Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 19

Novel silat Mandarin karya Stevanus S P. Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 19 (Tamat)

Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 19 - Deng Hu-koan di tengah-tengah pasukannya tersenyum, "Bagus, kemenangan ini akan mengobarkan semangat pasukan kami...." Ia ikut bergeser maju bersama gerak maju pasukannya.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

Tek Un-hap yang sepasang ruyung bajanya sudah mengepruk belasan kepala prajurit Manchu, dan kini juga sedang berhadapan dengan seorang "raksasa" Manchu yang bersenjata tombak-trisula, berseru dengan garang, "Maju terus! Pecahkan pasukan mereka!”

Tidak jauh dari Tek Un-hap, Pun Liok yang bertubuh pendek-gempal dan bersenjata gada Kim-kong, juga berteriak-teriak menyemangati prajurit-prajuritnya. Dia sendiri ada di garis paling depan mengamuk di antara prajurit-prajurit Manchu.

Di bagian lain, Ong Ling-po juga mendesak maju, la tidak gembar-gembor seperti Tek Unhap atau Pun Liok, ia tetap maju dengan penuh perhitungan. Dia pun menganggap mundurnya orang-orang Manchu itu sesuatu yang wajar. Pertama, kalah dalam jumlah. Kedua, matahari saat itu sudah agak miring di sebelah barat dan pasukan Manchu menghadap ke arah barat, sehingga tentunya mata mereka silau.

“Kejar mereka terus rapati mereka. Jangan sempat mereka menggunakan meriam-meriam dan bedil-bedil mereka!”

Pasukan Manchu terus mundur. Tidak mundur banyak, tetapi sedikit demi sedikit. Mundur satu garis, lalu bertempur dengan gigih, lalu mundur satu garis lagi, bertempur gigih lagi. Seolah ingin memperlihatkan bahwa mereka sebetulnya tidak ingin terdesak namun terpaksa terdesak.

Sama dengan pemimpin-pemimpin Pelangi Kuning lainnya, Yo Kian-hi mula-mula juga menganggap gerak mundur musuh itu sudah semestinya. Dan dalam pertarungan pribadinya dengan Yim Mo, ia tidak menjadi besar kepala merasa mampu mendesak Yim Mo, ia anggap Yim Mo berulang-kali mundur karena menyesuaikan diri dengan gerakan seluruh pasukan.

Tetapi Yo Kian-hi pada kesempatan-kesempatan tertentu sempat memperhatikan prajurit-prajurit Manchu, dan Yo Kian-hi menemukan sesuatu yang mengusik hatinya. Ia melihat prajurit-prajurit Manchu itu dalam gerak-surutnya tidak menjadi semakin buruk keadaannya. Barisan mereka tetap utuh, tidak tercerai-berai, dan keadaan mereka tidak menunjukkan benar-benar memerlukan gerakan mundur itu.

Kadang-kadang kalau pasukan Manchu itu bertahan di suatu garis, mereka mampu menahan gelombang Pelangi Kuning dengan baik, bahkan nampaknya agak kelebihan tenaga untuk menyerang balik dan mendesak balik ke depan. Lucunya, malahan mereka mundur satu garis lagi. Yo Kian-hi mulai curiga. Tetapi ia tidak dapat terlalu memecah konsentrasinya, sebab di hadapannya masih ada Yim Mo yang berbahaya.

Yim Mo sendiri sedikit demi sedikit mulai runtuh kesombongannya. Tadinya dia yakin dapat menumpas Yo Kian-hi dengan tangan kosong seandainya Yo Kian-hi memakai sepasang pedangnya sekalipun. Sekarang dia diam-diam bersyukur dalam hatinya bahwa sepasang pedang Yo Kian-hi itu tetap tersimpan di sarungnya, dan Yo Kian-hi menghadapinya dengan tangan kosong.

Dan sekarang pun Yim Mo merasa beratnya Yo Kian-hi. Untung kelicinan dan kelenturan tubuh Yim Mo yang luar biasa itu masih bisa menyelamatkannya dari amukan dahsyat Yo Kian-hi. Suatu kali, sebuah tebasan telapak tangan Yo Kian-hi menyerempet rusuk Yim Mo. Tidak kena telak, hanya menyerempet dan merobek pakaian Yim Mo, tetapi "serempetan" itu membuat rusuk Yim Mo nyeri.

Pengalaman berbahaya itu membuat Yim Mo tidak lagi berani bertahan dengan gengsinya. Tadi ia dengar pengakuan Yo Kian-hi yang katanya sudah membunuh O Yok-ma, adik seperguruan Yim Mo, dan mulanya Yim Mo menganggap kata-kata itu hanya sebagai bualan, tetapi sekarang dia yakin bahwa Yo Kian-hi tidak membual. Ia tidak ingin menyusul adik seperguruannya, karena itu dia melompat mundur dan melepaskan senjatanya dari pinggangnya.

Sehelai cambuk yang terdiri dari anyaman tiga kulit tipis, panjangnya dua meter, dan tiap sejengkal dari panjang cambuknya itu terdapat paku-paku besi yang melengkung, bukan berkilat keputih-putihan, melainkan keungu-unguan, tanda bahwa paku-paku itu sudah direndam racun yang amat ganas.

Yo Kian-hi tidak menunggu sampai kulitnya tersentuh oleh paku-paku beracun pada cambuk lawan itu, langsung menghunus sepasang pedangnya. Demikianlah, pertempuran mereka semakin sengit di tengah-tengah banyak pertempuran lainnya.

Sementara itu, pasukan Manchu mundur tiga empat kali lagi, namun suatu kali tiba-tiba terdengar aba-aba, dan pasukan Manchu itu memecah diri jadi tiga bagian. Tengah, sayap kanan dan sayap kiri, mereka juga membentuk diri menjadi tiga buah pasukan yang berbaris memanjang, bukan melebar melintang membendung lawan. Dengan demikian, mengubah dari "bendungan" yang menahan arus menjadi tiga "perahu" yang memanjang sejalan dengan arus.

Deng Hu-koan bingung dan tidak tahu bagaimana menanggapi perubahan di pihak lawan itu, begitu pula Yo Kian-hi dan pemimpin-pemimpin Pelangi Kuning lainnya.

“Hati-hati, jangan terlalu mendesak!” itu perintah Yo Kian-hi kepada bagian pasukannya yang dipimpinnya.

“Terus gempur dan kejar!” itu perintah Tek Un-hap kepada orang-orangnya. “Tak peduli musuh mau jungkir-balik bagaimanapun juga, hari ini mereka tidak akan bisa menyelamatkan diri dari kita!”

"Tetap tekan tetapi perhatikan setiap perubahan!” Ong Ling-po ternyata punya "selera" yang lain lagi menghadapi perubahan itu.

Untung Pun Liok hanyalah komandan bawahan Ong Ling-po, tindakannya mau tidak mau harus disesuaikan dengan Ong Ling-po. Kalau tidak, tentu ia akan mengeluarkan abaaba yang berbeda pula. Beberapa saat memang bentuk medan pertempuran menjadi agak kacau.

Pihak Manchu seolah membagi dataran itu menjadi tiga bagian, sehingga ada tiga pertempuran di situ. Juga dengan posisi membujur itu, pihak Manchu menolong sebagian dari prajuritprajuritnya dari posisi menghadap matahari yang merugikan.

Sambil tetap bertempur gigih dengan Yim Mo, Yo Kian-hi tetap belum bisa menebak pasti apa maksud musuh dengan mengubah bentuk barisan jadi macam itu. Satu-satunya manfaat yang baru kelihatan di pihak lawan adalah tidak menghadap sinar matahari yang semakin miring di sebelah barat.. Waktu itulah di tengah-tengah pasukan lawan tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring memanjang.

“Apa lagi ini?" desis Yo Kian-hi. Waktu itulah dari hutan di sebelah timur dataran tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi terasa bergetar, sepuluh ribu ekor kuda gurun pasir yang tegar dengan penunggangpenunggangnya yang gagah perkasa, berderap dahsyat menerjang pasukan Pelangi Kuning. Prajurit-prajurit berkuda itu adalah orangorang Mongol.

Mereka tidak berseragam, melainkan memakai pakaian orang-orang padang Mongol yang khas, jaket pendek dari kulit binatang berbulu dan juga topi kulit yang menutupi kuping. Kalau orang Manchu dikucir satu, orang Mongol dikuncir dua.

Prajurit-prajurit berkuda yang punya sejarah membanggakan ratusan tahun yang silam itu, ketika bersama-sama Jengish Khan menjarah sampai Eropa, sekarang menjadi bagian dari angkatan perang Manchu.

Ketika bangsa Manchu menggeliat lepas dari kekuasaan raja dinasti Beng, Sin-cong (157-1620 ) untuk mendirikan negeri merdeka dibawah Thai-cu, bangsa Manchu sadar tidak mungkin sendirian menghadapi bangsa Han yang sepuluh kali lipat lebih banyak jumlahnya itu.

