Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 07
Sambil berkata demikian, sepasang mata Kui Eng yang indah itu memandang tajam justeru pada saat Min Tek menatap wajahnya hingga warna merah menjalar pada wajah kedua orang muda itu dan Min Tek sendiri merasa heran mengapa pada saat itu hatinya tiba-tiba menjadi berdebar keras!
Karena hari menjelang senja, mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat karena diluar hutan itu terdapat sebuah kota dimana mereka dapat bermalam. Kini hubungan mereka agak lebih rapat dan Kui Eng tidak merasa sungkan lagi untuk melakukan perjalanan bersama, sungguhpun sambil berjalan mereka berdiam diri saja.
Mereka lalu bermalam disebuah hotel. Lie Kang Coan dan adiknya dalam sebuah kamar, Ang Min Tek dikamar sebelahnya, sedangkan Kui Eng menyewa kamar agak jauh dari situ, yakni disebelah belakang. Semenjak masuk kedalam hotel, mereka tidak saling bertemu lagi oleh karena Min Tek dan kawan-kawannya menjaga agar jangan sampai orang luar menyangka yang bukan terhadap Kui Eng.
Menurut anggapan ketiga orang muda ini, tidak selayaknya didepan umum mereka mendekati Kui Eng dan menganggap bahwa hal itu akan merendahkan nama gadis itu. Memang, pada masa itu, orang yang mendapat didikan kesopanan dari orang tua yang kukuh, terutama para keturunan bangsawan, perhubungan antara wanita dan laki-laki amat jauh, dan merupakan pantangan besar. Kui Eng tidak tahu akan hal ini.
Maka sikap Min Tek ini menimbulkan geli dalam hatinya yang menyangka bahwa pemuda itu luar biasa “pemalu” dan canggungnya dalam hubungan dengan seorang kawan wanita! Akan tetapi biarpun ia gagah dan jujur, sebagai seorang wanita, tentu saja ia tidak mau mendesak dan mendekati mereka. Akan tetapi hal inilah yang menimbulkan bencana.
Kalau saja Min Tek tidak demikian mempergunakan adat kesopanan yang berlebihan, tentu Kui Eng akan berlaku waspada karena lebih dekat. Kini, gadis itu yang juga merasa lelah, mengeram diri didalam kamarnya saja dan malam itu ia tidur dengan njenyak dan enaknya.
Akan tetapi, pagi harinya ia menjadi terkejut sekali ketika pintu kamarnya diketok orang dengan keras. Ketika ia membuka daun pintu, ternyata bahwa yang mengetok pinlu itu adalah Lie Kang Coan dan adiknya, kedua kawan Min Tek, dan kedua pemuda ini menangis!
“Eh, jiwi Kongcu, pagi mengetok pintu sambil menangis, apakah yang terjadi?” Sambil berkata demikian Kui Eng mencari-cari Min Tek dengan matanya dan ketidak-hadiran pemuda itu membuat ia merasa kuatir sekali.
“Dia... dia diculik orang...,” kata Kang Coan sambil mengusap air matanya yang mengalir turun dikedua pipinya.
Kui Eng melompat keluar kamar lalu berlari kekamar Min Tek dimana telah berkumpul pengurus hotel dan tamu lain yang telah mendengar tentang nasib pemuda yang diculik orang itu! Melihat seorang gadis yang cantik jelita dan gagah datang kekamar itu, mereka lalu memberi jalan dan Kui Eng segera masuk kedalam kamar dimana pengurus hotel sedang memeriksa keadaan kamar dan ketika Kui Eng masuk, ia berkata,
“Siocia, apakah kau sahabat Kongcu yang diculik orang ini?”
Kui Eng hanya mengangguk dan ketika pengurus hotel itu menuding kearah dinding, gadis itu lalu menengok dan ternyata bahwa diatas dinding yang putih itu terdapat tulisan yang berbunyi demikian,
"Kalau hendak menyusul pemuda tampan. Datanglah ditempat kemarin kau menghina orang!"
Kui Eng mengerti bahwa tulisan itu ditujukan kepadanya dan tentu dilakukan oleh kawan-kawan Tiat- touw Koai-to yang membalas dendam. Maka ia lalu berkata kepada kedua kawan Min Tek, “Jiwi harap jangan terlalu kuatir. Tunggulah saja disini, aku yang akan menyusul dan menolong Ang- Kongcu!”
Setelah berkata demikian sambil membawa pedangnya, Kui Eng lalu berlari cepat menuju kehutan dimana kemarin ia memberi ajaran kepada Tiat-touw Koai-to dan kawan-kawannya.
Orang didalam hotel ketika melihat semua ini, lalu beramai-ramai mengajukan pertanyaan kepada kedua saudara Lie itu siapa adanya gadis yang cantik dan gagah itu, hingga terpaksa Lie Kang Coan dan adiknya lalu menceritakan pengalaman mereka, betapa dengan amat gagahnya Kui Eng menolong mereka dari gangguan para perampok.
Tentu saja hal ini membuat semua orang menjadi kagum sekali dan sebentar saya nama Kui Eng menjadi buah-tutur orang dikota itu. Kui Eng yang berlari cepat sekali dengan hati penuh kecemasan memikirkan nasib Min Tek, sebentar saja sudah tiba dihutan yang kemarin dan tepat sebagaimana dugaannya disitu telah menanti Tiat-touw Koai-to dan kawan-kawannya.
Didepan sekali berdiri seorang laki-laki tua yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan bersikap gagah sekali. Laki-laki ini usianya sudah lima puluh tahun lebih dan yang mengherankan ialah bahwa alisnya telah berwarna putih seluruhnya, padahal rambut dikepalanya masih hitam. Jenggotnya yang tipis panjang itupun masih berwarna hitam. Karena keanehan pada alisnya inilah yang membuat ia disebut orang Pek Bi Lojin (Kakek Alis Putih).
Kakek ini adalah seorang tokoh persilatan yang terkenal sekali karena kelihaiannya dan Tiat-touw Koai-to adalah seorang diantara murid-muridnya yang banyak jumlahnya. Kemarin, ketika dilukai pipinya oleh Kui Eng, dengan hati mengandung penasaran, malu dan terhina, Tiat-touw Koai-to lalu lari ketempat tinggal suhunya yang tidak jauh dari situ letaknya.
Sambil menangis dan memperlihatkan luka pada mukanya, kepala rampok ini menceritakan kepada suhunya betapa ia telah diserang dan dikalahkan oleh seorang wanita ketika ia sedang berusaha merampok tiga orang sasterawan muda. Memang bagi Pek Bi Lojin tidak ada salahnya kalau muridnya menjadi orang-orang liok-lim.
Pada dewasa itu, memang keadaan negara sedang kacau-kacaunya, dan orang yang merasa penasaran dan tidak suka kepada Kaisar dan kaki tangannya, banyak yang menceburkan diri menjadi perampok. Pek Bi Lojin adalah seorang tua yang gagah dan jujur, maka ia telah memberi peringatan dan petaruh keras kepada semua muridnya yang menjadi anggauta liok-lim agar supaya melakukan perampokan dengan memilih dan beraturan.
