Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 05
Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 05 - Pada suatu hari ia mendengar bahwa Pangeran Song Hai Ling, pembesar yang menjadi bendahara di kerajaan, hendak mengadakan kunjungan ke Kuil Bhok Thian-Si yang besar, karena pangeran ini pernah menderita sakit dan ia telah mengucapkan janji bahwa apabila penyakitnya sembuh, ia hendak melakukan sembahyang besar di Kuil itu bersama seluruh keluarganya.
Dan karena yang hendak melakukan sembahyang adalah seorang pembesar yang berkedudukan tinggi dan kaya raya pula, maka tentu saja semenjak dua hari sebelumnya, para Hwesio Kuil itu telah melakukan persiapan besar. Lantai Kuil dipel sampai mengkilat, semua tiang digosok dan yang sudah luntur catnya lalu dicat kembali, dan semua alat sembahyang diganti dengan yang baru!
Semenjak dua hari sebelumnya, Kuil itu ditutup untuk umum yang hendak bersembahyang. Untuk meramaikan perayaan ini, Pangeran Song Hai Ling mendatangkan serombongan pemain sandiwara klasik yang memainkan cerita tentang Bu Ong, Raja besar yang amat dipuja diseluruh Tiongkok oleh karena kebijaksanaannya, bahkan didalam Kuil itupun terdapat patung Raja besar ini.
Memang Pangeran Song sengaja mengadakan pertunjukan itu yang maksudnya selain untuk meramaikan, juga untuk memberi penghormatan serta peringatan bagi Bu Ong. Maka tidak heran apabila semenjak pagi sebelum sembahyang besar dimulai, orang telah memenuhi halaman Kuil yang lebar untuk menonton sandiwara, dan sebagian pula untuk menonton keluarga orang besar itu, karena mereka telah mendengar bahwa selain mempunyai banyak selir yang cantik?
Pangeran Song juga mempunyai dua orang anak perempuan yang telah remaja puteri. Dan yang kabarnya luar biasa cantiknya, tak kalah oleh kecantikan bidadari dari Sorga ketujuh!
Mendengar tentang kunjungan Pangeran Song yang merupakan seorang diantara mereka yang hendak diselidikinya, Bun Hong segera ikut datang ke Kuil itu dan mencampurkan diri dengan para penonton yang berjubelan diluar Kuil.
Dengan sepasang lengannya yang kuat, dengan mudah Bun Hong mencari jalan dan sebentar saya ia telah berhasil menerobos kesebelah depan dan berdiri dibaris terdepan, dekat pagar yang mengelilingi ruang depan Kuil itu, dimana telah dipasang meja sembahyang yang besar dan yang bertilamkan sutera bersulam benang emas!
Tak lama kemudian terdengarlah bentakan dan beberapa orang penjaga yang memegang cambuk telah mencari jalan dan mencambuki para penonton yang menghadang dijalan.
“Minggir, minggir! Buka jalan untuk rombongan Song Taijin!”
Kelompok orang yang menonton terkuak kekanan-kiri dan dengan cepat jalan yang menuju kepintu masuk Kuil itu terbuka. Barisan pengawal dengan golok telanjang, terdiri dari belasan orang tinggi besar, dengan tindakan gagah mendahului dan masuk kedalam halaman depan, lalu terpecah menjadi dua rombongan yang berdiri berderet menjaga dikanan-kiri jalan. Bunyi roda kendaraan terdengar berhenti didepan Kuil dan turunlah rombongan orang besar itu.
Semua orang segera membungkukkan tubuh untuk menghormati seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun yang berjalan dengan tenang dan mengebut-ngebutkan kipasnya. Ia memandang kekanan-kiri sambil menganggukkan kepala sebagai pembalasan hormat yang diberikan kepadanya oleh para penonton itu.
Bun Hong membuka mata lebar dan dengan penuh perhatian ia memandang kepada pembesar itu. Ia melihat muka pembesar itu menandakan bahwa ia adalah seorang yang peramah dan tidak kejam, bahkan selalu memandang dengan mata berseri dan mulut tersenyum.
Sorot matanya menunjukkan bahwa ia telah memiliki banyak pengalaman hidup dan dari pandang matanya orang mendapat perasaan bahwa Pangeran ini selalu menganggap bahwa ia memiliki pengalaman dan pengertian yang lebih tinggi daripada orang lain.
Tubuhnya sedang agak pendek dan langkah kakinya tenang dan pendek. Timbul keraguan didalam hati Bun Hong karena ia tidak melihat sinar kekejaman diwajah orang ini. Kemudian menyusul serombongan wanita yang cantik, mengikuti seorang wanita setengah tua yang juga menerima penghormatan dari semua orang. Ini adalah Song-hujin dan para selir yang masih muda dan cantik.
Nyonya Song ini sikapnya lemah-lembut dan jelas memperlihatkan keagungannya sebagai seorang bangsawan tinggi, sedangkan para selir berpakaian indah dan bersikap gembira, akan tetapi jelas nampak kegenitan mata mereka ketika sambil melewat mereka melemparkan kerling mata yang liar dan tajam kekanan-kiri, dimana banyak terdapat pemuda-pemuda yang tampan dan gagah!
Kemudian, datanglah orang yang dinanti oleh sekalian pemuda yang memerlukan datang hanya untuk memandang kepada dua orang ini. Mereka adalah dua orang gadis remaja yang berusia paling banyak antara lima belas sampai tujuh belas tahun. Keduanya sama cantik jelita, berjalan dengan lemah-lembut. Berbeda dengan para selir ayah mereka kedua anak perempuan ini berjalan dengan malu ketika mereka merasa betapa banyak mata ditujukan kearah mereka.
Mereka berbisik dan berjalan dengan muka ditundukkan. Gadis yang lebih tua bertubuh tinggi ramping dengan muka berdagu tajam dan sepasang matanya lebar dan tajam bagaikan mata burung Hong. Kulit mukanya halus putih kemerahan, bedak dan gincunya tipis dan sepasang alisnya melengkung dengan ujung yang tajam dan berwarna hitam sekali, menambahkan kemanisannya.
Yang lebih muda juga cantik jelita, akan tetapi mukanya bundar dan sepasang matanya kocak sedangkan bibirnya yang berbentuk indah itu selalu tersenyum riang, menandakan bahwa ia adalah seorang gadis yang berwatak gembira. Setelah semua rombongan masuk kedalam kelenteng, maka meja sembahyang lalu diatur dengan baiknya oleh para Hwesio.
Ayam dan bebek yang masih utuh dan sudah matang, ditaruh diatas piring dan diatur diatas meja sembahyang. Melihat ayam dan bebek yang tak berbulu lagi dan yang kulitnya nampak kekuningan dan gemuk itu, membuat para penonton menjadi mengilar.
Segala macam makanan yang lezat-lezat diatur diatas meja sembahyang yang lebar itu dan lilin lalu dinyalakan. Baru saja sembahyang dimulai, tiba-tiba seorang laki-laki yang tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang petani melompat dengan sebatang senjata cangkul ditangan dan berteriak,
“...Pembesar jahat! Kau hidup mewah dari perasan keringat kami!” Petani itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan dengan nekad ia menyerang Pangeran Song yang sedang memegang hio untuk mulai bersembahyang!
Akan tetapi, berbareng pada saat itu juga, seorang perwira yang mengepalai barisan penjaga, cepat mendorong tubuh Pangeran Song kekiri hingga pacul yang diajunkan kearah kepala pangeran itu mengenai tempat kosong terus menghantam meja, hingga ujung meja terbelah oleh pacul itu!
Ributlah keadaan disitu, terdengar jerit para selir yang ketakutan, dan beberapa orang penjaga lalu maju mengeroyok dan akhirnya perwira itu berhasil menendang lutut penyerang yang nekad tadi hingga cangkulnya terlepas dan tubuhnya roboh terguling!
