menggeleng kepala dan berbisik,

“Ah, benar lihay sekali Pek I Nikouw! Kalau begitu, suhu berkata benar!” Dibacanya sekali lagi isi surat seperti berikut,

Yap Kongcu,
Mungkin kau pernah mendengar nama pinni dari suhumu. Dan karena pinni kenal baik suhumu kakek pengemis itu, maka biarlah pinni mewakilinya memberi nasehat kepadamu. Yap-Kongcu, kau telah mempelajari ilmu kepandaian, untuk apa kepandaianmu itu apabila tidak dipergunakan pada saat yang perlu! Kentang akan menjadi busuk kalau disimpan saja, sedangkan ilmu kepandaian akan menjadi sia-sia kalau tidak dipergunakan.

Suhumu melarang kau memperlihatkan kepandaian dengan maksud agar supaya kau tidak menyombongkan kepandaian itu, akan tetapi, kalau kau mempergunakannya untuk menolong rakyat dan membasmi penjahat yang mengacau An-kian, suhumu pasti takkan merasa keberatan. Pinni yang akan bertanggung-jawab kalau kelak ia marah kepadamu!
Dari pinni, Pek I Nikouw.

Pemuda ini adalah Yap Yu Tek, putera tunggal dari Yap-Tihu. Semenjak kecilnya, pemuda ini tekun mempelajari ilmu surat-menyurat, sesuai dengan kehendak ayahnya. Akan tetapi semenjak kecil pemuda ini ingin sekali mempelajari ilmu silat. Ia tertarik membaca sejarah dan cerita tentang kepahlawanan dan kegagahan para pendekar budiman.

Maka berkali-kali ia minta kepada ayahnya agar supaya ia diperkenankan belajar silat. Akan tetapi ayahnya berpendirian lain. Menurut pendapat orang-tua ini, kepandaian silat hanya akan mendatangkan melapetaka belaka.

“Lihatlah betapa banyaknya orang hukuman itu yang sebagian besar adalah orang yang tadinya belajar silat! Mereka mempergunakan kepandaian mereka untuk melakukan pelbagai kejahatan!,” katanya kepada anak tunggalnya. Dan Yu Tek tak berani membantah karena ia memang amat berbakti kepada ayahnya. Pernah pula ia mengemukakan pendapatnya,

“Ayah, bukankah segala kejahatan yang timbul itu tergantung dari batin seseorang?” Memang demikian kalau dipikirkan sepintas lalu belaka! Akan tetapi, orang yang tadinya lemah dan tidak berkesempatan melakukan kejahatan, sekali ia telah memiliki kepandaian dan kekuatan, ia lalu menjadi lupa dan berubah jadi jahat! Keadaan diluar seringkali lebih berkuasa daripada tenaga batin.

“Jangan, anakku, daripada kau membuang waktu yang berharga dengan segala macam ilmu memukul orang dan ilmu membunuh orang, lebih baik kau pergunakan untuk mempelajari ilmu kesusasteraan.”

Dan anak itu tak berani lagi bicara tentang ilmu silat. Pada suatu malam, ia membaca cerita tentang kegagahan pahlawan zaman dahulu. Demikian tertarik hatinya hingga ia berkata seorang diri yang diucapkan dengan kata cukup keras,

“Ah, alangkah senangnya kalau aku bisa mencontoh perbuatan para pendekar gagah ini...” Tiba dari luar jendela terdengar suara orang menjawab kata-katanya ini,

“Apa susahnya? Kemauan besar disertai ketekunan memungkinkan segalanya!”

Yu Tek terkejut dan anak yang baru berusia sepuluh tahun itu lalu lari menghampiri jendela dan menjenguk keluar. Dilihatnya seorang tua yang berpakaian penuh tambalan duduk dibawah jendela kamarnya. Entah bagaimana kakek pengemis itu dapat masuk kedalam pekarangan yang dikelilingi tembok tinggi itu. Kakek ini tangan kirinya membawa sebatang tongkat bambu dan tangan kanannya membawa sebuah cawan arak yang sudah tua. Melihat keadaan pengemis ini, Yu Tek bertanya,

“Kakek tua, kaukah yang mengucapkan kata tadi?”

“Disini tidak ada orang lain, kalau bukan aku yang mengeluarkan kata-kata tadi, pasti bayanganku!,” jawab kakek itu sambil memandang dengan matanya yang bersinar ganjil dan tajam.

Yu Tek mengamat-amati pengemis itu dan hatinya menjadi ragu? “Kakek,” ia berkata dengan suara mengandung celaan. “Kau sendiri kulihat kurang memiliki kemauan keras dan ketekunan!”

Kini pengemis itu bangkit berdiri dan memandang kepada anak itu dengan heran. Setelah ia berdiri, ternyata. bahwa tubuhnya amat tinggi dan kurus. “Eh, Kongcu, apakah artinya kata-katamu tadi?”

“Kakek tua, kau tadi menyatakan bahwa dengan ketekunan dan kemauan besar, segala apa mungkin dicapai. Akan tetapi, kalau kau memiliki ketekunan dan kemauan besar, tak mungkin kau berada dalam keadaan miskin dan sengsara seperti ini!”

Kakek itu tertawa gelak hingga suara itu bergema didalam gedung. Ayah Yu Tek yang kebetulan lewat tak jauh dari tempat itu segera menghampiri kamar anaknya dan ketika mendengar langkah kaki orang mendatangi dari dalam, tiba-tiba tubuh kakek-pengemis itu berpusing-pusing dan lenyap!

Yap-Tihu muncul dan memandang kepada anaknya yang berdiri didekat jendela, lalu bertanya heran, “Yu Tek, suara apakah tadi yang seperti suara orang tertawa keras itu?”

Yu Tek sedang berdiri termenung karena terkejut melihat betapa tubuh kakek pengemis itu menghilang, maka teguran ayahnya itu dijawabnya dengan gagap, “Suara... mungkin suara burung malam, ayah!”

Tihu itu masuk kedalam kamar, menjenguk keluar jendela, lalu menutup jendela itu dan berkata, “Sudah jauh malam, nak. Tidurlah. Tak baik membuka jendela diwaktu malam, kau bisa terkena angin.” Kemudian ia meninggalkan kamar puteranya.

Setelah ayahnya pergi, Yu Tek kembali menghampiri jendela dan membukanya. Ternyata kakek-pengemis yang tadi menghilang, kini telah berdiri lagi ditempat semula!

