Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 10

Baca cerita novel silat online karya Kho Ping Hoo. Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 10
Sonny Ogawa

Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 10

Pada saat itu, terdengar suara tertawa keras bergelak dan tiga bayangan orang berkelebat dan berdiri disitu. Ternyata mereka ini adalah Tek Po Tosu, Bong Kak Im, dan Bong Kak Liong, tiga orang jagoan kelas satu dari Thio-Thaikam!

Novel Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Mereka ini semenjak dulu telah menaruh hati curiga terhadap Bun Hong, akan tetapi oleh karena Bun Hong dapat mengendalikan diri dan tak pernah memperlihatkan kepandaiannya.

Mereka tidak mempunyai bukti dan tak berdaya mencelakakannya. Akan tetapi, penyelidik mereka memberitahu bahwa belakangan ini seringkali menantu pangeran Song itu berkuda keluar kota dan entah melakukan pekerjaan apa, Timbul kembali kecurigaan ketiga orang jagoan itu dan setelah mereka memberi laporan kepada Thio-Thaikam, mereka lalu diutus untuk menyelidik.

Demikianlah, mereka lalu mengintai dan kebetulan sekali mereka melihat Bun Hong bertempur dengan Kui Eng dan kemudian setelah melihat kedatangan Beng Han dan mendengar percakapan mereka, tahulah ketiga orang itu bahwa Bun Hong benar adalah pemuda berkedok yang dulu menyerang Thio-Thaikam! Segera mereka muncul keluar dan terdengar suara Tek Po Tosu yang berkata,

“Aha, tidak tahunya menantu pangeran Song benar adalah pemberontak yang kami cari?!”

Bun Hong dan Beng Han terkejut sekali mendengar ini dan mereka segera menghentikan pertempuran dan berdiri berendeng, menghadapi tiga orang pahlawan Thio-Thaikam itu. Melihat Beng Han, Tek Po Tosu tertawa lagi mengejek,

“Eh, eh, tidak tahunya menantu pangeran Song adalah sute dari pemberontak yang telah kujatuhkan! Masih belum matikah kau? Baik, baik! Kalau begitu sekarang akan kubinasakan kalian pemberontak rendah!”

Sambil berkata demikian, Tek Po Tosu lalu mencabut keluar pedangnya yang sepasang itu, sedangkan Bong Kak Im juga mencabut keluar senjatanya sepasang kapak yang dahsyat itu, diikuti oleh Bong Kak Liong yang menarik keluar sebatang goloknya yang lihai!

“Sute, marilah kita basmi anjing-anjing penjilat ini!,” kata Beng Han dengan penuh geram.

Bun Hong tersenyum, “Baik, suheng, memang telah lama sekali aku merasa rindu untuk membunuh cacing-cacing rendah ini!”

“Pemberontak hina, bersedialah menerima kebinasaan!” Bong Kak Im berseru dan mulai menyerang dengan sepasang kapaknya.

Serangannya disambut oleh Bun Hong yang membentak, “Pengapak kayu kampungan, jangan kau menjual lagak disini!”

Bong Kak Liong lalu menggerakkan goloknya membantu kakaknya itu hingga Bun Hong segera dikeroyok dua, akan tetapi orang muda itu dengan gagahnya memutar pedang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang lihai. Beng Han menghadapi Tek Po Tosu.

“Pendeta keparat, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu kepandaian tanpa mengandalkan keroyokan. Majulah dan kau boleh pergunakan semua jarum-jarum jahatmu yang hanya menunjukkan sifatmu yang pengecut itu!”

“Bangsat sombong!,” Tek Po Tosu berteriak dan segera melompat dan menerjang Beng Han dengan siang-kiamnya.

Akan tetapi, sambil tersenyum mengejek, Beng Han lalu membuat gerakan dengan pedangnya hingga sekaligus ia dapat menangkis sepasang pedang lawannya yang menyerang.

Pertempuran itu terjadi dengan amat hebat dan serunya, terjadi ditempat yang sunyi, tidak disaksikan oleh orang lain kecuali mereka yang bertempur sendiri, dibawah terik panas matahari yang membakar yang terdengar hanyalah senjata-senjata mereka yang beradu dan seruan-seruan mereka, terutama sekali sepasang kapak Bong Kak Im yang tiap kali bertemu dengan pedang lawan mengeluarkan suara nyaring.

Mereka bertempur dengan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian. Bun Hong pernah menghadapi Bong Kak Liong, akan tetapi pada waktu itu ia dikeroyok oleh banyak sekali perwira hingga ia tidak dapat mengukur tenaga lawannya ini yang benar-benar lihai.

Bong Kak Liong dan terutama Bong Kak Im adalah jago-jago nomor satu dari Thio-Thaikam, dan jika dibandingkan dengan panglima besar diistana Kaisar mereka ini sedikitnya mempunyai tingkat kepandaian kelas tiga, hingga kelihaian mereka dapat dibayangkan. Apalagi kini mereka maju berdua mengeroyok Bun Hong, senjata mereka berkelebatan menyilaukan dan setiap gerakan merupakan serangan maut.

Akan tetapi, dengan bernafsu dan gembira, Bun Hong menyambut semua serangan dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Setelah menghadapi musuh besar ini, permainan pedang Bun Hong makin lincah, karena ia tidak merasa bimbang lagi dan seluruh kebencian serta kemarahan kini ia timpakan keatas kepala kedua orang lawan yang tangguh ini!