Karena pelajar-pelajar yang hendak melakukan ujian di kotaraja juga dianggap sebagai keluarga pembesar atau calon pembesar, maka ketika ia mendengar betapa muridnya terluka hebat dan mendapat penghinaan ketika sedang merampok tiga orang pelajar yang menuju ke kotaraja, Pek Bi Lojin menjadi marah sekali.
Malam hari tadi ia mempergunakan kepandaiannya mendatangi hotel dimana Min Tek dan kawan-kawannya bermalam. Ia menculik pemuda she Ang itu dan sengaja meninggalkan tulisan didinding untuk menantang Kui Eng.
Setelah berhadapan dengan rombongan perampok itu, dengan marah Kui Eng lalu mencabut pedangnya yang digunakan untuk menuding muka Tiat-touw Koai-to sambil membentak,
“Tiat-touw Koai-to! Percuma saja kau mau berpura-pura menjadi orang gagah, karena perbuatanmu hanya menunjukkan bahwa kau adalah seorang pengecut besar! Kau hanya berani mengganggu orang lemah tak berdaya. Ayo kau lepaskan Ang-Kongcu dengan baik-baik, kalau tidak jangan kau sesalkan apabila aku menggunakan pedang untuk membasmi habis semua penjahat yang berada disini!”
“Gagah benar!,” tiba-tiba kakek beralis putih itu berseru. “Nona, ketahuilah, yang menculik Ang-Kongcu bukan lain orang akan tetapi aku sendiri. Aku takkan mengganggu Ang-Kongcu karena maksudku tak lain hanya hendak mengundang kau datang kesini!”
Kui Eng memandang kakek itu dan melihat sikapnya. ia maklum bahwa kakek ini bukanlah orang sembarangan. Maka ia lalu menjura dan berkata, “Dengan siapakah aku yang muda berhadapan?”
“Nona-muda yang gagah perkasa! Dengarlah, aku orangtua yang lemah tiada guna disebut orang Pek Bi Lojin dan Tiat-touw Koai-to ini adalah seorang muridku. Kau yang gagah ini mengapa telah berlaku kejam melukai muridku secara menghina sekali dan mengapa pula kau memusuhi golongan liok-lim? Apakah kau menganggap dirimu yang paling pandai dikolong langit ini?”
Kui Eng yang baru saja menerjunkan diri dikalangan kang-ouw, belum pernah mendengar nama Pek Bi Lojin, maka katanya dengan geram, “Lo-Enghiong, kalau kepala rampok ini benar-benar muridmu, maka kaupun ikut bertanggung jawab! Kalau saja ia melakukan perampokan dengan menggunakan aturan, minta sumbangan sekadar biaya hidup anak buahnya, aku tentu tidak berani mengganggu dan bahkan dengan senang hati akan membantunya. Akan tetapi, dia membuka mulut besar, berlaku sewenang-wenang kepada tiga orang pelajar yang lemah, bahkan dia telah berani mengeluarkan ucapan kasar dan kotor untuk menghinaku! Memang aku sengaja merobek mulutnya karena mulutnyalah yang amat jahat dan kotor!”
Pek Bi Lojin terkenal mempunyai adat yang keras akan tetapi adil dan jujur sekali. Ketika ia menculik Min Tek dan membawa pemuda itu kehutan. Min Tek menjelaskan kepadanya tentang kejahatan Tiat-touw Koai-to yang berlaku sewenang-wenang menghina orang. Melihat sikap Min Tek yang biarpun lemah akan tetapi gagah berani dan sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut itu.
Pek Bi Lojin sudah merasa tertarik dan kagum, akan tetapi ia belum mempercayai penuh kata-kata pemuda itu. Betapapun juga, ia melarang keras muridnya. untuk mengganggu Min Tek dan menahan pemuda itu dalam sebuah pondok didalam hutan. Kini mendengar ucapan Kui Eng yang gagah, ia lalu memandang kepada muridnya dan membentak, “Apakah kau masih hendak menyangkal pula?”
Tiat-touw Koai-to memang amat takut kepada suhunya, maka, sambil menjatuhkan diri berlutut didepan orangtua itu, ia berkata lemah, “Teecu masih belum tahu kesalahan apakah yang teecu telah lakukan. Mohon diberi penjelasan, suhu,” ia membela diri.
“Hm, hm, bagus sekali, Tiat-touw Koai-to! Kulihat kau masih menghormat dan menghargai suhumu,” kata Kui Eng sambil tersenyum sindir.
“Kau masih belum mau menerima salah? Kau telah memerintahkan aku meninggalkan semua barang, bahkan pakaian yang kupakai baru boleh melanjutkan perjalanan bukankah itu berarti bahwa kau amat menghinaku sebagai seorang wanita? Kemudian, bukankah mulutmu pula yang mengatakan bahwa kalau aku kalah bertanding, ketiga pemuda itu akan kau bunuh dan aku harus ikut kau selama satu bulan? Dan mulutmu yang kotor pula yang memaki aku sebagai kekasih ketiga pemuda itu! Tiat-touw Koai-to, kalau aku ingat lagi akan ucapan-ucapanmu yang kotor itu, mau rasanya aku menambah sebuah tusukan lagi pada mulutmu!”
“Betulkah itu?” Pek Bi Lojin membentak muridnya dengan mata berapi. Tiat-touw Koai-to tidak berani menyawab, hanya menundukkan kepalanya.
“Betul atau tidak, Ayo jawab!,” kakek itu kembali membentak dengan suara menggeledek hingga tidak saja Tiat-touw Koai-to menjadi pucat, bahkan kawan-kawan kepala rampok itupun berdiri sambil menundukkan kepala dengan kedua kaki menggigil.
“Teecu mohon ampun, suhu. Ucapan itu teecu keluarkan karena sedang marah.”
“Plak!!” tangan Pek Bi Lojin menyambar dan tubuh Tiat-touw Koai-to terlempar jauh dan bergulingan.
Kepala rampok itu merintih-rintih dan ternyata bahwa pipi kanannya yang tidak terluka pedang Kui Eng telah ditampar dan kini membengkak matang biru, sedangkan dari mulutnya mengalir darah!
“Sekali lagi kau lakukan perbuatan keji dan pengecut mencemarkan nama orang yang menjadi gurumu, pasti akan kucabut nyawamu!,” kata kakek alis putih itu dengan geram.
“Muridmu kena bujukan seorang penjahat rendah bernama Hek-houw, maka maafkanlah dia, Lo-Enghiong,” kata Kui Eng yang merasa ngeri dan kasihan juga melihat nasib kepala rampok itu.
“Nona, kalau begitu aku sudah melakukan kekeliruan dengan menculik pemuda itu, karena ternyata bahwa kau bukanlah seorang sombong sebagaimana yang kukira semula. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku mempunyal semacam penyakit, yakni apabila bertemu dengan orang gagah, tua maupun muda, sebelum mencoba ilmu kepandaiannya, hatiku selalu akan merasa penasaran dan tidak bisa tidur! Maka, janganlah sia-siakan kedatanganmu ini, nona, dan berilah sedikit pengajaran kepada orang-tua yang tak tahu diri ini!”
