Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 09

Cerita Silat Mandarin Online karya Kho Ping Hoo. Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 09

Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 09

Kui Eng menyatakan terimakasihnya dan mereka lalu masuk kedalam toko obat itu dimana mereka disambut oleh paman Min Tek, seorang setengah tua yang peramah dan yang memandang kepada Kui Eng dengan heran dan kagum.

Novel Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Siokhu (paman), inilah Kui Eng Lihiap yang gagah perkasa, penolong kami yang sering kuceritakan kepadamu.”

Orang-tua itu segera mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Ah, kiranya Kui-Lihiap yang datang. Sudah lama aku mendengar namamu yang gagah dari keponakanku. Silakan duduk, Lihiap!” katanya.

Kui Eng cepat membalas penghormatannya sambil berkata, “Ah, keponakanmu hanya melebihkannya saja.”

Setelah mengambil tempat duduk, Min Tek dengan gembira menceritakan bahwa ia telah lulus dengan baik dan mendapat gelar siucai. Mendengar hal ini, Kui Eng segera menyatakan kegembiraannya sambil berkata,

“Kionghi, Ang-Kongcu. Memang aku sudah menduga bahwa kau tentu akan lulus.”

Akan tetapi, ia mendengar bahwa kedua saudara Lie tidak lulus, dan kedua anak muda ini mengambil keputusan untuk tinggal beberapa lama lagi di kotaraja, dimana mereka mempunyai seorang bibi yang menikah dengan seorang pembesar, hingga mereka dapat melanjutkan pelajaran mereka dan mengulangi menempuh ujian tahun depan. Adapun Min Tek menyatakan bahwa pemuda ini besok pagi akan kembali kedusunnya.

Mendengar penuturan ini, tanpa ragu lagi Kui Eng menjawab, “Ang-Kongcu kalau begitu kebetulan sekali. Aku sendiripun tidak mempunyai keperluan sesuatu di kotaraja ini, dan hendak melanjutkan perjalananku. Kalau kiranya kau tidak berkeberatan, kita boleh mengadakan perjalanan bersama.” Sebagai seorang gadis yang gagah dan berhati polos, Kui Eng tidak bisa berpura-pura lagi dan mengucapkan kata yang keluar dari hatinya.

Tidak demikian dengan Min Tek, seorang pemuda pelajar yang menjaga teguh kesopanan. Wajahnya menjadi merah mendengar ajakan ini, dan biarpun hatinya merasa girang sekali karena melakukan perjalanan dengan gadis pendekar ini, ia tak usah takut akan segala rintangan dijalan, namun pada lahirnya ia hanya tersenyum dan menjura, “Terimakasih banyak, Lihiap. Aku hanya akan mengganggumu saja.”

“Kita sudah menjadi kawan baik, mengapa harus berlaku sungkan lagi?” kata Kui Eng, dan kedua saudara Lie juga membenarkan ucapan ini.

“Terus terang saja, Lihiap,” kata Kang Coan, “Sebelum kau muncul tadi, kami bertiga sedang membicarakan tentang kau, Ang-heng menyatakan kekuatirannya tentang perjalanannya besok hari, dan tadi ia berkata kalau saja ada seorang kawan seperjalanan seperti Kui Lihiap, maka akan amanlah perasaan hatinya. Nah, Ang-heng, sekarang Kui-Lihiap telah muncul dan kebetulan sekali besok juga hendak melanjutkan perjalanan keluar dari kotaraja, bukankah hal ini suatu jodoh namanya? Maksudku, jodoh untuk melakukan perjalanan bersama.”

Kedua saudara Lie itu tertawa dan Min Tek bersama Kui Eng juga tersenyum untuk menghilangkan rasa jengah yang timbul dalam hati mereka karena godaan ini.

Pada keesokan harinya, Min Tek dan Kui Eng berangkat meninggalkan kotaraja untuk menuju ke Kiciu, tempat tinggal Ang Min Tek. Mereka naik kuda yang disediakan oleh paman Min Tek dan menjalankan kuda mereka dengan perlahan keluar dari kotaraja. Baru saja mereka keluar dari kotaraja, tiba-tiba dari jauh mendatangi seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya cepat sekali.

Orang itu berbaju biru dan masih muda, akan tetapi oleh karena ia melarikan kudanya dengan cepat hingga debu mengebul dikanan-kirinya, maka wajahnya tak terlihat nyata ketika orang itu lewat didekat Kui Eng dan Min Tek.

Akan tetapi Kui Eng yang bermata tajam melihat betapa orang itu memandang kearahnya dan ia merasa kenal pada orang itu. Akan tetapi oleh karena ia tidak terlalu memperhatikan, sedangkan wajah orang yang tertutup debu mengebul itupun hanya dilihatnya sekelebatan saja, maka ia tidak memikirkannya lagi dan melanjutkan perjalanannya dengan Min Tek.

