Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 04

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 04
Sonny Ogawa

Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 04

Kui Eng dan Bun Hong merasa lega mendengar ucapan ini yang sekaligus mengusir pergi rasa malu yang tadi menekan hati mereka. Kini barulah mereka berani mengangkat muka dan saling pandang tanpa merasa ragu-ragu dan malu.

Novel Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Betapapun juga, kita tidak mempunyai sesuatu permusuhan dengan gadis baju putih itu,” kata Bun Hong, maka kalau kita besok pergi ke Kuil Kwan-Im-Bio, kita harus mendasarkan kedatangan kita untuk berpibu (mengadu kepandaian) belaka.”

“Yang kuherankan ialah mengapa kedua orang itu mati-matian membela Yap-Tihu? Mereka berdua agaknya juga orang-orang gagah, maka kalau Tihu itu jahat, tak mungkin ia dibela oleh dua orang muda yang demikian pandainya,” kata Beng Han.

“Siapa tahu kalau pemuda itu adalah putera Tihu sendiri. Kulihat wajahnya hampir sama dengan wajah Yap-Tihu,” kata Kui Eng.

“Hal ini harus kita selidiki. Besok setelah kita mengunjungi Kwan-Im-Bio, lebih baik kita menjumpai Tihu itu lagi dan mencari penjelasan secara baik. Kalau memang ia seorang jahat yang tidak mau menginsyafi kekeliruannya dan hendak menggunakan kekerasan, baru kita turun tangan dan jangan memberi ia ampun lagi,” kata Beng Han pula mengutarakan pikirannya yang disetujui pula oleh kedua adik seperguruannya.

Sementara itu, setelah ketiga orang penyerang muda itu lari pergi, Yap-Tihu lalu mengadakan perundingan dengan Yu Tek dan Beng Lian. “Aku merasa heran sekali siapakah mereka bertiga itu,” kata Yap Tihu sambil menggelengkan kepalanya, "Terang bahwa mereka itu bukan datang dengan maksud merampok atau maksud buruk dan sebagainya.”

“Ayah, mungkin mereka itu adalah anak atau kawan orang jahat yang merasa sakit hati kepada ayah dan hendak membalas dendam,” kata Yu Tek.

“Entahlah, akan tetapi sikap mereka tidak seperti orang jahat, bahkan menurut pendapatku, mereka itu adalah pendekar-pendekar muda yang membela rakyat, karena ketika gadis itu mengeluarkan kata-kata, ia menegurku yang dituduh memeras rakyat dengan pajak yang berat!”

“Betapapun juga, mereka itu telah berlaku keliru dan bertindak terlampau sembrono seolah-olah membanggakan ilmu kepandaian mereka, menghina kita tanpa menyelidiki lebih dulu. Ayah adalah seorang pejabat yang jujur dan memegang teguh peraturan serta menjalankan tugas dengan baik, sedikitpun tak pernah memeras rakyat. Mengapa mereka berani berlancang mulut dan menuduh yang bukan-bukan?” kata Yu Tek dengan gusarnya.

“Juga mereka amat sombong, seakan-akan hanya mereka yang memiliki kepandaian, sungguh merendahkan orang An-kian. Karena itu aku menantang mereka untuk datang mengadu kepandaian besok pagi dikelenteng,” kata Beng Lian. “Kalau benar? kita sampai kalah, biarlah subo yang turun tangan memberi pelajaran kepada mereka.”

“Hal ini harus kita beritahukan kepada gurumu, moi-moi.” kata Yu Tek kepada tunangannya. “Agar kita jangan sampai salah tangan dan bermusuhan dengan pendekar-pendekar kang-ouw.”

Demikianlah, mereka lalu mengadakan perundingan dan malam hari itu juga, Yu Tek ikut pergi bersama tunangannya kekelenteng Kwan-Im-Bio dan menceritakan segala peristiwa tadi kepada Pek I Nikouw. Nikouw tua ini menarik napas panyang dan berkata kepada Yu Tek,

“Telah kuatir hati pinni semenjak dulu bahwa sewaktu-waktu pasti akan terjadi hal ini. Hanya kita yang mempunyai hubungan dekat dengan ayahmu mengetahui bahwa ayahmu adalah seorang pembesar yang jujur dan baik, akan tetapi orang luar belum tentu akan menganggapnya demikian, oleh karena ayahmu menguasai seluruh dusun diwilayah ini dan ayahmulah yang memberi perintah langsung kepada semua kepala kampung.

"Padahal, kita semua tahu bahwa perintah yang disampaikan oleh ayahmu tentang pemungutan pajak tani itu, yang datangnya dari kotaraja, adalah peraturan yang tidak adil dan mencekik leher para petani. Tentu saja orang-orang gagah akan menyangka bahwa ayahmulah yang bersalah dalam hal ini.”

“Akan tetapi, Suthai, orang yang disebut pendekar harus melakukan sesuatu dengan teliti dan diselidiki dengan seksama terlebih dulu sebelum bertindak. Tidak seperti mereka itu yang bertindak secara sembrono sekali,” kata Yu Tek dengan jengkel.

“Kalian berdua tadi menceritakan bahwa mereka adalah orang yang masih muda sekali, sebaya dengan kalian, mana mereka itu dapat berlaku sabar dan teliti? Orang-orang muda selalu terdorong oleh darah panas. Biarlah, kalau besok mereka datang kesini, pinni yang akan menyambut mereka dan membereskan kesalah-fahaman ini.”

“Akan tetapi, sebelum itu, biarkanlah teecu mencoba kepandaian mereka dulu,” kata Beng Lian.

Pek I Nikouw tersenyum mendengar kata-kata muridnya ini. “Apa kataku? Anak muda selalu terpengaruh oleh darah panas!”

Ketika Siok Thian Nikouw, ibu Beng Lian, mendengar penuturan anaknya tentang peristiwa itu, hatinya menjadi gelisah dan ia lalu berkata, “Beng Lian, jangan kau berlaku angkuh karena kepandaianmu. Kau harus menurut kata-kata gurumu dan menyerahkan hal ini kepada gurumu yang bijaksana.”

Semua Nikouw didalam Kuil Kwan-Im-Bio telah mendengar tentang peristiwa itu dan ramailah mereka membicarakan hal itu serta merasa tertarik ketika mendengar bahwa besok pagi datang tiga orang gagah untuk mengadu ilmu silat dengan Beng Lian dan Yu Tek dikelenteng.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yu Tek telah datang diKuil Kwan- Im-Bio bersama ayahnya. Yap-Tihu juga ingin sekali bertemu dengan para penyerbu itu untuk mengadakan pembicaraan secara mendalam dan kalau perlu mengadakan perundingan untuk menghindarkan salah-faham.

