Kembang Jelita Peruntuh Tahta Bagian Dua Jilid 18 - Begitulah, dalam keadaan tergesa-gesa dan panik, pasukan itu bersiap-siap meninggalkan desa yang menurut Ong Yang-be tadi "sangat nyaman".
Tetapi sebelum pasukan itu bergerak meninggalkan desa, di pinggiran desa muncullah Ong Yang-be dan pasukannya yang berjumlah besar, yang dipecah-pecah mengurung desa itu dari segala arah.
“Jangan biarkan hidup seorang pun!” perintah Ong Yang-be tegas kepada perwira-perwira bawahannya dan komandan-komandan di tingkat yang paling rendah.
Mereka merambat mendekati desa itu tanpa obor, dengan berlindung pepohonan di ladang-ladang penduduk di seputar desa. Kemudian, mereka menghujani desa dengan panah-panah berapi maupun panah-panah biasa.
Pasukan Helian Kong kembali menjadi panik karena serangan musuh datang dari segala arah, dari tempat gelap di tengah-tengah ladang-ladang sayur penduduk. Rupanya, pihak Pelangi Kuning yang baru saja "dihajar" oleh pasukan tanpa identitas yang hampir berhasil menewaskan Jenderal Lau itu, kini meniru cara serangan mereka yang mendadak dan dari arah kegelapan.
Prajurit-prajurit Helian Kong banyak yang menjadi korban. Biarpun banyak di antara mereka yang mengangkat perisai-perisai, tetapi arah datangnya serangan benar-benar tidak tentu. Mengangkat perisai ke arah depan, tahutahu panahnya datang dari arah punggung atau samping.
Begitulah pasukan itu menderita kerugian besar. Dan kemudian ternyata panah-panah api yang dilepaskan musuh itu tidak sekedar "memeriahkan" saja, melainkan ada tujuannya. Banyak rumah-rumah yang kejatuhan panah api itu mula-mula hanya sekedar terbakar atapnya atau dindingnya, namun kemudian rumah itu meledak hebat dan membinasakan serta melukai banyak prajurit Helian Kong.
Ternyata, dalam rumah sudah disembunyikan sejumlah besar bubuk mesiu, di langit-langit atap, dalam tiang-tiang bambu atau bahkan dalam dinding tanah liat, yang begitu kena api meledak. Dan ternyata sebagian besar rumah di desa itu sudah diubah jadi "bom" seperti itu sehingga minta banyak korban jiwa dalam pasukan Helian Kong.
Desa itu menyala menjadi neraka, berdiri di jalanan pun terasa amat panas. Ledakan-ledakan besar sudah tidak terdengar, tetapi letupan-letupan kecil masih terddngar terus beruntun. Dan, lagi-lagi pihak Pelangi Kuning meniru teknik "barisan api" pasukan misterius yang hampir berhasil membinasakan Jenderal Lau, di antara campuran bubuk mesiu itu dicampur remukan beling yang ikut muncrat melukai orang ketika bubuknya terbakar meledak.
Begitulah kacaunya pasukan Helian Kong, sedangkan panah dan lembing tidak berhenti dan menambah jatuhnya korban. Helian Kong benar-benar tak tahu harus berbuat apa, tidak peduli bagaimanapun berpengalamannya dia. Sesuatu yang memedihkan mengusik hatinya,
"Apakah Tan Wan-wan tahu menahu dengan siasat untuk membinasakan seluruh pasukanku ini?"
Di luar desa, Ong Yang-be yang merasa bahwa "serangan pembukaannya" sudah cukup melemahkan sasarannya, sekarang meneriakkan aba-aba seluruh pasukannya untuk menyerbu masuk ke dalam desa. Dengan suaranya yang parau ia mengulangi perintahnya yang tadi, "Jangan biarkan hidup seorang pun!”
Pasukan Pelangi Kuning pun menyerbu ke dalam desa sambil bersorak-sorai. Sisa-sisa pasukan Helian Kong yang sudah terjepit dan nyaris berputus-asa itu, sekarang malahan menyambut kedatangan pasukan Pelangi Kuning itu dengan gembira.
Teriak mereka, "Bagus! Lebih baik begini! Daripada mati konyol oleh racun dan oleh api, kita akan mati setelah memberi perlawanan sampai titik darah terakhir!”
"Betul! Kita adu jiwa untuk membalaskan kematian teman-teman kita!”
Dan teriakan-teriakan penuh dendam Jainnya yang saling membakar amarah. Maka pasukan yang dibawa oleh Ong Yangbe pun mendapat perlawanan yang mengejutkan dari pasukan Helian Kong yang jumlahnya sekarang jauh lebih sedikit itu.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning itu sekarang seperti melawan sekelompok binatang buas yang marah, yang tidak tahu apa-apa selain menggigit dan mencakar.
Prajurit-prajurit Helian Kong tidak menunggu sampai lawanlawan mereka mendekat, merekalah yang menyongsong maju dan bahkan tidak peduli Prajurit-prajurit Pelangi Kuning itu sekarang seperti melawan sekelompok binatang buas yang marah, yang tidak tahu apa-apa selain mengigit dan mencakar.
Seandainya mereka sendirian menyusup ke tengah-tengah pasukan musuhnya tanpa dukungan dari garis belakang. Mereka lalu mengamuk, tidak mempedulikan luka, tidak mempedulikan apa pun kecuali mencari korban jiwa sebanyak-banyaknya di pihak musuh sebelum mereka sendiri jadi korban.
Para pimpinan pasukan sisa-sisa dinasti Beng seperti Helian Kong, Kongsun Koan dan Kwe Peng-hui serta lain-lainnya, mengamuk pula. Dan amukan mereka sudah tentu jauh lebih merusak dari amukan prajurit-prajurit biasa. Tidak ada yang menghadang mereka, mampu menandingi mereka, bahkan Ong Yangbe sendiri kelihatannya malah menghindar untuk bertemu dengan Helian Kong.
Ternyata bukan cuma sayang nyawa, Ong Yang-be di dalam hatinya bahkan merasa senang! Senang melihat prajurit-prajurit Pelangi Kuning banyak dikurangi oleh amukan perwira-perwira dinasti Beng. Juga senang melihat prajurit-prajurit dinasti Beng saling bantai dengan prajuritprajurit Pelangi Kuning.
Dalam hatinya dia bersorak, "Ayo, babi-babi bangsa Han, saling bunuhlah, jangan ragu-ragu. Habiskan kekuatan kalian sendiri..." Sementara Ong Yang-be berpeluk tangan saja melihat kedua pasukan itu saling bantai, maka prajurit-prajurit Pelangi Kuning seolah mengulangi pengalaman mereka berhadapan dengan regu istimewa dari pasukan misterius yang pernah hampir berhasil membunuh Jenderal Lau.