Juga Beng Han menghadapi Tek Po Tosu dengan hati-hati sekali karena pemuda ini telah tahu akan kelihaian lawannya. Menghadapi gempuran pendeta ini tanpa dikeroyok, Beng Han dapat melayaninya dengan baik, bahkan melancarkan serangan balasan yang cukup mengejutkan hati Tek Po Tosu.

Tosu ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi setingkat daripada kepandaian kedua orang perwira she Bong itu, maka biarpun hanya seorang diri, ia dapat mengimbangi kepandaian Beng Han. Sepasang pedangnya bergerak luar biasa sekali dan gerakan pedang ditangan kanan ganas dan cepat, akan tetapi sebagian besar hanya merupakan gertakan untuk membingungkan lawan saja.

Sebenarnya yang berbahaya adalah pedang ditangan kirinya, karena walaupun pedang ditangan kiri ini hanya bergerak lambat dan digunakan untuk menangkis belaka, akan tetapi pada saat yang tepat pedang itu melakukan tusukan atau sabetan yang membawa maut!

Beng Han maklum akan hal ini, maka ia bersilat dengan tenang dan waspada, sama sekali tidak mau dikacau oleh gerakan pedang ditangan kanan lawan. Demikianlah kedua orang muda, seperguruan yang tadi saling bertempur dengan hebat, kini bersatu dan menghadapi tiga orang lawannya yang tangguh!

Diam-diam kegembiraan timbul dihati kedua orang muda itu, karena dengan adanya pertempuran ini agaknya segala kesalah-fahaman diantara mereka tersapu bersih dan perasaan mereka kembali seperti dulu ketika mereka masih bersama belajar silat dipuncak Swi-hoa-san.

Sambil bersilat menghadapi Tek Po Tosu, kadang Beng Han melirik kearah Bun Hong untuk melihat keadaan sutenya itu. Ia merasa gelisah juga menyaksikan betapa tangguh kedua orang perwira yang mengeroyok sutenya itu. Ia sendiri maklum bahwa tak mudah menjatuhkan Tek Po Tosu yang lihai dan apabila pertempuran ini diteruskan, pihaknyalah yang akan menderita rugi.

Ia melihat betapa wajah Bun Hong pucat tanda bahwa pemuda itu kurang tidur dan menderita tekanan batin yang berat. Ia belum tahu dengan jelas keadaan sutenya itu karena belum mendapat kesempatan bicara dengan leluasa. Tiba-tiba Beng Han mendapat akal. Diantara ketiga orang lawannya, yang paling tangguh adalah si tosu, sedangkan kedua orang perwira itu kalau melawan Bun Hong seorang demi seorang tentu akan mudah dirobohkan.

Maka ia segera berseru keras dan menggerakkan pedangnya dengan lebih cepat, melancarkan serangan maut kearah seluruh bagian tubuh Tek Po Tosu yang lemah. Tosu itu terkejut dan segera menjauhkan diri, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Beng Han untuk melakukan gerakan dan lompatan kilat. Ia melompat kearah Bun Hong dan dari samping mengirim serangan kilat kepada Bong Kak Liong yang bersenjata golok.

Bong Kak Liong terkejut sekali, karena pada saat itu, ia sedang mengangkat goloknya untuk membacok kepala Bun Hong dengan gerak tipu Harimau Kuning Menerkam Kambing. Melihat berkelebatnya pedang Beng Han yang menyerangnya dengan tiba-tiba, ia segera menarik kembali goloknya dan membabat kearah pedang yang menusuk dadanya itu, akan tetapi Bun Hong yang melihat kesempatan baik lalu mengerjakan kakinya dan “buk!!” lambung kiri Bong Kak Liong berkenalan dengan ujung kaki Bun Hong yang keras!

Bong Kak Liong menjerit ngeri dan roboh sambil muntah-darah. Ternyata tendangan yang diisi tenaga lweekang itu telah melukai jantungnya dan perwira itu meninggal dunia tak lama kemudian, Bukan main marahnya Tek Po Tosu melihat ini. Ia mengeluarkan saputangannya dan mengebut beberapa kali hingga belasan jarum melayang kearah Beng Han dan Bun Hong.

Beng Han yang pernah merasai kelihaian jarum-jarum itu, segera berseru, “Awas, sute, jarum-jarum beracun!”

Bun Hong yang merasa girang karena berhasil menjatuhkan Bong Kak Liong, segera menjatuhkan diri dan bergulingan hingga terluput dari sambaran jarum. Sedangkan Beng Han yang sudah siap-sedia, lalu memutar pedangnya hingga semua jarum dapat diruntunkan.

Bun Hong menjadi marah sekali, dengan berseru keras ia lalu menerkam dan menyerang Tek Po Tosu hingga pendeta itu tidak sempat mempergunakan saputangannya yang lihai, dan terpaksa menyambut serangan Bun Hong dengan siang-kiamnya. Kini Beng Han yang menghadapi Bong Kak Im, musuh lamanya.

Perwira she Bong ini yang melihat betapa adiknya telah tewas, menjadi marah sekali dan juga gentar, hingga permainan kapaknya menjadi kacau dan agak lambat. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Beng Han dan karena ia maklum bahwa kepandaian perwira itu belum begitu kuat, maka ia lalu mengeluarkan serangan yang paling hebat dari Swi-hoa Kiam-hoat hingga sebentar saja Bong Kak Im terdesak hebat sekali.

