Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 06

Cerita silat Mandarin online karya Kho Ping Hoo. Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 06
Sonny Ogawa

Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 06 - Bun Hong mendengarkan percakapan yang terjadi ketika Kim Hwa membuka pintu. Gadis remaja itu ternyata cerdik sekali dan setelah melihat encinya berbaring dan berselimut dan pemuda itu telah bersembunyi dengan baik didalam selimut, lalu membuka pintu dan menjalankan aksinya dengan sempurna hingga tidak saja para pengejar dapat ditipunya, bahkan ayahnya sendiripun merasa heran sekali.

Novel Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo. Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 06

Sesungguhnya Pangeran Song sendiri tidak pernah mengira bahwa Bun Hong disembunyikan didalam selimut, dan disangkanya bahwa pemuda itu sudah pergi dari kamar atau bersembunyi dilain tempat. Setelah para penggeledah pergi jauh, Bun Hong segera melompat turun dan Kim Bwee bangun duduk dengan air mata mengalir turun disepanjang pipinya.

“Siocia,” kata Bun Hong dengan suara menggetar, “Banyak terimakasih kuhaturkan atas budi pertolonganmu, dan berilah maaf sebanyaknya karena gangguanku ini!”

Sambil terisak dan air matanya mengucur makin deras, Kim Bwee menyawab, “Taihiap... kau tentu memandang aku sebagai seorang gadis tak tahu malu dan rendah sekali... ah, apakah kata orang kalau mendengar tentang peristiwa ini...? Taihiap, kau harus tahu bahwa aku melakukan hal yang melanggar kesopanan itu semata-mata untuk menolong leher kami sekeluarga dari ancaman pedang hukuman, bukan karena hendak menolongmu!”

Bun Hong sadar bahwa ia telah salah bicara. “Tentu, tentu, Siocia. Kau cerdik dan bijaksana sekali.”

Song-Taijin membuka pintu dan masuk kedalam kamar itu dengan muka masih pucat. Melihat betapa Bun Hong telah berdiri dan menundukkan kepala, ia merasa heran sekali. Kim Bwee segera lari dan menjatuhkan diri didepan kaki ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.

“Eh, eh... kau kenapakah...?” tanyanya heran melihat betapa puterinya menangis demikian sedihnya.

Pada saat itu, Song-hujin juga berlari masuk kedalam kamar itu. Ketika terjadi penggeledahan tadi, nyonya ini berdiam didalam kamarnya dengan ketakutan. Nyonya ini sama sekali tidak tahu apakah yang sedang terjadi. Kini melihat betapa puterinya menangis dan berlutut didepan kaki suaminya dan melihat seorang pemuda berdiri dikamar puterinya, ia menjadi kuatir dan heran sekali.

“Apa... apa yang telah terdiadi...?”

Dengan singkat Kim Hwa lalu menuturkan segala peristiwa itu kepada ibunya, betapa untuk menolong keluarga mereka dari bencana, terpaksa Kim Bwee telah menyembunyikan Bun Hong dalam... selimutnya sendiri! Mendengar ini, nyonya Song juga menangis sedih dan menegur suaminya,

“Dasar kau yang tidak dapat menjaga nama! Bergaul dengan segala pembunuh! Kalau sudah terjadi demikian bukankah kau telah mencemarkan nama dan kehormatan anakmu sendiri?”

Tadinya Bun Hong merasa heran sekali mengapa Kim Bwee menangis demikian sedihnya, akan tetapi setelah mendengar ucapan nyonya ini, maklumlah dia bahwa sesungguhnya adalah hal yang amat memalukan dan menodai nama kehormatan gadis itu yang telah menyembunyikan seorang pemuda asing didalam selimut dan berbaring bersama diatas satu pembaringan!

Pangeran Song membanting kakinya dan memegang lengan Bun Hong yang segera ditariknya keluar dari kamar itu, “Hiburlah hatinya dan jaga jangan sampai ia melakukan hal yang bukan-bukan!” katanya kepada isterinya.

Dan makin bercekatlah hati Bun Hong ketika ia dapat menduga maksud kata-kata pangeran itu. Mungkinkah gadis yang telah menolongnya itu akan membunuh diri karena malu? Ah, celakalah kalau sampai terjadi hal demikian! Ketika pangeran itu bertanya, ia lalu menuturkan dengan panjang lebar tentang percobaannya membunuh Thio-Thaikam yang gagal karena penjagaannya yang memang amat kuat itu.

“Kau masih untung, hiante. Kalau malam ini Tek Po Tosu dan Bong Kak Im-Ciangkun berada disana, sukarlah bagimu untuk dapat melepaskan diri dari kepungan mereka!” Ia lalu menceritakan tentang kegagahan kedua orang itu yang dalam hal ilmu silat masih jauh lebih lihai daripada Bong Kak Liong.

“Akan tetapi, sukurlah bahwa bahaya telah lewat hingga tidak saja kau masih selamat, bahkan kami sekeluargapun terlepas daripada bencana hebat!,” sambungnya sambil menarik napas lega.

Akan tetapi, Song Hai Ling ternyata memandang terlampau rendah terhadap kecerdikan Thio-Thaikam. Ia tidak tahu bahwa orang kebiri itu selain berpengaruh, juga mempunyai pembantu yang cerdik sekali hingga ketika meninggalkan gedung itu, Bong Kak Liong diam telah menaruh beberapa orang penjaga mengintai disekeliling rumah itu, melihat kalau pemuda yang mereka kejar-kejar keluar dari gedung.

Baiknya Pangeran Song berlaku hati-hati sekali dan mencegah ketika Bun Hong berpamit hendak meninggalkan gedung itu. “Jangan pergi sekarang, Tan-hiante. Setelah adanya peristiwa tadi, tentu terdapat banyak penjaga yang berkeliaran didalam kota, dan kalau mereka itu melihat kau keluar dari gedung ini malam, tentu kau akan dicurigai dan kembali keluarga kami akan dicurigai pula. Tadi kau katakan bahwa ketika kau menyerbu ke istana Thio-Thaikam kau telah menutupi mukamu dengan sapu tangan. Hal ini baik dan cerdik sekali, karena dengan demikian, tidak ada orang yang mengenal mukamu. Besok saja, dengan terangan kau boleh keluar dari rumah kami dan keluar kota tanpa menimbulkan kecurigaan.”

Dengan demikian, Bun Hong tinggal didalam gedung itu semalam suntuk, dan selama itu ia mengadakan percakapan dengan Song Hai Ling. Mereka telah merasa lega dan menyangka bahaya benar-benar telah lewat. Sama sekali tidak pernah menduga bahwa Thio-Thaikam yang cerdik itu masih mempunyai sebuah langkah yang hendak dilakukan untuk menyelidiki keadaan Pangeran Song!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Pangeran Song yang sedang duduk bercakap-cakap dengan Bun Hong diruang tengah, dikejutkan oleh laporan penjaga pintu bahwa telah datang berkunjung dipagi buta itu. Thio-Thaikam sendiri, diiringi oleh Bong Kak Liong dan Tek Po Tosu yang datang malam tadi!