Regu istimewa yang bukan cuma tangguh melainkan juga nekad dan tidak menghiraukan diri sendiri, dengan tujuan hanya membunuh musuh sebanyak-banyaknya. Waktu 'itu pihak Pelangi Kuning harus "menyetor" banyak korban, sekarang lebih-lebih lagi, sebab bagaimanapun juga prajurit-prajurit Helian Kong yang tersisa itu jauh lebih banyak dari regu istimewa yang mengerikan itu.
Nampaknya, berdasar perbandingan jumlah, pasukan Helian Kong pasti akan tertumpas habis, mungkin hanya Helian Kong sendiri yang bakal hidup, sebab dia pasti mampu menyelamatkan diri sendiri. Itu kalau Helian Kong mau berbuat demikian dan tidak memilih mati bersama anak buahnya.
Sedangkan kalau dilihat dari perlawanan nekad, bukan cuma berani mati bahkan cenderung mencari mati dari prajurit-prajuritnya Helian Kong, maka pihak Pelangi Kuning akan mendapat kemenangan dengan harga yang mahal sekali, kalau hanya nyawa para prajurit mereka bisa dianggap "mata-uang"nya.
Tetapi di lereng di bawah desa itu karena desa itu terletak di atas tanah yang agak tinggi, tiba-tiba muncul pasukan lain. Seperti pasukan Ong Yang-be yang mengendap-endap tanpa obor, begitu pula pasukan ini, dan ternyata pasukan ini juga pasukan Pelangi Kuning. Yang menjadi komandan adalah Ong Ling-po, si perwira Pelangi Kuning yang pernah menjadi tawanan pasukan Helian Kong di pegunungan.
Melihat kobaran api di desa itu, Ong Ling-po mengertakkan giginya dan menggeram, "Memalukan sekali. Sisa-sisa dinasti Beng itu pernah memperlakukan aku dengan baik, meskipun sebagai tawanan. Aku tidak pernah dianiaya atau direndahkan martabatku. Dan sekarang macam inikah balasan pihak kita? Padahal pasukan Helian Kong itu turun dari pegunungan karena menuruti ajakan dari pihak kita. Mereka tulus, dan kitalah yang curang..."
Pun Liok, perwira bawahan Ong Ling-po yang pendek gempal dan bersenjata gada Kimkong-kun itu pun ikut-ikutan marah tanpa dibuat-buat, "Entah gagasan siapa pun ini, ini sangat memalukan!”
Ong Ling-po kemudian menggerakkan tangannya, "Maju! Barisan yang membawa panah dan senjata api di barisan depan!”
Pasukan itu pun merayap, mendekati sesama pasukan Pelangi Kuning tetapi yang dipimpin Ong Yang-be, dari arah belakang. Dan setelah cukup dekat, Ong Ling-po menyuruh orang-orangnya yang membawa senjata api untuk menembak ke udara. Ratusan letusan berturut-turut di luar desa itu cukup menarik perhatian semua pihak.
Lalu Ong Ling-po mulai berteriak kepada pasukannya Ong Yang-be, "kalian bertindak tanpa mendapat perintah dari Jenderal Lau, pimpinan tertinggi! Hentikan! Atau kami memberlakukan disiplin yang keras atas kalian atas nama Jenderal Lau?"
Seruan serupa diserukan oleh bawahan-bawahan Ong Ling-po sehingga didengar oleh semua prajurit Ong Yang-be di semua bagian, karena Ong Ling-po pun menyebarkan prajuritnya ke segala arah. Jumlahnya juga tidak lebih sedikit dari pasukan Ong Yang-be.
Prajurit-prajurit Ong Yang-be jadi kebingungan, perintah yang mana dituruti? Baik Ong Ling-po maupun Ong yang-be sama-sama bawahan Jenderal Lau, namun kelihatannya Ong Yang-be lebih dekat dengan Jenderal Lau. Meskipun begitu, ancaman Ong Ling-po meyakinkan juga, apalagi dengan adanya ratusan pucuk senjata api di tangan mereka.
Beberapa komandan bawahan lalu mencari Ong Yang-be untuk minta petunjuknya. Ternyata, begitu sudah ketemu, Ong Yang-be menjawab dingin dan tak berpikir panjang, "Aku yang akan bertanggung jawab kepada Jenderal Lau. Terus habiskan Helian Kong dan orang-orangnya, dan kalau orang-orangnya Ong Ling-po mencegah atau menghalang-halangi, sikat sekalian!”
Komandan-komandan bawahannya termangu-mangu mendengar perintah itu. Perintah untuk menumpas Helian Kong dan orang-orangnya, meski agak keterlaluan, rasanya belum dipaksa-paksakan bisa diterima juga. Bagaimanapun, sisa-sisa dinasti Beng memang tetap menjadi "duri dalam daging" bagi pemerintahan Pelangi Kuning.
Tetapi perintah untuk bertarung dengan orang-orangnya Ong Ling-po benar-benar tidak masuk akal, dipaksakan pun susah diterima akal sehat. Bukankah pasukan Ong Ling-po itu sesama prajurit Pelangi Kuning, bahkan sama-sama bernaung di bawah benderanya Jenderal Lau? Lagipula, pasukannya Ong Ling-po membawa ratusan pucuk senjata api.
Melihat komandan-komandan bawahannya masih termangu-mangu, Ong Yang-be membentak, "He, apa yang kalian tunggu?!”
"Panglima, tentang perintah Panglima atas teman-teman kita dari pasukan Panglima Ong Ling-po itu...”
“Apa perintahku tadi kurang jelas?”
“Cukup jelas, tetapi...”
“Kalau sudah cukup jelas tidak ada 'tetapi-tetapian' lagi. Kalian hanya tinggal menjalankannya, atau dihukum menurut disiplin tentara.”
“Baik... baik..."
Tiba-tiba dari arah pepohonan sayur di kebun penduduk nampak seorang berpakaian prajurit Pelangi Kuning berlari-lari mendekat. Karena mengira orang itu mungkin membawa berita perkembangan penting, semuanya menunggu.
“Ada apa?" tanya Ong Yang-be ketika orang itu sudah cukup dekat.