Ketika Beng Han mengeluarkan serangan dengan gerak tipu Hui-Pau Liu-Kwan atau Air terjun Bertebaran, Bong Kak Im tak dapat mempertahankan diri lebih lama lagi. Pedang Beng Han menyambar dan ia memekik ngeri karena sebelah tangannya telah terbabat putus dan kapaknya melayang jauh keatas. Sebuah tusukan pedang Beng Han menamatkan riwayatnya dan tubuhnya roboh bergelimpangan didekat mayat adiknya!

Tek Po Tosu terkejut sekali hingga gerakan siangkiamnya menjadi kacau, akan tetapi oleh karena ilmu kepandaiannya memang tinggi, ketika Bun Hong mendesak, ia masih sempat menyelamatkan diri dan melompat kebelakang dengan gerakan Lo-Wan Teng-Ki atau Monyet Tua Lompati Cabang. Bun Hong hendak mengejar, akan tetapi Beng Han segera memberi peringatan,

“Jangan, sute... awas jarumnya!”

Benar saja, ketika melihat Bun Hong mengejar, tosu itu telah bersiap dengan saputangannya dan kini ia menyebar belasan jarum kearah Bun Hong. Baiknya Beng Han telah memberi peringatan hingga Bun Hong cepat memutar-mutar pedangnya, akan tetapi hampir saja sebatang jarum menghantam kakinya kalau tidak Beng Han dengan cepat melempar pedang ditangannya menangkis jarum itu hingga pedangnya. menancap diatas tanah depan kaki Bun Hong!

Bun Hong mengeluarkan keringat dingin dan berkata, “Lihai sekali jarum-jarum kakek itu!”

Sementara itu, Tek Po Tosu telah lari jauh meninggalkan mereka dan mayat kedua orang kawannya. Beng Han lalu maju dan memeluk tubuh Bun Hong.

“Sute, kau hebat sekali!”

Ketika merasa betapa tubuhnya dipeluk oleh suhengnya yang telah lama dirindukannya itu, mengalirkan airmata dari kedua mata Bun Hong. Ia balas memeluk dan keduanya lalu berangkul-rangkulan sambil mencucurkan airmata. “Suheng maafkanlah aku...”

“Sute, bicara tentang patah-hati, akulah yang sebenarnya lebih menderita daripadamu. Aku telah ditolaknya, akan tetapi, aku tetap mencinta dan ingin melihat dia hidup bahagia, biarpun aku sendiri menderita...”

“Suheng, kau memang berhati mulia, tidak seperti aku...” Tiba-tiba Bun Hong berseru, “Celaka...!” dan ia memandang kepada Beng Han dengan wajah pucat dan mata terbelalak.

“...Ada apakah, sute?” tanya Beng Han dengan heran.

“...Celaka, tosu itu tentu membuka rahasiaku dan celakalah keluargaku...!”

“Apa maksudmu?” tanya Beng Han.

Bun Hong memegang tangan suhengnya, ditariknya cepat sambil berkata, “Mari kita cepat mengejar tosu itu dan kembali ke kotaraja! Urusan ini hebat sekali, suheng, biarlah kuceritakan sambil berlari pulang!”

Beng Han tak banyak membantah dan mereka berdua lalu berlari cepat menuju ke kotaraja. Disepanjang jalan, Bun Hong lalu menuturkan pengalamannya, betapa ia melukai Thio-Thaikam dalam usahanya membalas sakit hati para petani dan betapa ia gagal lalu bersembunyi didalam gedung Pangeran Song.

Hingga untuk menjaga keluarga pangeran itu dari kehancuran, terpaksa ia menikah dengan Kim Bwee, puteri sulung pangeran itu. Semua ini diceritakannya dengan jelas sambil berlari hingga Ben Han juga merasa sedih mendengar riwayat adik seperguruannya yang amat dikasihinya itu.

“Betapapun juga, Bun Hong. Sebagai seorang laki-laki yang menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan, kau harus berlaku sebagai seorang suami yang baik. Kau sudah mempunyai putera, maka sudah selayaknya kalau kau membuang pikiran sesat dan memikirkan jalan untuk membahagiakan rumah-tanggamu!”

Bun Hong merasa terharu dan insyaflah ia akan kesesatannya. Ia telah menikah, telah mempunyai putera, sedangkan Kim Bwee begitu baik, begitu mencintainya, juga mertuanya adalah seorang yang bijaksana. Ah, ia telah berdosa, berdosa terhadap isterinya, terhadap mertuanya, juga terhadap Kui Eng!

“Aku harus membela mereka, suheng. Membela dengan nyawaku! Celakalah kalau sampai Thio-Thaikam melaporkan hal itu kepada Kaisar. Bagiku tidak ada artinya menjadi buruan Kaisar, akan tetapi keluarga mertuaku...”

“Ayoh kita percepat lari kita, sute. Kita harus bela mereka! Jangan kau kuatir, aku suhengmu akan mempertaruhkan nyawa untuk membela kau dan anak-isterimu!”

Bun Hong menahan isaknya mendengar ucapan ini dan mereka berdua lalu mengerahkan seluruh kepandaian ilmu berlari cepat hingga sebentar saja mereka telah tiba di kotaraja dan langsung menuju kegedung Pangeran Song.

Pangeran Song Hai Ling menyambut kedatangan putera menantunya dengan heran sekali dan juga cemas melihat betapa putera menantunya itu pucat dan nampak kuatir. Bun Hong ketika berhadapan dengan mertuanya, lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Gakhu (ayah mertua), celaka, gakhu. Kita harus cepat lari dari sini.”

