Kembang Jelita Peruntuh Tahta II Jilid 17 karya Stevanus S P - Yang menggetarkan bagi siapa pun yang melihatnya, tidak terdengar sedikit pun teriakan kesakitan mereka, bahkan mereka tetap dengan senjata di tangan mereka menerjang ke arah prajurit-prajurit Pelangi Kuning. Mereka pasti kesakitan dan kepanasan, tetapi mereka menyalurkannya dengan serangan sengit mereka.
Selagi para prajurit Pelangi Kuning dengan agak jerih menghadapi tiga puluh manusia api itu, maka penyerbu-penyerbu yang lain menggunakan kesempatan untuk bergerak mundur melewati sebuah pintu kecil di halaman samping. Beberapa saat kemudian, para prajurit Pelangi Kuning di tempat itu mendapat kesulitan baru.
Rompi-rompi yang dikenakan oleh tiga puluh orang itu ternyata diisi dengan bubuk yang biasa diisikan ke dalam meriam, bubuk peledak, dan bubuk itu dicampur dengan remukan beling tajam. Setelah terkena api beberapa saat, bubuk-bubuk itu pun meletup dan menyemburkan beling-beling campurannya.
Tidak sedikit prajurit Pelangi Kuning yang menjadi korban semburan api dari rompi-rompi itu dan terluka oleh beling-beling panas itu. Tentu saja yang jadi korban paling dulu justru adalah ketiga puluh orang yang nekad itu, mereka yang lebih dulu terbakar dan terkena beling yang muncrat itu, namun kembali mereka menggetarkan lawan-lawan mereka dengan kenekadan mereka.
Mereka menekan rasa sakit mereka dengan mengamuk maju sehebat-hebatnya. Sebagian berhasil dibunuh oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning, sebagian lagi tumbang setelah ledakan di tubuh mereka sendiri mencerai-beraikan anggota-anggota tubuh mereka.
Namun mereka berhasil merobohkan prajurit-prajurit Pelangi Kuning dalam jumlah yang jauh lebih banyak, dan yang penting, tujuan mereka mengorbankan diri pun tercapai, yaitu lolosnya teman-teman mereka. Tempat itu segera penuh bau belerang dan asap mesiu, juga daging terbakar.
Yo Kian-hi yang bernyali besar dan punya pasukan bawahan yang juga bernyali besar pun, kini melongo menyaksikan semuanya itu. “Jadi ini yang mereka sebut 'barisan api' itu?" desisnya. “Hebat. Tak terduga. Tetapi juga tidak berperikemanusiaan. Gagasan ini pasti keluar dari otak pemimpin yang sama sekali tidak menghiraukan nyawa anak buahnya, menganggap para bawahan semata-mata hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan belaka..."
Yo Kian-hi tidak Ikut mengejar mereka, ia segera masuk untuk menemui Jenderal Lau. Jenderal itu sudah duduk kembali di ruangan tengah, dengan sikap kembali digagahgagahkan, meski jantungnya masih deg-degan. Ruangannya sendiri masih berantakan, dan pengawa lpengawal wanita baru menyingkirkan mayat-mayat. Mayat kawan maupun lawan.
Dengan agak ogah-ogahan Yo Kian-hi memberi hormat kepada Jenderal Lau. Ogah-ogahan mengingat bahwa sebenarnya kedudukan Jenderal Lau sebagai Panglima Tertinggi Kerajaan itu lebih pantas buat Jenderal Li Giam, atasan Yo Kian-hi, yang lebih banyak jasanya dalam perang menumbangkan dinasti Beng.
Namun kini Yo Kian-hi terpaksa memberi hormat juga, biar bagaimanapun Jenderal Lau sekarang adalah Panglima Tertinggi Kerajaan yang ditetapkan sendiri oleh Kaisar Tiong-ong. Tanya Yo Kian-hi, "Baik-baikkah keadaan Jenderal?"
Lau Cong-bin mengangguk sedikit, mengamat-amati Yo Kian-hi, dan balik bertanya, "Rasanya pernah melihatmu tetapi lupa di mana. Nampaknya kau bukan salah seorang dari panglima bawahanku, siapa kau?"
"Namaku Yo Kian-hi, panglima bawahan Jenderal Li Giam.”
“Jenderal Li Giam?”
“Ya."
Wajah Jenderal Lau Cong-bin berkerut mendengar Li Giam yang selalu dianggapnya duri dalam daging itu, dan sekarang ia diselamatkan dari maut oleh seorang bawahan Li Giam. Ia tidak menyukainya, tetapi kenyataan tidak dapat berubah.
“Pekerjaanmu bagus," cuma itu yang dikatakan Lau Cong-bih, tanpa ucapan terima kasih.
“Terima kasih, Jenderal..." malahan Yo Kian-hi yang berterima kasih.
Kemudian Lau Cong-bin mencoba mencari-cari, "Kalau kau bawahan L i Giam, tentunya kau bersama-sama Li Giam dalam perjalanan menuju ke tempat tugas barunya di wilayah barat-laut, kenapa kau malah ada di sebelah timur Pak-khia ini?”
“Karena di tengah jalan tiba-tiba Li Giam menyuruh aku ke Pak-khia untuk memberitahukan sesuatu kepada Sri Baginda. Jadi aku tinggalkan barisan dan balik ke Pakkhia untuk menghadap Baginda..."
"Apa yang ingin Li Giam beritahukan kepada Baginda?" tanya Lau Cong-bin tegang. Sebagai seorang yang terbiasa memfitnah orang lain, dia pun khawatir jangan-jangan ada orang yang memfitnahnya di hadapan Kaisar selagi ia tidak berada di Pak-khia. Ia mengukur orang lain menurut ukurannya sendiri.
Sahut Yo Kian-hi, "Jenderal Li mengalami percobaan pembunuhan dari kaki tangan orang Manchu, untung usaha itu gagal..." sengaja Yo Kian-hi tidak menyebut-nyebut soal Helian Kong, bukan mau menyembunyikan jasa Helian Kong, melainkan karena merasa percuma menceritakan soal Helian Kong kepada seorang yang berjiwa sempit semacam Lau Cong-bin, malam bisa menimbulkan masalah yang diada-adakan oleh Lau Cong-bin sendiri. “Kegiatan orang Manchu itulah yang ingin Jenderal Li beritahukan kepada Baginda...”
“Hanya itu?"
"Maaf, Jenderal, apa yang Jenderal maksud dengan 'hanya itu'?" Akhirnya ketahuan juga ketakutan Lau Cong-bin.
"Li Giam tidak melaporkan aku?"
Yo Kian-hi menahan tertawanya, "Kenapa harus melaporkan tentang diri Jenderal? Memangnya Jenderal Lau menyimpan kesalahan yang perlu dilaporkan kepada Baginda?"
Wajah Jenderal Lau memerah-padam, beberapa pengawalnya sudah berdebar-debar, khawatir kalau Sang Jenderal tersinggung dan menjatuhkan hukuman mati kepada Yo Kian-hi, yang sudah menolong mereka malam itu. Maklum, jenderal yang satu ini terkenal suka "mengobral" hukuman mati. Ternyata tidak.
Barangkali karena Jenderal Lau melihat beberapa jagoan yang berseragam pasukan istana yang tadi datangnya bersama-sama Yo Kian-hi. Meskipun Lau Cong-bin adalah Panglima Tertinggi, tetapi pasukan istana tidak di bawahnya, pasukan itu langsung di bawah perintah Kaisar. Itulah sebabnya Lau Cong-bin tidak berani bertindak gegabah kepada Yo Kian-hi, meskipun Yo Kian-hi sendiri tidak berseragam pasukan istana.
“Kau belum menjelaskan kenapa kau sampai ke tempat ini.”
“Di Pak-khia, Sri Baginda memerintah aku ikut mengantar Tuan Puteri Kong-hui...”
“Tan Wan-wan, maksudmu?”
“Benar. Aku disuruh Sri Baginda mengantar Tan Wan-wan ke San-hai-koan untuk menenangkan Bu Sam-kui agar..."
Lau Cong-bin yang tergila-gila kepada Tan Wan-wan itu menepuk pegangan kursinya keras-keras, "Maksudmu, Tan Wan-wan akan dikorbankan untuk Bu Sam-kui, seperti sepotong tulang disodorkan ke mulut seekor anjing kelaparan agar si anjing tidak menggigit?”