“Lo-Enghiong, kalau hanya ingin mengajak pibu, mengapa tidak langsung saja mendatangi aku? Mengapa harus mengganggu seorang pemuda pelajar yang melakukan perjalanannya hendak menempuh ujian di kotaraja?” Kui Eng mencela dengan tegurannya.
“Ang-Kongcu telah menceritakan kepadaku bahwa kau dan ketiga pemuda itu tidak mempunyai hubungan apa-apa, maka bukan main heranku mengapa kau demikian memperhatikan nasibnya!,” kata Pek Bi Lojin hingga wajah Kui Eng berubah menjadi merah.
Orang-tua itu lalu menyuruh seorang anggauta perampok untuk menjemput Ang-Kongcu. Setelah Min Tek muncul dalam keadaan selamat, Kui Eng merasa lega sementara itu, pemuda itu memandang kepada Kui Eng dengan perasaan penuh keharuan dan kekaguman. Kembali gadis pendekar itu yang menolongnya, bahkan berani mendatangi sarang perampok dan bertaruh keselamatan diri sendiri untuk menolongnya.
Akan tetapi, didepan para perampok itu, Kui Eng tidak sudi memperlihatkan perasaannya terhadap pemuda pelajar itu, maka ia hanya memandang sekilas dan kemudian kepada Pek Bi Lojin, “Lo-Enghiong, setelah kau membebaskan kembali Ang-Kongcu, maka perkenankanlah kami meninggalkan tempat ini.”
“Eh, eh nanti dulu, nona. Sudah kukatakan tadi bahwa sebelum mengukur kepandaian seorang gagah yang kebetulan bertemu dengan aku maka aku akan merasa penasaran. Marilah kita main sebentar untuk menambah pengalaman, kemudian baru kau boleh pulang bersama Ang-Kongcu!”
Kui Eng merasa ragu karena kuatir kalau ini hanya merupakan tipu muslihat belaka, akan tetapi Min Tek berkata dengan suaranya yang nyaring, “Pek Bi Lojin adalah seorang Enghiong sejati, maka ia pasti akan memegang teguh janjinya!”
Mendengar ini, Pek Bi Lojin tersenyum dan berkata, “Nona Kui Eng, aku mendengar bahwa ilmu pedangmu hebat sekali. Aku orang-tua yang bodoh pernah mempelajari sedikit ilmu kepandaian golok, maka ingin sekali aku mencoba ilmu pedangmu yang lihai itu. Marilah, dan jangan kau berlaku sungkan!”
Sambil berkata demikian, tangan kanan kakek itu bergerak kearah punggung dan tahu-tahu ia telah mencabut keluar sebilah golok tipis yang ringan akan tetapi tajam sekali. Melihat gerakan ini, diam-diam Kui Eng merasa terkejut karena maklum akan kelihaian kakek ini, maka ia berlaku hati-hati sekali dan tidak mau menyerang lebih dulu.
“Silahkanlah, Lo-Enghiong,” katanya sambil membelintangkan pedang didadanya.
“Ha, ha, kau terlalu sungkan!,” kata Pek Bi Lojin yang lalu melangkah maju dan mulai menyerang sambil berseru, “Awas golok!” Ilmu golok Pek Bi Lojin adalah semacam Ilmu golok lihai yang berdasarkan Lo-han To-hwat, yakni Ilmu golok dari cabang Siauw-lim yang telah dirobah dan ditambah dengan gerakan dari lain-lain cabang.
Gerakan goloknya cepat dan kuat, bagaikan seekor naga sakti, menyambar mengeluarkan angin dan suara bersiutan. Memang benar kata orang bahwa golok yang dimainkan oleh tangan seorang ahli merupakan Raja senjata yang berbahaya sekali. Golok yang tipis dan lebar itu setelah dimainkan oleh Pek Bi Lojin, lenyap bentuk goloknya dan berubah menjadi sinar putih yang bergulungan dan mengeluarkan sinar berkeredipan.
Tidak hanya para perampok, akan tetapi juga Min Tek yang tidak mengerti ilmu silat, menjadi kagum sekali melihat permainan golok yang benar indah itu. Dalam hati pemuda ini lalu timbul kekuatiran bagi keselamatan Kui Eng. Sanggupkah gadis itu menghadapi permainan golok sehebat ini? Akan tetapi, Kui Eng adalah seorang gadis berbakat yang telah mendapat gemblengan dari suhunya.
Permainan pedangnya hebat, ginkangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Ia berhati tabah dan tenang, bagaikan seekor naga betina muda yang baru turun dari langit dan bersemangat besar berhati tabah. Biarpun ia maklum bahwa kakek ini hebat sekali permainan goloknya namun sedikitpun ia tidak merasa ngeri atau gentar.
Ia memainkan pedangnya dengan sama cepatnya dan mempergunakan ginkangnya untuk berkelebat kesana-kemari dengan lompatan gesit sekali menghindarkan diri dari sambaran sinar golok dan membalas dengan serangan-serangan cukup kuat dan cepat.
Makin lama, pertempuran itu berjalan makin cepat hingga akhirnya semua mata yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berkunang dan kabur karena tubuh kedua orang itu telah lenyap terbungkus gulungan sinar golok dan pedang yang diputar luar biasa cepatnya.
Hanya bunyi golok beradu dengan pedang yang nyaring serta bunga api yang berhamburan setiap kali kedua senjata itu beradu menyatakan kepada mereka bahwa didalam gundukan sinar pedang dan golok itu terdapat orang yang sedang mengadu kepandaian!
Hanya kedua orang yang sedang bertempur itu saja yang maklum bahwa dalam hal kepandaian silat, bahwa ilmu kepandaian Pek Bi Lojin lebih tinggi setingkat dan lebih matang permainan goloknya, akan tetapi kakek ini harus mengakui bahwa dalam hal ilmu meringankan tubuh, gadis itu masih lebih menang!
Maka tak terkira rasa kagumnya melihat kegagahan gadis muda itu karena selama ini belum pernah ia menyaksikan kelihaian seorang muda seperti gadis ini. Ia memperhebat gerakan goloknya hingga Kui Eng terpaksa mundur dan melindungi dirinya dengan putaran pedangnya dan mempergunakan ginkangnya.
Tiba-tiba Pek Bi Lojin merobah gerakan goloknya dan memainkan Tee-tong-to, yakni permainan golok sambil bergulingan diatas tanah. Sambil bergulingan, goloknya membabat kearah kaki lawan! Menghadapi serangan yang cepat dan berbahaya ini, Kui Eng terkejut sekali. hingga terpaksa melompat tinggi dengan maksud membalas serangan dari atas dengan kaki diatas kepala dibawah.
Akan tetapi, tidak tahunya Pek Bi Lojin memiliki kegesitan yang hebat, hingga sebelum gadis itu dapat berjungkir-balik diudara, kakek itu telah melompat berdiri dan menggunakan gagang golok untuk memukul kaki Kui Eng. Akan tetapi, dalam keadaan terdesak hebat itu, Kui Eng memperlihatkan ginkangnya yang benar-benar lihai.