“Eh, kau kenapakah, Hiansai?” tanya Pangeran Song sambil mengangkat bangun menantunya.

“...Aku telah bertempur dan bahkan telah membinasakan kedua perwira Bong, sedangkan Tek Po Tosu telah dapat melarikan diri. Mereka telah mengetahui rahasiaku. Celaka, keluarga kita terancam bahaya! Kita harus lekas pergi!”

Pucatlah wajah Pangeran Song mendengar ini akan tetapi dengan suara tenang yang membuat Beng Han merasa kagum sekali, ia berkata, “Tenanglah, anakku dan ceritakan semua dengan jelas. Dan Kongcu ini siapakah?” ia menunjuk kepada Beng Han yang segera menjura memberi hormat.

Bun Hong dengan cepat lalu memperkenalkan Beng Han sebagai suhengnya, kemudian ia menceritakan betapa ketika ia dan Beng Han sedang bercakap-cakap, ketiga orang panglima Thio-Thaikam itu telah mendengar percakapan mereka dan mengetahui rahasianya lalu menyerang, dan betapa dalam pertempuran itu, ia dan suhengnya telah berhasil membunuh mati kedua perwira Bong hingga Tek Po Tosu melarikan diri.

“...Pendeta keparat itu tentu akan melaporkan hal itu kepada Thio-Thaikam dan celakalah kita kalau terlambat. Aku tidak kuatir menghadapi mereka, akan tetapi, gakhu, isteriku, dan anakku...”

Tiba-Tiba Pangeran Song yang berwajah pucat karena ia benar-benar terkejut mendengar peristiwa itu menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Hiansai, betapapun juga, aku merasa bangga bahwa kau dan suhengmu telah dapat membunuh dua orang perwira keparat yang telah banyak menghinaku itu. Akan tetapi, menyuruh aku melarikan diri sama dengan menyuruh matahari bergerak dari barat ketimur! Kau bawalah anak-isterimu lari dari sini, akan tetapi aku tidak dapat meninggalkan gedungku.”

Bukan main terkejutnya hati Bun Hong mendengar bahwa mertuanya tidak mau lari. “Akan tetapi, gakhu, kalau mereka datang, kau pasti akan ditangkap dan dijatuhi hukuman beserta seluruh keluarga! Marilah kita lari sebelum terlambat,” katanya dengan cemas.

“Bun Hong, kau tidak ingat aku ini siapakah? Aku adalah seorang pangeran keluarga Kaisar, bahkan Kaisar Hian Cong dulu adalah saudara misanku! Tak mungkin aku melarikan diri dan memberontak terhadap Raja! Biar aku dijatuhi hukuman yang bagaimana beratpun, aku tak sudi memberontak!”

Sementara itu, mendengar ribut, keluarga pangeran Song itu pada memburu keluar, termasuk Kim Bwee yang menggendong puteranya dan Kim Hwa. Setelah mereka mendengar akan peristiwa yang terjadi, mereka menangis dengan sedih. Kim Hwa memeluki kaki ayahnya sambil menangis sedangkan Kim Bwee memandang kepada suaminya dengan wajah penuh airmata membasahi kedua pipinya. Bahkan anaknya yang baru berusia sebulan itupun menangis keras.

Melihat semua ini, Beng Han merasa terharu sekali dan Bun Hong lalu memeluk isterinya dan berkata, “Kim Bwee, aku adalah suami yang buruk dan jahat Aku mendatangkan malapetaka yang menimpa keluargamu ini. Kim Bwee, sekarang terserah kepadamu, kalau kau suka, marilah kita lari bersama putera kita.”

Dengan menahan isaknya, Kim Bwee berkata, “Kita lari dan meninggalkan ayah beserta semua keluarga menjalani hukuman? Tidak, tidak! Kalau memang sudah seharusnya semua keluarga binasa, biarlah aku ikut serta pula!” Nyonya yang cantik ini lalu menangis sambil peluki tubuh puteranya.

“Akan tetapi anak kita...,” kata Bun Hong dengan suara hampir tidak terdengar karena dadanya sesak.

Kim Bwee lalu memberikan puteranya kepada Bun Hong dan berkata sambil menangis, “Suamiku, kau larilah dan bawalah anak kita ini, biarkan aku membuktikan baktiku kepada ayah sekeluarga...”

Bun Hong menerima puteranya dan berdiri bagaikan patung. Ia memandang wajah anaknya yang hampir serupa dengan isterinya itu, dan pada saat itu tiba-tiba dari luar terdengar suara ramai.

“Celaka, mereka telah datang menyerbu kesini!'' kata Beng Han yang melihat berkelebatnya golok dan tombak serta gemerlapnya pakaian para perwira kerajaan.

“Kalau begitu, aku akan mendahului mereka dan membunuh anjing she Thio itu!,” teriak Bun Hong dan cepat ia memberikan puteranya kepada Beng Han yang sebelum tahu harus berbuat apa, putera sutenya itu telah berada dalam pondongannya.

Bun Hong mencabut pedang dan berlari keluar. Beberapa orang perwira yang melihatnya lalu berseru menahannya, akan tetapi beberapa kali menggerakkan pedangnya saja, beberapa orang perajurit dan perwira telah roboh terguling mandi darah dan Bun Hong cepat melompat dan berlari menuju keistana Thio-Thaikam!

