Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 15

Novel silat Mandarin karya Stevanus SP. Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua jilid 15
Sonny Ogawa

Kembang Jelita Peruntuh Tahta II Jilid 15

Kongsun Koan melihat masalah besar di depan mata. Dia tahu pasti, bukannya tanpa maksud Yim Mo "membonceng" sampai ke tempat itu. Mungkin maksudnya "membonceng" sampai ke pegunungan, tempat pasukan Kongsun Koan, tetapi sudah "diturunkan" di tengah jalan.

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S P

“Kiranya Tuan Yim..." kata Kongsun Koan ramah, mencoba menghindari jalan kekerasan karena tahu dirinya sama sekali tidak sebanding dengan Yim Mo. “Ada yang bisa aku perbuat untuk Tuan?”

“Ya. Aku ingin kau ceritakan semua pembicaraanmu dengan Jenderal Bu tadi," nada perkataan Yim Mo ternyata tetap dingin, jauh dari nada bersahabat, tidak mengimbangi keramahan Kongsun Koan. “Itu yang pertama. Yang kedua, aku ingin melihat pasukanmu di pegunungan."

Kegusaran Kongsun Koan meluap dalam hati, tetapi ia mencoba terus menahan diri. Pikirnya, "Jadi inilah rupanya tujuan bersembunyi dalam guci. Pihak Manchu menyuruh dia untuk mengetahui kedudukan pasukanku dipegunungan..."

Mulut Kongsun Koan sudah bergerak hendak menjawab, tetapi Yim Mo telah membentaknya, "Apa kau tidak tahu adat, tidak tahu bagaimana berbicara kepada orang yang lebih tua?"

Biarpun darah mudanya sudah menggelegak, Kongsun Koan masih memikirkan keselamatan dirinya, juga perlunya pasukannya di pegunungan mendengar kejadian yang sebenarnya di San-hai-koan. Itulah sebabnya dia mengalah. Ia melompat turun dari kudanyadan memaksakan diri memberi hormat kepada Yim Mo meskipun hormatnya tidak dibalas. Katanya, "Salam hormatku untuk Tuan Yim.”

“Tidak perlu bertele-tele. Sekarang katakan hasil pembicaraanmu dengan Bu Sam-kui tadi. Singkat, jelas, tapi harus lengkap.”

“Baiklah, karena pihak Tuan dan pihak kami sudah menjadi sekutu, rasanya tidak baik menyembunyikan apa-apa kepada teman seperjuangan bukan? Secara singkat, Jenderal Bu hanya menjelaskan kepadaku tentang alasannya dia mengundang sobat-sobat Manchu.

"Yaitu suatu kerjasama yang saling menguntungkan, sebab dia percaya bahwa sobat-sobat Manchu tak bermaksud jahat sedikit pun terhadap negeri Tiong-goan. Terus terang saja, Tuan Yim, sebelum mendengar penjelasan tadi memang aku agak berprasangka terhadap orang-orang Manchu. Tetapi sekarang prasangkaku lenyap, hatiku sudah lega. Itu saja..."

Ternyata Yim Mo tidak mudah menerima penjelasan itu. Ia maju selangkah dengan mata bersorot mengancam, "Kau pasti belum menceritakan selengkapnya. Tadi aku dengar di markas, Bu Sam-kui sampai berteriak dan menggebrak meja segala. Pastilah yang kalian bicarakan lebih dari itu. Katakan. Atau aku harus berlaku kasar kepadamu?”

“Tuan Yim, yang kubicarakan dengan Jenderal Bu tadi ya hanya itulah. Memangnya Tuan Yim curiga ada hal-hal lain dari itu?”

“He, Kongsun Koan, kau tidak sedang bicara dengan seorang anak kecil yang mudah saja kau bohongi!”

Kongsun Koan merasa makin sulit berkelit. Saat itulah tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara derap kuda yang semakin dekat. Di malam larut seperti itu ada orang-orang berkuda di tempat belukar sepi di luar kota, adalah hal kurang wajar, namun di saat-saat perang hal itu jadi wajar saja.

Kongsun Koan dan Yim Mo menoleh serempak ke arah suara itu. Yang muncul ternyata cukup banyak, hampir-hampir seperti sebuah pasukan kecil, semuanya berkuda. Hampir lima puluh orang. Tetapi siapa mereka, belum diketahui sebab malam terlalu gelap.

Setelah dekat, barulah nampak bahwa penunggang kuda terdepan adalah orang yang dikenal Kongsun Koan. Kwe Peng-hui, perwira bawahan Helian Kong yang oleh Kongsun Koan diserahi sebagai pimpinan pasukan di pegunungan selama ditinggalkan Kongsun Koan.

“Perwira Kwe!” sahut Kongsun Koan.

“Komandan!” sahut Kwe Peng-hui yang mengenali suara Kongsun Koan biarpun malam gelap.

“Kenapa kau di sini?”

“Karena kami gelisah Komandan tidak pulang-pulang, begitu juga Komandan Helian yang tidak datang-datang. Lalu kami putuskan untuk coba menyusul ke San-hai-koan..."

Kongsun Koan merasakan betapa udara kegelisahan merata dalam pasukannya dipegunungan. Belum sampai satu hari mereka ditinggal, Kwe Peng-hui sudah menyusulnya dengan orang sebanyak itu. Tetapi Kongsun Koan lega juga, kalau terpaksa harus menghadapi Yim Mo dengan kekerasan, ia akan punya teman sebanyak itu.

“Darimana kau dapat kuda sebanyak itu?" tanya Kongsun Koan.

“Dari beberapa desa..." jawab Kwe Peng-hui tanpa menjelaskannya lebih lanjut.

Tetapi Kongsun Koan memakluminya, dalam situasi perang, pihak mana pun menggunakan hukum perang yang "praktis".

Kemudian Kwe Peng-hui bertanya, "Komandan Kongsun, siapa sobat ini?" Kali ini Kongsun Koan tidak bersikap sesungkan tadi terhadap Yim Mo, katanya menjawab Kwe Peng-hui, "Sobat ini bernama Yim Mo, salah seorang penting dalam pasukan Manchu, yang ingin ikut aku sampai ke tempat pasukan kita di pegunungan.”

“Lalu sikap Komandan?"

"Kita tidak punya tempat yang layak untuk Sobat yang terhormat ini." Itulah isyarat bahwa Kongsun Koan menolak keinginan Yim Mo.

Yim Mo tahu, tetapi dengan mengandalkan ketangguhan pribadinya, dia memutuskan akan main paksa, la anggap lawan-lawan sebanyak itu sebagai sesuatu yang remeh. Ia anggap prajurit-prajurit itu paling-paling hanya bisa ketrampilan militer biasa seperti menunggang kuda, memanah, atau perkelahian yang kasar.

Karena itu, katanya dengan sombong, "Kalau kalian berkeberatan, aku akan membunuh kalian semua dan menyisakan hanya satu orang untuk menunjukkan jalan ke pegunungan. Aku pasti bisa melakukannya, biar aku sendirian dan kalian banyak..."

Kwe Peng-hui ternyata bukan hanya perwira bawahan Helian Kong, melainkan dalam hal kemampuan tempur perorangan juga memperoleh banyak petunjuk dan "polesan" Helian Kong. Mendengar suara besar Yim Mo, iamelompat turun dari kudanya dan berkata, "Besar benar mulut orang ini..."

Dan Kwe Peng-hui sudah memegangi sepasang senjatanya yang agak lain dari yang lain. Sepasang martil baja yang kepala martilnya berbentuk segi delapan, sedangkan tangkainya yang dicor jadi satu dengan kepalanya, panjangnya masing-masing setengah meter.

Dalam kelompok yang dibawa Kwe Penghui itu juga banyak perwira bawahan Helian Kong lainnya. Yang tidak sekedar pintar naik kuda, memanah dan melempar lembing, melainkan juga menjadi "murid tidak resmi" Helian Kong.

Orang-orang yang tidak sekedar punya ketrampilan kemiliteran ini pun segera berlompatan dari kudanya dan maju bersama Kwe Peng-hui. Jumlahnya ada enam orang, senjata-senjata mereka sebagian lumrah seperti pedang, golok, tombak atau pentung besi, tetapi ada juga dua orang yang senjatanya "tidak lumrah".