Orang itu tidak menjawab, tiba-tiba saja dia melompat bagaikan harimau, melewati kepala para komandan bawahan Ong Yang-be yang berkerumun di dekat pintu gerbang desa itu. Di tangan orang itu berkilat sebuah belati, dan ia menubruk langsung ke arah Ong Yang-be. Sergapan itu demikian cepatnya, Ong Yangbe sendiri terkejut sekali. Dan dalam keterkejutannya itu Ong Yang-be melakukan sesuatu yang menyingkap sedikit kedoknya sendiri.
Orang-orang dalam pasukan Jenderal Lau mengenal Ong Yang-be sebagai perwira yang hanya memiliki ketrampilan militer biasa, dan kalau pun dianggap ada kelebihannya dari prajurit-prajurit lain hanyalah otaknya, sedangkan soal kemahiran tempur perseorangan alias ilmu silat, ia tidak berbeda dengan perwira-perwira biasa lainnya. Itulah pengenalan umum orang-orangnya Jenderal Lau terhadap Ong Yang-be.
Tapi sekarang pandangan itu harus diubah. Sebab orang-orang itu melihat Ong Yang-be melejit ke samping bagaikan kilat cepatnya, sambil berputar seperti gasing, sambil sepasang tangannya melambai gemulai seperti lengan penari namun kemudian ujung jari-jari tangannya berubah menjadi seperti kepala ular yang berpuluh-puluh jumlahnya dan mematukmatuk dengan ganas.
Seandainya di tempat itu ada penerangan yang cukup, pasti akan kelihatan bagaimana ujung jari-jari itu menjadi berwarna keungu-unguan. Jelaslah sekarang, sergapan maut dari orang yang berpisau belati itu telah memaksa Ong Yang-be menunjukkan ketrampilannya yang bukan sekedar ketrampilan militer.
Ong Yangbe telah mengeluarkan suatu jurus silat yang bukan cuma hebat, tetapi juga kejam. Suatu aliran tersendiri orang yang berpisau belati itu telah memaksa Ong Yang-be menunjukkan ketrampilannya. Tetapi si penyergap berpisau belati itu ternyata hebat juga, mendapat serangan balasan sehebat itu, yang bagi orang lain pastilah akan menjadi makanan empuk, ternyata orang ini tidak.
Malah dia tertawa terbahak-bahak dalam keadaan masih melayang di udara dan belum menginjak tanah, katanya disela-sela tawanya, "Bagus! Anjing Manchu, kalau tidak dipaksa dengan keras memang kau akan terus bersembunyi di belakang kedokmu!”
Sambil tertawa dengan mengoceh, tiba-tiba sepasang kakinya pun menendang tiga kali di udara. Geraknya kelihatan sederhana saja, namun seorang yang sedang tidak memijak tanah bisa menendang tiga kali sekeras, secepat dan semantap itu, memang mengejutkan.
Dan setiap tendangannya selalu lebih dulu mengancam titik berbahaya dan terbuka di pihak lawan, membuat pihak lawan dipaksa membatalkan serangan dan bertahan lebih dulu. Tiga kali si penyergap berpisau belati "menendang udara" dan tiga langkah panjang Ong Yang-be harus mundur, lupa kalau di tempat itu banyak empang ikan. Maka Ong Yang-be tercebur ke dalam empang.
Ong Yang-be gusar, bukan cuma oleh serangan pendadakan itu, tetapi juga oleh kata-kata si penyergap yang menyebutnya "anjing Manchu" itu, sesuatu yang ingin ditutupinya rapat-rapat. Berdiri di tengah-tengah empang ikan yang airnya setinggi pinggang, dengan muka dan pakaian berlepotan lumpur, Ong Yang-be hendak mencabut pedangnya. Tetapi baru separuh panjang pedang keluar dari sarungnya, seleret sinar meluncur dari tangan si penyergap, cepatnya melebihi kilat.
Si penyergap ternyata melontarkan pisau belatinya. Begitu cepatnya, sehingga meskipun Ong Yang-be sudah memiringkan tubuhnya, tetap saja pundak kanannya tertancap belati sampai setengah dari panjang belati itu. Seandainya dia dapat mencabut pedangnya sekalipun, dia tidak akan dapat memainkan pedangnya, lengan kanannya lumpuh dengan belati tertancap di pundak seperti itu.
Sejak munculnya si penyergap, lalu tukar-menukar serangan secepat kilat antara penyergap dan Ong Yang-be, sampai menancapnya belati itu di pundak Ong Yang-be, semuanya berlangsung demikian cepat sehingga banyak orang di tempat itu tidak dapat melihat dengan jelas.
Namun setelah adegan-adegan serba cepat itu, barulah semua orang melihat bahwa si penyergap tadi bukan lain adalah Yo Kian-hi. Bukan cuma menghajar Ong Yang-be secara fisik, Yo Kian-hi juga menghajarnya dengan kata-kata, ditujukan kepada perwira-perwira bawahan Ong Yang-be yang masih kebingungan,
"Saudara-saudara, orang ini nama aslinya adalah O Yok-ma, mata-mata Manchu yang sudah lama menyusup ke tubuh kita, dan membawa tugas memecah-belah bangsa Han antara golongan kita dengan golongan yang masih mendukung dinasti Beng, tujuan akhirnya tidak lain adalah berkuasanya bangsa Manchu di Tiong-goan!”
Para komandan itu pun mulai mendapat pegangan sedikit dalam sikap mereka. Kalau tadinya mereka bingung memilih mau mentaati Ong Yang-be atau Ong Ling-po, sekarang hati mereka mulai cenderung untuk menuruti Ong Ling-po tentu saja.
Sementara Yo Kian-hi berseru ke tengah empang, "O Yok-ma, semua peluangmu sudah tertutup. Satu-satunya jalan bagimu hanyalah menyerah dan membeberkan semua rencana pihakmu, dengan demikian kami bisa mempertimbangkan keringanan hukuman buatmu..."
O Yok-ma tertawa, adalah di luar dugaan bahwa dia tidak mau bersusah-payah membantah segala omongan Yo Kian-hi itu. Malah dia tertawa dan berkata dengan nada bangga bercampur mengejek,
"Hebat kau, Yo Kian-hi, kecermatan panglihatanmu dan kecerdikanmu memang beberapa kali hampir menghancurkan jaringan rahasia kami. Tetapi selalu hanya hampir, tidak pernah benar-benar berhasil bukan? He-he-he, itu artinya kami tetap lebih lihai dari kalian. Di antara kalian, yang kami pertimbangkan dengan sungguh-sungguh memang hanyalah Jenderal Li Giam dan orang-orangnya, hanya mereka yang punya sedikit otak, meskipun tetap tidak sepandai kami, hehe-he... maaf, terang-terangan saja ya?
