Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 08

Cerita silat online Mandarin karya Kho Ping Hoo. Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 08

Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 08

Kita tunda dulu perjalanan Ki Eng yang gagah perkasa dan mari kita tinjau pengalaman Beng Han, murid pertama dari Lui Sian Lojin. Pemuda ini setelah ditinggalkan kedua adik seperguruannya, yakni Bun Hong dan Kui Eng, merasa sedih sekali. Ia merasa sedih oleh karena sikap Kui Eng yang ternyata tidak mencintainya seperti yang ia dengar dari Beng Lian, dan merasa kuatir karena Bun Hong pergi seorang diri ke kotaraja.

Novel Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Ia maklum akan kesembronoan dan keberanian Bun Hong yang memungkinkan pemuda itu terancam bahaya. Oleh karena itu, ia lalu mengambil keputusan untuk menyusul Bun Hong ke kotaraja. Disepanjang jalan ia teringat kepada Kui Eng dan dengan segala kekuatan batinnya ia menindas perasaan sedih dan kecewa didalam hatinya.

Juga ia diam-diam merasa kasihan kepada Bun Hong karena menurut cerita Beng Lian, ternyata bahwa Kui Eng juga tidak menaruh hati cinta kepada sutenya itu, padahal ia maklum bahwa sutenya itu ternyata juga mencintai Kui Eng seperti dia sendiri. Ia merasa kasihan dan juga terharu mengingat akan pengurbanan sutenya itu yang sengaja menjauhkan diri dan mengalah terhadapnya, dan ia maklum betapa hancur dan kecewa hati sutenya itu.

Beng Han tersenyum seorang diri dengan sedih kalau teringat betapa ia dan sutenya, kedua-duanya menjadi korban asmara, dan orang yang membuat mereka kecewa dan berduka itu bukan lain ialah sumoi mereka sendiri! Alangkah lucunya! Ia teringat kepada adiknya, Beng Lian dan merasa girang bahwa adiknya itu telah mendapat seorang calon suami seperti Yu Tek yang gagah perkasa.

Diam-Diam ia berdoa semoga nasib adiknya itu lebih baik daripada nasibnya dan semoga pertunangan adiknya itu takkan mengalami gangguan. Akan tetapi, mengingat akan semua ini teringat pula ia akan ucapan ibunya bahwa pernikahan adiknya itu takkan dapat dilangsungkan sebelum ia yang menjadi kakaknya menikah lebih dahulu! Beng Han menghela napas berat. Selain Kui Eng, gadis manakah yang akan dapat menawan hatinya?

Pada suatu pagi, ia tiba-tiba disebuah dusun yang besar dan ramai. Dusun ini bernama Kiong-nam-teng dan sawah ladang disekeliling dusun itu amat suburnya. Ketika Beng Han masuk kedalam dusun, ia merasa heran mengapa hari itu tidak nampak seorangpun disawah dan ketika ia lewat didepan rumah-rumah dusun itu, ia melihat para petani duduk berkelompok-kelompok didepan rumah seakan-akan membicarakan sesuatu dengan wajah penuh kekuatiran dan kemarahan.

Beng Han menjadi heran dan ingin tahu sekali, akan tetapi ia merasa kurang sopan untuk bertanya karena tak baik mencampuri urusan orang lain. Oleh karena menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat hingga orango dusun itu tidak pergi kesawah pada hari itu, maka ia mengambil keputusan untuk berdiam didusun itu dan melihat apakah gerangan yang terjadi.

Setelah matahari naik tinggi, tiba-tiba orang dusun keluar dari rumah dan menuju kesebuah tempat terbuka dan berkumpul disitu. Tak lama kemudian, dari jurusan timur datang serombongan orang yang terikat tangannya dan dua orang mengiringkan mereka. Dua orang ini, yang seorang berpakaian seperti seorang tosu dan seorang lagi berpakaian seperti seorang perwira tinggi.

Beng Han tak dapat menahan sabarnya lagi karena ingin tahu. Maka ia lalu berbisik dan bertanya kepada seorang petani tua yang berdiri ditempat itu dengan diam tak berkata seperti orang lain.

“Lopek, sebetulnya apakah yang terjadi? Siapakah mereka yang dibelenggu dan digiring kesini itu? Dan siapa pula yang menggiring mereka?” tanyanya karena menduga bahwa orang itu mungkin penjahat yang tertangkap.

Kakek petani itu menarik napas berat dan menjawab dalam bisikan pula, “Siangkong, agaknya kau orang datang dari jauh maka tidak tahu akan arti semuanya ini. Kedua orang itu, perwira dan tosu itu adalah utusan dari kerajaan dan mereka datang untuk memberi hukuman kepada kepala kampung kami beserta semua petugas yang memerintah kampung kami.”

Beng Han menduga bahwa kepala kampung beserta pembantu-pembantunya itu tentu telah melakukan semacam kejahatan, akan tetapi kalau demikian halnya, tentu orang dusun tidak menjadi berduka, bahkan seharusnya bergirang.

“Kejahatan apakah yang telah mereka lakukan?,” tanyanya.

“Kejahatan?” kakek itu mengulang perkataannya dengan muka sedih, “Bukan kejahatan yang mereka lakukan! Bahkan karena mereka melakukan kebaikan, maka mereka terhukum.”

Bukan main herannya hati Beng Han mendengar ini hingga ia memandang kakek itu dengan mata terbelalak. “Aneh sekali!” katanya dengan agak keras hingga semua orang memandangnya, “Bagaimana orang yang melakukan kebaikan dijatuhi hukuman?”

“Stt, jangan keras, siangkong, kalau terdengar oleh mereka kita akan dihukum pula. Kepala kampung kami adalah seorang mulia yang membela kami dan dengan diam-diam ia mengurangi pemungutan pajak dan didalam laporannya ia memperkecil jumlah dan luasnya sawah-ladang kami. Akan tetapi celaka, perbuatannya yang hendak menolong kami itu diketahui oleh pembesar tinggi hingga sekarang datang dua orang utusan dari kotaraja untuk menjatuhi hukuman!”

Beng Han merasa penasaran dan marah sekali. “Apakah hukuman yang hendak dijatuhkan kepada mereka?”

“Entahlah, akan tetapi kami mendengar bahwa kepala kampung akan dijatuhi hukuman lima puluh kali cambukan sedangkan para pembantunya tiga puluh kali!”

Sementara itu, rombongan orang yang dibelenggu itu telah sampai ditengah lapangan. Mereka terdiri dari tujuh orang laki yang sudah berusia empat puluh tahun lebih, dan semua menundukkan kepala. Perwira yang tadi menggiring mereka lalu memandang kepada semua orang dusun yang berkumpul dan mengelilingi tempat itu, lalu berkata dengan suaranya yang besar,

“Kalian semua lihatlah baik-baik! Tujuh orang ini tidak melakukan tugas mereka dengan jujur dan telah mencatut hasil pajak negara! Menurut patut, mereka harus dihukum mati, akan tetapi Thio-Taijin yang berwewenang dalam urusan ini telah memperlihatkan kebaikan hatinya dan hanya menjatuhi hukuman rangket saja. Biarlah hukuman ini menjadi contoh bagi semua orang yang berani membangkang dan melakukan kecurangan dalam hal pembayaran pajak.”