“Kongcu, kau mempunyai pertimbangan yang wajar dan kecerdasan yang baik. Tadi kau mengagumi para pendekar, sukakah kau belajar silat agar kau memiliki kegagahan seperti para pendekar itu?”

“Tentu saja aku akan suka sekali belajar silat, akan tetapi, ayah melarangku dan siapa pula yang sanggup mengajarku?”

“Kongcu, biarpun tua dan buruk, kiranya aku Tiong-san Lokai masih sanggup menggemblengmu menjadi seorang pendekar gagah!”

“Akan tetapi, kakek tua, keadaanmu sendiri... oya, kau belum menjawab pernyataanku tadi!”

“Tentang kemiskinanku? Ha, ha, Kongcu, kalau aku ingin kaya, apakah susahnya? Akan tetapi aku lebih suka menjadi pengemis tua, hidup mengembara sebagai seekor burung, bebas lepas diudara dan aku mengemis bukan untuk mencari sesuap nasi, akan tetapi aku mengemis untuk membebaskan diri dari segala keinginan yang tiada habisnya.”

Ucapan kakek tua ini terlalu sulit untuk dimengerti oleh Yu Tek, akan tetapi sikap kakek itu menarik hatinya, maka Yu Tek lalu mempersilakan kakek itu masuk kedalam kamarnya dimana mereka bercakap-cakap sampai jauh malam!

Pengemis tua ini adalah seorang luar biasa yang berilmu tinggi, disebut orang Tiongsan Lokai atau Pengemis Tua dari Tiongsan. Melihat ketajaman otak dan keinginan Yu Tek untuk belajar silat, hati kakek ini tertarik sekali, maka ia lalu mengangkat Yu Tek sebagai muridnya dengan diam-diam.

Yu Tek telah menyaksikan kepandaian kakek itu ketika menghilang dari hadapannya pada saat ayahnya masuk kekamar, lebih-lebih ketika ia telah mengadakan pembicaraan dengan kakek itu yang ternyata biarpun berpakaian pengemis, namun memiliki pemandangan yang amat luas dan pengalaman yang tidak kalah hebatnya dengan pengalaman para pendekar didalam bukunya, maka iapun tanpa ragu pula lalu menjatuhkan diri berlutut didepan kakek itu dan pada waktu menjelang fajar ia telah mengangkat kakek itu sebagai gurunya!

“Yu Tek,” kata Tiongsan Lokai kepada muridnya, “Aku mengangkat kau sebagai muridku hanya dengan pengharapan agar supaya kelak kau dapat menjadi seorang gagah dan seorang pendekar pembela keadilan. Kaulah yang akan mengharumkan namaku dan yang akan membikin aku mati dengan mata meram dan rela apabila kau kelak menjadi seorang yang patut disebut pendekar gagah.

"Aku tidak menghendaki sesuatu darimu, kecuali sebuah syarat yang harus kau taati benar. Syarat itu ialah bahwa sebelum kau tamat belajar silat dan mendapat perkenanku, kau tidak boleh sekali-kali membocorkan keadaanmu kepada orang lain! Bahkan kepada ayahmu sendiri kau tidak boleh memberitahukan tentang pelajaran silat dariku ini. Kalau kau membocorkan hal ini, jangan kau menyesal kalau aku tak mau datang lagi dan selamanya aku takkan mau mengakui kau sebagai muridku!”

Yu Tek berjanji akan menaati pesan suhunya ini dan semenjak saat itu, ia menjadi murid Tiongsan Lokai! Beberapa malam sekali, kakek itu dengan diam-diam datang kekamar Yu Tek dan mereka lalu berlatih silat dipekarangan belakang, diwaktu malam hari. Yu Tek ternyata berotak terang dan cepat sekali ia dapat menguasai dasar ilmu silat yang diajarkan oleh suhunya hingga Tiongsan Lokai menjadi girang sekali. Ia menggembleng pemuda itu sampai lebih kurang delapan tahun.

Seringkali kakek jembel ini meninggalkan muridnya sampai beberapa bulan dan meninggalkan pesan agar supaya muridnya ini berlatih seorang diri dan mematangkan segala pelajaran ilmu silat yang telah diajarkannya. Kalau ia datang kembali, ia menguji muridnya itu dan memberi pelajaran selanjutnya.

Selama itu, benar saja Yu Tek menyimpan rahasia ini rapat hingga tak seorangpun dapat menyangka bahwa pemuda yang halus tutur-sapanya dan sopan-santun ini adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi!

Akan tetapi pada suatu malam, ketika guru dan murid. itu sedang berlatih silat, dari jauh nampak sepasang mata yang tajam mengintai dan ketika menjelang fajar saat si kakek jembel hendak meninggalkan gedung Tihu, dengan tiba-tiba melayang dan berpusing-pusing sesosok bayangan putih lalu berdiri dihadapannya.

“Lokai, kau diam-diam telah mempunyai seorang murid yang berbakat! Kionghi, kionghi! (Selamat).”

Kakek-jembel itu tertawa-tawa riang ketika melihat siapa orangnya yang menegurnya diwaktu fajar itu. Ternyata bahwa orang itu adalah seorang Nikouw berbaju putih yang lemah-lembut gerakannya, akan tetapi yang memiliki sepasang mata tajam luar biasa.

“Pek I Nikouw, matamu memang awas benar, akan tetapi kuharap kau tidak akan membocorkan rahasia ini.”

“Untuk apa pinni membocorkan rahasiamu? Aku hanya mendengar dari muridku bahwa ia telah melihat bayangan hitam berkelebat masuk digedung Tihu dan keluar pula diwaktu fajar menjingsing. Menurut muridku, bayangan itu cepat sekali gerakannya hingga ia tak dapat melihat siapa orangnya, maka karena ingin tahu, terpaksa pinni melakukan penjelidikan. Tidak tahunya kau orang-tua yang keluar masuk gedung Tihu! Sungguh tak pernah kuduga!”

“Hm, hm, aku sudah melihat muridmu itu. Gadis cilik itu memang pantas menjadi muridmu. Ia berbakat baik sekali,” kata kakek jembel pula.

Demikianlah, maka diseluruh kota itu, hanya Pek I Nikouw saja yang tahu bahwa putera Yap-Tihu memiliki ilmu kepandaian tinggi karena dilatih oleh Tiongsan Lokai. Hingga ketika Tihu itu datang minta pertolongannya untuk menghalau penjahat yang mengacau kota An-kian, ia mengeluarkan ucapan mengandung sindiran itu.