Beberapa batang golok yang berkilauan karena tajamnya terayun hendak mencacah tubuh pengacau itu, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu-tahu Bun Hong sudah berada ditengah-tengah para penjaga dan ketika kaki tangannya bergerak, beberapa batang golok terlempar!
“Tahan semua, jangan bunuh dia!,” teriak Bun Hong yang segera membangunkan petani tadi.
Perwira yang menjatuhkan petani tadi dengan geram lalu menusuk dengan pedangnya kearah dada Bun Hong hingga terdengar lagi pekik beberapa orang wanita yang merasa ngeri. Akan tetapi dengan gerakan lincah, Bun Hong memiringkan tubuhnya dan sekali saja jari tangannya menyentil kearah pergelangan lengan perwira itu, pedangnya telah terlepas dari pegangan dan terampas oleh Bun Hong!
Perwira itu terkejut dan marah sekali, “Pemberontak! Apakah kau tidak takut mati?”
Bun Hong tersenyum. “Sabar, kawan! Siapa yang memberontak? Aku hanya mencegah terjadinya pembunuhan disini.”
“Tidak kau lihatkah betapa petani yang memberontak ini menyerang Taijin? Apakah kau hendak membela pemberontak?”
“Orang ini tidak gila, dan tentu ada alasannya mengapa ia sampai berani menyerang seorang pembesar, Penyerangannya gagal, maka tak perlu dia dibunuh. Kau yang tidak tahu aturan, karena kalau kau membunuh dia ditempat ini, apakah itu bukan berarti bahwa kau mengotori tempat yang suci ini dan membuat sembahyang ini tiada gunanya lagi? Atau, apakah disini terdapat model lain hingga untuk bersembahyang harus menggunakan kurban seorang manusia?”
Perwira itu hendak menyiapkan kawan-kawannya untuk mengeroyok, akan tetapi tiba terdengar Pangeran Song memberi perintah, “Semua penjaga mundur! Biarkan petani itu pulang dan jangan diganggu!”
Petani itu memandang dengan heran kearah Pangeran Song karena tak pernah disangkanya bahwa pangeran itu begitu murah hati, mengampuni seorang yang tadi hendak membunuhnya! Bahkan Bun Hong sendiri merasa tertegun mendengar perintah ini. Ia lalu menganggukkan kepala kepada petani itu yang segera keluar sambil membawa paculnya dan segera lari menghilang diantara orang banyak yang menjadi panik itu.
Pangeran Song lalu menjura kepada Bun Hong sambil berkata, “Enghiong yang gagah. Ucapanmu tadi berkesan didalam hatiku. Silahkan kau duduk didalam dan setelah sembahyang ini selesai, marilah kita bercakap-cakap.”
Bun Hong juga maklum bahwa apabila ia berada diluar, tentu ia akan menjadi perhatian semua orang, maka ia lalu melangkah masuk kedalam kelenteng itu. Ketika kedua puteri pangeran itu memandangnya, tak disengaja ia bertemu pandang dengan puteri yang terbesar, dan berdeguplah hatinya.
Darahnya tersirap dan ia merasa betapa mukanya menjadi panas karena darahnya memenuhi urat diseluruh mukanya. Pandangan mata yang indah seperti mata burung Hong yang ditujukan kepadanya penuh kekaguman itu membuat ia merasa bingung.
Setelah selesai bersembahyang, Pangeran Song lalu menghampiri Bun Hong dan berkata, “Hiante yang gagah perkasa, aku merasa suka sekali kepadamu yang selain gagah, juga bijaksana. ini. Kalau kau sudi mengikat persahabatan dengan aku, marilah kau ikut kegedungku agar kita dapat bicara dengan leluasa.”
Bun Hong memang ingin sekali mengadakan hubungan dengan pembesar ini untuk menyelidiki tentang pemerasan-pemerasan yang dilakukan kepada para petani, maka sambil membungkukkan tubuh sebagai penghormatan, ia menghaturkan terimakasih dan menerima ajakan ini.
“Taijin sungguh memberi penghormatan besar sekali kepada siauwte yang bodoh,” katanya.
Demikianlah, ketika rombongan pembesar itu kembali kegedungnya, Bun Hong ikut diantara mereka, berjalan disamping Pangeran Song, diikuti pandang kagum dan iri dari para pemuda yang masih berdiri diluar Kuil. Sementara itu, pemain sandiwara lalu melanjutkan permainannya, ditonton oleh orang yang suka akan tontonan ini.
“Ia gagah sekali, pantas mendapat penghormatan Pangeran Song,” terdengar orang berkata.
“Akan tetapi ia tadi membela petani yang hendak membunuh Pangeran!,” kata orang lain.
“Ah, ia beruntung sekali. Mungkin ia akan dipungut menantu!” Kata terakhir ini membuat banyak pemuda termenung dengan hati penuh iri. Alangkah bahagianya orang yang menjadi suami puteri Song yang cantik jelita itu, baik yang sulung maupun yang bungsu!
Sementara itu Bun Hong berjalan memasuki gedung besar itu bersama Pangeran Song dengan penuh kekaguman dalam hatinya melihat gedung yang mewah penuh perabot rumah yang indah itu. Lukisan-lukisan yang ditempel didinding adalah lukisan indah yang jarang terlihat diluar gedung dan yang pasti amat mahal harganya. Akan tetapi, Bun Hong pandai menekan perasaan kagumnya hingga ia berjalan dengan langkah biasa dan tetap, seakan pemandangan didalam gedung indah itu bukan apa-apa baginya.
Sebetulnya, kalau saja tidak melihat Bun Hong yang selain tampan dan gagah, tapi juga dalam segebrakan saja dapat merampas pedang perwira yang melindungi keselamatannya, mungkin Pangeran Song akan membiarkan saja petani yang tadi menyerangnya itu dibunuh oleh para penjaga, oleh karena memang hal itu sudah sepatutnya.
Akan tetapi, ketika melihat Bun Hong, ia merasa amat kagum dan tertarik serta timbul didalam hatinya suatu maksud yang amat baik. Ia maklum bahwa pada dewasa itu, terdapat gejala akan timbulnya pemberontakan, maka sebagai seorang pembesar tinggi, tentu terdapat banyak bahaya dari orang yang hendak membunuhnya karena menganggap ia kejam dan sewenang-wenang.
Sekarang terdapat seorang pemuda yang demikian gagahnya, maka kalau saja ia dapat menarik tangan Bun Hong untuk berdiri difihaknya, setidaknya keselamatannya akan lebih terjamin! Memang Pangeran Song ini terkenal amat cerdiknya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa justeru pemuda ini mempunyai maksud untuk membasmi para penindas petani!
Setelah mempersilahkan pemuda itu duduk diatas sebual kursi berukir yang indah dan memerintahkan para pelayan untuk menghidangkan masakan lezat dan arak wangi, Ia lalu bertanya, “Hiante, kau datang dari manakah dan siapa namamu yang terhormat?”
“Siauwte bernama Tan Bun Hong, berasal dari dusun Hong-yan.” Kemudian dengan singkat Bun Hong menceritakan betapa seluruh keluarganya habis binasa oleh gerombolan pengacau yang memberontak ketika ia masih kecil.
“Aah, memang tahun yang lalu itu adalah tahun celaka yang merupakan bencana besar, tidak saja bagi keluarga kerajaan, bahkan juga bagi rakyat jelata,” kata Pangeran Song sambil menghela napas. “Mudah-mudahan saja jangan sampai terulang lagi peristiwa pemberontakan yang hanya mendatangkan malapetaka.”
“Taijin keamanan hidup yang penuh damai tidak saja diidamkan oleh Kaisar dan keluarga kerajaan, akan tetapi bahkan menjadi cita-cita tiap orang manusia dinegara kita ini,” kata Bun Hong sambil memandang tajam.