Ada yang bersenjata tameng persegi, namun bukan tameng yang digunakan berpasangan dengan golok atau pedang, melainkan tameng yang berpasangan dengan tameng pula. Jadi ia bersenjata sepasang tameng. Tameng persegi berpinggiran tajam yang biasa disebut Gun-goan-pai.

Satu orang lagi yang bersenjata aneh adalah bersenjata jala, seperti jala yang digunakan para penangkap ikan. Jadi kalau pergi berperang, ia bisa disangka akan pergi menangkap ikan. Bedanya dengan jala para nelayan, jala orang ini penuh kaitan-kaitan besi tajam. Ini memang bukan jala ikan, tetapi jala untuk menjaring nyawa manusia.

Yim Mo yang sudah terlanjur membual, ketika melihat orang-orang ini diam-diam bergetar juga hatinya. Sikap dan sorot mata mereka meyakinkan, dan senjata-senjata aneh mereka "menjanjikan" bahwa Yim Mo akan menjumpai perlawanan berat, tak akan bisa menyelesaikan urusannya segampang omong besarnya.

Kongsun Koan yang belum tahu kelebihan perwira-perwira bawahan Helian Kong itu, merasa perlu untuk memberi peringatan kepada teman-temannya, "Kawan-kawan, Tuan Yim ini tadi bersembunyi dalam sebuah guci arak..."

Itulah peringatan akan kelihaian Yim Mo. Lalu Kongsun Koan sendiri menghunus pedang besarnya, yang dipegangi dengan dua tangan. Toh ia masih mencobakan suatu tawaran kepada Yim Mo,

"Tuan Yim, sebenarnya kita tidak perlu sampai baku hantam seandainya Tuan tidak bersikeras dengan kemauan Tuan sendiri. Bagaimanapun, pihak kami dan pihak Tuan saat ini masih dalam ikatan persekutuan..."

Meski tekadnya mulai guncang, Yim Mo terlalu angkuh untuk mundur begitu saja. Jawabnya, "Perwira Kongsun, kalau kau sebut kami sekutumu, apa keberatanmu mengajak aku melihat-lihat pasukanmu di pegunungan?”

“Kita bersekutu, tetapi kita punya rahasia masing-masing. Persekutuan kita tidak tulus, itu kenyataan yang harus kita akui blak-blakan..." sahut Kongsun Koan lugas. “Kita hanya saling memanfaatkan, dan setelah itu, entah apa yang terjadi...”

“Perwira Kongsun, kami datang membantu dengan tulus...”

“Butuh waktu untuk mempercayai omongan itu, Tuan Yim.”

“Itukah yang kau dapatkan dari hasil pembicaraanmu dengan Jenderal Bu?"

Kongsun Koan terkesiap, menjawab terang-terangan bisa menyulitkan kedudukan teman-temannya di San-hai-koan, maka jawabannya samar-samar saja, "Itu perkara yang wajar, Tuan Yim. Menyembuhkan luka-luka batin setelah permusuhan yang lama itu butuh waktu, Tuan Yim...”

“Jadi, keinginanku untuk melihat-lihat pasukanmu di pegunungan...”

“Dengan menyesal kami belum bisa menyambutmu saat ini, Tuan Yim. Lain kali barangkali kami akan mengundangmu dan menyiapkan penyambutan yang penuh kehormatan...”

“Kalian belum tahu kekuatanku rupanya."

"Kami ingin mengetahuinya..." yang menjawab adalah Kwe Peng-hui.

Percakapan antara Kongsun Koan dan Yim Mo tadi tidak sepenuhnya dimengertinya, tetapi perkataan terakhir Yim Mo tadi amat dimengertinya, membuat Kwe Peng-hui jemu melihat kesombongan orang Manchu ini dan menjawabnya dengan keras.

Tidak peduli Kongsun Koan tadi memperingatkan bahwa orang Manchu ini "bisa masuk ke dalam guci" tetapi Kwe Perig-hui dan kawan-kawannya gatal tangan ingin menjajalnya.

Yim Mo terbakar hatinya, tiba-tiba ia menggeram dan melompat menerkam Kwe Peng-hui. Kedua telapak tangannya dalam bentuk cakar siap menerkam lengan-lengan Kwe Peng-hui untuk dirobeknya. la amat remehkan Kwe Peng-hui sebab orang-orang militer begini biasanya hanya pandai ketrampilan kemiliteran biasa.

Kwe Peng-hui memang kaget, namun untung sudah waspada sejak semula. Biarpun agak terlambat, ia hantamkan kedua martil bajanya berbarengan ke wajah Yim Mo. Gerakannya memang tidak tepat benar sesuai dengan keperluan, dari segi pandangan ahli silat kelas wahid jelas banyak kekurangannya, tapi kenekadan dan nyalinya yang besar memang sesuatu yang patut diperhitungkan tersendiri oleh Yim Mo.

Yim Mo menyelinap licin ke samping bagaikan belut, sebelah cakarnya tetap bisa menggores lengan bagian atas Kwe Peng-hui. Kwe Peng-hui mendesis pedih, namun mengertak gigi dan memutar tubuh ke samping sambil menghantamkan sepasang martil bajanya sekaligus.

Tetapi cuma menghantam angin sebab ternyata Yim Mo sudah "pindah alamat" lagi dengan cepat, tetapi tumit Yim Mo membentur paha Kwe Peng-hui amat keras sehingga perwira itu jatuh terguling. Yim Mo susulkan satu injakan ke arah leher Kwe Peng-hui yang belum sempat bangkit, tetapi seorang perwira bersenjata pentung besi menerjangnya dengan berani. Pentungnya terayun mendatar ke tengkuk Yim Mo.

Terpaksa Yim Mo menunduk menghindar dan membatalkan serangannya kepada Kwe Penghui, malahan Kwe Peng-hui melihat suatu kesempatan dan coba menghantam jempol kaki Yim Mo dengan martilnya. Yim Mo melompat pendek untuk menghindarinya.

Kongsun Koan tidak membiarkan rekan-rekannya memeras keringat sendirian. Biarpun rasa lelah dan hausnya saat itu belum terobati, ia masuk ke gelanggang dan pedang besarnya pun menyapu Yim Mo. Begitulah, Yim Mo harus menghadapi tujuh orang lawan.

Tujuh orang milliter yang tadinya dipandangnya remeh, dan ternyata sekarang meskipun cara bertempur mereka kasar, ternyata cukup merepotkan Yim Mo. Ternyata pula mereka tidak bertempur serabutan, melainkan mampu saling bekerja sama meski dengan perhitungan-perhitungan sederhana.

Mereka tidak mau bergerak serampangan, melainkan benar-benar mengintai kalau ada kesempatan ataupun kalau kawan mereka terancam bahaya. Gerakan mereka kadang kasar dan serabutan, tapi tidak bisa diremehkan.

Yang bersenjata jala berduri itu sikapnya juga menggemaskan Yim Mo. Ia tidak ikut sibuk di tengah gelanggang, melainkan hanya mengawasi di pinggir gelanggang, gayanya yang setengah membungkuk dan caranya memegangi jala itu tak ubahnya penangkap ikan di tepian yang mengawasi ke air.

“Jadi aku ini dianggapnya ikan..." kutuk Yim Mo dalam hatinya. Tetapi jala itu harus diwaspadai juga, sering Yim Mo harus menunduk atau berguling untuk menyelamatkan kepalanya dari jaring.

Tujuh perwira dengan tujuh gaya bertempur, yang meskipun saling mengisinya tidak serasi betul tetapi lumayan juga. Mereka tidak tergesa-gesa dan memboros-boroskan tenaga. Paling banyak hanya tiga orang yang berhadapan langsung dengan Yim Mo dan sisanya mengawasi di sekitarnya dan cepat-cepat "menambal" kalau kepungannya bocor.

Mereka masuk dan keluar gelanggang bergantian, tidak mau saling berdesakan dengan teman-teman mereka di gelanggang yang sempit itu. Dengan cara itu, ternyata Yim Mo harus memeras tenaga.

Tetapi tujuh orang perwira itu pun mau tidak mau mengagumi Yim Mo. Dikeroyok tujuh, tetap saja senjata-senjata ketujuh perwira itu tak dapat menyentuh Yim Mo. Yim Mo begitu lincah, licin, kelenturan tubuhnya luar biasa sehingga ujung senjata yang hampir mengenainya sering bisa dielakkan dengan liukan tubuhnya yang seperti ular.