Ketika ia dulu mempelajari ginkang, suhunya menyuruhnya berlompatan diatas ujung bambu runcing yang dipasang diatas tanah, bahkan setelah kepandaiannya itu menjadi matang, suhunya memegang dua batang bambu runcing dan menyuruh Kui Eng melompat keatas dan berdiri diatas bambu yang dipegangnya itu sambil melompat lagi dan bermain-main diatas kedua bambu runcing yang dipegangnya.
Kini, melihat serangan golok kearah kakinya sedangkan tubuhnya masih terkatung diudara, Kui Eng lalu menggunakan ujung kaki untuk menginjak gagang golok dan sekali ia enjot tubuhnya, maka tubuhnya mencelat lagi keatas dan segera melayang ketempat yang jauhnya tidak kurang dari lima tombak!
Bukan main kagumnya Pek Bi Lojin melihat ginkang yang hebat ini, maka ia segera menghampiri setelah menyelipkan goloknya dipunggung. Kui Eng juga menyimpan pedangnya dan menjura.
“Lo-Enghiong sungguh lihai, aku menyerah kalah.”
“Ah, nona Kui Eng, kau terlampau merendahkan diri. Ginkangmu sungguh membuat mataku yang tua menjadi lebar. Kau benar-benar patut dipuji. Tidak tahu, siapakah suhumu yang mulia?”
“Suhuku bernama Lui Sian Lojin dari Swi-hoa-san,” jawab Kui Eng.
Tak tersangka-sangka olehnya ketika mendengar jawaban ini, Pek Bi Lojin segera menjura dengan amat hormatnya, bahkan Tiat-touw Koai-to lalu menjatuhkan dirinya berlutut. “Ah, maaf, maaf tidak tahunya Lihiap adalah murid inkong (tuan penolong) kami...,” kata Pek Bi Lojin sambil menarik napas panjang kemudian berkata kepada Tiat-touw Koai-to,
“Hm, kalau hal ini terdengar oleh inkong, dimana harus menyembunyikan muka kami?”
“Lihiap, maafkan aku yang bermata buta dan mohon jangan sampaikan kekurang-ajaranku kepada Lui Sian Lo-cianpwee...,” kata Tiat-touw Koai-to dengan suara meratap.
Kui Eng menjadi heran sekali mengapa mereka demikian takut dan segan mendengar nama suhunya. Pek Bi Lojin lalu menuturkan bahwa dulu dia dan muridnya ini pernah mendapat pertolongan dari Lui Sian Lojin ketika mereka dikeroyok oleh musuh-musuh mereka, yakni orang dari perkumpulan Kipas Hitam. Kalau tidak ada Lui Sian Lojin yang datang menolong, tentu Pek Bi Lojin, Tiat-touw Koai-to dan beberapa orang anak murid kakek ini telah binasa semua oleh anggauta Kipas Hitam!
Setelah mengetahui bahwa gadis pendekar itu adalah murid Lui Sian Lojin sikap Tiat-touw Koai-to menjadi berobah Sama sekali, Ia amat menghormat bahkan setelah menjura dan minta maaf kepada Ang Min Tek, ia lalu berkata,
“Ang-Kongcu, perjalanan dari sini ke kotaraja melalui tempat berbahaya, maka biarlah siauwte dengan beberapa orang kawan mengawalmu dijalan.”
Tentu saya Ang Min Tek merasa girang sekali, bahkan Tiat-touw Koai-to lalu menyediakan tiga ekor kuda untuk Ang Min Tek dan kedua orang kawannya. Sementara itu, mendengar disebutnya kawanan Kipas Hitam, Kui Eng menjadi tertarik sekali dan minta penjelasan lebih jauh dari Pek Bi Lojin.
Pek Bi Lojin berkata dengan wajah sungguh-sungguh. “Lihiap, sebetulnya, ketika menyaksikan kepandaianmu tadi, timbul niatku untuk minta pertolongan Lihiap, yaitu untuk mengawaniku menyerbu kesarang mereka, karena dengan tenaga kita berdua, kurasa kita cukup kuat untuk menghadapi tiga orang ketua Kipas Hitam yang kuat itu. Akan tetapi, karena Lihiap sedang melakukan perjalanan ke kotaraja, tentu saja aku tidak berani menghalangi dan mengganggu maksud perjalanan Lihiap.”
Kui Eng memandang kepada Min Tek yang masih berada disitu. Sebetulnya, ia tidak mempunyai kepentingan sesuatu di kotaraja, dan kepergiannya ke kotaraja sesungguhnya hanya karena ingin melindungi pemuda itu, ia lalu menyawab, “Aku tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalananku, dan aku hanya pergi kemana saja kedua kakiku membawa diriku.”
Dari pandang mata gadis itu, Ang Min Tek maklum bahwa gadis ini bermaksud minta persetujuannya, maka ia lalu berkata cepat-cepat, “Siauwte bertiga mana berani berlaku keterlaluan dan mengganggu Kui Siocia. Sekarang setelah ada saudara ini yang berlaku demikian baik hati untuk mengawal. siauwte sama sekali tidak berani membikin lelah kepada Kui-Siocia. Hanya pengharapan siauwte, apabila Siocia mengunjungi kotaraja, dan ada waktu, hendaknya sudi mampir dipondok pamanku yang buruk, yakni di toko obat Yok-goan-tong. Atas bantuan dan pembelaan Kui-Siocia yang sudah, siauwte bertiga sampai matipun takkan dapat melupakannya.”
Ia lalu menjura dengan penuh hormat kepada. Kui Eng yang memandangnya dengan penuh perasaan terharu, Ia merasa kecewa juga harus berpisah dengan pemuda yang amat menarik hatinya itu, maka jawabannya,
“Ang-Kongcu, tidak ada budi dan terimakasih antara kita. Lupakanlah saja hal yang sudah lewat. Siapa tahu, lain kali akulah yang harus mendapat bantuanmu! Apabila aku pergi ke kotaraja, pasti akan kucari toko obat itu.”
Kemudian, setelah memandang sekali lagi dengan penuh pernyataan terimakasih memancar keluar dari sepasang matanya yang tajam, Min Tek lalu meninggalkan tempat itu sambil naik kuda, dikawal oleh Tiat-touw Koai-to dan lima orang kawannya sambil menuntun dua ekor kuda untuk Lie Kang Coan dan Lie Kang Po.
Sementara itu, Kui Eng yang ditinggal berdua saja dengan Pek Bi Lojin, lalu duduk dibawah pohon dan mendengar cerita kakek itu tentang perkumpulan Kipas Hitam yang jahat itu. Perkumpulan Kipas Hitam ini sebetulnya adalah segerombolan orang jahat yang berorganisasi dan bersarang diatas bukit Ma-kun-san. Mereka tidak saja menjalankan pekerjaan sebagai perampok,” akan tetapi juga ada bagian yang melakukan pemerasan di dusun,”
Mengancam kepala kampung untuk memberi sumbangan dengan jumlah besar yang telah ditentukan, juga merampas hasil-hasil sawah untuk ransum mereka. Jumlah pengikut mereka cukup banyak, kurang lebih ada seratus orang. Mereka ini berkedudukan kuat sekali oleh karena dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang bernama Can Kok, Can An, dan Can Sam, tiga orang jagoan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dulu, beberapa belas tahun yang lalu, ketika perkumpulan ini masih dipimpin oleh susiok dari ketiga orang itu yang bernama Lauw Pit Hwesio, perkumpulan ini merajalela dengan buasnya hingga membuat Pek Bi Lojin merasa marah dan membawa anak muridnya menyerbu kesarang mereka yang dulu berada disebuah hutan besar. Akan tetapi, kekuatan perkumpulan Kipas Hitam demikian besar.