Sementara itu, isteri Bun Hong yang tahu bahwa Beng Han adalah suheng dari suaminya karena dulu suaminya seringkali menyebut-nyebut nama pemuda ini, lalu berlutut didepan Beng Han sambil berkata, “Twako, tolonglah jiwa anakku, selamatkanlah dia... tolonglah... dari alam baka aku akan menghaturkan terimakasih atas budi pertolonganmu ini...”

Pada saat Beng Han masih berdiri tertegun, rombongan perwira dan perajurit itu menyerbu masuk dan membentak keras, “...Pangeran Song Hai Ling! Atas nama Kaisar, kami datang menangkap kau sekeluarga!”

Song Hai Ling melangkah maju dengan wajah angkuh dan langkah tegak. “Mana Leng-ki?” tanyanya. Leng-ki adalah semacam bendera yang selalu dibawa oleh orang yang menjadi utusan Kaisar.

Seorang perwira tua dengan senyum mengejek memperlihatkan surat perintahnya dan berkata, “Pangeran pemberontak! Kau masih hendak memperlihatkan kekuasaan dan berlagak? Jangan kau melawan kalau kau sayangi dirimu sendiri dan keluargamu!”

Sementara itu, melihat datangnya para perwira yang hendak menangkap keluarga Song, Beng Han lalu melompat sambil memondong putera Bun Hong yang masih kecil.

“He, kau hendak lari kemana? Semua penghuni rumah ini tidak boleh pergi meninggalkan tempat ini!,” seorang perwira lain yang segera mengejar.

“Aku seorang tamu dan bukan penghuni rumah ini!” jawab Beng Han yang berlari terus.

“...Tahan, tunggu!,” teriak perwira itu dan ketika melihat Beng Han tidak menurut perintahnya, ia berseru, “Tangkap orang itu!”

Beng Han maklum bahwa ia harus membuka jalan dengan pertempuran, maka sambil pondong anak itu dengan tangan kiri, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang dengan cepat kearah para pengejarnya. Melihat gerakan pedangitu, para perajurit mundur kembali dan Beng Han lalu melompat naik keatas genteng.

“Kejar! Tangkap!” teriak perwira yang memimpin penyerbuan itu, dan ia sendiri diikuti oleh beberapa orang perwira lalu melompat pula keatas genteng melakukan pengejaran.

Beng Han yang tahu bahwa untuk bertempur sambil memondong anak itu adalah kurang leluasa dan berbahaya baginya, maka ia tidak mau melayani mereka, bahkan berlari makin cepat. Tidak jauh dari situ ia melihat betapa Bun Hong sedang dikepung oleh beberapa orang perwira kerajaan dan sutenya itu sedang mengamuk hebat. Ia lalu melompat mendekati dan berseru,

“Sute, mari kita lari, jangan layani mereka!”

Melihat Beng Han muncul sambil memondong anaknya, Bun Hong lalu menjawab sambil merobohkan seorang pengeroyok dengan pedangnya, “Suheng, larilah kau, biarkan aku membasmi anjing rendah ini!”

“Sute, kita selamatkan dulu puteramu, nanti kita berdua membasmi mereka. Jangan kuatir, aku akan membantumu. Ayolah!”

Bun Hong yang sedang merasa marah dan bingung itu, kini taat akan perintah suhengnya, maka setelah memutar pedangnya dengan hebat, ia lalu melompat dan berlari cepat bersama suhengnya, dikejar oleh beberapa orang perwira yang berkepandaian tinggi.

Akan tetapi, kedua orang muda yang gagah itu berlari cepat sekali hingga sebentar saja mereka telah meninggalkan pengejar-pengejar mereka dan lari keluar dari kotaraja, memasuki hutan! Setelah tiba ditengah hutan, anak dipondongan Beng Han itu menangis keras, agaknya merasa kaget dan ingin minum air-susu bundanya.

Beng Han dengan canggung mengayun-ayun anak itu dipelukannya, dan Bun Hong lalu memintanya dan pondong puteranya dengan hati penuh kesedihan. Anak itu diayun ayahnya lalu berhenti menangis, bahkan lalu meramkan mata, tidur.

Bun Hong tak dapat menahan keharuan hatinya lagi, dipeluknya anaknya dan menangis keras, hingga Beng Han lalu minta anak itu karena kuatir anak itu akan menjadi kaget. “Suheng...,” Bun Hong meratap, “aku adalah seorang berdosa besar... aku sia-siakan cinta isteriku, aku bahkan mencelakakan seluruh keluarganya... ah, suheng... memang benar ucapanmu dulu itu, aku... aku telah gila...” Kemudian ia mengepal tinju dengan muka beringas. “Semua ini gara anjing kebiri she Thio itu! Aku harus membunuhnya!”

“Tenanglah, sute,” jawab Beng Han menahan keharuan hatinya, “Kita sedang menghadapi peristiwa hebat dan besar, maka kita harus mempergunakan ketenangan. Jangan berlaku sembrono menurutkan nafsu hati. Sekarang keluarga Pangeran Song telah ditawan semua, dan tindakan pertama yang kita harus lakukan ialah menolong dan melepaskan isterimu dari tawanan.”

“Akan tetapi... dia tidak mau, suheng...,” kata Bun Hong dengan suara sedih.