Bukan main terkejut dan takutnya hati Pangeran Song mendengar ini, hingga untuk beberapa lama ia berdiri dari kursinya dan memandang kepada Bun Hong dengan muka pucat dan diam seperti patung!

“Apakah siauwte harus pergi bersembunyi lagi, Taijin?” tanya Bun Hong dengan tenang karena pemuda ini sedikitpun tidak merasa takut.

“Jangan, tidak ada gunanya!” jawab Pangeran Song. Setelah orang-tua yang cerdik ini memutar otak, “Kau duduklah saja dengan tenang dan jangan kau heran apabila nanti kau kuperkenalkan sebagai calon menantuku!”

Lalu la meninggalkan pemuda itu yang duduk dengan bengong untuk membuka pintu dan menyambut kedatangan tamu agung itu.

Sementara itu, Bun Hong merasa terkejut sekali mendengar pernyataan Pangeran Song tadi. Ia diperkenalkan sebagai calon menantu? Sebagai tunangan... Kim Bwee Siocia yang cantik jelita? Ah, tak boleh jadi! Mana Siocia itu sudi menjadi isterinya? Dan pula... tiba-tiba ia teringat kepada Kui Eng, sumoinya yang amat dicintainya itu.

Lalu terbayang pula bahwa Kui Eng tentu telah menjadi tunangan suhengnya hingga tak perlu ia mengenangkan gadis itu lebih lama lagi. Betapapun juga, ia harus menolak pertunangan yang hanya dilakukan dengan pura-pura dan hanya untuk menipu Thio-Thaikam belaka ini!

Ia tidak sudi berlaku pengecut dihadapan Thio-Thaikam. Lebih baik ia melakukan perlawanan. Ia tidak takut, biarpun harus menghadapi Tek Po Tosu yang katanya berilmu sangat tinggi itu! Lebih baik mati sebagai seekor harimau daripada hidup seperti babi!

Akan tetapi, tiba-tiba ia teringat bahwa kalau ia memberontak, tentu seluruh keluarga Song akan tertimpa bencana hebat. Mereka sekeluarga akan ditangkap dan dihukum, mungkin dihukum mati karena dituduh membantu pemberontak dan menjadi pengkhianat!

Dan kalau hal itu terjadi, semata-mata adalah karena kesalahannya. Sedangkan keluarga Pangeran itu telah begitu baik terhadapnya, telah menolongnya, bahkan nona Kim Bwee yang cantik jelita itu telah menolongnya dengan cara yang sukar dapat dilakukan oleh gadis lain!

Ia tak sempat berpikir lebih lanjut lagi oleh karena pada saat itu, para tamu telah masuk dengan tindakan lebar. Bun Hong melihat bahwa yang datang benar adalah Thio-Thaikam sendiri yang masih dibalut lengannya.

Diiringkan oleh seorang tosu yang tinggi kurus berusia sedikitnya lima puluh tahun bersama perwira yang malam tadi menyerangnya dengan golok secara hebat itu, yakni Bong Kak Liong! Baiknya Pangeran Song yang cerdik dan hati-hati, malam tadi telah menyuruh Bun Hong berganti pakaian dan memberi pinjaman sestel pakaian pelajar hingga ketika para tamu itu tiba disitu, mereka melihat seorang pemuda pelajar yang tampan dan halus duduk diatas sebuah bangku diruang tengah itu.

Ingin sekali Bun Hong melompat dan menerkam Thaikam itu dan membunuhnya dengan sekali pukul, akan tetapi ia dapat menekan kemarahannya, bahkan ketika diperkenalkan, ia lalu menjatuhkan diri berlutut sebagaimana layaknya seorang siucai (pelajar) memberi hormat kepada seorang yang berpangkat demikian tinggi seperti Thio-Thaikam.

“Song-Taijin, siapakah pemuda tampan ini, belum pernah aku melihatnya,” kata Thio-Thaikam, sedangkan Bong Kak Liong memandang dengan mata tajam.

“Dia adalah calon menantuku tunangan puteriku yang sulung, bernama Tan Bun Hong,” jawab Pangeran Song sambil tersenyum memperkenalkan.

“Heran, mengapa malam tadi hamba tidak melihat Kongcu ini!,” tiba-tiba Bong Kak Liong berkata hingga Thio-Thaikam cepat memandang kepada Bun Hong dengan mata tajam.

Baiknya Pangeran Song masih dapat menetapkan hatinya hingga wajahnya tidak menjadi pucat, akan tetapi ia tidak tahu harus menjawab bagaimana!

Bun Hong cepat menolong Pangeran Song dengan bersenyum dan berkata, “Bong-Ciangkun,” katanya dengan suara tetap dalam keadaan seperti itu, mana Ciangkun dapat memperhatikan siauwte yang tak berguna ini? Terus terang saja, siauwte melihat semua kejadian itu karena malam tadi siauwte juga ikut melakukan penjagaan bersama sekalian penjaga dan karena siauwte mengenakan pakaian penjaga, tentu saya Ciangkun tidak melihat siauwte.”

Pangeran Song adalah seorang yang hati-hati dan semua penjaganya terdiri dari orang yang dipercaya penuh dan setia, maka ketika mendengar ucapan Bun Hong ini, seorang penjaga segera diam-diam pergi keluar dan memberitahu kepada semua kawannya agar mereka mengaku bahwa Bun Hong benar-benar ikut menjaga dengan mereka malam tadi!

Sementara itu, biarpun masih curiga, akan tetapi mendengar jawaban ini, Bong Kak Liong hanya menganggukkan kepala. Sementara itu, tiba-tiba Tek Po Tosu lalu melangkah maju menghadapi Bun Hong dan berkata,

“Tan-Kongcu, mendengar bahwa kau adalah calon menantu Song-Taijin, sudah sepantasnya pinto mengucapkan kionghi (selamat)?” Sambil berkata demikian, pertapa itu lalu menjura dan mengangkat kedua tangannya memberi hormat. Angin pukulan yang hebat menyambar kearah dada Bun Hong yang juga membalas hormat itu dengan menjura.

Melihat datangnya serangan gelap ini, kaget sekali hati Bun Hong. Ia hendak menolak angin pukulan itu atau mengelak, akan tetapi karena iapun mempunyai kecerdikan dan ketajaman otak, cepat ia maklum bahwa ini adalah ujian yang amat berbahaya dari tosu itu! Kalau ia mengelak atau menolak serangan itu, tentu rahasianya akan terbuka dan akan mereka ketahui bahwa ia adalah seorang berilmu tinggi, maka ia lalu menyimpan kembali tenaganya dan menjura dengan biasa saya, membiarkan serangan itu memukul dadanya!