Setelah hari sudah menjadi terang, datanglah tiga orang muda yang ditunggu-tunggu itu. Kui Eng dengan langkah lebar dan gagah berjalan didepan. Dengan pakaiannya yang berwarna hijau, gadis ini nampak cantik dan gagah hingga menimbulkan kekaguman pada para Nikouw yang berdiri dikanan-kiri jalan masuk kelenteng itu.

Sementara itu, ketika melihat banyak Nikouw berdiri memenuhi halaman Kuil dan semua Nikouw itu memandang kearah mereka, Kui Eng, Bun Hong dan Beng Han merasa agak malu juga, karena para pendeta wanita itu mengingatkan mereka bahwa mereka berada ditempat suci.

Bahkan Beng Han mulai merasa tidak enak karena tak mungkin orang yang hendak menjadi lawan itu adalah seorang jahat. Mungkinkah seorang jahat dapat tinggal ditempat yang suci itu? Maka ia lalu berbisik kepada Kui Eng,

“Sumoi, harap kau suka menahan kesabaranmu, tak baik berlaku kurang pantas kepada orang didalam tempat suci ini.”

Kui Eng mengangguk dan mereka dengan langkah tetap memasuki ruang depan kelenteng itu, Beng Lian dengan pakaiannya warna putih yang amat sederhana berdiri disitu disebelah Yu Tek. Kedua anak muda ini lalu menjura menyambut datangnya Kui Eng dan kawan-kawannya, kemudian Beng Lian berkata kepada Kui Eng,

“...Sahabat yang gagah ternyata memenuhi janji. Marilah kita menuju ke lian-bu-thia dimana kita boleh bermain-main tanpa kuatir dikeroyok!”

Didalam kata-kata ini terkandung tantangan hingga tanpa banyak cakap Kui Eng mengangguk dan mengikuti Beng Lian dan Yu Tek menuju ke lian-bu-thia yang berada diruang sebelah kanan. Ruang tempat bermain silat ini luas dan ketika mereka masuk ketempat itu.

Ternyata disitu telah menanti Yap-Tihu, Pek I Nikouw dan Siok Thian Nikouw yang duduk disudut dengan diam karena memang mereka telah memberi perkenan kepada Beng Liand an Yu Tek untuk mengadakan penyambutan terlebih dahulu dan menguji ilmu kepandaian para tamunya.

Ketiga orang muda itu merasa terkejut melihat Yap-Tihu berada disitu pula, akan tetapi oleh karena Tihu itupun hanya duduk diam saja, mereka juga tidak mau menegurnya.

“Nah, ditempat ini kita bisa main seorang demi seorang, mencoba ilmu kepandaian,” kata Beng Lian sambil tersenyum kepada para tamunya. “Silahkan seorang diantara Sam-wi Enghiong maju untuk main sebentar!”

Kui Eng segera melangkah maju dan menyawab, “Biarlah aku yang bodoh memperlihatkan kebodohanku,”

Bun Hong dan Beng Han segera mengundurkan diri dan berdiri dengan kaki terbentang disudut lian-bu-thia itu.

“Kalau kau yang maju, biarlah aku yang melayanimu,” jawab Beng Lian dengan masih tersenyum. Kedua orang gadis ini mencabut pedang mereka dengan berbareng.

Sementara itu, Siok Thian Nikouw ketika melihat Beng Han, tiba-tiba merasa dadanya berdebar keras. Wajah pemuda itu, dan tahi lalat ditengah jidatnya mengingatkan ia kepada puteranya yang dulu binasa didalam kekacauan ketika terjadi pemberontakan.

Alangkah sama wajah pemuda itu dengan puteranya. Hampir saja Nikouw ini membuka mulut untuk bertanya, akan tetapi oleh karena pada saat itu puterinya telah mencabut pedang dan berhadapan dengan gadis gagah berbaju hijau yang memegang pedang pula, terpaksa ia mengalihkan pandangan mata dan perhatiannya kepada Beng Lian dengan hati cemas.

“Nah, silahkan, sahabat yang manis,” kata Beng Lian dengan tabah.

Kini setelah bertemu dengan gadis baju putih itu disiang hari, kemarahan Kui Eng malam kemarin banyak berkurang. Ia melihat betapa wajah gadis baju putih itu amat manis dan sikapnya lemah-lembut, hingga menimbulkan rasa suka dihatinya.

Sebaliknya, melihat kecantikan Kui Eng, Beng Lian juga merasa kagum dan suka, hingga ketika mereka berhadapan, mereka mendapat perasaan seakan sedang menghadapi seorang kawan yang hendak mengajak berlatih silat! Kui Eng lalu berseru,

“Lihat pedang!” dan ia mulai menyerang dengan gerakan indah dan kuat.

Beng Lian menangkis dengan baik dan balas menyerang. Oleh karena kedua orang gadis ini ternyata memiliki kelincahan yang seimbang, maka gerakan mereka yang cepat segera membuat tubuh mereka lenyap terbungkus gerakan pedang masing-masing!

Para Nikouw, terutama sekali Siok Thian Nikouw, menjadi cemas melihat pertempuran hebat ini, akan tetapi, Pek I Nikouw, Yu Tek dan kedua orang suheng Kui Eng menonton dengan wajah tenang saja, bahkan Pek I Nikouw nampak tersenyum karena mereka ini dapat melihat betapa kedua orang dara yang sedang bertempur itu dengan mengherankan sekali telah saling mengalah dan tidak menyerang dengan sungguh-sungguh!

Benar mereka itu seperti sedang berlatih saja! Kui Eng maklum bahwa kalau pertempuran ini dilakukan sungguh, ia tak usah merasa kuatir karena ia masih menang dalam hal ginkang dan gerakan pedangnya lebih ganas. Akan tetapi, oleh karena malam tadi ia melihat betapa gesitnya gadis baju putih itu menggunakan jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia, kalau lawannya ini mempergunakan jarum-jarumnya, ia harus berlaku hati-hati sekali.

Kini melihat lawannya sama sekali tidak mau mempergunakan jarumnya, iapun tahu bahwa gadis itu tidak bermaksud buruk, maka ia sendiripun tidak terlalu mendesak, sungguhpun kalau ia mau, mungkin lawannya sudah dapat didesaknya dengan ilmu pedangnya.