Kui Eng tentu takkan bersikap demikian apabila ia tahu bahwa penunggang kuda yang membalapkan kudanya itu bukan lain ialah Bun Hong! Pemuda ini untuk menolong keluarga Pangeran Song, telah dinikahkan dengan puteri Pangeran Song, yakni Song Kim Bwee yang cantik jelita.

Bahkan sebulan yang lalu, Song Kim Bwee telah melahirkan seorang anak laki-laki. Akan tetapi Bun Hong tidak merasa berbahagia hidupnya. Benar bahwa menurut patut, ia harus berbahagia, karena isterinya cantik dan mencintainya.

Sedangkan setelah menjadi menantu pangeran Song, boleh dibilang ia berenang diatas lautan harta. Akan tetapi, betapapun cantik dan setia isterinya yang amat mencintainya itu, ia tak dapat melupakan Kui Eng dan tidak ada rasa cinta dalam hatinya terhadap Kim Bwee. Sedangkan setelah menjadi suami Kim Bwee, sebagai menantu bendahara Kaisar, ia merasa seakan-akan kaki tangannya diikat.

Rasa bencinya kepada Thio-Thaikam terpaksa harus ia kubur didalam lubuk hatinya, bahkan ia dipaksa oleh keadaan untuk mengadakan pertemuan dan perkenalan dengan semua pembesar yang tak disukainya. Ia merasa kecewa sekali dan merasa betapa hidup tidak berguna.

Tadinya ia menuju ke kotaraja dengan maksud membasmi pembesar yang kejam dan yang memeras rakyat dan berlaku sewenang-wenang, hendak menyelidik siapa orangnya yang berdiri dibelakang layar dan yang memegang gagang cambuk yang menyiksa rakyat.

Setelah ia tahu bahwa orang itu ialah Thio-Thaikam, kini ia tidak berdaya untuk menunaikan tugasnya, bahkan ia mengikat diri dengan pernikahannya, menjadi menantu Pangeran Song. Ia tidak berani bertindak oleh karena hal itu tentu akan membahayakan sekeluarga ayah-mertuanya.

Seringkali Bun Hong termenung dan hatinya rindu sekali untuk pergi merantau dan melakukan perjalanan sebagai seorang hiapkek menolong orang yang menderita sebagaimana diwejangkan oleh suhunya. Juga ia merasa rindu sekali kepada Kui Eng dan Beng Han yang diduganya tentu telah menjadi suami isteri atau setidaknya telah bertunangan.

Akan tetapi ketika ia mengutarakan keinginannya ini, Pangeran Song berkata dengan suara halus, “Hiansai, pikirlah baik-baik. Kau telah menjadi suami Kim Bwee bahkan telah mendapat kurnia seorang putera, mengapa kau masih hendak melakukan perantauan seperti seorang yang masih belum berkeluarga saja? Hidup merantau banyak bahayanya, bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu dirantau? Apakah kau tidak akan membuat isterimu berduka? Juga, kalau sampai terlihat orang bahwa menantu bendahara Kaisar hidup sebagai seorang perantau, apakah akan kata orang? Hiansai, demi kebaikan kita sekeluarga, urungkan niatmu itu dan apabila kau ingin sekali melakukan perjalanan keluar kota, kau boleh saja menunggang kuda keluar kota, asal jangan menimbulkan keributan.”

Demikianlah, untuk menghibur hatinya, seringkali Bun Hong menunggang kuda keluar dari kotaraja. Isterinya tahu akan hal ini dan maklum pula bahwa suaminya tidak mencintainya, akan tetapi isteri ini tak dapat menyatakan apa-apa, karena ia pun maklum bahwa pernikahannya dengan Bun Hong terjadi oleh karena terpaksa.

Dan untuk menolong keselamatannya, menghilangkan kecurigaan Thio-Thaikam yang selalu mengincar kesalahan pembesar lain untuk jerumuskan kedalam jurang kehancuran. Apalagi Pangeran Song merupakan pembesar yang paling berani menentang kehendak Thio-Thaikam.

Pada pagi hari itu, ketika Bun Hoag baru saja pulang dari melancong dan membalapkan kudanya, tiba- tiba ia melihat Kui Eng bersama seorang pemuda cakap, naik kuda berdua dan bercakap-cakap. Bun Hong merasa girang sekali akan tetapi juga heran mengapa gadis itu melakukan perjalanan dengan seorang pemuda yang sama sekali tak dikenalnya.

Kalau saja ia melihat Kui Eng melakukan perjalanannya dengan Beng Han, tentu ia akan segera melompat turun dan menghampiri mereka dengan hati girang sekali. Akan tetapi, kini ia melihat Kui Eng bersama seorang pemuda lain, maka ia menjadi heran dan pura-pura tidak melihat mereka, bahkan mempercepat lari kudanya.