Mereka merangkul suku-suku Mongol yang tercerai-berai di sebelah barat wilayah mereka, dan banyak jago-jago perang berkuda Mongol yang menjadi prajurit Manchu. Dengan demikian pasukan Manchu punya pasukan berkuda yang tangguh. Tetapi bukan itu saja, orang-orang Manchu juga mengusir orangorang Jepang yang menjajah Korea, sehingga orang-orang Korea merasa "berhutang budi" dan banyak juga yang menjadi prajurit-prajurit Manchu.

Kalau orang-orang Manchu berkuda dan perang gerak cepat di dataran, maka orangorang Korea adalah ahli dalam perang di pegunungan sesuai dengan alam negeri asal mereka. Orang-orang Korea itu menyelusup masuk ke Tiong-goan dan kemudian bersembunyi di pegunungan jauh sebelum Sanhai-koan "dijual" oleh Bu Sam-kui.

Kelompok kelompok kecil prajurit asal Korea itu mampu berjalan di malam hari di pegunungan, tanpa obor, hanya mengandalkan "petunjuk" bintang di langit, dan tepat sampai ke sasarannya. Demikianlah, dengan memiliki pasukan berkuda dan pasukan gunung andalan, orang-orang Manchu mempunyai banyak kejutan buat lawan-lawan mereka.

Melihat munculnya pasukan berkuda itu, Yo Kian-hi sadar, rupanya maksud pasukan Manchu memecah diri jadi tiga itu adalah untuk memberi jalan di tengah-tengah dataran itu, bagi pasukan berkuda yang bergerak bagaikan angin puyuh itu.

Kini, orang-orang Mongol itu menerjang dengan ganas celah-celah di antara ketiga pecahan pasukan Manchu itu, dan menyerbu langsung kepada pasukan Pelangi Kuning. Menghadapi pasukan berkuda, sudah tentu prajurit-prajurit Pelangi Kuning jadi panik tak keruan. Yang harus mereka hadapi bukan hanya senjata si penunggang kuda, tetapi juga injakan kaki kuda yang bisa merontokkan tulang itu.

Deng Hu-koan mencoba mengatur perlawanan prajurit-prajuritnya sebisa-bisanya. Sebentar ia teriakan agar menyapu kaki kuda, di lain saat memerintahkan agar memanah dan sebagainya. Ada juga prajurit-prajuritnya yang melakukan itu, dan ada hasilnya, artinya ada prajurit Mongol yang dijatuhkan dari kudanya dan ada pula yang kena panah, tetapi hasil yang sedikit itu sama sekali tidak berhasil menahan gerak-maju pasukan berkuda Mongol itu. Jauh lebih banyak prajurit Pelangi Kuning yang menjadi korban.

Cara bertempur yang digunakan prajuritprajurit berkuda itu pun beraneka ragam. Kadang-kadang dua prajurit berkuda memacu kudanya sejajar, sambil memegangi seutas tali panjang, satu dipegang penunggang kuda yang di sini dan satu yang di sana, dan tali itu menyapu roboh prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang mereka lewati.

Kalau musuh-musuh sudah roboh, penunggang kuda di belakangnyalah yang "menuai" entah dengan pedang, tombak atau cukup dengan injakan kuda tunggangan mereka. Yang dituai tentu saja adalah musuh-musuh yang roboh itu. Tek Un-hap menjadi gusar melihat prajurit-prajuritnya diobrak-abrik macam itu.

Waktu itu, ia baru saja "menyelesaikan" lawannya, perwira Manchu bertubuh raksasa yang bersenjata tombak-trisula itu, dan sekarang Tek Un-hap dengan berani menghadang penunggang-penunggang kuda itu sambil menggenggam erat sepasang ruyung bajanya. Seorang prajurit Mongol menerjang datang dengan kudanya, sambil mengayunkan pedang khas orang Mongol yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit.

Tek Un-hap menangkis dengan satu ruyungnya, dengan ruyungnya yang lain ia gebuk kuda tunggangannya sehingga kuda itu meringkik dan roboh melemparkan penunggangnya, dan penunggangnya yang sudah jatuh ini tentu gampang digebuk pula. Beberapa prajurit Mongol dapat Tek Un-hap perlakukan seperti itu, tapi bagaimanapun dia hanya seorang diri, dan tindakannya yang hebat itu tidak berarti buat gerak maju pasukan berkuda musuh.

Seorang prajurit berkuda berpacu menyambar Tek Un-hap. Senjatanya adalah sebatang tongkat besi sepanjang tiga-perempat meter, disambung rantai tiga perempat meter juga, dan ujungnya adalah bola besi berdiri. Senjata yang biasa digunakan kesatria-kesatria berkuda Eropa.

Dan melihat prajurit berkuda ini berambut agak pirang, barangkali ia mungkin berdarah campuran Mongol-Rusia. Sambil berpacu mendekat, ia sudah memutar-mutar senjatanya itu berdesing-desing di atas kepalanya. Begitu dekat, bola besi berduri itu menyambar ke kepala Tek Un-hap.

Tek Un-hap menangkis dengan ruyungnya yang kiri, tetapi terlibat rantai, ia terseret beberapa langkah karena kuda lawannya berpacu terus. Tek Unhap kerahkan tenaganya dan membetot ruyungnya. Lawannya tiba-tiba melepaskannya, sehingga Tek Un-hap bukan hanya berhasil mendapat kembali ruyungnya, tetapi senjata lawannya yang membelit ruyung itu ikut terluncur ke arahnya.

Tek Un-hap terkejut, senjata-senjata itu bisa menghantam wajahnya sendiri. Dan ternyata orang Mongol berambut pirang itu juga melontarkan dirinya sendiri dari pelana kudanya, dengan dua lengan terkembang langsung hendak memeluk pinggang Tek Unhap.

Tek Un-hap terpaksa membuang ruyung kirinya, tapi saat itulah pinggangnya terlibat lengan-lengan yang kuat dari orang Mongol itu. Agaknya si Mongol ini adalah jago gulat. Belum sempat Tek Un-hap berbuat apa-apa, dia sudah dibanting ke tanah.

Tek Un-hap tahu ruyungnya jadi tidak berguna kalau diajak bergulat macam itu, maka dia pun melepaskan ruyung kanannya sekalian, dan balas menggelut musuhnya sambil mengeram, "Mau mengajak bergulat? Baik!”

Lepas dari Tek Un-hap yang mendapat "kesibukan" baru, seluruh pasukan Pelangi Kuning tercerai-berai berantakan diterjang pasukan berkuda itu. Untuk menyelamatkan sisa-sisa pasukannya, Deng Hu-koan mengeluarkan perintah mundur. Dan kali ini mundurnya sudah tidak mudah. Pasukan Manchu terus menguber, baik pasukan jalan kakinya maupun pasukan berkudanya.

Bahkan regu senjata api yang tadi menghilang beberapa saat, sekarang muncul kembali dan mulai hendak mengambil posisi lainnya. Deng Hu-koan merasa dadanya sesak melihat semuanya itu. Ia menoleh ke kiri kanan, mencari perwira-perwira rekannya untuk diajak membagi pikiran. Tetapi tidak ada yang kelihatan. Semuanya punya "acara" sendiri-sendiri.

Ketika Deng Hu-koan melihat ke langit, dia lega melihat langit mulai gelap. Ia berharap, prajurit-prajurit musuh akan kelelahan seperti juga prajurit-prajuritnya sendiri, sehingga mereka akan menghentikan pertempuran. Biasanya begitu. Harapan tidak menjadi kenyataan.

Orang-orang Manchu tidak mempedulikan hari yang gelap, mereka terus merangsek maju. Bahkan ketika pasukan Pelangi Kuning mendaki lereng bukit, pasukan Manchu terus membayanginya dengan ketat. Di atas lereng, prajurit Pelangi Kuning sudah menyiapkan balok dan batu yang akan digulingkan ke bawah bila diserbu musuh, itu sudah disiapkan sejak kaum Pelangi Kuning membangun pertahanan di situ.

Tetapi sekarang batu-batu dan balok-balok itu sudah tidak dapat digunakan lagi. Di lereng bukit, prajurit Pelangi Kuning dan prajurit Manchu bercampur aduk tanpa terpisah garis yang tegas. Kalau balok dan batu digelundungkan, bukan cuma musuh yang kena, teman sendiri pun bisa kena.

Deng Hu-koan tidak dapat mengendalikan seluruh pasukannya lagi. Yang bersama-sama dengannya saat itu hanya ada puluhan prajurit yang bertempur terus sambil mendaki lereng. Bagian-bagian pasukan yang lain entah di mana. Hari sudah gelap, dan rasanya di seluruh lereng yang luas itu terdengar suara pertempuran.

Apa boleh buat, Deng Hu-koan harus mengakui kenyataan, bahwa kubu pertahanan pihaknya di tempat itu sudah terpukul pecah hanya dalam waktu satu hari. Ia dan pasukannya mundur dalam kelompok-kelompok kecil yang tidak dapat saling berhubungan karena mengambil jalan sendiri-sendiri.