Beng Lian juga maklum pula akan hal ini, maka setelah bertempur hampir seratus jurus, ia lalu melompat kebelakang sambil berseru, “Sahabat yang cantik, kepandaianmu benar lain dari yang lain! Aku Gan Beng Lian mengaku kalah!”

Tiba-tiba Beng Han menahan seruannya dan memandang kepada Beng Lian dengan wajah pucat. Tak terasa lagi ia melompat kedepan gadis baju putih itu dan berkata sambil memandang tajam, “Coba kau sebutkan namamu lagi!”

“Aku adalah Gan Beng Lian dan... kau mengingatkan aku akan wajah seorang yang pernah kukenal.” Beng Lian balas memandang dengan tajam dan mengingat-ingat.

“Beng Lian, kalau tidak keliru dia itu kakakmu sendiri!” Tiba-tiba terdengar suara wanita berseru dan Beng Han menengok.

Ketika ia bertemu pandang dengan Siok Thian Nikouw, tiba-tiba seluruh tubuhnya menggigil. Ia kenal baik wajah Nikouw yang gundul ini! Selagi ia memandang dengan ragu, Nikouw itu berkata dengan halus,

“Bukankah kau anakku Beng Han...?”

Bukan-main terkejut hati Beng Han. Lenyap segala keraguan hatinya, sedangkan Beng Lian melangkah mundur dua tindak sambil memandangnya dengan mata terbelalak. Ketika mereka berpisah, Beng Lian baru berusia empat tahun, akan tetapi oleh karena ibunya seringkali membicarakan tentang kakaknya ini, ia masih ingat dengan baik. Melihat pemuda itu memandang kepada ibunya dengan airmata menitik-nitik laksana permata terlepas dari untaiannya. Beng Lian lalu menjerit,

“Kau benar-benar Beng Han kakakku...!” lalu ditubruknya pemuda itu dan dipeluknya sambil menangis.

Beng Han balas memeluk adiknya dan keduanya lalu berjalan kearah Siok Thian Nikouw yang telah berdiri dan yang kini bertindak perlahan menghampiri Beng Han dengan airmata bercucuran dan kedua lengan dibuka kedepan.

“Beng Han... anakku... kau masih hidup...?!”

“Ibu...!” Beng Han menjatuhkan diri berlutut didepan ibunya.

Siok Thian Nikouw mendekap kepala puteranya dan kedua orang anak dan ibu itu berpeluk-pelukan sambil menangis karena terharu dan girang! Pertemuan yang tak disangka-sangka.

Melihat hal itu, tak terasa pula Kui Eng ikut mengucurkan air matanya, teringat akan keluarganya sendiri, teringat pula akan ibunya yang dilarikan penjahat dan ayahnya yang terbunuh mati. Juga Bun Hong berdiri bagaikan patung, memandang kearah ketiga orang yang sedang saling rangkul itu dengan bingung karena iapun teringat akan kedua orang-tuanya yang telah tewas oleh kaum pemberontak.

Setelah keharuan hati mereka agak reda, Siok Thian Nikouw lalu berkata kepada puteranya, “Beng Han, mengapa kau datang memusuhi adikmu sendiri dan siapakah kedua orang kawanmu itu?”

“Ibu, mereka adalah adik seperguruanku, Bun Hong dan Kui Eng.” Beng Han memperkenalkan dan kedua orang muda itu lalu menjura sebagai pemberian hormat kepada Nikouw itu.

Sedangkan Beng Lian lalu memegang tangan Kui Eng dan berkata, “Aih, pantas saja kau lincah sekali, cici! Aku sungguh merasa girang berkenalan dengan kau yang cantik jelita dan gagah ini.”

Kui Eng tersenyum dan berkata, “Kaupun pandai sekali dan manis, adik Beng Lian. Kalau saja kuketahui bahwa kau adalah adik perempuan suhengku, tentu aku tak berani berlaku kurang ajar. Maafkan saja kekasaranku terhadapmu.”

Beng Lian lalu memperkenalkan subonya kepada ketiga anak muda itu, “Ini adalah guruku, Pek I Nikouw, ketua dari Kwan-Im-Bio ini.”

Terkejutlah Kui Eng ketika ia memandang kepada Pek I Nikouw yang duduk sambil tersenyum sabar. Kalau Beng Lian memiliki ilmu pedang yang sudah hebat itu, apalagi gurunya! Untung bahwa pertempuran itu tidak menjadi permusuhan hebat, kalau demikian halnya, tentu ia dan kedua suhengnya akan menghadapi musuh yang luar biasa tangguhnya. Kui Eng, Bun Hong dan Beng Han lalu menjura kepada Pek I Nikouw dan Beng Han berkata,

“Suthai yang mulia, maafkan teecu bertiga yang telah berlaku kurang ajar ditempat Suthai yang suci ini.”

Pek I Nikouw tersenyum dan berkata, “Anak-anak muda yang gagah! Sungguh benar sebutan bahwa Thian itu adil dan murah hati, karena pinni memang telah menyangka bahwa kalian tentulah orang gagah pembela rakyat. Tidak tahunya seorang diantara kalian bahkan masih kakak muridku sendiri.!”

Siok Thian Nikouw lalu berkata kepada Beng Han. “Anakku, biarpun aku merasa girang dan mengucap syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, akan tetapi terus terang saja aku merasa tidak puas melihat sepak terjangmu kali ini. Kau dan kedua saudara seperguruanmu ternyata terlampau menurutkan hati yang terburu nafsu dengan memusuhi Yap-Tihu. Tahukah kau siapa adanya pemuda ini? Dia adalah Yap Yu Tek, putera Yap-Tihu dan dia ini adalah calon iparmu atau tunangan adikmu Beng Lian! Dan Yap-Tihu adalah seorang pembesar yang budiman dan bijaksana serta adil.”

Beng Han dan dua orang kawannya benar-benar tercengang. Beng Han merasa girang sekali mendengar bahwa adiknya telah bertunangan dengan seorang pemuda tampan yang telah ia kenal kelihaiannya itu maka ketika Yu Tek menjura dan memberi hormat kepadanya, ia lalu membalas penghormatan itu dan berkata,

“Ah, saudaraku yang baik, harap kau yang banyak memaafkan aku yang ceroboh!”

“...Sebaliknya, twako,” kata Yu Tek sambil tersenyum, “Aku merasa kagum sekali melihat kau dan kedua kawanmu ini.”