"Namun ternyata bahwa nasib rakyat jelata memang amat buruk. Setelah mengalami penderitaan dari gangguan para pemberontak, lalu tiba musim kering yang membuat bahaya kelaparan merajalela, kini ditambah lagi dengan peraturan pemerintah sendiri yang mencekik leher para petani miskin!
"Hampir seluruh hasil sawah para petani diharuskan untuk dibayarkan pajak yang luar biasa beratnya hingga bagi para petani sendiri tidak ketinggalan sisa untuk mengisi perut! Taijin adalah seorang pembesar tinggi di kotaraja, sudah tentu lebih mengetahui akan hal ini daripada siauwte yang bodoh dan tidak tahu apa-apa!”
Pangeran itu menarik napas dalam-dalam dan untuk beberapa lama tidak menjawab hingga Bun Hong lebih bernafsu untuk melanjutkan ucapannya dan mengeluarkan isi hatinya.
“Setiap pemberontakan yang timbulnya dari golongan jahat tentu akan hancur karena rakyat selalu menentang dan membela pemerintah, akan tetapi kalau rakyat terlampau ditindas hingga rakyat sendiri yang memberontak, akan rusaklah nama harum pemerintah. Peristiwa tadi, ketika petani itu menyerang Taijin, merupakan tanda yang buruk sekali bagi pemerintah sekarang.
"Mengapa seorang petani sampai berani melakukan penyerangan terhadap seorang pembesar? Hubungan antara rakyat jelata dengan para pemimpin adalah seperti anak terhadap orang-tuanya, kalau anak itu sampai berani melawan orang-tua, tentu ada apa-apa yang tidak beres dengan orang-tua itu.
"Terus terang saja, Taijin, kuakui bahwa siauwte sendiri tidak dapat terlalu menyalahkan petani tadi yang melakukan perbuatan karena tidak tahan lagi melihat betapa anak-isterinya kelaparan karena semua gandum habis dibayarkan pajak! Siauwte pun takkan ragu untuk membasmi para pembesar yang mencekik batang leher rakyat yang sudah miskin dan sengsara itu!”
Untuk sesaat Pangeran Song memandang tajam kepada anak muda itu, kemudian katanya, “Hiante, katamu itu memang benar, biarpun kalau terdengar oleh lain pembesar, tidak salah lagi kau pasti akan ditangkap dan dituduh pemberontak! Ketahuilah bahwa memang aku bertugas menerima dan mengumpulkan hasil pajak dari para petani dan rakyat, akan tetapi peraturan yang menetapkan adalah Kaisar sendiri.
"Aku adalah seorang keluarga kerajaan dan sudah lama aku merasa sedih sekali melihat betapa Kaisar kini berada dalam kekuasaan para Thaikam. Orang seperti aku ini menpunyai pengaruh apakah? Tak lain aku hanya menjalankan tugas. Kaisar sendiri tidak berani menentang para Thaikam apalagi aku, seorang Pangeran yang hanya berpangkat bendahara.”
Kemudian dengan panjang lebar Pangeran Song lalu menceritakan tentang kekuasaan para Thaikam, terutama sekali Thio-Thaikam yang mempunyai pengaruh besar sekali. Pangeran Song, seperti juga pembesar lain merasa benci kepada Thio-Thaikam walaupun mereka tidak berani memperlihatkan kebencian ini, oleh karena Thin-Thaikam yang menduduki tempat tinggi itu memandang rendah kepada semua pembesar dan pengaruhnya luas sekali.
Akan tetapi, Thio-Thaikam mempunyai kekuasaan terhadap Kaisar yang selalu menuruti kehendaknya. Dan disamping itu, Thio-Thaikam juga mempunyai banyak kaki tangan yang berilmu tinggi. Sebenarnya diluar tahunya orang lain, adanya Kaisar amat takut dan tunduk kepada Thio-Thaikam ialah karena pembesar kebiri ini telah mempunyai hubungan dengan pemerintah Turki barat yang disebut bangsa Shato.
Thio-Thaikam merupakan tangan kanan dari pemerintah ini yang mengadakan hubungan baik dengan Kaisar, dan mengingat akan kelemahannya sendiri, terpaksa Kaisar selalu menuruti kehendak Thio-Thaikam hingga boleh dibilang bahwa pada dewasa itu, pengaruh Thio-Thaikam lebih besar daripada Kaisar sendiri!
Mendengar akan pengaruh jahat berupa pembesar kebiri ini yang menguasai kerajaan, Bun Hong merasa marah sekali. Kini tahulah dia siapa orangnya yang harus dibasmi untuk membalaskan sakit hati rakyat itu. Ia harus dapat membunuh Thio-Thaikam!
“Kalau begitu, biarlah siauwte pergi memenggal kepala keparat itu!,” katanya dengan mengepal tinju.
Pucatlah wajah Pangeran Song mendengar ucapan ini. Setelah memandang kekanan-kiri dan mendapat kenyataan bahwa ucapan pemuda itu tadi tidak terdengar oleh orang lain, baru legalah hatinya.
“Tan-hiante, harap kau jangan terlalu sembrono mengucapkan kata seperti itu. Ketahuilah bahwa pengaruh Thio-Thaikam besar sekali hingga boleh dibilang bahwa disetiap tempat terdapat kaki tangannya. Berlakulah hati-hati, hiante, dan kalau bisa, buanglah jauh-jauh niatmu itu, oleh karena maksud itu sukarnya melebihi kalau kau hendak mencari buah tho ditaman surga!
"Selain penjagaan yang ketat sekali juga rumah gedung Thio-Thaikam penuh dengan perwira-perwira yang berilmu tinggi sekali. Sebelum kau melewati pintu pertama kau tentu akan tertangkap atau terbinasa.”
Pangeran ini memang sengaja memanaskan hati Bun Hong, karena sesungguhnya, tidak ada kegembiraan yang lebih besar baginya selain mendengar bahwa orang kebiri itu terbunuh mati oleh orang lain!
“Terimakasih, Taijin. Tentu saya siauwte akan berlaku hati-hati sekali. Sebenarnya, siauwte hanya menjalankan tugas sebagai seorang yang menjunjung tinggi keadilan, karena mengandalkan bantuan pembesar lain, agaknya takkan ada gunanya karena semua pembesar ternyata lebih mementingkan kesenangan mereka daripada memperhatikan penderitaan rakyat jelata.”
Merahlah wajah Pangeran Song mendengar ini. "Anak muda, janganlah kau terlalu memandang rendah kepada kami. Terus terang saja, pernah aku mengajukan protes dan minta pengurangan tentang pemungutan pajak ini, akan tetapi apa hasilnya? Hampir saya aku mendapat bencana dari Thio-Thaikam kalau saja aku tidak mempergunakan banyak sekali uang emas untuk menyogok. Kalau tidak ada dia disamping Kaisar, percayalah, orang seperti aku ini tentu takkan membiarkan rakyat tercekik, dan pasti kami akan mengajukan surat permohonan agar peraturan itu dirobah.”
Berserilah wajah Bun Hong mendengar ini. “Kalau begitu, izinkanlah siauwte mengundurkan diri, Taijin dan dengarkan saja, tak lama lagi Thaikam itu tentu takkan berada disamping Kaisar lagi!”
Pangeran Song berdiri dan mengantar tamunya keluar. “Terserah kepadamu, hiante, akan tetapi ingat bahwa aku tidak ikut-ikut dalam urusan ini! Betapapun juga, setiap saat kau memerlukan bantuan, asalkan tidak berada diluar kemampuanku, pasti aku akan membantumu.”