Desa yang dijadikan markas Jenderal Lau itu sudah diduduki pasukan "misterius" yang beberapa malam sebelumnya menyerang dan hampir berhasil membunuh Jenderal Lau. Sekarang setelah menduduki desa, ternyata mereka tidak misterius lagi. Mereka mengenakan seragam prajurit Manchu.

Dan yang jadi wakil komandannya ternyata tidak asing lagi bagi penduduk desa itu. Dia bukan lain si "saudagar beras" yang sekarang berseragam perwira. Senjatanya yang berupa rantai panjang dengan bandringan besi melibat pinggangnya.

Sementara itu, selat gunung yang semula menjadi kubu pertahanan Pelangi Kuning, esok paginya sudah sepenuhnya dikuasai pasukan Manchu. Tetapi yang berkibar-kibar adalah bendera Kerajaan Beng. Siang hari itu, sebuah rombongan kecil penunggang kuda mendekati desa itu dari arah timur. Kuda-kudanya dilarikan perlahan, memberi kesan santai, tidak tegang.

Yang menunggang kuda paling depan adalah Bu Samkui, dalam seragam mentereng panglima Kerajaan Beng, berkuda berdampingan dengan Ang Seng-tiu yang berseragam jenderal Manchu. Di belakang mereka adalah perwiraperwira bawahan mereka, dan bendera yang dibawa adalah bendera Kerajaan Beng.

Rombongan itu memasuki desa, disambut oleh si "saudagar beras" yang nama aslinya adalah Au Cek-ceng, pangkatnya Cian-bu dalam ketentaraan Manchu. Rombongan langsung menuju ke depan rumah Kepala Desa, di mana ada alun-alun. Di alun-alun kecil itu, seluruh penduduk desa sudah berkumpul. Tua-muda, lelaki-perempuan, dewasa-anak-anak. Semuanya, termasuk Kepala Desanya sendiri.

Disekeliling lapangan, prajurit-prajurit Manchu bawahan Au Cek-ceng berjaga-jaga. Prajurit-prajurit ini kebanyakan adalah keturunan Korea, mereka adalah bagian dari "pasukan gunung" yang tugasnya menteror garis-belakang kaum Pelangi Kuning. Meskipun demikian, si komandan adalah tetap orang Manchu asli. Begitu pula pasukan berkuda Mongol itu komandannya juga tetap dipegang orang Manchu.

Penduduk desa itu nampak takut-takut semuanya. Meskipun Au Cek-ceng sudah memesan prajurit-prajuritnya untuk bersikap ramah kepada penduduk, namun penduduk desa tetap nampak takut-takut. Dan juga sedih. Dua kali desa mereka menjadi ajang pertempuran, dan puluhan warga desa sudah menjadi korban. Mereka yang kehilangan anggota keluarga, sudah tentu sulit disuruh bermuka cerah.

Siang itu, Bu Sam-kui berpidato di depan penduduk desa. Secara singkat pidatonya berisi pembenaran dirinya sampai mengundang "sahabat-sahabat dari timur laut" yang "datang untuk menolong dan bukan untuk menjajah", tak ketinggalan tentu saja adalah caci-maki pihak Pelangi Kuning sebagai perampok-perampok.

Mendengar itu, ada sebagian penduduk yang mengangguk-anggukkan kepala menyetujui. Mereka memang merasakan bedanya. Ketika Jenderal Lau bermarkas di desa itu, penduduk dirugikan karena dirampas bahan makanannya dan ada beberapa wanita yang diperkosa. Sekarang mereka melihat prajurit-prajurit Manchu ini kelihatannya lebih berdisiplin, lebih tertib, meskipun muka mereka dingin seperti topeng kayu.

Kemudian yang naik panggung untuk berpidato adalah tokoh yang sudah dikenal akrab oleh penduduk desa itu, si "saudagar beras" Au Cek-ceng yang kini ternyata begitu gagah dalam seragam perwira Manchu-nya. Au Cek-ceng, dengan bahasa yang lebih terangterangan, menyatakan bahwa bangsa Manchu datang untuk menolong, bukan menindas.

Sebagai bukti pertama, Au Cek-ceng mengatakan bahwa hari itu akan ada pembagian beras gratis buat penduduk. “Saudara-saudara, kalian sudah bertahun-tahun hidup bersama-sama denganku, dan aku sudah kalian limpahi dengan keramah-tamahan dan keakraban, sehingga rasanya aku berada di kampung halaman sendiri..." kata Au Cek-ceng mempesona.

“Ketika perampok-perampok itu datang, aku tahu bahwa mereka akan merampas beras-beras yang aku simpan buat kalian. Maka aku menyembunyikan sebagian beras-beras itu dan hanya memberi sedikit buat mereka untuk mengelabuhi mereka. Sekarang, kami akan membaginya buat kalian..."

Kali ini mau tidak mau ada beberapa penduduk desa yang bertepuk tangan. Tetapi berasnya sendiri masih "ngumpet" dan tidak segera dibagikan. Masih ada sebuah pidato Au Cek-ceng yang kali ini bernada ajakan. Mula-mula perwira Manchu ini dengan fasih menggambarkan betapa menderitanya desa-desa lain yang belum dibebaskan dari kaum Pelangi Kuning.

Lalu berkata bagaimana pihak Manchu sebagai suku lain di luar perbatasan saja sampai "tersentuh hatinya" dan memasuki Tiong-goan untuk menolong, tentunya penduduk desa itu sebagai sesama bangsa Han tidak pantas kalau hanya berpeluk tangan. Maka Au Cek-ceng menghimbau pemuda-pemuda di desa itu untuk bergabung sebagai tenaga tempur.

Mereka dijanjikan akan diberi gaji, dan kelak mendapat kedudukan sebagai prajurit dari pemerintahan yang baru setelah kaum Pelangi Kuning didepak dari Pakkhia nanti. Dan tidak dijelaskan lebih lanjut "pemerintahan yang baru" itu berbendera apa dan pemerintahan siapa. Kalau perkara pembagian beras tadi memperoleh tepuk tangan biarpun tidak terlalu meriah, maka perkara ajakan menjadi prajurit ini ditanggapi adem-ayem saja.

Tetapi Au Cekceng juga tidak tersinggung atau gusar, bahkan dengan simpatik berkata, "Karena urusan ini menyangkut sesuatu yang amat penting, bahkan bisa saja kehilangan nyawa, maka silakan pikirkan matang-matang dan tidak perlu terburu-buru menjawab sekarang. Bahkan seandainya dari desa ini tidak ada seorang pun yang mendaftar menjadi prajurit, pembagian beras tetap tidak dibatalkan. Kami memang datang untuk menolong, bukan mempersulit..."

Begitulah, hari itu dilaksanakanlah pembagian beras. Sore harinya, ke desa itu datang serombongan prajurit berjumlah dua ribu orang. Rombongan yang datang ini mempengaruhi keputusan banyak pemuda desa setempat yang tadinya acuh tak acuh menanggapi ajakan menjadi prajurit dari Au Cek-ceng.

Pasalnya, pasukan yang datang ini terdiri dari prajurit-prajurit baru pemuda-pemuda bangsa Han dari desa-desa sepanjang jaian-raya San-hai-koan sampai Pak-khia, bahkan juga ada pemuda-pemuda dari desa pelosok, yang telah direkrut oleh pihak Manchu, diberi seragam, diberi senjata dan dilatih kemiliteran.

Di antara anggota pasukan ini banyak yang sudah kenal dengan pemuda-pemuda desa setempat, dan dalam percakapan-percakapan, mereka membangkitkan minat pemuda-pemuda desa setempat.

“He, A-hwe, kenapa kau memilih jadi serdadu?”

“Habis, ladang orang tuaku di pegunungan terlalu sempit dan tidak subur, sedang anak-anak Ayahku banyak jumlahnya. Ladang sesempit itu dikerjakan beramai-ramai oleh orang sebanyak itu, ya hasilnya tentu amat tidak memadai. Kebetulan aku dengar ada pendaftaran serdadu-serdadu baru, aku pun mendaftarkan diri. Eh, siapa tahu kelak bisa jadi jenderal dan mendapat masa depan yang gemilang...”

“Kalau mati?”

“Semua orang kan harus mati? Kerja di ladang, kalau hasilnya terus dirampasi kaum Pelangi Kuning untuk perbekalan perang, kan lama-lama mati juga? Mati kelaparan? Daripada mati kelaparan kan lebih baik mengadu nasib sedikit, membonceng pihak yang lagi berkuasa? Sambil berbuat sedikit kebaikan juga, yaitu membebaskan negeri dari kaum Pelangi Kuning...”

“Tetapi kenapa dandananmu seperti serdadu asing? Rambutmu pakai dikuncir segala, dan memakai caping rotan seperti mereka...”

“Ah, ini? Ini kan bukan perkara yang penting. Ini hanya sekedar membedakan mana yang pihak kita dan mana yang di pihak lawan, di dalam pertempuran. Kalau dalam pertempuran, kedua pihak seragamnya sama, kan bikin susah? Salah-salah bisa membacok kawan sendiri...”