Kemudian, pada malam hari itu, Pek I Nikouw menggunakan kepandaiannya untuk membangkitkan semangat Yu Tek agar pemuda ini tidak bersembunyi saja dan suka turun tangan membasmi penjahat yang mengacau kota An-kian dan yang membuat kepala ayahnya menjadi pusing. Sebenarnya, Yu Tek sudah mendengar tentang gangguan penjahat itu.

Akan tetapi oleh karena taat akan perintah suhunya untuk menyimpan rahasia, maka ia tidak berani keluar. Hanya didalam hatinya ia mengharapkan kedatangan penjahat itu untuk mencoba mengganggu gedung ayahnya, hingga ia mendapat ketika untuk berhadapan dan menyerang penjahat itu!

Setelah membaca surat Pek I Nikouw itu, Yu Tek termenung. Apakah suhunya takkan marah? Suhunya dulu berpesan agar ia tidak membuka rahasia, kalau ia keluar dengan diam didalam gelap untuk menyelidiki dan mencari penjahat itu, bukan berarti bahwa ia membuka rahasia! Ia akan bertindak dengan diam, diluar tahunya semua orang!

Apalagi Pek I Nikouw sudah menanggung bahwa apabila suhunya marah, Nikouw itu yang akan bertanggung-jawab, sedangkan ia maklum bahwa suhunya amat mengindahi pendeta wanita itu. Setelah membolak-balikkan pikirannya, akhirnya Yu Tek lalu berganti pakaian yang ringkas dan melompat keluar dari jendela kamarnya. Ia naik keatas genteng dengan gerakan yang amat ringan, kemudian berlari-lari diatas genteng rumah orang sambil memasang mata.

Menjelang tengah malam, ia melihat bayangan orang diatas rumah seorang hartawan disebelah barat. Hatinya berdebar dan ia lalu melompat sambil bersembunyi, mengintai orang itu. Ternyata bayangan itu adalah bayangan seorang laki tinggi besar yang gerakannya cepat dan ringan sekali, menandakan bahwa ia memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.

Ketika Yu Tek melihat bentuk tubuh orang itu dan melihat pula sepasang golok diselipkan dipunggungnya, ia maklum bahwa inilah penjahat yang mengganggu keamanan kota An-kian, karena ia telah mendengar bahwa penjahat itu memang bersenjata sepasang golok dan tubuhnya tinggi besar. Melihat betapa penjahat itu sedang membuka genteng untuk mengintai kedalam, ia lalu melompat kedekatnya sambil membentak,

“Hei, bangsat rendah jangan kau mengacau dikota kami!”

Penjahat itu terkejut sekali oleh karena ia tidak mendengar tindakan kaki orang yang tiba membentaknya itu. Ia maklum bahwa ia menghadapi lawan tangguh, maka tanpa banyak cakap lagi, ia lalu mencabut sepasang goloknya dan menerjang Yu Tek dengan gerakan yang cepat dan berbahaya.

Yu Tek yang bertangan kosong lalu memperlihatkan kelincahannya dan menghadapi penjahat itu dengan ilmu silat tangan kosong Pek-houw jiauw-kang. Semacam ilmu silat yang mempergunakan kedua tangan dibuka untuk menangkap dan mencenkeram lawan, ilmu silat yang khusus diciptakan untuk menghadapi lawan yang bersenjata dengan tangan kosong.

Yu Tek mempergunakan kelincahan dan keringanan tubuhnya untuk mengelak dari setiap sambaran golok dan balas menyerang dengan cengkeraman dicampur totokan yang tidak kurang hebatnya. Akan tetapi, ternyata permainan siang-to atau sebatang golok dari penjahat itu sangat mengagetkannya, hingga diam-diam Yu Tek merasa menyesal mengapa ia tadi tidak mempersiapkan senjata.

Gurunya adalah seorang tokoh dari Tiongsan yang telah menciptakan semacam ilmu tongkat yang luar biasa hingga dengan sebatang tongkat bambunya, Tiongsan Lokai itu telah berkeliling negeri, dan dengan tongkat bambunya itu ia telah menjatuhkan entah berapa banyak lawan yang bersenjata tajam.

Yu Tek juga diberi pelajaran Tiongsan Tung-hwat atau ilmu tongkat dari Tiongsan ini, maka kini ia merasa kecewa mengapa tadi ia tidak mencari sebatang kayu atau bambu untuk digunakan menghadapi lawan yang tangguh ini. Dengan bertangan kosong, biarpun ia dapat mempergunakan kegesitannya untuk menjaga diri, namun ia tidak diberi banyak kesempatan untuk balas menyerang dan keadaannya lambat-laun menjadi terdesak!

Yu Tek lalu mencari akal. Jika pertempuran diatas genteng ini dilanjutkan, tak mungkin baginya untuk mencari sebatang kayu ranting untuk digunakan sebagai senjata tongkat, maka ia lalu mencari kesempatan dan kemudian melompat turun kebawah sambil berseru, “Penjahat rendah! Kalau kau memang jantan, mari kita lanjutkan pertempuran diatas tanah!”

Penjahat itu tertawa mengejek oleh karena ia maklum bahwa pemuda itu hebat sekali ilmu ginkangnya hingga menghadapinya diatas genteng memang tidak menguntungkan baginya, maka ia cepat mengejar dan melompat turun sambil menyerang dengan goloknya semakin hebat pula! Pertempuran dilanjutkan diatas tanah, diterangi oleh bulan sabit yang cukup terang.

Sayang sekali bahwa tempat dimana mereka melompat turun adalah semacam pelataran yang bersih dan tidak kelihatan ada ranting atau kayu sepotong pun! Sedangkan penjahat itu setelah berada diatas tanah, makin hebat serangannya hingga Yu Tek semakin terdesak olehnya!

Kemudian, tiba-tiba penjahat itu merobah ilmu goloknya dan kini ia memainkan ilmu golok Tee-tong-too, yakni ilmu golok yang dimainkan dengan bergulingan cepat dan kedua goloknya menyambar kearah kaki Yu Tek!

Yu Tek merasa terkejut sekali dan kemana saja ia melompat, selalu tubuh lawannya yang bergulingan itu telah datang pula dan goloknya menyambar hebat. Menghadapi serangan dari bawah itu, Yu Tek sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melakukan serangan balasan, maka ia menjadi gugup sekali.