Akan tetapi, Tek Po Tosu yang lihai dan licin itu setelah melihat pemuda itu tidak memperlihatkan reaksi sesuatu, cepat menarik kembali pukulannya dan hal ini amat mengagumkan hati Bun Hong oleh karena tidak sembarangan orang dapat menarik kembali pukulan lweekang yang sudah dilakukan untuk menyerang orang dari jauh!

Tek Po Tosu tertawa gelak dan berkata kepada Bong Kak Liong, “Ciangkun, jangan kau terlalu curiga. Tan-Kongcu adalah seorang terpelajar, mana ia dapat dipersamakan dengan seorang penjahat yang lihai?”

Baik Bong Kak Liong, maupun Thio-Thaikam, maklum bahwa tosu ini telah menguji, karena memang mereka tahu akan kecerdikan dan kelihaian tosu tua ini. Maka hati Thio-Thaikam menjadi lega. Sementara itu, Pangeran Song lalu mempersilahkan tamu-tamunya mengambil tempat duduk.

“...Agak mengherankan hatiku mengapa Thio-Taijin pagi sekali datang mengunjungi rumahku. Apakah artinya penghormatan besar ini?” kata Pangeran Song yang tidak terlalu banyak menggunakan peradatan terhadap Thaikam itu oleh karena selain ia masih keluarga Kaisar juga ia memang mempunyai adat yang tinggi dan tidak mau merendahkan diri terhadap Thaikam yang amat berpengaruh itu.

Thio-Thaikam menarik napas dan setelah membanting dirinya yang gemuk itu diatas kursi, ia berkata, “Aku datang hendak meminta maaf atas kelancangan Bong-Ciangkun malam tadi, yang dilakukannya atas perintahku. Seorang penjahat keji telah datang menyerbu dan melukai aku, dan ketika dikejar, penjahat itu menurut keterangan para pengejar, lari dan melompat keatas genteng rumahmu.”

“Ah, tidak apa, Thio-Taijin. Aku sudah mendengar hal itu dari Bong-Ciangkun, hanya lain kali saja harap Bong-Ciangkun lebih percaya terhadap orang sendiri!” jawab Song Hai Ling sambil memandang tajam kepada perwira itu yang menundukkan muka dengan muka merah.

Kembali Thio-Thaikam menarik napas panjang. “Yang amat mengherankan hatiku, Song-Taijin, ialah persamaan pendapat antara penjahat yang mengacau itu dengan kau!”

Pangeran Song bangun dari tempat duduknya dengan penasaran, “Thio-Taijin, apakah maksud perkataanmu itu?”

Thio-Thaikam mengeluarkan surat yang dilempar dengan pisau oleh penyerang malam tadi. “Lihatlah ini, penyerangannya itu didasarkan rasa penasaran karena pajak, sama benar dengan permohonan dan protesmu kepada Kaisar dulu mengenai pajak pula!"

Pangeran Song membaca surat itu yang berbunyi, “MELALUI PAJAK MEMERAS RAKYAT, PEMBESAR KEPARAT HARUS MATI DIUJUNG PEDANG!”

“Thio-Taijin, aku tidak melihat persamaan yang kau sebutkan itu, aku mengajukan permohonan dengan maksud baik, bukan menggunakan pedang!”

“Tenanglah, Song-Taijin. Karena kau tidak campur tangan dalam urusan ini, akupun takkan berpanjang lebar. Akan tetapi, kita sama adalah orang yang menghadapi langsung tentang urusan pajak itu, dan kau bahkan bertugas menerima dan mengumpulkan hasil pemungutan pajak. Sekarang timbul gejala pemberontakan tentang pajak ini, sudah sepatutnya kalau kita merundingkan dan mengatur langkah bagaimana baiknya. Kalau menurut pendapatmu bagaimanakah, Song-Taijin?!”

“Aku adalah seorang bendahara kerajaan yang tidak berwenang mengatur hal ini,” jawab Pangeran Song dengan hati-hati, “Bagaimana aku berani menyatakan pendapat? Pendapat seorang seperti aku hanya akan menimbulkan kecurigaan orang belaka!”

Kata-kata yang mengandung sindiran ini diterima oleh Thio-Thaikam dengan senyum. “Lupakanlah hal yang sudah lalu, Song-Taijin. Baiklah, kalau kau tidak mau menyatakan pendapat, dengarlah pendapatku. Orang yang tidak setuju dengan peraturan pajak itu, hanyalah orang yang jahat dan malas, yang memang sengaja ingin menyelundupkan pajak kekantong sendiri. Memang sifat mereka itu selalu tidak puas dengan peraturan pemerintah, diberi sedikit ingin banyak, diberi banyak masih belum puas. Oleh karena itu, jalan satu-satunya ialah menggunakan tangan besi. Mulai sekarang, setiap kali pembesar-pembesar didaerah-daerah menyetor pajak, harus diberi peringatan bahwa siapa saja yang tidak mau menyetorkan pajak dengan lengkap dan cukup tidak dihukum cambuk lagi, akan tetapi dihukum mati!”

“Thio-Taijin!,” seru Pangeran Song, “Akan tetapi, rakyat sudah cukup menderita!”

“Kau maksudkan kami yang mendatangkan penderitaan itu?” tanya Thio-Thaikam dengan suara mengancam.

“Bukan, bukan!” jawab Pangeran Song cepat. “Maksudku, mereka cukup menderita yang didatangkan oleh musim kering. Hasil sawah mereka tidak mencukupi.”

“Aah, alasan kosong belaka! Hanya untuk penutup kemalasan mereka!” Kemudian Thio-Thaikam setelah menegaskan sekali lagi bahwa peraturan baru ini harus selekasnya dikerjakan, lalu pergi meninggalkan gedung itu.

Pangeran Song dan Bun Hong mengantar sampai dipintu dan Thaikam itu berkata lagi sambil tersenyum kepada Bun Hong, “Tak kusangka bahwa kaulah yang kejatuhan bintang dan mendapat kebahagiaan menjadi calon suami Song-Siocia. Kionghi, kionghi! Harap saja upacara pernikahan takkan ditunda hingga aku dapat menikmati arak pengantin!” Lalu ia tertawa terbahak-bahak dan meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh kedua orang panglimanya dan para perwira yang menjaga diluar gedung.

Setelah Thaikam itu pergi dan mereka kembali kedalam gedung, Bun Hong mengerutkan giginya dan berkata dengan gemas, “Ingin sekali aku mencekik batang leher keparat busuk itu!” Kemudian ia teringat akan tipu muslihat Pangeran Song tadi, maka dengan muka merah ia berkata, “Taijin, mengapa kau mempergunakan alasan yang demikian menyulitkan?”