“Hanya sementara, begitukah?”

“Nah, betul itu. Kelak kalau kaum Pelangi Kuning sudah dibersihkan dari seluruh negeri, dan prajurit-prajurit Manchu itu sudah pulang ke Liau-tong, ke negeri mereka sendiri, apa susahnya memotong rambut kuncir ini dan kembali ke dandanan orang Han?”

“Mudah-mudahan kelak segala sesuatunya terjadi semudah seperti yang kau katakan itu...”

“Itu pasti. Dan makin banyak pemuda-pemuda bangsa Han yang ada dalam ketentaraan Manchu, makin kuat posisi bangsa Han kita. Itu sebabnya ajak teman-temanmu mendaftar...”

“Tetapi aku tidak bisa berkelahi.”

“Kalian akan dilatih."

Hasilnya, keesokan harinya, ada dua puluh orang pemuda desa itu menemui Au Cek-ceng untuk didaftar sebagai calon prajurit. Esok lusanya, menyusul lima belas orang lagi. Begitulah tentara Manchu menambah kekuatannya dengan pemuda-pemuda bangsa Han sendiri. Penguasa Manchu sadar bahwa orang-orang bangsa Manchu sendiri terlalu sedikit untuk menguasai negeri bangsa Han yang tanahnya luas dan jumlah penduduknya puluhan kali lipat dari penduduk Manchu sendiri.


Hari mulai gelap, ketika Helian Kong seorang diri melangkah mendekati sebuah kampung terpencil di sebelah selatan kota Pakkhia. Di kampung itulah Helian Kong menaruh isterinya yang sedang mengandung, yaitu Siangkoan Yan, juga mertuanya yang sudah lanjut usia, Siangkoan Hi yang bekas menteri dinasti Beng, dijaga oleh Siangkoan Heng, kakak laki-laki Siangkoan Yan.

Helian Kong ini secara resmi masih menjadi buronan kelas kakap dari pemerintah Pelangi Kuning, meskipun "di belakang layar" ada banyak tokoh-tokoh Pelangi Kuning seperti Tan Wan-wan, Jenderal Li Giam, Yo Kian-hi bahkan Kaisar Tiong-ong sendiri, yang mencoba menarik keuntungan dari Helian Kong dengan berbagai cara politis mereka.

Karena secara resmi Helian Kong adalan buronan, maka dalam menuju desa itu Helian Kong dalam penyamaran, la berpakaian dekil, memakai topi rumput yang sudah robek-robek pinggirannya. Pedang Elang Besinya yang tidak pernah ketinggalan itu di-bungkus-digulung dengan tikar butut dan digendong bersama buntalan pakaiannya.

Ia benar-benar berpenampilan tak berbeda dengan pengungsi-pengungsi yang mengalir dari arah timur. Kabar perang sudah berkecamuk di wilayah timur membuat rakyat yang ketakutan mau tidak mau harus mengungsi menjauhi ajang kemelut. Helian Kong tiba di rumah yang di ujung desa, dan lega begitu melihat saudara-iparnya, Siangkoan Heng, sedang membelah kayu bakar. Nampaknya tidak terjadi sesuatu dengan seisi rumah.

Siangkoan Heng sendiri gembira menyambut kedatangan Helian Kong. Seisi rumah menyambut Helian Kong, dan malam itu mereka berkumpul di seputar meja makan dari kayu kasar, sekasar bangunan rumah itu yang berdinding tanah-liat dan beratap ilalang. Empat orang itu, Helian Kong, Siangkoan Yan, Siangkoan Hi dan Siangkoan Heng, berbincang-bincang seusai makan malam.

Siangkoan Hi yang adalah bekas menteri kerajaan Beng yang sampai saat itu masih 30 mencintai negerinya, meneteskan air mata ketika selesai mendengar cerita Helian Kong. Anak-anaknya dan menantunya sama-sama memalingkan wajah, tidak tahan melihat air mata mengalir melewati kulit pipi yang sudah keriput itu.

“Di antara bangsa Han, sudah tidak adakah pemimpin-pemimpin yang punya otak?" keluh Siangkoan Hi dengan suara gemetar.

“Bu Sam-kui yang begitu mudah dibohongi oleh orang yang menyamar sebagai kau, Helian Kong, dan Lau Cong-bin yang sampai tertipu oleh seorang yang sekian lama menjadi perwira andalannya?" Dalam kesalnya, Siangkoan Hi memaki tidak peduli golongan sisa dinasti Beng atau kaum Pelangi Kuning. “Di mana pasukanmu?" Siangkoan Yan bertanya.

“Aku pencarkan dulu, dan aku beri waktu hari untuk berkumpul kembali di sebuah bukit, sepuluh li sebelah selatan tempat ini. Mungkin ada di antara mereka yang ingin lebih dulu menengok keluarganya...”

“Rusakkah keadaan pasukanmu setelah peristiwa di desa itu?"

Helian Kong menarik napas, "Sangat parah. Tiga perempat dari pasukanku tewas keracunan atau kena bahan peledak yang dipasang. Sekarang tinggal seperempat yang membutuhkan penyegaran, lahir maupun batin...”

“Mudah-mudahan Li Cu-seng mampu menahan majunya tentara Manchu, bahkan kalau perlu mengusirnya kembali keluar Tembok Besar. Aku membenci Li Cu-seng ketika ia merobohkan dinasti Beng, tetapi sekali ini aku mendoakan kemenangannya..." desis Siangkoan Hi.

“Mudah-mudahan..." sambung Siangkoan Heng.

"Tetapi agak mencemaskan, mengingat yang bisa diandalkan Li Cu-seng sekarang ini hanyalah si jenderal otak-kerbau Gu Kim-sing. Seandainya Li Giam belum terlanjur dikirim ke barat laut..."

"...dan seandainya pasukan-pasukan dinasti Beng yang berpencaran dan bersembunyi di sekitar Pak-khia ini bisa dihubungi dan digabungkan, tidak ada salahnya kita bekerjasama dengan Li Cu-seng untuk membendung Manchu...”

“Setelah peristiwa di desa yang hampir menghabiskan pasukan Helian Kong itu, Ayah masih berpikir untuk bekerja-sama dengan berandal-berandal Pelangi Kuning yang tidak tahu aturan itu?”

“Masalahnya, kita harus mengutamakan keselamatan tanah-air, jangan sampai dikuasai Manchu. Mungkin kita tidak harus di bawah perintah Li Cu-seng, tetapi setidak-tidaknya bisa membantu secara diam-diam dengan menggerilya garis belakang pasukan Manchu sehingga gerak maju mereka terhambat."

Lalu Siangkoan Hi mengarahkan pandangannya kepada Helian Kong. Sang menantu merasa, bahwa sang mertua menaruh harapan atas dirinya untuk mengerahkan sisa-sisa pasukan dinasti Beng agar ikut ambil 3bagian membendung musuh.

Tetapi Helian Kong sendiri menjawab lesu, "Aku ingin melakukan itu, Ayah, ingiiiiin sekali. Aku bersedia melupakan peristiwa di desa itu dan bahu-membahu kembali dengan kaum Pelangi Kuning, tetapi prajurit-prajuritku... rasanya harus menyembuhkan dulu luka hati mereka. Luka-luka di kulit mereka bisa sembuh dalam beberapa hari, tetapi luka-luka di hati, entah berapa tahun sembuhnya... atau bahkan takkan pernah sembuh sama sekali..."

Siangkoan Hi menarik napas. “Selain pasukanmu, pasukan siapa yang kira-kira bisa kau hubungi?”

“Sudah sejak dulu aku berusaha mencari tahu di mana Kongsun Hui dan pasukannya, begitu juga Song Sin-pian dan lain-lainnya, tetapi mereka seperti amblas ditelan bumi.”

“Itu artinya, kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi..." Siangkoan Heng memupus harapan Ayahnya. “Kita tinggal bisa berdoa supaya Li Cuseng kali ini seberuntung ketika merebut pemerintah dulu. Dia sudah mampu merebut, 3sekarang kita lihat apakah dia mampu mempertahankannya..." Kata-kata Siangkoan Heng agaknya terlalu keras buat ayahnya.

Helian Kong bisa memaklumi kemengkalan Siangkoan Heng setelah mendengar cerita Helian Kong tentang bubur-beracun dan bahan peledak di desa itu. Sedang yang dipikirkan Siangkoan Hi hanyalah bagaimana masih bisa menyelamatkan yang tersisa.

Helian Kong jadi kasihan kepada ayah mertuanya, lalu menghiburnya, "Ayah, bagaimanapun juga kita masih punya pengharapan. Kaum Pelangi Kuning hanya menguasai separuh wilayah di bagian utara, sedangkan separuh wilayah selatan tetap dikuasai jenderal-jenderal dan pangeran-pangeran dinasti Beng kita, masih dengan pasukan mereka yang segar dan kuat..."