Bun Hong merasa girang sekali bahwa akhirnya ia bisa mendapat tahu siapa biang keladinya yang menelurkan peraturan pajak yang demikian mencekik leher para petani. Akhirnya ia akan dapat melakukan perbuatan gagah sebagaimana yang diidamkan oleh suhunya. Ia takkan merasa kalah terhadap suhengnya.
Dan kalau ia berhasil memusnahkan Thaikam itu dan kemudian berkat bantuan Pangeran Song dan pembesar lain peraturan pajak yang berat itu dapat dirobah hingga menjadi ringan bagi para petani, maka itu berarti bahwa ia telah dapat menolong jiwa puluhan ribu para petani miskin!
Untuk usaha seperti itu, biarpun harus mengurbankan nyawa, ia akan rela! Istana Thio-Thaikam menyambung dengan istana Kaisar dan letaknya disebelah belakang istana Kaisar itu. Istana itu tinggi dan besar serta dikelilingi oleh tembok yang tinggi pula. Disetiap pintu gerbangnya terdapat penjaga-penjaga yang siang-malam menjaga dengan tertib dan keras.
Bun Hong sudah menyelidiki tempat itu diwaktu siangnya dengan berjalan-jalan seakan-akan mengagumi keindahan gedung itu dari luar. Maka ia maklum bahwa untuk masuk kegedung melalui pintu gerbang adalah hal yang tidak mungkin.
Untuk melompati pagar tembok juga sukar sekali karena tembok itu tinggi sekali dan diatasnya dipasangi tombak-tombak tajam yang menghalangi setiap orang yang hendak melompat dari bawah. Selain itu diatas tembok dipasangi penerangan hingga setiap orang yang melompati tembok itu akan kelihatan oleh para penjaga dipintu gerbang.
Malam gelap gulita. Bulan sedikitpun tak nampak dan langit yang tertutup mendung itupun menyembunyikan semua bintang dari pandangan mata manusia. Didalam gelap, sesosok bayangan orang yang gesit gerakannya mendekati tembok yang mengelilingi istana Thio-Thaikam. Bayangan itu adalah Bun Hong.
Pemuda ini maklum bahwa diujung barat terdapat sebagian tembok yang gelap oleh karena didekat tempat itu terdapat sebatang pohon besar yang menghalangi penerangan dan bayangannya menggelapkan tembok. Sudah direncanakan semenjak siang hari tadi bagaimana ia harus memasuki istana itu.
Dengan hati-hati sekali ia melompat dan bersembunyi dibelakang batang pohon yang besar itu sambil mengintai kearah pintu gerbang yang berada agak jauh dari situ. Dilihatnya bayangan beberapa orang penjaga berdiri dan berjalan hilir-mudik dengan tombak ditangan.
Setelah dilihatnya penjaga-penjaga itu berjalan menuju ketimur hingga menjauhi pohon itu, secepat gerakan monyet, ia memanjat pohon itu dan sebentar saja sudah berada diatas cabang, bersembunyi dibalik daun pohon yang lebat. Ia menanti beberapa lama karena para penjaga itu sudah membalikkan tubuh dan kini berjalan kembali kearah barat sampai didekat pohon.
Ia mendengar mereka bercakap-cakap perlahan, kemudian membalikkan tubuh dan berjalan kembali ketimur. Kesempatan ini dipergunakannya untuk melontarkan sehelai tali kearah ujung tombak yang berada diatas pagar tembok. Lalu dengan sigap sekali ia lalu berjalan diatas tali itu bagaikan seorang pemain atau penari tali yang ahli. Kemudian ia menarik tali itu terlepas dari pohon.
Sebetulnya ia bukannya ngeri dan takut terhadap beberapa orang penjaga itu, akan tetapi kalau sampai ia ketahuan, biarpun ia akan sanggup merobohkan mereka dengan mudah, akan tetapi kalau mereka berteriak membuat gaduh, tentu para penjaga dan perwira didalam gedung itu akan mendengarnya dan mereka akan berlari keluar.
Sehingga sebelum masuk kedalam istana ia akan mengalami pengeroyokan hebat yang berarti menggagalkan usahanya! Oleh karena inilah, maka ia masuk dengan jalan mencuri. Ujung tali lalu diikatkannya kepada sebatang tombak yang dipasang diatas tembok, lalu melemparkan tali itu bergantungan dibawah.
Setelah melihat bahwa didalam sunyi, ia lalu meluncur turun kesebelah dalam melalui tali yang panjang itu. Sambil bersembunyi didalam bayangan tembok yang gelap, ia bergerak maju dengan cepat, meninggalkan tali ditempat tadi untuk persediaan kalau hendak keluar nanti.
Benar saja sebagaimana diucapkan oleh Pangeran Song, penjagaan diistana itu kuat sekali dan dimana-mana dipasangi teng atau lampu penerangan yang menerangi seluruh tempat. Bun Hong merasa gemas sekali melihat bahwa biarpun terdapat sebuah pintu yang nampak sunyi.
Namun diatasnya terdapat sebuah lentera yang besar dan bernyala terang, hingga kalau ia berlari dibawahnya, tentu ia akan terlihat oleh para penjaga yang banyak terdapat disekitar tempat itu dan yang suaranya terdengar olehnya kalau mereka bercakap. Untuk melompat naik keatas genteng, terlalu banyak bahaya karena ia masih berada diluar halaman gedung hingga akan mudah terlihat.
Bun Hong lalu mencari akal. Kemudian ia mendapat akal yang baik, Dipungutnya sepotong batu kecil dan setelah ia membidik, lalu disambitkannya batu kecil itu kearah lentera. Batu itu sengaja dilontarkan hingga masuk kedalam lentera melalui lubang diatasnya dan tepat jatuh menimpa sumbu lampu hingga sumbu yang bernyala itu ketika tertutup batu, apinya lalu menjadi padam.
Ia cepat mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi gelap itu untuk berlari cepat dan ringan masuk kedalam pintu itu. Baiknya, ia berlaku cepat, karena segera ia mendengar suara orang berkata,
“Leng-ko, lentera diatas pintu kiri itu padam!”
“Biarkan sajalah, tempat itu sudah cukup mendapat penerangan dari lentera lain,” terdengar jawaban suara lain.
Bun Hong tidak memperdulikan semua itu dan cepat menuju kedekat gedung, kemudian ia mengenjot tubuhnya keatas genteng dengan mempergunakan keringanan tubuhnya hingga kakinya tidak mengeluarkan suara ketika menginjak genteng. Untuk beberapa lama ia mendekam dibelakang wuwungan yang gelap dan memandang kekanan-kiri.
Ternyata suasana diatas istana itu sunyi sekali, maka ia lalu bergerak maju dengan perlahan. Ia mulai menjadi bingung karena ternyata bahwa bangunan itu besar sekali hingga ia tidak tahu harus menyelidiki dibagian mana. Akhirnya ia melompat kearah genteng yang paling tinggi karena dibawah genteng itu kelihatan yang paling terang.
Dengan amat hati-hati ia membuka genteng dibagian ini dan mengintai kebawah. Dilihatnya ada beberapa orang laki-laki yang berpakaian sebagai pembesar-pembesar tinggi duduk disebuah ruangan yang luas dan amat terang. Empat orang berpakaian sebagai pembesar tinggi, tiga orang berpakaian sebagai perwira-perwira, dan ada dua orang lain lagi yang menurut potongan wajah dan pakaiannya, tentu orang asing adanya.
Ia tidak tahu siapa mereka itu dan tidak tahu pula yang mana adanya Thio-Thaikam, karena sungguhpun ia telah mendapat keterangan dari Song Hai Ling, Pangeran itu, tentang bentuk muka Thio-Thaikam, akan tetapi dipandang dari atas, muka pembesar itu hampir sama!
Tiba-tiba ia melihat seorang diantara kedua orang asing itu berkata dalam bahasa Han yang kaku sambil mengangguk kepada seorang pembesar yang bertubuh gemuk,
“Pendapat Thio-Taijin benar sekali dan kami merasa setuju sepenuhnya.”