Hingga hampir saja Pek Bi Lojin dan semua muridnya terbunuh mati dalam pertempuran kalau saya tidak datang Lui Sian Lojin yang kebetulan melakukan perjalanan merantau. Berkat pertolongan Lui Sian Lojin, Lauw Pit Hwesio dapat dibinasakan dan perkumpulan itu diobrak-abrik hingga menjadi bubar.
Akan tetapi, diam-diam ketiga saudara Can itu melatih diri dan mengumpulkan kekuatan lagi, lalu mendirikan perkumpulan itu kembali yang kini bersarang dipuncak bukit Ma-kun-san. Kedudukan mereka bahkan lebih kuat daripada dulu.
Pek Bi Lojin yang merasa benci kepada mereka yang menjalankan pekerjaan jahat, beberapa kali mencoba untuk menyerbu, akan tetapi selalu ia terpukul mundur, bahkan banyak anak muridnya yang tewas dalam penyerbuan itu. Oleh karena ini, diantara Pek Bi Lojin dan perkumpulan Kipas Hitam terdapat permusuhan yang mendalam.
“Beberapa hari yang lalu,” demikian Pek Bi Lojin melanjutkan ceritanya, “Dengan kurang ajar dan berani sekali mereka mengirim surat tantangan kepadaku.” Ia lalu Imengeluarkan sehelai kertas yang berisi surat tantangan itu kepada Kui Eng. Ternyata didalam surat yang ditandatangani oleh Can Kok, Can An, dan Can Sam, ketiga orang ketua Kipas Hitam itu menantang kepada Pek Bi Lojin untuk berpibu dan memutuskan siapa yang terkuat diantara mereka.
“Aku masih merasa ragu,” oleh karena terus terang saja, apabila harus menghadapi mereka bertiga seorang diri saja, aku takkan dapat memperoleh kemenangan. Menghadapi mereka seorang demi seorang aku tidak akan kalah, akan tetapi mereka itu curang sekali dan aku masih merasa bingung bagaimana aku harus menyambut tantangan ini. Kebetulan sekali kau muncul, Lihiap, maka kalau kau sudi menolong, dengan kekuatan kita berdua, kukira kita takkan dapat mereka kalahkan. Tentu saja aku tidak memaksamu, Lihiap, dan terserah kepadamu saja untuk mengambil keputusan.”
Perkumpulan Kipas Hitam memang amat berpengaruh dan hampir semua dusun pernah mendengar nama ini yang mereka anggap sebagai nama setan yang amat jahat, maka dalam perjalanannya yang pendek itu, Kui Eng pernah mendengar tentang nama ini. Inilah yang membuatnya merasa tertarik tadi.
Kini mendengar permintaan Pek Bi Lojin, ia tidak berani segera menyanggupi, oleh karena ia belum yakin betul tentang keadaan dan kejahatan perkumpulan Kipas Hitam itu. Ia tahu bahwa Pek Bi Lojin biarpun gagah dan jujur, akan tetapi orang-tua ini berdekatan dengan perampok, bahkan muridnya juga menjadi perampok.
Apabila permusuhan antara dia dan perkumpulan Kipas Hitam merupakan permusuhan pribadi, ia tak hendak campur-tangan. Akan tetapi kalau betul-betul Kipas Hitam adalah segerombolan orang jahat yang mengganggu penduduk dusun, ia harus membasmi mereka!
“Lo-Enghiong, aku bersedia untuk ikut dengan kau menyambut tantangan mereka itu. Akan tetapi aku tidak bersedia bertempur melawan mereka sebelum yakin betul akan kejahatan mereka itu.” Pek Bi Lojin maklum akan isi hati gadis ini, maka ia mengangguk dan berkata,
“Memang seharusnya dalam segala hal kita berlaku hati-hati dan teliti. Baiklah, Lihiap. Kau hanya ikut saja dan melihat keadaan mereka terlebih dulu.”
Mereka lalu berangkat menuju ke Ma-kun-san, menunggang kuda yang disediakan oleh anak buah Tiat-touw Koai-to. Biarpun mereka melarikan kuda mereka dengan cepat namun bukit itu tak dapat dicapai dalam satu hari. Terpaksa mereka harus bermalam dijalan. Akan tetapi, Pek Bi Lojin adalah seorang tokoh tua yang amat terkenal didaerah itu, maka mudah saja baginya untuk mencari tempat penginapan dihutan.
Semua kaum liok-lim didaerah itu menganggapnya sebagai “Ketua” yang disegani, maka ketika melihat Pek Bi Lojin datang bersama seorang gadis yang cantik jelita dan gagah, mereka menyambutnya dengan penuh kehormatan dan kedua orang yang dianggap sebagai tamu agung itu diberi tempat bermalam yang layak dan disugui hidangan yang istimewa pula.
Diam-diam Kui Eng merasa kagum melihat kebesaran pengaruh kakek itu dikalangan liok-lim. Pada keesokan harinya, Pek Bi Lojin dan Kui Eng melanjutkan perjalanan mereka dan pada tengah hari, sampailah mereka dikaki bukit Ma-kun-san.
Tiba-Tiba dari atas bukit turunlah serombongan orang berkuda dan setelah dekat ternyata mereka adalah anggauta Kipas Hitam, terbukti dari lukisan Kipas Hitam pada baju mereka dibagian dada. Pemimpin rombongan itu lalu turun dari kuda, menjura kepada Pek Bi Lojin dan berkata,
“Ketua kami telah tahu akan kunjungan jiwi, maka mengutus kami untuk menyambut dan mengantar jiwi keatas gunung.”
Kui Eng terkejut juga melihat kelihaian gerombolan itu yang telah tahu sebelumnya bahwa mereka berdua hendak naik ke bukit itu. Memang gerombolan Kipas Hitam mempunyai penyelidik yang disebar dimana-mana, maka sehari sesudah Pek Bi Lojin dan Kui Eng berangkat, ketua Kipas Hitam telah menerima laporan dan sengaja mengadakan penyambutan untuk memamerkan kelihaian mereka.
Dengan sikap gagah Pek Bị Lojin dan Kui Eng mengikuti para penyambut itu mendaki bukit Ma-kun-san yang tak berapa tinggi. Diatas lereng didekat puncak terlihat beberapa buah bangunan dari kayu yang kokoh kuat dan didepan bangunan itu kelihatan orang berkelompok sambil melihat kedatangan kedua orang tamu.