Setelah berkata demikian, perwira itu lalu memberi tanda kepada seorang yang berpakaian tentara untuk melakukan tugasnya. Baju kepala kampung dan pembantunya ditanggalkan hingga tubuh atas mereka menjadi telanyang. Terdengar cambuk berdetak dan rintihan orang kesakitan. Mana orang tua itu dapat menahan hukuman itu?

Baru sepuluh kali saja cambuk yang panjang dan berat itu menghantam punggung, seorang tua yang menjadi kurban pertama telah lemas dan pingsan! Beng Han tak dapat mengendalikan perasaan hatinya lagi. Sekali tubuhnya melompat ia telah berada didepan tentara yang menjadi algojo itu dan dengan cepat ia merampas cambuk.

Ketika algojo itu hendak memukulnya, tangan kirinya menampar kepala algojo itu yang segera terpelanting dan bergulingan diatas tanah sambil memegangi kepalanya dan meraung-raung karena kepalanya terasa sakit bagaikan terpukul besi! Perwira yang tinggi besar itu bukan lain ialah Bong Kak Im, perwira atau jago nomor satu dari Thio-Thaikam yang sedang menjalankan tugas memeriksa dan menghukum kepala kampung didusun Kiong-nam-teng karena terlalu membela rakyat dusun!

Adapun tosu yang mengawaninya adalah Tek Po Tosu, pendeta yang lihai dan yang menjadi pelindung utama dari Thio-Thaikam. Tentu saja Bong Kak Im merasa marah sekali melihat munculnya seorang muda yang gagah dan cakap, dan yang berani berlancang-tangan menyerang algojo yang sedang menjalankan pekerjaannya.

“Bangsat rendah, apakah kau hendak memberontak?,” bentaknya.

“...Perwira kejam, jangan kau menggunakan kedudukan untuk menyiksa orang baik!,” Beng Han balas membentak.

Berputar kedua mata Bong Kak Im yang besar mendengar ucapan ini. “Eh, bocah gila! Tak tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan seorang perwira kepercayaan Thio-Taijin? Kau tidak tahu siapa aku?”

“Tentu saja aku tahu. Kau adalah seorang perwira bayaran yang kejam dan ganas, yang menganggap bahwa didunia ini tidak ada orang yang akan berani menentangmu! Akan tetapi aku Gan Beng Han, sama sekali tidak takut kepada seorang manusia iblis seperti kau!”

“Kurang ajar!” Bong Kak Im membentak dan memukul dengan tangan kanannya dengan keras dan cepat.

Beng Han segera mengelak dan membalas dengan serangan yang cepat pula hingga diam-diam Bong Kak Im terkejut dan segera menangkis. Tadinya ia menyangka bahwa pemuda ini adalah seorang muda dari dusun itu yang masih terhitung keluarga lurah yang dihukum itu dan yang merasa sakit-hati melihat keluarganya dihukum.

Tidak tahunya pemuda ini memiliki ilmu silat yang cukup hebat, karena kalau tidak memiliki ilmu silat tinggi, tak mungkin akan dapat mengelak dari serangan tadi sedemikian mudahnya. Maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba ia telah mencabut keluar sepasang senjatanya yang luar biasa dahsyatnya dan yang mengerikan setiap orang yang melihatnya.

Yakni sepasang kapak yang besar dan tajam sekali hingga ketika ia gerakkan dikedua tangannya, kapak itu berkilauan tertimpa sinar matahari! Orang-orang dusun melihat perwira itu memainkan sepasang senjata yang demikian mengerikan, tak terasa lagi menjerit dan mundur menjauhi.

Akan tetapi dengan tersenyum tenang Beng Han lalu mencabut pedangnya dan menghadapi serangan lawannya dengan tenang. Bong Kak Im mengeluarkan seruan keras dan menyerang sambil mengobat-abitkan kedua kapaknya, menyerang kearah kepala dan pinggang Beng Han. Sekali saja terbacok oleh kapak yang lebar dan tajam itu, kepala pasti akan terbelah dua dan pinggang akan putus!

Akan tetapi, Beng Han yang memiliki ketenangan dan kewaspadaan besar, tidak menjadi gentar menghadapi serangan sepasang senjata yang kuat dan teguh bagaikan seekor naga sakti keluar dari samudera. Bong Kak Im merasa heran sekali oleh karena setiap kali kapaknya kena tertangkis, ia merasa tangannya tergetar.

Bukan main hebatnya tenaga pemuda yang mampu nenggetarkan tangannya ini, maka ia menjadi penasaran dan malu sekali. Sambil mengeluarkan geraman hebat bagaikan seekor harimau marah perwira yang menjadi jago nomor satu dari Thio-Thaikam itu lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan pemuda ini.

Beng Han merasa terkejut juga menyaksikan kelihaian lawannya. Ia tak pernah menduga bahwa perwira yang menjadi utusan Thio-Taijin itu demikian tangguhnya maka diam-diam ia mengeluh oleh karena kalau di kotaraja banyak terdapat perwira setangguh ini, pasti Bun Hong akan mengalami bencana besar.

Maka ia lalu teguhkan batinnya dan mengerahkan segala kepandaiannya untuk segera mengakhiri pertempuran ini. Untuk dapat menjatuhkan seorang lawan yang memiliki ilmu kepandaian tidak disebelah bawah tingkat kepandaiannya sendiri tidak ada lain jalan kecuali menyerangnya dengan serangan maut dan kalau perlu menewaskannya!

Maka ia merobah gerakan pedangnya yang kini menyambar bagaikan naga mengamuk. Sinar pedangnya berkelebat bagaikan kilat menyambar dan mencari lowongan diantara gulungan dua batang kapak itu, hingga Bong Kak Im terpaksa harus berlaku hati-hati dan melakukan perlawanan sambil mundur karena ujung pedang lawannya itu beberapa kali hampir saja menusuk lehernya!

Tek Po Tosu hilang sabarnya melihat betapa Bong Kak Im belum juga dapat merobohkan pengacau itu, bahkan nampak terdesak. Tosu ini lalu melompat dan mengirim serangan dengan kebutan ujung lengan bajunya kearah Beng Han. Pemuda itu terkejut karena kebutan lengan baju itu mengandung tenaga lweekang yang besar, maka iapun lalu menangkis dengan sampokan tangan kiri yang dikerahkan dengan tenaga lweekang hingga kebutan lengan baju itu tertangkis.

Tek Po Tosu menjadi terkejut dan tahulah ia mengapa Bong Kak Im terdesak oleh karena memang pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ia terheran, karena dari manakah datangnya seorang pemuda yang demikian lihainya?

