Kembang Jelita Peruntuh Tahta II Jilid 16 karya Stevanus S P - Begitu pula malam itu, penduduk desa tidurnya tidak senyenyak malam-malam sebelumnya. Sebentar-sebentar terdengar derap kaki kuda yang hilir mudik, atau derap langkah prajurit-prajurit yang merondai jalanan-jalanan desa.
Masih lumayan kalau cuma begitu, kadang-kadang di larut malam para prajurit tidak segan-segan menggedor rumah penduduk untuk minta minuman atau makanan, atau bahkan menggoda perempuan-perempuan muda yang cantik sampai menodainya.
Jenderal Lau tidak mengendalikan orang-orangnya, sebab ia beranggapan bahwa prajurit-prajuritnya dalam menjalankan tugas itu membutuhkan "hiburan" sedikit.
Malam itu, penduduk desa bakal mendapat gangguan tambahan yang tidak kecil. Ketika tanda waktu tengah malam berbunyi, maka di semak-semak belukar di luar desa, juga di ladang-ladang penduduk di luar desa yang tidak terjangkau obor-obor yang ditancapkan di pintu gerbang desa, tiba-tiba saja bermunculan sosok-sosok bayangan yang semula bertiarap di tanah.
Kemudian tanpa suara tetapi tertib, menurut sasaran yang sudah ditetapkan masing-masing, mereka bergerak mengendap-endap mendekati desa dengan senjata-senjata terhunus. Langkah mereka tidak menimbulkan suara berisik, menyelinap.
Beberapa prajurit Pelangi Kuning yang berjaga-jaga di pintu gerbang desa pun tiba-tiba mengaduh ketika luncuran panah-panah dari balik tirai kegelapan menancap di dada mereka. Prajurit-prajurit yang lainnya terkejut. Mereka terlanjur menganggap musuh bakalan menyerbu dari timur dan harus melewati garis pertahanan mereka.
Dan desa yang dijadikan markas itu aman sebab letaknya di garis belakang, tiba-tiba malam ini musuh muncul tanpa suara dari sebelah barat. Keruan prajurit-prajurit Lau Cong-bin jadi panik menanggulangi keadaan.
“Awas musuh!”
"Bunyikan tanda bahaya!”
"Panggil teman-teman!”
"Tutup pintu gerbang!”
Ada yang berteriak "tutup pintu gerbang" sebab para prajurit di desa itu terbiasa membiarkan pintu-pintu gerbang desa terbuka di malam hari, karena terlalu merasa aman, di pintu-pintu gerbang itu mereka terbiasa duduk-duduk sambil makan kacang atau kuaci dan menenggak arak. Dan malam itu mereka mendapat suguhan "yang lain kecuali kuaci dan arak".
Sementara para prajurit itu berteriak teriak, hujan panah dari kegelapan tidak berhenti dan terus minta korban. Para pemanah dari kegelapan itu tidak memanah secara sembarangan, tetapi agaknya adalah pemanah-pemanah mahir, bahkan amat mahir.
Anak panah yang mereka hamburkan tidak terlalu banyak, tetapi hampir tidak ada anak panah yang jatuh ke tanah dengan sia-sia. Hampir semua anak panah menancap ke tubuh sasarannya, bahkan sasaran yang sedang berlari. Bahkan kemudian dari kegelapan itu muncul orang-orang yang langsung menyerbu ke pintu gerbang desa.
Waktu itu, para prajurit Pelangi Kuning yang masih lolos dari panah sudah masuk ke sebelah dalam pintu gerbang dan berusaha menutup pintu gerbang, sepasang daun pintu itu sudah hampir terkatup sepenuhnya, namun penyerbu-penyerbu dari luar itu berusaha menahannya, sehingga beberapa saat terjadi dorong mendorong.
Dari atas tembok desa yang dibangun dari tanah liat dan batu-batu serta kayu itu, prajuritprajurit Pelangi Kuning mencoba menghalau penyerbu-penyerbu dengan memanah dan menjatuhkan benda-benda berat. Tetapi mereka upa pemanah-pemanah mahir yang masih bersembunyi di kegelapan, di antara pohonpohon kebun penduduk di luar desa.
Kalau prajurit Pelangi Kuning yang muncul di atas tembok hanya muncul setengah badan, ya bagian badannya yang muncul itulah yang kena. Kalau yang muncul jidatnya, ya jidatnyalah yang kena. Menghadapi musuh sehebat ini, prajuritprajurit Lau Cong-bin ini berkerut nyalinya.
Tetapi demi tugas, mereka bertahan mati-matian, apalagi karena di desa itu ada Jenderal Lau, pimpinan tertinggi seluruh pasukan, bahkan adalah Panglima Tertinggi dari pemerintah yang baru.
Sementara itu, acara "dorong-mendorong pintu" sudah berakhir. Sebelah daun pintu gerbang itu sudah berhasil didorong terbuka dari luar oleh para penyerbu. Prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang bertahan di belakang daun pintu yang terbuka itu jatuh telentang bertumpuk-tumpuk, segera diinjak dan ditikam dengan ganas oleh penyerbu-penyerbu itu.
Kalau sebelah pintu sudah terbuka, yang setengah lagi juga percuma dipertahankan mati-matian. Prajurit-prajurit Jenderal Lau yang semula mempertahankan dengan menahan daun pintu yang sebelah itu pun berlari-larian mundur, dan kini mereka mempertahankan desa dengan cara lain. Dengan senjata.
Para penyerbu menyerbu masuk ke dalam desa melalui pintu yang sudah terbuka itu. Mereka beringas menerjang prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang bertahan di ujung lorong, mencoba menahan jangan sampai penyerbu-penyerbu memasuki desa.
Bala bantuan dari dalam desa terus berdatangan, tetapi di pihak penyerbu juga terus kedatangan bala bantuan. Para prajurit Pelangi Kuning itu dulunya adalah pejuang-pejuang yang gigih, semasa mereka masih hidup prihatin sebagai laskar yang memberontak terhadap dinasti Beng.
Kemudian ketika mereka menang, mereka memang agak terlena dan mabuk kemenangan, agak kendor semangatnya. Kini, menghadapi penyerbu-penyerbu yang ganas ini, semangatjuang prajurit Pelangi Kuning yang sudah terkubur pun mulai bangkit sedikit demi sedikit.
Dengan teriakan-teriakan saling membangkitkan semangat, semangat mereka jadi berkobar dan melakukan perlawanan dengan gigih. Begitulah, terjadi pertempuran sengit di ujung lorong desa. Tetapi karena kedua belah pihak kedatangan bala-bantuan, arena yang sempit itu jadi memadat.
Di pihak penyerbu, barisan belakangnya yang ingin segera "mencicipi" suasana pertempuran itu tidak sabar lagi berdesak-desakan antri di belakang. Mereka mendobrak masuk ke halaman-halaman rumah disebelah-menyebelah jalan, lalu mencari sendiri jalan ke "garis depan".
Dengan demikian pertempuran pun tidak bisa dibatasi hanya di lorong ujung desa, melainkan menyebar ke sudut-sudut desa, ke setiap lorong, setiap halaman rumah. Musuh dan teman bisa muncul dari arah mana saja di desa itu.
Seorang perwira Pelangi Kuning menjadi gusar melihat ulah penyerbu-penyerbu itu, tetapi dalam gusarnya dia seperti diingatkan akan model pertempuran seperti itu. Dulu, laskar Pelangi Kuning (yang ketika itu masih disebut pemberontak) juga sering menggunakan siasat itu kalau menyerang dan merebut desa-desa yang menjadi markas pasukan Kerajaan Beng.
Karena itu, ia meneriaki pasukannya, "Jangan bingung! Kita tidak asing dengan siasat ini. Perkuat penjagaan di sekitar sasaran utama mereka!”
Biasanya serangan seperti itu akan ditujukan ke sasaran utama dalam desa, dan si perwira menyadari bahwa sasaran utama malam itu pastilah rumah si Kepala Desa yang sedang menjadi tempat kediaman Jenderal Lau.
Dengan aba-aba perwira itu, pasukan Pelangi Kuning di desa itu tidak mau meladeni munculnya musuh di mana saja, mereka sadar bahwa musuh hanya ingin memecah-mecah perhatian kemudian menyerbu langsung ke sasaran utama.