Dan dengan tangan kosong pun Yim Mo tetap berbahaya, cakar-cakar tangannya tidak cuma bisa merobek kulit dan daging tetapi juga meremukkan tulang. Terbukti ketika tangan itu mengenai sebatang pohon, maka serpihan kayu beterbangan muncrat dari pepohonan itu.

Suatu kali Yim Mo habis kesabarannya, ia meraih ke pinggangnya, melolos sehelai cambuk kulit beranyam tiga lembar yang sekujur cambuknya dipenuhi paku-paku logam yang1direndam racun. Cambuk itu panjangnya dua meter lebih. Begitulah ia sekarang bersenjata.

“Hati-hati..." Kongsun Koan memperingatkan kawan-kawannya.

Dengan senjata di tangannya, Yim Mo memang meningkat kegarangannya. Setidak-tidaknya, jangkauan serangannya jadi bertambah dua meter, diperpanjang oleh cambuk itu.

Dengan keahliannya bermain cambuk, Yim Mo seolah-olah menjadikan cambuk itu menjadi puluhan helai yang menggeletar simpang-siur memenuhi udara gelanggang, kadang-kadang terdengar ledakannya yang memenuhi gelanggang.

Puluhan jurus kemudian, mulai terasa kesulitan di pihak para perwira. Biarpun mereka, terutama perwira-perwira bawahan Helian Kong, pernah mendapat petunjuk dan polesan teknik silat dari Helian Kong, namun tentu saja yang mereka peroleh tidak seperti kalau menjadi murid sebuah perguruan.

Pada dasarnya memang mereka adalah orang-orang militer yang tidak mendalam perihal pertarungan perorangan, apalagi ilmu silat tingkat tinggi. Menghadapi cambuk lemas Yim Mo yang berkelebatan melejit ke sana ke mari bersama dengan gerak tubuh Yim Mo sendiri yang selicin belut, mereka kebingungan, kehilangan arah. Mereka saling berteriak memperingatkan teman-teman mereka.

Selain itu, senjata-senjata mereka juga tidak tahu harus dibagaimanakan dalam menghadapi cambuk yang lemas itu. Mereka tahunya kalau menghadapi golok, pedang atau tombak. Beberapa kali nyaris terjadi serangan para perwira itu mengenai teman sendiri.

Sekarang Yim Mo bisa tertawa terbahak-bahak, membayangkan kemenangannya sudah di depan mata. Sambil tertawa, gerakannya tidak bertambah lamban melainkan bertambah cepat. Dan ketujuh orang lawannya makin kedodoran.

Tidak peduli mereka saling berteriak ini-itu. Bagaimanapun, mereka memang bukan anggota-anggota dari suatu formasi silat gabungan semacam Jit-seng-tin (formasi Tujuh Bintang) atau Lo-han-tin (formasi Arhat) di kalangan persilatan.

Anggota-anggota formasi macam itu berlatih bersama setiap saat, dan masing-masing melatih bagiannya sendiri, juga, bergerak berdasar prinsip-prinsip tertentu yang diterjemahkan ke dalam gerak-gerak menyerang dan bertahan.

Sedang ketujuh perwira itu hanya sekedar bertempur bersama dan main keroyok saja meskipun ada juga perhitungannya, tetapi masing-masing punya perhitungan sendiri-sendiri yang kadangkadang kurang kelop dengan perhitungan kawan-kawannya sendiri.

Tak lama kemudian, cambuk Yim Mo berhasil melibat dan merampas pedang seorang teman Kwe Peng-hui, sekaligus kakinya menyapu kaki perwira itu sehingga si perwira terpental rubuh. Meskipun si perwira kemudian menggulingkan diri menjauhi Yim Mo, tetapi posisinya tetap berbahaya sebab Yim Mo mengejarnya dan kelihatannya tidak ingin melepaskannya. Sedang kawan-kawan yang lain tidak sedang dalam posisi yang baik untuk menolong.

“Mampus kau!” Yim Mo menubruk bagaikan kilat sambil hendak menginjakkan kakinya ke ubun-ubun calon korbannya. Ketika itulah Yim Mo tiba-tiba merasa urat di belakang lututnya sakit seperti digigit semut. Gerak lompatannya jadi kagok setengah jalan, sehingga terhuyung-huyung.

Hanya sepersekian detik, tetapi cukup memberi kesempatan bagi perwira sasarannya itu untuk melompat bangun dan selamat dari injakan maut Yim Mo. Yim Mo menggeram gusar dan memperhebat serangan kepada lawan-lawanya. Tentang rasa sakit di urat belakang lutut yang sering disebut Urat Hoan-tiau, yang baru saja dialaminya, Yim Mo belum begitu ambil pusing. Belum sampai timbul pikiran kalau dirinya dijaili orang dari luar gelanggang, sesuatu yang patut diperhitungkan di kalangan para jagoan.

Beberapa saat kemudian, seorang perwira yang bersenjata siang-khek sepasang tombak pendek, mengeluh dan terhuyung-huyung sebab punggungnya kena ujung cambuk Yim Mo dan kulitnya robek, lebih gawat lagi karena darah yang mengalir dari luka itu tidak banyak, melainkan kulit di sekitar mulut luka langsung berbintik-bintik kecil.

“Saudara Gun, tinggalkan arena dan obati lukamu! Cambuknya beracun!” teriak Kwe Peng-hui. la sendiri dengan sepasang martil bajanya, bersama seorang perwira lain yang bersenjata pentung besi, menghadang Yim Mo agar tidak memburu si perwira yang terluka.

Sementara si perwira Gun sudah melangkah terhuyung keluar arena dan di-songsongnya prajurit-prajuritnya yang langsung mengobatinya.

Yim Mo semakin congkak sehingga dia pun berteriak, "Perwira-perwira tolol, tidak ada pilihan lain buat kalian kecuali seperti yang kuinginkan, mengajak aku melihat-lihat pasukan kalian di pegunungan!”

Para perwira tidak menjawab, melainkan terus bertempur dengan gigih. Dalam diri para perwira itu terbayang, seandainya Helian Kong sudah kembali ke pasukannya, rasanya tidak keberatan mengajak Yim Mo ke pasukan di pegunungan, biar seperti "ular ketemu gebuk".

Tetapi susahnya, sampai saat itu Helian Kong belum kembali ke pasukannya dan entah di mana. Kini tanpa Helian Kong, mereka harus menggabungkan kekuatan menghadapi Yim Mo yang amat tangguh itu, itu pun seorang teman mereka sudah menjadi korban Yim Mo.

Tetapi Yim Mo sendiri, baru saja omong besar, tiba-tiba kembali merasa belakang lututnya "digigit semut" bahkan kali ini kedua-duanya, kiri dan kanan sekaligus. Tiba-tiba saja ia jatuh berlutut pada kedua lututnya, meskipun terkejut dan segera melompat kembali, tetapi Yim Mo mulai curiga ada yang "ikut bermain" dari luar gelanggang.

Untung selagi ia jatuh tadi, lawan-lawannya sedang tidak siap memanfaatkan kesempatan yang hanya sedetik itu. la celingukan, sementara Kongsun Koan telah menyapu dengan pedang besarnya. Yim Mo melompat berjungkir-balik, bersalto menghindarinya. Tiba di luar gelanggang, ia menoleh celingukan ke kegelapan di sekitarnya, dan berteriak, "Jahanam pengecut dari mana yang mencoba main gila denganku?!”

Sikap Yim Mo itu mengherankan para lawan-lawannya, mereka tidak tahu apa yang terjadi. Mereka memang heran melihat Yim Mo tadi tiba-tiba berlutut sedetik, dan mereka kira itu adalah salah satu "jurus" Yim Mo. Sekarang setelah melihat Yim Mo mencak-mencak, barulah mereka tahu bahwa ternyata Yim Mo ada yang menjailinya.

Para perwira pun menghentikan serangan dan ikut celingukan, mencoba menembus kegelapan mata dengan pandangan mereka. Suatu harapan yang sama mengembang di hati mereka, tanpa berjanji satu sama lain, mereka teringat satu orang, Helian Kong.

Kwe Peng-huilah yang pertama bersuara, "Komandan Helian kah itu?"