Sebetulnya, dalam hal ilmu silat dan kegesitan, ia tak usah kalah oleh penjahat itu, akan tetapi oleh karena selama hidupnya ia belum pernah menghadapi lawan dan belum pernah bertempur, maka ia kalah pengalaman. Apalagi kini ia harus menghadapi lawannya yang tangguh itu dengan tangan kosong, maka tentu saja keadaannya menjadi berbahaya sekali.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan terdengar bentakan halus dan merdu, “Penjahat kurang-ajar, jangan kau memperlihatkan kesombongan di An-kian!”

Dan bersamaan dengan lenjаpnya bentakan itu, sebatang pedang dengan gerakan luar biasa telah datang menyambar dan menyerang kearah leher penjahat itu! Penjahat yang sedang menyerang Yu Tek dengan ilmu golok Tee-tong-too itu, menjadi sangat terkejut karena melihat betapa pedang yang menyambarnya luar biasa cepatnya.

Maka ia lalu menggulingkan dirinya dan memutar goloknya dikanan-kiri untuk melindungi tubuh, kemudian ia melompat bangun dan memandang. Alangkah heran dan terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerangnya tadi adalah seorang gadis remaja berusia paling banyak lima belas tahun!

Maka ia menjadi marah sekali dan memandang rendah. Dengan seruan marah ia menyerbu gadis itu yang tak lain ialah Beng Lian yang menjalankan perintah gurunya untuk mencari sipenjahat pengganggu kota An-kian.

Melihat datangnya serangan yang hebat itu, Beng Lian lalu memutar pedangnya dan memainkan ilmu pedangnya yang cepat dan kuat. Gadis ini ternyata memiliki kelincahan tubuh yang bahkan lebih lincah daripada pemuda tadi. Maka si penjahat tak berani memandang rendah lagi dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk mendesak.

Sementara itu, Yu Tek yang melihat bahwa gadis itu cukup tangguh, lalu mencari sebatang ranting kayu. Setelah mendapat sebatang ranting kayu yang sudah kering sebesar lengan tangan, ia lalu melompat maju lagi dan kini ia merupakan seekor harimau tumbuh sajap!

Rantingnya bergerak bagaikan seekor ular hidup dan menyerang penjahat itu mengarah jalan darahnya! Bukan main sibuknya penjahat itu ketika dikerojok oleh dua anak-muda yang gesittangkas ini, hingga ia segera mengambil keputusan untuk melarikan diri. Akan tetapi, pedang Beng Lian dan ranting ditangan Yu Tek mencegahnya dan tidak memungkinkannya untuk melarikan diri hingga akhirnya ia melawan dengan nekad!

Sementara itu, mendengar suara senjata beradu, tuan rumah dan sekalian penghuni rumah itu telah terbangun dan segera membawa obor dan memburu ketempat itu. Mereka terkejut sekali melihat bahwa didekat rumah itu terjadi pertempuran yang hebat antara seorang laki-laki tinggi besar dengan sepasang anak muda. Yang lebih mengherankan mereka ketika mengenal bahwa sepasang pemuda itu adalah putera Yap-Tihu dan anak perempuan yang berdiam dikelenteng Kwan-Im-Bio!

Tak mereka sangka-sangka bahwa kedua orang muda itu ternyata pandai ilmu silat, maka terdengar seruan-seruan kagum disana-sini. Seorang diantara mereka lalu berlari kerumah Tihu yang tidak jauh dari situ untuk memberi laporan. Bukan main terkejutnya Yap-Tihu ketika mendengar ini. Ia tidak percaya dan segera lari kekamar anaknya, dan benar saja Yu Tek tidak berada didalam kamarnya.

Maka Tihu itu lalu berlari-lari mengikuti orang itu, diikuti pula oleh banyak penjaga, menuju kerumah hartawan dimana sedang berlangsung pertempuran hebat itu. Ketika Yap Tihu tiba ditempat itu, ia hampir tidak percaya kepada kedua matanya sendiri melihat betapa puteranya dengan gagah sedang mendesak penjahat dengan sebatang ranting kayu, bersama gadis kelenteng yang nampak lemah lembut itu!

Pada saat itu, Yu Tek dan Beng Lian sedang mengurung penjahat itu dengan senjata mereka dan tiba dengan gerakan menempel dan menggait, ranting kayu ditangan Yu Tek berhasil membetot dan merampas sebatang golok ditangan kiri penjahat itu, hingga tak dapat dicegah pula golok itu terlepas dari pegangan.

Si penjahat terkejut dan sebelum ia dapat mengelak, pedang Beng Lian telah menusuk lengan kanannya hingga golok ditangan kanannya terlepas pula. Yu Tek melepaskan tendangan kilat kearah sambungan lututnya hingga tanpa ampun lagi penjahat itu roboh.

Yap-Tihu segera memberi perintah kepada para penjaga dan beberapa orang penjaga lalu menubruk dan mengikat kaki tangan penjahat itu dan mengiringnya ketempat tahanan. Yu Tek merasa terkejut dan takut melihat ayahnya telah berada disitu, akan tetapi ayahnya tidak marah, bahkan lalu memeluknya tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun.

Ah, ia seperti buta saja, tidak melihat bahwa putera tunggalnya memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas saja Pek I Nikouw mencelanya sebagai seorang yang kurang memperhatikan keluarganya. Semua orang mengeluarkan pujian kepada Yu Tek, dan ketika pemuda ini teringat akan Beng Lian yang tadi datang membantunya, ia segera berpaling sambil berkata kepada ayahnya,

“...Ayah, nona inilah yang berjasa besar dalam menangkap penjahat itu.” Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat bahwa ditempat itu telah kosong dan gadis itu entah telah pergi kemana!

Yap-Tihu tersenyum dan berkata, “Aku tahu, Tek-ji, nona tadi adalah murid dari Pek I Nikouw yang memang kumintai pertolongannya.”

Pulanglah mereka dengan hati girang dan berita tentang penangkapan penjahat yang ditakuti dan dibenci itu oleh putera Yap-Tihu segera menjalar luas. Yu Tek sendiri semenjak pertempuran dan pertemuannya dengan Beng Lian, lalu sering keluar pintu mengunjungi Kuil Kwan-Im-Bio, tidak saja untuk menemui Pek I Nikouw dan minta petunjuk dan nasehat, akan tetapi yang terutama sekali ialah untuk bertemu dengan Beng Lian!

Ketika Tiongsan Lokai datang dan mendengar tentang penangkapan penjahat itu, ia tidak menjadi marah, apalagi setelah Yap Yu Tek menceritakan kepada suhunya bahwa ia baru turun tangan mengeluarkan kepandaian setelah mendapat anjuran dari Pek I Nikouw.