Setelah jauh, ia lalu menghentikan kudanya dengan hati berdebar. Pertemuan dengan Kui Eng menimbulkan kegembiraan dan perasaannya terhadap sumoinya itu makin mengganggu hati dan pikirannya.

Sementara itu, Min Tek dan Kui Eng melanjutkan perjalanannya dengan gembira. Min Tek merasa gembira oleh karena gadis yang gagah itu berlaku ramah-tamah hingga ia merasa seakan-akan gadis itu seperti seorang kawan lama yang amat baik atau bahkan seperti saudaranya sendiri.

Sedangkan Kui Eng merasa senang sekali dapat melakukan perjalanan dengan pemuda yang telah merebut hatinya itu. Min Tek mempunyai pengetahuan yang luas dengan tempat yang dilaluinya karena pemuda ini telah mempelajari ilmu bumi dan tahu akan sejarah yang ada hubungannya dengan gunung dan tempat yang bersejarah.

Tiada hentinya ia menceritakan sesuatu tentang tempat yang mereka lalui hingga Kui Eng merasa gembira sekali mendengarkan ceritanya. Sore hari itu mereka bermalam disebuah dusun, menjewa dua buah kamar dalam rumah penginapan yang hanya ada sebuah dan karena malam itu terang bulan, maka Min Tek dan Kui Eng keluar berjalan-jalan dan melihat kearah sebuah bukit dimana terdapat menara yang tinggi.

Min Tek dan Kui Eng duduk dipinggir sawah, memandang kearah bukit itu dan Min Tek lalu menceritakan sebuah kisah kuna tentang menara itu dimana menurut dongeng. dulu pernah seorang puteri dikurung disitu oleh karena menolak untuk dikawinkan dengan seorang pangeran, Kui Eng mendengarkan dengan terharu sekali.

“Ada sebuah lagu yang menceritakan tentang peristiwa sedih itu,” kata Min Tek sambil mengeluarkan sebuah suling kecil.

“Eh, Ang-Kongcu, kau pandai pula bermain suling,” tanya Kui Eng sambil memandang dengan senyum manis.

“Pandai pun tidak, tapi biarlah aku mencoba memainkan lagu itu untukmu, Kui-Siocia,” jawabnya merendah dan tak lama kemudian dibawah penerangan bulan, suasana yang sunyi itu terisi oleh suara tiupan suling yang merdu.

Lagu yang dimainkan oleh Min Tek itu terdengar sedih sekali. Setelah lagu itu habis, Min Tek lalu menyanyikan lagu itu, dan ternyata pemuda ini memang pandai sekali bersuling dan bernyanyi. Lagunya sedih dan menceritakan betapa puteri yang tidak mau dipaksa kawin itu dikeram dimenara hingga akhirnya meninggal karena sedih.

Setelah Min Tek selesai bernyanyi Kui Eng memandangnya dengan mata basah dan berkata, “Ah, Ang-Kongcu, tak kunyana bahwa kau sepandai ini.”

“Kau memuji saja, Kui-Siocia. Kepandaianku adalah kepandaian kampungan yang tak ada harganya. Hanya karena kegembiraanku saja maka aku sampai berani melupakan kebodohanku dan meniup suling serta bernyanyi. Kalau ada orang lain disini pasti aku takkan berani melakukannya.”

“Ang-Kongcu, mengapa kau menjadi gembira?” tiba-tiba Kui Eng bertanya sambil menundukkan kepalanya.

Ang Min Tek memandangnya dan menjawab, “Siocia, kau adalah seorang yang amat baik budi dan aku merasa berbahagia sekali mendapat seorang kawan seperti kau. Kau mengingatkan aku akan seorang...”

Kui Eng mengangkat muka memandang. “Mengingatkan akan siapakah, Kongcu?”

“ Akan... akan seorang yang amat dekat dihatiku.”

“Siapakah dia?”

Akan tetapi Min Tek tidak menjawab, hanya menjimpangkan pembicaraan itu dengan berkata perlahan, “Kalau saja kau seorang laki-laki, tentu kau akan kuajak mengangkat saudara. Kau baik seperti seorang saudara sendiri bagiku.”

Kui Eng diam saja dan hatinya berdebar. Apakah pemuda ini juga mencintainya? Akan tetapi kalau mencintai, mengapa pemuda ini ingin mengangkat saudara dengannya?

“Kui-Siocia, hari telah larut malam, mari kita kembali, besok kita melanjutkan perjalanan pagi agar dapat sampai di Kiciu dalam tiga hari."

Kui Eng yang sedang termenung, lalu menjawab, “AngKongcu, kau kembalilah dulu. Aku ingin duduk seorang diri disini untuk beberapa lama lagi.”

“Baiklah, akan tetapi jangan terlalu lama, Siocia, Biarpun udara terang dan hawa sejuk, akan tetapi lama berada diluar, kau akan terkena angin dan kurang-baik bagi kesehatanmu.”