“Tahan dulu!,” seru Tek Po Tosu dengan keras sambil mencabut siang-kiam nya (sepasang pedang) dan memisah ditengah-tengah pertempuran. Bong Kak Im melompat kebelakang dan Beng Han juga tidak mau mengejar. Ia berdiri melintangkan pedang didada dan memandang tajam kepada tosu yang lihai itu.

“Anak muda, sebetulnya apakah kehendakmu membuat kekacauan ini?,” tanya Tek Po Tosu dengan suara halus.

“Totiang,” kata Beng Han dengan suara tetap, “Kau adalah seorang pendeta, maka tentu kau tahu betul tentang prikemanusiaan. Aku datang mencampuri urusan ini tak lain karena terdorong oleh rasa prikemanusiaan. Pembesar atasan telah melakukan pemerasan terhadap para petani dan memasang tarip pajak yang mencekik leher, itu namanya perbuatan yang melanggar prikemanusiaan.

"Kemudian, kepala kampung ini dan para pembantunya yang menurutkan dorongan prikemanusiaan pula, membantu para petani miskin dan meringankan beban pajaknya, akan tetapi perbuatan yang baik ini bahkan mendapat hukuman kejam dari perwira ini. Apakah aku yang dididik untuk mengabdi prikemanusiaan dan membela keadilan harus mendiamkan saja hal ini terjadi?”

Tek Po Tosu tersenyum mengejek. “Anak muda, jangan kau mencoba memberi pelajaran kepada pinto tentang prikemanusiaan yang palsu! Ketahuilah bahwa setiap negara mempunyai peraturan masing-masing dan rakyat jelata harus mentaatinya. Kalau ada yang tidak mentaati undang-undang itu berarti bahwa rakyat memberontak! Kau yang digerakkan oleh hatimu yang lemah, kalau kau membela kepala kampung ini dan melawan kami, berarti pula bahwa kaupun memberontak! Apakah kau ingin dianggap pemberontak oleh pemerintah?”

Beng Han tersenyum juga. “Lagu lama bagiku! Memang inilah senjata para petugas dalam melakukan kekejaman mereka, Memberontak! Orang lemah diinjak, orang miskin diperas, dicekik lehernya, orang baik-baik dicambuki dan disiksa, dan kalau mereka melawan? Mudah saja, lalu dicap pemberontak! Hm bagus, bagus! Akan tetapi aku tidak takut dicap pemberontak dan selama aku masih hidup, kekejaman macam ini tidak boleh berjalan tanpa kucegah!”

“Kau mencari mampus!” Bong Kak Im membentak dan menyerang lagi dengan sepasang kapaknya. Beng Han segera menangkis dan balas menyerang.

Akan tetapi kini Tek Po Tosu yang maklum akan kelihaian pemuda itu, tidak tinggal diam dan menggunakan siang-kiam nya mengeroyok. Ilmu kepandaian tosu ini masih lebih tinggi daripada kepandaian Bong Kak Im, maka tentu saja Beng Han merasa berat dan terdesak sekali ketika mereka berdua menyerang dan mengeroyoknya dengan sengit.

Akan tetapi, tidak percuma Lui Sian Lojin menggembleng pemuda ini dengan ilmu silat tinggi. Kakek sakti itu telah pula mempersiapkan semacam ilmu pedang yang khusus dicipta untuk menghadapi desakan lawan yang tangguh atau keroyokan orang bersenjata, Beng Han lalu memainkan ilmu silat itu yang disebut ilmu gerakan Dewa Berpayung Dibawah Hujan.

Pedangnya berputar cepat merupakan dinding baja yang melindungi seluruh tubuhnya dari serangan kedua lawannya yang amat tangguh itu. Betapapun juga, ilmu silat Tek Po Tosu dan Bong Kak Im sudah mencapai tingkat yang tinggi.

Maka berkat kerja-sama mereka, empat buah senjata dikedua tangan mareka merupakan bahaya maut yang mengancam jiwa Beng Han oleh karena, biarpun ia dapat mempergunakan ilmu pedangnya untuk mempertahankan diri, sampai berapa lamakah ia akan sanggup mempertahankan diri tanpa dapat membalas sedikitpun juga?

Sepasang kapak ditangan Bong Kak Im menyambar dengan kekuatan besar sekali, sedangkan sepasang pedang Tek Po Tosu selalu mencoba untuk menerobos pertahanan pedangnya dengan gerakan gesit dan tenaga lweekang yang kadang menggetarkan pedangnya.

Tek Po Tosu merasa penasaran dan malu karena dengan mengeroyok dua, belum juga ia dan Bong Kak Im merobohkan pemuda itu padahal mereka telah bertempur hampir seratus jurus lamanya! Jarang ia menjumpai lawan yang dapat bertahan bertempur melawannya sampai sedemikian lama, apalagi kalau dikeroyok dua dengan Bong Kak Im yang bukan orang sembarangan pula karena Bong-Ciangkun ini merupakan jago silat kepercayaan Thio-Thaikam yang nomor satu!

Maka dengan marah sekali Tek Po Tosu mendesak makin hebat dengan pedang ditangan kanannya, sedangkan tangan kirinya lalu memasukkan pedangnya disarung pedang sambil mengeluarkan senjata rahasianya yang amat terkenal karena kelihaiannya. Senjata ini merupakan sehelai sapu tangan yang kedua ujungnya disatukan hingga merupakan bandringan, didalamnya diisi dengan jarum dan apabila dikebutkan maka jarum itu terbang menyambar kearah lawan.

Kelihaian senjata ini ialah bahwa sambitan dengan saputangan yang merupakan bandringan ini sukar sekali diduga oleh lawan kemana arah jarum itu menyerang. Apabila jarum itu disambitkan biasa dengan tangan, maka gerakan tangan akan dapat dilihat dan diduga kemana jarum hendak disambitkan.

Sedangkan sapu tangan ini digerakkan oleh pergelangan tangan yang sukar diikuti oleh mata lawan. Ben Han masih belum tahu senjata apakah yang dikeluarkan oleh lawannya itu dan tahu-tahu tosu itu membentak, “Robohlah kau!”

Sapu tangannya dikebutkan dan pedang ditangan kanan mendahului dengan serangan hebat hingga Beng Ha yang pada saat itu sedang mengelak cepat dari sambaran kapak Bong Kak Im, terpaksa harus menangkis pedang yang menyambar kearah dadanya itu.

Tangkisan inilah yang membuat ia tidak sempat untuk menangkis sinar-sinar hijau yang tiba-tiba keluar dari saputangan yang dikebutkan itu dan cepat ia berseru sambil menggulingkan tubuhnya kebelakang untuk menghindarkan diri dari serangan senjata-rahasia itu.