Pangeran Song menghela napas. “Tan-hiante, aku memang tidak main-main dan setelah apa yang terjadi, kau harus menolong kami dan suka menerima Kim Bwee sebagai calon isterimu. Ketahuilah bahwa Kim Bwee adalah seorang anak yang keras hati dan pegang teguh kehormatan dan nama, maka setelah apa yang terjadi didalam kamarnya, kalau kau tidak menerimanya sebagai isteri, aku kuatir sekali kalau ia akan membunuh diri untuk penebus rasa malu! Itu hal pertama, kedua, kalau kita tidak menggunakan alasan seperti itu, tentu akan terbuka rahasiamu dan kita semua akan mendapat celaka. Ketiga, terus terang saja, aku suka kepadamu, hiante, dan aku akan merasa puas dan beruntung mendapat seorang menantu seperti engkau.”

“...Akan tetapi...,” kata Bun Horg.

“Akan tetapi apakah? Apakah kau sudah beristeri?”

Bun Hong menggelengkan kepalanya.

“...Sudah bertunangan dengan gadis lain?”

Kembali Bun Hong menggelengkan kepala.

“Kalau begitu, apakah lagi halangannya? Atau barangkali.... kau anggap puteriku kurang pandai dan kurang cantik?”

“Ah, bukan demikian, Song-Taijin. Song-Siocia adalah seorang puteri yang amat cantik dan bijaksana, akan tetapi...” ia teringat kembali kepada Kui Eng yang segera diusirnya dengan ingatan bahwa gadis itu telah bertunangan dengan suhengnya.

“Apakah kau tidak mencintai puteriku?”

Bun Hong menjadi gagap. “Aku... siauwte... bagaimana berani mencintai seorang begitu mulia seperti Song-Siocia...?”

Pangeran Song tertawa geli dengan hati girang. Jawaban ini cukup memaklumkannya bahwa pemuda ini pada hakekatnya tidak menolak. “Sudahlah, hiansai (menantu), kau memang berjodoh untuk menjadi suami Kim Bwee. Aku menyerahkan anakku itu dengan tulus-ikhlas dan biarlah sekarang juga aku mengumumkan hal ini dan memberitahukan kepada gakbo mu (ibu mertuamu) dan kepada Kim Bwee sendiri!”

Betapapun juga, Bun Hong harus mengakui bahwa Kim Bwee adalah seorang dara yang jelita dan dalam hal kecantikan tidak kalah oleh Kui Eng, dan hatinya memang amat tertarik oleh kejelitaan gadis itu maka kini demi menolong keluarga Song yang sudah memberitahukan pertunangan itu kepada Thio-Thaikam hingga hal itu tak dapat dan tak mungkin dibatalkan lagi, lalu menjatuhkan diri berlutut didepan Pangeran Song dan berkata perlahan,

“Apakah yang dapat siauwte ucapkan selain terimakasih. Kau telah melimpahkan budi yang sebesar gunung dan yang tak mungkin dapat dibalas, Taijin.”

“Hai, mengapa kau masih menyebut Taijin? Berlakulah yang pantas, hiansai!”

Dengan muka merah Bun Hong lalu menjebut perlahan, “Gakhu... (ayah mertua).....”

Kembali Pangeran Song tertawa gelak dengan hati girang, kemudian orang tua ini berjalan masuk keruang tempat tinggal puterinya untuk menyampaikan berita girang ini kepada Kim Bwee dan ibunya.


Sekarang kita mengikuti perjalanan Kui Eng, gadis yang meninggalkan Kuil Kwan- Im-Bio dengan marah. Selain merasa marah, ia juga merasa kasihan kepada Beng Han, karena tak pernah disangkanya bahwa twa-suhengnya itu ternyata menaruh hati mencinta kepadanya. Ia memang suka sekali kepada Beng Han yang dapat dipercaya dan dapat pula diandalkan, akan tetapi rasa sukanya ini adalah rasa suka seorang adik terhadap seorang kakaknya, dan sekali-kali tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mendengar pinangan yang datangnya dari Beng Han.

Demikianpun terhadap Bun Hong, ia mempunyai perasaan yang sama dan menganggap Bun Hong sebagai kakaknya kedua. Ia tak pernah mengira bahwa Beng Han menaruh hati mencinta karena pemuda yang alim ini selalu kelihatan pendiam, dan bahkan kalau ada persangkaan, maka persangkaan hatinya itu ditujukan kepada Bun Hong yang seringkali belakangan ini memandangnya dengan sinar mata ganjil dan kagum seperti yang ia lihat pada mata pemuda lain.

Biarpun ia merasa sunyi sekali melakukan perjalanan seorang diri akan tetapi hatinya merasa lega oleh karena kini ia tak usah memusingkan urusan itu. Kalau ia harus mengadakan perjalanan bersama Beng Han yang telah diketahuinya mencintainya sebagai seorang pemuda mencintai seorang dara, tentu ia akan merasa jengah dan sungkan serta tidak leluasa lagi.

Sebagai seorang pendekar wanita, tiap kali terjadi sesuatu hal yang memerlukan pertolongannya. Kui Eng tidak ragu untuk mengulurkan tangan dan melakukan pertolongan hingga tidak sedikit ia telah menolong orang yang sengsara dan membasmi orang jahat yang mengandalkan kekuasaan dan kepandaian untuk menghina dan menindas orang lain.

Seperti yang telah dikatakannya kepada Beng Han dulu ketika ia mau berangkat merantau, ia hanya mengandalkan kedua kakinya dan pergi kemana saya membawa dirinya. Ia tidak mempunyai tujuan tertentu oleh karena ia tidak tahu kemana ibunya telah pergi waktu kekacauan terjadi.

Pada suatu pagi, beberapa bulan kemudian semenjak ia merantau, Kui Eng tiba disebuah dusun yang dilalui oleh jalan besar yang menuju ke kotaraja. Ketika ia berjalan memasuki dusun itu tiba-tiba telinganya mendengar suara ribut didalam dusun itu. Kui Eng mempercepat tindakan kakinya dan sebentar saja ia melihat tiga orang pemuda pelajar sedang dikelilingi oleh banyak orang dan diejek dengan kata menghina.

Sebagian besar orang yang mengelilinginya itu adalah petani? biasa yang merupakan penonton-penonton belaka, akan tetapi yang betul sedang mengejek dan menghina ketiga orang muda itu adalah seorang laki-laki bermuka hitam yang dibantu oleh kawan-kawannya berjumlah delapan orang.

“Ha, ha, tiga orang cacing buku yang bisanya hanya mencoret-coret diatas kertas! Apakah kepandaianmu sebenarnya? Kalian paling hanya mengikuti ujian dan setelah mendapat pangkat lalu menjadi kepala besar dan menggunakan kedudukan untuk menindas kami! Apakah kau bisa menggunakan cangkul dan menanam gandum? Ha, ha! Kalau tidak ada orang kasar seperti kami, apa kau kira kau akan dapat hidup? Kurasa memegangpun kau takkan kuat!,” kata seorang diantara mereka.