Pemuda itu lalu berjalan seorang diri kembali kerumah penginapan yang tidak berapa jauh letaknya dari tempat itu. Kui Eng duduk termenung dan bermacam-macam pikiran timbul dikepalanya. Tak dapat diragukan lagi, ia merasa jatuh hati terhadap pemuda yang halus dan sopan itu.

Ingin sekali ia bertanya tentang riwayat pemuda itu, untuk mengetahui keadaannya akan tetapi ia merasa sangsi apakah pertanyaan macam ini tidak akan melanggar batas kesopanan. Kepada seorang pemuda seperti kedua suhengnya, ia takkan merasa ragu lagi.

Akan tetapi Ang Min Tek adalah seorang pemuda yang lain lagi. Ia seorang terpelajar tinggi dan sopan santun, hingga ia tidak berani berlaku sembarangan dan selalu menjaga diri agar jangan sampai dianggap sebagai gadis liar oleh Min Tek!

Tiba-tiba ia mendengar suara kaki disebelah belakangnya dan terdengar suara memanggil, “Sumoi...!”

Kui Eng cepat melompat dan berdiri membalikkan tubuh. Ternyata bahwa Bun Hong telah berdiri dihadapannya! “Ji-suheng...!” Kui Eng berseru dengan girang sekali. “Ah, kalau begitu, tentu kaulah penunggang-kuda yang membalap tadi, bukan?”

“Benar, sumoi. Dan dimanakah adanya tunanganmu?”

Terbelalak mata Kui Eng mendengar pertanyaan ini, akan tetapi oleh karena semenyak dahulu sudah seringkali dan sudah biasa Bun Hong berkelakar dan menggodanya, maka ia menjawab sambil tertawa, “Suheng, masa datang kau hendak menggoda aku? Tunangan mana yang kau maksudkan?”

“Aku tidak menggoda dan juga tidak berkelakar, sumoi. Bukankah kau sudah bertunangan dengan suheng?”

“Twa-Suheng maksudmu? Ah, janganlah kau bicara yang bukan-bukan, Ji-Suheng!,” kata Kui Eng dengan wajah merah.

“Apa? Betul kau tidak bertunangan dengan suheng?” tanya Bun Hong sambil melangkah maju, dan mendengar betapa suara Bun Hong gementar, Kui Eng memandang heran.

“Ji-Suheng, siapakah yang bertunangan? Aku tidak bertunangan dengan siapa-siapa!”

“Betulkah...? Bukankah suheng dulu meminangmu?”

“Memang ibunya meminangku, akan tetapi...”

“Kau menolaknya...? Sumoi, jawablah, kau... kau menolaknya?”

Kui Eng memandang heran. “Eh, kenapakah kau, Ji-Suheng? Memang aku menolaknya.”

“Kau tidak mencintainya, sumoi?”

Kini merahlah wajah Kui Eng. “Ji-Suheng, ingatlah, kau mengajukan pertanyaan yang bukan-bukan?!”

Akan tetapi, dengan wajah pucat dan bibir gementar Bun Hong melangkah maju dan mendesaknya, “Jawablah, sumoi... jawablah apakah kau tidak mencintai Twa-Suheng?”

Kui Eng menggelengkan kepala dan menarik napas panjang. Tiba-tiba Bun Hong menjatuhkan dirinya berlutut didepan Kui Eng hingga gadis itu mundur dengan kaget dan heran.

“...Sumoi... sumoi... kalau aku ketahui hal itu... ah, kalau aku tahu bahwa kau menolak pinangan suheng, bahwa kau tidak cinta kepadanya...”

Karena semenjak kecil telah hidup didekat Bun Hong, maka timbul kekuatiran dihati Kui Eng. Gadis ini lalu melangkah maju dan memegang pundak Bun Hong yang ditariknya berdiri lagi, lalu gadis itu memandang tajam. “Ji-Suheng, kenapakah kau? Kurang lebih setahun kita tak bertemu dan kau sudah berubah sekali... mengapa kau begini pucat dan gelisah?”

“Sumoi, kalau aku tahu... ai, biarlah sekarang saja kuakui, sama saja. Sumoi, dengarlah, sudah semenjak kita berada dipuncak Swi-hoa-san, aku... mencinta padamu, sumoi! Aku mencintaimu dan selalu merindukanmu, mengharapkan setiap saat untuk melihat api cinta terbayang dari matamu, mengharapkan kau akan membalas perasaanku.

"Kemudian... kemudian aku mendengar percakapan antara suheng dan ibunya, mendengar pengakuan suheng bahwa dia mencintaimu, bahwa ibunya hendak menjodohkan dia dengan engkau.