Akan tetapi terlambat sebuah diantara jarum-jarum itu telah menancap kepundak kirinya dan karena tepat menusuk urat besar. Beng Han merasa betapa seluruh lengan kirinya menjadi lumpuh! Sedangkan pada saat itu, sepasang kapak Bong Kak Im menyambar kearah kepala dan dadanya dibarengi bentakan menyeramkan dari perwira itu!

Pemuda itu sedang telentang diatas tanah dan karena serangan kedua kapak itu datangnya amat hebat dan cepat, agaknya pemuda itu takkan tertolong lagi, kalau tidak kepalanya akan pecah, tentu dadanya akan terbelah! Akan tetapi Beng Han mempunyai ketabahan dan ketenangan yang luar biasa hingga biarpun nyawanya telah tergantung kepada sehelai rambut dan keadaannya berbahaya sekali, ia tidak kehilangan akal. Kalau ia merasa takut atau bingung, akan hilanglah nyawanya.

Namun, murid pertama dari Lui Sian Lojin ini ketika melihat datangnya serangan, melihat betapa kapak itu datangnya tidak berbareng, yakni yang ditangan kanan Bong Kak Im datang lebih dulu menghantam kepalanya dan kapak kedua menyusul kearah dada. Cepat sekali pemuda itu memiringkan kepala hingga dengan suara keras kapak itu lewat dekat sekali dengan telinganya dan menancap ditanah.

Sedangkan pada saat itu juga ia melakukan gerakan yang nekad dan berhasil, yakni dengan pedangnya ia menyambut tangan kiri Bong Kak Im dengan sebuah tusukan kearah pergelangan tangan perwira itu! Bog Kak Im lihai sekali, dan ketika ia melihat serangan balasan kearah pergelangan tangannya, ia segera menarik tangannya akan tetapi ia melepaskan kapaknya itu yang terus meluncur kebawah, kearah dada Beng Han!

Kali ini Beng Han amat terkejut karena serangan lawan ini tak pernah disangka-sangkanya. Tadinya ia mempunyai perhitungan bahwa dengan serangan balasan itu, tentu lawannya akan menarik kembali kapaknya, tidak tahunya perwira itu meneruskan serangan dengan membantingkan kapak itu terus kearah dadanya setelah melepaskan gagang kapak dan menyelamatkan tangan dari tusukan pedangnya!

Beng Han berseru keras dan menggulingkan tubuhnya, akan tetapi tak cukup cepat untuk dapat menghindarkan tubuhnya sama sekali dari serangan itu, karena ketika tubuhnya bergulingan, kapak itu masih berhasil menjerempet dan melukai bahu kanannya yang segera mengucurkan darah banyak sekali!

Beng Han melompat berdiri dan biarpun ia merasa betapa bahu kanannya perih dan sakit sekali, akan tetapi ia tidak mau melepaskan pedangnya dan cepat menyerang Tek Po Tosu yang berada didekatnya. Tangan kiri Beng Han tak dapat digerakkan dan masih lumpuh, sedangkan darah tiada hentinya mengucur dari bahu kanannya.

Singga para penduduk dusun yang menyaksikan pertempuran itu dan yang tadi sudah meramkan mata ketika melihat Beng Han diserang oleh kapak perwira, kini merasa terharu dan kasihan sekali.

Tek Po Tosu tertawa gelak? “Anak muda, bersiaplah untuk binasa!” Setelah berkata demikian, pendeta itu menyerang makin ganas, sedangkan Bong Kak Im telah mengambil kembali kapaknya dari atas tanah.

Melihat hal ini, Beng Han maklum bahwa ia tak mungkin dapat melawan terus, karena kalau ia terus melawan, berarti ia mencari mati. Biarpun andaikata ia masih akan dapat mempertahankan diri terhadap serangan dua orang lawan tangguh itu, tetap saja ia akan roboh karena kehabisan darah. Tubuhnya mulai terasa lemas dan kepalanya terasa pening.

“Maaf, saudara-saudara petani, kali ini siauwte tak dapat membelamu!,” serunya dengan hati kecewa dan ia lalu melompat jauh.

Kedua orang itu tidak mengejar, hanya tertawa gelak karena mereka merasa gentar untuk mengejar pemuda yang lihai itu, apalagi karena mereka menyaksikan betapa ilmu lompat jauh pemuda itu tinggi sekali dan sebentar saja Beng Han telah lenyap dari pandangan mata mereka.

Bong Kak Im dan Tek Po Tosu lalu melanjutkan pelaksanaan hukuman yang tertunda itu dan cepat-cepat meninggalkan kampung Kiong-nam-teng karena kuatir kalau-kalau pemuda kosen tadi datang lagi membawa kawan!

Dengan kepala terasa nanar tubuh lemas, dan bahu kanannya sakit dan panas sekali, Beng Han terus berlari masuk kedalam hutan diluar kampung itu. Larinya mulai terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh diatas tanah bertilamkan rumput hijau. Ia rebah tak sadarkan diri dan sampai lama ia pingsan.

Yang memberatkannya bukanlah luka dibahu kanan itu, karena biarpun banyak mengeluarkan darah akan tetapi tidak berbahaya dan tubuh Beng Han kuat sekali hingga banyak darah yang keluar dari lukanya itu tidak mempengaruhinya terlalu hebat.

Akan tetapi, ternyata bahwa jarum rahasia yang menancap dipundak kiri dan yang membuat seluruh lengan kirinya menjadi lumpuh itu mengandung bisa yang jahat. Dan inilah yang membuat kepalanya menjadi pusing dan tubuhnya lemas sekali. Ketika Beng Han membuka matanya, ia menjadi bingung. Serasa dalam mimpi ketika ia melihat seorang gadis berpakaian serba putih berlutut didekatnya. Beng Lian kah gadis ini?

Ia membuka mata dan memandang penuh perhatian. Kepusingannya masih menekan berat pada kepalanya, membuat pandangan matanya kurang terang. Bukan, bukan adiknya, akan tetapi seorang gadis yang sama cantiknya dan yang asing sama sekali baginya. Bidadarikah? Sudah matikah dia maka bertemu dengan bidadari?

“Bidadari yang mulia, sudah matikah aku?” tanyanya dengan suara bisikan, hingga wanita cantik itu harus mendekatkan kepalanya untuk dapat mendengar gerakan bibirnya. Tercium oleh Beng Han keharuman rambut yang panjang itu.

Wajah gadis itu memerah karena jengah mendengar bisikan Beng Han yang menyebutnya bidadari itu. “Taihiap, kau terluka hebat. Mari kuantar kepondok suhu, supaya kau mendapat perawatan yang baik,” kata gadis itu.

Beng Han tersadar bahwa ia bukan sedang mimpi, juga bukan telah mati, dan bahwa gadis ini bukanlah seorang bidadari, akan tetapi seorang manusia yang cantik dan yang hendak menolongnya! Ia tersenyum dan bangun lalu duduk sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut.

“Mari, Taihiap, kalau terlambat, aku takut mereka itu akan datang kesini.”