“Orang-orang macam inilah yang menjadi calon pemeras dan penindas kita!” si muka hitam berkata sambil menunjuk kearah hidung ketiga pemuda itu. “Orang-orang macam ini harus dibikin mampus agar kita tidak ditambahi penindasan dari tiga orang calon pembesar ini!”

Mendengar anjuran si muka hitam, kawan-kawannya lalu maju mengurung dengan sikap amat mengancam. Sementara itu, para petani yang sudah terlalu kenyang mengalami penindasan dan pemerasan dari petugas pemerintah, hanya memandang dengan tersenyum seakan-akan ketiga orang pelajar itu adalah badut-badut yang sedang menjual lagak.

Kui Eng memperhatikan tiga orang muda itu. Mereka itu berpakaian pantas, seperti biasa anak pelajar, dan usia mereka rata-rata kurang lebih enam belas tahun. Wajah mereka tampan dan sikap mereka lemah-lembut dan halus. Seorang diantara ketiga orang pemuda itu, yang bermuka tampan sekali dan bermata tajam bagaikan bintang dilindungi alis yang tebal dan panjang menghitam berbentuk golok, nampak tenang dan tabah menghadapi ejekan ini, sedangkan kedua orang kawannya telah menjadi pucat mendengar ancaman mereka itu.

“Cuwi sekalian,” kata pemuda yang tabah itu dan suaranya ternyata nyaring dan halus hingga menarik perhatian Kui Eng, “kami bertiga adalah pelajar-pelajar yang hendak menempuh ujian di kotaraja dan sama sekali kami tidak mengerti tentang pemerasan dan penindasan. Melihat sikap cuwi, barangkali telah terjadi penindasan, akan tetapi, kami tidak mempunyai sangkut-paut dengan hal itu. Harap cuwi suka berpikir dengan matang dan jangan memandang orang dengan sama rata saja.”

Si muka hitam meludah keatas tanah. “Cih! Begitulah lagak kutu buku yang busuk dan jahat. Pandainya memutar pena-bulu dan lidah. Coba kau jawab, untuk apa kau mempelajari semua kepintaran bicara dan menulis itu? Apakah gunanya itu bagi kami? Akan tetapi sebaliknya. kami mengayun cangkul menghasilkan gandum dan padi bukan untuk mengenyangkan perut kami sendiri, bahkan perut kalian bertiga ini kalau tidak diisi oleh hasil tanaman dan cangkulan kami mau diisi dengan apakah?”

“Cuwi,” kata pelajar itu pula dengan senyum ramah, “Kami dapat mengetahui dan menghargai jasa kalian sebagai petani. Akan tetapi hendaknya diingat bahwa masing-masing orang memiliki bakat dan lapangan kerja sendiri melayani bidang masing-masing untuk memajukan negara dan bangsa. Kalau semua orang harus menjadi petani, siapakah yang akan mengerjakan dan membuat barang kebutuhan lain? Kita harus hidup bersama saling menolong dan saling mengisi kebutuhan masing-masing, baru kita bisa hidup dengan tenteram dan damai, penuh kebahagiaan.”

“Cih, pandainya memutar lidah! Pendeknya orang macam kalian ini tidak berguna. Bisanya hanya memeras rakyat petani! Kalian harus ditumpas, dibunuh semuanya!” kata si muka hitam sambil melangkah maju. “Lihat, muka kalian sudah pucat karena takut. Cih! Pengecut, penakut, laki-laki lemah!”

Pemuda itu menjadi marah. “Laki-laki kasar yang tidak tahu akan sopan-santun! Apakah kesalahan kami maka kau berlaku sekasar ini dan tanpa alasan memaki orang?”

“Eh, eh, kau hendak melawan? Beranikah kau melawan aku si macan hitam? Lihatlah, saudara,” lihatlah baik-baik?! Kutu-buku ini hendak bertanding melawan aku!,” kata si muka hitam sambil tertawa gelak, dan semua orang ikut mentertawakan pemuda pelajar itu.

“Hek-houw-ko! (macan hitam). Aku bukanlah seorang yang pandai berkelahi dan tenagaku pun lemah tidak seperti tenagamu yang terlatih, akan tetapi aku cukup jantan dan aku tidak takut kepada siapapun juga apabila aku bersalah. Kuharap kau tidak menghina kami karena bukan maksud kami meninggalkan rumah melakukan perjalanan jauh untuk mencari permusuhan!”

“Ha, ha, ha, pintarnya ia mencari alasan untuk menyembunyikan rasa takutnya! Ayoh, majulah kau, hendak kuhancurkan kepalamu! Lawanlah kalau kau benar-benar seorang laki-laki!”

Sambil berkata demikian, Hek-houw melangkah maju dan sekali ia menggerakkan tangan, baju pemuda pelajar itu ditariknya hingga robek dibagian dada dan nampaklah kulit dadanya yang putih. “Ha, ha! Ayoh kau lawanlah aku!”

Betapapun juga, pemuda itu sama sekali tidak kelihatan takut dan dengan senyum sindir ia berkata, “Baik busuknya hati orang bukan dilihat dari pekerjaannya, akan tetapi dari perbuatan dan sikapnya. Sikapmu ini menunjukkan bahwa kau tidak patut menjadi petani yang baik dan paling tepat orang seperti engkau ini disebut penjahat yang kasar dan rendah!”

“Ang-heng... sudahlah jangan kau menjawab, biarkan saja!” mencegah seorang pelajar lain yang kelihatannya takut sekali.

“Mengapa kita harus takut, Lie-te? Kita tidak bersalah apa-apa, dan orang yang tidak bersalah takkan takut mati, karena biarpun sampai terbunuh, kematiannya adalah kematian yang mulia!” jawab pemuda itu dengan suara gagah.

Sementara itu, si muka hitam yang disebut penjahat kasar dan rendah, menjadi marah sekali dan berseru keras lalu mengajun tangan memukul kearah muka pemuda itu yang Sama sekali tidak mundur ketakutan, bahkan memandang dengan tajam. Akan tetapi, sebelum pukulan si muka hitam itu mengenai muka pemuda itu.

Tiba-tiba si muka hitam berseru kaget karena tubuhnya ditarik orang dari belakang yang membuatnya terguling roboh. Ketika ia melompat bangun dengan cepat, ternyata bahwa yang menariknya roboh itu adalah seorang gadis berpakaian warna hijau yang cantik dan gagah sekali sikapnya.

“Eh, muka hitam, kau memang jahat, kasar dan rendah!,” kata Kui Eng sambil bertolak pinggang menghadapi si muka hitam itu. Bukan main marahnya Hek-houw.

“Siluman perempuan! Siapakah kau yang berani berlancang tangan membela kutu-buku ini? Apakah kau tunangan atau kekasih mereka?” Merahlah wajah Kui Eng mendengar hinaan ini.