Bukan main girangnya hati Bun Hong mendengar ini karena kini tahulah ia bahwa yang bertubuh gemuk dan bermuka merah itu adalah Thio-Thaikam. Dengan dada berdebar tegang ia lalu mencabut keluar pisau belati yang sudah disiapkannya sebelumnya, lalu mengeluarkan pula sehelai kertas putih yang sudah ditulisnya dengan huruf besar,
“MELALUI PAJAK MEMERAS RAKYAT. PEMBESAR KEPARAT HARUS MATI DIUJUNG PEDANG!”
Kertas itu ia tusuk dengan pisau tadi lalu memegang pisau itu dengan tangan kiri. Kemudian ia mencabut pula pedangnya dan dengan cepat menyabet kearah genteng beberapa kali hingga terbukalah lubang yang cukup besar,
“Pembesar jahat rasakan pembalasan rakyat tertindas!” teriaknya sambil melompat turun dengan gerakan Naga Hitam Terjun Kelaut.
Ketika ia tadi menyabet genteng dengan pedang, orang disebelah bawah sudah merasa terkejut dan heran kini melihat seorang pemuda berbaju hitam dan yang memakai kedok saputangan pada muka sebelah bawah melompat turun dengan cepat dan dengan pedang ditangan, mereka makin terkejut.
Tiga orang perwira tadi segera mencabut senjata masing-masing, bahkan dua orang asing yang duduk disitu juga mencabut golok mereka yang melengkung bentuknya. Ketika tubuh Bun Hong sudah tiba dibawah, segera tiga orang perwira dan dua orang asing itu menerjangnya sambil memutar senjata mereka.
Seorang perwira berseru, “Bangsat kecil, kau mengantarkan kematianmu sendiri!”
Bun Hong tidak gentar menghadapi mereka dan ia segera menggerakkan pedangnya dengan hebat. Akan tetapi, kagetlah ia ketika merasa betapa tenaga lawan-lawannya itu besar sekali dan ilmu silat mereka juga hebat! Terutama sekali seorang perwira yang telah tua dan bertubuh tinggi kurus, ilmu pedang perwira ini luar biasa. lihainya hingga tahulah dia bahwa ia takkan dapat memenangkan mereka.
Dengan nekad ia lalu memutar pedangnya dan tiba-tiba diayunkannya tangan kirinya kearah pembesar gemuk tadi. Melihat datangnya pisau yang cepat sekali menuju kedadanya, pebesar itu mencoba berkelit, akan tetapi terlambat, karena datangnya pisau itu memang cepat dan tidak terduga hingga pisau itu masih berhasil menancap dilengan tangannya dekat pundak.
Pembesar itu berteriak kesakitan lalu memaki-maki, “Bangsat kurang-ajar! Tangkap dia! Tangkap hidup-hidup, jangan lepaskan dia!”
Pembesar ini selain merasa marah, juga ingin tahu siapakah orang yang berani menyerangnya ini dan siapa pula yang menyuruhnya. Memang benar dugaan Bun Hong bahwa pembesar itu bukan lain ialah Thio-Thaikam sendiri yang sedang menemui dua orang utusan dari Turki.
Bun Hong segera dikurung rapat. Ketika melihat betapa beberapa orang perwira mendatangi lagi dari jurusan luar, ia betul merasa gelisah dan putus asa. Untuk menghadapi lima orang ini saja ia sudah merasa kewalahan, apalagi kalau datang pembantu lain lagi.
Benar keterangan Pangeran Song bahwa perwira disitu memang lihai-lihai sekali. Sambil menggeram diputar-putarnya pedangnya dan memainkan jurus ilmu pedang Swi-hoa Kiam-hwat yang lihai. Bun Hong memang memiliki ginkang yang sempurna dan kegesitannya banyak menolongnya dalam pertempuran ini, ia dapat bergerak lincah dan selalu berlompatan kesana-kemari hingga sukar bagi lawan-lawannya untuk mengurungnya.
Bun Hong menggunakan batu-batu tiang yang banyak terdapat diruang itu untuk berlindung, lari ketiang sana, melompat kebelakang tiang sini, dan selalu mencari kesempatan untuk melarikan diri! Karena gerakannya lincah sekali dan ilmu pedangnya juga tinggi hingga kalau hanya menghadapi mereka seorang lawan seorang ia takkan kalah, maka semua lawan yang mengeroyoknya menjadi gemas dan kewalahan.
“Panggil bala bantuan, kepung tempat ini! Jangan biarkan ia melepaskan diri!,” teriak Thio-Thaikam pula yang sudah ditolong oleh orang-orangnya dan kini duduk disebuah kursi dan dibalut lengannya, sedangkan dua orang pengawal pribadinya telah menjaga didepannya dengan golok terhunus, Bun Hong maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali, maka tiba-tiba ia menggerakkan tangan kirinya dan berseru,
“Awas pisau!”
Kelima orang pengeroyoknya tadi telah melihat betapa lihainya pemuda ini menyambit dengan pisau hingga melukai Thio-Thaikam, maka gertakan ini membuat mereka berlaku hati dan melompat mundur. Akan tetapi, Bun Hong hanya menggertak belaka dan mempergunakan kesempatan selagi mereka mundur, lalu melompat cepat keluar dari ruangan itu dan terus melompat keatas genteng!
Para pengeroyoknya dan beberapa orang perwira lain yang sudah datang memburu, mengejarnya dan mereka ini juga pandai sekali melompat dan berlari diatas genteng. Bun Hong mengerahkan tenaganya untuk berlari secepat mungkin hingga ia dapat mendahului pengejar-pengejarnya, akan tetapi kemanakah ia harus lari? Tempat disekitar istana itu dikelilingi tembok tinggi dan apabila ia lari ketembok dimana tergantung talinya tadi, sebelum ia dapat memanjat naik, tentu ia telah dapat disusul.
Maka ia lalu berlari kejurusan lain agar para pengejarnya tidak melihat tali yang masih tergantung disebelah dalam tembok tadi. Sambil berlari ia mencari akal. Tiba-tiba ia teringat bahwa para penjaga disebelah dalam dan luar tembok memakai semacam mantel warna biru yang panjang dan sebuah topi yang khusus. Ia mendapat akal baik dan ketika mendengar teriakan pengejarnya dibelakang, ia lalu melompat kekanan dan segera turun dari atas genteng.
Akan tetapi, dibawahpun sudah banyak terdapat penjaga-penjaga yang ketika melihat ia melompat turun, segera mengeroyoknya sambil berteriak-teriak! Dengan mudah Bun Hong menjatuhkan beberapa orang pengeroyok yang terdiri dari penjaga biasa ini. Akan tetapi, para perwira yang tadi mengejarnya telah sampai pula ketempat itu dan mereka menyerbu sambil berteriak,
“Kurung dan tangkap dia hidup!! Ini perintah Thio-Taijin!”
Hal ini menguntungkan Bun Hong. Nafsu Thio- Thaikam yang ingin melihatnya tertangkap hidup, memeriksa dan menyiksanya, telah menolong jiwa Bun Hong. Kalau semua pengeroyok itu bermaksud membunuhnya dan menyerbu dengan mati-matian, tentu ia takkan dapat mempertahankan diri.
Akan tetapi oleh karena mereka hanya berusaha merampas senjatanya, sampai sekian lamanya Bun Hong masih dapat melawan dengan baik, bahkan telah banyak pengeroyok, yaitu para penjaga yang tidak begitu tinggi kepandaiannya, dirobohkannya dengan pedangnya! Diantara perwira-perwira pelindung Thio-Thaikam, yang terkenal gagah perkasa dan memiliki ilmu silat tinggi ada tiga orang.