Beng Han maklum akan kekuatiran gadis ini, maka ia lalu bangun dan berdiri, akan tetapi hampir saja ia terguling lagi kalau tidak gadis itu cepat memegang lengannya. Kepalanya berdenyut-denyut dan tanah yang dipijaknya seakan berubah menjadi gelombang laut dan berputaran disekelilingnya.

“Mari kubantu Taihiap. Tidak jauh pondok suhu dari sini,” kata suara gadis yang merdu itu.

“Terimakasih... terimakasih...,” bisik Beng Han dan dengan tersaruk-saruk ia melangkah lagi beberapa tindak, akan tetapi kembali ia menahan langkahnya dan menjatuhkan diri duduk diatas tanah.

Gadis itu berlutut disebelahnya. “Bagaimana, Taihiap, tidak kuatkah kau?” tanyanya dengan penuh kecemasan.

“Kepalaku... kepalaku...” Beng Han mengeluh sambil memejamkan matanya karena kalau mata itu dibukanya, ia merasa pusing sekali melihat segala apa berputar-putar didepan matanya. Bahkan wajah gadis yang berdaya menolongnya itupun tak dapat ia lihat dengan jelas dan hal ini mengesalkan hatinya benar. Tiba-tiba ia merasa betapa jari tangan yang halus dan lunak memijit kepalanya. Sentuhan ini mengurangi denyutan didalam kepalanya.

“Enak... enak dan nyaman sekali...” bisiknya dan makin asyiklah kedua tangan gadis itu memijit-mijit kepalanya.

“Taihiap, kita harus lekas pergi dari sini. Kalau kedua keparat itu lewat disini, kau akan mendapat celaka!,” bisik gadis itu.

Teringatlah Beng Han kepada kedua orang lawannya yang tangguh. Maka ia lalu berdiri lagi dan berkata perlahan, “Marilah, bawalah aku kemana saja, aku percaya kepadamu...” Dan ia lalu memaksa dirinya melangkah maju, berpegang pada tangan dan pundak orang yang menolongnya itu, tidak ingat sama sekali bahwa orang itu adalah seorang gadis, gadis yang muda dan cantik!

“Kasihan... lenganmu penuh darah...,” ia mendengar gadis itu berkata perlahan dan menahan isak.

Beng Han diam saja, hanya berjalan terhuyung-huyung terus sambil memejamkan matanya, menurut saja kemana ia dibawa oleh penolongnya.

“Kasihan, pemuda gagah perkasa yang malang...,” kata gadis itu pula perlahan.

“Apa katamu?” Beng Han bertanya sambil mencoba memandang wajah orang yang berjalan didekatnya itu, akan tetapi ia hanya melihat bayang-bayang saja.

“Wajahmu pucat sekali...,” kata gadis itu.

Akan tetapi Beng Han tak dapat mendengarnya lagi lanjutan kata-kata ini karena tiba-tiba ia mengeluh dan pingsan dalam pelukan gadis itu! Ia tidak tahu betapa gadis itu dengan sigapnya lalu memondong tubuhnya dan berlari menuju kesebuah pondok kecil ditengah hutan! Melihat tenaga dan kegesitan gadis itu, dapat diduga bahwa ia sedikitnya memiliki ilmu kepandaian silat yang lumajan juga.

Beng Han siuman kembali dari pingsannya. Panca inderanya bekerja kembali pikirannya yang tadinya melayang entah kemana itu sekarang mulai berkumpul kembali. Ia tidak membuka matanya, dan tetap rebah telentang mengumpulkan ingatannya. Ia masih merasa bingung. Tiba-tiba suara yang tadinya hanya merupakan bisikan dari jauh itu makin terdengar nyata.

“Jarum itu tepat mengenai urat darah dan bisa dari jarum itu telah mengotorkan darahnya. Untung sekali tubuhnya kuat hingga didalam tubuhnya cukup terdapat daya yang menolak bahaya racun itu,” demikian terdengar suara orang yang diucapkan dengan lemah-lembut, seperti biasa suara orang yang telah lanjut usianya.

“Dia memang gagah dan berbudi, patut kita rawat dan tolong sampai sembuh betul. Harap saja totiang suka menolongnya sedapat mungkin,” kata suara orang lain.

“Pinto akan berdaya sedapat mungkin, dan pinto yakin bahwa ia akan sembuh kembali, walaupun akan makan waktu agak lama,” kata suara yang lemah-lembut tadi.

Beng Han membuka matanya dengan perlahan. “Ia siuman kembali,” tiba-tiba terdengar suara yang merdu dan halus, suara yang membuat Beng Han teringat akan segala peristiwa yang dialaminya, karena suara inilah yang tadinya merupakan teka-teki baginya. Ia seakan-akan selalu mendengar suara yang halus ini ketika ia siuman, akan tetapi setelah diputar ingatannya, tak juga ia dapat mengingat siapa orang itu atau suara siapakah yang menggema ditelinganya itu.

Kini setelah suara itu terdengar oleh telinganya, teringatlah ia bahwa itulah suara orang yang dulu menolongnya! Ia membuka matanya dan pertama yang dilihatnya adalah wajah seorang tua yang berpakaian seperti seorang tosu. Pendeta ini sudah tua sekali, rambut dan jenggotnya sudah putih semua dan wajahnya membayangkan kesabaran dan kebijaksanaan. Beng Han mengalihkan pandang matanya dan kini ia mulai mencari dengan matanya.

Ia melihat wajah kepala kampung yang mendapat hukuman dari dua orang utusan Thio-Thaikam dan yang telah dibelanya itu, akan tetapi ia tidak perdulikan pandangan penuh kagum dan terimakasih dari orang-tua itu, dan segera melayangkan pandang matanya kearah lain, mencari-cari. Beberapa buah wajah orang yang dikenalnya sebagai pembantu kepala kampung dilewatinya saja dan akhirnya bertemulah ia dengan wajah yang dicari-carinya.

Wajah seorang dara muda dengan sepasang mata yang membayangkan kemesraan dan kehalusan wajah yang manis dan bersih, wajah seorang bidadari. Pandang mata Beng Han menatap wajah ini dan perlahan-lahan, bibirnya tersenyum. Tiba-tiba wajah itu menjadi merah sampai ketelinganya dan mata yang halus lembut sinarnya itu menunduk, memandang kebawah, akan tetapi mulut yang kecil itu tersenyum manis.

“Terimakasih....” Beng Han berbisik.

“...Taihiap,” kata kepala kampung itu dengan suara menghormat, “Kami merasa bersukur sekali melihat bahwa kau dapat disembuhkan kembali. Kegagahanmu yang telah berani mengurbankan diri demi pembelaanmu kepada kami, sungguh mengagumkan hati dan kami berterima kasih sekali kepadamu.”