Siangkoan Hi masih saja menarik napas, Helian Kong lalu menghiburnya lebih lanjut, "Ayah, marilah kita siapkan hati kita untuk memperhitungkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Taruh kata Li Cu-seng dikalahkan Man-chu, aku percaya takkan mudah bagi pihak Manchu untuk langsung menguasai seluruh wilayah utara, tentu di mana-mana terjadi perlawanan dari kaum Pelangi Kuning...”

“...yang berarti di mana-mana timbul kesengsaraan hebat buat rakyat jelata..." sambung Siangkoan Yan.

Sebagai seorang calon ibu, agaknya cara berpikir Siangkoan Yan juga mulai terpengaruh. Ia jadi kurang peduli pihak mana yang bakal menang dan bendera apa yang bakal berkibar, yang terbayangkan saat itu hanyalah ibu-ibu yang berlari-lari ketakutan menggendong atau menggandeng anak-anaknya di antara prajurit-prajurit yang saling sembelih dengan ganas mempertahankan benderanya masing-masing.

Helian Kong menoleh sebentar ke arah isterinya itu. “Maaf, Adik Yan. Maksudmu, biarkan saja negeri ini dijajah Manchu, supaya tidak terjadi peperangan?”

“Aku kan tidak bilang begitu?"

Helian Kong menarik napas sebentar, lalu melanjutkan kata-kata untuk menghibur mertuanya, "Ayah, kalau pun Manchu berhasil merebut wilayah Utara, mereka akan menang tetapi kehabisan tenaga karena sisa-sisa perlawanan kaum Pelangi Kuning... nah, saat itulah kekuatan kita di selatan bisa digerakkan ke utara untuk mengusir mereka..."

Siangkoan Yan tidak membantah lagi, tetapi terbayang penderitaan perempuan-perempuan tak berdaya. “Kau lupakan satu hal, A-kong..." kata Siangkoan Hi kepada menantunya.

“Apa, Ayah?”

“Aku percaya kekuatan kita di selatan sangat besar, tetapi itu kalau mereka bersatu..." si bekas menteri itu memberi tekanan kuat pada kata-kata "kalau mereka bersatu" itu. “Kebetulan aku secara pribadi pernah berjumpa dengan pangeran-pangeran seperti Lou-ong, Hok-ong, Kui-ong dan Tong-ong yang kau sebut-sebut itu. Dan aku sedih mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berambisi, sangat berambisi, sehingga sulit mempersatukan mereka. Kekuatan di selatan bersatu kemudian bebaskan wilayah utara, itu barangkali cuma terjadi di alam mimpi..." Suara Siangkoan Hi begitu pahit, dan tak lama lagi anak-anak atau menantunya yang menyanggahnya.

Namun Helian Kong belum berputus-asa, ia percaya suatu kali nanti akan mendapat gagasan juga. Kalau sekarang ditanyai gagasannya apa, Helian Kong sendiri hanya akan menepuk jidatnya dan tak mampu menjawab karena otaknya sedang buntu.

Begitulah, karena malam sudah larut. Mereka kemudian masuk tidur. Tetapi menjelang dinihari, desa terpencil itu seolah terbangun karena ada sebuah pasukan melewatinya. Derap sepatu para prajurit serta gemeretak roda gerobak yang didorong membangunkan penduduk, namun penduduk tidak berani keluar, hanya mengintip dari celahcelah pintu. Ternyata yang lewat itu adalah sebuah pasukan, dari arah selatan.

"Pasukan mana?" desis Siangkoan Yan yang ikut mengintip keluar di samping suaminya.

Siangkoan Hi dan Siangkoan Heng ikut terbangun pula. Helian Kong menggeleng, "Gelap, aku tidak bisa melihat pakaian mereka. Tetapi aku menduga, barangkali saja adalah pasukan Pelangi Kuning yang ditarik dari sekitar Ibukota untuk memperkuat pertahanan di Ibukota..."

Esok harinya, orang-orang desa itu gempar membicarakan pasukan yang lewat semalam. Mereka bercerita di warung di pojok desa, di sudut jalan, di halaman rumah.

“Untung mereka tidak berhenti di desa kita ini. Kalau mereka berhenti, habislah perbekalan pangan kita yang tinggal sedikit.”

“Kelihatapnya mereka tergesa-gesa dan menempuh perjalanan siang-malam.”

“Kabarnya Kaisar sendiri sudah meninggalkan Ibukota dan akan memimpin sendiri pasukannya di it-pian-sek. Pasukan yang dikerahkan sangat besar."

"Ya, inilah pertaruhan yang menentukan nasib Ibukota, setelah pertahanan yang dibangun Jenderal Lau gagal...”

“Ya, menurut beberapa pengungsi di kampung sebelah, Jenderal Lau dibawa pulang sebagai mayat...”

“Terbunuh?”

“Kabarnya, jantungnya berhenti berdenyut karena kagetnya. Bukan terbunuh di pertempuran.”

“Tetapi kabarnya pihak Manchu sendiri juga mengerahkan kekuatan yang tidak tanggung-tanggung. Ada yang pernah melihat barisan serdadu Manchu itu banyaknya seperti semut keluar dari sarangnya. Bahkan kabarnya, Panglima Tertinggi Manchu sendiri yang namanya Toh Sek-kun, sudah memasuki Tionggoan...”

“Wah, jadi di It-pian-sek sekarang berhadapan dua pasukan raksasa. Entah siapa yang bakal menang?”

“Seandainya ada Jenderal Li Giam..."

"Kasihan penduduk kota Pak-khia. Belum dua bulan yang lalu mereka mengalami perang dahsyat ketika pemerintahan beralih dari dinasti Beng ke tangan kaum Pelangi Kuning, sekarang, mereka bakal mengalami lagi perang yang tidak kalah dahsyatnya...”

“Ya, bangunan-bangunan yang terbakar belum selesai diperbaiki dan sekarang sudah harus bersiap-siap untuk terbakar lagi,..”

“Tetapi It-pian-sek itu kan di luar Pak-khia?”

“Ya. Agak jauh, tetapi kalau tentara kerajaan kalah, kan mereka akan mundur ke Ibukota dan dikejar tentara Manchu sampai ke Ibukota?”

“Lho, kok kamu malah mendoakan tentara bangsa sendiri yang kalah dan tentara asing yang menang?”

“Bukan mendoakan, tetapi... melihat pertempuran-pertempuran sebelumnya, agaknya tentara kita menghadapi pekerjaan yang sangat berat.”

“Daripada mengomel saja, kenapa kau tidak mendaftar saja jadi sukarelawan ikut menentang tentara asing?"

"Cari mati apa? Sudah susah-payah belum tentu jasaku diketahui orang.”

“Sudahlah. Bukan urusan kita.”

“Eh, perangnya bisa merembet kemari apa tidak, ya?”

“Mau mengungsi?”

“Iya. Sebelum terlambat."

Itulah yang sampai ke kuping Helian Kong. Helian Kong jadi bisa membayangkan keadaan medan perang. Pengerahan kekuatan besarbesaran di pihak Pelangi Kuning maupun di pihak Manchu, pihak Pelangi Kuning dipimpin sendiri oleh Kaisar Tiong-ong dan pihak Manchu dipimpin sendiri oleh Panglima Tertingginya sendiri, Pangeran Toh Sek-kun.

Helian Kong juga mendengar tentang Lau Congbir. yang meninggal bukan di medan perang, melainkan putus jantungnya karena kaget dan ketakutan. Selain itu, dari percakapan penduduk desa, Helian Kong jadi tahu kalau pemerintahan Pelangi Kuning pun ternyata kurang berakar di hati rakyat, rakyat mengacuhkannya, sama terhadap pemerintahan dinasti Beng dulu. Mungkin karena kelakuan tak terpuji dari pejabat-penjabatnya.

Tokoh Pelangi Kuning yang sedikit ada harganya di mata rakyat agaknya hanya Jenderal L i Giam. Sebagai bangsa Han, Helian Kong mengharapkan keberhasilan Li Cu-seng menahan musuh, tetapi otak militer Helian Kong sulit diajak membayangkan keberhasilan tentara Pelangi Kuning.

Tetapi Helian Kong tidak berdaya berbuat apa-apa. Ia tidak punya kekuatan untuk mempengaruhi satu babak sejarah yang sedang berlangsung. Yang bisa dilakukan sekarang hanyalah mengungsikan isterinya, calon anaknya yang masih dalam perut, mertuanya dan saudara-iparnya, ke tempat yang aman. Ketika Helian Kong mengajukan hal itu kepada keluarganya, semuanya setuju.

“Kita akan pergi ke arah mana?" tanya Siangkoan Hi.

“Makin ke selatan makin aman, Ayah. Selain makin jauh dari ajang kemelut, juga makin dekat dengan kawan-kawan kita di selatan. Paling bagus kalau bisa sampai di Yang-ciu, tetapi itu bisa kita pikirkan kelak karena jaraknya terlalu jauh...”