Setelah tiba dekat, ternyata bahwa ketiga orang ketua Kipas Hitam sendiri berdiri menyambut kedatangan Pek Bi Lojin. Kakek ini segera melompat turun dari kuda, diturut oleh Kui Eng, kemudian mereka melangkah maju sementara kuda mereka diurus oleh beberapa orang pelayan.
“Pek Bi Lojin, ternyata betul-betul kau orang-tua datang memenuhi undangan kami!,” kata Can Kok, saudara tertua dari ketiga orang ketua Kipas Hitam, yang bertubuh kate dan bermuka hitam. Orang ini bicara sambil menggunakan kipasnya yang lebar dan berwarna hitam untuk mengebut-ngebut tubuhnya.
Kui Eng memperhatikan ketiga orang ketua itu. Usia mereka rata-rata sudah empat puluh tahun lebih, akan tetapi mereka masih nampak gagah. Can Kok bermuka hitam bertubuh pendek dan kepalanya besar. Sepasang lengannya yang pendek itu nampak kuat dan berisi, sedangkan matanya yang tajam mengerling kearah Kui Eng membayangkan kecabulan hingga gadis itu segera mengalihkan pandang matanya kepada dua orang ketua yang lain.
Can An ketua kedua, juga pendek dan kate, akan tetapi mukanya putih dan kedua matanya bersinar-sinar menunjukkan kecerdasan otaknya. Bibirnya selalu tersenyum dan sikapnya angkuh sekali. Juga ketua kedua ini memegang sebuah Kipas Hitam yang lebar.
Ketua ketiga berbeda dengan kedua kakaknya, ketua yang bernama Can Sam ini bertubuh tinggi kurus dan wajahnya membayangkan kesabaran besar, akan tetapi sepasang matanya berpengaruh sekali, sungguhpun ada tanda kebodohan pada wajahnya.
Cara ketua ketiga ini membawa kipasnya membuat hati Kui Eng bercekat karena kipas itu tertutup dan dijepit pada gagangnya oleh kedua jaritangannya, bagaikan orang menjepit sumpit. Dari pegangan ini dapat diduga bahwa ia adalah seorang ahli totok jalan darah yang berbahaya.
Memang sebetulnya orang ketiga ini bukanlah adik kandung Can Kok dan Can An. Dia hanyalah seorang anak pungut dari orang-tua kedua saudara Can itu dan akhirnya dinamakan Sam dan memakai nama keturunan Can pula. Ilmu silat Can Sam memang lihai dan bahkan tidak berada dibawah tingkat kepandaian kedua kakaknya. Ia berwatak pendiam dan agak bodoh dan dalam segala hal, ia hanya mengekor kepada kedua orang kakaknya saja.
Pek Bi Lojin setelah mendapat sambutan dari Can Kok, lalu balas menjura dan menyawab, “Samwi, kalau aku yang tua tidak memenuhi undangan kalian, tentu aku akan disebut pengecut. Samwi dengan jujur dan secara laki-laki telah mengadakan tantangan untuk berpibu, tanpa mengikut-campurkan kawan atau arak-buah kita maka tentu saja aku tidak dapat menolak ajakan yang jujur ini.”
Dalam jawaban ini, sekaligus Pek Bi Lojin menyindirkan bahwa ia tidak menghendaki keroyokan atau lain, perbuatan yang curang dalam pertempuran yang hendak diadakan ini.
Tiba-tiba Can Kok tertawa ria dan berkata sambil menundiuk kebawah bukit, “Pek Bi Lojin! Kau pandai menyindir, akan tetapi kau sendiri juga tidak jujur! Mengapa kau membawa anak buah sebanyak itu menyerbu keatas?”
Pek Bi Lojin terkejut dan menengok, juga Kui Eng lalu memandang ke kaki gunung, dimana nampak serombongan orang yang memegang senjata sedang mendaki bukit itu sambil berteriak-teriak.
“Jangan menyangka yang bukan-bukan, mereka itu tidak ada hubungannya dengan aku,” kata Pek Bi Lojin setelah memperhatikan mereka itu.
Dan pada saat itu, seorang anggauta Kipas Hitam datang memberi laporan kepada ketiga orang ketuanya bahwa penduduk dusun Sam-lin-khung telah datang menyerbu, Can Kok tertawa sinis dan berkata,
“Biarkan mereka naik! Hendak kulihat mereka itu menghendaki apa!”
Rombongan orang kampung itu dipimpin oleh seorang laki-laki tua yang memegang tombak, akan tetapi melihat dari napasnya yang terengah-engah ketika mendaki bukit itu, dapat diduga bahwa ia adalah seorang biasa saja yang tidak memiliki ilmu kepandaian silat. Maka Kui Eng merasa heran sekali mengapa orang itu demikian beraninya naik dan menyerbu kesarang Kipas Hitam yang terkenal ganas dan kejam.
“Kawanan Kipas Hitam! Ayo kembalikan puteriku!,” teriak orang-tua itu sambil mengacungkan tombaknya keatas, diikuti oleh teriakan orang dusun yang menuntut dikembalikan puteri Khungcu (kepala kampung) mereka.
Can Kok mengeluarkan seruan menghina. “Gakhu (ayah mertua) mengapa bersikap seperti ini? Puterimu telah menjadi isteriku yang sah, mengapa sekarang mendadak menimbulkan keributan? Tidak malukah kalau terdengar orang lain? Kami sedang menerima tamu, maka harap gakhu suka kembali ke kampung. Besok aku akan mengirim emas-kawin yang telah kujanjikan!”
“Perampok rendah! Siapa sudi menjadi mertuamu? Ayo kau kembalikan puteriku. Apa kau kira didunia ini tidak ada pengadilan lagi maka kau berani menculik anak gadis orang disiang hari?” teriak kepala kampung itu pula.
“Sekali lagi, kuminta supaya kau pulang dan membawa kembali orang-orangmu ini!,” kata Can Kok dengan suara mengancam, sedangkan tangannya yang memegang kipas mulai bergerak-gerak.
“Anjing rendah! Manusia berhati iblis! Kembalikan anakku... kembalikan...!” kepala kampung itu tetap berteriak-teriak” dan memaki-maki.
Tiba-tiba tubuh Can Kok melayang dan kipasnya dikebutkan kearah kepala orang-tua itu. Kalau kipasnya mengenai kepala kakek itu, tentu kepala itu akan hancur berantakan! Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan halus,
“Orang kejam! Lepas tanganmu!” Dan tahu-tahu kipas yang menyerang kepala kampung itu terpental ketika sebatang pedang menangkisnya dengan tepat.
Can Kok melompat mundur dengan muka marah sekali, karena ternyata bahwa yang menangkis serangannya tadi adalah Kui Eng, gadis yang datang bersama Pek Bi Lojin. Kui Eng tadinya merasa ragu untuk membantu Pek Bi Lojin, oleh karena ia masih belum yakin betul akan kejahatan gerombolan Kipas Hitam, akan tetapi ketika rombongan orang dusun itu datang menyerbu dan mendengarkan percakapan yang terjadi antara Can Kok dan kepala kampung mengertilah ia bahwa gerombolan Kipas Hitam benar-benar merupakan gerombolan penjahat yang kejam dan ganas.