Beng Han menarik napas panjang. “Siauwte yang harus menghaturkan terimakasih..., bukan siauwte yang menolong cuwi, akan tetapi bahkan sebaliknya...” Pemuda ini merasa kecewa sekali. Tadinya ia hendak menolong penduduk kampung dari perbuatan sewenang-wenang, akan tetapi sebaliknya kini ia terluka dan bahkan penduduk kampunglah yang menolongnya!

“Jangan kau kecewa, Taihiap,” kata tosu tua itu dengan halus, kau tidak tahu bahwa dua orang yang kau lawan itu adalah jago-jago nomor satu dari Thio-Thaikam. Tosu itu adalah Tek Po Tosu yang menjadi penasihat dan pengawal pribadi Thio-Thaikam, sedangkan perwira itu adalah jago nomor satu dari pembesar Thio, yang bernama Bong Kak Im. Kepandaian mereka lihai sekali, akan tetapi, dengan seorang diri saja kau dapat bertahan menghadapi mereka, sungguh kegagahan yang jarang terdapat!”

“Totiang, siapakah kau orang-tua yang menolongku?”

Tosu itu tersenyum ramah. “Tidak ada sebutan menolong dalam hal ini, Taihiap. Pinto adalah seorang ahli pengobatan, sudah seharusnya pinto merawat setiap orang yang menderita sakit. Pinto adalah Bin Ho Tojin dan yang mendapatkanmu didalam hutan dan membawamu kesini adalah muridku bernama Giok Hong atau juga puteri kepala kampung Yo ini.”

Terkejutlah Beng Han mendengar ini. Tidak tahunya gadis yang seperti bidadari, yang telah menolongnya, membawanya ketempat tosu ini, adalah murid seorang berilmu dan puteri dari kepala kampung itu sendiri!

“Ah, kalau begitu siauwte telah menerima budi kalian...” Ia hendak bangkit duduk dan menghaturkan terimakasih, akan tetapi tubuhnya terasa lemas sekali hingga ia urungkan niatnya.

“Jangan banyak bergerak, Taihiap,” kata Bin Ho Tojin. “Ketahuilah bahwa kau telah berbaring dan pingsan selama lima hari. Kau harus banyak beristirahat dan minum obat yang kusediakan untuk membersihkan darahmu dari racun.”

Beng Han hanya dapat mengangguk dan sambil mengerling kearah Giok Hong yang masih berdiri disudut, ia berbisik lagi, “Terimakasih...,” setelah itu, ia meramkan mata lagi karena merasa pandang matanya berkunang- kunang. Kemudian ia jatuh pulas tanpa terasa, karena pengaruh obat yang didekatkan dibawah hidungnya oleh Bin Ho Tojin.

Ketika pada keesokan harinya ia terjaga dari tidurnya, ia merasa heran sekali melihat Giok Hong telah berada dikamar itu dan duduk diatas sebuah bangku dekat pembaringannya. “Kau..., nona...?,” Beng Han berkata heran dan tercengang.

Giok Hong mengangguk sambil tersenyum manis. “Kau sudah berangsur sembuh, Taihiap, akan tetapi belum boleh banyak bergerak.”

“Ah, kaulah orangnya yang menolongku dulu...,” katanya.

Kulit muka yang putih halus itu berobah merah. “Taihiap, harap kau jangan sebut lagi hal itu, hanya membuat aku merasa malu dan jengah saja.”

Beng Han diam saja dan memandang tajam kepada wajah yang manis itu. Ia merasa heran sekali mengapa seorang gadis muda yang demikian cantik, puteri kepala kampung, mengawaninya seorang diri didalam kamar! Bukankah hal ini amat janggal dan tidak sopan? “Siocia, siapakah yang menyuruh kau menjagaku disini?!”

Gadis itu memandang dengan sepasang matanya yang bersorot halus, lalu menjawab perlahan, “Mengapa? Aku sendiri yang menghendakinya.”

“Kau...?”

“Ayah dan suhu sudah memperkenankan.”

Beng Han terdiam. Aneh sekali, mengapa kepala kampung itu membiarkan anak gadisnya berjaga seorang diri disitu? “Nona, kau berbudi sekali dan kau membuat aku merasa tidak enak saja.”

“Mengapa? Tak sukakah kau kujaga?”

“Bukan, bukan demikian, Siocia. Akan tetapi, aku menjadi berhutang budi kepadamu. Kau sudah menolongku, menolong jiwaku dan sekarang kau menjagaiku pula...”

“Apakah artinya ini dibandingkan dengan pertolonganmu kepada kami sedusun?”

“Aku tidak menolong apa-apa, nona. Bahkan usahaku untuk menghindarkan mereka dari hukuman saja telah gagal!”

“Akan tetapi kau telah memperlihatkan kegagahan, memperlihatkan pengurbanan besar. Kami sekampung takkan melupakan perbuatanmu yang gagah dan mulia itu.”

“Kalian telah terlalu melebih-lebihkan...,” kata Beng Han. Kemudian ia teringat bahwa dulu ketika gadis ini menolongnya, ia berjalan dengan bantuan nona ini yang dirangkulnya, maka tiba-tiba Beng Han merasa malu kepada diri sendiri. Ia ingin sekali tahu apakah yang terjadi selanjutnya setelah ia pingsan, maka ia lalu minta kepada Giok Hong untuk menceritakannya.

Gadis itu adalah seorang yang terpelajar, berwatak halus, dan jujur. Maka kini mendengar pertanyaan pemuda itu, wajahnya menjadi merah sekali dan ia tidak berani memandang mata Beng Han, Dengan terpaksa dan suara gagap, ia menjawab, “Kau pingsan dan ketika itu... aku kuatir kalau mereka datang, maka... terpaksa... aku memondongmu dan membawa lari kesini!”

Terbelalak kedua mata Beng Han memandangnya, bukan terheran karena perbuatan itu yang agaknya kurang patut dilakukan oleh seorang gadis, akan tetapi terheran karena bagaimana seorang gadis lemah-lembut seperti Giok Hong ini kuat memondong tubuhnya, bahkan membawa lari? Kemudian ia teringat akan kata-kata Bin Ho Tojin bahwa gadis ini adalah murid tojin itu, maka ia lalu bertanya,

“Siocia, sebagai murid Bin Ho Lojin, tentu lihai sekali ilmu silatmu.”

Giok Hong menarik napas panjang. “Kalau ilmu silatku selihai kepandaianmu, masa akan kudiamkan saja dua orang keparat itu melakukan keganasan didusunku?” Gadis itu lalu menceritakan riwayatnya. Ternyata bahwa Yo Giok Hong adalah puteri tunggal dari Yo-Khungcu, kepala kampung didusun Kiong-nam-teng itu.

Yo-Khungcu memang terkenal sebagai seorang kepala kampung yang budiman dan ia berlaku sebagai seorang ayah terhadap orang kampung hingga ia amat dihormat dan dikasihi oleh penduduk dusun itu. Pada kurang lebih lima tahun yang lalu, dusun itu diserang wabah penyakit yang mengerikan hingga banyak jatuh kurban.