Kemudian Kui Eng yang merasa penasaran mendengar bahwa Tihu itu disebut seorang pembesar yang bijaksana, tak tahan pula untuk tidak bertanya, “Kalau memang betul Yap-Tihu adil dan bijaksana, mengapa ia mengadakan peraturan pemungutan pajak yang mencekik leher rakyat tani?” Sambil berkata demikian, ia lalu memandang kearah Tihu itu yang berdiri dan tersenyum sedih.

“Samwi Enghiong,” kata Yap-Tihu dengan suara halus, “Memang, dipandang sepintas lalu, aku tak lain adalah seorang pembesar yang berlaku sewenang-wenang. Ini sudah menjadi nasib burukku yang bekerja pada pemerintah yang kurang memperhatikan keadaan rakyatnya.” Ia lalu duduk kembali dengan wajah berduka.

“Anak muda, dengarlah pinni memberi penjelasan. Yap-Tihu adalah seorang pejabat yang setia dan memegang peraturan dengan keras. Hal ini tidak boleh disalahkan, bahkan patut dipuji oleh karena memang seharusnya demikianlah sikap seorang pembesar yang bijaksana. Peraturan yang ia perintahkan kepada semua kepala kampung adalah peraturan yang datangnya dari kotaraja, dan sebagai seorang pejabat, tentu saja Yap-Tihu tidak berani menentangnya.

"Adapun dia sendiri, pinni yang cukup tahu bahwa dia adalah seorang pembesar yang adil dan bijaksana. Peraturan yang amat menekan rakyat petani bukanlah peraturan yang dibuat oleh Yap-Tihu sendiri dan dia hanyalah seorang pelaksana yang setia pada tugasnya. Hal ini harus kalian mengerti baik-baik.”

Mendengar ini, insyaflah ketiga orang muda itu, maka mereka lalu menjura kepada Tihu itu dan Beng Han mewakili kawan-kawannya berkata, “Ah, kalau demikian halnya, Taijin, mohon maaf sebanyak-banyaknya karena kami bertiga orang muda yang bodoh dan ceroboh telah mendatangkan kegoncangan dan berlaku kurang ajar kepada Taijin.”

“Tidak apa, tidak apa! Bahkan aku merasa malu sekali karena ternyata bahwa kalian orang muda mempunyai semangat dan peribudi yang lebih tinggi daripada aku. Percayalah bahwa besok hari aku akan mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaanku.”

Pek I Nikouw terkejut mendengar ini dan buru berkata, “Yap-Taijin, janganlah kau berkata demikian! Ingatlah bahwa kalau orang lain yang menjadi pembesar dikota ini, tentu keadaan rakyat bahkan makin tertindas, karena selain menjalankan peraturan yang datang dari kotaraja, pembesar itu tentu akan melakukan penindasan lain yang timbul dari nafsu ingin menimbun harta untuk kepentingannya sendiri. Kasihanilah rakyat di An-kian dan daerahnya.”

Yap-Tihu menghela napas panyang dan berkata, “Ah, Suthai, memang hal itulah yang membuat aku sehingga sekarang masih menguatkan hati untuk memegang jabatan ini. Izinkanlah aku pulang dulu karena hal ini benar mendukakan hatiku dan membingungkan pikiranku.” Yap-Tihu lalu menjura kepada semua orang dan berjalan pulang, diikuti oleh Yu Tek yang juga merasa berduka melihat keadaan ayahnya.

Sekarang terbukalah mata Kui Eng, Bun Hong, dan Beng Han dan diam-diam mereka merasa menyesal telah salah tangan menuduh seorang yang bijaksana sebagai seorang jahat. Kegemasan mereka kini beralih ke kotaraja dan diam mereka mengambil keputusan untuk sewaktu-waktu pergi ke kotaraja melihat keadaan dan menyaksikan keburukan mereka yang menjadi pembesar-pembesar tinggi.

“Anak muda, sebenarnya siapakah guru kalian? Permainan pedang nona ini mengingatkan pinni kepada seorang kenalanku, Lui Sian Lojin,” kata Pek I Nikouw.

“Memang teecu adalah murid Lui Sian Lojin!.” kata Kui Eng dengan girang.

“Omitohud! Syukurlah, Syukurlah! Suhunya lihai tentu murid-muridnya gagah pula!”

Demikianlah, ketiga anak muda itu bermalam didalam kelenteng karena Siok Thian Nikouw memaksa puteranya untuk bermalam disitu agar dapat mereka melepas rindu dan bercakap-cakap. Kalau bukan putera Siok Thian Nikouw dan murid Lui Sian Lojin, tak mungkin seorang pria diperbolehkan bermalam disitu.

Akan tetapi sekarang Pek I Nikouw membuat pengecualian dan ia menyuruh seorang Nikouw mempersiapkan sebuah kamar untuk Beng Han dan Bun Hong, sedangkan Kui Eng mendapat kamar bersama Beng Lian yang telah menjadi kawan baiknya.

Malam hari itu, Beng Han berada diruang belakang. bercakap-cakap dengan ibunya, menuturkan semua pengalamannya hingga ibunya merasa girang sekali.

“Anakku, tadinya aku telah menganggap bahwa kau juga menjadi korban keganasan para pemberontak liar itu. Syukurlah bahwa Tuhan masih melindungimu dan dapat mempertemukan kita kembali. Bagiku kau seakan-akan seorang anak yang baru bangkit kembali dari kuburan...,” ia menyusut air matanya. “Beng Han, karena tadinya menyangka bahwa kau telah tewas, maka aku pertunangkan adikmu dengan putera. Yap-Tihu.”

Beng Han tersenyum girang. “Aku girang sekali melihat hal ini, ibu, karena menurut pendapatku, Yu Tek adalah seorang pemuda yang cukup baik dan pantas menjadi suami adikku.”

“Akan tetapi, Beng Han, menurut kebiasaan dan adat kita, seorang saudara muda tidak boleh dikawinkan sebelum kakaknya menikah. Kau sekarang telah berusia hampir sembilan belas tahun, dan semenjak aku masuk menjadi Nikouw, tidak ada kebahagiaan lain yang kuharapkan selain melihat kau dan adikmu hidup bahagia dan mendapat jodoh yang cocok. Kau senangkanlah hati ibumu, anakku, dan janganlah adikmu itu menanti terlalu lama. Kau harus menikah dulu sebelum ia menjadi isteri Yu Tek.”

Merahlah wajah Beng Han mendengar ucapan ibunya ini. “Aku masih belum mempunyai pikiran tentang hal itu sama sekali, ibu,” jawabnya sambil menundukkan kepalanya.