"Yang lain-lainnya cuma keledai dan kerbau tanpa otak, yang bakal menjadi makanan empuk kami. Bagaimanapun juga, aku ucapkan selamat kepadamu, Yo Kian-hi. Tetapi kalian tahu bahwa keberhasilan kecil kalian ini sudah terlambat. Besok kalian akan mengetahui arti perkataanku ini... selamat tinggal!”
Tanpa ragu-ragu, dengan tangan kirinya memegang pedang karena tangan kanannya lumpuh, dia menikam perutnya sendiri. Ia tumbang perlahan dan tenggelam ke dalam empang ikan yang airnya segera menjadi merah.
Yo Kian-hi bukan atasan langsung komandan-komandan bawahan Ong Yang-be yang sekarang bagaikan lidi-lidi dari sebuah sapu lidi yang kehilangan pengikat, namun sekarang dengan wibawanya, kata-katanya dijadikan pegangan, "Tarik mundur orang-orang kalian! Cepat!”
Para komandan pun berlarian ke bagiannya masing-masing, ada yang sampai tergelincir ke dalam empang saking tergesa-gesanya, namun segera naik kembali dan terus berlari. Tidak lama kemudian, prajurit-prajurit Pelangi Kuning pun bergerak mundur serempak meninggalkan desa. Gerakan mereka seperti gelombang laut yang sudah surut.
Prajurit-prajurit Helian Kong yang tidak tahu apa yang terjadi dalam pasukan lawan mereka, karena itu, dengan hati yang masih panas membara oleh dendam, mereka mengejar dan masih berusaha menambah korban. Untung Helian Kong masih memiliki wibawa untuk mengendalikan prajurit-prajuritnya yang seolah kerasukan setan itu.
Dengan hati yang remuk Helian Kong memperkirakan bahwa pasukannya benar-benar tinggal kira-kira seperempat dari sebelumnya. Tadinya, dia perkirakan akan tinggal sepertiga, tetapi ternyata malah lebih sedikit dari perkiraannya, seperempat. Selain itu, beberapa perwira andalannya juga tewas, antara lain Kongsun Koan.
Tetapi Helian Kong tetap berhasil mengendalikan sisa orang-orangnya. Kendati harus berteriak-teriak sampai tenggorokannya sakit. Tidak lama kemudian, sisa-sisa pasukannya telah membentuk barisan yang siap meninggalkan desa itu. Tetapi ketika pasukan itu sudah keluar desa dan menuruni lereng, mereka melihat bahwa di depan mereka nampak ribuan obor, dan ada sebuah pasukan besar di kaki-bukit.
Pasukan Pelangi Kuning menghadang mereka, jumlah pasukannya puluhan kali lipat dari pasukan Helian Kong yang kelelahan dan babak belur. Tetapi di relung hati pasukan babak-belur itu masih menyala semangat tempur dan kemarahan yang bisa mengakibatkan pertumpahan darah kembali.
Helian Kong sendiri sudah mencabut pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, dan nanti kalau pedang itu di-kebaskan turun maka itulah isyarat bagi pasukannya untuk menyerang. Tetapi dari pihak lawan melangkah dua sosok tubuh yang mendekat, langkah mereka perlahan, berusaha menimbulkan kesan bahwa mereka tidak berniat berkelahi.
Mereka membelakangi ribuan prajurit mereka yang membawa obor-obor, sehingga rnereka cuma nampak seperti sosok-sosok bayangan hitam yang tak kelihatan wajahnya. Namun ketika mereka semakin dekat dan wajah mereka tergapai cahaya api dari desa yang menjadi lautan api itu, segera terlihat kedua orang itu adalah Yo Kian-hi dan Ong Ling-po.
Keduanya sudah dikenal oleh Helian Kong, dan keduanya tidak kelihatan membawa senjata. Bahkan kemudian kelihatan kalau tangan kiri Yo Kain-hi menjinjing sebutir batok kepala manusia, yang masih segar darahnya! Batok kepala itu dijinjing pada rambutnya.
Melihat Helian Kong sudah mengangkat tinggi-tinggi pedangnya yang siap digerakkan sebagai isyarat serangan, Yo Kian-hi mengangkat tangan kanannya dan berseru, "Tahan! Panglima Helian, ada yang ingin kami bicarakan?"
Helian Kong belum menurunkan pedangnya, artinya pasukannya harus tetap bersiap. Namun menjawab kata-kata Yo Kian-hi, "Apa lagi yang akan kalian tawarkan kepada kami? Desa lain, racun lain, perangkap lain yang akan membuat kami semua jadi debu sama sekali?"
Kali ini Yo Kian-hi mengangkat batok kepala orang yang dibawanya, menghadapkannya ke arah Helian Kong sehingga kelihatan. “Saudara Helian..." Yo Kian-hi mencoba bersikap lebih akrab. “Kenal wajah ini?"
Helian Kong tercengang mengenali wajah Ong Yang-be. Jadi di dalam tubuh kaum Pelangi Kuning rupanya ada sikut-sikutan? Ong Yang-be ini diketahui Helian Kong adalah perwira yang berkedudukan tinggi, bahkan menurut keterangan Ong Ling-po siang tadi, dia adalah "orang nomor tiga" dalam pasukan setelah Jenderal Lau sendiri dan Deng Hu-koan". Kini si "orang nomor tiga" itu yang datang hanya batok kepala saja.
“Sudah kenal, Saudara Helian?" tanya Yo Kian-hi.
“Ya. Inilah perwira yang siang tadi dengan mulut manis menyambut kami, dan kami begitu tolol mempercayai lidah-ularnya. Apa hubungannya dengan kejadian yang menimpa kami malam ini?"
Yo Kian-hi menggelundungkan kepala itu ke depan kaki Helian Kong, katanya, "Bukan saja ada hubungannya, bahkan orang inilah dalang dari semua ini. Nama aslinya O Yok-ma, orang Manchu yang menyusup ke tubuh kami beberapa tahun yang lalu dan bahkan ikut berperang di pihak kami melawan Kerajaan Beng waktu itu. Pihak Manchu rupanya punya rencana jangka panjang yang sudah disiapkan sejak bertahun-tahun yang lalu, dan hari ini adalah hari-hari puncak dari rencana mereka menguasai Tiong-goan.”
“Mengherankan dia bisa menyusup ke dalam golongan kalian sampai mendapat posisi begitu tinggi. Mengherankan pula dia bisa mengatur segala sesuatunya serapi ini tanpa kalian curigai..." sahut Helian Kong terang-terangan menunjukkan kebimbangannya sambil melirik batok kepala yang sekarang ada di dekat kakinya.