Kegelapan di sekitar arena itu tetap membisu tidak ada jawaban daripadanya. Hanya suara serangga-serangga malam yang menjawabnya. Hati Yim Mo tergetar. Betapapun congkaknya dia, nama besar Helian Kong menggetarkannya juga.

Tetapi di hadapan para perwira, ia tidak menunjukkan ketakutannya karena malu, bahkan sikapnya bertambah garang, "Helian Kong! Kalau benar ini perbuatanmu, sungguh tidak sesuai dengan nama besarmu, beranimu hanya menyerang secara gelap!”

Tetap tidak ada jawaban. Yim Mo heran kalau benar Helian Kong yang melakukan "gangguan" tadi, apakah ia rela diejek tanpa membalas di hadapan anak buahnya sendiri dengan tetap bersembunyi tanpa menjawab? Kalau bukan Helian Kong, lalu siapa yang mampu berbuat demikian? Para perwira juga tidak kalah herannya.

Kalau benar Helian Kong sudah datang, kenapa tidak langsung muncul, terjun ke gelanggang dan ikut meringkus si Manchu yang congkak ini? Atau2bahkan Helian Kong akan melakukannya seorang diri tanpa dibantu siapa-siapa. Tetapi suasana tetap sunyi saja.

Yim Mo mengawasi setiap gerumbul semak belukar, setiap batu besar, setiap bagian pohon-pohon rimbun. Yim Mo menggeram kesal, namun ia benar-benar tidak berani melanjutkan rencananya, la lalu mengejek,

"Baik, aku akan pulang ke San-hai-koan dan membatalkan rencanaku. Bukan karena takut, melainkan karena Helian Kong yang termasyhur itu ternyata cuma pengecut tukang menyergap orang dari kegelapan. Aku tidak mau mati konyol. Tetapi kalau Helian Kong berani keluar dari sarangnya, aku akan meladeninya sepuluh ribu jurus!” Besar bicaranya, toh diucapkannya sambil melangkah pergi. Tidak benar-benar menunggu "munculnya Helian Kong".

Setelah Yim Mo pergi jauh, Kwe Peng-hui dan kawan-kawannya pun masih celingukan sambil memanggil-manggil Helian Kong. Tiba-tiba dari arah sebuah pohon yang tidak jauh dari arena pertempuran tadi, terdengar suara gemerasak yang membuat Kwe Peng-hui dan kawan-kawannya serempak menoleh dengan kaget.

Mereka melihat sesosok bayangan melompat pergi, tadinya agaknya orang itu bersembunyi di atas pohon di balik dedaunan, dan sekarang ia tinggalkan tempat persembunyiannya dengan gerak cepat bagaikan burung terbang. Dalam waktu sekejap ia sudah lenyap dalam kegelapan malam.

Sekilas Kongsun Koan dan lain-lainnya hanya sempat melihat kalau orang itu rambutnya dikuncir panjang. Dandanan rambut orang Manchu. “Dia bukan Panglima Helian!”

Kongsun Koan jadi teringat seorang perwira Manchu yang bernama Sek Hong-hua, yang sikapnya agak lain sendiri. Kongsun Koan ingat kehebatan perwira itu yang mampu menjepit pedang besarnya hanya dengan sepasang telapak tangannya, dan dalam pembicaraan juga disegani oleh siapa pun termasuk Yim Mo yang angkuh itu. Orang itukah yang baru saja melompat pergi itu? Kongsun Koan hanya menyimpan dugaannya dalam hati.


Jenderal Lau Cong-bin menarik sisa pasukannya yang tinggal separuh dari ketika berangkatnya itu, sampai cukup jauh dari Sanhai-koan. Untuk pulang begitu saja ke Ibukota Pak-khia dan melaporkan kekalahan, Jenderal Lau malu kepada Kaisar Tiong-ong, lebih-lebih kepada Tan Wan-wan. Tetapi untuk melanjutkan perlawanan, rasanya gentar juga.

“Keparat benar Bu Sam-kui itu, tidak kusangka ia tega mengundang tentara asing untuk menginjak tanah leluhurnya!” gerutu seperti itu entah sudah berapa kali keluar dari mulut Jenderal Lau dalam gerakan mundurnya.

Akhirnya, kira-kira seratus li dari San-haikoan, pasukan itu menemukan suatu tempat yang dirasa baik untuk membangun pertahanan. Sebuah selat pegunungan yang sempit. Atas usul Deng Hu-koan, perwira andalan Jenderal Lau, Jenderal Lau membangun pertahanan di situ, pertahanan menghadap ke timur, arah San-hai-koan. Perkemahan pasukan dibangun di sebelah barat selat gunung, dan pasukan ditempatkan bergantian di atas bukit.

Atas usul Deng Hu-koan, Jenderal Lau juga menempatkan sepuluh ribu prajurit di bawah pimpinan seorang perwiranya untuk mengawasi lalu-lintas sungai di sebelah utara tempat itu. Sungai itu kecil, tetapi dikhawatirkan bisa menjadi jalur penyusupan pasukan musuh untuk menyergap dari belakang atau dari lambung. Antara pos-pos pertahanan yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan regu-regu prajurit berkuda yang saling bertukar berita setiap enam jam.

Selain itu, ternyata ada juga "rejeki tambahan" dari pos-pos pertahanan itu. Ternyata, baik jalan raya yang melalui selat gunung maupun melalui sungai kecil itu adalah lalu-lintas umum yang cukup ramai. Apalagi saat itu rombongan-rombongan pengungsi membanjir dari timur ke barat.

Penduduk jelata banyak yang sudah mendengar tentang masuknya tentara Manchu, dan mereka tahu itu artinya badai peperangan yang dahsyat sudah di ambang pintu. Belum kering air mata kesedihan di mata rakyat jelata yang berduka karena anggota keluarga mereka yang mati dalam pemberontakan kaum Pelangi Kuning yang lalu, yang baru selesai sebulan yang lalu, dan sekarang perang baru sudah di ambang pintu.

Buat orang-orang tak berdaya itu, upaya penyelamatan harta dan nyawa hanyalah dengan mengungsi, menjauhi arena keserakahan antara manusia. Tetapi ketika melewati pos penjagaan pasukan Jenderal Lau, ternyata sisa harta yang dibawa mengungsi pun susah dipertahankan. Para prajurit dengan dalih menjaga jangan sampai ada mata-mata Manchu yang menyusup ke garis belakang, melakukan pemeriksaan amat ketat dari para pengungsi.

Dan kalau para prajurit itu menginginkan sesuatu, mereka akan cari gara-gara dengan melancarkan tuduhan yang mengada-ada, yang membuat para pengungsi ketakutan dan terpaksa menyerahkan barang-barang agak berharganya.

Begitulah, dalam keadaan terjepit pun prajurit-prajurit Lau Cong-bin masih sempat cari keuntungan. Tetapi tidak bisa terlalu menyalahkan para prajurit itu, sebab mereka juga hanya meniru pemimpin-pemimpin mereka.

Jenderal Lau sendiri tidak berada di perkemahan bersama prajurit-prajuritnya, melainkan di sebuah desa yang makmur di belakang garis pertahanan, jaraknya kira-kira dua kilometer dari selat gunung. Tempat itu dijadikan markas besarnya, dengan pasukan pengawal wanitanya yang cantik-cantik tetapi di desa itu sendiri juga ada pasukan pengawal lain yang menjaga keselamatannya. Lau Cong-bin tidak mau mempertaruhkan keselamatannya.

Desa itu sendiri diubah menjadi sebuah kubu pertahanan, dengan tembok-temboknya yang dibangun tergesa-gesa3menggunakan batu dan tanah liat, tempat berpijak untuk para pemanah dan pelempar lembing di belakang tembok, pintu-pintu gerbang yang berpalang.

Untuk Jenderal Lau, kepala desa harus mengalah meminjamkan rumahnya, sebab rumah kepala desa itulah yang terbaik yang ada di desa itu. Untuk perbekalan, Jenderal Lau juga merasa lega ketika mendengar laporan si Kepala Desa bahwa di desa itu tinggal seorang pedagang beras yang menyimpan puluhan karung beras di gudangnya. Dengan ringan Jenderal Lau memerintahkan bahwa beras dari si juragan beras "bisa dipinjam" sementara.