“Betapapun juga, suhu, teecu tidak menyebut nama suhu dihadapan siapapun juga, bahkan ketika ayah bertanya tentang suhu, teecu berkata terus terang bahwa teecu tidak berani menyebut nama suhu sebelum mendapat perkenan dari suhu sendiri,” kata Yu Tek kepada gurunya, ketika pada malam hari gurunya datang mengunjungi kamarnya seperti biasa.

“Syukurlah kalau begitu, muridku. Kukatakan terus terang kepadamu bahwa apabila orang luar mendengar bahwa kau adalah murid Tiongsan Lokai, berarti kau telah menarik datangnya bahaya yang mengancammu. Sekarang lebih baik kuceritakan terus terang kepadamu bahwa aku dimusuhi oleh banyak orang-orang jahat yang dulu telah roboh ditanganku.

"Mereka ini senantiasa berusaha untuk membalas dendam hingga boleh dibilang bahwa aku selalu diintai bencana. Hal ini sama sekali tidak kutakutkan karena sebagai seorang gagah, sudah seharusnya orang yang berani berbuat harus berani bertanggung-jawab atas segala akibat perbuatannya itu.

"Akan tetapi, kalau sampai mereka itu tahu bahwa kau adalah seorang muridku, aku kuatir kalau-kalau mereka itu datang dan mengganggu serta memusuhi kau dan keluargamu. Inilah sebabnya maka aku minta kepadamu supaya merahasiakan hal ini.”

Mendengar ucapan gurunya ini, Yu Tek teringat akan kata-kata dan larangan ayahnya bahwa orang yang mempelajari ilmu silat itu tak lain hanya mendatangkan musuh dan memupuk dendam dan sakit-hati dalam dada orang yang dikalahkannya! Kini ucapan itu terbukti pada diri gurunya! Akan tetapi, ia merasa menyesal dan tidak setuju dengan pendirian suhunya ini, maka jawabnya,

“Maafkan teecu, suhu, dan harap suhu anggap ucapan yang hendak teecu sampaikan ini sebagai pendirian seorang yang masih bodoh. Teecu yakin bahwa orang yang dulu suhu robohkan adalah orang-orang jahat yang memang patut dibasmi dan perbuatan suhu itu memang adil dan benar. Mengapa harus ditakuti segala usaha pembalasan dendam mereka?

"Teecu sebagai murid suhu berkewajiban untuk menjunjung tinggi nama suhu, dan sudah selayaknya pula apabila teecu membantu suhu sekuat tenaga untuk menghadapi mereka yang datang hendak menuntut balas itu. Kalau suhu minta kepada teecu supaya merahasiakan kenyataan bahwa teecu adalah murid suhu bukankah ini berarti bahwa suhu hendak membikin teecu menjadi seorang penakut dan pengecut? Maaf, teecu mohon petunjuk, suhu, karena teecu masih belum mengerti benar.”

Suhunya menghela napas panjang. “Memang tidak keliru pendirianmu itu, muridku. Akan tetapi ketahuilah bahwa sukar sekali bagi seorang manusia untuk mengetahui dan menginsyafi akan kesalahan diri sendiri demikianpun halnya dengan orang yang pernah kukalahkan itu. Kita boleh menyebut mereka sebagai orang-orang jahat, akan tetapi belum tentu mereka menganggap dirinya sendiri jahat!

"Bahkan sebaliknya, mereka itulah menganggap aku seorang jahat dan yang suka mencampuri urusan mereka. Dan mereka itu mempunyai kawan-kawan, murid-murid, dan saudara-saudara yang tentu saja membela mereka, memusuhi aku tanpa mengetahui duduknya persoalan dan otomatis menganggap aku jahat pula, seperti halmu sendiri yang biarpun tak menyaksikan sendiri kejahatan musuh-musuhku, telah percaya penuh bahwa tentu mereka yang berada difihak salah dan mereka yang jahat!

"Inilah sebabnya, muridku, maka aku tidak mau menarik-narik kau terjerumus dalam jurang balas-membalas ini. Harus kuakui bahwa biarpun aku yakin bahwa orang yang pernah kujatuhkan itu memang orang jahat akan tetapi kawan mereka atau saudara mereka yang sekarang ikut memusuhi aku belum tentu terdiri dari orang jahat.”

“Ah, kalau begitu betul juga kata-kata ayah...,” tanpa disengaja terlompat kata-kata ini dari mulut Yu Tek.

“Maksudmu?,” tanya gurunya.

Karena sudah terlanjur mengucapkan kata itu, terpaksa Yu Tek lalu menceritakan betapa dulu ayahnya melarang dia belajar ilmu silat oleh karena katanya orang yang memiliki ilmu kepandaian ini, hanya akan melibatkan dirinya dalam ikatan balas-membalas yang tiada habisnya. Tiongsan Lokai menarik napas panjang.

“Memang ada benarnya juga kata-kata ayahmu itu. Akan tetapi kalau semua orang berpendirian seperti ayahmu itu, habis siapakah yang akan menghadapi orang-orang jahat yang menggunakan kepandaian mereka untuk berlaku sewenang-wenang. Siapakah yang akan membela orang lemah yang tertindas? Memang harus kita insyafi bahwa segala apa didunia ini selalu bermuka atau bersifat dua, ada baiknya pun ada buruknya, ada untungnya tentu ada pula ruginya. Akan tetapi, asalkan kita dapat mengatur langkah, memilih jalan yang benar, kita takkan tersesat.”

Beberapa hari kemudian, Tiongsan Lokai yang tergerak hatinya oleh segala pembicaraan yang dilakukan dengan muridnya, diam-diam diluar setahu muridnya, lalu menemui Yap-Tihu dan memperkenalkan dirinya. Bukan main tercengang dan herannya hati pembesar itu ketika melihat bahwa orang yang memberi pelajaran ilmu kepandaian silat kepada puteranya adalah seorang kakek jembel!

Kedua orang-tua ini lalu mengadakan percakapan dan setelah bercakap-cakap, barulah timbul rasa kagum dalam hati Yap-Tihu oleh karena biarpun diluarnya mengenakan pakaian tambal-tambalan, namun didalam tubuh kakek jembel itu terdapat batin yang luhur dan semangat yang gagah serta pengetahuan yang tinggi dan luas.