“Tidak. Tuan Puteri Kong-hui dikirim sebagai utusan resmi Sri Baginda dengan wewenang penuh untuk menyelesaikan persoalan menurut caranya, atas nama Sri Baginda!” sahut Yo Kian-hi mengangkat tinggi-tinggi martabat Tan Wan-wan, sekaligus juga menghapus kalau-kalau dalam pikiran Jenderal Lau ada niat mesum.
Lau Cong-bin memang terperangah sejenak, jelas sekarang Tan Wan-wan alias Puteri Kong-hui bukan lagi "barang permainan" seperti dulu. Sekarang, mempermainkan Tan Wan-wan sama dengan mempermainkan Kaisar Tiong-ong yang melimpahkan kekuasaan kepadanya.
Lau Cong-bin juga sudah mendengar desas-desus dari Pak-khia, bahwa Kaisar Tiong-ong pun ternyata menaruh hati kepada Tan Wan-wan. Memang hanya desas-desus, tetapi Lau Cong-bin tetap tidak berani mengabaikannya dan mempertaruhkan batang lehernya, meskipun hatinya terbakar cemburu.
“Sekarang di mana Tan... eh, Puteri Konghui?”
“Ketika kami hampir sampai di desa ini, kami melihat ada cahaya api dan suara keributan orang bertempur. Demi keselamatan Tuan Puteri, aku menyuruh iring-iringan berhenti tiga li dari sini, dan aku sendiri kemari bersama teman-teman ini..." sahut Yo Kian-hi sambil menunjuk para pengawal istana yang datang bersamanya tadi.
“Tempat ini sekarang sudah aman, panggil Tuan Puteri kemari sekarang juga.”
“Baik, Jenderal, aku mohon diri dulu..." Yo Kian-hi memberi hormat lalu berlalu bersama pengawal-pengawal istana itu.
Sementara itu, Deng Hu-koan kemudian datang menghadap Jenderal Lau. “Lapor, Jenderal, musuh sudah terpukul mundur dengan meninggalkan korban puluhan orang. Keadaan seluruh desa sudah terkendali mantap di tangan kita!”
Seperti itulah gaya laporan yang disukai Lau Cong-bin, menyebutkan kerugian hanya di pihak musuh tanpa menyebutkan kerugian di pihak sendiri. “Bagus. Kau kenali dari pihak mana mereka?"
Kali ini Deng Hu-koan agak gelagapan menjawab, "Soal ini... soal ini... kami sedang menyelidikinya..."
"Kau tidak mengenali mereka?”
“Mereka berpakaian seperti penduduk biasa, tidak memakai seragam atau tanda pengenal apa pun...”
“Tetapi mereka jelas sebuah pasukan yang terlatih, bahkan amat terlatih. Terlihat dari cara bertempur mereka dan kekompakan mereka.”
“Betul, Jenderal..." waktu itu barulah Deng Hu-koan melihat keadaan ruang yang berantakan dan cipratan darah di dinding, sehingga dia terkejut. “He, apa yang terjadi di sini?”
“Para pembunuh berhasil menyelundup kemari..."
Deng Hu-koan yang merasa penanggung jawab keselamatan jenderalnya dan sekarang tahu kalau kebobolan, cepat-cepat berlutut, "Hukumlah aku, Jenderal, aku telah teledor sehingga membahayakan diri Jenderal...”
“Perkara keteledoranmu bisa diperhitungkan di kemudian hari, sekarang teruskan dan lengkapkan dulu laporanmu!”
Deng Hu-koan bangkit dari berlututnya, "Terima kasih, Jenderal. Pendapat Jenderal benar bahwa mereka adalah sebuah pasukan, meskipun tidak berseragam. Mereka tidak seperti gerombolan yang tidak tertib. Hanya saja, dari pihak mana mereka, memang... memang belum diketahui...”
“Apakah tidak ada di antara mereka yang tertangkap hidup dan ditanyai?”
“Ada banyak. Tetapi, tak seorang pun bisa ditanyai lagi.”
“Kenapa?”
“Mereka yang tertangkap hidup memilih mati dengan menggunakan belati atau menggigit lidahnya. Yang tidak punya kekuatan untuk membunuh diri, minta kawannya untuk membunuh diri. Begitulah, di antara tawanan itu tidak tersisa seorang pun yang hidup..."
Lau Cong-bin menepuk pegangan kursi dengan kesal, "Jadi mereka tetap tidak bisa diketahui dari pihak mana?"
Pagi itu cerah, tetapi suasana duka meliputi desa tempat Jenderal Lau bermarkas itu. Bukan saja prajurit-prajurit yang tewas dari kedua belah pihak dalam pertempuran sengit semalam, penduduk pun tidak sedikit yang jadi korban.
Sudah begitu, Lau Cong-bin pagi itu bukan mengeluarkan suatu keputusan yang menenteramkan dan melegakan hati penduduk, malahan mengeluarkan perintah agar setiap penduduk diperiksa sejauh mana keterlibatannya dengan si "saudagar beras" dan korban-korban pun bertambah dengan orangorang yang dicurigai. Tanpa berbelit-belit lagi, semua tersangka langsung dijatuhi hukuman mati.
Sementara itu, di aula dari rumah Si Kepala Desa, Jenderal Lau duduk berhadapan dengan Tan Wan-wan dalam situasi yang sangat resmi. Pengawal-pengawal Jenderal Lau berderet di belakangnya, wanita-wanita cantik namun dengan seragam prajurit yang mentereng tetapi tanpa topi besi.
Sedangkan di belakang Tan Wan-wan berderet belasan prajurit istana yang juga berseragam mentereng. Yo Kian-hi tidak berdiri, ia mendapat sebuah kursi meskipun tingkatannya lebih rendah dari Tan Wan-wan, begitu pula komandan dari pasukan istana yang mengawal Tan Wan-wan.
Kali ini Lau Cong-bin tidak berani bersikap kurang hormat terhadap perempuan yang didesas-desuskan punya hubungan istimewa dengan Kaisar Tiong-ong ini. Sikapnya terkendali ketika bertanya, "Nah, Puteri, apa yang ingin kau lihat di garis depan ini? Mayat-mayat yang bergelimpangan?"
Tan Wan-wan duduk anggun di kursinya, ia menarik napas dan berkata, "Aku menyesal aku terlambat tiba di San-hai-koan, sehingga Bu Sam-kui sempat menyerahkannya kepada orang Manchu.”
“Ah, seandainya Puteri tidak terlambat sampai di San-hai-koan pun, belum tentu Puteri bisa menyelamatkan San-hai-koan, malah membahayakan jiwa Puteri sendiri. Bu Sam-kui itu otaknya di dengkul!”
“Masalahnya sekarang, tidak dengan saling mencaci, tetapi bagaimana mencegah keadaan agar tidak menjadi semakin buruk, supaya jangan orang-orang Manchu mendapat keuntungan yang semakin besar. Bahkan kalau perlu, kita bisa temukan bagaimana caranya mengusir orang Manchu kembali ke luar perbatasan!”
"Caranya sebetulnya mudah. Asal bala bantuan dari Ibukota Pak-khia sudah datang, dan meriam-meriam kita tidak lagi kekurangan mesiu, mudah menggasak habis anjing-anjing Manchu itu. Mereka itu berjumlah sedikit kok..."
Waktu mengucapkan ini, suara Jenderal Lau begitu congkak nadanya, membuat Yo Kian-hi diam-diam membatin, "Hem, si hidung-belang ini agaknya lupa kalau semalam nyawanya hampir saja dibetot pasukan tak beridentitas itu..."
Tetapi Yo Kian-hi diam saja, Tan Wanwan lah yang menjawab namun dengan bijaksana, tanpa nada sindiran sedikit pun, "Tentu saja aku mempercayai kehebatan Jenderal Lau. Tetapi kita harus memperhitungkan sisa-sisa dinasti Beng yang bisa menjadi gangguan buat kita, tetapi juga bisa menjadi bantuan, tergantung bagaimana sikap kita..."
Kembali Lau Cong-bin bersikap meremehkan, "Hem, sisa-sisa dinasti Beng itu cuma pemimpi-pemimpi ke masa lalu yang sebenarnya tidak punya kekuatan lagi. Mereka bisa diabaikan. Lawan kita sekarang ini adalah orang Manchu.”
“Jenderal, siapapun yang punya otak pasti takkan berani menganggap enteng orang-orang semacam Helian Kong, Su Ko-hoat, The Ci-liong dan panglima-panglima Beng di wilayah selatan lainnya. Hanya orang butalah yang tidak menghitung kekuatan mereka. Dan orang-orang buta akan selalu melangkah tertatih-tatih dan sebentar-sebentar kejeblos ke dalam lubang!” Tan Wan-wan kali ini bersuara tajam.