“Sayangnya, aku tidak dapat membuktikan omongan itu benar atau kosong, sebab aku tidak dapat menanyai sebutir kepala yang sudah mati."
Yo Kian-hi bukan orang sabar, namun demi urusan besar, kali ini dia harus belajar bersabar menghadapi sikap Helian Kong, la harus belajar pula memaklumi sikap Helian Kong yang tentu masih marah dan kecewa luar biasa. Ia bayangkan kalau dirinya sendiri yang mengalami hal yang sama, mungkin akan lebih tidak terkendali.
“Saudara Helian, kau tidak harus mempercayai omonganku tadi. Tetapi aku ingin memberitahu sesuatu kepadamu, sekali lagi, tak peduli kau percaya atau tidak. Aku dan Saudara Ong Ling-po ini buru-buru kemari untuk menghentikan ulah merusak dari Ong Yang-be alias O Yok-ma ini, itulah sebabnya kami tarik mundur orang-orang kami yang disesatkan oleh perintah O Yok-ma. Aku tidak mau melihat orang-orangmu menjadi korban lebih banyak lagi, aku juga tidak rela melihat prajurit-prajurit kami menjadi korban orang-orangmu yang mengamuk dengan marah..."
Otak Helian Kong bisa menerima penjelasan itu, tetapi hatinya masih panas. Tiga-perempat orang-orangnya binasa di desa itu. Dan sebagian besar mati konyol kena racun atau kena api. Karena itulah dia menjawab, "Yo Kian-hi, kami mau pergi dari sini...”
“Kau tidak mempercayai penjelasanku?”
“Aku dan pasukanku sedang dalam keadaan sulit untuk mempercayai orang dari pihakmu, siapa saja.”
“O Yok-ma bukan dari pihakku. Dia orang Manchu.”
“Soal O Yok-rna aku berusaha percaya, tetapi kalau pihakmu sampai bisa kesusupan musuh sekian tahun tanpa merasa, jangan-jangan sampai sekarang pun masih banyak mata-mata Manchu yang bersembunyi rapi di belakang kedok mereka di jajaran orang-orangmu? Yo Kian-hi, demi keselamatan prajurit-prajuritku, aku memutuskan untuk pergi!”
Wajah Yo Kian-hi agak panas. Kata-kata Helian Kong secara tidak langsung mengejek pihak Pelangi Kuning yang kesusupan mata-mata sekian lama tanpa sadar. Maka Yo Kian-hi pun membalas, "Saudara Helian, orang-orang Manchu itu memang keparat, mereka begitu lihai menyusup ke sana kemari dengan seribu satu wajah. Tidakkah Saudara Helian tahu bahwa orang Manchu juga pernah meminjam wajahmu di San-hai-koan untuk menipu Bu Sam-kui?"
Sekarang wajah Helian Kong yang menjadi panas, tetapi tidak bisa membantah. Dari mulut Kongsun Koan yang pernah menyusup ke San-hai-koan untuk menemui dan berbicara dengan Bu Sam-kui, dia memang sudah mendengar kalau Bu Sam-kui itu semalam sebelum membuka San-hai-koan bagi orang Manchu, kabarnya didatangi "Helian Kong" dan "utusan" Jenderal Su Ku-hoat" yang sudah tentu gadungan semua.
Para prajurit rahasia Manchu yang menyusup ke mana-mana dalam seribu satu macam kedok itu, sesungguhnya tidak kalah berbahayanya dengan prajurit-prajurit berkuda maupun prajurit-prajurit gunungnya yang hebat. Helian Kong kemudian menyarungkan pedangnya dan berkata, "Sekarang kami mau pergi, tolong berilah kami jalan. Kalau tidak, kami akan menabrak kalian biarpun kalian jauh lebih banyak...”
“Sudah tentu kami tidak akan menghalang-halangi..." kata Yo Kian-hi. Mengalah.
Tahu tidak mungkin lagi menahan Helian Kong untuk tetap di situ, kalau dipaksa malahan akan menimbulkan korban lebih banyak di kedua pihak menambah korban yang sudah ada, dan akan ditertawakan oleh arwah O Yok-ma yang barangkali belum pergi jauh dari situ. Katanya kepada Ong Ling-po,
"Saudara Ong, minggirkan orang-orangmu, beri mereka jalan. Amankan sampai ke kaki pegunungan dan jangan sampai ada yang mengambil kesempatan untuk memancing di air keruh."
Ong Ling-po hanya mengangguk muram, kemudian malangkah menuruni lereng di luar desa itu untuk menjumpai pasukannya. Tidak lama kemudian, dari atas terlihat ribuan obor-obor di bawah lereng berpencaran dan menjauh dalam suatu barisan memanjang ke berbagai arah.
Yo Kian-hi mempersilakan, "Silakan, Saudara Helian. Kami sudah amankan jalanmu."
Helian Kong memberi isyarat agar pasukannya mulai melangkah, la sendiri mendekati Yo Kian-hi sambil berkata, "Sulit melupakan malam ini, seandainya aku tidak mengingat orang-orang Manchu di sebelah timur sana..."
Yo Kian-hi menarik napas. Alangkah sulitnya membayangkan seluruh bangsa Han bersatu menentang Manchu.
Yo Kian-hi dan perwira-perwira Pelangi Kuning lainnya, yang sempat menjadi saksi saat-saat terakhir Ong Yang-be alias O Yok-ma, mendengar kata-kata terakhir O Yok-ma yang X32 berbau ancaman, "...besok segalanya akan terlambat..."
Sebab keesokan harinya, sebuah kuda berlari kencang mendekati desa di mana Jenderal Lau bermarkas. Penunggang kuda itu tidak berseragam prajurit, melainkan berpakaian seperti petani biasa, meskipun jadi ganjil karena petani kok menunggangi kuda yang tegar dan mahal harganya. Ia petani gadungan.
Di pintu gerbang desa, dia menunjukkan sekeping lencana yang menandakan dia adalah petugas sandi. Prajurit-prajurit penjaga mengijinkannya lewat, begitu pula penjaga-penjaga di rumah Si Kepala Desa yang ditempati Jenderal Lau. Dan pagi yang cerah itu, Jenderal Lau menerima berita yang tidak diharapkan dari pengawas garis depannya itu.
Laporan bahwa pasukan besar orang Manchu sudah tinggal sepuluh li dari selat gunung yang menjadi pos pertahanan terdepan pasukan Pelangi Kuning. Dalam formasi tempur. Semuanya terkejut, selamban inikah kerja petugas-petugas sandi di garis depan, sehingga musuh yang tinggal sepuluh li (4 km) baru dilaporkan?