Begitulah, setelah mendapat "tempat berteduh" yang cukup aman, meski Jenderal Lau tahu ini hanya sementara, sang jenderal segera mengambil tindakan tertentu. Ia kirim seorang penunggang kuda yang cepat untuk ke Pak-khia membawa suratnya. Tentu saja yang menulis surat bukan Jenderal Lau sendiri sebab ia nyaris buta huruf, melainkan Deng Hu-koan yang menuliskannya.

Isi surat menyebutkan betapa "San-hai-koan hampir bisa direbut" tetapi kemudian orang-orang Manchu datang "banyaknya bagaikan air laut" membuat Jenderal Lau harus mundur dan membangun pertahanan baru. Khusus laporan tentang jumlah pasukan Manchu ini, Lau Cong-bin sengaja membesar-besarkannya agar Kaisar Tiong-ong bisa "memaklumi kekalahannya".

Tentu saja ia malu kalau membeber kenyataan bahwa pasukan Manchu yang memukulnya mundur itu jumlahnya hanya sekitar tiga puluh ribu orang. Separuh pasukan Lau Cong-bin. Tetapi kegarangan-nyalah yang sulit dilupakan.

Demikianlah, hari itu juga, pembawa surat itu berpacu menuju Ibukota Pak-khia dengan membawa surat Jenderal Lau. Jalanan menuju ke Pak-khia ramai dengan pengungsi. Sepanjang jalan dilihatnya orang-orang lelaki, perempuan, anak-anak, bayi-bayi yang digendong atau dinaikkan gerobak bersama barang-barang, kambing, ayam bebek dalam kurungan.

Tidak jarang juga di pinggir jalan nampak orang-orang menguburkan jenazah manusia secara darurat, yang mati adalah orang-orang kelaparan. Si pembawa surat Lau Cong-bin tidak tersentuh sedikit pun hatinya melihat semuanya itu. Yang penting, surat itu harus segera sampai ke Pak-khia.

Sepanjang jalan ia terus membalapkan kudanya, tidak peduli membahayakan anak-anak kecil. Sedikit-sedikit, ia "memainkan" cambuknya untuk menyuruh orang-orang minggir. Tetapi setelah dua hari perjalanan, pembawa surat ini mendadak melihat suatu rombongan lain di jalanan.

Berbeda dengan rombongan pengungsi yang menuju ke arah barat, menjauhi daerah kemelut di sebelah timur, rombongan ini justru berlawanan arah, menuju ke timur. Perbedaan lain, rombongan ini dikawal ratusan prajurit berkuda, dan ada sebuah kereta yang indah di tengah-tengah barisan. Agaknya rombongan pembesar.

Kalau si pembawa surat ini tadinya bersikap garang terhadap orang-orang kecil, kali ini kegarangannya leleh di hadapan rombongan yang megah ini. Ia pinggirkan kudanya, lalu melompat turun dari kuda dan menunggu di pinggir jalan.

Yang berjalan paling depan dari rombongan yang megah itu adalah seorang panglima muda dalam seragamnya yang megah dan kuda cokelatnya yang tegas. Gagang-gagang sepasang pedang nampak mencuat dari sepasang pundaknya yang tegap.

Si pembawa surat agak tercengang mengenali pimpinan rombongan itu adalah Yo Kian-hi, seorang perwira bawahan Jenderal Li Giam yang terkenal. Jenderal Li Giam "dibuang" alias dijauhkan dari percaturan di pusat pemerintahan di Pak-khia, dengan cara diberi tugas di wilayah barat-laut yang jauh.

Kenapa sekarang seorang panglima bawahannya malah muncul di sebelah timur Ibukota Pak-khia, dalam pasukan yang megah meskipun jumlahnya tidak mencukupi sebagai suatu pasukan tempur? Lebih mencengangkan lagi, ketika si pembawa surat melihat bahwa prajurit-prajurit pengiring kereta itu bukanlah prajurit-prajurit biasa melainkan prajurit-prajurit istana.

“Apakah Yo Kian-hi sekarang sudah menjadi komandan salah satu pasukan istana?" si pembawa surat bertanya-tanya dalam hati. “Tetapi kenapa seragam Yo Kian-hi sendiri masih seragam prajurit tempur di lapangan, bukan prajurit istana?"

Si pembawa surat itu sebenarnya agak waswas juga menempuh perjalanan seorang diri, takut di tengah jalan ada yang menghadangnya dan merampas surat pentingnya, meskipun ia sudah menyamar sebagai pengembara biasa. Tetapi di jaman penuh kemelut itu, segala sesuatu bisa terjadi. Kini berpapasan dengan rombongan Yo Kian-hi ini, timbul pikirannya untuk "membagi beban" dengan orang-orang ini.

Karena itu, begitu Yo Koan-hi dan kudanya lewat di depannya, dia berlutut dan berkata dengan keras, "Salam hormatku untuk Panglima Yo!”

Yo Kian-hi tercengang dan menghentikan kudanya. Mengamat-amati orang itu. Rombongan pun mau tidak mau jadi ikut berhenti. Yo Kian-hi tidak mengendorkan kewaspadaan, ia belum tahu siapa orang itu, dan ia harus memperhitungkan adanya kemungkinan perangkap oleh musuh. “Siapa kamu?”

“Saya prajurit sandi dari balatentara Jenderal Lau yang ikut di garis depan..." ada nada pamer dalam suaranya, ketika ia sebutkan itu. “Saya sedang menjalankan tugas penting dari Jenderal Lau, kebetulan bertemu Panglima di sini.”

“Tugas penting apa?”

“Membawa surat Jenderal Lau ke Ibukota Pak-khia." Si pembawa surat itu bukannya tidak tahu kalau di antara tiga orang jenderal utamanya Kaisar Tiong-ong, yaitu Li Giam, Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing, ada persaingan diam-diam berebut pengaruh. Ia adalah suruhannya Jenderal Lau dan Yo Kian-hi adalah bawahannya jenderal Li Giam.

Ia tidak akan heran kalau Yo Kian-hi bakal meminta surat Jenderal Lau itu dan lancang membukanya untuk mengetahui isinya. Di antara pihak-pihak yang bersaing, rasanya sah saja melakukan tindakan seperti'itu. Dan si pembawa surat yang kurang bertanggung-jawab itu sudah siap menyerahkan suratnya kalau diminta Yo Kian-hi. Syukur kalau Yo Kian-hi menyuruh dia kembali dengan berkata, "Suratnya sudah di tanganku." Ia jadi bakal tidak usah meneruskan perjalanan ke Pak-khia yang melelahkan dan penuh bahaya itu.

Benar. Yo Kian-hi tiba-tiba menjulurkan tangannya dari atas kuda dan bertanya, "Mana suratnya?"

Si pembawa surat menyerahkan suratnya, dengan harapan Yo Kian-hi akan mengambilalih tugasnya. Ternyata dilihatnya Yo Kian-hi hanya membolak-balik sampul surat itu untuk memeriksa keaslian capnya, kemudian tanpa membuka sampulnya ia malah mengembalikan kepada pembawanya.

Si pembawa surat terpaksa menerimannya kembali, suaranya bernada minta dikasihani, "Panglima Yo, perjalanan ke Pak-khia sungguh berbahaya dengan membawa surat sepenting ini. Banyak musuh yang mengincar nyawaku kalau sampai mereka tahu apa yang kubawa...”

“Jenderal Lau memang keterlaluan," sahut Yo Kian-hi dingin. “Surat sepenting itu, kenapa hanya menyuruh satu orang untuk membawanya? Orang-orangnya yang disuruh tidak bertanggung-jawab dan penakut pula..."

Si pembawa surat merah wajahnya oleh sentilan tajam itu. “Kata Jenderal Lau, kalau yang pergi terlalu banyak malahan akan menimbulkan kecurigaan orang...”

“Ceritakan, apa yang terjadi di San-hai-koan...”

“Si keparat Bu Sam-kui mengundang masuk balatentara Manchu sehingga kami terpukul mundur..."

Kali ini Yo Kian-hi terperanjat sekali, wajahnya memucat. “Apa katamu?”

“Bu Sam-kui membuka pintu San-hai-koan lebar-lebar buat balatentara Manchu! Sekarang orang-orang Manchu sudah berada di atas tanah Tiong-goan."