Lau Cong-bin merah padam wajahnya, merasa disindir sebagai "orang buta", tetapi ia tidak berani mentang-mentang lagi kepada Tan Wan-wan yang hadir sebagai utusan-resmi Kaisar dengan kekuasaan penuh, ia cuma berani mencengkeram pegangan-pegangan kursi sampai jari-jarinya memutih dan gemetar.
“Aku tidak berani membantah Jenderal, aku hanya ingin mengusulkan. Usulku ini akan Jenderal terima atau tolak, sepenuhnya terserah Jenderal."
"Coba aku dengarkan usul Puteri.”
“Jenderal, di hadapan musuh asing, yaitu orang-orang Manchu, rasanya kurang bijaksana kalau sesama bangsa Han malah cakar-cakaran satu sama lain. Dan betapapun dalamnya permusuhan antara kita dengan sisa-sisa dinasti Beng, kedua belah pihak adalah sama-sama bangsa Han. Kalau permusuhan dilanjutkan, yang keenakan adalah orang-orang Manchu. Betul tidak?"
Seorang perwira yang berdiri di samping kursi Jenderal Lau, tiba-tiba saja menimbrung, "Omongan Tuan Puteri ini enak kedengarannya, tetapi pelaksanaannya sungguh lebih sulit dari memanjat langit. Pihak kita tentu saja ingin berdamai demi keutuhan negeri leluhur, tetapi apakah sisa-sisa dinasti Beng itu mau menyambut uluran tangan kita? Tak terbayangkan, kelihatannya budak-budak keluarga Cu itu lebih suka bersekutu dengan orang-orang Manchu untuk menggencet kita. Contohnya, Bu Sam-kui!”
Dalam pembicaraan yang begitu resmi tiba-tiba ada orang menimbrung bicara begitu saja, mestinya Jenderal Lau menegur untuk menunjukkan kalau pasukannya memiliki disiplin. Tetapi dasar Lau Cong-bin, karena omongan si perwira itu kebetulan cocok dengan "selera"nya, Lau Cong-bin membiarkannya saja.
Sejak semula Lau Cong-bin tidak suka berdamai dengan orang-orang dinasti Beng, sebab merasa pihaknya sendiri terlalu kuat untuk menyelesaikan segala-galanya tanpa perlu memperhitungkan orang-orang dinasti Beng. Sekarang kebetulan ada seorang perwiranya yang mewakili perasaannya, jadi Lau Cong-bin malah merasa kebetulan.
Deng Hu-koan, perwira pertama yang paling dekat dengan Jenderal Lau, agaknya merasa tidak senang terhadap kelancangan rekannya itu. la lalu menoleh kepada orang itu sambil berkata, "Saudara Ong, harap kau..."
Jenderal Lau cepat menukas, "Biarkan Ong Yang-be bicara..."
Deng Hu-koan pun bungkam dengan penasaran, sedangkan perwira yang bernama Ong Yang-be itu jadi bersemangat karena didukung dan "berkenan" kepada Jenderalnya. Bahkan ia melangkah maju agar menjadi pusat perhatian, dan berkata sambil melangkah hilir mudik,
"Tuan Puteri, usulmu itu terlalu mengawang-awang dan tidak berpijak bumi. Tuan Puteri hanya membayangkan yang indah-indah di tempat Tuan Puteri di istana, tidak melihat sendiri keadaan dan situasi di garis depan. Sungguh, aku orang yang paling berbahagia kalau usul Tuan Puteri itu bisa dilaksanakan, sayang, seperti kukatakan tadi pelaksanaannya sulit sekali. Bu Sam-kui sudah menunjukkan isi hati semua begundal-begundal Keluarga Cu, dengan menjalin persekutuan dengan pihak Manchu untuk menyerang kita. Itu kenyataan, itu bukan hasil berangan-angan di ruang istana!”
Nampaknya perwira bernama Ong Yang-be ini ingin memancing emosi Tan Wan-wan, dengan perhitungan kalau seorang wanita sudah terpancing emosinya, kata-katanya akan mengandung banyak kelemahan dan akan dikalahkan dalam perdebatan.
Tak terduga Tan Wan-wan menjawab dengan suara datar, tanpa lonjakan perasaan, "Bu Sam-kui bukanlah satu-satunya tolok-ukur sikap sisa-sisa dinasti Beng terhadap kita. Aku kenal Bu Sam-kui sebagai seorang yang berpendirian lemah dan mudah terombang-ambing, dia berbuat demikian pasti karena kita memojokkannya dan tidak memberinya pilihan lain...”
“Jadi Tuan Puteri ini malah menutup-nutupi kesalahan Bu Sam-kui?"
Yo Kian-hi geregetan melihat gaya si perwira yang ngelunjak itu. Tapi demi menjaga ketertiban pembicaraan, ia menahan diri. Lagi pula Tan Wan-wan sendiri kelihatannya tidak terpengaruh dan tetap tenang, tetap menguasai diri.
Sahut Tan Wan-wan, "Itu kenyataan. Yang penting kita ketahui, Bu Sam-kui tidak mewakili sikap seluruh sisa-sisa dinasti Beng.”
“Jadi ada yang bersikap lain?”
“Tentu saja.”
“Siapa misalnya?”
“Helian Kong."
Begitu nama Helian Kong disebut, si perwira Ong Yang-be tiba-tiba tertawa geli, diikuti Jenderal Lau, dan beberapa perwira staf yang hadir di ruangan itu baru ikut tertawa setelah Jenderal Lau tertawa duluan.
Melihat mereka tertawa-tawa, mau tidak mau terungkit juga emosi Tan Wan-wan, suaranya agak meninggi, "Maaf, apa yang Tuan-tuan tertawakan?"
Ong Yang-be masih tetap bersikap sebagai juru bicara pihak Jenderal Lau karena ia dibiarkan terus berbicara tanpa dilarang oleh Jenderal Lau. Tanyanya, "Tuan Puteri ini memang tidak tahu, atau hanya pura-pura tidak tahu?"
Yo Kian-hi tidak tahan lagi melihat pihak Jenderal Lau tidak menghormati Tan Wan-wan, sedangkan semalam mereka semua hampir mampus kalau tidak ditolong Yo Kian-hi dan kawan-kawannya. “He, perwira kampungan, kau bisa bicara yang baik atau tidak?"
Tan Wan-wan cepat menoleh kepada Yo Kian-hi dan memberinya isyarat untuk diam. Yo Kian-hi mematuhinya. Lalu Tan Wan-wanlah yang menjawab, "Maaf, aku benar-benar tidak tahu soal apa yang Tuan-tuan tertawakan. Tolong beritahu aku...”
“Baiklah aku beritahu, Tuan Puteri. Bu Sam-kui dan Helian Kong itu setali tiga uang alias sama saja. Dan kami rasa begitu pula sisa-sisa begundal Keluarga Cu lainnya.”
“Sama saja bagaimana?”
“Semalam sebelum Bu Sam-kui mengambil keputusan sintingnya memasukkan tentara Manchu ke San-hai-koan, dia ditemui Helian Kong dan seorang lagi entah siapa. Helian Kong itulah justru yang menganjurkan Bu Sam-kui bekerja sama dengan tentara Manchu! Dia justru yang meneguhkan Bu Sam-kui dalam keputusan gilanya itu! Soal ini, setiap prajurit di San-hai-koan mengetahuinya!”
Kali ini Tan Wan-wan menggeleng-gelengkan kepala, menyangkal pernyataan itu, Yo Kian-hi juga ikut geleng-geleng kepala. Bahkan "wabah" geleng-geleng kepala ini "menular" pula ke jago-jago istana yang datang bersama Yo Kian-hi.
Keruan Jenderal Lau dan orang-orangnya sekarang ganti yang penasaran, merasa kalau omongan pihak mereka diabaikan. Jenderal Lau yang paling tidak tahan, "Kenapa kalian tidak mempercayai berita yang kami dapat?"
Sahut Tan Wan-wan, "Bagaimana bisa kami mempercayai itu, sedang waktunya yang kalian katakan Helian Kong menjumpai Bu Sam-kui di San-hai-koan itu, sebenarnya Helian Kong sedang berada di istana kerajaan di Ibukota Pak-khia? Bagaimana mungkin Helian Kong bisa berada di dua tempat sekaligus? Dan baru kemarin aku perintahkan untuk melepaskan Helian Kong, sebelumnya selama belasan hari dia terus-menerus di bawah pengawasan ketat kami. Bahkan dia sempat mencicipi beberapa hari dalam sel penjara kerajaan. Soal ini tanyalah kepada setiap prajurit istana, bahkan tanyalah Sri Baginda sendiri. Aku tidak bohong!”