Mereka lalu merundingkan tentang Yu Tek dan ketika Tiongsan Lokai mengusulkan agar pemuda itu dijodohkan dengan Beng Lian murid Pek I Nikouw yang tangkas dan yang telah memperlihatkan kegagahannya ketika menangkap penjahat itu, Yap-Tihu menyatakan persetujuannya.

Memang semenjak mengetahui bahwa nona baju putih yang berpedang dan membantu puteranya menangkap penjahat itu adalah murid kepala Nikouw di Kwan-Im-Bio, seringkali ia mengadakan kunjungan ke Bio itu dan melihat betapa gadis itu dalam hidupnya sehari merupakan seorang gadis remaja yang selain cantik, juga lemah-lembut, halus dan sopan-santun.

Pula Beng Lian mempunyai pengertian dalam hal kepandaian membaca-menulis yang cukup baik, serta mempelajari pekerjaan tangan dan kepandaian-kepandaian puteri lainnya.

Demikianlah, setelah menanyakan pendapat Yu Tek dan pemuda ini hanya menyerahkan hal perjodohannya kepada ayahnya, yang berarti bahwa pemuda itu tidak menolaknya, Yap-Tihu lalu mengajukan pinangan kepada Siok Thian Nikouw, ibu Beng Lian, yang diterima dengan penuh kebahagiaan.

Siapakah yang takkan merasa bahagia dan girang kalau puterinya dipinang oleh seorang Tihu untuk dijodohkan dengan putera tunggalnya yang selain cakap dan tampan, juga memiliki kepandaian Bun dan Bu (kesusasteraan dan keperwiraan) yang tinggi?

Juga Beng Lian sendiri diam-diam merasa bahagia, karena memang semenjak pertemuannya dengan pemuda itu ketika mengerojok dan menangkap penjahat, bayangan pemuda yang gagah dan tampan itu jarang meninggalkan ruangan matanya!

Semenjak penangkapan penjahat itu, baik Yu Tek maupun Beng Lian mempergiat latihan mereka dari guru masing, bahkan kini Tiongsan Lokai mengajar Yu Tek dengan terang-terangan, menurunkan ilmu tongkat Tiongsan tung-hwat yang aneh. Adapun Pek I Nikouw juga menurunkan ilmu pedang Lima Kembang Teratai atau Ngo-lian Kiam-hwat.

Setahun kemudian semenjak peristiwa penangkapan penjahat yang mengganggu kota An-kian, kepandaian kedua orang muda itu telah maju pesat. Tiongsan Lokai lalu meninggalkan An-kian untuk melakukan perjalanannya merantau seperti biasa dengan berjanji bahwa dua tahun kemudian, apabila hendak dilangsungkan pernikahan antara muridnya dengan Beng Lian, ia akan datang menghadiri upacara pernikahan itu.

Semenjak bertunangan, atas nasehat Pek I Nikouw, tidak jarang Yu Tek dan Beng Lian berlatih silat bersama untuk memperdalam ilmu silat mereka.

“Ilmu silat tidak saja membutuhkan pemikiran yang mendalam, akan tetapi juga latihan kaki, tangan, mata dan pendengaran hingga ilmu itu mendarah-daging, seakan-akan menjadi satu dan meresap dalam seluruh urat-urat ditubuh hingga dalam segala keadaan, kepandaian itu telah tersedia dan siap untuk digunakan sebagai penjaga keselamatan dari serangan lawan.

"Maka, apabila ilmu ini lama tidak dipergunakan, maka akan berkuranglah daya kegunaannya. Berlatih seorang diri dan berlatih menghadapi seorang lawan mempunyai perbedaan yang besar sekali, maka ada baiknya apabila kalian rajin berlatih, karena dengan demikian, selain kalian membuat gerakan kaki dan tangan menjadi lincah, juga kalian dapat menambah pengalaman dari serangan masing-masing,” kata Nikouw tua ini.

Sebagai sepasang orang muda yang saling mencinta, tentu saja hal ini mendatangkan kegembiraan dan kebahagiaan. Seringkali Yu Tek datang berkunjung ke Kwan-Im-Bio dimana mereka berdua berlatih dibawah pengawasan dan petunjuk Pek I Nikouw. Juga kini Beng Lian tidak merasa malu lagi untuk datang kegedung Tihu dan berlatih bersama tunangannya di lian-bu-thia (ruang belajar silat) yang sengaja diadakan oleh Yap-Tihu untuk puteranya.

Pada suatu senja, ketika Beng Lian dan Yu Tek sedang berlatih silat di lian-bu-thia, yang letaknya dibelakang rumah dekat taman bunga, seperti biasa Yu Tek memainkan sebatang tongkat bambu dan Beng Lian menggunakan pedangnya.

Sukar diukur mana yang lebih tinggi kepandaiannya antara sepasang anak-muda ini karena pedang Beng Lian yang dimainkan dalam ilmu pedang Ngo-lian Kiam-hwat itu bergerak cepat hingga pedangnya sendiri lenyap tak kelihatan, yang nampak hanyalah gulungan sinar pedang yang mengeluarkan bunyi bersiutan dan berwarna putih.

Sedangkan tongkat bambu yang berwarna hijau ditangan Yu Tek juga bergerak secara luar biasa sekali, menyambar-nyambar menjadi sinar hijau yang panjang dan tak terduga gerakannya.

Dulu, ketika mereka untuk pertama kali berlatih bersama, keduanya merasa terkejut dan bingung menghadapi senjata masing-masing hingga mereka bersilat dengan hati-hati dan tidak berani memainkan senjata secara sembarangan karena kuatir kalau-kalau senjata mereka melukai kekasihnya.

Akan tetapi, setelah seringkali mengadakan latihan bersama, mereka telah kenal ilmu silat masing dan berani memutar senjata lebih cepat, hingga kini kalau mereka berlatih, tubuh mereka keduanya lenyap dalam gulungan sinar senjata mereka yang seakan saling membelit dan menjadi satu!

Pada saat itu, tiba-tiba mereka mendengar suara wanita yang lantang dan nyaring. seakan-akan seorang wanita sedang marah dan membentak-bentak seorang lain. Yu Tek dan Beng Lian menjadi heran dan segera menunda latihan mereka. Kini terdengar suara itu dari tempat mereka,

“...Sebagai seorang Tihu seharusnya kau melindungi rakyat dan mencegah tindakan para kepala kampung yang memeras rakyat jelata!” suara wanita itu berkata lantang. “Tidak tahukah kau betapa rakyat amat miskin dan sengsara? Apakah kau hendak mempertahankan kedudukanmu untuk mencekik leher mereka? Para petani yang lemah boleh menerima dengan keluh-kesah tak berdaya, akan tetapi kami takkan membiarkan saja para pembesar berlaku sewenang-wenang!”