Mereka telah menculik dan memaksa puteri kepala kampung itu untuk menjadi isteri Can Kok! Bukan main marah hati gadis itu dan ketika ia melihat gerakan tangan Can Kok, ia telah bersiap sedia hingga dapat menangkis dan menolong jiwa kepala kampung ketika diserang oleh Can Kok yang berhati kejam itu.
“Aha, jadi Pek Bi Lojin membawa seorang pembantu yang boleh juga kepandaiannya. Bagus, bagus!” kata Can Kok.
“Orang she Can,” kata Kui Eng, “Tadinya aku masih ragu mendengar dari Pek Bi Lo-Enghiong bahwa kalian adalah orang-orang jahat yang berhati busuk. Tidak tahunya kau benar-benar berbatin rendah, hingga tidak merasa malu untuk menculik anak gadis orang. Sekarang tidak saja aku datang untuk membantu Pek Bi Lo-Enghiong, akan tetapi juga untuk mewakili Khungcu ini minta kembali anak gadisnya!”
Can Kok membelalakkan matanya dengan marah sekali. “Gadis itu sudah menjadi isteriku, orang lain tak boleh mencampuri urusan ini!”
“Keparat mesum! Kalau begitu aku harus memampuskanmu!.” teriak Kui Eng yang segera menggerakkan pedangnya menyerang dengan hebat.
Can Kok menutup kipasnya dan kini ia menggunakan kipas itu sebagai senjata. Kipas itu bukanlah kipas biasa, akan tetapi gagangnya terbuat daripada baja dan ujungnya runcing hingga kalau ditutup merupakan dua batang senjata runcing yang dimainkan secara luar biasa.
Inilah kelihaian ketiga ketua dari perkumpulan Kipas Hitam, yakni memainkan kipas sebagai senjata yang ampuh. Kepandaian tunggal ini mereka pelajari dari suhu mereka dan selama mereka menjagoi dikalangan liok-lim, jarang mereka menemui tandingan. Akan tetapi kini Can Kok bertemu dengan Kui Eng, murid Lui Sian Lojin yang dulu mengobrak-abrik sarang mereka bahkan yang dulu membunuh susiok mereka.
Setelah bertempur dua puluh jurus lebih, Kui Eng mulai dapat menekan permainan kipas lawannya dengan gerakan pedangnya. Can An dan Can Sam malihat hal ini lalu maju mengeroyok, akan tetapi Pek Bi Lojin berkata, “Masih ada aku disini, apakah kalian hendak bertempur secara keroyokan?”
Can Sam merasa ragu, akan tetapi Can An lalu mengebutkan kipasnya menyerang Pek Bi Lojin dengan hebat, yang disambut oleh golok jago tua itu. Sebentar saja mereka berdua bertempur dengan sengit dan ramai. Can Sam lalu maju membantu kakaknya ini dan mengepung Pek Bi Lojin yang tidak merasa gentar, bahkan lalu memutar goloknya dengan cepat dan hebat sekali.
Sementara itu, kepala kampung dan para penduduk dusun yang menyerbu keatas bukit, ketika melihat betapa tiba-tiba seorang gadis muda yang cantik jelita membantu kepala kampung dan kini bahkan bertempur melawan Can Kok yang menculik puteri kepala kampung itu, lalu berdiri menonton sambil memuji kelihaian gadis itu.
Mereka bersiap sedia untuk membantu dan berkelahi mati-matian apabila anggauta Kipas Hitam turun tangan dan mengeroyok. Menghadapi pertempuran ketiga orang kepala gerombolan yang berkelahi melawan Pek Bi Lojin dan Kui Eng, orang kampung itu merasa tak berdaya untuk menolong oleh karena setelah bertempur, bayangan mereka berlima lenyap dan menjadi suram tertutup oleh berkelebatnya senjata mereka hingga sukar dibedakan mana kawan mana lawan.
Oleh karena itu, mereka hanya menonton saja dengan mata terbelalak kagum. Biarpun ilmu kepandaiannya tinggi, namun Can Kok tak kuat menghadapi ilmu pedang dan kegesitan tubuh Kui Eng yang sengaja melompat kesana-kemari mempermainkan lawannya yang menjadi pusing. Tiba-tiba Can Kok berseru keras sambil membuka kipasnya. Ketika ia mengebut, tiba-tiba dari ujung kipasnya itu menyambar keluar tiga batang jarum hitam kearah dada Kui Eng.
Namun gadis ini telah mendengar dari Pek Bi Lojin tentang kelihaian dan kecurangan ketua Kipas Hitam itu mempergunakan jarum rahasia yang disembunyikan didalam kipas, maka begitu ia melihat benda hitam kecil menyambar ia cepat mempergunakan pedangnya untuk menyampok.
Can Kok berseru lagi dan kini terbang menyambar enam batang jarum, tiga meluncur kearah leher dan tiga pula kearah paha Kui Eng. Serangan ini demikian cepatnya, lalu disusul dengan pukulan kipas kearah dada gadis itu hingga Kui Eng tak sempat pula menangkis semua serangan ini. Ia lalu berseru nyaring dan tiba-tiba tubuhnya mencelat keatas dengan cepat sekali bagaikan burung walet menyambar keatas.
Sambil melompat, digerakkannya kakinya hingga tubuhnya melayang dan melewati kepala Can Kok dan semua serangan itu dapat dielakkannya sekaligus. Ketika Can Kok cepat memutar tubuhnya, Kui Eng membalas dan mendahuluinya dengan serangan pedangnya bertubi-tubi. Dalam gemasnya karena lawannya menggunakan senjata rahasia, Kui Eng mengeluarkan serangan ilmu pedangnya yang paling berbahaya. Can Kok mencoba menangkis dan,..
“Brett!” pedang Kui Eng membabat ditengah kipas diantara dua gagang hingga kain hitam yang terpasang pada gagang itu pecah dan ujung pedang terus membacok tangan Can Kok! Kepala gerombolan yang pendek ini menjerit kesakitan, kipasnya terlempar dan tangan kanannya terbacok pedang hampir putus! Can Kok hendak melompat mundur, akan tetapi sebuah tendangan kaki kiri Kui Eng dengan cepat mengenai dadanya hingga ia roboh terguling tak sadarkan diri!
Dalam gemasnya, Kui Eng melompat maju hendak membunuh orang jahat itu, akan tetapi tiba-tiba dari samping menyambar pukulan yang hebat hingga terpaksa ia membuang diri untuk menghindarkan diri sambil memutar pedangnya kearah penyerangnya.
“Traaang!” Pedangnya beradu dengan gagang kipas yang digunakan oleh Can Sam untuk menyerangnya tadi ketika ketua ketiga ini berusaha menolong kakaknya. Biarpun Can Sam tidak berhasil menyerang Kui Eng, akan tetapi ia telah menolong nyawa kakaknya dengan serangan itu.
Ternyata bahwa dengan keroyokan mereka berdua. Tian An dan Can Sam berhasil mendesak Pek Bi Lojin hingga kakek yang gagah ini merasa kewalahan juga. Ia hanya memutar goloknya untuk melindungi dirinya tanpa kuasa membalas sedikitpun juga.