Perkataan Tan Wan-wan itu begitu meyakinkan, membuat Jenderal Lau dan orang-orangnya melongo. Di pihak Jenderal Lau hanya Ong Yang-be yang tidak kaget mendengar soal "dua Helian Kong di dua tempat sekaligus" itu, sebab sebenarnya ia tahu kalau "Helian Kong" yang di San-hai-koan itu Helian Kong gadungan.
Yang dikhawatirkannya sekarang ialah kalau sampai Jenderal Lau mempercayai dan dipengaruhi oleh Tan Wan-wan, apalagi sampai menerima usul Tan Wan-wan untuk berdamai dengan pihak dinasti Beng. Ini tidak boleh terjadi! Tugas Ong Yang-be adalah membuat permusuhan kaum Pelangi Kuning dan sisa-sisa dinasti Beng semakin sengit bahkan saling menghancurkan. Sekarang Ong Yang-be memutar otak bagaimana mengantipasi perkembangan itu.
Sementara Jenderal Lau bertanya, "Apa yang terjadi di istana?"
Tan Wan-wan menyuruh komandan pasukan pengawal istana yang duduk di sebelahnya untuk bercerita, dan komandan itu pun mulai menguraikan kejadiannya. Mulai Helian Kong menyelundup masuk istana, tertangkap, tertawan beberapa hari, sampai Kaisar Tiong-ong memutuskan untuk membebaskannya di San-hai-koan.
Dalam cerita itu tersirat niat Kaisar Tiong-ong untuk mengulurkan ajakan bersekutu kepada sisa-sisa dinasti Beng, dengan jalan membebaskan Helian Kong. Setolol-tololnya Lau Cong-bin, ia dapat merasakannya juga, tentu saja ia tidak berani menentang kemauan kaisar untuk bersekutu dengan sisa-sisa dinasti Beng menentang Manchu. Yang masih membingungkan Jenderal Lau dan orang-orangnya adalah soal munculnya "dua Helian Kong" itu.
Ia menoleh kepada Deng Hu-koan dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
Sahut Deng Hu-koan, "Jenderal, lebih baik tanyakan dulu apa usul Tuan Puteri secara terperinci, lalu kita akan mempertimbangkannya."
Jenderal Lau mengalihkan pandangan kepada Tan Wan-wan, dan Tan Wan-wan pun berkata, "Sederhana saja, antara pihak kita dan pihak mereka harus melakukan sesuatu hal nyata yang dapat menimbulkan kepercayaan, kemudian pembicaraan dapat dimulai. Aku ulangi, sesuatu yang nyata, bukan sekedar omong-kosong. Dan pihak kita sudah mengawalinya...”
“Maksud Puteri?”
“Baginda menugaskan aku membebaskan Helian Kong di San-hai-koan sebagai tanda uluran tangan kepada sisa-sisa dinasti Beng. Tetapi di tengah jalan aku mendengar San-hai-koan sudah jatuh, lalu aku tetap saja membebaskan Helian Kong dan kutitipkan pesan untuk teman-temannya untuk menyambut itikad tulus dari Sri Baginda...”
“Mungkinkah budak-budak Keluarga Cu itu bisa?" ejek Ong Yang-be.
“Helian Kong bisa dipercaya, aku lama mengenalnya. Saudara Yo ini juga mengenal pribadinya, biarpun sebagai lawan, bukankah begitu, Saudara Yo?"
Yo Kian-hi mendukung, "Betul. Helian Kong ini dapat dipercaya."
Ong Yang-be menyeringai, "Baik, baik. Kita sudah bayar "uang muka"-nya, lalu kita akan dapatkan apa?"
Yo Kian-hi diam-diam menilai sikap perwira yang bernama Ong Yang-be ini agak berlebihan, kelihatannya ingin mengarahkan dan membentuk pendapat semua orang yang hadir menurut kehendaknya. Yo Kian-hi tahu kalau perwira yang menjadi kepala stafnya Jenderal Lau adalah Deng Hu-koan, tetapi dalam pembicaraan itu Deng Hu-koan malah cuma melongo saja, satu kali ingin bicara saja sudah dibungkam oleh Jenderal Lau.
Sedangkan Ong Yang-be nampak begitu lancang, sering menimbrung atau menukas sebelum orang selesai bicara, tetapi Jenderal Lau seperti mengumbarnya, membiarkannya. Mulanya Yo Kian-hi menganggap antara Deng Hu-koan dan Ong Yang-be ini sekedar persaingan berebut cari muka kepada atasan, suatu hal yang biasa yang terdapat di hampir semua hirarki.
Namun melihat arah kata-kata Ong Yang-be yang selalu menghalang-halangi tercapainya persekutuan antara kaum Pelangi Kuning dengan sisa-sisa dinasti Beng, Yo Kian-hi mulai mencurigai Ong Yang-be ini bekerja untuk pihak tertentu.
Sesuatu yang amat mungkin, hasil penyelidikan Yo Kian-hi di Pak-khia menemukan adanya jaringan mata-mata musuh yang rapi sampai ke mana-mana, bahkan ternyata beberapa orang perwira Pelangi Kuning yang sudah mencapai kedudukan tinggi, bahkan diketahui ikut dalam perjuangan menumbangkan dinasti Beng, ternyata adalah mata-mata Manchu yang diselundupkan.
Misalnya perwira pembantu Jenderal Gu Kim-sing yang mengaku bernama Ciong Ek-hi, ternyata nama aslinya adalah Ha Cao, perwira pasukan sandi Manchu. Sayang orang itu tidak berhasil diringkus meskipun sudah terbongkar kedoknya. Kini naluri tajam Yo Kian-hi mulai mencurigai Ong Yang-be ini jangan-jangan cuma nama palsu seperti Ciong Ek-hi?
Tetapi tanpa bukti-bukti kuat, sudah tentu Yo Kian-hi tidak bisa mendakwa begitu saja. Bahkan Yo Kian-hi tidak menampakkan kecurigaannya sedikit pun, meski di dalam hati memutuskan akan lebih mewaspadai Ong Yangbe ini.
Terdengar Tan Wan-wan menanggapi pertanyaan sinis Ong Yang-he tadi, "Helian Kong berjanji akan melepaskan Ong Ling-po yang ditahan oleh orang-orangnya di pegunungan. Kemungkinan besar dia juga akan membawa usul-usul dari Helian Kong, kalau dia tiba di tempat ini."
Ong Yang-be tidak menyukai itu, namun kelihatannya hampir semua yang hadir di situ sudah terpengaruh oleh kata-kata Tan Wanwan, bahkan Jenderal Lau yang otaknya kurang cerdas itu kelihatannya tidak sepenuhnya bisa mengerti apa yang sedang dibicarakan. Ong Yang-be sadar, kalau ia terus-menerus bersikap menentang Tan Wan-wan, orang-orang bisa curiga.
Maka dia pun kini bersikap "menurut arah angin" dulu, "Mudah-mudahan Helian Kong bisa menepati janjinya. Kami akan senang kalau begitu. Bagaimanapun, kurang baik kalau sesama bangsa Han saling kepruk di depan mata anjing-anjing Manchu. Tetapi untuk bisa mengambil suatu keputusan, pastilah Jenderal Lau harus berunding dulu dengan perwira-perwiranya. Bukankah begitu, Jenderal?"
Sekali ini Ong Yang-be bahkan sudah hampir mengambil keputusan yang melancangi wewenang Jenderal Lau. Deng Hu-koan yang sekian lama dilangkahi, juga tidak tahan lagi dan membuka suara, "Saudara Ong, aku kira keputusan apakah kita akan menerima usul Tuan Puteri Kong-hui ataukah merundingkannya dulu, itu sepenuhnya adalah wewenang Jenderal."
Ong Yang-be mengangguk hormat kepada Deng Hu-koan, lalu mundur ke tempat duduknya di samping Jenderal Lau. Lau Cong-bin mengambil-alih, "Puteri Konghui, usulmu akan kami pertimbangkan. Sekarang aku persilakan Puteri ke tempat peristirahatan Puteri, atau kalau mau berjalan-jalan melihat-lihat keadaan di sekitar desa-desa ini, silakan. Aku akan berunding dengan perwira-perwiraku."