"Aku lalu mengalah, aku pergi, karena takkan tahan hatiku melihat kau bertunangan dengan suheng. Akan tetapi, aku rela, rela mengundurkan diri dan mengalah, aku terlalu mencintai kau dan suheng, tak kuasa menghilangi kebahagiaan kalian. Akan tetapi sekarang... ternyata kau tidak membalas cintanya, kalian tidak bertunangan!

"Ya Thian yang Maha Agung, kalau aku tahu... aku yang mencintamu dengan seluruh jiwaku, aku kini telah terikat erat?! Akan tetapi, sumoi, aku akan melepaskan belenggu sekarang juga, aku mencinta padamu, marilah kita pergi berdua kealam bebas, menikmati hidup berdua. Sumoi... aku mencinta padamu...”

Kembali Bun Hong menjatuhkan diri berlutut didepan Kui Eng! Kini gadis itu tidak membangunkannya, bahkan semenjak tadi gadis itu mendengarkan pengakuan Bun Hong dengan wajah pucat dan tubuh menggigil, kini ia melangkah mundur dua tindak dengan kaki terasa lemas.

“Ji-suheng...,” katanya dengan suara menggigil, “Jangan... jangan kau bersikap demikian!”

“Aku cinta padamu, sumoi!,” kata Bun Hong, laki-laki yang telah merasa kecewa dalam hidupnya itu.

“Tidak, suheng. Kau tidak cinta kepadaku! Hubungan kita adalah sebagai saudara sendiri, aku tidak bisa membalas cintamu dan tak mungkin menjadi jodohmu!” jawaban ini diucapkan dengan suara tetap karena gadis ini teringat kepada Min Tek pemuda yang benar-benar dicintainya itu.

Bun Hong mengangkat mukanya yang pucat dan memandang tajam. tiba-tiba ia melompat berdiri dan sikapnya menakutkan. “Sumoi, kau... kau mencintai pemuda kutu buku itu...??”

Marahlah hati Kui Eng mendengar Min Tek yang tak bersalah apa-apa dimaki kutu-buku. “Andaikata betul, kau perduli apakah?” jawabnya sambil membalas pandangan tajam suhengnya.

“Apa...? Ha, ha, ha! Tak mungkin. Kau, adikku yang gagah perkasa ini mencintai seorang kutu-buku yang mengangkat pena saja sudah menggigil tangannya? Tak mungkin dan tak boleh! Aku akan melarangnya, lebih baik kubunuh cacing buku itu!”

“Ji-Suheng...!” Kui Eng menegur dengan sebal.

“Sumoi, aku cinta padamu. Kalau kau menikah dengan suheng aku akan mengalah dengan rela, aku akan menghibur hatiku yang luka dengan kenangan betapa bahagia hidupmu dengan suheng. Akan tetapi, aku tidak tahan melihat seorang laki-laki lain berdiri disampingmu, menjadi suamimu! Akan kubunuh dia!”

“Ji-Suheng! Kau gila! Agaknya kau telah kemasukan iblis!!!”

Bun Hong tertawa masam, “Memang, memang aku telah dimasuki iblis. Untuk menolong keluarga baik-baik, aku terpaksa harus menikah dengan seorang yang tak kucintai! Aku terbelenggu seumur hidup, dan tidak ada kekuatan yang dapat mematahkan belenggu ini, kecuali kau, sumoi. Apabila kau sudi membalas cintaku, sekarang juga kupatahkan belenggu itu, dan biarpun dihadapan kita ada lautan api menghalang, akan kuterjang bersamamu!”

“Ji-Suheng, cinta tak dapat dipaksakan. Kau telah tersesat!”

Bun Hong tertawa lagi, kemudian ia melompat pergi dari situ dan terdengar suaranya mengancam, “Kau harus tinggalkan dia, kutu buku itu! Kalau kau melanjutkan hubunganmu dengan dia, akan kubunuh dia itu!”

Kui Eng berdiri bagaikan patung ditempat itu. Masih belum lenyap keheranan dan terkejutnya melihat betapa Bun Hong muncul dalam keadaan macam itu. Tiba-tiba keluarlah airmatanya. Semenjak dulu ia suka kepada Ji-Suhengnya ini yang pandai berkelakar dan suka menggodanya. Bahkan, semenjak kecil, seperti juga Twa-Suhengnya, Bun Hong seringkali menolongnya, mencarikan buah yang lezat, mencarikan bunga yang indah. Bun Hong melarang ia bergaul dengan Min Tek??

Tiba-tiba merahlah wajah Kui Eng karena marah. Siapa berhak melarangnya? Ia tidak takut akan ancaman Bun Hong. Kalau Ji-Suhengnya itu benar-benar telah gila dan hendak membunuh atau menyerang Min Tek ialah yang akan membelanya! Ia tidak takut sedikitpun juga, sungguhpun ia maklum akan kelihaian Ji-Suhengnya itu. Dengan perlahan Kui Eng lalu kembali kehotelnya.