"Gila! Apa kerja kalian selama ini? Tidur?" Jenderal Lau meraung gusar, membuat si pelapor pucat, namun membela diri dengan suara tergagap, "Kami melaporkan dua hari sekali, sejak San-hai-koan jatuh, tidak pernah dua hari lewat tanpa kami berikan laporan gerakan musuh...”
“Kenapa aku tidak..." Jenderal Lau sudah berteriak, namun Deng Hu-koan cepat menukasnya, "Jenderal, marah-marah tak ada gunanya. Aku tahu yang sebenarnya sekarang, laporan-laporan mata-mata dari garis depan selalu diterima oleh Ong Yang-be dan dia pasti menyembunyikannya...”
“Betul... betul...!” sokong si mata-mata. Ia tidak tahu yang terjadi semalam di tubuh pasukan Pelangi Kuning sendiri. “Aku selalu melaporkannya kepada Jenderal Ong..."
Sebelum Jenderal Lau Cong-bin semakin kebingungan dan melantur-lantur tak keruan, Deng Hu-koan cepat berkata, "Empat li bukan jarak yang jauh. Pasukan di garis depan harus segera diberi-tahu agar bersiap-siap...”
“Sudah aku beritahu..." sahut si mata-mata. “Maaf, aku bertindak lancang, aku pikir karena musuh sudah begitu dekat...”
“Kau tidak bersalah," kata Deng Hu-koan. “Bahkan berjasa." Deng Hu-koan agaknya tahu "penyakit" Panglima Tertingginya, yang kalau menghadapi masalah mendesak bukannya berpikir cepat, melainkan malah kebingungan dan macet pikirannya. Sekarang pun dia cepat mengambil prakasa, "Jenderal, bolehkah aku mengambil tindakan-tindakan atas nama Jenderal?"
Jenderal Lau cuma mengangguk. Deng Hu-koan pun mengambil sehelai lengki (bendera wewenang) dari atas meja Jenderal Lau, diberikan kepada seorang perwira dan dibekali pesan, "Saat ini Tek Un-hap pastilah sudah bersiap menghadapi musuh, tetapi berikan juga bendera ini kepadanya, sebagai tanda bahwa dia bertindak benar."
Prajurit langsung menerimanya dan pergi menjalankan perintah. Begitulah Deng Hu-koan membagi perintah ini-itu. Yo Kian-hi yang juga berada di ruangan itu, diam-diam menilai Deng Hu-koan ini lebih pantas sebagai atasan daripada Jenderal Lau. Jenderal Lau terlalu bernyali kecil dan mudah kebingungan.
Kemudian Yo Kian-hi teringat Tan Wan-wan juga masih berada di desa itu, selagi Deng Hukoan mengatur pasukan, Yo Kian-hi memberi hormat kepada Deng Hu-koan, "Komandan Deng, mengingat keselamatan Puteri Kong-hui, aku mohonkan ijin agar Puteri Kong-hui dan pengawal-pengawalnya pulang dulu ke Ibukota Pak-khia...”
“Apakah di tengah jalan tidak akan mengalami bahaya?”
“Aku rasa kecil kemungkinannya. Tuan Puteri membawa seribu pengawal yang semuanya diambil dari pasukan-pasukan pilihan di istana.”
“Baik, selamat jalan, Saudara Yo, sampaikan sembah-sujud kami kepada Sri Baginda Tiong-ong."
Di luar dugaan, Yo Kian-hi berkata, "Jangan mengucapkan selamat jalan kepadaku, Komandan Deng. Sebab yang akan ke Ibukota Pak-khia hanyalah Tuan Puteri dan pasukan pengawalnya. Aku pribadi akan tetap di sini dan menempatkan diri di bawah komandomu, Komandan Deng..."
Berkelip sepercik rasa hormat di mata Deng Hu-koan mendengar tekad Yo Kian-hi itu. Seandainya Yo Kian-hi ingin meninggalkan garis depan dan pulang ke Pak-khia, tentu ada alasan kuat buatnya, sebab ia sejak semula termasuk dalam rombongannya Tan Wan-wan. Ternyata Yo Kian-hi memilih untuk tetap di situ menghadapi serbuan Manchu, bahkan tidak segan-segan mengatakan "menempatkan diri di bawah komandomu.".
Hati Deng Hu-koan bergolak. Sebagai orang dekat Jenderal Lau, tentu saja dia tahu intrik busuk yang pernah terjadi antara Jenderal Lau dan Jenderal Gu Kim-sing untuk menyingkirkan Jenderal Li Giam, dulu. Sekarang rupanya Yo Kian-hi sama sekali sudah melupakan peristiwa yang merugikan Jenderal Li Giam itu.
“Terima kasih, Saudara Yo. Kalau semua prajurit kita bersemangat seperti kau, kita benar-benar kuat." Setelah mengatur penjagaan di desa itu, Deng Hu-koan beserta Yo Kian-hi dan sekelompok kecil pengawal berkuda menuju ke selat-gunung. Pos terdepan yang menghadap ke timur. Tiba di selat gunung itu, nampak ratusan bendera berkibar di atasnya. Menyiratkan kesiapan pasukan itu. Deng Hu-koan memanjat naik ke lereng, disambut Tek Un-hap.
“Sungguh gila! Kenapa baru sekarang mata-mata memberitahu gerakan pasukan Manchu? Hampir saja kita dimakan mentah-mentah oleh mereka. Untung pasukanku selalu siap..." sambut Tek Un-hap yang kasar itu. Tubuhnya tinggi besar, berewokan kaku seperti sikat kakus, dan senjatanya sepasang kong-pian (ruyung baja) yang bisa digerakkan seringan orang menggerakkan sepasang potongan ranting kering.
Deng Hu-koan menepuk pundaknya, "Jangan kaget, Saudara Tek. Kita memang sempat kebobolan beberapa lama oleh musuh yang bekerja dalam tubuh kita sendiri, tetapi jangan khawatir, sekarang semuanya sudah beres..." Kemudian Deng Hu-koan memperkenalkan Yo Kian-hi dan Tek Un-hap.
Yo Kian-hi diperkenalkannya sebagai seorang panglima bawahannya Jenderal Li Giam. Tek Un-hap yang polos itu menyambutnya dengan gembira, dan terang-terangan menyatakan sesalnya kenapa dia tidak bertempur di bawah Jenderal Li Giam, dulu ketika merobohkan dinasti Beng. Yo Kian-hi tertawa, "Tetapi tidak perlu disesali, Saudara Tek. Bukankah bersama-sama dengan Jenderal Lau, justru pasukanmulah yang pertama kali berhasil memasuki Ibukota Pakkhia ketika itu?"