Tan Wan-wan pun bangkit, memberi hormat kepada Jenderal Lau dan mengundurkan diri dengan diiringi Yo Kian-hi serta pengawal-pengawal dari istana. Jenderal Lau dan perwira-perwiranya berdiri sebagai sikap mengantarkan. Lalu berundinglah Jenderal Lau dengan perwira-perwira terdekatnya di belakang pintu tertutup.
Tan Wan-wan maupun Yo Kian-hi tidak tahu apa yang mereka rundingkan. Mereka juga tidak tahu, bahwa Jenderal Lau diam-diam sering mengadakan pertemuan empat mata. Celakanya, pertemuan empat mata dengan Ong Yang-be.
Beberapa hari kemudian, Ong Ling-po, perwira Pelangi Kuning yang sekian lama ditawan sisa-sisa dinasti Beng di pegunungan, muncul di desa yang dijadikan markas Jenderal Lau. la nampak sehat, segar, tak kurang suatu apa pun kecuali pakaian seragamnya yang agak lusuh. Begitu tiba, sebagai layaknya prajurit yang terikat peraturan, dia pertama-tama melapor kepada Jenderal Lau Cong-bin.
Lau Cong-bin yang sudah "overdosis" kena pengaruh Ong Yang-be itu, bersikap dingin saja mendengar laporan Ong Ling-po. Bahkan juga ketika Ong Ling-po membeberkan niat Helian Kong yang menyatakan) siap menyambut3uluran tangan Kaisar Tiong-ong untuk bekerja melawan Manchu.
“Bagus..." Ong Yang-be berkomentar. Hal itu dikatakannya karena di ruangan itu juga ada Tan Wan-wan dan Yo Kian-hi yang ikut mendengarkan laporan Ong Ling-po.
“Mudah-mudahan tidak ada pengkhianatan..."
Tukas Tan Wan-wan, "Jangan selalu berpikir yang jelek, Tuan Ong. Usaha bersama seluruh bangsa Han untuk mengusir orang Manchu yang terlanjur masuk, harus dimulai dengan belajar saling percaya dari masing-masing pihak. Ternyata Helian Kong sudah menepati janji dengan melepaskan Saudara Ong Ling-po ini.”
“Ya, itu pertanda ada harapan..." sahut Ong Yang-be.
Ong Ling-po kemudian berkata, "Jenderal, kalau Jenderal siap dengan jawaban, ijinkanlah aku kembali ke pegunungan untuk membawa jawaban kita kepada Helian Kong."
Jenderal Lau memandang Ong Yang-be, dan si perwira pun berkata, "Kami sudah memutuskan untuk menerima uluran tangan mereka. Saudara Ong, kapan kau akan kembali ke pegunungan?"
Ong Ling-po berseri wajahnya mendengar jawaban itu, tanpa curiga apa-apa, sebab Ong Ling-po pun menginginkan sesama orang Han melupakan permusuhan untuk menyelamatkan tanah-air lebih dulu, setidak-tidaknya untuk sementara. Jawabnya penuh semangat, "Untuk membawa kabar baik ini, rasanya tidak perlu ditunda-tunda lagi. Kalau Jenderal ijinkan, sekarang juga aku akan kembali ke pegunungan..."
Tan Wan-wan gembira melihat semangat perwira muda ini, tidak nampak dibuat-buat. Ternyata banyak orang di pihak Pelangi Kuning maupun sisa-sisa dinasti Beng merasakan perlunya melupakan permusuhan dulu.
Sementara Ong Yang-be berkata mewakili Jenderal Lau, "Katakan kepada Helian Kong, bawalah pasukannya turun dari pegunungan untuk bergabung dengan pasukan kami. Meskipun kedua pasukan akan tetap punya garis komando sendiri-sendiri, tetapi kita akan sama-sama menghadapi orang-orang Manchu dengan saling menyesuaikan langkah.”
“Baiklah, aku mohon pamit sekarang juga." Ong Ling-po yang baru saja datang itu pun berangkat lagi. Dadanya sedang bergelora dengan semangat ingin segera menggempur tentara Manchu, sehingga rasa lelahnya tidak terasakan lagi.
Sementara Ong Yang-be dan orang-orang terpercayanya melakukan kegiatan tersendiri secara diam-diam, diluar sepengetahuan Tan Wan-wan, juga tanpa diketahui Deng Hu-koan, bahkan Jenderal Lau sendiri pun tidak tahu apa-apa.
Ong Ling-po kembali tiba di pegunungan sudah larut malam, namun dia benar-benar tidak mempedulikan rasa lelahnya. Dan karena dia sudah diberitahu posisi pasukan Helian Kong, dia tidak tersesat di pegunungan itu melainkan dapat menuju arah yang tepat meskipun harus hati-hati.
Di pegunungan, apalagi malam hari, semua tempat kelihatannya sama saja. Untunglah pasukan Helian Kong juga menyalakan perapian-perapian besar yang bisa terlihat dari jauh, cahaya api unggun itu jadi semacam mercu-suar bagi kapal di lautan yang menuntun Ong Ling-po ke sasarannya. Tengah malam lebih, Ong Ling-po sudah berhadapan dengan Helian Kong di sebelah sebuah api unggun di lereng pegunungan.
“Bagaimana, Saudara Ong?" tanya Helian Kong.
“Lancar, Panglima Helian. Di markas Jenderal Lau ternyata juga ada Tuan Puteri Kong-hui dan rombongannya, rupanya Tuan Puterilah yang mempengaruhi cara berpikir Jenderal Lau, sehingga begitu gampang menerima usul kerja sama. Aku segera bergegas kemari."
Laporan tentang beradanya Tan Wan-wan di markas Lau Cong-bin menimbulkan dua macam perasaan di hati Helian Kong. Cemas, karena bagaimanapun juga Tan Wan-wan sudah berada di suatu tempat yang bisa dianggap garis depan, kalau sampai Bu Sma-kui mendengarnya dan "kumat" gandrungnya, bisa-bisa mengerahkan tentara Manchu untuk menyerbu, bukankah keselamatan Tan Wan-wan bisa terancam?
Helian Kong sudah mencegahnya dulu sebelum berpisah dari Tan Wan-wan, tetapi peringatannya tidak digubris. Perasaan kedua, Helian Kong merasa hadirnya Tan Wanwan di markas Jenderal Lau merupakan jaminan bahwa sambutan Jenderal Lau benarbenar tulus.
“Lalu, apa yang harus kami lakukan, Saudara Ong?”
“Membawa pasukan ini turun dari pegunungan dan mengambil suatu posisi yang mudah dihubungi di dataran rendah, untuk bisa mengambil langkah bersama melawan orang Manchu."
Helian Kong merenung sejenak, kedengarannya semua begitu mudah. Namun ia menganggap bahwa segalanya yang begitu lancar adalah karena pengaruh Tan Wan-wan atas diri Jenderal Lau. Helian Kong tahu kalau Jenderal Lau pun tergilagila kepada Tan Wan-wan.
“Seandainya Bu Samkui pun sempat dipengaruhi oleh Tan Wanwan..." keluh Helian Kong dalam hatinya. “Sayang, sekarang sudah terlambat..."
Tak ada banyak waktu untuk menyesali yang sudah lewat, yang penting adalah menyusun langkah menyongsong masa depan. Menyelamatkan yang masih bisa diselamatkan, bahkan kalau mungkin merebut kembali yang sudah terlanjur lepas dari genggaman.
Keesokan harinya, Helian Kong menyiapkan seluruh pasukannya untuk meninggalkan pegunungan dan turun ke dataran, semua prajurit sudah diberitahu bahwa mereka akan bergabung dengan pasukan Pelangi Kuning yang dulunya musuh, untuk menghadang gerakmaju tentara Manchu lebih lanjut, bahkan kalau perlu mengusir kembali ke luar perbatasan.
Sebagian dari prajurit-prajurit bawahan Helian Kong adalah prajurit-prajurit yang asalnya San-hai-koan, yang dipimpin Kong-sun Koan, dan kemudian bergabung dengan pasukan Helian Kong. Para prajurit asal San-haikoan itu masygul karena membayangkan bahwa mereka bakal berhadapan dengan teman-teman sendiri, yaitu prajurit-prajurit San-hai-koan yang kini bergabung dengan tentara Manchu.