Yo Kian-hi dengan perasaan meluap. “Pasti Jenderal Lau menyuruhmu berbohong, bahkan juga kepada Kaisar, supaya dikirimi bala bantuan yang lebih besar! Betul tidak?"

Si pembawa surat menggeleng-gelengkan kepala, "Tidak, Panglima. Memang begitu kejadiannya."

Yo Kian-hi merasa tenggelam dalam kekecewaan dan kemasygulan hebat. Perjalanannya ke San-hai-koan saat itu adalah untuk mengantar Tan Wan-wan untuk "meredakan" Bu Sam-kui agar jangan sampai Bu Sam-kui menyerah kepada Manchu, bahkan ada "bonus" lain yaitu akan melepaskan Helian Kong sebagai isyarat perdamaian buat sisa-sisa dinasti Beng lainnya.

Ternyata sekarang malah didengarnya kabar kalau Bu Sam-kui sudah menyerahkan San-hai-koan ke pihak Manchu. Artinya, segala upaya untuk menyelamatkan San-hai-koan itu sudah terlambat. Teriakan Yo Kian-hi tadi terdengar oleh Tan Wan-wan yang berada dalam kereta.

Tan Wanwan yang saat itu berkedudukan sebagai utusan resmi Kaisar Tiong-ong dengan wewenang penuh atas nama Kaisar untuk menyelesaikan benang ruwet, la tidak datang merendahkan martabat untuk memuaskan keinginan Bu Sam-kui.

“Ada apa, Saudara Yo?" tanya Tan Wan-wan.

Yo Kian-hi menggerakkan kudanya ke sisi kereta. Di sisi kereta itu ternyata juga ada Helian Kong yang menunggang kuda. Saat itu statusnya adalah tawanan yang baru akan dilepaskan di San-hai-koan nanti, di depan mata banyak pihak, untuk menunjukkan "kemurahan hati" Kaisar Tiong-ong.

Karena luapan perasaannya, Yo Kian-hi tidak sempat memilih kata-kata lagi, "Tuan Puteri, percuma saja seandainya kita tiba di San-hai-koan. Bu Sam-kui sudah menyerahkan San-hai-koan ke tangan orang Manchu!”

Tan Wan-wan dan Helian Kong sama kagetnya. Tan Wan-wan kaget karena hubungannya yang unik dengan Bu Sam-kui. Kedudukannya adalah musuh sekaligus calon isteri Bu Sam-kui. Musuh, karena Tan Wan-wan adalah orang golongan Pelangi Kuning sedangkan Bu Sam-kui setia kepada dinasti Beng. Tetapi juga calon isteri, sebab dulu ketika Tan Wan-wan dikeluarkan dari istana oleh Kaisar Cong-ceng, langsung dianugerahkan untuk menjadi calon isteri Bu Sam-kui.

Meskipun penjodohan itu sama sekali tidak didasari cinta dari pihak Tan Wan-wan sebaliknya dari pihak Bu Sam-kui bukan hanya cinta, bahkan tergila-gila tetapi Tan Wan-wan waktu itu toh mau saja, tujuannya sama dengan saat ini, supaya Bu Sam-kui segera kembali ke San-hai-koan dan bertangung-jawab dengan baik atas keamanan kota perbatasan itu.

Sekarang mendengar Bu Sam-kui melakukan kebodohan sebesar itu, Tan Wan-wan gentar juga, entah bagaimana kelak namanya akan ditulis dalam sejarah? Sedangkan Helian Kong sebagai sahabat Bu Sam-kui juga tidak kalah kagetnya.

Helian Kong sudah berusaha mati-matian menyelamatkan San-hai-koan maupun nama baik Bu Sam-kui dari caci-maki seluruh bangsa Han, sampai Helian Kong berani menjanjikan kepada Bu Sam-kui untuk dalam sepuluh hari membawa Tan Wan-wan ke San-hai-koan. Helian Kong tahu bahwa yang sepuluh hari itu sudah terlewati, tetapi sungguh tak terduga kalau Bu Sam-kui mengambil tindakan seperti itu.

“Darimana kau mendengarnya?" tanya Helian Kong.

Dengan isyarat tangannya, Yo Kian-hi menyuruh si orang suruhan Jenderal Lau itu mendekat dan mengulangi ceritanya. Orang itu melakukan sesuai dengan perintah Yo Kian-hi, sementara Tan Wan-wan serta Helian Kong mendengarkannya dengan wajah tegang.

Tidak peduli yang satu dari golongan Pelangi Kuning dan yang lain dari sisa dinasti Beng, keduanya4sama-sama cemas dan geregetan mendengar orang Manchu sudah memasuki Tiong-goan.

“Bu Sam-kui... di mana kau taruh otakmu?" desis Helian Kong sambil mengepalkan tangannya erat-erat.

Sementara Yo Kian-hi melampiaskan kegusarannya terhadap Bu Sam-kui dengan mengalihkannya kepada Helian Kong, sorot matanya berapi-api menatap Helian Kong, "Jelas sekarang! Sisa-sisa dinasti Beng tidak segan-segan bersekutu dengan orang Manchu untuk menegakkan kembali kekuasaan Keluarga Cu!”

Helian Kong tentu saja tidak terima didakwa mentah-mentah, "Yang melakukan itu adalah Bu Sam-kui pribadi! Kau sendiri tahu bagaimana sikapku kepada orang Manchu, dan sudah kubuktikan dengan tindakanku ketika menyelamatkan jenderalmu Li Giam dari usaha pembunuhan yang didalangi oleh Penasehat Militer Manchu itu! Jangan menuduh sembarangan!”

Dalam kegusarannya, Yo Kian-hi jadi kurang bisa berpikir secara dingin. Tangannya sudah siap meraih gagang pedang di pundaknya, sambil berkata, "Sekarang aku tahu itu hanya permainan! Kalian budak-budak Keluarga Cu pastilah sudah mengikat kesepakatan diam-diam dengan anjing-anjing Manchu itu, kalian pura-pura bermusuhan, padahal bekerja sama untuk mengkhianati kami!”

Helian Kong sendiri cuma gemetar bibirnya tetapi tidak bisa omong apa-apa. Meskipun kemungkinan Bu Sam-kui menakluk kepada Manchu itu sudah sering dikhawatirkannya, tak urung ketika terjadi benar-benar, dia juga kebingungan cara menghadapinya. Ditambah tuduhan dan sikap sengit Yo Kianhi yang memojokkannya.

Untung di situ ada Tan Wan-wan, yang bagaimanapun berkedudukan lebih tinggi dari Yo Kian-hi. Sebagai utusan resmi Kaisar Tiongong dan sebagai Puteri Kong-hui, Yo Kian-hi hanya berkedudukan sebagai kepala pengawalnya. Ternyata Tan Wan-wan malahan lebih tenang dan lebih dingin dari kedua lelaki yang hampir saling gebrak itu.

“Saudara Yo, sarungkan pedangmu!” kata Tan Wan-wan kepada Yo Kian-hi.

Saat itu memang Yo Kian-hi sudah menghunus sepasang pedang tebalnya. Yo Kian-hi masih penasaran dan tidak segera menuruti perintah itu. “Nona Tan... eh, maaf, Tuan Puteri, masih kurang jelaskah persekongkolan antara...”

“Komandan Yo, perintahku, sarungkan pedang-pedangmu!” suara Tan Wan-wan kali ini lebih tegas.

Sebutan "Saudara Yo" yang mengingatkan sebagai teman seperjuangan sejak dulu digantinya dengan "Komandan Yo" untuk mengingatkan kedudukan Yo Kian-hi yang saat itu di bawah perintahnya. Sebagai prajurit yang baik, Yo Kian-hi menyarungkan kedua pedangnya, meskipun matanya masih melotot gusar kepada Helian Kong.

Tan Wan-wan lalu berkata, "Kalian, kesatria-kesatria bangsa Han, tidak peduli di mana pun kalian berpijak, apakah kalian sekarang akan saling gorok demi menuruti gejolak jiwa yang sempit? Sedang musuh sejati, yaitu orang Manchu, tidak lagi di ambang pintu tetapi sudah memasuki pintu rumah kita? Kalau kalian mau saling gorok, silakan, biar orang-orang Manchu menonton kalian sambil berpeluk tangan dan tertawa gembira. Tanpa banyak susah mereka akan mencaplok seluruh negeri, karena anak negeri seperti kalian tidak bisa bekerja sama, tidak bisa melupakan permusuhan dan tetap saja cakar-cakaran berebut benar sendiri!”