Namun berkat Ilmu goloknya yang lihai, kedua saudara Can itu belum mendapat kesempatan untuk merobohkannya karena golok yang diputar itu merupakan dinding baja yang luar biasa teguhnya. Kemudian mereka mendengar jeritan Can Kok hingga Can Sam segera memburu dan berhasil menghindarkan Can Kok dari bahaya maut.
Kini Kui Eng bertempur melawan Can Sam yang tidak kalah tangguhnya dari Can Kok, bahkan tenaga lweekang si tinggi kurus ini sangat luar biasa. Setelah ditinggalkan oleh Can Sam dan hanya menghadapi seorang lawan saya, Pek Bi Lojin memperlihatkan keunggulannya. Goloknya menyambar-nyambar bagaikan halilintar diatas kepala Can An hingga si kate ini menjadi bingung dan terdesak hebat.
Pertempuran seorang lawan seorang ini terjadi dengan lebih ramai lagi karena mereka melakukan serangan mati-matian dan mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk merobohkan lawan. Tiba-tiba Can An menjerit dan paha kirinya hampir putus terkena sabatan Pek Bi Lojin, akan tetapi jago tua itupun mengeluarkan pekik kesakitan karena dalam robohnya, Can An menyambitkan kipasnya yang dengan tepat menancap pada pundak kakek itu!
Inilah ilmu kepandaian yang hebat dari Can An. Sambitannya dilakukan pada saat ia terpelanting roboh hingga tidak diduga oleh lawan dan tenaga sambitannya ini kuat sekali. Berbareng dengan robohnya Can An dan Pek Bị Lojin, kawanan Kipas Hitam menyerbu dan Can Sam yang sudah merasa bingung menghadapi pedang Kui Eng yang lihai, cepat melompat mundur.
Melihat majunya kawanan Kipas Hitam, orang-orang dusun dengan nekad dan bersorak-sorak gemuruh, maju sambil mengangkat senjata mereka! Kui Eng maklum bahwa orang dusun itu bukanlah lawan kawanan Kipas Hitam yang pandai ilmu silat, maka ia segera melompat kearah Can An, menyeret tubuh ketua kedua itu dan melemparkannya kedekat tubuh Can Kok, lalu berseru nyaring,
“Tahan semua senjata! Can Sam, kalau kau tidak perintahkan anak buahmu mundur, kedua kakakmu ini akan kubunuh lebih dulu!” Sambil berkata demikian, Kui Eng menodongkan pedangnya pada Can Kok dan Can An yang belum mati dan yang masih merintih-rintih kesakitan.
Can Sam menjadi terkejut dan berseru, “Jangan bunuh mereka!,” lalu ia memberi tanda dengan bersuit nyaring hingga semua anak buahnya lalu mengundurkan diri dan memandang kepada ketua mereka dengan bingung dan kuatir.
“Can Sam, kita sudah berjanji untuk berkelahi dengan jujur tanpa ada pengeroyokan. Kalau kau memang laki-laki yang gagah, apabila kau masih penasaran, marilah maju dan lawan aku sampai penentuan terakhir! Akan tetapi kalau kau hendak melakukan pengeroyokan dengan anak buahmu, aku akan mampuskan kedua saudaramu ini, kemudian aku akan membasmi semua anak buahmu!”
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara keras dan nyaring serta sikap yang gagah hingga semua kawanan Kipas Hitam menjadi ketakutan.
“Dengarlah kalian, aku adalah murid dari Lui Sian Lojin yang dulu pernah memberi pengajaran kepada kalian. Setelah mendapat ampun dari suhu, ternyata sekarang kalian melakukan kejahatan lagi! Maka, sekali lagi sekarang aku memberi ampun kepada kalian, asalkan kalian suka melepaskan puteri kepala kampung ini dan membubarkan perkumpulanmu yang jahat ini. Berjanjilah!”
Tian Sam sebetulnya adalah seorang yang tidak jahat dan ia hanya terbawa-bawa oleh kedua kakak angkatnya. Kini melihat kedua kakaknya telah dirobohkan dan tidak berdaya, maka habislah daya lawannya dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Melihat kegagahan Kui Eng dan mendengar bahwa Kui Eng adalah murid Lui Sian Lojin, ia dan kawan-kawannya menjadi gentar, maka ia lalu menyawab,
“Baiklah, Lihiap. Kami menurut dan harap kau ampunkan jiwa kedua kakakku.”
“Lepaskanlah puteri kepala kampung ini!” perintah Kui Eng dan beberapa orang anak buah Kipas Hitam lalu masuk kedalam pondok dan tak lama kemudian ia mengiringkan seorang wanita muda yang cantik dan ketika wanita itu melihat ayahnya, ia lari menubruk dan mereka bertangis-tangisan.
“Sekarang kalian semua harus bubar dan tinggalkan bukit ini! Kalau lain kali aku bertemu dengan seorang diantara kalian dan melihat kalian melakukan kejahatan lagi jangan menyesal apabila aku terpaksa berlaku kejam!”
Can Sam lalu memberi perintah dan semua anak buah Kipas Hitam lalu turun gunung, cerai-berai dan lari mencari tempat baru.
Sementara itu, beberapa orang kampung lalu menolong Pek Bi Lojin yang baiknya hanya terluka kulit dan dagingnya saja dibagian pundak dan tidak membahayakan keselamatannya. Kemudian, Kui Eng lalu melepaskan Can Kok dan Can An, dan membiarkan Can Sam dan beberapa orang kawannya menolong mereka itu dan membawanya turun gunung.
Orang-orang dusun dengan dikepalai oleh kepala kampung, lalu naik keatas dan membakar semua pondok gerombolan yang telah ditinggalkan oleh penghuninya. Kemudian mereka lalu turun gunung, kembali ke dusun mengiringkan Kui Eng dan memanggul tubuh Pek Bi Lojin.
Kui Eng dipuji dan dihormati sebagai seorang pahlawan namanya menjadi buah pujian setiap orang. Oleh karena sepak-terjangnya yang gagah perkasa dan pakaiannya yang berwarna hijau, maka orang kampung memberi nama julukan Nona Naga Hijau kepadanya!
Pek Bi Lojin menghaturkn banyak terimakasih kepada Kui Eng yang dijawab dengan merendahkan diri oleh gadis itu. Juga Pek Bi Lojin mendapat penghormatan dan perawatan dari para penduduk dusun hingga Kui Eng dapat meninggalkannya dengan hati tenteram.
Gadis ini lalu melanjutkan perjalanannya. Ia merasa bimbang harus pergi kemana. Menurutkan keinginannya, ia hendak menyusul Ang Min Tek ke kotaraja karena bayangan pemuda pelajar itu selalu terbayang didepan matanya.
Akan tetapi, ia menjadi sedih kalau mengingat bahwa sampai sedemikian lamanya ia merantau, belum juga ia dapat mencari jejak ibunya. Maka ia lalu mengambil keputusan untuk menuju ke kotaraja dengan jalan memutar dari barat. dengan pengharapan akan dapat bertemu dengan ibunya. dan juga untuk meluaskan pengalamannya...