Begitulah keduanya cepat menjadi akrab. Yo Kian-hi bertubuh tinggi dan tegap, namun ketika berjalan berdampingan dengan Tek Unhap yang tingginya lebih dari dua meter itu, Yo Kian-hi jadi cuma setinggi pundaknya. Tek Unhap benar-benar bertubuh rasaksa, dan makannya pun sebanyak tiga kali lipat orang biasa. Dari atas bukit yang menjadi kubu pertahanan mereka, mereka melihat ke dataran di sebelah timur, dan terlihatlah pasukan musuh sudah semakin dekat. Jumlahnya seimbang dengan pasukan Pelangi Kuning yang di bukit itu. Seragam mereka kain belacu yang dicelup warna biru tua, dan memakai caping rotan. Dandanan yang sederhana dan jauh dari kesan gemerlapan.
Tetapi pasukan Pelangi Kuning sudah "mencicipi" sedikit kehebatan tempur mereka di luar kota San-hai-koan. Namun bendera Kerajaan Manchu, yaitu bendera bergambar naga bercakar lima, tidak kelihatan sehelai pun. Bendera utama yang berkibar di dalam pasukan itu adalah bendera Kerajaan Beng.
“Hem, kedok yang lihai..." geram Yo Kian-hi sambil terus meneropong. Teropong pelaut-pelaut Portugis. “Mereka bertindak seolah-olah menolong dinasti Beng untuk kembali berkuasa, tetapi aku berani taruhan bahwa mereka kelak akan betah di Tiong-goan dan sulit diusir kembali ke Liau-tong. Seperti leluhur mereka, bangsa Kim, juga pernah mendirikan dinasti di Tiong-goan ratusan tahun lamanya..."
Pasukan musuh menyeberangi dataran dengan langkah cepat, setengah berlari, kemudian menyebar dalam bentuk bulan sabit raksasa yang menghadap ke arah kubu Pelangi Kuning di bukit. Sesudah itu, mereka berhenti, tidak maju lagi. Sepertinya menunggu. Selama semua gerakan tadi, tidak terdengar mereka bersorak-sorai, juga tidak ada yang berbicara, kecuali para komandan dalam aba-aba mereka yang singkat-singkat.
Dan ketika mereka berhenti, mereka jadi seperti ribuan patung yang ditaruh berjajar di dataran itu. Ribuan patung bisu. Disiplin macam itu mau tidak mau menggetarkan hati prajurit-prajurit Pelangi Kuning yang berkubu di selat gunung.
“Apa yang mereka tunggu?" desis Tek Unhap sambil menggosong-gosokkan telapak tangannya dengan sikap tidak sabar.
“Mungkin menunggu kita turun ke dataran," sahut Yo Kian-hi.
“Apa kita perlu turun untuk menyongsong mereka?"
Yo Kian-hi ingin menjawab, tetapi tidak berani melancangi Deng Hu-koan. Ternyata Deng Hu-koan yang mulai timbul rasa hormatnya kepada Yo Kian-hi, malahan bertanya kepada Yo Kain-hi, "Bagaimana pikiranmu, Saudara Yo?”
“Menurutku, jumlah kedua pasukan kelihatannya seimbang. Tetapi keunggulan posisi kita membuat jadi tidak seimbang lagi, kita yang punya lebih banyak peluang kalau kita tidak meninggalkan bukit ini. Kalau kita turun ke daratan, posisinya jadi sama dengan mereka dan menguntungkan mereka.”
“Jadi, kita tetap di bukit ini?”
“Ya. Kalau musuh ingin berperang, biar mereka yang naik kemari, bukan kita yang turun menyongsong mereka."
Ternyata Deng Hu-koan terima mentah-mentah usul Yo Kian-hi itu. Tek Un-hap sebagai bawahan Deng Hu-koan sudah tentu tidak bertindak keluar dari garis perintah itu. Begitulah, pasukan Pelangi Kuning yang berada di atas bukit di sebelah menyebelah selat gunung itu pun diperintahkan untuk waspada namun tidak beranjak dari tempat mereka.
Musuh agaknya menunggu, namun pihak Pelangi Kuning tidak mau didikte dan juga akan bersikap menunggu, tidak terpancing. Dengan demikian, "acara pembukaan"nya ialah tunggu-menunggu. Tek Un-hap yang tidak sabaran itu sudah gelisah seperti semut-kepanasan, berjalan hilir-mudik sambil menggerutu tak habis-habisnya.
Kemudian ternyata pihak Manchu ingin "memberi sedikit variasi" kepada acara saling menunggu yang menjemukan itu. Seorang peneropong di pihak Pelangi Kuning bergegas melaporkan kepada Deng Hu-koan, bahwa pihak musuh membuat gerakan. Bergegas Deng Hu-koan dan perwira-perwiranya menuju ke tempat yang agak menonjol, yang bisa melihat ke seluruh dataran.
Dan sekarang tanpa teropong pun terlihat kalau pasukan Manchu maju ratusan langkah, masih dalam formasi menebar, tetapi kali ini sambil menyeret maju puluhan meriam-meriam besar mereka yang beroda. Diikuti prajurit-prajurit yang memanggul tong-tong di pundaknya.
Dari atas bukit Deng Hu-koan menghitung ada dua puluh pucuk meriam di pihak musuh, lima pucuk di antaranya adalah meriam yang sering disebut Cong-thian-pau (Meriam Penembus Langit) yang jangkauannya amat jauh. Deng Hu-koan jadi berkeringat dingin sendiri, mengingat pihaknya sendiri biarpun juga punya bahkan lebih banyak meriam dari pihak Man-chu, tetapi mesiunya sudah tinggal amat sedikit, habis dihambur-hamburkan menembaki San-hai-koan dulu.
Supaya prajurit-prajuritnya tidak menjadi korban, berserulah Deng Hu-koan, "Berlindung ke balik bukit!”
Para prajurit pun tergesa-gesa menjalankan perintah itu. Mereka harus naik dulu ke puncak, kemudian turun kembali ke sebaliknya. Namun belum sampai mereka di puncak bukit, meriam-meriam Manchu sudah berdentuman saling susul. Permukaan tanah di lereng bukit itu seolah-olah dibongkar, tanah, kerikil dan pepohonan kecil seolah bermuncratan ke atas, bersamaan dengan tubuh para prajurit yang berpentalan.