“Beng Han, kulihat sumoimu Kui Eng itu adalah seorang gadis yang cantik dan berilmu tinggi. Menurut pandanganku. dia memiliki wajah yang menunjukkan keluhuran budi dan kesucian jiwa. Kalau saja kau suka... dan kalau saja ada harapan, aku akan merasa girang sekali mempunyai menantu seperti dia...”

Bukan main malunya Beng Han mendengar ini. Memang ia amat mencintai gadis yang menjadi sumoinya itu dan akan berbahagialah hidupnya kalau ia dapat memperisteri gadis yang menjadi kenangannya itu. Ia telah bergaul dengan Kui Eng semenjak mereka masih kanak, telah tahu betul isi hati dan perangai Kui Eng. Akan tetapi ia merasa ragu-ragu apakah gadis itu akan suka menjadi isterinya.

“...Dia memang seorang yang berbudi mulia dan bersemangat gagah, ibu,” hanya demikian jawabnya.

“Dan kau suka padanya, bukan?” Beng Han tidak menhawab, hanya menundukkan kepalanya. “Jawablah, anakku, kau mencintai gadis yang menjadi sumoimu itu, bukan?”

“Bagaimana aku berani menyatakan cintaku kepadanya kalau aku belum mengetahui perasaan hatinya, ibu?”

“Ah, kalau begitu kau mencintai dia! Bagus, anakku, aku akan menyuruh adikmu untuk bertanya hal ini kepadanya.”

“Jangan, ibu!,” kata Beng Han dengan ragu-ragu karena ia kuatir sekali kalau Kui Eng akan menolaknya. Betapa akan malunya kalau sumoinya itu menolaknya!

“Beng Han, daripada menyimpan rahasia hati dan menanggung rindu seorang diri yang berarti menyiksa batin sendiri pula, lebih baik berterus-terang. Berlakulah sebagai seorang laki-laki yang jentelmen dan bersedialah untuk menerima pukulan yang bagaimanapun hebatnya! Aku tahu bahwa kau kuatir kalau pinanganmu ditolaknya, bukan? Akan tetapi, kurasa sumoimu takkan menolaknya.

"Lagi pula, andaikata dia menolak, lebih baik bagimu untuk mengetahui bahwa harapan dan kandungan hatimu itu tak mendapat balasan dan dengan pengetahuan ini kau takkan menderita karena mengharapkan hal yang tak mungkin terjadi! Lebih baik kau mendengar penolakannya hingga kau dapat melenyapkan kerinduan hatimu daripada kau menyimpannya saja menjadi semacam penyakit didalam hatimu!”

Setelah berdiam untuk beberapa saat, akhirnya Beng Han berkata, “Memang benar, ibu. Aku menyayangi dan mencintai sumoi semenjak kami masih kecil. Ketika aku pertama kali bertemu dengan suhu dan kami dibawa kepuncak gunung, kuanggap sumoi sebagai pengganti adikku. Akan tetapi, setelah kami menjadi dewasa, aku... aku mempunyai perasaan lain, aku... mencintainya, bu.”

“Baiklah, Han-ji, besok akan kubicarakan hal ini dengan dia agar hatiku menjadi puas dan tenteram.”

Ucapan Siok Thian Nikouw ini membuat muka Beng Han menjadi kemerah-merahan dan ia girang sekali, akan tetapi membuat muka orang lain yang berdiri mendengarkan percakapan itu dengan diam menjadi pucat sekali dan hatinya berduka. Orang itu adalah Bun Hong yang keluar dari kamar hendak mencari Beng Han dan tidak sengaja ikut mendengar pengakuan Beng Han akan cintanya kepada Kui Eng dan janji ibu kawannya itu untuk meminang Kui Eng.

Selain rasa duka yang memenuhi hatinya, iapun merasa penasaran dan marah. Ia menaruh hati cinta terhadap sumoinya itu yang timbul semenjak mereka menjadi dewasa, dan kini mendengar pengakuan suhengnya akan cintanya terhadap Kui Eng dan mendengar bahwa suhengnya itu hendak dijodohkan dengan Kui Eng, ia merasa betapa hatinya menjadi perih dan hancur.

Dengan tindakan kaki lemas Bun Hong kembali ke kamarnya. Ia segera berkemas dan setelah menggunakan pit dan kertas yang tersedia dikamar itu untuk mencorat-coret sepucuk surat yang ditinggalkannya diatas meja, ia lalu diam-diam meninggalkan kamar itu sambil membawa semua bungkusan pakaiannya, melompat keatas genteng dan menghilang dimalam gelap!

Dengan hati riang-gembira dan penuh harapan, Beng Han kembali kedalam kamarnya setelah mengadakan pembicaraan dengan ibunya. Ia merasa heran ketika melihat kamar itu kosong. Kemana perginya Bun Hong? Ia mencari dengan matanya, akan tetapi disekitar tempat itu tidak tampak bayangan Bun Hong, maka ia lalu memasuki kamar dan tampaklah olehnya sehelai surat yang ditinggalkan oleh Bun Hong diatas meja tadi. Didekatinya surat itu, diambil lalu dibacanya.

Gan Beng Han, suhengku yang baik!
Maaf, tanpa kusengaja aku telah mendengar tentang pertunanganmu dengan sumoi. Kionghi (selamat!), suheng, kudoakan semoga kau hidup bahagia dengan sumoi. Tidak ada pemuda lain yang lebih berharga untuk menjadi suami sumoi selain daripada kau! Aku hendak pergi ke kotaraja, membasmi para pembesar jahat dan kalau perlu kaisarnya sekali demi keselamatan rakyat petani yang tertindas!
Sutemu yang sebatangkara, Tan Bun Hong.

Beng Han termenung sambil memegang surat itu dan membacanya sampai berkali-kali. Seakan-akan ia mendengar kata-kata yang dituliskan itu dari mulut sutenya sendiri, diucapkan dengan suara sedih dan mengharukan. Terbayanglah didepan matanya segala sikap Bun Hong terhadap Kui Eng dan kepahitan hebat mengganggu hatinya.

Tiba-tiba sadarlah ia bahwa sangat boleh jadi bahwa sutenya itu juga mencintai Kui Eng! Ia merasa terharu sekali, karena kalau memang demikian halnya, maka ternyata bahwa sutenya itu telah berlaku mengalah dan pergi dengan hati patah! Peristiwa ini sekaligus melenyapkan perasaan gembira yang tadi memenuhi hatinya. Dimasukkannya surat itu kedalam saku bajunya dan semalam itu ia tidak dapat memejamkan kedua matanya.