Yo-Khungcu amat bingung melihat keadaan ini, terutama sekali ketika isterinya sendiri menjadi kurban dan meninggal karena terserang penyakit, bahkan anak tunggalnya, Yo Giok Hong yang ketika itu berusia sebelas tahun, terserang penyakit pula.

Kebetulan sekali, seorang ahli pengobatan yang menjalankan perantauan melakukan dharma-bakti menolong sesama manusia yang menderita penyakit, yakni Bin Ho Tojin, sampai didusun itu dan tosu ini segera menggulung lengan baju dan melakukan pertolongan.

Ia adalah seorang murid ahli pengobatan di Gobisan, maka kepandaiannya dalam hal pengobatan amat tinggi. Semenjak ia datang, orang yang menderita sakit dapat disembuhkan dan setelah ia membagi obat kepada mereka yang belum terserang penyakit, wabah itu lenyap dan pergi dari kampung itu.

Diantara mereka yang tertolong olehnya, juga Giok Hong mendapat pertolongan dan sembuh. Untuk menyatakan terimakasihnya, Yo-Khungcu lalu menyerahkan puteri tunggalnya menjadi murid kakek pendeta itu.

Perbuatan kepala kampung ini sebetulnya bukan semata memikirkan kepentingan sendiri, akan tetapi terutama sekali karena bermaksud mengikat tosu itu supaya tinggal didusunnya hingga keselamatan penduduk dusun Kiong-nam-teng terjamin!

Demikianlah, maka Giok Hong menjadi murid Bin Ho Tojin yang merasa suka kepada anak yang memiliki dasar kehalusan budi itu. Ia melatih ilmu pengobatan dan ilmu silat kepada gadis itu dan biarpun Giok Hong telah memiliki ilmu silat, namun ia tetap bersikap lemah-lembut dan halus. Akan tetapi, sesungguhnya Bin Ho Tojin lebih pandai dalam hal ilmu pengobatan daripada ilmu silat, sungguhpun kepandaiannya sudah cukup tinggi kalau hanya untuk menghadapi penjahat biasa saja.

Racun yang terbawa oleh jarum Tek Po Tosu yang menancap tepat diurat pundak Beng Han amat berbahaya dan kalau saja ia tidak memiliki tubuh yang kuat dan tidak keburu tertolong oleh Bin Ho Tojin yang lihai, tentu pemuda ini akan tewas atau setidaknya menjadi lumpuh seluruh lengan kirinya.

Betapapun juga, ia harus mengalami perawatan yang amat teliti dari Bin Ho Tojin dan Giok Hong sampai beberapa bulan lamanya, barulah racun itu lambat-laun dapat dibersihkan dari tubuhnya. Hubungannya dengan Giok Hong baik sekali dan seringkali orango dusun Kiong-nam-teng yang merasa berterimakasih dan kagum kepadanya, datang berkunjung kepondok Bin Ho Tojin untuk menengoknya.

Perawatan Beng Han dipondok tosu itu amat dirahasiakan oleh karena kalau sampai terdengar dan diketahui oleh Thio Thaikam, pasti pembesar itu takkan mendiamkannya saja, dan ini pula yang menyebabkan Beng Han tidak berani keluar dari pondok.

Pada suatu hari, Yo-Khungcu mengunjunginya dan pada wajah kepala kampung ini terlihat tanda bahwa ia mempunyai maksud tertentu yang hendak dibicarakan. “Gan-Taihiap,” katanya setelah mengambil tempat duduk, “Aku hendak menyampaikan maksud hatiku yang telah lama terpendam dihati. Harap saja kau suka maafkan apabila kau merasa terhina dengan maksud yang keluar dari ketulusan hati ini,”

Beng Han merasa tidak enak mendengar ini. Kesehatannya telah pulih kembali dan dalam beberapa hari lagi ia sudah akan dapat melanjutkan perjalanannya oleh karena ia amat menguatirkan keadaan sutenya yang telah lama mendahuluinya ke kotaraja itu. “Yo-Lopek, janganlah berlaku sungkan dan katakanlah apa gerangan maksud mulia itu.”

“Gan-Taihiap, kau maklum bahwa aku dan seluruh penduduk dusun Kiong-nam-teng amat berterimakasih kepadamu dan bahwa kami suka sekali kepada kau yang gagah ini. Apabila kau tidak merasa terhina dan dapat menerima, aku akan merasa berbahagia sekali untuk menjodohkan puteri tunggalku kepadamu.”

Beng Han tercengang bukan kepalang. “Nona Giok Hong...?”

“Ya, puteriku Giok Hong biarpun bodoh dan buruk rupa, akan tetapi aku yakin ia akan menjadi seorang isteri yang baik oleh karena ia kagum dan suka kepadamu, Taihiap.”

Untuk beberapa lama Beng Han tak dapat mengeluarkan kata untuk menjawab pernyataan Yo-Khungcu itu. Ia menjadi bingung karena sesungguhnya, ia tak pernah menyangka akan hal ini. Ia merasa suka sekali kepada Giok Hong yang lemah-lembut dan halus serta memiliki budi yang luhur, akan tetapi tentang perjodohan dengan gadis itu, ia sama sekali belum pernah mengharapkan atau memikirkannya.

Terbayang wajah Kui Eng dipelupuk matanya dan hatinya menjadi sedih. Ia mencintai Kui Eng, dan terhadap Giok Hong, biarpun gadis ini manis jelita, dan berbudi luhur, namun ia hanya suka dan mengindahi saja. Benarkah gadis itu menyukainya?

“Lopek, mohon maafkan, karena dalam hal ini siauwte sama sekali belum pernah memikirkannya.”

Jelas nampak perubahan pada muka Yo-Khungcu yang menjadi kecewa. “Taihiap, apakah barangkali Taihiap telah mempunyai isteri atau tunangan?” tanyanya.

Beng Han menggelengkan kepala menyangkal.

“Kalau begitu, mungkin Taihiap tidak suka kepada puteriku.”

“Jangan terburu nafsu, lopek. Perjodohan bukanlah hal yang remeh dan sederhana, yang dapat diputuskan dengan tiba-tiba tanpa dipikir masak. Terus terang saja, lopek, jarang siauwte menjumpai seorang gadis sebaik puterimu. Bahkan, siauwte merasa terlalu rendah dan tidak pantas untuk menjadi jodohnya.”

“Jangan kau terlampau merendahkan diri, Taihiap,” kata Yo-Khungcu yang menjadi bersinar kembali wajahnya, seakan-akan timbul harapan baru mendengar kata pemuda itu.

“Sebenarnya, Yo-Lopek, dalam hal ini aku tidak mempunyai kekuasaan, karena urusan perjodohan adalah urusan orang-tua. Maka, harap lopek suka memaafkan. Sesungguhnya siauwte tidak berani memutuskan dan siauwte hanya menyerahkan urusan perjodohan didalam tangan ibuku.”