“Ya. Kau sendiri masih harus tetap mengawasi dan mengumpulkan kembali pasukanmu. Betapa kecilnya pasukanmu sekarang, itu tetaplah suatu modal yang bisa dikembangkan untuk gerakan lebih lanjut.”

“Ya, Ayah." Siang itu juga mereka berangkat meninggalkan desa itu.

Tidak banyak barang yang mereka bawa, karena mereka memang tidak punya banyak lagi. Mereka bukan lagi keluarga pembesar kerajaan. Mereka menyamar sebagai orang-orang desa yang mengungsi, seperti yang lain-lainnya. Helian Kong melangkah dengan masygul.

Helian Kong tidak berani memimpin rombongannya melewati tempat-tempat yang ramai, sebab di tempat-tempat itu biasanya ada pengumuman yang ditempelkan di tembok-tembok, dilengkapi wajah Helian Kong disertai tulisan keterangan bahwa dialah "buronan berhadiah" yang masih dicari-cari pihak Pelangi Kuning.

Helian Kong dan Siangkoan Heng yang adalah lelaki-lelaki muda, sebetulnya sanggup terus berjalan dari matahari terbit sampai matahari tenggelam. Tetapi mereka berjalan bersama Siangkoan Hi yang sudah tua, dan Siangkoan Yan, wanita yang sedang mengandung. Maka perjalanan hanya bisa dilakukan pelan-pelan.

Bahkan Helian Kong serta Siangkoan Heng kadang-kadang harus bergantian menggendong Siangkoan Hi yang sudah tua itu. Siangkoan Yan sendiri menolak untuk digendong, meski minta agar jalannya pelan-pelan.

“Nanti kalau ketemu desa, kita cari gerobak kerbau," kata Siangkoan Heng yang mulai tidak sabar akan perjalanan yang seperti siput itu.

Tidak lama kemudian, mereka benar-benar menjumpai sebuah desa kecil. Di pinggir desa ada warungnya, di warung itulah mereka beristirahat. Kepada si pemilik warung, Helian Kong bertanya,

"Pak, di desa itu apa ada yang punya gerobak sapi dan sapi penariknya sekalian, yang bisa dibeli atau dipinjam?"

Suatu keberuntungan bagi Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan, sebab si pemilik kedai itu menjawab, "Kebetulan ada. Adik iparku punya. Rumahnya ada di ujung selatan desa itu."

Helian Kong bangkit dari duduknya dan berkata kepada Siangkoan Heng, "Saudara Siangkoan, jagalah dulu Ayah dan Adik Yan, aku ambil dulu gerobak itu."

Sementara Helian Kong pergi, Siangkoan Heng menyempatkan diri mengobrol dengan pemilik kedai yang kebetulan juga sedang menganggur karena kedainya sepi sekali.

“Kedainya sepi sekali, Pak?" Siangkoan Heng mengawali.

“Ya. Sejak tersiar kabar pecahnya perang di wilayah timur, usaha jadi sepi. Banyak penduduk mengungsi sejauh mungkin dari Pakkhia. Mereka meramalkan, wilayah Pak-khia dan sekitarnya akan menjadi ajang kemelut yang panas..."

Siangkoan Heng cuma mengangguk-angguk sambil menggigit bakpaonya. Sementara si tukang warung melanjutkan keluhannya, keluhan rakyat kecil yang tidak tahu kepada siapa lagi harus mengeluh, sehingga kepada orang tidak dikenal pun berani menumpahkan uneg-unegnya yang sudah menyesak di dada,

"Kami orang-orang kecil yang di bawah ini benar-benar tidak tahu apa maunya orang-orang yang di atas, yang jadi pimpinan. Semua pihak yang bersaing, mengaku sedang memperjuangkan kami, tetapi nyatanya kami jadi korban terus. Kalau mereka menang, kami dilupakan, kalau mereka berperang, kami diikut-sertakan. Bahan makanan dirampas, bahkan pemuda-pemuda kami diambil begitu saja dan disuruh memanggul senjata, entah kelak bisa pulang hidup-hidup atau tidak..."

Siangkoan Yan yang sedang menghirup tehnya itu pun sampai tersedak dan terbatuk-batuk mendengar omongan si tukang warung.

Si tukang warung melanjutkan, "...Adik perempuanku punya dua anak laki-laki yang sudah dewasa. Yang besar, tahun ini baru mulai berumah-tangga, tetapi kedua anak laki-lakinya itu tiba-tiba saja diambil dari rumah dan kabarnya akan disuruh ke medan perang. Si menantu perempuan yang sedang hamil muda itu, sekarang sampai seperti orang gila..."

Siangkoan Hi tidak tahan lagi, ia menggebrak meja dan berkata keras, "Hem, orang bisanya cuma mengeluh dan menuntut ini-itu, tidakkah pernah terpikir sedikit pun untuk memberi sesuatu bagi tanah tumpah darah?"

Si tukang warung terkejut dan menatap tercenggang ke arah si kakek yang nampaknya tiba-tiba tersinggung itu. Namun karena saat itu Siangkoan Hi berdandan seperti rakyat jelata umumnya, si tukang warung tidak gentar, dan berkata, "Tentu saja rakyat wajib berbakti kepada penguasanya, kalau penguasa itu juga menjalankannya kewajibannya dengan baik. Bukankah Guru Besar Khong Hu-cu mengajar bahwa penguasa itu pemegang Thian-beng (mandat dari Tuhan) sebagai ayah-ibu bagi rakyatnya? Tetapi kalau tidak becus, boleh juga diadakan Pat-thian-beng (Pencabutan mandat).

"Nah, selama ini apa yang dibuat oleh penguasapenguasa terhadap rakyat? Mereka cuma memeras tenaga dan milik kami ketika mereka sedang butuh untuk mencapai tujuan mereka, dan begitu kemenangan tercapai, kami pun dilupakan. Ini kenyataan kok..."

Kali ini Siangkoan Hi lah yang terbatuk-batuk, sehingga Siangkoan Yan cepat-cepat menepuk-nepuk dan mengurut-urut punggung ayahnya, sambil membujuk, "Sudahlah, Ayah, semua orang boleh punya pendapat sendiri-sendiri, kenapa harus gusar terhadap orang yang berpendapat lain? Rakyat yang paling jelata pun boleh menyatakan isi hatinya, sebab merekalah isi negeri. Mereka kan bukan bebek yang cuma harus menurut disuruh ke sana ke mari oleh penggiringnya?"

Siangkoan Hi sudah reda batuknya, namun berkata dengan geram, "Aku tidak akan mati meram kalau masih melihat bendera Naga Berkuku Lima (bendera Manchu) berkibar di Tiong-goan ini..."

Si tukang warung tidak ingin berbantah dengan tamu-tamunya, ia tidak menjawab, namun dalam hatinya sendiri, "Kalau aku sih tidak peduli bendera apa pun yang berkibar, bahkan kalau celana kolor yang dikibarkan juga tidak peduli, asal rakyat diberi kesempatan mengenyam kehidupan yang tenteram. Tidak terus-terusan digelisahkan oleh perang yang berkecamuk..."

Helian Kong kemudian datang, menunggang sebuah pedati yang ditarik seekor sapi, tunggangan umum orang-orang desa. Ia ikut makan di warung itu, kemudian setelah membayar makanannya lalu pergi melanjutkan perjalanan. Kini Siangkoan Hi dan Siangkoan Yan bisa melanjutkan perjalanan lebih nyaman, duduk dalam pedati yang dialasi dengan jerami.

Helian Kong dan Siang-koan Heng bergantian menuntun sapi penarik pedati. Dan biarpun mereka sebenarnya juga bisa duduk di pedati, mereka rupanya lebih suka berjalan kaki untuk menjaga kesegaran tubuh mereka.

Sebelum berangkat, si tukang kedai tiba-tiba mendekat lagi, dan berkata, "Aku tidak tahu Tuan-tuan ini suka mendengar kata-kataku atau tidak, namun hati nuraniku mendorongku untuk mengatakan sesuatu kepada Tuan-tuan.”

“Apa?”

“Kalau Tuan-tuan melewati jalan ini terus ke selatan, Tuan-tuan akan menemui pos tentara pemerintah yang sedang mencari lelaki-lelaki yang sehat untuk diterjunkan ke peperangan. Kedua Tuan ini... tentunya akan terpilih, karena itu kalau Tuan-tuan tidak ingin dipaksa jadi serdadu, hindarilah jalan itu.”

“Ada jalan lain ke arah selatan?”

“Nanti kalau ketemu simpang tiga, ambil yang sebelah kiri. Jalannya kecil dan agak sukar, tetapi tidak ada tentara kerajaan yang keluyuran sampai di sana.”

“Terima kasih," sahut Helian Kong.

Mereka pun berangkat. Di dalam pedati, Siangkoan Hi mendengus hina, "Orang ini tahunya hanya cari duit saja. Tidak punya sedikit pun rasa cinta kepada tanah-air..."

Siangkoan Yan menjawab, "Sudahlah, Ayah. Orang itu hanya kecewa. Belum tentu tidak mencintai tanah-airnya.”