Menurut berita yang dibawa Kongsun Koan, prajurit-prajurit San-hai-koan itu tertekan di bawah perintah prajurit-prajurit Manchu, namun tidak berdaya karena jauh lebih lemah. Dan kalau mereka diajak maju berperang oleh orang-orang Manchu pun, pastilah mereka hanya akan maju dengan sangat terpaksa.
Prajurit-prajurit asal San-hai-koan yang bergabung dengan Helian Kong itu merasa kasihan membayangkan teman-teman mereka yang ada di antara tentara Manchu itu. Sudah perasaan mereka tertekan, mereka bisa-bisa dicap sebagai pengkhianat tanah leluhur pula, suatu pengorbanan yang bakal sangat konyol.
“Mudah-mudahan teman-teman kita itu kebagian tugas hanya menjaga kota San-haikoan, sehingga tidak perlu berhadapan dengan kita di medan perang..." kata Kongsun Koan kepada prajurit-prajurit asal San-hai-koan.
“Jadi kita tidak perlu sungkan membenamkan ujung pedang kita ke jantung prajurit-prajurit Manchu keparat itu..."
Begitulah, bagaimanapun berat dan masygul perasaan prajurit-prajurit asal San-hai-koan, ketika aba-aba untuk berangkat dibunyikan, mereka berangkat juga. Perang adalah perang, dan perasaan pribadi orang-orang yang terlibat perang itu dikesampingkan, dianggap melemahkan semangat.
Ong Ling-po berjalan di depan, menunjukkan jalan, la berdampingan dengan Helian Kong, juga dengan Kongsun Koan. Ong Ling-po dan Kongsun Koan pernah berhadapan sebagai lawan, bahkan Ong Ling-po pernah menjadi tawanan sekian lama, namun kini mereka mencoba menghilangkan kecanggungan satu sama lain dengan percakapan-percakapan singkat.
Bagaimanapun, kini mereka adalah calon sekutu untuk bersama-sama menghadapi tentara Manchu. Helian Kong sendiri melangkah sambil membungkam, sedikit sekali berbicara, anganangannya melayang ke mana-mana.
Mereka masih sehari-semalam berjalan di pegunungan, sebelum suatu kali mereka tiba di kaki pegunungan yang tanahnya semakin landai, pada suatu siang. Mereka terus berjalan di dataran, dalam barisan memanjang dan tidak dalam formasi tempur.
“Kita akan ke mana? Apakah langsung ke desa yang menjadi markas Jenderal Lau?" tanya Helian Kong kepada Ong Ling-po.
Ong Ling-po sendiri agak kelabakan menjawab karena ia sendiri belum tahu rencana terperinci bagaimana memperlakukan pasukan Helian Kong ini. Perintah yang dibawanya hanyalah, agar Helian Kong dan pasukannya segera meninggalkan posisinya di pegunungan.
“Entahlah..." sahut Ong Ling-po. “Karena tidak dikatakan apa-apa, barangkali ya memang disuruh menuju langsung ke desa tempat Jenderal Lau bermarkas. Urusan ini memang kurang dirundingkan secara terperinci...”
“Kalau ke desa tempat Jenderal Lau, berarti menaklukkan diri ke bawah perintah Jenderal Lau?" tiba-tiba Kongsun Koan bertanya dengan wajah tegang.
Buru-buru Ong Ling-po menjelaskan, "Oh, tidak, bukan begitu. Soal lainnya barangkali aku kurang jelas, tetapi justru soal ini aku mendengarnya dengan jelas, bahwa antara pasukan kalian dan pasukan kami akan punya komando sendiri-sendiri, tidak ada satu pun yang di atas yang lain. Hanya saling menyesuaikan langkah menghadapi gerakan musuh. Begitu. Jadi tidak saling membawahi.”
“Benar Saudara Ong dengar begitu?”
“Betul. Kupingku tidak salah dengar.”
“Siapa yang mengatakannya?”
“Ong Yang-be.”
“Siapa itu Ong Yang-be?”
“Bisa dibilang orang nomor tiga dalam pasukan, hanya di bawah Jenderal Lau dan Kepala stafnya, Deng Hu-koan. Jadi ucapan Ong Yang-be ada bobotnya untuk dipegang, apalagi karena diucapkan di depan Tuan Puteri Konghui dan rombongannya, juga di hadapan Jenderal Lau sendiri dan atas namanya."
Helian Kong mengangguk-angguk, pikirnya, "Lau Cong-bin itu masih punya sedikit otak yang juga dalam menilai situasi, sehingga ia tidak mempersulit kerjasama antar kedua pasukan dengan permintaan yang aneh-aneh, misalnya."
Ketika itulah dari depan terlihat debu mengepul, nampak serombongan kecil orang berkuda datang menyongsong barisan Helian Kong. Karena Helian Kong belum mengenali rombongan itu dari pihak mana, ia menyuruh pasukannya berhenti sambil bersiaga. Setelah makin dekat, barulah terlihat benderanya, dan Ong Ling-po langsung mengenalinya.
“Itu orang-orang pasukan kami." Rombongan itu sudah dekat, dan ternyata adalah Ong Yang-be dan belasan pengawal berkudanya.
Tiba di depan Helian Kong, Ong Yang-be menghentikan kudanya dan melompat turun, dengan sikap yang hormat dia bertanya, "Yang mana Panglima Helian yang termasyhur?"
Helian Kong maju selangkah, "Aku Helian Kong."
Ong Yang-be kembali memberi hormat yang nampaknya agak berlebihan juga, "Aku sudah lama mendengar kemasyhuran nama Panglima di medan laga. Sungguh aku beruntung belum pernah bertemu Panglima di medan laga, kalau pernah, pastilah sekarang ini aku hanyalah sesosok arwah penasaran yang tanpa badan wadag..."
Bukan cuma Helian Kong dan Kongsun Koan yang merasakan sikap itu agak berlebihan dan dibuat-buat, bahkan Ong Ling-po yang "satu bendera" dengan Ong Yang-be juga merasakannya. Namun Helian Kong membalas hormat juga, "Terima kasih, pujian Anda terlalu berlebihan dan membuatku merasa malu sendiri. Apakah kedatangan Anda ke tempat ini mempunyai maksud?”
“Ya. Jenderal Lau sudah memperhitungkan kalau hari ini sahabat-sahabat seperjuangan akan tiba di sini, aku diperintahnya untuk menunjukkan tempat yang akan menjadi pangkalan kalian.”
“Di mana?”
“Di sebuah desa yang agak besar dan penduduknya sudah diungsikan ke garis belakang. Di desa itu bahan pangan tersedia cukup dan bisa didapatkan dari ladang-ladang yang luas di sekitarnya kalau masih kurang. Ada juga binatang-binatang ternak, jadi kalian bisa makan daging ayam, kambing atau lembu, ada juga empang-empang ikan yang ikannya gemuk-gemuk..."
Helian Kong agak geli mendengar cara Ong Yang-be menceritakan tentang tempat itu seperti orang mempromosikan barang dagangan. Tetapi ia mencoba membayangkan maksud tulus di balik "servis" yang hebat itu. "Terima kasih," kata Helian Kong. “Masih jauhkah tempat itu dari sini?"
Ong Yang-be menunjuk ke arah selatan, "Kira-kira lima belas li dari sini. Mari kuantarkan." Ong Yang-be dan rombongannya lalu bergabung dengan pasukan Helian Kong sebagai penujuk jalan.
Dua buah bendera berkibaran berdampingan, bendera kaum Pelangi Kuning yang warna kuning polos dan bendera Kerajaan Beng yang juga kuning, namun dengan lukisan bulatan merah lambang matahari dan bulan sabit putih. Bendera dinasti Beng disebut Jitgoat-ki (Bendera Rembulan dan Matahari). Nampaknya rukun sekali.
Sikap Ong Yang-be dan orang-orangnya begitu sopan, bahkan mereka tidak menunggangi kuda-kuda mereka, melainkan menuntunnya untuk berdampingan berjalan kaki dengan Helian Kong, Kong-sun Koan, Kwe Peng-hui dan perwira-perwira dinasti Beng lainnya.
Di dalam rombongan Ong Yang-be itu juga ada Pun Liok, perwira bawahan Ong Ling-po yang dulu terpaksa mundur dari pegunungan bersama pasukannya setelah Ong Ling-po tertawan. Kini melihat Ong Ling-po kembali dalam keadaan sehat walafiat bersama mantan penawan-penawannya, Pun Liok yang bertubuh pendek kokoh dan bersenjata gada Kim-kong-kun (Gada Malaikat Kim-kong) itu pun memeluk Ong Ling-po kuat-kuat.