Pada keesokan harinya, ketika Min Tek menegurnya dengan senyum manis mengapa wajahnya agak muram, Kui Eng hanya tertawa saja dan tidak menceritakan sesuatu tentang pertemuannya dengan Bun Hong. Mereka lalu bersantap pagi, kemudian menunggang kuda melanjutkan perjalanan mereka. Kui Eng selalu berlaku waspada dan hatinya berdebar menjaga segala kemungkinan yang timbul dari ancaman Ji-Suhengnya malam tadi.

Ketika mereka tiba disebuah hutan yang sunyi, terbuktilah ancaman Bun Hong malam tadi, karena nampak pemuda itu sedang berdiri ditengah jalan dengan pedang ditangan! Pakaian Bun Hong gagah sekali, seperti pakaian seorang pangeran muda dan hal ini baru kelihatan oleh Kui Eng karena malam tadi ia kurang memperhatikan.

“Ji-Suheng, mengapa kau menghadang perjalanan kami?” tanya Kui Eng dengan tenang.

Sementara itu, ketika Min Tek mendengar sebutan itu, ia menjadi terkejut dan buru ia turun dari kuda dan menjura kepada Bun Hong, “Maafkan, siauwte tidak kuketahui lebih dulu bahwa enghiong yang didepan adalah suheng dari Kui- Siocia. Terimalah hormatku.”

Akan tetapi Bun Hong tidak memperdulikan pemuda itu, bahkan lalu berkata kepada Kui Eng, “Sumoi, sekali lagi. Kau tinggalkan dia ini dan pergi bersamaku atau aku harus penggal dulu batang lehernya?”

Kui Eng menjadi marah dan cepat ia mencabut pedangnya, “Suheng, suhu mengutus aku turun gunung untuk membasmi kejahatan! Biarpun kau sendiri, kalau berlaku sewenang, terpaksa harus kuhalangi!”

“Bagus, kalau begitu, terpaksa aku bunuh cacing ini!”

Secepat kilat Bun Hong menggerakkan pedangnya menyerang Min Tek yang berdiri bengong karena tidak tahu mengapa kedua saudara seperguruan ini begitu bertemu lalu bertengkar, dan tidak tahu pula mengapa pemuda yang gagah itu datang hendak membunuhnya!

Akan tetapi sebelum pedang Bun Hong mengenai sasaran, Kui Eng sudah menyambar turun dan menangkis dengan pedangnya. Bun Hong tidak memperdulikan Kui Eng, terus mengulangi serangannya kearah Min Tek. Tiga kali ia menyerang Min Tek dan tiga kali pula Kui Eng menangkis.

“Ji-Suheng! Kalau kau tidak tarik kembali pedangmu, terpaksa aku akan menyerangmu!”

Akan tetapi, sambil tertawa-tawa Bun Hong melompat dan kembali menerkam dada Min Tek yang mundur dengan kaget. Kali ini Kui Eng tak dapat menahan sabarnya lagi, dan segera ia menangkis dan balas menyerang!

Kini Bun Hong terpaksa mencurahkan perhatiannya kepada pedang Kui Eng yang maju menyerang dengan hebat hingga sebentar saja kedua saudara seperguruan itu telah bertempur seru! Akan tetapi, Bun Hong tak pernah balas menyerang. hanya mengelak dan menangkis saja.

“Sumoi, aku tak dapat mengganggumu, hanya ingin membunuh cacing itu saja,” kata Bun Hong pula.

“Kau bisa membunuhnya setelah kau merobohkan aku!.” teriak Kui Eng dengan marah.

“Bagus! Kalau kau sudah begitu nekad, terpaksa aku harus bunuh kalian berdua! Lebih baik melihat kau mati diujung pedangku daripada melihat kau digandeng laki-laki lain!” seru Bun Hong dan kini ia balas menyerang dengan hebat.

Ramailah pertempuran antara kedua saudara seperguruan ini dan sungguhpun Bun Hong menang tenaga dan keuletan, namun Kui Eng telah mendapat pengalaman berkelahi dan ginkangnya yang tinggi membuat ia dapat melakukan perlawanan sama hebatnya.

Min Tek menjadi bingung sekali. Mendengar percakapan kedua orang itu, maklumlah ia bahwa gara-gara perkelahian itu adalah dirinya sendiri! Agaknya Kui Eng mencintainya dan suhengnya itu merasa cemburu! Celaka! Ia harus mencegah pertempuran ini. Ia berteriak berkali-kali,

“Taihiap, Lihiap, berhentilah... dengarlah keteranganku...”