Setelah berpikir beberapa lama, Yo-Khungcu berkata sambil menarik napas, “Benar sekali pendapatmu, Taihiap. Biarlah, kita tunda dulu urusan ini. Ada urusan lain yang lebih penting, Taihiap. Ketahuilah bahwa dibeberapa daerah telah timbul gejala pemberontakan dari kaum tani terhadap peraturan pajak yang sewenang-wenang itu. Kami didusun Kiong-nam-teng juga telah siap-sedia, menanti saatnya tiba.

"Memang keadaan pemerintah yang dikuasai oleh Thio-Thaikam dan orang kebiri lainnya sungguh buruk dan menggencat rakyat. Kami hanya mengharapkan bantuan orang gagah seperti Taihiap. Alangkah baiknya apabila Taihiap dapat mencari bala-bantuan dan sokongan daripada semua orang gagah didunia, sebagaimana yang diharapkan oleh Bin Ho Totiang pula.”

Mendengar ini, Beng Han menjadi terkejut. Hal yang dikuatirkannya kini telah mulai nampak. Pemerasan dan penggencatan yang dilakukan oleh pembesar membuat rakyat menjadi marah. Hal ini sedapat mungkin harus dicegah. Perang saudara harus diberantas, karena Beng Han sudah cukup menderita karena perang. Menurut anggapannya, yang perlu dibasmi ialah biang keladi kekacauan ini, agar keadaan yang buruk tak sampai meluas dan memburuk.

Ia teringat kepada Bun Hong dan timbul keinginannya untuk melihat keadaan kotaraja dan mencari tahu siapakah biang keladi pemerasan para rakyat ini. Siapa saja yang menjadi biang-keladinya, baik Kaisar sendiri, patut di basmi! Akan tetapi urusan ini tidak patut dibicarakan dengan orang lain, maka untuk menyenangkan hati Yo-Khungcu, ia lalu menjawab,

“Baiklah, Yo-Lopek, memang siauwte juga sudah ingin melanjutkan perantauanku dan tentu hal ini akan menjadi perhatian bagiku. Akan siauwte usahakan untuk mencari kawan sepaham.”

Beng Han lalu menghadap Bin Ho Tojin dan menghaturkan terimakasihnya atas pertolongan dan pengobatan pendeta itu hingga ia terhindar dari bahaya maut. Ketika ia berpamit kepada Giok Hong, gadis itu memandangnya dengan mata basah, akan tetapi sambil memaksa keluarnya sebuah senyum, Giok Hong berkata perlahan,

“Gan-Taihiap, semoga kau takkan melupakan sama sekali kepada dusun Kiong-nam-teng yang pernah menerima budimu!”

Beng Han lalu meninggalkan hutan itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke kotaraja. Apabila teringat akan kebaikan orang didusun Kiong-nam-teng, terutama sekali kebaikan Giok Hong yang telah merawat dan menjaganya ketika ia menderita sakit dengan sangat telaten dan penuh perhatian, ia merasa terharu sekali. Ia mencatat nama Giok Hong sebagai wanita kedua didalam hatinya gadis kedua sesudah Kui Eng yang telah menundukkan hatinya.

Akan tetapi, kenangan ini segera berganti dgn rasa kuatir apabila ia teringat kepada Bun Hong dan Kui Eng. Telah berbulan-bulan Bun Hong mendahuluinya pergi ke kotaraja dengan maksud mencari dan membasmi pembesar jahat yang memerintahkan para kepala kampung memeras rakyat dengan pajak berat.

Bagaimanakah nasib sutenya itu? Kalau sampai terjadi sesuatu atas diri sutenya, bagaimana ia akan mempertanggung-jawabkannya terhadap suhunya? Sebagai saudara tertua, ia berkewajiban menjaga sute dan sumoinya, akan tetapi sekarang, sutenya itu bahkan pergi karena patah hati dan karena hendak mengalah terhadapnya dalam soal perjodohan Kui Eng! Dan kemana pula perginya Kui Eng?

Beng Han menjadi kuatir sekali dan ia mengambil keputusan untuk mencari Bun Hong dan apabila sudah bertemu sutenya itu hendak diajak mencari Kui Eng. Betapapun juga, ia harus meyakinkan keduanya bahwa biarpun pinangannya ditolak oleh Kui Eng, namun ia tidak menaruh ganjalan dihatinya, dan menganggap mereka berdua tetap sebagai adik sendiri.


Setelah bersama Pek Bi Lojin menyerbu kesarang gerombolan Kipas Hitam dan berhasil mengobrak-abrik sarang penjahat itu, Kui Eng lalu pergi menuju ke kotaraja, hendak menyusul Ang Min Tek, pemuda pelajar yang tampan dan halus itu, yang telah menarik hatinya dan menjatuhkan keangkuhannya. Seperti juga Bun Hong, begitu masuk di kotaraja, Kui Eng merasa kagum sekali melihat betapa bangunan raksasa yang indah dan megah itu memenuhi kota.

Belum pernah seumur-hidupnya ia menyaksikan gedung yang demikian indah dan toko-toko yang demikian banyak memperdagangkan segala macam barang. Ia berjalan-jalan mengagumi semua keindahan itu dan berpikir alangkah sukarnya mencari orang didalam kota yang besar dan banyak penduduknya ini.

Diam-diam ia memikirkan keadaan Bun Hong. Dimanakah adanya suhengnya itu sekarang? Untuk mencari Min Tek, ia tidak kuatir karena dulu pemuda itu telah memberitahukan bahwa selama tinggal di kotaraja, pemuda she Ang ini akan tinggal dirumah seorang pamannya yang membuka toko obat Yok-goan-tong. Kui Eng lalu mencari sebuah kamar didalam hotel dan setelah berganti pakaian yang terbaik, ia lalu pergi mencari toko obat itu.

Dengan mudah ia mendapat keterangan dari orang-orang dimana letak toko itu dan segera menuju kesitu dengan hati berdebar. Dan kebetulan sekali ketika ia tiba ditoko obat Yok-goan-tong yang cukup besar, ia melihat Min Tek sendiri beserta kedua orang kawannya bercakap-cakap diruang depan. Pemuda itu segera melihatnya dan dengan girang sekali ia berdiri dan lari keluar.

“Kui-Lihiap!” tegurnya dengan wajah berseri, sedangkan Lie Kang Coan dan Lie Kang Po juga memburu keluar ketika mengenal gadis pendekar penolong mereka itu.

Kui Eng cepat menjura membalas pemberian hormat mereka, “Samwi-Kongcu apakah banyak baik dan sudan berhasilkah ujian yang samwi tempuh?”

“Silakan masuk kedalam dan duduk, Lihiap, disana kita dapat bercakap-cakap dengan leluasa...” kata Min Tek dengan suaranya yang halus dan sopan...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.