“Kita harus paksa dia keluar dari penjara dan membebaskan dia demi kepentingan anak ini! Pangeran Song boleh mempunyai pendirian lain karena ia memang seorang bangsawan keluarga Raja yang memegang teguh keharuman namanya, akan tetapi Kim Bwee adalah isterimu dan ibu anakmu! Ia harus tunduk dan menurut keputusanmu.”

Bun Hong menundukkan kepalanya. “Terserah kepadamu, suheng. Aku bingung sekali...”

“Sebelum pergi membebaskan isterimu, ada hal yang lebih penting lagi, yakni anakmu ini. Kita harus mencari seorang wanita yang boleh dipercaya untuk memeliharanya sewaktu kita pergi.”

Bun Hong memandang kearah puteranya dalam pondongan Beng Han dan ia teringat akan sesuatu. “Didusun sebelah timur kota tinggal seorang janda dengan anak perempuannya yang masih gadis. Aku pernah menolong mereka ketika anak perempuan itu hendak dilarikan oleh seorang penjahat. Kita titipkan Sian Lun kepada mereka, tentu mereka suka menolongku.”

Beng Han merasa girang mendengar ini, maka keduanya lalu langsung menuju kedusun itu, Janda tua dan anak gadisnya yang berhutang budi kepada Bun Hong itu menerima permintaan tolong mereka dengan girang dan Bun Hong memesan mereka dengan keras agar supaja mereka tidak menceritakan kepada orang lain siapa sebenarnya anak itu.

“Kalau ada yang bertanya, katakan saja bahwa ini adalah anak seorang keluargamu didusun lain yang dititipkan disini.” kata Beng Han.

Kedua orang muda itu mendapat sambutan baik sekali dan mereka bermalam dirumah janda itu.

“Kita harus berlaku hati-hati, sute. Karena mereka tahu bahwa kita tentu akan kembali, maka tentu kotaraja terjaga keras sekali. Kita tidak boleh sembrono dan sebelum bertindak, harus kita selidiki dulu dengan baik dimana keluargamu ditahan agar serbuan kita tidak akan sia-sia.”

Bun Hong yang berduka dan bingung serta gelisah sekali itu tidak kuasa menggunakan pikirannya, maka ia menyerahkan segala keputusan dan pimpinan kepada suhengnya. Janda tua itu membantu mereka dan masuk ke kotaraja untuk menyelidiki dimana adanya keluarga Pangeran Song ditahan.

Dua hari kemudian, barulah janda tua itu kembali dan mengabarkan dengan muka kuatir bahwa keluarga Song itu ditahan ditempat tahanan besar yang khusus dibangun untuk menahan penjahat besar dan pemberontak sebelum mereka dijatuhi hukuman mati! Dan menurut kabar, tempat itu terjaga keras sekali.

Mendengar ini, sambil mengerutkan kening, Bun Hong berkata, “Mari kita serbu mereka ketempat itu, suheng.”

“Tentu, sute. Akan tetapi, tidak pada siang hari. Biarlah malam nanti kita bekerja. Mudah-mudahan Thian yang Maha Kuasa memberi berkah sehingga kita berhasil menolong isterimu.”

Bun Hong memegang tangan Beng Han. “Suheng, dengan adanya kau disampingku, tenagaku dan keberanianku menjadi berlipat ganda. Dengan kau, aku akan sanggup melakukan apa saja. Kita pasti berhasil.”

“Mudah-mudahan, sute, dan aku berjanji akan mengurbankan nyawaku demi kepentingan dan kebahagiaanmu.”

Bun Hong memeluk suhengnya dengan terharu dan berbisik, “Kau mulia sekali, suheng... ampunkan kesalahanku yang sudah-sudah...”

Beng Han menepuk-nepuk pundak sutenya dan setelah berkemas, mereka lalu berangkat menuju ke kotaraja. Untuk keperluan ini, keduanya mengenakan pakaian hitam dan membawa pedang mereka. Bahkan mereka mencari beberapa potong batu karang kecil yang tajam dan keras yang mereka masukkan dalam sebuah kantong dan digantung dipinggang, untuk digunakan sebagai senjata rahasia!

Demikianlah, pada malam hari yang gelap gulita itu, pada waktu angin malam menghembus keras membangunkan bulu-roma karena dinginnya, dua bayangan hitam berkelebat cepat bagaikan hantu malam, menuju ke kotaraja!


Kita mengikuti perjalanan Kui Eng yang dengan hati marah dan perasaan amat malu menbalapkan kudanya, disusul oleh Min Tek yang merasa amat menyesal karena dia merasa telah menjadi gara-gara dan biang-keladi terjadi percekcokan antara ketiga orang bersaudara itu.

“Kui-Siocia...,” serunya memanggil dan menendang kudanya agar dapat menyusul kuda Kui Eng. “Kui-Siocia, alangkah menyesal dan kecewa hatiku bahwa aku telah mendatangkan perkara yang tidak enak itu.”

“Sudahlah, Ang-Kongcu. Kau tidak bersalah apa-apa dan jangan kau ulangi atau membicarakan peristiwa yang hanya membuat aku merasa malu itu.”

“Kui-Siocia! Aku telah berdosa besar hingga karena aku, kau telah bermusuhan dengan suhengmu sendiri! Aku.. aku... sudahlah kau lebih baik tinggalkan saja aku, Siocia. Biar aku pulang seorang diri, daripada terjadi keributan itu.”

Tiba-tiba Kui Eng menahan kudanya. “Apa? Kau tidak suka melakukan perjalanan dengan aku?”