Ajaib juga bahwa lelaki-lelaki gagah macam Helian Kong dan Yo Kian-hi sekarang dimarahi Tan Wan-wan tanpa membantah apa-apa, seperti dua anak kecil yang dimarahi ibunya karena bermain hujan-hujanan.

Setelah menegur kedua pihak, sekarang Tan Wan-wan mulai mengarahkan kata-katanya lebih kepada Yo Kian-hi, "Saudara Yo, jangan terlalu gampang menuduh orang. Kita tahu apa saja yang sudah dilakukan Helian Kong demi menyelamatkan San-hai-koan. Suka atau tidak suka, kau harus mengakuinya sebab kau sendiri pun melihatnya.

"Dia bersama kita sejauh ini tanpa diborgol dan tidak melarikan diri, tidakkah ini memperlihatkan bagaimana isi hatinya dan kepeduliannya tentang nasib negeri ini? Kalau Helian Kong hanya seorang yang mengagul-agulkan harga dirinya secara sempit, maukah dia digiring sebagai tawanan sejauh ini? Apakah selama ini dia kelihatan berusaha mencari kesempatan melarikan diri, meskipun terbuka banyak peluang?"

Helian Kong merasa terharu mendengar pembelaan Tan Wan-wan atas dirinya. Merasa lega, ada orang yang bisa memahami dirinya. Sementara Yo Kian-hi menarik napas berulang kali. Sesaat Tan Wan-wan berpikit, tiba-tiba ia mengambil sesuatu dari dalam kereta. Itulah pedang milik Helian Kong, pedang Elang Besi bersama sarungnya, yang selama ini "ditahan" sebagai simbol bahwa Helian Kong adalah tahanan. Kini pedang itu diberikannya kepada Helian Kong melalui jendela.

Yo Kian-hi terkejut, "Tuan Puteri...”

“Aku yang akan bertanggung-jawab kepada Baginda," Tan Wan-wan menukas. Lalu katanya kepada Helian Kong, "Saudara Helian, rencana kita berantakan. Rencana kita hanya bisa berjalan kalau San-hai-koan masih dikuasai Bu Sam-kui, tetapi ternyata sekarang sudah dikuasai musuh. Karena itu, aku atas nama Sri Baginda Tiong-ong mengambil keputusan untuk membebaskanmu sekarang, tidak perlu lagi sampai ke San-hai-koan. Ini pedangmu, ambillah."

Helian Kong menoleh sekejap kepada Yo Kian-hi sebelum menerima pedang itu. “Terima kasih, Tuan Puteri..." Sikap antara Helian Kong dan Tan Wan-wan memang selalu canggung.

Mereka adalah teman sejak kecil, tumbuh bersama, bahkan pernah sampai kepada suatu janji bersama untuk mengarungi kehidupan bersama. Kemudian keadaan memisahkan mereka, dan tahu-tahu mereka telah berhadapan sebagai musuh karena Helian Kong adalah panglima dinasti Beng dan Tan Wan-wan adalah mata-mata Pelangi Kuning yang menyelundup ke istana.

Bahkan setelah kaum Pelangi Kuning menang perang pun kecanggungan itu tidak lenyap. Kini, mereka yang dulu saling memanggil nama dengan akrab, sekarang harus saling memanggil dengan sebutan resmi yang membuat tembok di antara mereka seolah makin tinggi dan tebal.

“Saudara Helian, kau boleh pergi ke mana saja karena kau orang bebas sekarang. Tetapi aku hanya ingin menganjurkan satu hal...”

“Aku dengarkan, Tuan Puteri.”

“Katakan kepada kawan-kawanmu yang masih setia kepada dinasti Beng. Situasi sekarang tidak menguntungkan kalau sesama bangsa Han terpecah-belah. Ajak teman-temanmu melupakan permusuhan, setidak-tidaknya untuk sementara, sampai orang Manchu kita bereskan...”

“Aku juga berpikiran demikian."

"Aku tahu kau berpikiran demikian. Kau sudah membuktikan kata-katamu dengan sikapmu. Selamat jalan."

Ternyata meskipun sudah diberi ucapan selamat jalan, Helian Kong belum juga beranjak pergi. Ia malah bertanya, "Tuan Puteri hendak ke mana setelah ini?”

“Tetap menuju ke sebelah timur untuk bertemu dengan Bu Sam-kui."

Yo Kian-hi terkejut lalu menukas, "Tuan Puteri, dengan terjunnya orang Manchu ke arena, situasi tambah berbahaya. Wilayah timur bukan lagi wilayah yang aman untuk dijalani...”

“Bukankah ada jenderal Lau dan pasukannya?”

“Jenderal Lau terpukul mundur oleh pasukan Manchu yang jauh lebih kuat. Pasukan Jenderal Lau bukan jaminan keamanan Tuan Puteri.”

“Tetapi aku harus menemui Bu Sam-kui."

Helian Kong ikut membujuk Tan Wan-wan, "Tuan Puteri sebaiknya menuruti saran Panglima Yo. Tidak ada gunanya menemui Bu Sam-kui saat ini, Bu Sam-kui saat ini bukan lagi pengambil keputusan penting, ia pasti sudah dikuasai orang-orang Manchu. Adalah lebih baik kalau Tuan Puteri tetap di Pak-khia untuk mendampingi... Sri Baginda dan memberikan pertimbangan-pertimbangan berharga..."

Alot sekali ketika Helian Kong harus menyebut Kaisar Tiong-ong dengan sebutan menghormat "Sri Baginda", sebab itu berarti mengakui kekuasaan Li Cu-seng yang telah menumbangkan dinasti Beng.

Namun saat itu, demi tercapainya tujuan kerja sama, biarpun sementara, antara sisa-sisa dinasti Beng dan kaum Pelangi Kuning yang harus menghadapi musuh bersama, balatentara Manchu, terpaksa Helian Kong menyebut Li Cu-seng dengan "Sri Baginda".

Ternyata sikap Tan Wan-wan tidak bergeming. Sorot matanya yang tajam menerawang jauh ke arah timur, ke arah Sanhai-koan seakan-akan ingin melihatnya dari jendela keretanya.

Katanya tegas, "Tidak, aku tetap harus ke sana. Kalau pun tidak bisa berbicara dengan Bu Sam-kui, aku ingin bicara dengan Jenderal Lau..."

Yo Kian-hi dan Helian Kong jadi sama-sama cemas, "Tuan Puteri..."

Namun perkataan mereka dipotong oleh Tan Wan-wan dengan tegas, "Aku tidak peduli kalian setuju atau tidak, aku tetap harus pergi ke garis depan untuk melihat apa yang masih bisa aku lakukan untuk menyelamatkan keadaan. Aku sudah jemu mendengar orang-orang di luaran menganggapku hanya sebagai perempuan pembawa bencana bagi negeri..."

Secara bersamaan pula Yo Kian-hi dan Helian Kong teriris hatinya. Mereka ikut merasakan pedihnya hati Tan Wan-wan, bahwa dirinya dijadikan kambing hitam dari pusat kemelut itu. Tak ada yang mengkritik kenapa lelaki-lelaki yang menepuk dada sebagai pemimpin-pemimpin bangsa itu begitu lemah diombang-ambingkan kecantikan seorang wanita? Kenapa Tan Wan-wan terus yang disalahkan? Rasa kesal dan penasaran itulah5agaknya yang mendorong Tan Wan-wan dalam niatnya itu.

“Tuan Puteri tidak perlu menggubris omongan orang di luaran..." hibur Yo Kian-hi.

“Biarpun hanya segelintir orang, tetap ada orang-orang yang memahami perjuangan dan pribadi Tuan Puteri. Bahkan bukan hanya orang-orang golongan kita sendiri, tetapi juga musuh-musuh kita..." Berkata sampai di sini, Yo Kian-hi melirik ke arah Helian Kong yang belum pergi-pergi juga, meskipun sudah dinyatakan bebas.

Helian Kong menyokong, "Betul. Biarpun perjuanganmu tidak dipahami banyak orang, tetapi ada juga yang memahaminya. Tidak perlu mengambil tindakan nekad yang membuat keadaan tambah keruh...”