Akan tetapi, Kui Eng dan Bun Hong memiliki adat yang keras dan pantang undur, maka seruan ini tidak mereka dengarkan dan mereka bahkan bertempur makin seru dan hebat! Pada saat itu, dari jauh mendatang seorang laki dengan jalan perlahan, akan tetapi ketika melihat pertempuran itu, ia lalu berlari cepat menghampiri. Setelah dekat, orang itu berseru keras,

“Sute...! Sumoi...! Apakah kalian sudah menjadi gila?? Tahan...!,” teriak orang itu yang bukan lain ialah Beng Han!

Setelah sembuh dari pengaruh bisa dalam jarum yang dilepas oleh Tek Po Tosu, Beng Han lalu menyusul ke kotaraja untuk mencari Bun Hong. Tak disangkanya sama sekali bahwa ia akan bertemu dengan sute dan sumoinya ditempat ini dalam keadaan saling serang mati-matian!

Melihat betapa kedua orang itu tidak mau berhenti, Beng Han lalu mencabut pedangnya dan melompat ketengah pertempuran dan menahan senjata mereka dengan gerakan pedangnya.

“...Berhenti... berhenti... kalian orang bodoh! Mengapa saling serang seperti orang gila?”

Kui Eng berdiri dengan napas terengah-engah dan pedang dipegang erat, sedangkan Bun Hong berdiri dengan jidat penuh keringat, juga memegang pedang sambil memandang dengan tajam.

“.... dia hendak membunuh Ang-Kongcu...,” kata Kui Eng.

Beng Han memandang kearah pemuda pelajar itu yang berdiri bengong. “Siapakah dia, sumoi?” tanya Beng Han.

“Dia adalah... adalah sahabatku,” jawab Kui Eng.

Beng Han memandang tajam kearah Bun Hong. “Sute, mengapa kau hendak membunuh dia?”

Bun Hong cemberut, marahnya masih menggelora. “Suheng, mengapa kau tidak jadi bertunangan dengan sumoi?,” balasnya dengan pertanyaan yang diucapkan keras seakan-akan mencela dan menegur hingga wajah Beng Han menjadi merah.

“Sute, omonganmu ini sungguh tidak patut!,” bentaknya.

“Tidak patut katamu?” dada Bun Hong terengah-engah karena menahan gelora hatinya yang marah. “Suheng, kau tahu betapa perasaan hatiku terhadap sumoi, kita bertiga semenjak kecil bersama-sama senasib-sependeritaan. Kalau sumoi menjadi jodohmu, aku rela... aku mengalah, akan tetapi kalau sumoi memilih laki-laki lain, aku tidak rela! Sumoi mencintai pemuda itu, maka ia harus kubunuh! Kalau sumoi menghalangi, biar kubunuh semuanya!”

“Sute, kau gila!”

Kui Eng menangis.

“Bun Hong, kau manusia kejam! Kau membikin malu padaku. Mari kita bertempur mengadu jiwa!,” Kui Eng melompat maju dan menyerang, akan tetapi Beng Han mencegahnya.

“Sumoi, sabarlah dan serahkan urusan ini padaku. Sebetulnya apakah yang terjadi?”

Kui Eng memandang kepada Beng Han dengan airmata mengalir membasahi pipinya. “Suheng, aku tidak bersalah apa. Aku hanya mengantar Ang-Kongcu yang hendak kembali kekampungnya. Tahu-tahu Ji-Suheng menghadang disini dan hendak membunuh kami.”

Beng Han berpaling kepada Bun Hong dan membentak, “Sute, jangan kau lanjutkan kesesatanmu itu. Hubungan kita dengan sumoi hanyalah sebagai saudara seperguruan dan urusan pribadinya tak boleh kita mencampurinya.”

“Aah kau tidak tahu hatiku. Kau tidak tahu penderitaanku. Pendeknya, sumoi hanya boleh memilih antara kau atau aku, tidak boleh memilih orang lain! Biar kubunuh pemuda pucat itu!” teriak Bun Hong marah. “Kalau kau membelanya, suheng, terpaksa aku melawanmu pula!”

“Manusia sesat!” Beng Han membentak marah. “Sumoi, kau lanjutkanlah perjalananmu dengan Kongcu itu, biar aku yang menghadapi sute!”

Sementara itu, Min Tek yang mendengar semua ini, menjadi pucat dan tubuhnya menggigil. Bukan karena takut, akan tetapi karena terharu. Baru ia ketahui bahwa ketiga orang ini adalah saudara seperguruan yang tinggi ilmu kepandaiannya, dan karena kini mereka bertengkar karena dia maka sudah tentu ia merasa bingung sekali.

“Kui-Siocia, biarlah kujelaskan kepada suhengmu...” katanya.

Akan tetapi Kui Eng lalu melompat keatas kudanya dan berkata, “Ang-Kongcu, marilah kita pergi!”

Terpaksa Min Tek naik keatas punggung kudanya pula dan ikut pergi dengan cepat menyusul Kui Eng yang telah mendahuluinya, Bun Hong marah sekali.