Dalam serbuan model begitu, biasanya di belakang atau di tengah-tengah pasukan yang menyerang itu sudah disiapkansemacam "regu inti" yang kecil tapi tangguh, yang dikhususkan menggempur sasaran utama. Kaum Pelangi Kuning sendiri dulu sering melakukan yang demikian.
Pertempuran menghebat di segala sudut. Pasukan Pelangi Kuning memberi perlawanan sengit, dan mereka. Tidak lagi bertempur tanpa arah, melainkan memusatkan diri hanya melindungi tempat-tempat yang sekiranya menjadi sasaran musuh, seperti kediaman Jenderal Lau atau rumah si saudagar beras di mana "calon isi perut" prajurit-prajurit di desa itu tersimpan.
Pihak penyerbu mencoba memecah-mecah perhatian dengan melakukan pembakaran di beberapa tempat, namun para perwira Pelangi Kuning tetap mengendalikan anak buah masing-masing agar tidak mudah terpancing. Bagaimanapun, pertempuran di lorong-lorong dan di halaman-halaman, di kebun-kebun, tetap saja berlangsung.
Dalam suasana hati yang panas dan tidak banyak pertimbangan di kedua pihak, keselamatan penduduk tidak lagi terlalu digubris oleh kedua pihak. Bahkan pertempuran tidak lagi sekedar di halaman-halaman, tetapi masuk ke rumah-rumah, di kamar-kamar, di ruangan-ruangan dalam rumah.
Sehingga sekarang arena itu "dimeriahkan" tidak hanya oleh dentangdenting senjata beradu, teriakan kemarahan, kesakitan dan kematian, teriak aba-aba para perwira di kedua pihak, melainkan juga jerit tangis wanita dan anak-anak yang meratap dalam ketakutan tanpa harapan, melihat prajurit-prajurit garang saling sembelih di depan mata mereka.
Tambah ramai lagi ketika suara ayam, kambing, lembu dan ternak-ternak lainnya pun terdengar di sana-sini. Entah karena lepas dari kandang, entah karena kandangnya terbakar. Maka tidak aneh kalau di tengah-tengah pertempuran kelihatan ayam beterbangan panik atau lembu melenguhlenguh berlari-lari kian kemari.
Pihak Pelangi Kuning belum melihat "regu inti" di pihak musuh yang akan menuju ke sasaran utama, agaknya pihak musuh masih ingin mengacau di mana-mana. Namun pihak Pelangi Kuning tetap waspada.
Keributan itu membangunkan Jenderal Lau dari tidurnya. Bergegas dia mengenakan pakaiannya, dan dengan matanya yang masih setengah tertutup dia keluar dari kamarnya dengan langkah sempoyongan, tanyanya kepada seorang penjaganya di luar, "Ada apa? Suara apa yang ribut-ribut itu?"
Pengawal yang cantik itu menjawab dengan tegang, "Serbuan musuh, Jenderal...”
“Bangsat! Bagaimana musuh bisa sampai kemari? Benar-benar kantong nasi semua prajurit-prajurit kita yang dipasang di selat gunung dan di tepi sungai itu, sampai bisa ditembus musuh...”
“Kata prajurit yang melaporkan, musuh ini munculnya dari sebelah barat, bukan dari timur...”
“Dari sebelah barat? Mereka ini pasukan dari pihak mana?”
“Belum diketahui, Jenderal.”
“Mana Deng Hu-koan?"
"Sedang melihat keadaan di luar, Jenderal, dan akan segera kembali untuk melapor..."
Baru selesai kata-kata itu, di halaman luar sudah terdengar suara derap kuda yang mendekat dan berhenti di halaman. Kemudian muncullah Deng Hu-koan dengan wajah yang tegang dan berkeringat, meskipun malam itu cukup dingin sebenarnya.
“Bagaimana?" sambut Jenderal Lau.
“Jangan khawatir, Jenderal. Prajurit-prajurit kita kelihatannya bisa mengendalikan situasi, meskipun sergapan musuh cukup mendadak. Penjagaan di sekitar tempat ini juga sudah diperkuat...”
“Apakah mereka mengincar tempat ini?" tanya Lau Cong-bin tergagap, tidak sanggup menunjukkan "kegagahannya" seperti biasanya. Bahkan dengkulnya agak gemetar.
Jawaban Deng Hu-koan bernada menghiburkan, "Meskipun seandainya demikian, Jenderal, mereka akan membentur tembok besi. Seputar tempat ini sudah dijaga kuat. Jenderal aman di sini."
Lau Cong-bin mengangguk-angguk dan merasa agak tenang. “Pasukan mana mereka?”
“Sulit dipastikan. Mereka berpakaian biasa, tidak berseragam. Tetapi ketangkasan dan keberanian mereka dari kelas prajurit-prajurit pilihan.”
“Apakah kau sudah melepas isyarat untuk minta bantuan dari pasukan di sebelah timur?”
“Sudah, Jenderal."
Nyali Jenderal Lau pulih kembali, suaranya kembali bernada garang dan tidak gemetar lagi, "Bagus. Siapa pun mereka, mereka sudah berani menepuk lalat di atas kepada harimau, dan mereka akan membayar harga ketololan mereka dengan nyawa mereka. Perintahku harus kau sampaikan ke setiap prajurit, bunuh penyerbu-penyerbu itu sampai orang terakhir!”
"Baik, Jenderal, tetapi... agak susah membedakan orang-orang itu dengan penduduk desa ini. Pakaian mereka...”
“Tidak peduli! Lebih baik keliru membunuh orang, daripada membiarkan satu orang musuh ketinggalan hidup!”
Deng Hu-koan menarik napas dan tidak bisa membantah lagi. Berat hatinya mengingat penduduk desa ini sudah menyumbangkan bahan makanan untuk para prajurit. Tetapi perintah Sang Jenderal tidak dapat diganggu gugat.
Ketika Deng Hu-koan hendak berlalu untuk menyebarkan perintah itu, tiba-tiba Jenderal Lau berkata, "He, apakah kau tidak lupa menjaga gudang perbekalan kita?" Yang dimaksud adalah rumah Si Juragan Beras yang menyimpan puluhan karung beras dagangan itu. Sejak Jenderal Lau di desa itu bersama pengawal-pengawalnya, sebutan untuk rumah itu adalah "gudang perbekalan kita".
Sahut Deng Hu-koan, "Tentu saja sudah, Jenderal. Kami menyadari, tempat itu mungkin sekali menjadi sasaran musuh.”
“Bagus." Deng Hu-koan pun meninggalkan ruangan itu, untuk mengendalikan pasukannya di mana-mana.
Di bagian lain dari desa, yaitu di rumah Si Juragan Beras, memang nampak penjagaan yang ketat, tidak kalah ketatnya dengan penjagaan di rumah Kepala Desa yang ditempati Jenderal Lau. Ratusan prajurit dipusatkan di sekitar tempat itu. Di halaman maupun di luar halaman.
Sekian lama pertempuran di tempat lain berjalan, dan suaranya terdengar dari tempat itu, tetapi ternyata pertempuran belum juga sampai ke tempat itu. Belum satu musuh pun menongolkan batang hidungnya di tempat itu.
“Kita tetap harus bersiaga," pesan komandan regu yang bertanggung jawab untuk pengamanan tempat itu.
Di dalam rumah yang penghuninya lima orang, lelaki semua, adalah Si Juragan Beras yang mengaku sebagai seorang duda yang katanya isterinya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Dua anaknya laki-laki semua, pemuda-pemuda yang tegap dan tangkas, satu pembantu rumah tangga yang juga laki-laki dan satu lagi pegawai yang sering diajak-ajak bepergian, katanya untuk "Berdagang beras".
Kini, selagi seluruh penduduk kampung menggigil ketakutan mendengar suara keributan, kelima penghuni rumah Si Juragan Beras itu justru tenang-tenang saja. Mereka berkumpul di sebuah ruangan tertutup, di bawah penerangan cahaya hanya sebatang lilin. Mereka tidak mempedulikan derap kaki prajurit-prajurit di luar rumah.