Begitulah, dua kelompok yang semula bermusuhan, kini berjalan bersama, saling beramah-tamah sepanjang perjalanan. Keramah-tamahan terjaga, sebab sedikit orang yang tahu isi otak Ong Yang-be, bahkan sesama orang Pelangi Kuning juga sedikit yang mengetahuinya.
Beberapa lama kemudian, barisan itu melewati suatu daerah yang ada tanda-tanda pernah didiami penduduk. Di kiri-kanan jalan ada ladang-ladang yang ditangani dengan rapi, dengan bambu-bambu penyangga tumbuh-tumbuhan rambat, dan juga ada empang4empang ikan yang luas seperti kata Ong Yang-be tadi.
Tidak lama kemudian mereka mulai melihat rumah-rumah, mendengar suara-suara ayam, burung, kambing, bebek dan sapi. Suasana damai, tetapi tidak kelihatan satu orang pun kecuali prajurit-prajurit yang baru datang dari pegunungan dan pengantarpengantar mereka.
“Inilah tempat yang kami sediakan bagi kalian, Saudara-saudara seperjuanganku..." kata Ong Yang-be sambil me-ngedangkan lengannya.
Helian Kong mengangguk-angguk, sedang prajurit-prajuritnya yang sudah sekian lama hidup di pegunungan, mulai membayangkan nikmatnya tinggal di tempat itu. Meskipun mereka tahu bahwa mereka ke situ bukan untuk enak-enakan melainkan untuk berperang.
Tetapi ada juga prajurit yang berpendapat dan dikatakannya kepada temannya, "Kalau untuk berperang, tidakkah lebih baik kita tetap berada di pegunungan? Kita bisa menyergap musuh kapan saja kita mau, lalu menghilang kembali ke pegunungan tanpa terkejar..."
"Tetapi di tempat ini kita jadi lebih mudah dihubungi oleh teman-teman kita," sahut yang lain. “Lagi pula, dengan menempati tempat ini dan terang-terangan mengibarkan bendera kerajaan Beng di desa ini, kita mendapat kemenangan moral. Ini menandakan kalau Li Cu-seng...”
“Ssssst, jangan keras-keras..."
Yang berbicara tadi lalu meredahkan suaranya, "...ini tandanya Li Cu-seng mau tidak mau harus mengakui keberadaan kita secara resmi..."
Sementara itu, Ong Yang-be terus memujimuji kelebihan tempat itu di hadapan para perwira dinasti Beng, "Aku tahu bahwa Saudara-saudara adalah pecinta-pecinta tanah air, yang turun dari pegunungan bukan karena tidak tahan menderita melainkan justru untuk meningkatkan perjuangan, dan datang kemari bukan untuk bersantai. Tetapi kalau urat syaraf para prajurit terlalu tegang juga kurang baik.
"Nah, tempat ini letaknya agak tinggi, pemandangan sekitar indah, di dekat sini ada sungai kecil berair jernih untuk berbagai keperluan. Tetapi untuk keperluan pertahanan, di beberapa sudut desa bisa didirikan menara pengawas, karena desa ini letaknya agak tinggi maka bisa mengawasi tempat sampai jauh. Jalan-raya timur-barat juga bisa diawasi dari sini...”
“Keteranganmu lengkap sekali, Tuan Ong, terima kasih.”
“Ada hal yang paling penting yang harus kau ketahui, Panglima Helian, yaitu posisi pasukan-pasukan kami. Bukankah kita sekarang teman, dan harus saling mengetahui tempat, untuk saling membantu atau kalau ada kebutuhan. Pasukan kami yang menjaga dermaga agar jangan sampai kita kebobolan lewat jalan air. Pasukan kami yang menjaga selat gunung ada di arah sana, dan markas Jenderal Lau agak sedikit ke sebelah baratnya...”
“Terima kasih. Tuan Ong, rupanya kau lupakan satu lagi jalan yang barangkali bisa dilewati musuh."
"O, yang mana?”
“Dari arah pegunungan.”
“Tetapi jalan pegunungan sulit dilalui oleh sebuah pasukan besar yang membawa perbekalan lengkap. Di sepanjang jalan juga tidak mungkin memperoleh perbekalan buat prajurit-prajuritnya...”
“Pasukan besar tidak mungkin lewat, tetapi regu-regu yang lebih terbatas jumlahnya bisa saja menyelusup ke garis belakang kita lewat jalan pegunungan. Contohnya adalah kami, seadainya kami ini masih musuh kalian, bukankah saat ini kami sudah berada di garis belakang kalian?"
Demikianlah, karena Ong Yang-be kelihatannya bersikap cukup tulus dan bahkan memberitahukan posisi-posisi pasukannya segala, maka Helian Kong pun mencoba mengimbanginya dengan "menambal" kekurangan dalam susunan pertahanan kaum Pelangi Kuning itu. Calon sekutu untuk kerjasama harus belajar saling percaya dan terbuka.
Ong Yang-be mengangguk-angguk, "Panglima Helian memang berperhitungan cermat, kami beruntung Panglima Helian dari lawan berubah menjadi sekutu kami. Dan anjing-anjing Manchu bakal kena batunya kalau bertemu Panglima di medan perang kelak. Tetapi aku kira, orang-orang Manchu yang sombong dan merasa kuat itu takkan sudi menyusup jalan-jalan setapak kecil di pegunungan...”
“Maaf, Tuan Ong, kau keliru. Saudara Kongsun Koan ini menemukan adanya jejak sebuah pasukan misterius di sebuah gua di pegunungan. Di pegunungan itu bergentayangan sebuah pasukan yang entah berada di pihak mana, tetapi aku menduga keras adalah pasukan Manchu..."
Ong Yang-be terkesiap dalam hatinya, "Kurang ajar, agaknya jejak mereka sampai terlihat oleh budak-budak Keluarga Cu ini. Hem, mereka harus diperingatkan agar lebih hati-hati, jangan sampai meninggalkan jejak..."
Meskipun hatinya kaget, Ong Yang-be terlalu ahli untuk menyembunyikan perasaannya. Ia pura-pura geram dan berkata, "Kalau begitu, anjing-anjing Manchu itu benar-benar perlu diwaspadai. Panglima Helian, pasukanmu di tempat ini punya posisi yang bagus untuk mengawasi jalan dari arah pegunungan. Maaf, bukannya aku memerintahkan, tetapi aku atas nama Jenderal Lau memohon, sekali lagi memohon dan bukan memerintah, sudilah kiranya Panglima mengawasi jalan yang dari arah pegunungan itu demi kepentingan bersama."
Helian Kong mengangguk. “Tentu saja. Kalau anjing-anjing Manchu muncul dari arah pegunungan, bahkan dari arah mana saja, darah bangsa Han yang mengalir dalam urat nadikulah yang akan memerintahkan aku untuk bertindak menghadang mereka. Perkara ini Tuan Ong tidak usah khawatir."
Ong Yang-be pura-pura lega, "Syukurlah, makin erat kerjasama di antara kita, makin kecil peluang bagi pihak Manchu untuk mengambil keuntungan. Sekarang, Panglima dan prajuritprajurit Panglima tentu butuh istirahat, karena itu aku dan rekan-rekanku ini mohon pamit."
Kedua belah pihak saling mengucapkan kata-kata yang bersifat sungkan, saling memberi hormat, kemudian pergilah rombongan Ong Yang-be ke desa tempat markas Jenderal Lau. Ong Ling-po ikut dalam rombongan itu, sebab dia adalah panglima bawahan Jenderal Lau.
Helian Kong segera mengatur penempatan pasukannya di desa itu. Biarpun sebagian besar pasukannya harus beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh, Helian Kong juga memerintahkan penjagaan yang baik.
Kemudian tukang-tukang masak pasukan mulai sibuk, sebab saat itu matahari sudah mulai lingsir ke barat, dan bila malam tiba nanti harus sudah tersedia makan malam buat lebih dari delapan belas ribu prajurit.
Ternyata sesuai dengan kata-kata Ong Yang-be, persediaan bahan makanan benar-benar berlimpah. Namun pasukan Helian Kong sendiri masih membawa serba sedikit bekal mereka dari pegunungan. Dan bekal dari pegunungan itu juga dimasak pula, dimanfaatkan sebelum menjadi rusak dan tak dapat dimakan lagi.