“Bangsat bermulut kotor. Apa kau ingin mampus?” Sambil berkata demikian, tangan kanannya melayang kearah mata si muka hitam yang segera mengelak, akan tetapi tangan kanan itu sebetulnya hanya merupakan ancaman belaka, karena segera disusul dengan tamparan tangan kiri yang melayang kepipi si muka hitam.

“Plok!!” dan mengaduhlah si muka hitam. Dua buah giginya copot dan bibirnya berdarah! “Bangsat perempuan!,” bentaknya sambil mencabut golok dan dengan marah sekali ia menyerang dengan goloknya, membacok kearah leher Kui Eng.

Dara itu cepat mengelak dan ketujuh orang kawan si muka hitam lalu maju pula mengeroyok. Akan tetapi, segera terdengar teriakan kesakitan dan seruan kaget dari semua penonton ketika tubuh Kui Eng tiba-tiba lenyap berobah menjadi bayangan hijau yang berkelebatan dan dimana saja tubuhnya berkelebat, pasti seorang pengeroyok roboh terpelanting dan senjatanya terpental jauh!

Si muka hitam sendiri terkena tendangan Kui Eng pada dadanya hingga ia terlempar jauh dan jatuh pingsan! Sebentar saja, delapan orang pengeroyok itu telah rebah malang- melintang sambil merintih-rintih! Sambil bertolak pinggang, Kui Eng lalu menuding kearah si muka hitam dan berkata,

“Orang macam kau ini memang jahat dan kejam! Kau berpura-pura dan mengaku sebagai petani, akan tetapi aku tidak percaya bahwa kau adalah seorang petani tulen! Petani biasanya berwatak jujur dan baik, sedangkan watakmu adalah watak bajingan atau perampok jahat. Tidak semua pembesar berhati buruk dan tidak semua pelajar menjadi calon pembesar jahat! Ketiga orang Kongcu ini hanya lewat disini dan tidak mempunyai dosa apa-apa, mengapa kalian mengganggu mereka? Tidak tahu malu!” Si muka hitam yang sudah siuman kembali lalu merangkak-rangkak pergi diikuti oleh kawan-kawannya.

“Awas, akan kubunuh kalian kalau kita bertemu lagi!,” katanya.

Mendengar ancaman ini, Kui Eng tertawa dan menyawab, “Orang macam kau hendak mengancam aku? Betul kau tak tahu diri!”

Para penduduk dusun yang menyaksikan kegagahan Kui Eng, lalu memuji dengan kagum. Mereka memberitahu bahwa delapan orang itu adalah orang gelandangan yang pekerjaannya hanya mengganggu penduduk minta makan, minta uang dan lain. Mereka adalah penjudi yang tak tentu tempat tinggalnya, hingga mereka merupakan penambah beban bagi orang dusun yang sudah menderita.

“Mengapa cuwi sekalian diam saja melihat mereka berbuat sewenang-wenang?,” tanya Kui Eng.

“Apakah yang dapat kami lakukan? Mereka itu kuat dan tangguh, dan pula...,” petani itu memandang kearah tiga pelajar tadi, “Memang ada betulnya ketika ia mengatakan bahwa pembesar sekarang hanyalah memeras dan menindas orang-orang tani!”

Pemuda pelajar yang tabah tadi lalu menarik napas panjang dan berkata, “Hal ini telah kami dengar, mudah-mudahan saja kaum muda kami kalau sudah mendapat kedudukan akan dapat merobah suasana ini.”

Kemudian ia memandang kepada Kui Eng dengan kagum sekali dan menjura, diturut oleh kedua orang kawannya, “Siocia, kau sungguh gagah perkasa dan berbudi tinggi. Terimalah hormat dan ucapan terimakasih dari siauwte Ang Min Tek, dan kedua orang kawanku ini Lie Kang Coan dan Lie Kang Po. Kalau tidak keburu Siocia yang gagah perkasa datang, entah bagaimana nasib kami bertiga.”

Merahlah wajah Kui Eng mendengar ucapan yang halus dan sikap yang sopan-santun ini. Ia merasa girang sekali disebut “Siocia,” karena ia sudah merasa bosan mendengar sebutan “Lihiap,” dan menganggap bahwa sebutan Siocia lebih halus dan lebih mengesankannya sebagai seorang wanita yang berperasaan halus.

Cepat ia membalas dengan pemberian hormat, mengangkat kedua tangannya dan membungkukkan tubuh dengan gerakan yang lemah-lembut. Sedapat mungkin Kui Eng hendak menghilangkan tanda kegagahannya dan alangkah girangnya kalau pada saat itu ia mengenakan pakaian seorang wanita biasa seperti yang dipakai oleh gadis biasa, bukan pakaian perantau yang ringkas seperti yang dipakainya itu.

“Samwi Kongcu, harap jangan terlalu membesarkan hal yang tak berarti. Sebagai seorang yang sopan, aku yang bodoh tak dapat tinggal diam saja melihat kekasaran si muka hitam itu.”

“Ang-heng,” tiba-tiba Lie Kang Po, pemuda yang nampak gembira dan yang paling muda diantara mereka, paling banyak berusia lima belas atau empat belas tahun, “Kalau perjalanan kita selanjutnya dapat bersama dengan Siocia yang gagah perkasa ini, kita tak usah takut akan gangguan segala orang kurang ajar!”

Min Tek memandang kepada kawannya itu dengan cemberut, lalu berkata kepadanya, “Kang Po! Jangan kau bicara sembarangan saja!”

Kemudian ia berpaling kepada Kui Eng dan berkata lagi, “Maafkanlah kawanku yang muda ini, Siocia, karena ia masih belum tahu benar akan kekurang-ajaran ucapannya tadi. Mana bisa seorang Siocia seperti kau dapat melakukan perjalanan bersama tiga orang pemuda?”

Kui Eng tersenyum manis dan ia makin tertarik hatinya kepada pemuda she Ang yang tampan dan sopan-santun itu. “Tidak apa, Ang-Kongcu, karena kawanmu itu tidak sengaja. Pula, memang perjalanan ke kotaraja melalui tempat berbahaya. Kebetulan sekali akupun sedang menuju kesana maka biarpun tidak melakukan perjalanan berbareng, akan tetapi dapat kiranya aku mengamat-amati hingga tidak ada orang yang akan mengganggu kalian.”

Berserilah wajah Min Tek yang tampan itu. Ia segera menjura dan berkata girang, “Bagaikan kejatuhan bulan rasa hati kami mendengar ini. Kau sungguh seorang nona yang amat berbudi dan mulia, nona...”

Kui Eng tersenyum lagi. “Namaku Kui Eng.”

“Terimakasih sekali lagi kami ucapkan, nona Kui Eng” kata Min Tek pula.