Si Juragan Beras yang sehari-harinya dikenal sebagai orang ramah dan suka tertawa di kampung itu, tetapi sekarang ia nampak begitu berwibawa. Ia berjalan hilir-mudik di ruangan itu dengan wajah sungguh-sungguh, sikapnya lebih mirip seorang perwira tinggi di hadapan perwira-perwira bawahannya daripada seorang saudagar.
Kalau saudagar berwajah seangker itu, pasti dagangannya tidak laku, "Semuanya berlangsung sesuai dengan! rencana, teman-teman kita bergerak pada waktu yang tepat. Sekarang kita lakukan bagian kita. Kalian siap?"
Kedua orang "anak" si saudagar serta si "pembantu rumah tangga" dan si "pegawai" yang satunya lagi, sama-sama mengangguk mantap.
“Karung-karung beras itu sudah kalian pindahkan ke ruangan bawah tanah?" tanya Si Juragan.
Si "pembantu rumah tangga" menjawab mewakili lain-lainnya, "Sudah. Dan kami gantikan dengan karung-karung berisi serbuk gergaji dan apa saja yang tidak berharga. Tetapi untuk menghapus kecurigaan garong-garong kelaparan itu, siang tadi aku masih setorkan satu karung beras untuk dimasak.
"Dan sore ini ketika seorang perwira mereka memeriksa gudang kita, mereka puas melihat karung-karung masih di tempatnya, tidak tahu isinya sudah bukan beras..."
Si Juragan Beras tersenyum, "Kalau begitu, kita mulai sekarang."
Lalu mereka berlima mencopot jubah luar mereka, dan ternyata ai bagian dalam pakaian mereka sudah memakai pakaian ringkas. Mereka berlima pun menyelundup keluar menuju ke gudang beras di halaman belakang. Di halaman belakang itu tidak ada prajurit seorang pun, semuanya berjaga hanya di halaman depan atau di lorong-lorong di sekitar rumah, di luar tembok yang menjadi batas hak milik Si Juragan Beras.
Mereka tanpa ragu-ragu membuka pintu gudang beras, lalu melemparkan sebatang obor ke tumpukan karung-karung itu, lalu menutupnya kembali. Sebelum api berkobar menjadi besar dan diketahui semua orang, mereka berlima menghilang, lewat sebuah lorong rahasia yang mulut lorongnya ada di dapur, di bawah sebuah tong kayu yang besar.
Dan apa yang mereka tinggalkan di gudang itu pun dengan cepat membesar, sebab karung-karung itu memang berisi bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti sekam, jerami, daun-daun kering dan sebagainya.
Ketika api berkobar hebat, barulah prajurit yang berjaga menyadarinya, dan mereka dengan panik berusaha memadamkan api, karena menyangka kalau gudang itu masih berisi beras calon ransum mereka. Untuk mempercepat pemadaman api, penduduk desa dibangunkan dan disuruh membantu memadamkan api.
Dalam kepanikan dan kekacauan, belum ada yang sempat bertanya-tanya kenapa si "saudagar beras" dan seisi rumahnya tidak kelihatan batang hidungnya. Karena Si Pedagang Beras sendiri bersama keempat orang lainnya sudah muncul di bagian desa yang lainnya, setelah keluar dari lorong rahasia mereka.
Bahkan dengan senjata-senjata terhunus, mereka memasuki arena pertempuran di jalan utama desa itu. Ternyata mereka berlima tangkas-tangkas. Si pedagang beras yang sehari-harinya kelihatan loyo dan kalau berjalan selalu melangkah perlahan-lahan, sekarang benar-benar berbeda penampilannya.
la membuat lompatanlompatan panjang ke sana ke mari bagaikan seekor belalang, senjatanya yang berujud Liancu-tui (Rantai dengan bola besil), berdesing20 kian kemari dan sudah meretakkan beberapa tulang tengkorak prajurit-prajurit Pelangi Kuning.
Para prajurit Pelangi Kuning banyak yang mengenalinya sebagai si "saudagar beras" dan mereka terkejut melihat orang tua ini tiba-tiba seganas serigala kelaparan di arena pertempuran. Ternyata keempat pengikutnya yang seharihari menyamar sebagai anak-anak dan pegawaipegawainya, juga menunjukkan ketangkasan luar biasa.
Dua pemuda yang berwajah mirip satu sama lain, yang dikenal penduduk kampung itu sebagai "anak-anak si saudagar beras", masing-masing bersenjata pedang, mengamuk dengan hebat di antara prajurit-prajurit Pelangi Kuning. Begitu juga dua orang "pegawai" mereka. Mereka berlima mendesak sampai mendekati pimpinan dari kelompok penyerbu itu.
Pimpinan kelompok penyerbu melihat kedatangan mereka, lalu berkata, "Kalian sudah kami tunggu-tunggu! la membuat lompatan-lompatan panjang ke sana ke mari bagaikan seekor belalang, senjatanya yang berujud Lian-cu-tui (Rantai dengan bola besil), berdesing kian kemari dan sudah meretakkan beberapa tulang tengkorak prajurit-prajurit Pelangi Kuning.
Si Saudagar Beras bergulingan dengan tangkas karena ada sambaran senjata dari belakang, dan sambil berguling ia juga membandringkan Lian-cu-tuinya yang tepat mengenai wajah penyerangnya sehingga remuk. Sambil melompat berdiri kembali, ia menjawab si pemimpin kelompok penyerbu,
"Yang lain-lainnya apakah sudah siap?" Si Pemimpin penyerbu melompat mundur meninggalkan lawannya, yaitu seorang perwira Pelangi Kuning, dua orang bawahannya menggantikan menghadapi perwira ini. Langsung Si "pedagang beras" meneriakkan kata-kata rahasia.
Sebagai jawaban dari kode itu, dari barisan belakang kawanan penyerbu muncul suatu barisan yang jumlahnya tidak terlalu banyak dibandingkan dengan keseluruhan yang terlibat pertempuran di situ. Inilah regu-inti yang akan ditargetkan menghancurkan sasaran utama.
Keseluruhan pasukan penyerbu itu sudah menampakkan diri sebagai prajurit-prajurit berkwalifikasi istimewa, sedangkan kedua ratus orang ini dipilih dari yang istimewa-istimewa itu, tentu saja mereka ini orang-orang yang lebih istimewa lagi.
Si "pedagang beras" dan keempat orangnya segera bergabung dengan regu yang istimewa dari antara yang istimewa ini. Langsung Si "pedagang beras" bertindak sebagai penunjuk jalan untuk regu ini, ke arah rumah yang ditempati Jenderal Lau. Begitu regu istimewa ini bergerak, segera terasa kalau regu ini memang memiliki daya dobrak yang hebat.
Gerak majunya menimbulkan gelombang tekanan ke pihak Pelangi Kuning. Selain itu, penyerbu-penyerbu lain yang tidak termasuk dalam regu istimewa ini sudah diperintahkan untuk membantu supaya gerak maju regu istimewa ini selancar mungkin.
Begitulah, di tengah hiruk-pikuknya pertempuran, regu ini mendobrak maju dengan langkah pesat ke arah rumah yang ditempati Jenderal Lau. Sudah gamblang kalau pihak musuh hendak melakukan siasat "memukul ular2memukul kepalanya dulu" dan Jenderal Lau Cong-binlah yang dianggap dan diincar sebagai "kepala ular" itu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning dalam kelompok-kelompok yang kurang rapi, dibentuk seadanya, mencoba membendung gerak maju pasukan istimewa musuh ini di lorong-lorong desa. Tetapi selalu saja rintangan-rintangan itu tidak dapat bertahan lama dan bobol tercerai-berai dalam waktu singkat.
Si "saudagar beras" dengan bandringannya adalah salah satu ujung tombak terdepan regu istimewa itu. Deng Hu-koan yang sedang meninjau ke seluruh, sampai ke tempat itu, dan matanya yang berpengalaman itu langsung melihat sumber masalahnya. Regu istimewa yang sedang bergerak maju hampir tanpa hambatan berarti itulah masalahnya.
Deng Hu-koan juga tercengang melihat si "saudagar beras" yang biasanya klelar-kleler itu sekarang beringas seperti serigala kelaparan. Deng Hu-koan adalah seorang perwira tinggi, bahkan tangan kanan Jenderal Lau, namun dalam hal pertarungan pribadi atau perorangan, ia bukan jagoan.