Yang pertama adalah seorang tosu yang telah dapat “dibeli”nya, dan bernama Tek Po Tosu, seorang tokoh dari Thaisan yang lihai sekali permainan siang-kiam (pedang sepasang) dan juga lweekangnya. Tosu ini merupakan pelindung dan penasehatnya dan mendapat tempat dalam sebuah kamar besar dalam istana itu.
Yang kedua adalah seorang perwira tinggi besar bernama Bong Kak Im, yang lihai sekali permainan ilmu kapaknya. Sepasang kapak besar dikedua tangannya sukar dilawan oleh karena digerakkan dengan tenaga besar serta ganas sekali. Orang ketiga adalah adik Bong Kak Im yang bernama Bong Kak Liong, ahli permainan golok tunggal.
Pada saat itu, kebetulan sekali Tek Po Tosu dan Bong Kak Im tidak berada didalam istana, sedang menjalankan tugas diluar kota, menjadi utusan Thio-Thaikam. Hal ini amat menguntungkan Bun Hong oleh karena apabila seorang diantara kedua orang kosen ini berada di istana Thaikam, tentu dengan mudah pemuda itu akan dirobohkan dan ditangkap.
Kini yang menyerangnya dengan hebat hanya Bong Kak Liong, perwira tinggi kurus yang memainkan golok secara luar biasa sekali. Diantara semua pengeroyoknya, hanya perwira tinggi kurus ini yang merepotkan Bun Hong, karena gerakan goloknya memang hebat sekali dan pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menjaga diri.
Kalau dia bertempur melawan Bong Kak Liong seorang, belum tentu ia akan kalah, akan tetapi oleh karena selain perwira itu, masih banyak pula perwira lain yang juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, maka keadaan Bun Hong benar terjepit.
Pada saat ia mengerahkan tenaga menyerang Bong Kak Liong yang mengurungnya dengan sinar goloknya yang bergulung, tiba-tiba perwira itu mengeluarkan suara bentakan keras dan menggunakan goloknya untuk menangkis dengan sekerasnya, dibarengi dengan tendangan soan-hong-twi yakni tendangan angin berputaran yang berbahaya sekali.
Bun Hong menjadi terkejut sekali oleh karena pada saat itu, dua batang pedang perwira lain sedang membacok kearah kakinya! Ia dapat mengelakkan diri dari tendangan kaki Bong Kak Liong dan bacokan pedang pada kakinya, akan tetapi tangkisan golok yang keras itu membuat pedangnya terlepas dan terlempar dari pegangannya!
Ternyata bahwa karena bertempur terlalu lama dan lelah sekali menghadapi sekian banyak pengeroyok, telapak tangan Bun Hong mengeluarkan peluh hingga gagang pedangnya yang basah menjadi licin sekali! Ketika pedangnya terlepas, Bun Hong menghadapi tendangan soa-hong-twi yang masih diluncurkan.
Tendangan ini dilakukan oleh kedua kaki yang susul-menyusul, hingga pemuda itu segera menggerakkan tubuhnya dalam gerakan Jiau-pouw poan-soan, yakni bertindak berputar-putar dengan gesitnya menghindarkan diri dari tendangan lawan itu! Gerakannya cepat dan indah hingga perwira tinggi kurus itu mengeluarkan seruan kagum.
Melihat bahwa kalau terus mengadakan perlawanan, ia pasti akan tertawan, maka Bun Hong lalu berseru keras dan berhasil menangkap seorang perwira yang diputar dan digunakan sebagai perisai! Tentu saja para pengeroyoknya cepat menarik kembali senjata mereka agar tidak melukai kawan sendiri! Bun Hong mempergunakan kesempatan itu untuk mundur dan ia lalu melemparkan tubuh perwira itu kearah pengeroyoknya.
Setelah itu, ia lalu melompat naik keatas genteng pula, yang segera dikejar oleh para perwira, dikepalai oleh Bong Kak Liong. Kembali terjadi kejar-mengejar diatas genteng dan Bun Hong mulai merasa amat lelah. Dengan cepat ia menuju kesebelah kiri istana itu sambil memutar otaknya dengan cepat.
Ketika melihat banyak penjaga yang bermantel biru dan bertopi lebar berkumpul dibawah genteng sambil berteriak memandang kepadanya, ia lalu melompat turun ditengah mereka! Cepat sekali kaki tangannya bergerak dan beberapa orang penjaga terjungkal! Ia bermaksud merampas sebuah pedang.
Akan tetapi tiba-tiba ia terikat akan akal yang hendak dipergunakannya, maka ia lalu menangkap seorang penjaga, menotok, iganya hingga tubuh penjaga itu menjadi lemas dan sambil memutar tubuh itu ia membuka jalan dan segera berlari menuju kebagian barat gedung itu!
Sambil berlari ia mengambil beberapa potong batu dan ketika lewat dibawah lentera, ia menyambit hingga kaca lentera menjadi pecah dan apinya padam. Beberapa kali ia memadamkan lentera hingga keadaan menjadi gelap. Cepat ia membawa tubuh penjaga itu ketempat gelap, melepaskan mantel dan topi penjaga itu dan memakainya. Lalu ia berlari lagi menuju tembok dimana tergantung talinya tadi.
Ia menarik napas lega melihat bahwa talinya masih berada disitu, dan cepat ia melompat dan memanjat tali itu naik keatas! Sementara itu, para perwira yang mengejarnya sampai pula ketempat para penjaga yang mengeroyoknya tadi dan mereka lalu beramai-ramai lari kebagian barat. Ketika mereka melihat seorang penjaga memanjat tali, mereka berteriak-teriak,
“Mana bangsat itu?” Bun Hong tidak menyawab, bahkan memanjat makin cepat lagi. Seorang perwira memegang tali itu dan menggoyang-goyangnya hingga tubuh Bun Hong juga tergoyang-goyang diatas!
“He, dimana penjahat tadi?” teriak perwira itu.
Pada saat itu, tubuh Bun Hong sudah sampai diatas, tinggal beberapa kaki saja dari tombak yang terpasang diatas tembok, maka ia memberanikan hati dan menyawab, “Dia lari melalui tali ini! Aku akan mengejarnya!”
Untung sekali bahwa tempat itu agak gelap, tertutup oleh bayangan pohon yang menjulang tinggi datas tembok, hingga orang dibawah tidak melihat bahwa pakaiannya berbeda dengan pakaian penjaga yang tidak berapa kentara karena tertutup oleh mantel penjaga warna biru dan topi lebar yang dipakainya tadi.
Para penjaga lalu menyerbu kearah pintu hendak mencari penjahat itu diluar tembok. Sementara itu, Bun Hong sudah sampai diatas tembok dan cepat ia melompat kecabang pohon, karena untuk menggunakan tali, hanya akan membuang waktu belaka.
Gerak lompatannya ini mendatangkan curiga bagi para perwira. Bong Kak Liong yang melihat gerakan itu, tahu bahwa mereka telah tertipu oleh karena tak mungkin ada seorang penjaga yang memiliki ginkang demikian tinggi!
“Kejar!” serunya sambil berlari kearah pintu gerbang. “Dialah penjahatnya!”
Ketika rombongan perwira telah keluar dari pintu gerbang, Bun Hong telah berhasil melompat turun dari pohon dan setelah membuang mantel dan topi pinjaman itu, ia lalu melarikan diri secepatnya!
Para perwira tetap mengejarnya, dan ketika Bun Hong melompat naik keatas genteng, para perwira yang dikepalai oleh Bong Kak Liong juga melompat naik dan terus mengejarnya! Pada waktu itu, bulan sudah muncul dan mendung sudah pergi tertiup angin hingga bayangan pemuda itu dapat terlihat menghitam diatas genteng, memudahkan para perwira untuk mengikuti jejaknya.