Ang Min Tek terkejut. “Bukan, bukan demikian, Siocia. Aku merasa suka sekali dan berterimakasih bahwa kau sudi melakukan perjalanan bersama aku yang rendah ini, sudi melindungi aku dari segala bahaya diperjalanan. Akan tetapi, kalau hal ini hanya menimbulkan pertikaian antara kau dan suhengmu, ah... aku merasa tidak enak sekali, Siocia.”

“Ang-Kongcu, harap kau jangan sebut lagi hal itu. Seorang gagah tak pernah merobah keputusan yang telah diambilnya. Aku telah mengambil keputusan untuk mengantarmu sampai dikotamu dan apapun juga takkan dapat merobah keputusanku, kecuali... kecuali kalau kau menyatakan tidak suka melakukan perjalanan denganku.”

Melihat kekerasan hati gadis itu, Min Tek menarik napas panjang. Ia tidak mengerti akan sikap orang kang-ouw, dan tentu saja ia tidak berani mengatakan bahwa ia tidak suka melakukan perjalanan dengan pendekar wanita yang selain gagah perkasa, juga cantik jelita ini.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat dan tak banyak berkata-kata. Dan oleh karena kini mereka melakukan perjalanan dengan naik kuda yang dibalapkan cepat, maka pada malam harinya sampailah mereka di Kiciu, tempat tinggal Ang Min Tek.

Kedatangan mereka disambut dengan girang sekali oleh ibu Min Tek, seorang janda yang kaya. Ketika mendengar bahwa puteranya telah lulus ujian, ibu yang girang ini memeluk putera tunggalnya dan berkata,

“Anakku, alangkah besar dan girang rasa hatiku mendengar bahwa kau telah menjadi siucai. Hanya dua hal yang menjadi mimpi setiap malam bagiku, pertama melihat kau lulus ujian, dan kedua melihat kau melangsungkan perkawinanmu dengan Bu-Siocia! Mereka tentu akan girang sekali mendengar bahwa kau telah lulus. Min Tek, besok pagi kita pergi kerumah keluarga Bu dan menetapkan hari pernikahanmu dengan tunanganmu.”

“Sst ibu, hal ini mudah dibicarakan nanti. Sekarang perkenalkanlah dulu dengan seorang pendekar wanita yang telah menolong nyawaku dan yang telah melindungiku selama dalam perjalanan. Kalau tidak ada dia, mungkin kita takkan dapat saling bertemu lagi.”

Terkejutlah nyonya itu mendengar ucapan ini. “Siapa, nak?!

“Inilah dia... Kui-Siocia...,” kata Min Tek sambil menengok kebelakang, akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika melihat bahwa dibelakangnya tidak ada siapa-siapa, dan Kui Eng yang tadi ikut masuk dibelakangnya telah pergi tak meninggalkan bekas!

Sebetulnya Kui Eng tadi juga masuk kerumah itu dan merasa terharu menyaksikan pertemuan antara itu dan anak itu. Akan tetapi ketika ia mendengar ucapan nyonya Ang terhadap anaknya, tiba-tiba ia menjadi pucat sekali dan tanpa pamit lagi ia melompat keluar dan berlari pergi dari situ! Ia tidak perdulikan kudanya lagi dan berlari terus dimalam gelap.

Setelah tiba ditempat sunyi, ia berhenti dan terdengarlah isak-tangisnya. Ia menjatuhkan diri dibawah sebatang pohon dan menangis dengan sedihnya. Min Tek hendak menikah? Sudah bertunangan dengan Bu-Siocia? Ah, nasib! Mengapa pemuda itu tak pernah membicarakan hal ini dan mengapa ia tidak pernah memikirkan bahwa seorang pemuda seperti Min Tek itu belum tentu masih, bebas?

Celaka dan ia sudah membela pemuda itu hingga ia bermusuhan dengan Bun Hong! Dan pemuda itu sudah mendengar tuduhan Bun Hong bahwa ia mencintainya. Alangkah malunya, dan alangkah rendahnya ia dalam pandangan Min Tek. Ia telah mencintai seorang pemuda yang telah ditunangkan dengan gadis lain dan yang pada besok hari akan ditetapkan hari kawinnya! Tiba-tiba timbul kekerasan hatinya. Ah, ia seorang gadis gagah yang memiliki kepandaian!

Kalahkah ia oleh tunangan Min Tek? Ia harus melihat dulu siapakah sebetulnya tunangan pemuda itu. Sampai dimana kecantikannya dan sampai dimana kepandaiannya. Ia penasaran, dan harus menyaksikan dengan mata sendiri. Dan apakah Min Tek mencintai tunangannya itu? Ia harus yakin akan hal ini!

Demikianlah, dengan hati sengsara dan pikiran tidak keruan, Kui Eng duduk dibawah pohon itu semalam suntuk, memikirkan nasibnya. Ketika teringat akan ibunya, teringat akan pinangan Beng Han yang mencintainya, dan teringat akan pertempurannya melawan Bun Hong yang dulu menjadi suheng yang amat dikasihaninya itu, ia menangis lagi dengan hati hancur.

Pada keesokan harinya, ketika Min Tek yang merasa heran karena kepergian Kui Eng tanpa pamit itu, pergi bersama ibunya mengunjungi rumah tunangannya, dengan sembunyi-sembunyi Kui Eng mengintai. Dengan kepandaiannya, mudah saja ia melakukan pengintaian tanpa diketahui oleh mereka.