Ia mencapai kedudukannya karena sumbangan pikirannya dalam taktik militer dan berhasil menyenangkan hati Lau Cong-bin, unsur terpenting kenaikan pangkat di antara orang-orang bawahannya Lau Cong-bin.
Maka melihat keberingasan si "saudagar beras", Deng Hu-koan tidak berani menghadapinya sendiri. Ia malahan mundur amblas ke tengah-tengah prajurit-prajuritnya, dan memberi perintah, "Coba tahan mereka dengan senjata-senjata jarak jauh!”
Apa yang diperintahkan itu sudah dicoba sebelumnya dengan hasil tidak banyak, toh sekarang dicoba lagi karena perintah Deng Hukoan. Begitulah para pemanah dan pelempar lembing kembali mencari posisi mereka. Sementara Deng Hu-koan sendiri malah mundur menyusup jauh ke garis belakang, sambil meninggalkan pesan untuk orang-orang garis depan,
"Bertahanlah sekuat tenaga. Aku akan menyusun pertahanan yang memadai dibelakang. Nanti begitu ada isyarat, baru kalian boleh mundur, sebelum ada isyarat, jangan bergeser dari tempat ini..."
Habis memberi perintah, ia menghilang ke garis belakang. Ternyata bagi orang-orangnya di garis depan, sungguh sulit menjalankan perintah itu. Tekanan regu istimewa itu terlalu hebat, sehingga sedikit demi sedikit mereka bergeser mundur juga.
Si pemimpin dari regu istimewa itu, memberi aba-aba, "Perlebar arena."
Orang-orangnya yang di bagian belakang lalu masuk ke halaman rumah-rumah penduduk, dan terlihat betapa gampangnya mereka melompati tembok halaman rumah penduduk yang tingginya dua meter itu. Bahkan ada yang maju ke depan dengan berlari-lari menyusuri tembok yang lebarnya hanya sejengkal itu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning agak terguncang semangatnya melihat kemampuan perorangan regu istimewa musuh mereka itu. Tetapi mereka pun cukup gigih. Dalam keadaan terjepit, semangat Pelangi Kuning yang dulu pernah membara ketika mereka masih menjadi pejuang-pejuang yang penuh keprihatinan, sebelum mereka menang perang dan menjadi prajurit-prajurit "manja", sekarang semangat itu seakan kembali muncul dari persembunyian mereka.
Apalagi di antara prajurit-prajurit itu ada yang meneriakkan slogan-slogan perjuangan yang dulu, yang membakar semangat. Dengan demikian, bagaimanapun tangguhnya regu istimewa dari pihak penyerbu itu, mereka ternyata tidak menghadapi lawan-lawan empuk.
Terhadap penyerbu-penyerbu yang menyusur di atas tembok itu, prajurit-prajurit Pelangi Kuning mencoba menyerampang kaki mereka dari bawah tembok dengan menggunakan tombak-tombak mereka. Atau memanah dan melempari mereka dengan lembing.
Dua tiga orang penyerbu memang berhasil dijatuhkan. Tetapi penyerbu yang tidak berhasil dijatuhkan, segera terjun ke bawah, ke tengahtengah prajurit-prajurit Pelangi Kuning di garis belakang. Dan makin banyak penyerbu yang melakukan hal itu. Ada yang menyelinap ke halaman rumah penduduk, kemudian muncul dari lorong yang lain, dan menyerang lambung pasukan Pelangi Kuning.
Ada juga yang menyusur tembok, tetapi karena tidak bisa melompat tembok seperti teman-teman mereka, maka untuk naik ke atas tembok mereka harus menginjak pundak teman-teman mereka. Demikianlah, makin panas pertempuran itu, makin panas pula hati orang di kedua pihak, dan keberanian yang ditunjukkan oleh kedua belah pihak pun makin tidak masuk akal.
Garis pertempuran menjadi tercerai berai, tetapi regu istimewa kaum penyerbu itu agaknya tetap diingatkan akan tugas khusus mereka. Mereka tidak mau berpencaran. Kalau pun mereka berpencaran, itu hanya sementara untuk mengatasi hambatan.
Begitu hambatan berhasil mereka atasi, mereka berkumpul kembali menjadi satu barisan yang seperti sebuah perahu yang melaju ditengah-tengah air, memecah gelombang-gelombang kecil.
Yang menghebat bukan hanya pertempuran yang dialami regu istimewa itu, melainkan oleh kedua belah pihak di seluruh sudut desa di mana pun pertempuran terjadi. Desa yang di hari-hari sebelumnya tenteram dan damai, sekarang benar-benar seperti neraka.
Api menyala di mana-mana, menerangi malam, menerangi sosok-sosok tubuh berlumuran darah yang bertebaran di mana-mana. Atau sosok tubuh yang masih bisa merintih, bahkan masih ada yang bisa merangkak atau merayap perlahan menghindari arena sebelum dihabisi sama sekali.
Regu istimewa yang disiapkan musuh untuk membunuh Jenderal Lau itu maju terus sampai ke pinggir alun-alun desa yang tidak seberapa besarnya. Di seberang lapangan itulah rumah Kepala Desa yang didiami Jenderal Lau dan pengawal-pengawalnya.
Di lapangan di depan rumah, prajurit-prajurit Pelangi Kuning berbaris berlapis-lapis. Sebagian berjongkok dan sebagian berdiri, dengan panah-panah sudah terpasang di tali busur. Di atas tembok rumah Kepala Desa juga kelihatan pengawal-pengawal wanita Jenderal Lau nongol setengah badan dengan panah siap ditembakkan pula.
Kali ini agaknya regu istimewa kaum penyerbu itu akan menghadapi perlawanan yang agak istimewa. Yang memimpin pasukan yang berlapislapis di depan rumah itu adalah Deng Hu-koan sendiri. Begitu melihat ujung dari regu penyerbu itu muncul di pinggir lapangan, Deng Hu-koan mengibaskan pedangnya, dan serempak ratusan prajurit melepaskan panah mereka sehingga seperti air hujan lebatnya.
Namun agaknya regu penyerbu itu sudah memperhitungkan hal itu, dan mereka sudah punya persiapan untuk itu. Sebelum mereka sampai ke muara lorong yang menyambung ke31 lapangan, dengan aba-aba singkat, puluhan orang dari antara regu istimewa itu sudah mengeluarkan perisai-perisai rotan ringan yang tadinya digendong di punggung.
Perisai-perisai itu berbentuk persegi dan lebar, sehingga ketika digendong jadi seperti batok kura-kura. Kini, pembawa perisai-perisai itu pun membuat "dinding" di mulut lorong yang menghadap lapangan. Satu baris berjongkok dan satu baris lainnya berdiri, menyusun perisai-perisai itu rapat bagaikan dinding.
Semua panah yang dilontarkan pasukan Deng Hu-koan terdampar di "tembok" anyaman rotan ini. Dari belakang "tembok" ini, pihak penyerbu tidak tinggal diam, melainkan membalas. Mereka yang bertugas memanah mengambil busur-busur dari punggung mereka.
Sebagaimana perisai-perisai anyaman rotan mereka berukuran raksasa, ternyata begitu pula busur-busur dan anak-anak panah mereka. Busur-busur macam ini di Jepang dikenal dalam seni memanah Kyujitsu, panjangnya busur lebih panjang dari panjang tubuh pemanahnya sendiri, begitu pula anak-anak panahnya seperti lembing kecil karena ukurannya yang luar biasa.
Dalam pertempuran di medan yang sempit, panah-panah gaya Kyujitsu macam itu akan menyulitkan diri sendiri. Tetapi di medan-medan terbuka, panah itu sangguh menjangkau hampir dua kali lipat dari panah biasa. Di belakang "tembok rotan", pemanah-pemanah gaya Kyujitsu itu berdiri tenang-tenang, penuh konsentrasi menarik tali busurnya dan kemudian melepaskan panah-panah mereka.
Luncuran panah-panah mereka tidak sederas luncuran panah-panah kecil perajurit-prajurit Pelangi Kuning, tetapi jangkauannya yang jauh dan tenaga luncurnya yang kuat itu mengejutkan lawan-lawan mereka. Begitulah, di kedua sisi lapangan desa itu dua kelompok berhadapan dan saling memanah.