Begitulah, desa yang baru saja dikosongkan penduduknya itu pun seolah hidup kembali, sekarang semua "penduduk"nya berseragam dan bersenjata. Tetapi dari dapur-dapur mulai mengepul asap, pertanda tukang-tukang masak dalam pasukan mulai menjalankan tugasnya, menyiapkan makan malam. Tidak lama kemudian, obor-obor mulai dinyalakan, sebab hari mulai gelap.
Dan tidak lama kemudian, isyarat untuk makan malam pun sudah terdengar, berbondong-bondonglah prajurit-prajurit ke dapur umum untuk mengambil ransum mereka. Tetapi sebagian dari prajurit nampak ragu-ragu.
“He, kenapa kau tidak ikut mengambil ransum?”
“Aku masih kenyang. Aku baru saja makan."
"Makan apa? Makanan di dapur baru saja selesai dimasak...”
“Makan bekalku dari pegunungan. Dimasak sendiri. Masih enak kok."
Temannya tertawa, "Ah, buat apa susah-susah. Kenapa? Takut diracuni oleh orang-orang Pelangi Kuning yang sekarang sudah menjadi sahabat-sahabat kita?"
Temannya menggeleng, "Aku tidak berani berprasangka... barangkali hanya karena sayang membuang bekal yang kubawa dari pegunungan.”
“Kentang liar hitam yang tidak ada rasanya itu?”
“Tetapi kan bisa membantu menghemat persediaan bahan makanan yang ada di desa ini?”
“Ya sudahlah, kau nikmati kentang hitam itu, aku yang nikmati bubur ini. Tetapi nanti kalau kau tidur, pantatmu jangan kau hadapkan ke muka temanmu lho. Orang yang makan kentang hitam, bau kentutnya...”
“Sudahlah. Makan sajalah."
"Salahmu sendiri terlalu curiga. Aku percaya kaum Pelangi kuning tidak akan meracuni kita. Seandainya mereka tidak tulus pun, setidak-tidaknya sekarang ini mereka sedang membutuhkan tenaga kita. Mereka baru saja kabur lintang-pukang dari San-hai-koan dalam keadaan setengah remuk." Kata-kata prajurit itu selain untuk mengemukakan alasan kepada temannya, juga untuk menenteramkan hatinya sendiri.
Begitulah, ada yang makan perbekalan yang dibawa dari pegunungan, ada yang makan bubur yang dibuat dari beras yang ditimbun di desa itu, disediakan oleh orang-orang Pelangi Kuning. Ternyata tidak terjadi apa-apa. Setidak-tidaknya sampai menjelang tengah malam.
Kejadiannya dimulai ketika berpuluh-puluh prajurit tiba-tiba merasa perutnya sakit. Mengira bahwa sakit perut itu adalah sakit perut biasa, mereka pun berbondong-bondong menuju kakus. Ternyata ada, bahkan banyak, yang langkahnya tidak sampai ke kakus.
Di tengah jalan banyak yang sudah rebah, muntah-muntah, berkeringat, dan kemudian mati dengan mata mendelik dan sudut bibir mengalirkan air-liur berwarna hitam. Yang sudah sampai ke kakus pun harus menggedor-gedor pintu kakus sebab tiba-tiba saja semua kakus sudah terisi dan ditutup dari dalam. Ketika beberapa pintu kakus didobrak, kebanyakan orang yang di dalamnya sudah jadi mayat.
Kegemparan melanda seluruh pasukan. Prajurit-prajurit yang waras karena tidak ikut makan bubur, sekuat tenaga berusaha menolong teman-teman mereka. Tetapi yang mati terus berjatuhan seperti lalat.
“Kita dikhianati!”
"Kita keracunan!”
"Babi-babi Pelangi Kuning itu ingin menumpas kita!”
Kepanikan melanda seluruh desa. Helian Kong diberi laporan, tetapi di antara para perwira pimpinan pun ternyata banyak yang jadi korban karena sore tadi ikut makan bubur maut itu. Dalam kepanikan itu, sebisa-bisanya Helian Kong masih mencoba mengendalikan keadaan, meskipun hatinya menyala oleh kegusaran melihat prajurit-prajuritnya bertumbangan dengan konyol di mana-mana. Bukan oleh pedang atau oleh panah, tetapi hanya oleh semangkuk bubur.
“Yang tidak terkena racun, dibagi menjadi dua bagian!” teriaknya.
“Sebagian menolong yang masih bisa ditolong, sebagian lagi mengawasi di batas desa!”
Desa itu tidak seperti desa yang ditempati sebagian markas Jenderal Lau, yang sudah diberi tembok pertahanan segala, melainkan desa yang belum diubah menjadi benteng, jadi belum ada temboknya. Karena itu kalau datang serangan, musuh bisa menyusup dari arah mana saja, apalagi di malam gelap begitu. Begitulah, dalam keadaan serba kacau, sebagian prajurit masih bisa diarahkan.
Tetapi sungguh suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa sebagian besar anggota pasukan Helian Kong sudah ikut makan bubur maut itu, termasuk beberapa perwira tinggi. Bisa dimaklumi, karena berbulan-bulan mereka hidup di pegunungan dengan makanan darurat sedapat-dapatnya, dan sekarang tiba-tiba saja dihadapan mereka tersaji bubur hangat yang kelihatan gurih, siapa tidak tergiur.
Namun yang tergiur itu sekarang sedang diseret belalai-belalai kerajaan maut menuju ke dunia orang mati, bahkan tidak sedikit yang sudah "melewati perbatasan". Menurut perhitungan, bakal tinggal sepertiga jumlah pasukan Helian Kong yang tinggal hidup.
Helian Kong ikut sibuk. Gusar, kecewa dan sedih bercampur-aduk dalam hatinya, sampai-sampai otaknya buntu, sulit berpikir. Ia ikut menggotong orang-orang yang jatuh dan kelihatannya masih bisa ditolong.
“Semua ini kesalahanku! Aku ini manusia tolol, paling goblok di dunia! Kenapa aku mempercayai mulut berbisa orang-orang Pelangi Kuning?" Sambil berlari-lari ke sana kemari, Helian Kong juga bercucuran air mata! Suatu pemandangan yang amat ganjil atas diri seorang panglima yang membaja setelah sekian tahun digembleng situasi.
Tetapi untung Kwe Peng-hui, perwira bawahan Helian Kong yang setia, masih punya sisa akal sehat untuk memperhitungkan apa yang bakal terjadi. Di antara orang-orang yang hilir-mudik dengan kacau itu, dia pun ikut berlari-lari, kadang-kadang melompati mayat yang bergelimpangan dan menabrak orang-orang yang masih hidup. Mencari Helian Kong. Dan itu tidak mudah dalam situasi kacau-balau begitu, namun akhirnya Helian Kong diketemukannya juga.
Helian Kong sedang memijit-mijit tengkuk seorang prajurit dan menepuk-nepuk punggungnya, agar orang itu bisa muntah-kan kembali racun yang sudah terlanjur tertelan.
“Panglima!”
"Ada apa, Saudara Kwe?"
"Panglima, kalau kita ingin menyelamatkan yang tersisa, biarpun sedikit, kita harus secepatnya pergi dari sini. Secepatnya! Mungkin bajingan-bajingan Pelangi Kuning itu tidak hanya menyiapkan siasat yang satu macam untuk membantai kita, mungkin sekali masih ada gerakan susulan mereka. Kita tidak mau terkurung dan terjebak di desa ini! Kita harus pergi!”
"Bagaimana dengan mereka yang sakit?”
“Bawa!”
Helian Kong menganggap perhitungan Kwe Peng-hui itu masuk akal. Dia sendiri tidak sempat berpikir saking bingungnya. Lalu Helian Kong pun berkata, "Baik. Sebarkan perintah!”
Begitulah, pasukan yang tersisa dengan tergesa-gesa berbondong-bondong hendak meninggalkan desa itu dalam barisan yang kacau-balau. Prajurit-prajurit yang sekiranya masih bisa tertolong, digendong teman-temannya. Yang sudah tewas, apa boleh buat, ditinggal begitu saja dengan perasaan berat.
"Jangan pakai obor, nanti terlihat oleh bajingan-bajingan itu!” teriak Kwe Peng-hui. Begitulah, pasukan itu mencoba bergerak dalam keadaan gelap. Tetapi hal itu sudah biasa mereka lakukan selama bergerilya di pegunungan. “Padamkan juga obor-obor di desa!” perintah Kwe Peng-hui.
“Jangan!” bantah Heiian Kong. “Kalau penerangan di desa ini mendadak padam semua dan terlihat oleh mereka dari kejauhan, tentu mereka akan curiga dan menghadang kita...!”