Ia melihat betapa Min Tek dan ibunya disambut oleh sepasang suami-isteri dan mereka lalu masuk kedalam rumah. Kui Eng lalu mengambil jalan memutar dari belakang rumah dan segera melompat keatas genteng. Ia membuka genteng dan mengintai kedalam. Ia melihat Min Tek dan ibunya diantar keruang dalam dan dari dalam kamar keluarlah seorang gadis yang masih amat muda dan cantik.

Min Tek menjura dan pandang mata pemuda itu membuat hati Ku tertusuk dan perih karena tak salah lagi, pandang mata ini adalah pandangan penuh cinta-kasih dan mesra. Bahkan pemuda itu lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dan berkata kepada gadis itu,

“Lan-moi, aku membawa sutera halus dan merah kesukaanmu.”

Gadis itu memandang dengan girang dan menyambut bungkusan itu sambil menjawab, “Terimakasih, koko.”

Kui Eng memperhatikan wajah gadis itu dan tertegunlah dia hingga ia terduduk diatas genteng dengan bengong. Memandang muka gadis itu, ia seakan-akan melihat mukanya sendiri! Ia menjadi penasaran dan mengintai lagi melalui lubang itu.

Gadis itu duduk didekat ibunya dan ketika memperhatikan wajah nyonya yang menjadi ibu gadis itu, kembali dada Kui Eng berdebar. Dimanakah ia pernah melihat nyonya tua ini? Syah gadis itu bertubuh pendek gemuk dan wajahnya riang, akan tetapi ia merasa asing dan tak pernah melihat wajah itu, akan tetapi nyonya itu mempunyai wajah yang telah dikenalnya baik, hanya ia telah lupa dimana ia pernah bertemu dengannya.

Sedangkan gadis muda yang menjadi tunangan Min Tek itu, mengapa demikian mirip dengan dia sendiri? Ia teringat bahwa dulu pernah Min Tek berkata bahwa ia mengingatkan pemuda itu akan seorang yang menjadi kenangannya, maka tahulah ia kini siapa yang dimaksudkan oleh pemuda itu! Hatinya makin panas mengingat ini, sungguhpun ia merasa malu kepada diri sendiri mengapa ia merasa panas dan cemburu!

Setelah Min Tek dan ibunya pulang, Kui Eng masih saja duduk diatas genteng, bersembunyi dibelakang wuwungan yang tinggi, tidak memperdulikan matahari yang membakar kepala dan punggungnya. Tiba-tiba ia melihat gadis itu menuju ketaman bunga dibelakang rumah itu sambil membawa bungkusan pemberian Min Tek.

Kui Eng lalu melompat turun dan mengintai dari balik pohon. Ia melihat gadis itu membuka bungkusan dengan tangan gementar dan setelah bungkusan terbuka, maka didalamnya terdapat segulung sutera merah yang indah dan halus. Dengan girang gadis itu mendekap gulungan sutera didadanya sambil tersenyum dan matanya memandang keatas dengan mesra, lalu dibukanya gulungan itu dan sutera merah itu ditempelkan pada tubuhnya sambil melihatnya.

Dengan hati panas Kui Eng lalu mengambil sepotong batu dan mengajun tangannya. “Brett!” Batu itu menembus sutera yang masih dipegang oleh gadis tadi hingga menjadi robek dan berlubang. Gadis itu terkejut sekali dan melihat kain suteranya dengan heran, menyesal dan kecewa.

Hampir ia menangis dan memandang ke kanan-kiri karena tidak tahu mengapa kain itu tiba-tiba bisa berlubang. Ketika ia berpaling kebelakang, tiba-tiba ia melihat Kui Eng berdiri sambil tolak pinggang dan tersenyum mengejek.

“Demikianlah! Tanpa kau sadari kaupun mengoyak hatiku, seperti kain suteramu itu!” kata Kui Eng hingga gadis itu menjadi terheran sekali.

Terutama ketika ia melihat bahwa gadis baju hijau itu mempunyai wajah yang mirip sekali dengan wajahnya sendiri. Kalau hal ini terjadi diwaktu malam, tentu gadis itu akan berteriak ketakutan dan menyangka melihat setan, akan tetapi oleh karena hari itu masih siang dan terang sekali, maka ia lalu melangkah maju dengan mata terbelalak lebar.

“Cici... kau... kau siapakah...? Bagaimana kau bisa masuk kesini dan... dan apakah arti kata-kata mu tadi...?” Gadis itu memandang kembali kepada kain suteranya yang berlubang.

“Dengarlah, namaku Kui Eng dan kau boleh katakan kepada tunanganmu itu bahwa aku takkan dapat mengampuni diriku sendiri karena ketololanku!” Sambil berkata demikian. Kui Eng membalikkan tubuh dan hendak pergi dari tempat itu.

Akan tetapi, tiba-tiba gadis itu menjerit dan berseru, “Enci Kui Eng... benarkah...? Kaukah ini...?”

Kui Eng memandang heran ketika ia membalikkan tubuhnya dan ternyata bahwa gadis itu menjadi pucat sekali, kemudian gadis itu berseru keras,

“Ibu... ibu... enci Kui Eng telah datang...!” Karena teriakannya nyaring sekali, maka terdengar dari dalam rumah dan tak lama kemudian, keluarlah nyonya yang menjadi ibu gadis itu bersama suaminya yang gemuk...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.