Ternyata "tembok rotan" yang dibangun kaum penyerbu itu tidak sekedar untuk berlindung dari panah dan untuk melindungi pemanah-pemanah mereka membalas serangan, melainkan punya maksud lain, yaitu untuk menyelubungi gerakan lain mereka.
Di bawah perlindungan "tembok rotan" itu, sebagian besar anggota regu istimewa itu menyelinap ke samping, mengendap-endap di lorong-lorong gelap di sela-sela rumah-rumah penduduk, tanpa terlihat oleh Deng Hu-koan dan orang-orangnya. Yang memimpin rombongan pecahan ini adalah Si "saudagar beras" sendiri.
Ia akan memimpin rombongannya untuk menerobos memasuki rumah tempat kediaman Jenderal Lau dari arah yang tidak diduga. Sebagai orang yang sudah lama tinggal di desa itu, Si "saudagar beras" sudah hapal setiap lika-liku lorong-lorong di desa itu sampai yang sekecil-kecilnya.
Sementara itu, Deng Hu-koan tidak sabar melihat "acara" saling memanah yang agaknya tidak akan habis-habis karena kedua pihak bertahan di posisinya masing-masing. Sambil mengibaskan pedangnya, menggelegarlah perintahnya, "Musuh hanya sedikit dan kita berjumlah lebih banyak, kita ambil keuntungan dari kelebihan jumlah kita. Jangan biarkan mereka aman di balik perisai-perisai lebar mereka! Serbu! Regu satu, dua, tiga, empat dan lima menyerbu ke depan!”
Ada sepuluh regu prajurit yang disiagakan di sekitar rumah yang didiami Jenderal Lau itu. Sekarang, dengan menggerakkan lima regu untuk maju menyeberangi lapangan, berarti separuh kekuatan diarahkan ke depan. Deng Hu-koan menganggap, ancaman terberat adalah regu istimewa musuh yang dilihatnya tadi, maka kalau regu itu bisa dihabisi secepatnya, yang lain-lainnya akan lebih mudah ditangani. Itulah yang membuat Deng Hu-koan berani mengambil tindakan penuh resiko itu.
Begitulah, sambil bersorak-sorai, lima regu prajurit menghambur menyeberangi lapangan, sambil berlindung merunduk di-balik perisaiperisai mereka. Mereka akan memaksakan suatu pertempuran jarak dekat, yang menurut3perhitungan Deng Hu-koan akan dimenangkan pihaknya berdasar keunggulan jumlah.
Pemimpin regu istimewa musuh itu mengambil perhitungan sendiri. Ia tidak membiarkan orang-orangnya yang jauh lebih sedikit itu terjebak dalam pertempuran di tempat yang luas seperti lapangan itu. Selain akan kurang menguntungkan, juga akan ketahuan oleh pihak musuh kalau sebagian besar orang-orangnya sudah menyelinap ke tempat lain.
Tentu pihak musuh akan curiga kalau melihat orang-orangnya tinggal sedikit, dan tentu akan bertanya-tanya ke mana yang lainnya. Karena itu, ia menarik mundur orangorangnya belasan langkah memasuki lorong, tanpa membongkar "tembok rotannya". Kemudian pemanah-pemanahnya diperintahkan untuk mengganti panah-panah mereka dengan panah-panah kecil agar bisa lebih lincah dan lebih gencar.
Arahnya juga agak dikebawahkan, mengincar dari celah-celah "tembok perisai rotan" kawan-kawan mereka. Maka meskipun prajurit-prajurit Pelangi Kuning itu mengangkat tinggi perisai-perisai mereka dan berhasil melindungi kepala dan tubuh mereka, kaki mereka banyak yang menjadi sasaran sehingga beberapa orang terdepan jatuh terguling dan mengaduh-aduh, yang kurang beruntung akan diinjak-injak teman sendiri, yang beruntung hanya dilompati saja.
Ternyata panah-panah tidak menghambat sepenuhnya serbuan prajurit Pelangi Kuning karena jumlah mereka jauh lebih banyak. Akhirnya pertempuran jarak dekat yang sengit. Untung bagi para penyerbu itu, sebab serombongan penyerbu lainnya muncul dari ujung lorong dan segera bergabung.
Dalam sengitnya pertempuran, pihak Pelangi Kuning jadi kurang memperhatikan jumlah yang kurang dari lawan-lawan mereka. Mereka bertempur saja dengan bersemangat. Pihak penyerbu berusaha memanfaatkan lorong yang terbatas lebarnya itu demi keuntungan mereka, yang lebih sedikit dari musuh.
Sementara Si "saudagar beras" dan rombongannya sudah menyelinap sampai di sebelah samping rumah Si Kepala Desa. Mereka bersembunyi di sebuah kebun sayur yang gelap, dekat kandang ayam sehingga aroma kotoran ayam juga tercium tajam. Mereka melihat di bagian samping rumah Kepala Desa itu pun ada satu regu yang berjaga-jaga. Agaknya sebagian besar kekuatan sudah dikerahkan ke arah lain.
Si "saudagar beras" sejenak menghitung kekuatan penjaga di samping rumah itu dibandingkan dengan kekuatan pihaknya, dan ia yakin pihaknya akan berhasil menembus penjagaan itu asal dilakukan mendadak dengan unsur kejutan yang tinggi. Maka secara bisik-bisik ia lebih dulu menyiapkan orang-orangnya agar bersiap menunggu aba-abanya.
Setelah petunjuknya merata ke semua orangnya, pekik Si "saudagar beras" pun mengoyak kesunyian malam di bagian desa yang itu, "Sergap!”
Orang-orangnya pun berlompatan dari kegelapan sambil mengelebatkan senjata masing-masing. Sergapan mendadak itu langsung makan korban belasan orang prajurit Pelangi Kuning. Si "saudagar beras" sendiri sudah tentu "porsinya" berbeda dengan anak buahnya, sekali bandringnya terayun melebar, tiga orang sekaligus jadi korbannya, tiga jidat dibuatnya retak.
Belum hilang kejut prajurit-prajurit itu, dari kegelapan berlompatan keluar orang-orang yang lebih banyak lagi. Sementara penyergap-penyergap awal tadi langsung melompat ke atas tembok halaman samping rumah Kepada Desa itu.
Orang seperti Si "saudagar beras" dan beberapa orang lainnya dapat melompat dan hinggap dengan mudah di atas tembok, yang lainnya harus mencapainya dengan saling menginjak pundak teman, tetapi mereka tangkas sekali, agaknya memang sudah dipersiapkan untuk "acara" malam itu.
Begitulah, sebagian bertempur dengan penjaga-penjaga yang masih geragapan, sebagian lagi langsung masuk ke dalam rumah dengan melompati dinding halaman. Di bagian dalam dinding itu yang ada hanyalah pengawal-pengawal wanita cantik-cantik Jenderal Lau, tak satu pun lelaki kecuali Jenderal Lau sendiri, atau perwira-perwiranya yang datang melapor.
Jumlah pengawal-pengawal jelita itu ada seratus orang lebih dan semuanya digembleng untuk berkelahi, selain untuk "melayani" seperti memijat dan bahkan menemani tidur. Melihat. wanita-wanita cantik berseragam pengawal dan bersenjata di halaman itu, anak buah Si "saudagar beras" ragu-ragu, haruskah mereka berkelahi dengan perempuan?
Tapi Si "saudagar beras" menghapus keraguan anak buahnya, "Perempuan-perempuan cantik ini pengawal-pengawal yang tangguh, ia bisa membuat kalian menjadi orang kebiri kalau kalian ragu-ragu!”
Lalu Si "saudagar beras" sendiri terjun dari atas tembok ke bagian dalam tembok itu, langsung mengoperasikan bandringnya. Para pengawal wanita melawannya dengan gigih, dan ternyata benar, mereka tangkas-tangkas dalam bertempur.
Bahkan ada seorang yang senjatanya persis Si "saudagar beras" yaitu rantai berujung bola besi, cuma bola besinya lebih kecil, sebesar jeruk yang belum masak, namun cukup berbahaya karena kemahirannya dalam mengincar sasaran. Pengawal wanita bersenjata bandring itu mengenal Si "saudagar beras" sehingga ia tercengang,
"Hei, Pak tua bukankah kau Si Pedagang Beras itu?"