Bukan-main terkejut hati Yu Tek dan Beng Lian mendengar ucapan yang keluar dari mulut seorang yang mereka tidak kenal suaranya, maka cepat mereka lalu melompat keluar dari lian-bu-thia dan berlari menuju keruang depan. Mereka melihat beberapa orang penjaga telah rebah dalam keadaan tertotok tidak berdaya, sedangkan Yap-Tihu berdiri terpaku sambil memandang kepada tiga orang muda yang berdiri dihadapannya dengan mata terbelalak heran.

Yu Tek melihat bahwa tiga orang itu terdiri dari dua orang pemuda tampan dan gagah dan seorang gadis yang cantik jelita. Gadis inilah yang sedang berdiri sambil menuding kearah muka ayahnya sambil membentak marah!

“Kalau kau tidak mencabut kembali peraturan pemungutan pajak yang mencekik leher petani itu, jangan menyesal kalau kami akan turun tangan memberi pengajaran kepadamu!” Seorang diantara pemuda itu berkata sambil meraba-raba gagang pedangnya.

Bukan main marah hati Yu Tek dan Beng Lian melihat sikap ketiga orang-muda itu. “Orang-orang kurang ajar jangan menjual lagak disini!.” teriaknya dengan kedua matanya berapi-api, sedangkan Beng Lian dengan pedang ditangan telah bersiap-sedia pula.

Ketiga orang-muda itu adalah Kui Eng, Bun Hong dan Beng Han. Mereka segera memutar tubuh memandang karena menyangka bahwa yang membentak tentulah seorang penjaga pula, akan tetapi alangkah heran hati mereka ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda berpakaian seperti seorang pelajar dan seorang gadis berbaju putih yang berpotongan sederhana seperti pakaian pendeta!

“Eh, dua bocah janganlah kalian ikut mencampuri urusan orang besar!,” kata Kui Eng menyindir.

Merahlah wajah Beng Lian mendengar ini. “Kau wanita sombong, apakah kau kira hanya kau seorang yang memiliki kepandaian?” teriaknya dan ia maju menyerang dengan pedangnya!

Kui Eng tertawa nyaring dan mencabut pedangnya pula hingga sebentar saja dua orang dara ini saling serang dengan sengit Bun Hong dan Beng Han tercengang menyaksikan ilmu pedang gadis itu yang luar biasa dan tak boleh dipandang ringan, maka merekapun segera mencabut pedang masing karena dari luar telah mendatangi serombongan penjaga dengan golok atau pedang ditangan!

“Kalian mencari penyakit!” bentak Yu Tek dan segera ia maju menyerang dengan tongkat bambunya kepada Bun Hong dan Beng Han.

Kembali kedua orang pemuda ini tertegun karena tak disangkanya bahwa pemuda yang berpakaian sebagai seorang pelajar ini ternyata memiliki ilmu tongkat yang demikian hebatnya. Hampir saja pundak Bun Hong tertotok tongkat karena ketika Yu Tek menyerang tadi, tongkatnya menyambar dengan sabetan kearah pinggang mereka berdua.

Beng Han melompat dan mengelak akan tetapi Bun Hong mengangkat pedangnya untuk membacok tongkat bambu yang menyambar itu dan alangkah kagetnya ketika sebelum tongkat itu beradu dengan pedang, tiba-tiba tongkat itu membuat gerakan membalik dan langsung menotok jalan darah dipundaknya!

Baiknya Bun Hong memiliki kegesitan yang luar biasa, maka cepat sekali ia dapat mengelak sambil merendahkan tubuhnya, kemudian ia membalas dengan tusukan kilat yang dapat ditangkis dengan baiknya oleh Yu Tek!

Bun Hong merasa sangat kesal sekali dan ia merasa seakan ia dipandang rendah karena pemuda itu hanya menghadapinya dengan sebatang bambu kuning! Ia tidak tahu bahwa senjata ini memang senjata teristimewa dari Yu Tek. Mereka segera bertempur dengan seru diruangan itu.

Yap-Tihu beberapa kali mengangkat tangan mencegah dan berteriak, “Tahan, tahan... jangan bertempur...” akan tetapi anak muda yang sudah “naik darah” itu mana mau mendengar cegahannya.

Terutama sekali Bun Hong dan Kui Eng yang merasa amat masygul tak dapat segera menjatuhkan Yu Tek dan Beng Lian. Sementara itu, rombongan penjaga yang terdiri dari belasan orang itu tadinya tidak berani turun tangan karena merasa takut-takut cemas melihat kelihayan ketiga orang muda yang tadi telah merobohkan beberapa orang penjaga dengan mudahnya, akan tetapi setelah melihat bahwa Yap Yu Tek dan Beng Lian turun tangan mereka menjadi tabah dan segera maju mengerojok.

Pertempuran hebat terjadi diruang depan gedung Tihu itu dan ketiga anak-muda itu terkurung di tengah. Akan tetapi pedang mereka bergerak dan menyambar bagaikan tiga ekor naga mengamuk hingga para pengeroyoknya yang terdiri dari para penjaga itu tak berani mengepung terlalu dekat.

Kalau hanya menghadapi semua pengeroyok, Kui Eng. Bun Hong dan Beng Han sama sekali tak merasa cemas, akan tetapi kedua anak muda yang menahan serbuan mereka itu benar gagah, sedangkan para penjaga kini makin banyak mendatangi dari luar hingga ruangan itu penuh dengan para pengeroyok, Kui Eng maklum bahwa untuk mencapai kemenangan ia harus menurunkan tangan kejam, maka ia merasa serba salah.

Gadis baju putih yang menghadapinya itu benar-benar tangguh dan agaknya takkan mudah baginya untuk mengalahkan gadis baju putih itu, karena selain harus menghadapi ilmu pedangnya yang cukup kesigapan, ia pun menghadapi keroyokan para penjaga yang menyerangnya dari belakang, kanan dan kiri.

“Perempuan sombong, menyerahlah saja sebelum kau terluka!,” kata Beng Lian dengan suara mengandung sindiran.

Kui Eng menjadi marah. “Pengecut! Kalau benar kalian gagah, marilah kita bertempur seorang lawan seorang, jangan main keroyokan!”