“Helian Kong, jadi kau pikir kalau aku ikut turun tangan menyelesaikan masalah ini, keadaan tambah ruwet, karena aku perempuan tidak becus, yang becusnya hanya merayu dan menggoyahkan iman para lelaki?"

Helian Kong terkesiap, ledakan kemarahan Tan Wan-wan yang ditunjukkan itu menandakan kalau Tan Wan-wan selama ini memang sudah kesal dan pepat dengan anggapan kebanyakan orang atas dirinya.

Dan ia ingin melakukan sesuatu yang hebat untuk menjungkir-balikkan anggapan orang itu. Helian Kong yang gagah perkasa itu pun tergagap-gagap di bawah sorot tajam mata Tan Wan-wan.

“Maksudku... maksudku... Lau Cong-bin itu bukan seorang yang bisa berpikir panjang, tak ubahnya Bu Sam-kui. Kehadiran Tuan Puteri di garis depan mungkin sekali akan mengakibatkan Jenderal Lau mengambil tindakan tak terduga yang memperkacau suasana. Bukan Tuan Puteri yang akan mengacaukan, tetapi Jenderal Lau..."

Begitulah, untuk meredakan hati Tan Wan-wan, Helian Kong mencaci baik Bu Sam-kui maupun Lau Cong-bin yang sama-sama tergilagila kepada Tan Wan-wan. Jadi Helian Kong secara tersirat tidak menyalahkan Tan Wanwan, melainkan menyalahkan lelaki itu.

Namun Tan Wan-wan tak tergoyahkan, "Panglima Yo, kau mau mengantarku ke garis depan atau tidak? Kalau kau tidak mau, aku berangkat sendiri..."

Yo Kian-hi benar-benar tidak punya pilihan lain, ia tidak tega membiarkan Tan Wan-wan menuju ke tempat berbahaya tanpa ditemani orang yang bisa dipercaya. Meski para pengawal itu pun adalah prajurit-prajurit pilihan yang terpercaya, tentu saja mereka tak bisa diajak bicara dari hati ke hati.

Terpaksalah Yo Kian-hi berkata, "Aku akan bersama-sama Tuan Puteri."

Sementara Helian Kong pun merasa tidak sanggup merintangi kehendak Tan Wan-wan itu. Ia putar kudanya, dan berkata, "Pesanku untuk Jenderal Lau, aku dan pasukanku menyediakan diri untuk bekerja sama membendung pasukan Manchu. Sebagai tanda, di pasukanku ada tawanan, seorang perwira bawahan Jenderal Lau yang bernama Ong Lingpo, aku akan melepaskan orang itu." Habis berkata demikian, berderaplah kuda Helian Kong meninggalkan rombongan itu.

Bagaimanapun Yo Kian-hi belum mempercayai Helian Kong sepercaya Tan Wanwan. Setelah Helian Kong jauh, bertanyalah Yo Kian-hi kepada Tan Wan-wan, "Tuan Puteri, bagaimana kalau... Helian Kong malah menggabungkan pasukannya dengan pihak Bu Sam-kui, dan menganggap ini kesempatan untuk memulihkan kekuasaan Keluarga Cu?”

“Aku kenal dia," sahut Tan Wan-wan mantap. “Dia tidak mungkin berbuat begitu.”

“Tapi dia panglima dinasti Beng yang sangat gigih dan amat membenci kita," sanggah Yo Kian-hi.

“Dia tahu mana yang paling penting."

Rombongan itu pun melanjutkan perjalanan. Sedang pembawa surat suruhan Jenderal Lau itu tetap disuruh ke Pak-khia, ditemani dua orang dari pasukan yang mengiringi Tan Wan-wan itu.


Pasukan Jenderal Lau yang tinggal separuh dan menyusun pertahanan di belakang sebuah bukit itu, terus menerus waspada siang dan malam mengawasi arah timur. Menurut perhitungan mereka, hanya ada dua jalan dari arah San-hai-koan yang bisa dilewati oleh pasukan besar. Jalan lewat darat hanyalah melewati selat gunung yang sempit, dan di tempat itu sudah dijaga kuat oleh pasukan Jenderal Lau.

Jalan kedua ialah jalan air, melalui sebuah sungai kecil di sebelah utara. Tempat itu pun sudah dijaga. Di sebelah utaranya lagi adalah pegunungan yang terjal dan menurut perhitungan tak mungkin dilalui pasukan besar, sebab dalam pasukan besar tentu banyak gerobak-gerobak perbekalan dan lain-lain yang tidak mungkin dilewatkan jalan pegunungan yang sempit dan terjal. Sedang di sebelah selatannya adalah rawa-rawa.

Jenderal Lau sendiri beberapa li di belakang garis pertahanan, bersama pengawal-pengawal cantiknya dan seribu pengawal lainnya, ada di sebuah desa yang dijadikan markas komando. Setiap saat Jenderal Lau menerima laporan dari pasukan-pasukannya di garis depan. Dan semuanya melaporkan kalau dari arah timur belum kelihatan gerakan tentara Manchu.

"Agaknya mereka hanya sekedar ingin menyelamatkan Bu Sam-kui di San-hai-koan, tetapi tidak punya nyali untuk maju lebih lanjut..." kata seorang perwira bawahan Jenderal Lau yang bernama Tek Un-hap. Diteruskan dengan jilatannya kepada Jenderal Lau.

“Mereka berhasil sedikit merugikan kita, karena kita tidak menduga mereka tiba-tiba saja muncul, di medan pertempuran. Kita tidak menduga kalau Bu Sam-kui segila itu. Tetapi sekarang, aku yakin mereka tidak berani melangkah lebih jauh dari San-hai-koan, mereka pasti gentar kalau mengetahui di sini ada Jenderal Penakluk Pak-khia..."

Memang dulu, ketika kaum Pelangi Kuning merebut Pak-khia dari pemerintahan dinasti Beng, Jenderal Lau Cong-bin lah yang pertama kali berhasil memasuki Pak-khia, sehingga dia pun diberi pangkat Panglima Tertinggi oleh pemerintah yang baru. Jenderal Lau yang setengah buta huruf itu paling bangga kalau hal itu diungkit-ungkit, demikian pula saat itu.

"Kalau bala bantuan dari Pak-khia sudah tiba, kita maju kembali ke San-hai-koan dengan kekuatan penuh, dan kita rebut kota itu!” sahut Jenderal Lau.

“Aku masih belum kehilangan impianku untuk menunjukkan batok kepala Bu Sam-kui kepada Tan Wan-wan..."

Perwira yang menjadi tangan kanan Lau Cong-bin, Deng Hu-koan, memperingatkan Lau Cong-bin sebagai imbangan perkataan Tek Unhap yang bersifat menina bobokan itu, "Bagaimanapun, kita tidak boleh mengendorkan kewaspadaan sedetik pun. Kita sudah belajar satu hal, bahwa orang Manchu ternyata bergerak tak terduga, diluar perhitungan..."

Jenderal Lau menguap lebar sambil bangkit dari kursinya, dan berkata, "Tentu saja kita harus tetap waspada, tetapi jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang melemahkan semangat prajurit kita dan terlalu memuji musuh. Sekarang aku mengantuk dan ingin beristirahat dulu. Deng Hu-koan, kau terima dulu semua laporan dari garis depan dan laporkan kepadaku besok pagi.”

“Baik, Jenderal."

Kemudian Jenderal Lau meninggalkan ruangan itu, kedua tangannya merangkul dua orang pengawal cantik di kiri-kanannya. Deng Hu-koan maupun Tek Un-hap tidak percaya kalau Si Jenderal hidung-belang mereka itu begitu dalam kamar akan langsung beristirahat. Penjagaan di seluruh sudut desa yang dijadikan markas komando itu cukup ketat, mengingat keselamatan Jenderal Lau sendiri.

Tidak ada sudut-sudut desa yang dibiarkan gelap di malam hari, semua sudut dipasangi obor sehingga kalau ada gerakan-gerakan apaapa akan segera diketahui. Ketenteraman hidup penduduk desa itu jadi amat terganggu dengan kehadiran serdadu-serdadu itu, siang maupun malam. Tetapi penduduk tak berdaya itu bisa berbuat apa...?

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.