Si "saudagar beras" tertawa menunjukkan gigi-giginya yang coklat karena seringnya ia mengisap tembakau, sahutnya, "Dagang beras sepi sekarang, jaman perang, banyak perampok berseragam mentereng. Aku lalu alih usaha saja, mengandalkan ketrampilan main senjata, meniru Bi-lo-sat (Raksasa Cantik) Ai Hui..."
Si pengawal wanita bersenjata bandring itu terkejut, "kau mengenali aku?" Pengawal wanita itu dulunya memang seorang jago wanita golongan hitam yang berjuluk Raksasa Cantik dan bernama Ai Hui, entah kenapa dia menjadi salah satu anggota pengawalnya Jenderal Lau yang tentu saja lebih menjamin hidupnya. Kini tiba-tiba ia dikenali oleh seorang "saudagar beras", sudah terang kalau Si "saudagar beras" ini bukan orang sembarangan.
Si "saudagar beras" terkekeh-kekeh, "Ya, siapa tidak kenal Bi-lo-sat?”
“Apa maksudmu datang kemari?”
“Sudah kukatakan tadi, aku alih usaha menjadi 'pengusaha tanpa modal' saja..." Istilah "pengusaha tanpa modal" sering digunakan sebagai olok-olok buat orang yang kerjanya mencuri, merampok atau membegal.
Ai Hui tertawa, "Mungkin alih usaha yang lebih menguntungkan. Tetapi malam ini, apakah kau dan orang-orangmu tidak salah sasaran?”
“Tidak. Sebab orang-orangku lebih banyak, lebih kuat, lebih terlatih, dan sebentar lagi kami akan menguasai seluruh desa ini dan menggantung Jenderal hidung-belangmu itu.”
“Untuk pihak mana kau bekerja?”
“Untuk itu, tidak usah kau pusingkan. Sekarang minggir atau mati, hanya itu pilihanmu."
Hati Ai Hui agak tergetar. Orang yang berani bicara selugas itu setelah tahu berhadapan Bilo-sat Ai Hui, pastilah orang itu punya pegangan yang diandalkan. Namun keangkuhan Ai Hui terusik pula, ia tidak sudi kebesaran namanya direndahkan, maka dengan garangnya ia segera menyerang dengan bandringnya.
Si "saudagar beras" meladeninya, sambil meneriakkan suatu isyarat kepada orang-orangnya. Sebagian orang-orangnya berusaha membuka sebuah pintu kecil yang menembus ke lorong di samping rumah. Mereka tak terhalangi. Tak lama kemudian membanjirlah penyerbu-penyerbu dari kelompok regu pilihan itu ke halaman samping rumah Kepala Desa itu. Prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang diluar juga ikut menyusul masuk.
Namun sekali lagi mereka dapat dikecoh oleh lawan-lawan mereka. Dalam jumlah yang lebih banyak, mereka tidak bisa memanfaatkan kelebihan4jumlah itu sebab arenanya sempit, dibatasi dinding-dinding halaman. Jumlah yang banyak itu sebagian besar hanya berdesak-desak di garis belakang dan tidak berperanan apa-apa dalam pertempuran.
Jenderal Lau menggigil di dalam rumahnya, mendengar suara pertempuran tidak jauh lagi, tetapi di halaman rumah yang ditempatinya. Meskipun puluhan pengawalnya yang cantik-cantik itu berjaga-jaga di sekitarnya, namun jantungnya sudah hampir copot mendengar suara perkelahian itu. Berulang kali ia mengutuk, mengutuk apa saja.
“Mana bala bantuan itu? Apakah mereka berjalan kemari dengan merangkak?”
“Tenanglah, Jenderal, sebentar lagi mereka tiba di sini?”
“Kenapa pengawal-pengawalku tidak mampu menahan pengacau-pengacau itu jauh dari rumah ini?”
“Mereka sudah berusaha sekuatnya, Jenderal, pengacau-pengacau itu memang tertahan jauh dari sini..."
"Lalu suara keributan di luar itu suara apa?”
“Sebagian kecil dari para pengacau berhasil menyelinap mendekat dari arah tak terduga. Tetapi mereka tidak berbahaya, sebentar lagi mereka..."
Belum selesai kata-kata hiburan itu, pintu telah ditabrak keras dari luar, oleh semua pengawal wanita yang terhuyung-huyung dan menggelosor di lantai. Semuanya terkejut melihat si penabrak pintu adalah Bi-lo-sat Ai Hui, orang yang paling tangguh di antara para pengawal wanita, bahkan merangkap sebagai komandan dan pelatih.
Kini semuanya melihat Bi-lo-sat Ai Hui merangkak bangun dengan muka pucat, sudut bibitnya meneteskan darah. Dua pengawal wanita harus membantunya untuk bangkit. Menyusul dari pintu yang terdobrak itu Si "saudagar beras" muncul.
Kalau biasanya di hadapan Jenderal Lau dia bersikap merunduk-runduk hormat, kata-katanya menjilat, kali ini sungguh berbeda. Sikapnya garang, bahkan langsung membentak Lau Cong-bin, "Lau Congbin, aku inginkan nyawamu!”
Langsung saja bandringannya meluncur ke wajah Jenderal Lau. Seorang pengawai wanita melompat ke hadapan Jenderal Lau, menghadangkan tamengnya untuk melindungi atasannya. Ternyata luncuran bandring Si "saudagar beras" terlalu kuat, lengan yang ada di belakang tameng itu seketika keseleo ketika tamengnya dibentur bola besi di ujung rantai, si pemegang tameng sendiri jatuh terjengkang.
Dengan demikian bola besi itu meluncur terus ke wajah Jenderal Lau. Agaknya kesetiaan pengawal-pengawal wanita yang merangkap sebagai kekasihkekasih Jenderal Lau itu cukup teruji. Seorang pengawal menubruk Jenderal Lau sehingga jatuh bergulingan dari kursinya, dengan demikian Jenderal Lau itu diselamatkan. Sedangkan kursi yang terbuat dari kayu yang kuat itu pun rinsek berantakan terkena bandringan Si "saudagar beras".
Si "saudagar beras" agaknya tidak sabar melihat kegigihan pengawal-pengawal wanita itu. Ia sentakkan rantainya ke samping, dan bola besinya terkendali menyapu dua pengawal wanita di samping tempat duduk Jenderal Lau tadi, sambil berteriak, "Kalian pelacur-pelacur tak berharga, agaknya aku harus membasmi kalian lebih dulu!”
Pengawal-pengawal wanita itu melawan dengan gigih, bahkan nekad. Dan sementara perempuan-perempuan itu bertarung gagah berani, Jenderal Launya sendiri tetap saja tengkurap di lantai dengan ketakutan, mukanya pucat dan seluruh tubuhnya terasa dingin, perlahan-lahan ia merayap masuk ke kolong meja.
Pengikut Si "saudagar beras" juga berhamburan masuk. Sekarang pertarungan bukan saja "terdengar dekat" oleh Lau Cong-bin, bahkan berlangsung di depan hidung Lau Congbin sendiri. Jenderal itu napasnya sudah tersendat-sendat, merasa nyawanya seolah-olah sudah ada di ubun-ubun.
Ternyata kegigihan pengawal-pengawal itu tidak berarti banyak di hadapan suatu regu yang memang sudah disiapkan untuk membunuh Jenderal Lau itu. Satu demi satu pengawal-pengawal jelita itu roboh bertumbangan, tewas atau terluka parah. Si "saudagar beras" benar-benar bertindak keras tanpa ragu-ragu, meskipun yang dihadapinya adalah wanita.
Sekarang nyawa Jenderal Lau seperti telur di ujung tanduk. Sang jenderal sendiri sudah lumpuh oleh ketakutan, tidak mampu menggerakkan tubuhnya seujung rambut pun untuk berusaha lari dari situ. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara kayu penyangga genteng berderak-derak, dan reruntuk genteng berjatuhan ke bawah.
Genteng berlobang besar karena diinjak kaki bertenaga raksasa, kemudian si pemilik kaki yang hebat ini pun meluncur turun ke dalam ruangan. Orang itu pun seorang pemuda tegap, berseragam perwira Pelangi Kuning namun bukan dari pasukannya Jenderal Lau melainkan dari pasukannya Li Giam, memegang sepasang pedang tebal. Perwira ini bukan lain adalah Yo Kian-hi.