Bu Hong menjadi gelisah sekali. Biarpun ia telah dapat meninggalkan para pengejarnya jauh dibelakang, namun ia telah merasa lelah sekali. Kedua kakinya telah menjadi lemas dan kini ia tidak bersenjata lagi. Kalau ia kernbali kehotelnya, tentu mereka akan mengejar pula, dan untuk berlari keluar dari kotaraja, adalah hal yang tak mungkin karena pintu-gerbang kota terjaga keras!
Dalam berlari-lari ini, tak terasa lagi ia telah tiba diatas genteng gedung besar Pangeran Song Hai Ling! Tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam otaknya. Pangeran itu adalah seorang yang baik hati dan juga mempunyai pengaruh, mengapa ia tidak menggunakan kesempatan itu untuk minta perlindungan kepadanya? Bukankah Pangeran itu pernah menyatakan bahwa pembesar itu bersedia membantunya?
Tanpa pikir panjang lagi karena ia benar telah merasa lelah, Bun Hong lalu melayang turun kedalam gedung itu dan menggunakan tenaganya untuk membuka jendela kamar lalu melompat masuk kedalam! Beberapa orang penjaga yang melihatnya lalu maju menubruk, akan tetapi ketika melihat Bun Hong yang dikenalnya sebagai sahabat Pangeran Song, mereka menjadi ragu-ragu.
Dan pada saat itu muncullah Pangeran Song Hai Ling sendiri dari dalam. “Kau, Tan-hiante?,” tanyanya dengan kaget.
“Taijin, sekaranglah waktunya kau harus menolongku!” kata Bun Hong dengan napas terengah-engah karena lelahnya.
Dengan isarat tangannya, Pangeran itu menyuruh pergi penjaganya, kemudian ia bertanya dengan kuatir, “Apakah yang terjadi, hiante?”
“Celaka, aku gagal membunuh keparat she Thio itu, hanya berhasil melukainya. Sekarang perwira-perwiranya mengejar-ngejarku, sedangkan pedangku telah lenyap dan tubuhku amat lelah... Tolonglah aku, Taijin.”
Pangeran Song kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat. “Celaka! Kalau mereka tahu kau bersembunyi disini, celakalah kami. Bersembunyilah ditempat lain, hiante. Tak mungkin aku dapat menolongmu tanpa membahayakan keluargaku sendiri!,” katanya dengan suara mengandung ketakutan.”
Bun Hong tercengang dan juga bingung. “Jadi kau tidak mau menolongku, Taijin?,” tanyanya heran.
“Bukan tidak mau, akan tetapi...” Pada saat itu, terdengar teriakan diluar gedung, dibarengi dengan ketukan pada pintu yang dilakukan keras sekali.
“Celaka!,” tubuh pangeran Song menjadi gementar karena takut dan kuatir. Tiba-tiba ia memegang tangan Bun Hong dan ditariknya kedalam. Ayoh cepat ikut aku kedalam!”
Bun Hong menurut saja dan keduanya lalu berlari keruang dalam, bahkan pangeran itu terus membawanya kebagian kamar wanita! Ia mengetuk pintu sebuah kamar dan ketika pintu dibuka, ternyata bahwa kamar itu adalah kamar tidur Song Kim Bwee dan Song Kim Hwa, kedua puteri remaja dari pangeran itu.
Bukan main terkejut dan heran kedua orang gadis remaja itu ketika melihat ayahnya datang bersama seorang pemuda yang berpeluh pada jidatnya dan yang berpakaian ringkas warna hitam. Lebih heran lagi ketika mereka mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang kemarin mendatangkan rasa kagum mereka ketika terjadi keributan dikelenteng Bhok-Thian-Si!
“Ada... ada apakah, ayah...?” tanya Kim Bwee dengan mata terbelalak.
“Lekas, kau sembunyikan Tan-hiante ini. Lekas, kalau mereka tahu dia berada dirumah kita, binasalah kita semua!,” kata Pangeran Song dengan cepat dan tubuh menggigil.
“Kau berpura-pura sakit dan suruh adikmu menjagamu. Sembunyikan Tan-hiante. Cepat!!”
Kemudian pangeran itu lalu berlari keluar untuk membuka pintu. Tidak ada orang lain kecuali ketiga orang panglima Thio-Thaikam yang akan berani menggedor gedung Pangeran Song ditengah malam buta! Akan tetapi, Bong Kak Liong adalah seorang panglima yang menjadi kepercayaan dan tangan kanan Thio- Thaikam, maka dengan berani ia menggedor-gedor pintu pangeran itu oleh karena ia merasa yakin bahwa penjahat yang mengacau diistana Thio-Thaikam tadi masuk dan bersembunyi digedung ini.
Ketika pintu dibuka dan melihat bahwa yang menyambutnya adalah Pangeran Song sendiri, Bong Kak Liong lalu membungkukkan diri dalam sebagai penghormatan, lalu berkata, “Mohon maaf sebanyaknya apabila hamba berani mengganggu Taijin, karena hamba menggedor pintu semata-mata untuk keselamatan Taijin sekeluarga,” kata Bong Kak Liong dengan hati dan penuh hormat.
“Eh, Bong-Ciangkun, ada perlu apakah malam-malam kau menggedor pintu? Aku merasa kaget sekalı!”
“Sekali lagi maaf, Taijin. Didalam rumah Taijin bersembunyi seorang penjahat berbahaya yang tadi sudah menyerang dan mengacau diistana Thio-Taijin.”
Pangeran Song tak perlu lagi bermain sandiwara berpura-pura kaget, oleh karena memang ia telah merasa cemas dan kaget sekali hingga tubuhnya telah menggigil. “Apa...? Peng... penjahat...? Bagaimana dia bisa masuk kegedungku? Tak mungkin, Ciangkun, mungkin kau keliru.”
“Jangan kuatir, Taijin. Kami akan mencarinya sampai dapat dan menggusurnya keluar dari gedung ini!,” jawab Bong Kak Liong.
“Silahkan, silahkan! Carilah ia sampai dapat!,” katanya akan tetapi wajahnya menjadi makin pucat.
Bong Kak Liong lalu memimpin anak buahnya menggeledah gedung itu. Biarpun tadi ia menyatakan hendak menolong pangeran itu dan hendak mencari penjahat, akan tetapi sebenarnya ia melakukan penggeledahan, seolah-olah menduga bahwa pangeran itu sengaja menyembunyikan penjahat tadi! Ia mencari diseluruh kamar, bahkan kamar pangeran Song dan kamar para selirpun tidak dilewatinya!
Bukan main mendongkol hati pangeran itu melihat kekurang-ajaran ini akan tetapi ia tidak berani menegur karena kuatir kalauo Bun Hong akan terdapat dan ia takkan bisa menyangkal pula. Akhirnya, Bong Kak Liong tiba didepan kamar Kim Bwee.
“Kamar siapakah ini?,” tanyanya.
“Ciangkun!” Pangeran Song memperotes. “Ini adalah kamar puteriku, jangan kau ganggu dia!”
“Maaf, Taijin. Hamba hanya melakukan tugas yang diperintahkan oleh Thio-Taijin. Penjahat itu harus didapatkan. Bagaimana kalau ia menyerbu masuk kekamar ini dan bersembunyi didalam?”
Pangeran Song memperlihatkan muka marah. “Bong Ciangkun! Berani benar kau mengeluarkan kata-kata yang bukan-bukan! Kamar ini adalah kamar kedua orang puteriku, bahkan yang sulung sedang kurang enak badan, apakah kau begitu tidak percaya kepada kami?”
Bong Kak Liong merasa ragu-ragu, karena ia merasa kuatir kalau pangeran ini akan marah, akan tetapi ia harus melakukan tugasnya dan ketakutan terhadap pangeran ini tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan rasa takut dan taatnya kepada Thio-Thaikam.