“Suheng, kau tidak tahu betapa besar cintaku terhadap sumoi. Lebih baik aku mati ditanganmu daripada melihat sumoi menjadi isteri pemuda lemah dan pucat itu! Kalau kau susul dia dan mengambil sumoi sebagai isterimu, aku akan merasa bahagia dan rela, suheng. Akan tetapi, kalau kau membiarkan dia merendahkan diri dan menjadi jodoh pemuda itu, biar bagaimanapun juga, aku akan menghalanginya.”

“Sute, tak kusangka bahwa setelah berada di kotaraja, kau menjadi gila. Cintamu terhadap sumoi itu bukan cinta murni, cinta yang diliputi nafsu semata. Kau hendak membunuh pemuda pelajar yang tak berdosa itu? Baik, ada aku yang akan membelanya!”

“Kau...?' Kedua mata Bun Hong yang sudah merah karena marahnya itu tiba-tiba mengeluarkan dua titik airmata. “Kau hendak melawanku, suheng? Kau...?”

“Apa boleh buat, lebih baik melihat saudaraku yang kukasihi mati daripada melihat ia hidup menjalankan kejahatan!”

Bun Hong berteriak keras dan melompat sambil menusuk dengan pedangnya. Beng Han menangkis dan keduanya lalu bertempur hebat lebih seru dan mati-matian daripada ketika Bun Hong bertempur melawan Kui Eng tadi! Bun Hong memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa dan pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi Beng Han yang waspada dan tenang dapat menghadapinya dengan baik dan mengembalikan semua serangan Bun Hong.

Kalau tadi, ketika Kui Eng dan Bun Hong bertempur, mereka dapat diumpamakan sepasang naga berebut mustika, adalah kini mereka merupakan sepasang naga berebut sarang. Bun Hong gesit dan gerakan pedangnya ganas dan cepat, sedangkan Beng Han tenang dan gerakan pedangnya kuat.

Betapapun juga, ilmu pedang mereka bersumber dari satu dasar pelajaran, yakni Swi-hoa Kiam-hwat, maka tentu saja mereka dapat mengetahui gaya masing-masing dan dapat mengembalikan setiap serangan dengan baik. Mereka hanya mengandalkan keuletan dan kegagahan tangan kaki belaka.

Pantangan bagi orang yang sedang bertempur ialah rasa takut, bimbang dan terutama sekali nafsu marah. Biarpun Bun Hong tidak merasa takut, akan tetapi menghadapi Beng Han ia merasa bimbang, dan hatinya masih diliputi rasa marah hingga gerakannya tidak setepat Beng Han.

Oleh karena itu, beberapa kali hampir saja ia menjadi kurban pedang Beng Han, baiknya Beng Han terganggu oleh rasa tidak tega dan kasihan hingga tiap kali ujung pedangnya sudah dekat dengan sasaran, ia segera menarik kembali serangannya. Beng Han amat mengasihi adik seperguruannya ini, maka tentu saja ia tidak tega untuk melukainya.

Pada suatu saat, Beng Han menyerang dengan gerak tipu Angin Taufan Menyambar Pohon. Gerakannya hebat dan kuat sekali hingga ketika Bun Hong menangkis, ujung pedang Beng Han masih mendesak dan berhasil melukai lengan tangan Bun Hong yang segera mengalirkan darah. Beng Han terkejut dan melompat mundur, sedangkan Bun Hong dengan tersenyum pahit lalu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus darah dilengan tangannya.

“Suheng, kau hebat sekali!,” katanya.

Sedangkan Beng Han lalu berkata dengan sedih, “Sute, janganlah kita bertempur lagi! Insyaflah, tak baik ilmu pedang yang kita pelajari ini kita gunakan untuk saling gempur!”

Akan tetapi Bun Hong tertawa menyeramkan dan berkata, “...Suheng, ketahuilah! Untuk berbulan-bulan hatiku gelisah dan menderita karena memikirkan sumoi. Aku telah banyak menderita, bahkan nasibku yang sial membawaku terbelenggu dan untuk menolong keluarga pangeran Song aku terpaksa menikah dengan puterinya, sementara itu hatiku masih tetap merindukan sumoi.

"Aku menghibur kesedihanku dengan pikiran bahwa sumoi sudah sesuai menjadi jodohmu dan karena kalian adalah orang yang kukasihi, maka aku merasa rela dan ikhlas! Tidak tahunya, kalian tidak bertunangan dan bahkan sumoi mendekati seorang pemuda pelajar yang lemah! Bagaimana hatiku bisa senang? Luka sedikit ini tidak ada artinya, ayo kita teruskan, suheng, dan jangan kepalang tanggung kau mengerjakan pedangmu!”

Setelah berkata demikian, Bun Hong melompat maju dan menyerang pula hingga Beng Han merasa bingung dan sedih sekali. Terpaksa ia mengangkat pedangnya menangkis....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.