Ketika sepasang pedangnya berkelebat serempak, beberapa penyerbu tumbang ke lantai. Menyusul beberapa orang berluncuran ke bawah, dan seragam mereka berbeda pula, mereka mengenakan seragam pengawal-pengawal istana kaisar. Orang tahu, pengawal-pengawal istana Kaisar bukan cuma mentereng seragamnya, melainkan juga adalah prajurit-prajurit pilihan atau jagoan-jagoan tangguh.
Yo Kian-hi serta seribu pengawal istana sebenarnya sedang mengawal Puteri Kong-hui alias Tan Wan-wan dalam perjalanan menuju ke San-hai-koan. Tapi di tengah jalan mereka mendengar berita kalau San-hai-koan sudah jatuh ke tangan orang-orang Manchu dan balatentara Manchu sudah masuk Tiong-goan serta pasukan Jenderal Lau terpukul kalah dan mundur puluhan li.
Mendengar itu, ternyata Tan Wan-wan bersikeras untuk tetap melihat keadaan garis depan. Ketika mereka mendekati desa tempat Jenderal Lau bermarkas, mereka melihat nyala api dan suara keributan. Demi keselamatan Puteri Kong-hui, Yo Kian-hi menyuruh seluruh pasukan berhenti, kemudian Yo Kian-hi sendiri bersama belasan perwira pilihan yang cukup tangguh, mendahului menuju ke desa itu dan melihat apa yang terjadi.
Itulah asalnya kedatangan Yo Kian-hi dan kawan-kawannya ke tempat itu. Dan kedatangan mereka kebetulan menjadi suatu pertolongan berarti buat nyawa Jenderal Lau yang sudah "sampai ke ubun-ubun". Tidak peduli Jenderal Lau ini sudah sering berusaha mencelakakan Jenderal Li Giam, atasan Yo Kian-hi, kali ini Yo Kian-hi melupakan ganjalan itu dan menolong Lau Cong-bin.
Begitulah, kedatangan Yo Kian-hi dan kawan-kawannya para jago-jago pengawal istana itu jadi merubah perimbangan. Giliran kaum penyerbu yang sekarang "menabrak tembok besi" di hadapan Yo Kian-hi dan kawan-kawannya.
Dengan matanya yang tajam, Yo Kian-hi langsung melihat yang perlu digebuk dulu adalah Si "saudagar beras" yang kelihatan paling tangguh. Seperti seekor elang menyambar dengan sayap-sayap terpentang, dan kedua pedang di tangannya, ia melompati kepala orang-orang, baik kawan maupun lawan, langsung ke arah Si "saudagar beras".
Si "saudagar beras" dengan tangkas berguling, sambil mengayunkan rantainya untuk berbelit betis Yo Kian-hi yang sedang melayang di udara. Rupanya dia melihat juga kehebatan Yo Kian-hi sehingga ia tidak berani menghadapinya sendiri. Sambil berguling dan memban-dring, ia juga mengucapkan isyarat kepada seorang kawannya untuk membantunya menghadapi Yo Kian-hi.
Yang diberi isyarat adalah orang yang sehari-harinya menyamar sebagai "pembantu" rumah tangga yang bersenjata Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis). Di antara orang-orang seisi rumahnya, selain dirinya sendiri adalah Si "pembantu rumah tangganya" inilah yang paling tangguh. Di ruang rahasia bawah tanah, Si "pembantu rumah tangga" inilah pasangan untuk mengasah ketrampilan ilmu silat dalam bertempur.
Yo Kian-hi berteriak di udara, bersalto menghindarkan kakinya dari libatan rantai dan kemudian meluncur dengan iepasang pedang bersilangan hendak "menggunting" ke leher Si "saudagar beras". Tetapi yang tergunting adalah sebuah kursi yang dilemparkan oleh Si "pembantu rumah tangga" untuk menyelamatkan rekannya itu.
Menyusul Si "pembantu rumah tangga" sendiri meluncur maju dan mengemplang Yo Kian-hi ke arah pelipisnya. Semua ini memberi kesempatan kepada "saudagar beras" untuk memperbaiki posisinya yang pontang-panting tadi menghadapi kecepatan gerak Yo Kian-hi. Tanpa pertolongan itu, Si "saudagar beras" mungkin sudah berubah menjadi arwah gentayangan di bawah sepasang pedang Yo Kian-hi.
Begitulah Yo Kian-hi menghadapi dua lawan tangguh sekaligus. Namun perwira bawahan Jenderal Li Giam yang sangat diandalkan itu bertarung seperti seekor gajah yang mengamuk. Bukan itu saja, kawan-kawan yang datang bersama-sama Yo Kian-hi, para jagoan pengawal Kaisar, juga mempersulit kedudukan para penyerbu yang ingin membunuh Jenderal Lau itu.
Namun sekarang keinginan tinggal keinginan, niat membunuh itu jelas takkan tercapai. Jenderal Lau yang menggelosor di kolong meja itu sudah dibantu oleh pengawal-pengawal cantiknya, lalu dipapah ke ruang dalam yang lebih aman. Ganjil juga melihat adegan seorang lelaki gagah berpakaian perang komplit, dengan tubuh gemetar dan muka pucat, dipapah-papah dua orang wanita muda. Tetapi ganjil atau tidak ganjil, itulah yang terjadi.
Di seluruh desa, pertempuran antara para penyerbu dan prajurit-prajurit Pelangi Kuning masih berlangsung sengit, dengan korban yang bertambah-tambah di kedua belah pihak. Arena pertempuran utama ada di lorong utama desa5itu, namun pecahan-pecahan pasukan kedua belah pihak bertempur di sudut kampung di mana saja mereka bertemu.
Di lorong-lorong kecil, kebun-kebun sayur, kandang-kandang ternak, halaman-halaman rumah, bahkan di dalam rumah. Komandan kedua belah pihak tidak bisa mengontrol dan mengamati keseluruhan anak buah mereka. Deng Hu-koan sebagai komandan di pihak Pelangi Kuning, menerima laporan yang simpang-siur dari semua bagian medan pertempuran.
Sementara lawannya, pemimpin dari para penyerbu itu, merasa gelisah karena dari arah rumah Kepala Desa yang didiami Jenderal Lau itu belum juga kelihatan isyarat bahwa "regu istimewa" yang ditugaskan membunuh Jenderal Lau itu berhasil. Tandanya, kembang api biru adalah isyarat keberhasilan, dan kembang api merah adalah isyarat kegagalan. Kedua jenis kembang api itu belum nampak semuanya.
Dan tiba-tiba saja malahan terjadi laporan yang kurang menggembirakan. Dari luar desa terdengar sorak-sorai sebuah pasukan, kemudian seorang kurir melapor kepada Si Komandan penyerbu bahwa pihak Pelangi Kuning kedatangan bala-bantuan. Hal seperti itu sudah diperhitungkan oleh pihak penyerbu, mereka sudah disiapkan untuk kemungkinan paling pahit sekalipun toh mempengaruhi juga.
“Edan!” kutuk Si Komandan penyerbu. “Kenapa lama benar membunuh si jenderal hidung belang itu? Apakah pengawal-pengawalnya demikian tangguh?"
Si pelapor sudah tentu tidak mampu memberikan pendapat apa-apa. Si komandan penyerbu masih mencoba bertahan, siapa tahu regu pembunuhnya tinggal selangkah dari tercapainya sasaran, perintahnya, "Sampaikan perintah, bertahan sekuatnya!”
Prajurit-prajurit penghubung pun menyebarkan perintah itu ke segenap bagian. Si pemimpin penyerbu kemudian mengeluarkan perintah lain, "Cari beritanya regu kita yang dikhususkan untuk sasaran utama kita!”
Yang dimaksudkan adalah "regu istimewa" untuk membunuh Jenderal Lau. Pemimpin para penyerbu itu agaknya tidak mau lebih lama lagi terkatung-katung dalam ketidak-tahuan. Seorang berlari cepat keluar dari pasukan, menyelinap di antara lorong-lorong desa yang gelap, hendak mencari kabar tentang regu pembunuh itu.