Pada keesokan harinya, Beng Han tidak berani keluar dari kamarnya, oleh karena ia maklum bahwa pagi hari itu ibunya dan adiknya akan berbicara dengan Kui Eng untuk mengajukan pinangan terhadap gadis itu. Ia merasa malu untuk bertemu muka dengan Kui Eng, maka ia berdiam saja didalam kamarnya dengan jantung berdegap-degup kuatir, kuatir kalau pinangan itu ditolak. Kalau sampai ditolak, alangkah akan sedih dan malunya.

Sementara itu, benar saja seperti dugaannya, Siok Thian Nikouw menyuruh anak gadisnya mengajak Kui Eng memasuki kamarnya dan setelah mereka berhadapan, Siok Thian Nikouw lalu mengajukan pinangannya dengan suara yang halus,

“Nona Kui Eng, sebelum pinni melanjutkan pembicaraan ini harap kau suka memaafkan kami. Pinni telah mengadakan pembicaraan yang sungguh-sungguh dengan puteraku Beng Han dan karenanya pinni mengetahui sampai jelas hubunganmu yang amat baik dengan dia sebagai saudara seperguruan.

"Setelah mendengar semua itu dan melihat kau, nona, timbullah keinginan dalam hati pinni untuk lebih mempererat hubungan itu menjadi hubungan keluarga. Terus terang saja, nona, Kui Eng, pinni ingin sekali menjodohkan Beng Han dengan kau, dan apabila kau tidak merasa keberatan, pinni akan merasa amat berbahagia dan bersukur kepada Thian yang Maha Agung untuk mempunyai seorang menantu seperti kau!”

Mendengar ucapan itu, sejak tadi seluruh muka Kui Eng telah berobah merah dan ia menundukkan kepalanya. Tak terasa pula air mata mengalir turun membasahi pipinya dan Beng Lian yang duduk didekatnya, lalu memeluknya dengan mesra.

Sampai lama Kui Eng tak dapat mengucapkan jawaban, dan ia berusaha keras untuk menekan gelora hatinya yang membuat dadanya naik-turun dan napasnya tersengal. Kemudian sambil mengeringkan air matanya dengan saputangannya, ia menyawab dengan perlahan,

“Suthai, mohon dimaafkan sebanyaknya. Saya merasa terharu sekali dan menghaturkan banyak terimakasih atas budi kecintaan hati Suthai yang telah memberi penghormatan besar sekali kepada saya yang bodoh dan tak berharga. Akan tetapi, pada waktu ini, selain saya belum mempunyai pikiran sama sekali tentang persoalan kawin, juga saya harus terlebih dulu mencari ibu saya dan kemudian tentang soal perjodohan, terserah kepada orang-tua itu.”

Biarpun hatinya merasa kecewa, namun Siok Thian Nikou mengangguk sambil tersenyum ramah dan berkata, “Memang seharusnya demikian, nona. Pinni juga telah mendengar dari Beng Han tentang peristiwa dan malapetaka yang menimpa keluargamu, seperti juga yang telah menimpa keluarga kami. Biarlah kau mencari ibumu lebih dulu, kemudian pinni hendak mengulangi pinangan ini kepada ibumu.”

“Maafkan saya, Suthai. Bukan sekali-kali saya menolak kehendak Suthai yang mengandung maksud baik itu, akan tetapi harap saja hal ini dilupakan dulu. Saya tidak berani menerima atau mengadakan janji sesuatu oleh karena sesungguhnya saya belum ingin mengikat diri dengan perjodohan. Maaf, Suthai...”

Siok Thian Nikou menarik napas panjang. Kasihan Beng Han pikirnya oleh karena dari jawaban ini walaupun tidak secara langsung merupakan penolakan, namun sedikitnya membayangkan perasaan gadis itu yang masih ragu dan tidak meyakinkan orang, yang berarti bahwa pada saat sekarang gadis itu belum mempunyai perasaan cinta terhadap Beng Han!

“Kalau begitu, lupakanlah saja semua ucapanku tadi, nona. Dan kalau kelak kau telah bertemu kembali dengan ibumu, baru kita bicarakan hal ini lebih lanjut.”

Kui Eng lalu mengundurkan diri dari hadapan Siok Thian Nikou dan ia duduk termenung didalam kamarnya. Beng Lian masuk dan segera memegang tangannya. “Cici, jangan kau menyesal. Maafkan ibuku kalau kau anggap dia terlalu lancang.”

“Ah, tidak, adik Lian. Sama sekali tidak! Bahkan aku merasa menyesal sekali bahwa terpaksa aku belum dapat memberi keputusan hingga setidaknya aku telah membuat kalian kecewa!”

Betapapun juga sebagai adik Beng Han, ada sedikit rasa tak puas dan kecewa yang mengandung penasaran dalam hati Beng Lian karena iapun dapat merasa bahwa jawaban Kui Eng terhadap pinangan ibunya merupakan penolakan halus. Maka, tanpa disengaja, terdorong oleh rasa kecewanya, ia berkata,

“Cici Eng, cinta hati seseorang tak dapat dipaksakan. Aku tahu bahwa kau tidak mencintai kakakku kalau dibandingkan, engko Han kalah tampan.”

Kui Eng terkejut dan merenggutkan lengannya yang dipegang Beng Lian sambil memandang dengan mata terbelalak. “Apa...? Apa maksudmu...?”

Beng Lian merasa bahwa ia telah kesalahan bicara, dan berusaha hendak memperbaiki kesalahannya, akan tetapi karena gugupnya, ia bahkan menambahkan, “Maksudku... eh, dibandingkan dengan saudara Bun Hong, kakakku itu memang kalah tampan!”

Pucatlah wajah Kui Eng mendengar ini dan sebentar kemudian muka yang pucat itu berobah merah karena marahnya. “Beng Lian!,” katanya dengan ketus. “Kau anggap aku ini orang apakah? Dengarlah baik, aku tidak mencintai kakakmu dan juga tidak mencintai ji-suheng! Aku telah menolak pinangan ibumu, dan habis perkara, jangan kau hubungkan dengan lain hal dan jangan kau menyangka yang bukan-bukan!”

Melihat kemarahan Kui Eng, Beng Lian merasa terkejut dan menyesal mengapa ia telah berlancang mulut. Selagi ia hendak minta maaf, Kui Eng telah menyambar buntalannya dan berlari keluar dari kamar itu dengan mata merah menahan tangis!