“Maaf, Taijin, betapapun juga, hamba harus mendapat kepastian dan menyaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa penjahat itu tidak bersembunyi didalam kamar ini!”
Pada saat itu, daun pintu terbuka dari dalam dan muncullah Kim Hwa diambang pintu. “Ayah, ada apakah ramai-ramai ini? Mengapa begini banyak orang berada disini? Cici sedang sakit, mengapa kau biarkan saja orang membuat gaduh, ayah?”
Bong Kak Liong cepat memberi hormat dan menjura. “Maafkan hamba, Siocia. Hamba kuatir kalau penjahat yang kami kejar-kejar bersembunyi dikamar ini!”
Pucatlah muka Kim Hwa karena kuatir, dan hal ini baik sekali karena Bong Kak Liong menyangka bahwa gadis remaja yang cantik ini merasa terkejut dan takut. “Penjahat? Ah, lekaslah kau tangkap dia, Ciangkun! Benar-benarkah dia berada digedung kami!”
“Kami sedang mencari-carinya,” kata Pangeran Song yang merasa lega, karena ia melihat bahwa kamar itu kosong, tidak nampak bayangan Bun Hong sedangkan Kim Bwee nampak berbaring diatas pembaringan sambil berkerudung selimut.
“Apakah betul? tidak ada siapa-siapa dikamarmu?”
Kim Hwa memandang kepada ayahnya. “Yang ada hanyalah cici yang mulai panas lagi tubuhnya, ayah.” Sambil berkata demikian ia membuka daun pintu itu agak lebar hingga Bong Kak Liong dapat melihat betapa kamar itu benar-benar kosong, hanya terdapat Kim Bwee yang sedang berbaring diatas pembaringan sambil menutupi tubuhnya dengan selimut dan nampak pucat sekali seperti sedang menderita sakit.
“Maaf, maaf,” kata panglima itu sambil menjura. “Siocia, tutuplah pintu kamarmu kembali, tak baik bagi saudaramu kalau terkena angin. Maafkanlah kami!”
Kim Hwa menutup daun pintunya kembali dan Bong Kak Liong lalu memimpin anak buahnya untuk mencari dilain bagian. Akan tetapi, didalam gedung itu sama sekali tidak terdapat bayangan Bun Hong hingga dengan amat penasaran, Bong Kak Liong terpaksa meninggalkan gedung itu setelah minta maaf kepada Pangeran Song. Setelah melihat bahwa pemuda itu tak dapat ditemukan didalam gedungnya, barulah Pangeran Song berani memperlihatkan giginya,
“Bong-Ciangkun, kelakuanmu tadi sungguh tak patut! Apa kau kira aku menyembunyikan seorang penjahat? Bagus bagus! Dimanakah adanya aturan lama? Sampai pun seorang perwira biasa saja berani menghinaku!”
“Maafkan hamba, Taijin, Hamba hanyalah menjalankan perintah Thio-Taijin,” jawab Bong Kak Liong yang merasa menyesal dan kuatir.
“Apakah Thio-Taijin juga memberi perintah kepadamu untuk memeriksa semua kamarku dan kamar puteriku, seakan kami menyembunyikan penjahat didalam kamar kami dengan sengaja?”
“Tidak... tidak..., tapi..., tapi...”
Baru menjawab sampai disitu, Pangeran Song sudah membanting daun pintu dimuka hidung perwira itu yang segera pergi dengan mendongkol sekali. Ia memaki-maki semua anak buahnya yang disebut “bodoh dan tolol” hingga mengejar seorang penjahat saja sampai tidak dapat tertangkap.
Iapun merasa heran sekali karena ketika ia mengadakan penggeledahan, perwira lain menjaga disekitar gedung itu, bahkan diatas genteng dilakukan penjagaan hingga penjahat itu tak mungkin keluar dan kabur dari gedung itu.
Maka ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk mengadakan pengintaian disekeliling gedung itu sambil bersembunyi, sementara ia pulang dengan cepat memberi laporan kepada Thio-Thaikam. Setelah para penggeledah itu pergi, selimut yang menutup tubuh Kim Bwee segera terbuka dan didekat tubuh gadis itu nampak Bun Hong sedang meringkuk dan ditutupi selimut!
Ia segera melompat turun dan menjura didepan Kim Bwee yang juga sudah duduk dengan muka merah dan air mata mengalir turun disepanjang pipinya. Ketika tadi Pangeran Song minta kepada kedua orang puterinya untuk menyembunyikan Bun Hong, Kim Bwee dan Kim Hwa menjadi bingung sekali dan setelah ayah mereka pergi kedua orang gadis itu hanya saling pandang dengan muka merah dan sama sekali tidak berani memandang muka Bun Hong.
Juga pemuda itu merasa malu sekali dan berkata, “Jiwi Siocia (nona berdua), harap jiwi sudi memberi maaf kepadaku. Sesungguhnya bukan kehendakku untuk mengganggu jiwi dan untuk bersembunyi dikamar jiwi,” kata Bun Hong dengan muka merah.
“Mengapa kau dikejar-kejar, taihiap?” tanya Kim Hwa. “Kami mendengar dari ayah bahwa kau adalah seorang pendekar besar, mengapa sekarang harus bersembunyi?”
Bun Hong lalu menceritakan pengalamannya dan betapa ia dikejar-kejar oleh para perwira Thio-Thaikam,
“Kalau begitu, apabila mereka itu mendapatkan kau berada disini, tentu kami sekeluarga akan mendapat celaka!” kata Kim Hwa pula dengan cemas.
“Itulah sebabnya maka ayahmu menyuruh aku masuk kedalam kamar ini agar para pengejar tidak akan menyangkanya dan tidak mendapatkan aku berada digedungmu ini, nona.”
Oleh karena merasa kikuk dan canggung menghadapi dua orang gadis yang cantik jelita didalam kamar mereka yang berhiaskan perabot serba indah dan mengeluarkan keharuman yang sedap itu.
Bun Hong menjadi seakan-akan gagu dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Ia berdiri seperti patung dan hanya kadang-kadang saya melirik kearah Kim Bwee dengan dada berdebar. Nona itu nampak lebih cantik jelita daripada dulu ketika ia lihat dikelenteng.
Tiba-tiba terdengar suara para penggeledah diluar pintu dan suara Pangeran Song mencegah mereka membuka pintu itu. Kedua orang gadis itu menjadi pucat sekali dan tubuh mereka menggigil sedangkan Bun Hong telah bersiap-sedia untuk menerjang keluar!
Tiba-tiba Kim Bwee yang semenjak tadi diam saja, hanya duduk ditepi pembaringan sambil bermain-main dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan menundukkan kepala, melompat berdiri dan mendekati Bun Hong lalu berbisik, “Taihiap, lekas! Lekas kau naik kepembaringanku!”
Dalam keadaan seperti itu, Bun Hong tak dapat merasa ragu-ragu atau malu lagi. Ia segera naik kepembaringan dan menurut saja ketika Kim Bwee menutupi tubuhnya dengan selimut yang harum baunya! Bun Hong meringkuk dibawah selimut dan memasang telinga, siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Akan tetapi tiba-tiba ia merasa sesuatu yang halus dan lunak menyentuh tubuhnya dan keharuman yang dibauinya tadi makin mengeras. Karena tadinya ia memejamkan mata, maka segera ia membuka matanya dan dadanya berdenjut hebat ketika ia mendapat kenyataan bahwa tubuh Kim Bwee sudah berada dibawah selimut pula, hanya kepala gadis itu saya yang keluar dari selimut!
Ternyata tanpa ragu-ragu lagi gadis itu telah berpura-pura sakit dan menyembunyikan tubuh Bun Hong dibawah selimutnya! Tentu saya Bun Hong merasa malu dan jengah sekali ia tidak berani berkutik, bahkan bernapaspun tak berani...!