“Bukan seperti itu omongannya pecinta tanah-air.”

“Bagaimanapun dia orang baik, memberitahu kita apa yang terjadi di depan kita, entah bagaimanapun pendapat kita...”

“Ya, menurut dia, berbakti untuk tanah-air itu suatu bencana.”

“Sudahlah, Ayah."

Helian Kong dan Siangkoan Heng yang berada di depan pedati, tidak mau menggubris perbantahan itu, mereka punya perbincangan sendiri namun tidak bertengkar.

“Beberapa hari lagi aku akan menemui pasukanku di tempat yang sudah ditentukan. Kita semua akan menemuinya di sana."

"Kalau perjalanannya selambat ini, apa kau bisa tepat waktu di sana?”

“Mungkin aku akan jalan mendahului, lebih cepat, dan setelah aku berikan perintahperintah untuk pasukanku, aku bergabung kembali dengan rombongan ini.”

“Pasukanmu itu... mau kau suruh apa?”

“Ke Yang-ciu, melalui jalannya sendiri-sendiri, bergabung denganku. Rencananya, kami akan menempatkan diri di bawah Jenderal Su Ku-hoat."

Siangkoan Heng mengangguk-angguk, "Hanya dia orang yang bisa dipercaya saat ini."

Ternyata perhitungan Helian Kong agak salah, dengan adanya pedati lembu, biarpun jalannya jauh lebih lambat dari kereta kuda, ternyata dua hari sebelum ditentukan, mereka sudah mendekati bukit yang akan dijadikan tempat pertemuan Helian Kong dan pasukannya. Tetapi Helian Kong tidak langsung membawa keluarganya ke bukit itu, melainkan ke sebuah rumah pemburu tidak jauh dari bukit itu.

“Kenapa tidak langsung ke tempat itu? Aku masih kuat, biarpun harus tidur dua malam di alam terbuka..." kata Siangkoan Hi.

“Ayah, aku harus memeriksa tempat itu lebih dulu...”

“Buat apa?”

“Siapa tahu selama berpencaran, ada anak buahku yang kurang hati-hati lalu tertangkap kaum Pelangi Kuning dan dipaksa menunjukkan tempat ini dan menyiapkan barisan-pendam. Orang-orang Pelangi Kuning itu sikapnya bermacam-macam terhadap kita. Ada yang ingin bekerja-sama, ada yang tetap memusuhi."

Begitulah Helian Kong dua hari dua malam mengelilingi bukit itu, memeriksanya dengan teliti, ibaratnya setiap helai rumput tidak luput dari penelitiannya. Dan Helian Kong tidak menemukan adanya tanda-tanda barisan pendam di bukit itu. Helian Kong menarik napas lega, apa yang dikhawatirkannya nampaknya takkan terjadi.

"Agaknya kaum Pelangi Kuning sedang memusatkan seluruh perhatian dan kekuatan untuk perang besar di It-pian-sek, dan tidak ingin memecah-mecah tenaga dan perhatiannya dengan kami, sisa-sisa dinasti Beng ini..." Dengan lega Helian Kong mengatakannya kepada ayah-mertuanya, isterinya dan saudara iparnya.

“Kita akan menemui Jenderal Su Ko-hoat di Yang-ciu tidak dengan tangan kosong, tetapi membawa suatu kekuatan, betapapun kecilnya.”

“Berapa jumlah orang-orangmu?”

“Sebelum peristiwa bubur beracun itu ada delapan belas ribu, sesudahnya tinggal empat ribu lebih sedikit...”

“Apakah mereka masih memakai seragam prajurit Beng?" tanya Siangkoan Hi.

“Tidak lengkap betul, Ayah.”

“Tidak jadi soal. Dan masih membawa-bawa bendera Jit-goat-ki?”

“Tentu, Ayah.”

“Bagus..." semangat Siangkoan Hi tiba-tiba terbangunkan. “Aku ingin berada di bukit itu. Aku ingin mengucapkan beberapa patah kata yang akan menyalakan semangat mereka!”

Mengingat tempat itu cukup aman, Helian Kong tidak keberatan. Begitulah, pada hari yang ditentukan, mereka menunggu di bukit itu. Siangkoan Hi sudah tidak sabaran, ia berjalan hilir-mudik di rerumputan sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya. Ia tidak lagi memakai "seragam pengungsi"nya, melainkan memakai pakaiannya semasa masih menjadi menteri kerajaan dulu.

Meski pakaian itu agak kusut juga, sebab selama ini dibungkus bersama pakaian-pakaian lainnya. Helian Kong juga diperintah memakai seragam prajuritnya. Meskipun si menantu ini merasa kurang perlu, tetapi demi menyenangkan hati mertuanya, ia turuti itu juga. Begitulah, yang satu berpakaian menteri kerajaan, yang lain berseragam panglima. Tetapi bukan di aula istana kerajaan, melainkan hanya di bukit belukar.

Ternyata sampai matahari lingsir ke arah barat, belum ada sebatang hidung pun yang nongol, sehingga Siangkoan Hi jadi gelisah dan berulang-kali menanyakan kepada Helian Kong apakah ia tidak salah tempat. Helian Kong menjawab, tempat itu sudah dua kali digunakan untuk keperluan yang sama, dan tidak mungkin prajurit-prajuritnya nyasar ke tempat lain. Bahkan prajurit-prajurit yang berasal dari San-hai-koan pun sudah diberi ancar-ancar yang jelas.

Ketika matahari hampir terbenam, barulah muncul enam orang. Berpakaian pengungsi, namun mereka segera melapor kepada Helian Kong.

“Mana yang lain?" tanya Helian Kong heran.

Seorang prajurit menjawab, "Kami tidak tahu. Bahkan kami berenam pun baru ketemu setelah dekat tempat ini.”

“Baik. Kita tunggu, mungkin masih di perjalanan."

Siangkoan Hi pun bertanya, "Dan kenapa kalian tidak memakai seragam prajurit kalian? Kalian tidak bangga kepada pakaian itu?”

“Maaf, Tuan... kami dalam penyamaran. Ada banyak orang-orang Pelangi Kuning yang berjaga-jaga di semua jalan.”

“Sekarang penyamaran kalian sudah lewat. Kenakan seragam kalian! Dan bersikaplah sebagai prajurit-prajurit Kerajaan Beng yang gagah berani!”

Para prajurit itu menoleh dulu kepada Helian Kong, setelah Helian Kong mengangguk, barulah mereka lakukan perintah si mantan menteri itu. Pakaian seragam mereka sudah tidak ada yang lengkap. Ada yang sudah kehilangan topinya, ada yang bajunya sudah tambalan atau agak kotor kena darah atau kena kotoran lain, ada yang sepatunya bukan sepatu prajurit melainkan sepatu jerami yang biasa dipakai kaum pengembara.

Siangkoan Hi mengerutkan alis melihat "seragam" itu, tetapi ia tidak berani mengkritiknya. Kemudian, yang membuat Siangkoan Hi dan lain-lainnya lebih masygul lagi ialah ketika ditunggu-tunggu sampai malam, ternyata yang nongol hanya sejumlah dua puluh orang. Buyarlah impian untuk datang ke Yang-ciu sebagai sebuah pasukan yang megah, biarpun jumlahnya tidak besar.

Kemasygulan ditambah lagi dengan laporan-laporan dari segelintir prajurit yang datang itu, bahwa ketidak-hadiran teman-teman itu karena berbagai sebab. Ada yang ayahnya meninggal sehingga harus menemani ibunya yang sudah tua. Ada yang disuruh kawin dengan puteri pamannya. Ada yang diwarisi usaha dagang oleh orang tuanya, dan seribu satu macam lainnya. Tetapi sebagian besar tidak memberi alasan apa-apa, menghilang begitu saja.

“Kantong-kantong nasi tidak berguna! Terkutuklah mereka!” Siangkoan Hi gusar. “Orang-orang berpendirian lemah seperti itu tidak pantas menjadi prajurit dinasti Beng!”

Sedangkan Helian Kong tidak mencaci-maki, ia tidak benci dan tidak marah kepada prajurit-prajuritnya yang tidak berkumpul kembali itu. Ia coba memahami mereka sebagai manusia yang punya kebutuhan, punya keluarga, dan sejak dinasti Beng ambruk, mereka tidak terjamin apa-apa lagi.

Bahwa selama ini mereka masih ikut Helian Kong bertempur ke sana-kemari, hidup seperti orang hutan, bahkan sebagian besar dari mereka menjadi korban dalam peristiwa bubur beracun, Helian Kong cukup bersyukur. Dan kini tiba-tiba dihadapkan kenyataan bahwa prajurit-prajuritnya itu sebagian besar sudah bosan bertempur tanpa ketentuan, Helian Kong tidak marah.

Siangkoan Hi lah yang tidak bisa terima. la mencaci-maki prajurit-prajurit yang tidak datang itu sebagai orang-orang yang tipis rasa cintanya kepada tanah air.