Demikianlah ketika ketiga orang muda itu melanjutkan perjalanannya, Kui Eng mengikuti mereka dari jauh. Entah bagaimana, ada sesuatu yang menarik hatinya dan yang membuat ia merasa bahwa ia tak dapat meninggalkan tiga orang muda itu. Ia harus melindungi mereka sampai ke kotaraja. Biasanya ia melakukan perjalanan dengan cepat akan tetapi sekarang.

Oleh karena harus mengikuti ketiga orang muda yang melakukan perjalanan dengan perlahan, ia harus berjalan perlahan pula. Akan tetapi aneh sekali, ia tidak merasa kesal, bahkan kini melakukan perjalanan dengan hati gembira. Sikap lemah-lembut dan sopan-santun dari Min Tek telah membetot hatinya, telah merampas sanubarinya hingga ia merasa tertarik sekali.

Sekaligus hatinya yang keras menjadi cair dan lunak dan ia merasa bahwa ia telah “jatuh hati” terhadap pemuda pelajar yang biarpun lemah, akan tetapi bersifat gagah berani ketika menghadapi bahaya itu! Ketabahan hati seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi seperti kedua suhengnya tak sangat membuatnya kagum.

Akan tetapi melihat betapa seorang pemuda pelajar yang lemah dan tidak memiliki ilmu kepandaian silat seperti Min Tek berani menghadapi bahaya maut dengan mata tak berkedip dan semangat tetap berkobar, benar-benar membuat ia tunduk dan kagum. Dalam pandangannya, Min Tek merupakan seorang laki-laki yang memenuhi syarat kejantanan dan hatinya runtuh oleh sikap yang lemah-lembut, terutama oleh kesopanan pemuda itu!

Sementara itu, ketiga orang muda sasterawan itu melanjutkan perjalanan mereka dengan gembira pula. Biarpun mereka tidak berani menengok kebelakang oleh karena dilarang oleh Min Tek, namun mereka maklum bahwa nona pendekar yang cantik jelita dan gagah perkasa itu juga melakukan perjalanan dibelakang mereka! Hanya satu kali Min Tek menengok dan memandang kearah Kui Eng sambil tersenyum, dan ini saja sudah cukup mendebarkan hati Kui Eng.

Kekuatiran hati Kui Eng bahwa pemuda itu akan mendapat gangguan ternyata berbukti. Hek Houw si muka hitam yang merasa dibikin malu dan menjadi sakit hati itu telah mengadakan hubungan dengan beberapa orang kawannya yang menjadi perampok dan sengaja mencegat perjalanan Min Tek dan kawan-kawannya!

Ketika Min Tek dan kawan-kawannya berjalan sampai disebuah tempat yang sunyi, tiba-tiba dari belakang batu karang yang besar muncul belasan orang tinggi besar yang bercambang bauk dan memegang golok. Diantara mereka nampak Hek Houw dan beberapa orang kawannya yang telah mendapat ajaran dari Kui Eng.

Melihat sikap para perampok yang berdiri ditengah jalan dengan sikap mengancam itu, Min Tek dan kedua orang kawannya berhenti tiba-tiba dan mereka maklum bahwa mereka dicegat oleh serombongan orang jahat karena melihat Hek Houw berada diantara mereka. Juga Kui Eng telah melihat rombongan itu maka dengan cepat gadis itu lalu lari mengejar dan sebentar saya ia telah berdiri dihadapan Min Tek, menghadapi para perampok itu dengan wajah dan sikap tenang.

“Kalian ini menghadang perjalanan orang mempunyai maksud apakah?,” tanyanya dengan suara nyaring.

“Inilah perempuan setan itu!,” kata Hek-houw kepada kepala rampok yang tinggi besar dan bersenjata golok.

Melihat Kui Eng, kepala rampok itu tertawa gelak-gelak dan berkata kepada Hek-Houw dengan lagak sombong, “Saudaraku yang baik! Apakah benar kau dan kawanmu kalah oleh gadis yang cantik manis ini? Ha ha, ha! Sukar untuk dipercaya!”

Kemudian ia menghadapi Kui Eng dan berkata dengan suaranya yang besar dan parau, “Eh, nona manis. Benarkah kau telah berani berlancang tangan mengganggu saudara-saudaraku ini?”

“Mereka itu orang-orang jahat yang bertindak sewenang-wenang. Tidak kubikin mampus pun mereka masih untung sekali, dan kau ini siapakah dan apa maksudmu menghadang kami? Apakah kau hendak membalas kekalahan bajingan kecil itu?”

Kembali kepala rampok itu tertawa. “Nona manis, jangan kau begitu galak! Ketahuilah bahwa daerah ini berada dalam kekuasaanku dan setiap orang yang lewat harus membayar uang jalan! Bagi kau dan kawan-kawanmu ini, asalkan kalian berempat tinggalkan semua barang bawaanmu, juga semua pakaian yang menempel ditubuhmu kau berikan kepada kami barulah kalian mendapat ampun dan boleh melanjutkan perjalanan!”

Kepala rampok ini sengaja mengucapkan kata menghina itu untuk membalaskan penghinaan yang telah dirasai oleh Hek-houw dan kawan-kawannya.

“Bangsat bermulut kotor!” Kui Eng membentak marah. “Ternyata kau adalah perampok hina. Menjadi perampok belum terhitung dosa yang besar akan tetapi kau telah berani menghina aku, inilah dosa yang tak dapat diampuni lagi.”

Tadi ketika kepala rampok mengucapkan penghinaannya, yakni meminta pakaian yang dipakai oleh Kui Eng dan ketiga orang pemuda pelajar, kawanan perampok telah tertawa geli dan menyeringai menyebalkan. Sekarang mendengar ancaman Kui Eng, mereka tertawa makin keras lagi.

“Nona manis, agaknya kau belum tahu siapa adanya orang gagah yang berada didepanmu! Ketahuilah, aku adalah Tiat-touw Koai-to (Golok Setan Kepala Besi) yang tidak biasa membunuh orang lemah, akan tetapi aku paling suka membikin jinak kuda betina liar seperti kau ini. Ha, ha, ha! Kalau kau dan kawan-kawanmu tanpa banyak membantah menanggalkan semua pakaian yang kau bawa dan yang kau pakai lalu pergi dengan aman, aku bersumpah tak hendak mengganggumu! Akan tetapi, kalau kau berani melawan, tidak saya ketiga orang kekasihmu yang cakap ini harus mampus, bahkan kaupun harus ikut padaku selama satu bulan penuh!”

“Bangsat besar, kalau benar-benar kau seorang jantan, marilah kita bertempur dengan jujur dan jangan mengandalkan keroyokan! Kalau aku sampai kalah, aku akan mengangkat guru kepadamu!,” kata Kui Eng sambil mencabut keluar pedangnya.