Ketika tiba diruang depan, ia bertemu dengan Beng Han yang menanti berita dari ibunya dengan hati berdebar. Pertemuan yang tak tersangka-sangka ini membuat Beng Han merasa malu dan sungkan sekali, akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan bertanya,

“Sumoi, apakah malam tadi kau dapat enak tidur?” Akan tetapi, ia terkejut sekali ketika melihat wajah Kui Eng yang nampak marah. “Eh, sumoi, kenapakah kau...?” Hatinya menjadi kecut dan perasaannya tak enak sekali.

“Twa-suheng,” kata Kui Eng sambil cepat menghapus dua butir air mata yang memaksa turun dari pelupuk matanya. “Aku pergi dulu, hendak mencari ibuku. Maafkan bahwa terpaksa aku memisahkan diri dari kau dan ji-suheng.”

Bukan-main terkejut hati Beng Han mendengar ucapan ini. Kedua matanya terbelalak dan ia berkata gagap, “Akan tetapi... sumoi, kemana kau hendak pergi...?”

“Entahlah, kemana saja kedua kakiku membawaku. Pokoknya, aku hendak mencari ibuku.”

Beng Han menghela napas panjang. “Sumoi... kalau keputusanmu memisahkan diri ini karena... karena pinangan ibuku kepadamu, maafkanlah aku, sumoi. Kelancanganku mengajukan pinangan ini telah kutebus mahal. Sute telah meninggalkan aku, apakah sekarang kaupun hendak meninggalkan aku pula?”

Kui Eng mengangkat muka memandang. “Ji-suheng meninggalkan kau? Kemanakah perginya?” tanyanya heran.

Beng Han hanya menarik napas panjang lalu menyerahkan surat Bun Hong itu kepada sumoinya. Merahlah wajah Kui Eng membaca pemberian selamat Bun Hong kepada Beng Han atas pertunangannya dengan dia! Timbul rasa kasihan didalam hatinya kepada twa-suhengnya ini, maka katanya perlahan,

“Suheng, percayalah bahwa aku tetap menghormati dan menganggap kau sebagai kakak sendiri. Biarlah kita bertemu lagi dilain waktu!” Setelah berkata demikian, ia lalu mengembalikan surat itu, menjura kepada suhengnya, dan berlari dari kelenteng Kwan-Im-Bio dengan cepat.

Beng Han segera lari masuk menjumpai ibunya dengan hati tidak enak. Ketika ibunya menceritakan kepadanya tentang jawaban sumoinya, pemuda ini hanya menundukkan mukanya dengan kedukaan yang disembunyikan. Dari jawaban ini dan juga dari ucapan sumoinya ketika hendak pergi, ia maklum bahwa perasaan cinta kasihnya tidak terbalas!

Siok Thian Nikou dan Beng Lian juga merasa heran ketika mendengar bahwa diam-diam Bun Hong telah pergi. Beng Han tidak memperlihatkan surat itu kepada ibu dan adiknya, hanya berkata,

“Memang Bun Hong sute mempunyai adat yang aneh. Aku amat menguatirkan keadaannya, karena ia memiliki watak yang keras. Kalau ia dibiarkan seorang diri di kotaraja, ia tentu akan menemui bahaya. Maka, sekarang juga aku harus menyusulnya, ibu, untuk membantu dan membelanya kalau ada bahaya mengancam dirinya.”

Siok Thian Nikou tak dapat mencegah maksud puteranya itu karena ia juga menganggap bahwa sudah seharusnya Beng Han menjaga dan membantu sutenya.

“Beng Han, pergilah dan lakukan tugasmu sebagai seorang ksatria, akan tetapi, tentang urusanmu dengan Kui Eng, janganlah kiranya hal ini mematahkan hatimu, nak. Bersabarlah sampai gadis itu bertemu dengan ibunya, baru aku hendak mengajukan pinangan pula. Alangkah baiknya kalau kau juga bantu mencarikan ibunya dan mempertemukan gadis itu dengan ibunya,” demikianlah pesan Siok Thian Nikou kepada puteranya.

Beng Han menyatakan hendak mentaati pesan ibunya itu. Kemudian ia berkemas dan berangkat meninggalkan Kuil Kwan-Im-Bio. Ketika ia tiba diluar kota An-kian, tiba terdengar suara panggilan dibelakangnya. Ketika ia berpaling, ternyata adiknya, Beng Lian, mendatangi dengan berlari cepat sekali. Setelah berhadapan, Beng Han memandang dengan heran, karena ternyata bahwa adiknya itu menangis dengan sedihnya!

“Eh, eh, Lian-moi, mengapakah kau? Apakah kau menangis karena kepergianku ini? Ah, jangan menjadi anak kecil, adikku!”

Beng Lian menggelengkan kepalanya sebagai sangkalan atas dugaan kakaknya ini, dan tangisnya makin mengeras. Beng Han memegang pundak adiknya.

“Lian-moi, berlakulah tenang, adikku. Sebenarnya, apakah yang terjadi dengan dirimu?”

“Han-ko, aku... aku telah berdosa kepadamu...”

“Eh, apa kau mengigau? Dosa apa yang kau lakukan?” tanya Beng Han sambil tersenyum dan memandang heran.

“Aku... akulah yang telah membuat enci Eng marah dan pergi meninggalkan kau!”

“Hm, apakah yang telah kau lakukan?”

“Aku... aku merasa kecewa dan menyesal karena ia menolak pinangan ibu, lalu... lalu kukatakan kepadanya bahwa ia tidak mencinta padamu dan... dan... kubayangkan bahwa ia mencintai... ji-suhengnya...” Kemudian dengan suara terputus-putus. Beng Lian menceritakan semua pembicaraan yang dilakukannya dengan Kui Eng.

Beng Han menggelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. “Adikku, kau memang telah berlaku keterlaluan dan lancang. Akan tetapi, dugaanmu bahwa dia tidak mencinta padaku itu memang tepat. Dan dugaanmu bahwa dia mencinta kepada Bun Hong itupun beralasan, karena aku sendiri tadinyapun menyangka demikian.

"Akan tetapi, tidak seharusnya hal itu diucapkan kepadanya, tentu saja hatinya menjadi tersinggung. Biarlah, yang sudah terjadi biarlah berlalu, nanti kalau aku dapat bertemu dengan dia, aku yang akan memintakan maaf untukmu. Dan harap pengalaman ini menjadi pelajaran bagimu agar lain kali kau tidak berlancang mulut lagi.”