Sementara itu, pintu-pintu gerbang desa sudah dibuka dari beberapa arah, dan prajurit-prajurit bala bantuan Pelangi Kuning pun membanjir masuk ke dalam desa. Pemimpin para penyerbu kembali mengeluarkan perintah agar pecahan-pecahan pasukannya yang berpencaran itu bergabung kembali dengan induk pasukan, dan mencoba bertahan ketat terhadap pasukan Pelangi Kuning yang sekarang jadi jauh lebih banyak karena datangnya bala bantuan.
Sampai kemudian dari arah rumah Kepala Desa di seberang lapangan itu meluncur kembang api berwarna merah di langit malam yang kelam. Kembang api merah. Isyarat kegagalan. Si pemimpin penyerbu melihat isyarat itu dan menarik napas panjang, ternyata pihaknya gagal dan harus segera mundur sebelum seluruh desa "ditenggelamkan" pasukan musuh.
Isyarat mundur pun diberikan dengan kembang api pula, agar bisa dilihat oleh setiap bagian pasukan yang berpencaran di seluruh desa. Maka seluruh pasukan penyerbu itu pun seperti air yang surut, mundur ke arah darimana mereka datang tadi, yaitu arah barat. Baik yang dalam pasukan induk maupun yang belum bergabung di pelosok-pelosok desa.
Tidak terhindari adanya beberapa kelompok yang terjebak, terkurung oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning, dan mereka ini bertempur matimatian karena tidak mau menerima tawaran menyerah oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning. Di beberapa bagian desa, pertempuran menjadi sangat berdarah dan habis-habisan. Setiap orang yang rubuh ke tanah pasti tidak hanya "berbekal" satu luka namun belasan luka-luka dari berbagai macam senjata.
Saat itu regu pembunuh berhasil menerobos ke rumah Kepala Desa, dan hampir berhasil membunuh Jenderal Lau, justru telah berbalik ke dalam posisi terancam akan terbantai habis, karena datangnya Yo Kian-hi dan kawankawannya, yaitu para jagoan pengawal istana. Sebutan "regu pembunuh" barangkali akan berubah menjadi "regu terbunuh".
Si "pembantu rumah tangga" dan Si "saudagar beras" sekarang sudah terkapar tak berkutik di bawah tembok, entah mati entah hidup. Si "saudagar beras" sendiri sudah megap-megap di bawah tekanan sepasang pedang Yo Kian-hi, tidak ada yang membantunya sebab orang-orangnya semakin sedikit jumlahnya, dan orang-orangnya masih juga harus menghadapi para pengawal wanita Jenderal Lau serta prajurit-prajurit lain yang terus berdatangan.
Di saat seperti itulah seorang dari para penyerbu berlari dari halaman, masuk keruangan yang berantakan karena dijadikan ajang perkelahian itu sambil berkata kepada Si "saudagar beras" kata-kata sandi yang artinya adalah, "Isyarat untuk mundur sudah diberikan oleh Komandan..."
Si "saudagar beras" mengerti bahwa perintah itu berlaku pula buat dirinya dan regunya. Tetapi dia pun merasakan bahwa ia dan regunya tidak dapat pergi begitu saja. Mereka seperti sekelompok ikan yang sudah terlanjur masuk ke dalam bubu dan semua jalan keluarnya sudah tertutup. Sudah gagal mencaplok "umpan" akhirnya bakal gagal pula untuk keluar selamat dari tempat itu. Itu menurut pemikiran "biasa".
Tetapi agaknya regu istimewa itu sudah dibekali cara "luar biasa" yang barangkali tidak terpikirkan sebelumnya oleh lawan-lawan mereka. Dan isyarat untuk tindakan "luar biasa" itu sudah dipekikkan oleh Si "saudagar beras" dengan lantangnya, "Barisan api!”
Lawan-lawan mereka tidak dapat segera menebak seperti apa "barisan api" itu, sebab mereka tidak melihat para penyerbu membawa obor atau benda-benda lain yang berkaitan dengan api. Si "saudagar beras" sendiri begitu selesai memerintah langsung melompat keluar dari ruangan itu, meninggalkan Yo Kian-hi yang menjadi lawannya.
Ia disusul yang lain-lainnya, yang bukan saja keluar ruangan melalui pintu melainkan juga melalui jendela. Agaknya mereka ingin bergabung dengan kawan-kawan mereka di halaman luar untuk membentuk "barisan api" yang entah bagaimana nanti ujudnya.
Gerakan mundur ini kelihatannya seperti tidak teratur, mirip orang-orang di pasar yang berlari-lari karena pasarnya kebakaran, sama sekali tidak mirip pasukan yang terlatih. Namun ada juga suatu unsur yang mencengangkan. Dalam gerakan mundur ini, satu sama lain tidak segan-segan saling mengorbankan nyawa sendiri demi memberi kesempatan teman mereka mundur dengan selamat.
Semuanya terjadi tanpa diperintah-perintah, tanpa dianjur-anjurkan. Orang sebanyak itu bergerak bagaikan satu orang, satu tubuh. Ibarat kalau mata terancam maka tangan secara otomatis akan bergerak melindungi.
Melihat ini, Yo Kian-hi kagum dan terkesiap. Inilah tingkat kekompakan yang tinggi antar perorangan dalam pasukan. Setiap orang tidak lagi merasa dirinya sebagai perorangan yang bebas dengan kehendaknya sendiri melainkan sebagai bagian yang lain. Pasukan ini terdiri dari ratusan orang tetapi jiwa mereka sudah tergembleng dan terlebur jadi satu. Inilah pasukan yang dahsyat.
Yo Kian-hi jadi ingat pasukannya sendiri, pasukan bawahan Jenderal Li Giam yang juga dididik seperti itu, mengesampingkan kepentingan dan bahkan keselamatan diri sendiri, demi keuntungan seluruh pasukan. Dan sekarang dilihatnya hal itu, tetapi dalam tingkatan yang lebih tinggi, dalam diri pasukan penyerbu yang tidak diketahui identitasnya ini.
Beberapa orang anggota kelompok penyerbu terbunuh di ruangan itu, terbunuh dalam usaha memberi kesempatan teman-temannya keluar dari ruangan. Kini seluruh regu pembunuh itu sudah berkumpul di halaman. Yo Kian-hi ikut memburu keluar bersama kawan-kawannya, ingin melihat bagaimana ujudnya "barisan api" yang diteriakkan Si "saudagar beras" tadi.
Pengawal-pengawal wanita Jenderal Lau tidak ikut keluar, mereka harus tetap berjaga di sekitar Jenderal Lau, menjaga kalau-kalau masih ada pembunuh yang ketinggalan di dalam. Di luar, sisa regu pembunuh itu membentuk lingkaran besar yang bertahan terhadap serangan prajurit-prajurit Pelangi Kuning dari segala arah.
Kaum penyerbu yang di dalam lingkaran itu mencopot baju mereka, dan kelihatanlah mereka memakai baju dalam semacam kutang tanpa lengan, yang penuh dengan kantong-kantong yang berisi entah apa. Baju kutang berkantong banyak seperti itu, bentuknya persis dengan rompi para murid perguruan silat yang berlatih ilmu meringankan tubuh. Biasanya kantong-kantong rompi itu diisi dengan pasir sebagai pemberat, lalu dipakai untuk berlari-lari.
Tetapi sekarang entah apa isinya kantong-kantong rompi para penyerbu itu, yang terang pastilah bukan pasir. Ada tiga puluh orang yang melepas bajunya, dan ketiga puluh orang itu masing-masing mengambil botol kecil yang tergantung di pinggang mereka. Mereka membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke tubuh mereka, dan seketika itu juga bau minyak bakar memenuhi tempat itu.
“Astaga..." desis Yo Kian-hi. Ia langsung dapat menghubungkan perintah "barisan api" tadi dengan rompi-rompi yang dipakai ketiga puluh orang itu dan bau minyak itu.
Sementara yang terjadi di arena berlangsung begitu cepat. Ketiga puluh orang itu tanpa ragu sedikit pun menyulut diri mereka sendiri. Salah seorang mengambil obor, dan menyalakannya ke tubuh sendiri, dan yang lain juga menyalakan tubuh mereka sendiri-sendiri dengan mendekatkan ke tubuh teman mereka. Segera di arena itu ada tiga puluh obor hidup...