Beng Lian hanya tersenyum dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan tiga batang jarum yang mengeluarkan sinar putih menyambar kearah kedua lengan Kui Eng dan serangan senjata rahasia yang ajaib ini disusul dengan tusukan pedangnya kearah leher lawan dengan gerak tipu Dewi Petik Kembang Teratai!

Kui Eng benar terkejut melihat sambaran jarum itu dan ia tak mungkin lagi untuk menangkis dengan pedangnya oleh karena jarum itu dengan cepatnya menyambar kearah kedua lengannya. Maka sambil berseru keras ia mengayunkan tubuhnya keatas dengan gerakan cepat laksana burung walet, lalu berjungkir-balik beberapa kali diudara sebelum tubuhnya melayang turun kembali dan mengirim serangan hebat kepada Beng Lian!

Bukan main kagum hati Beng Lian melihat gerakan ini dan ia maklum bahwa dalam hal ilmu ginkang, ia kalah terhadap gadis cantik itu. Akan tetapi, dengan hati tetap tabah ia menghadapi Kui Eng dan kembali bertempur seru.

Sementara itu, Bun Hong juga bertempur dengan ramai sekali melawan Yu Tek, hingga Beng Han segera maju membantu karena selain Yu Tek yang tinggi ilmu silatnya, juga terdapat beberapa orang penjaga yang cukup pandai. Bun Hong dan Beng Han segera dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang penjaga yang membantu Yu Tek.

Adanya dua orang anak muda yang muncul dengan tiba-tiba itu menggagalkan rencana ketiga penyerang itu, karena mereka tak pernah menyangka bahwa dirumah Tihu itu terdapat dua orang anak muda yang demikian tinggi kepandaiannya. Beng Han berpikir bahwa kalau pertempuran dilanjutkan, tentu mereka terpaksa harus menjatuhkan banyak kurban, maka ia lalu berseru keras kepada Bun Hong dan Kui Eng,

“Sute, sumoi! Mari kita pergi dulu, jangan sembarangan melukai orang!”

Biarpun hati mereka merasa belum puas dan marah, namun Bun Hong dan Kui Eng tak dapat menyangkal keputusan suheng mereka ini, karena merekapun maklum akan kehebatan keroyokan ini. Mereka lalu memutar senjata mereka dengan cepat dan beberapa batang golok para penjaga terpental dan terlepas dari pegangan, kemudian mereka mempergunakan kesempatan ini untuk melompat keluar dari ruangan itu.

“Orang sombong hendak lari kemana?” teriak Beng Lian sambil melompat mengejar, diikuti oleh Yu Tek.

Kui Eng marah sekali dan menunda larinya. “Pengecut yang hanya berani mengerojok beramai-ramai!!” ia memaki.

“...Siapa yang takut pada kau?” Beng Lian balas membentak. “Kalau kau belum puas dengan kekalahan ini, datanglah dikelenteng Kwan-Im-Bio, aku akan menanti disana dan kita boleh bertempur sampai seribu jurus!”

“Bagus!,” jawab Kui Eng. “Besok pagi aku datang kesana untuk memaksa kau berlutut minta ampun padaku!” Kemudian ia melompat keatas genteng menyusul kedua suhengnya.

“Ah, sumoi, mengapa kau mencari perkara?” Beng Han menegurnya setelah mereka keluar dari kota itu dan masuk kedalam sebuah Bio tua yang kosong karena setelah membuat kekacauan digedung Tihu, mereka tidak berani bermalam disebuah hotel.

“Dia sombong sekali!,” jawab Kui Eng menggerutu.

“Sebetulnya bukan gadis itu yang sombong, adalah kita yang terlalu memandang rendah. Tak kusangka bahwa gadis itu demikian tinggi ilmu silatnya, juga pemuda bersenjata bambu itu juga sangat hebat!,” kata Bun Hong sejujurnya.

“Kau sudah menerima tantangannya, sumoi, tak dapat tiada kita akan menghadapi lawan tangguh! Baru saja turun gunung kita sudah menanam bibit permusuhan dengan orang gagah.”

“Twa-suheng dan ji-suheng kalau kiranya merasa takut menghadapi gadis baju putih itu, biarlah aku sendiri yang akan datang kesana memenuhi tantangannya!,” kata Kui Eng sambil merengut hingga kedua suhengnya lalu saling pandang dan tertawa.

“Sumoi, mengapa kau berkata demikian?” seru Beng Han sambil tersenyum. “Kau cukup mengerti bahwa aku bersedia membelamu dengan seluruh jiwaku.”

“Memang kau tidak adil, sumoi,” kata Bun Hong sambil memandang tajam, akupun takkan membiarkan kau menghadapi lawan seorang diri!”

Kui Eng memandang kepada kedua orang kakak seperguruannya itu berganti-ganti dan tiba-tiba saja wajah gadis itu memerah dan sambil menujukan pandangan matanya kebawah, ia bertanya dengan suara perlahan,

“Kalian baik sekali kepadaku dan bahkan bersedia membelaku dengan taruhan nyawa, mengapakah?”

Melihat sikap Kui Eng dan mendengar pertanyaan ini, kedua pemuda itu tertegun, saling pandang dan untuk sejenak mereka tak dapat menjawab. Kemudian mereka tiba-tiba menginsyafi akan arti keadaan mereka bertiga itu dan tak terasa lagi wajah keduanyapun menjadi merah!

Baru saat itulah terpikir oleh mereka apa yang sebenarnya terkandung dalam hati sanubari masing-masing. Tanpa disadarinya, baik Bun Hong maupun Beng Han mengandung perasaan cinta kasih yang besar terhadap Kui Eng, bukan cinta kasih yang terasa oleh hati sanubari seorang kakak terhadap seorang adiknya, akan tetapi perasaan cinta kasih seorang pria terhadap seorang wanita!

Kesadaran dan keinsyafan inilah yang membuat Bun Hong membungkam dan hanya memandang kepada Kui Eng dengan mata tajam, sedangkan Beng Han yang lebih kuat imannya dan yang dapat menetapkan gelora hatinya, segera mengeluarkan ucapan untuk melenyapkan suasana yang menekan perasaan mereka itu.

“Ah, sumoi, kita adalah saudara seperguruan, kalau kita tidak saling membela, habis siapa yang akan membela kita? Kalau misalnya kau melihat aku atau sute berkelahi dengan orang lain, apakah kau juga tidak akan segera membantu tanpa dipinta lagi....?”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.