“Han-ko, kau... mau memaafkan aku...?”

Beng Han menggunakan tangan kanannya untuk memegang dagu adiknya dan mengangkat muka yang manis itu sehingga mereka saling berpandangan. “Adikku yang baik, tentu saja aku maafkan kau! Senyumlah, kalau tunanganmu melihat kau bermuram-durja, ia akan ikut bersedih! Jagalah ibu dengan baik, adikku.”

Setelah berkata demikian, Beng Han lalu melanjutkan perjalanannya dengan cepat dan Beng Lian berdiri memandang dengan air mata berlinang sampai kakaknya itu lenyap dari pandangan matanya.


Ketika tiba di kotaraja, Bun Hong lalu mencari keterangan tentang keadaan pemerintah. Ia melihat betapa keadaan di kotaraja jauh berbeda dengan keadaan di dusun. Kalau di dusun ia melihat segala macam penderitaan dan kemiskinan, tetapi di kotaraja penuh dengan kemewahan dan kesenangan.

Rumah gedung yang tinggi besar dan megah mendatangkan pemandangan yang amat jauh bedanya dengan pondok-pondok bobrok di dusun-dusun. Pakaian orang di kotaraja indah-indah beraneka warna, berbeda sekali dengan pakaian para petani yang compang-camping dan tambalan dibanyak tempat.

Kalau di dusun ia telah merupakan seorang pemuda yang gagah dan berpakaian indah, hingga banyak mata memandangnya dengan kagum dan iri, setelah tiba di kotaraja, Bun Hong merasa betapa pakaiannya terburuk dan tak seorang pun memperhatikannya.

Ia melihat banyak pemuda-pemuda yang berpakaian indah hilir-mudik disepanjang jalan raya kotaraja yang lebar. Sebagai seorang putera hartawan diwaktu kecilnya, Bun Hong suka sekali akan kemewahan dan keindahan pakaian. Model pakaian yang dipakai oleh pemuda kota itu, terutama pakaian para pelajar yang indah dan mewah, membuat ia mengilar dan ingin sekali mempunyai pakaian seperti itu.

Maka pada malam hari pertama, ketika seluruh penghuni kota telah tidur, diatas genteng rumah gedung seorang hartawan besar berkelebat bayangan hitam yang gesit sekali gerakannya. Bayangan itu memasuki gedung tanpa terlihat oleh seorang pun.

San tak lama kemudian ia keluar lagi sambil membawa sebuah kantong yang penuh berisi uang emas! Orang ini bukan lain ialah Bun Hong yang melakukan pencurian dalam sebuah rumah gedung seorang hartawan untuk pengisi bekalnya yang telah kosong!

Memang sudah menjadi kebiasaan orang-orang kang-ouw untuk mencuri uang para hartawan yang disebutnya “meminjam.” Akan tetapi, biasanya seorang kang-ouw hanya mengambil uang sekadar bekal saja, yakni untuk biaya perjalanannya melakukan tugas menolong orang-orang yang dilanda kesusahan.

Apabila peminjaman uang itu dilakukan dengan maksud diluar daripada sekadar penggunaan biaya perjalanan dan terdapat maksud lain untuk menyenangkan diri, maka perbuatan itu dianggap menyimpang atau menyeleweng daripada kebiasaan para pendekar kang-ouw dan dianggap rendah.

Biarpun Bun Hong maklum pula akan peraturan ini yang didengarnya dari suhunya, akan tetapi hati mudanya dan sifat pesoleknya membuat ia diam-diam melakukan pelanggaran. Ia telah melakukan pencurian yang didasarkan kepada keinginannya membeli pakaian indah.

Dengan mudah saja ia berhasil mengambil sekantong uang emas dari tumpukan harta orang kaya itu. Agaknya si kaya itu takkan merasa bahwa tumpukan kantong-kantong uangnya telah berkurang satu. Demikian banyaknya kantong-kantong uang yang berada dalam kamarnya!

Pada keesokan harinya, Bun Hong telah bersalin rupa. Ia telah berobah menjadi seorang pemuda pelajar yang berpakaian indah, terbuat dari sutera berwarna biru bersulamkan benang emas dan renda-renda berwarna kuning dilehernya! Wajahnya yang memang tampan itu bertambah cakap.

Ia menyembunyikan pedangnya dibawah jubahnya yang lebar dan sebagai gantinya, tangan kirinya memegang sebuah kipas bulu yang indah dan mahal! Biarpun hatinya terpikat oleh kemewahan dan keindahan di kotaraja yang besar dan ramai itu, namun Bun Hong masih belum melupakan maksudnya semula datang di kotaraja itu.

Ia meninggalkan Beng Han dan Kui Eng dengan hati hancur dan sedih, karena cinta kasihnya terpaksa direnggutkannya dan dicobanya untuk melupakan Kui Eng karena ia tidak kuasa membenci Beng Han atau menghalangi perjodohan Kui Eng dengan Beng Han, suhengnya yang amat dikasihinya dan yang dianggapnya sebagai kakak sendiri itu.

Maka untuk melupakan kesedihan dan kekecewaan hatinya, ia mengambil keputusan untuk melanjutkan usaha mereka bertiga semula, yakni hendak membasmi kekejaman peraturan pemungutan pajak bagi para petani itu. Kini, setelah berada di kotaraja, tiada hentinya ia mencari keterangan tentang hal itu. Jawaban yang didapat dari penyelidikannya ini bersimpang-siur.

Ada yang mengatakan bahwa peraturan itu datang dari Kaisar sendiri. Ada pula yang menyatakan bahwa yang mengeluarkan peraturan itu adalah Thio-Thaikam yang berkuasa besar, dan ada pula yang berkata bahwa peraturan itu berada didalam kekuasaan pangeran Song, bendahara kerajaan yang berhak menerima semua penyetoran hasil pajak.

Bun Hong tidak berani bertindak dengan sembrono, karena telah dilihatnya betapa penjagaan yang dilakukan ditiap gedung pembesar tinggi di kotaraja amat kuatnya. Juga, dari sikap para perwira yang banyak terdapat di kotaraja, ia maklum bahwa banyak diantara mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Ia harus bersabar, mempelajari keadaan dengan baik dan berlaku hati-hati, agar jangan sampai usahanya gagal sebelum dimulai! Apalagi ia merasa suka dan betah tinggal di kotaraja yang ramai dan banyak pemandangannya itu. Setiap hari ia keluar dari kamar hotelnya dan berjalan-jalan...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.