Helian Kong menunggu sehari lagi, dan hari berikutnya muncul sebelas orang lagi. Lalu ia memperpanjang sehari lagi, dan muncul lima orang lagi, la perpanjang sehari lagi, tidak ada 60 yang muncul. Sehari lagi, tetap tidak ada yang muncul. Akhirnya Helian Kong harus menerima kenyataan, bahwa pasukannya sekarang hanyalah tiga puluh enam orang.

“Terima kasih atas kedatangan kalian, Saudara-saudara. Kesetiaan kalian membuat aku tidak berani lagi menganggap diriku sebagai atasan kalian, melainkan sebagai kawan seperjuangan. Aku tidak memerintah kalian, tetapi mengajak kalian pergi ke Yang-ciu, untuk meneruskan pengabdian kita di bawah orang yang tepat, yaitu Jenderal Su Ko-hoat. Bagaimana?"

Agaknya Helian Kong sendiri sedang menghadapi krisis kepercayaan kepada diri sendiri. Sebagai manusia biasa, gelombang kekecewaan yang mendampar keteguhan batinnya, memang tidak tertahan oleh sembarangan orang. Itulah sebabnya sekarang ia tidak bersikap sebagai komandan yang memerintah, melainkan hanya menyodorkan pilihan, mau ikut ke Yang-ciu atau tidak.

Siangkoan Hi diam-diam tidak setuju dengan cara seperti itu, tetapi kali ini dia menahan diri untuk tidak ikut campur. Ketiga puluh enam prajurit itu di depan Helian Kong menyatakan siap bergabung kembali di Yang-ciu, tetapi perasaan Helian Kong yang tajam memberitahu, bahwa nanti di Yang-ciu jumlah itu akan berkurang kembali. Bahkan hanya akan menjadi nol.

Kemerosotan semangat seperti itu, Helian Kong tidak menyalahkannya, toh prajurit-prajuritnya masih manusia, bukan malaikat-malaikat. Terhadap janji itu, Helian Kong mengucapkan penghargaannya, kemudian membubarkan mereka. Siangkoan Hi merasa sesak dadanya, seolah-olah melihat harapan pulihnya kembali dinasti Beng padam pelan-pelan.


Kaisar Tiong-ong mengirim perintah kepada Jenderal Li Giam yang ditugaskan di wilayah barat-laut, agar secepatnya kembali ke Pak-khia dengan seluruh pasukannya. Sementara Kaisar memimpin sendiri suatu tentara yang besar, membangun sebuah pertahanan amat kuat di tempat yang bernama It-pian-sek. Karena tewasnya Jenderal Lau, Kaisar sendiri memegang langsung pimpinan atas seluruh pasukan.

Pertempuran melawan tentara Manchu berlangsung sengit, karena di pihak Manchu dipimpin sendiri oleh Pangeran Toh Sek-kun, Panglima Tertinggi. Di dataran, pasukan Manchu mengandalkan gerak-cepat pasukan berkudanya yang terdiri dari prajurit-prajurit padang rumput Mongolia.

Tetapi dari arah pegunungan pihak Manchu juga menggerilya lambung dan punggung kaum Pelangi Kuning, membakar jembatan-jembatan, menyerang garis belakang, membakar tempat-tempat persediaan pangan. Pasukan gunung yang terdiri dari orang-orang Korea ini memang mahir bertempur di pegunungan.

Dengan adanya pasukan gunung ini, pihak Pelangi Kuning seakan-akan menghadapi musuh yang berada di segala tempat, selain pasukan induk Manchu yang datang dari arah timur. Pertempuran di It-pian-sek berlangsung amat berdarah, kedua pihak mengerahkan kekuatannya.

Tetapi setelah beberapa hari, Kaisar Tiong-ong merasakan tekanan berat dan memutuskan untuk menarik pasukannya mundur ke dalam kota Pak-khia, mengambil sikap bertahan sambil menunggu Jenderal Li Giam. Kaisar berharap, dengan sikap bertahan total dan persediaan pangan yang cukup di balik tembok Pak-khia, napas pasukannya akan dapat diperpanjang..

Pertengahan bulan kedua setelah menggulingkan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng, Kaisar Tiong-ong bertahan di Pak-khia. Tentara Manchu memburu terus. Ternyata, Kaisar Tiong-ong lupa bahwa kota Pak-khia terdapat tidak sedikit prajurit-prajurit Manchu yang berselubung di balik macam-macam kedok penyamaran, bahkan ada yang sampai mendapatkan pangkat tinggi dalam jajaran militernya Kaisar Tiong-ong sendiri.

Kini, penyelundup-penyelundup itu beraksi dari dalam. Maka pertahanan Kaisar Tiong-ong di Ibukota Pak-khia pun bobol. Hanya sanggup bertahan setengah bulan kurang, waktu yang jauh kurang dengan yang dibutuhkan Jenderal Li Giam untuk sampai ke Pak-khia. Pertengahan bulan kedua, tentara Manchu sudah berbaris di luar kota Pak-khia, dan akhir bulan mereka memasuki Pak-khia.

Kaisar Tiong-ong dan pengikut-pengikutnya bertempur dengan sengit di setiap jalan, di setiap lorong, di sekitar anak tangga, di setiap jengkal tanah. Tetapi Kaisar Tiong-ong dan sisa-sisa pasukannya yang compang-camping harus angkat-kaki dari Pak-khia dan mundur ke barat daya. Untunglah Kaisar Tiong-ong bukan seorang yang bernyali kecil seperti Kaisar Cong-ceng.

Kalau Kaisar Cong-ceng menggantung diri karena putus asa kehilangan istananya, maka Kaisar Tiong-ong justru mencanangkan "hutan dan pegunungan" adalah istanaku. Dia membulatkan tekad akan terus melawan kekuasaan Manchu, biarpun Pak-khia telah diduduki. Tetapi dalam gerakannya di Pegunungan Kiu-kiong-san, dia mengalami nasib naas.

Dia masuk perangkap, bukan perangkap militer yang dipasang musuh, melainkan perangkap untuk binatang-binatang buas yang dipasang penduduk di Pegunungan Kiu-kiong-san. Begitulah nasib akhir seorang raja yang berkuasa hanya dalam waktu kurang dari dua bulan itu.

Perlawanan kaum Pelangi Kuning yang selanjutnya sudah tentu kocar-kocir karena dipimpin orang semacam Gu Kim-sing, dan dengan mudah dihabisi pasukan-gunungnya orang-orang Manchu.

Penduduk Ibukota Pak-khia, dalam waktu kurang dari dua bulan harus menyaksikan dua kali pergantian pemerintahan yang semuanya terjadi melalui pertumpahan darah besar-besaran. Pertama, ketika kaum Pelangi Kuning merebut Pak-khia dari dinasti Beng. Kedua, ketika orang Manchu merebutnya dari pihak Pelangi Kuning.

Dan bagaimana dengan janji orang Manchu bahwa mereka masuk ke Tiong-goan "hanya untuk menolong dan sesudah pekerjaannya selesai akan pulang kembali ke Liau-tong"? Ternyata, mereka jadi betah di Pak-khia, memperkuat kedudukan, bahkan menambah jumlah prajurit mereka dengan pemuda-pemuda dari Tiong-goan sendiri.

Selain itu, pasukan demi pasukan terus mengalir dari Liau-tong. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda mereka 'ingin pulang ke Liau-tong, malahan yang di Liau-tong boyongan sekali ke Tionggoan. Singkatnya, mereka mencengkeramkan kuku penjajahan mereka.

Bu Sam-kui memperoleh Tan Wan-wan kembali, tetapi banyak orang Han mencaci makinya sebagai pengkhianat dan penjual negara. Apalagi, ia tidak bisa mengelak ketika pihak Manchu mengangkatnya sebagai Peng-seong (Adipati penakluk wilayah barat), kedudukan tinggi dengan tugas menindas perlawanan sisa-sisa dinasti Beng maupun kaum Pelangi Kuning di wilayah barat.

Namun banyak juga rakyat jelata yang berharap agar pertempuran kali ini adalah pertempuran yang terakhir. Mereka, rakyat kecil yang jemu perang ini, tidak peduli biarpun di pinggir kuping mereka ada yang berteriak bahwa orang Manchu harus diusir dengan pengorbanan apa pun juga. Orang-orang kecil ini sudah rindu jaman mereka bisa hidup tenteram.

Yang juga tidak ketahuan kabar beritanya adalah Puteri Tiang-ping dan Pangeran Cu Sam, putera-puteri almarhum Kaisar Cong-ceng. Konon, bertahun-tahun kemudian muncul seorang pendekar wanita berlengan satu yang digelari Tok-pi Sin-ni (Bhikuni sakti berlengan tunggal) yang dipercaya sebagai Puteri Tiangping.

Sejarah belum berhenti. Di wilayah selatan masih ada bangsawan-bangsawan dan jenderaljenderal dinasti Beng dengan pasukan masing masing, dan rencana masing-masing. Dan di utara, penguasa Manchu belum puas hanya dengan menguasai separuh Tiong-goan.

SELESAI

Pilih Jilid,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.