Ia merasa kuatir kalau-kalau para perampok itu melakukan pengeroyokan hingga ketiga orang pemuda pelajar itu akan mendapat gangguan tanpa ia dapat membelanya. Oleh karena ini, ia menahan marah dan melakukan tantangan untuk bertempur seorang lawan seorang.

“...Siocia adat perampok selalu main keroyokan secara pengecut! Orang ini hanya besar mulut belaka, mana ia berani menghadapi kau seorang diri?” tiba-tiba Ang Min Tek menyindir, Pemuda ini cerdik sekali dan ia dapat menangkap maksud Kui Eng menantang kepala rampok itu maka ia sengaja mengeluarkan kata itu untuk membakar hati kepala rampok.

Benar saja, Tiat-touw Koai-to menjadi marah sekali hingga ia memutar-mutar goloknya sambil menghampiri Min Tek yang tetap tenang saya dan tidak berkisar dari tempatnya berdiri. “Cacing tanah!,” kepala rampok itu membentak. "Kalau pelindungmu itu kalah olehku, kau harus merangkak didepanku dengan telanjang bulat seperti seekor anjing!”

“Sudahlah jangan banyak mengobral omongan yang tak berharga,” jawab Min Tek dengan tabah. “Kalau kau memang berani menghadapi dia, lawanlah dengan golokmu, bukan dengan mulutmu yang kotor!”

Makin marahlah kepala rampok itu dan sekali ia mengajunkan tangan, goloknya bersiutan menyanıbar kearah leher Min Tek! Akan tetapi, tiba-tiba sebatang pedang meluncur cepat dan menangkis goloknya.

“Traang!” dan bunga api memercik keluar ketika dua senjata itu beradu.

“Tiat-touw Koai-hiap, lawanmu berada disini!,” kata Kui Eng yang menangkis golok itu sambil memandang penuh Ejekan.

“Baik, baik! Agaknya kaupun memiliki sedikit ilmu kepandaian! Biarlah kujatuhkan kau dulu sebelum menjembelih kambing ini!”

Setelah berkata demikian, kepala rampok itu lalu melompat sambil berseru keras dan menyerang Kui Eng dengan goloknya yang mempunyai gerakan cepat dan berat, tanda bahwa tenaga kepala rampok ini besar sekali.

Akan tetapi, Kui Eng mengelak cepat dan membalas dengan tusukan kearah perut lawan yang segera menangkisnya. Mereka lalu bertempur dengan seru dan ramai. Setelah bertempur belasan jurus, Kui Eng maklum bahwa kepandaian kepala rampok ini tidak berapa tinggi, hanya lagaknya saja yang sombong dan tenaganya yang besar.

Akan tetapi gadis ini memang cerdik sekali. Kalau ia mengeluarkan kepandaiannya dan mendesak kepala rampok itu, tentu kaki tangan kepala rampok itu akan maju mengeroyok, dan bukan tak mungkin ketiga orang pelajar itu akan diserang oleh anggauta perampok pula.

Maka ia lalu berkelahi dengan lambat dan sengaja membiarkan dirinya diserang bertubi-tubi dan kelihatan terdesak! Kepala rampok itu tertawa terkekeh-kekeh sambil menghujani tubuh Kui Eng dengan serangan-serangannya, sedangkan kawan-kawannya bersorak girang.

“Tai-Ong (sebutan kepala rampok), jangan bunuh si manis itu, sayang kecantikannya!,” teriak seorang perampok dengan suara kurang ajar sekali.

Kui Eng tak dapat menahan kemarahannya lagi, apabila ketika ia mengerling kearah Min Tek dan kawan-kawannya dan melihat betapa pemuda itu nampak kuatir sekali, kemarahannya memuncak.

Tiba-tiba terdengar Min Tek berseru keras, “Tai-Ong, kau boleh ganggu kami dan boleh rampas semua barang kami. akan tetapi janganlah kau berani ganggu nona itu! Bukan perbuatan seorang laki gagah untuk mengganggu dan menghina seorang wanita!”

Kui Eng merasa terharu sekali mendengar ucapan Min Tek ini karena ternyata bahwa dalam keadaan yang tidak berdaya karena kelemahannya, pemuda itu masih berusaha menolongnya dan mengurbankan diri sendiri dengan gagah dan tak kenal takut!

Tiba-tiba kepala rampok itu berseru dengan heran dan terkejut karena tiba-tiba tubuh lawannya lenyap dan pedangnya menjadi segulung sinar yang berkeredipan menyambar kearah dada dan mukanya! Ia menjadi bingung dan tahu ia merasa pipinya perih sekali dan sebelum ia tahu apa yang terjadi.

Tangan kiri Kui Eng telah menotok pergelangan lengannya hingga goloknya terpental jauh dan ia terhujung kebelakang. Ketika ia meraba pipinya, ia mengaduh karena ternyata bahwa pinggir mulutnya telah terobek pedang sampai kepipinya!

Dalam kegemasannya, Kui Eng telah merobek mulut kepala rampok itu dengan ujung pedangnya! Kawanan perampok itu menjadi marah dan hendak maju mengeroyok, akan tetapi Kui Eng telah melompat didepan ketiga orang pemuda itu dan berdiri dengan gagah sambil melintangkan pedang didepan dada.

“Siapa sudah bosan hidup, boleh mencoba, maju!.” bentaknya.

Kawanan perampok menjadi ragu-ragu, empat orang yang agak tabah melompat maju berbareng, akan tetapi dengan gerak tipu Halilintar Menyambar Pohon, Kui Eng mendahului mereka menerjang dan terdengar mereka menjerit sambil melepaskan senjata karena pedang Kui Eng telah melukai lengan mereka dengan gerakan yang cepat sekali dan yang tak dapat dilihat datangnya!

Perampok-perampok yang lain menjadi terkejut sekali dan mereka segera mundur sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Ang Min Tek dan kedua kawannya merasa kagum sekali. Untuk kedua kalinya gadis pendekar itu telah menolong jiwa mereka dengan gagah berani. Saking girang dan terharunya, Min Tek lalu menjatuhkan diri berlutut didepan Kui Eng.

“Telah dua kali Siocia menolong kami hingga kami berhutang nyawa kepadamu. Dengan apakah kami harus membalas budi yang tak terkira besarnya ini?”

Sambil tersenyum manis Kui Eng memegang kedua pundak Min Tek dan mengangkatnya bangun sambil berkata,

“Kongcu, sudah selayaknya bagi manusia untuk saling tolong-menolong. Untuk apakah aku belajar silat kalau aku tidak mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk menolong sesama hidup dan membasmi kejahatan?? Sebaliknya kau, Ang koncu, yang tidak memiliki ilmu kepandaian silat, namun kau memiliki ketabahan yang mengagumkanku. bahkan kau telah berani mencoba membelaku. Dalam hal kegagahan kau tidak kalah oleh pendekar lain yang berilmu tinggi...!”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.