Tetapi sebagian besar prajurit Pelangi Kuning berhasil mencapai belakang bukit. Ternyata kemudian belakang bukit pun bukanlah tempat aman. Kini lima pucuk "meriam penembus langit" Manchu mulai "bernyanyi". Para penembak meriam di pihak Manchu bukanlah penembak-penembak ngawur yang asal menembak saja, mereka terlatih dan mempunyai berbagai "jurus" untuk berbagai keadaan.
Ketika prajurit-prajurit Pelangi Kuning bersembunyi di balik bukit, meriam-meriam "penembus langit" agak didongakkan, seolah hendak benar-benar menembak langit. Waktu bola-bola besinya terlontar ke atas, bola-bola besi itu melewati puncak-puncak bukit dan jatuh di lereng belakang bukit, tempat prajurit-prajurit bersembunyi. Begitulah, tetap saja di pihak Pelangi Kuning jatuh korban jiwa.
Tek Un-hap menjadi gemas dan minta ijin kepada Deng Hu-koan, "Biar aku bawa sebagian prajurit untuk membungkam meriam-meriam itu...”
“Tidak, Saudara Tek, kau hanya akan mengantar nyawamu sendiri dan nyawa prajurit-prajuritmu. Tunggu saja di situ."
"Dan ditembaki terus tanpa bisa berbuat apa-apa untuk membalas?"
Kali ini Yo Kian-hi yang menjawab, "Dalam adu kesabaran dengan pihak musuh, kita harus menang, Saudara Tek. Kalau kita terpancing turun ke dataran, kita akan rugi lebih besar..."
Terpaksa Tek Un-hap menahan diri. “Setan-setan Manchu itu, seandainya mereka punya nyali dan berani melewati selat itu, mereka akan kita kubur hidup-hidup!”
Memang di tempat itu ada sebuah selat gunung yang sempit dengan dinding-dindingnya yang terjal. Pihak Pelangi Kuning sudah menyiapkan sejumlah besar batu-batu dan balok-balok kayu yang siap digelundungkan ke bawah, kalau musuh lewat. Tetapi musuh tidak lewat, malahan menembaki dari kejauhan.
Tetapi kemudian tembakan-tembakan meriam itu mereda sendiri. Pihak Manchu rupanya tidak mau memboroskan bubuk peledak mereka untuk menembaki sasaran yang tidak kelihatan, dan tidak nampak pula hasil dari tembakan mereka karena ada di sebalik bukit.
“Mereka berhenti menembak, Jenderal..." seseorang melapor kepada Deng Hu-koan.
“Awasi terus gerak-gerik mereka dan laporkan kepadaku, perkembangan yang bagaimanapun kecilnya.”
“Baik, Jenderal." Tidak lama kemudian, datang laporan, "Jenderal, pasukan musuh memecah diri menjadi dua bagian, sebagian menghilang ke dalam hutan di sebelah selatan..."
Yo Kian-hi mengomentari sambil menoleh kepada Deng Hu-koan, "Mungkin mereka ingin mencari jalan naik ke bukit tanpa melalui selat, juga tanpa naik dari depan, mungkin sudah menduga kalau batu-batu dan balok-balok bakal menyambut mereka...”
“Ya, tetapi mereka tidak akan memperoleh jalan dari arah selatan, kecuali mereka berubah menjadi belut, sebab di sebelah selatan adalah rawa-rawa yang tidak bisa dilewati."
"Mumpung mereka hanya separuh di dataran itu, bagaimana kalau kita datangi dan kita gasak. Tentu butuh waktu bagi yang sebagian lainnya yang sedang pergi ke arah rawa-rawa itu untuk bolak-balik ke tempatnya semula..." usul Tek Un-hap.
“Tunggu, sebentar lagi pasukan kita yang berjaga di tepi sungai juga akan tiba, tadi aku sudah memanggil mereka. Kalau mereka sudah bergabung dengan kita, kita sapu mereka yang ketinggalan di dataran..."
Tek Un-hap meninju telapak tangannya sendiri tanda ketidak-sabarannya. Namun Yo Kian-hi ikut menenangkan si berangasan itu, "Betul, Saudara Tek. Biar mereka yang pergi ke arah rawa-rawa itu cukup jauh lebih dulu, sehingga tidak ada kesempatan membantu teman-teman mereka..."
Tidak lama kemudian, sepuluh ribu prajurit Pelangi Kuning yang semula ditugaskan mengawasi lalu-lintas sungai sepuluh li dari arah situ, datang bergabung, pemimpin mereka bernama Biao San-tong, berpangkat Cam-ciang. Maka Deng Hu-koan pun mempersiapkan pasukan untuk menyerbu ke dataran.
“Harus dengan gerak cepat, dan jangan menghadap langsung ke moncong-moncong meriamnya, kecuali bosan jadi manusia..." pesan Deng Hu-koan kepada komandan-komandan bawahannya yang akan memimpin pecahanpecahan pasukan.
Pasukan sudah siap bergerak, ketika tiba-tiba muncul suatu masalah. Tiba-tiba saja dari arah barat, garis belakang, dari desa yang didiami Jenderal Lau, nampak ada asap mengepul tinggi. Keruan Deng Hu-koan dan perwira-perwira lainnya jadi kebingungan mengambil keputusan. Mau menyergap musuh dulu, atau menolong Jenderal Lau dulu?
Menyergap musuh di dataran adalah kesempatan baik selagi pasukan musuh ditinggal separuh teman-teman mereka, tetapi nasib Jenderal Lau? Kadang-kadang dalam pikiran Deng Hukoan menyeruak juga sepercik rasa jemu kepada Jenderal Lau yang tidak becus tetapi galaknya bukan main.
Tapi Deng Hu-koan punya pertimbangan lain. Bagaimanapun jeleknya Lau Cong-bin, ia adalah Panglima Tertinggi, dan mau tidak mau menjadi lambang kejayaan pemerintah di Pak-khia. Kalau sampai Lau Cong-bin terbunuh, semangat sekalian prajurit Pelangi Kuning bisa merosot, sebaliknya prajurit-prajurit Manchu akan meningkat semangatnya.
Karena itulah Deng Hu-koan kemudian menugaskan Biao San-tong, "Komandan Biao, bawa pasukanmu menolong Panglima Tertinggi. Cepat!”
Tanpa membuang waktu, Biao San-tong segera membawa pasukannya ke arah barat. Sedang niat menghancurkan pasukan Manchu yang ada di dataran ternyata tetap dilaksanakan. Dipimpin sendiri oleh Deng Hukoan, mereka keluar dari balik bukit dan langsung menyeberangi dataran. Ternyata pasukan Manchu tidak menembakkan meriam-meriamnya, mungkin karena meriam-meriam itu berat dan tidak gampang untuk mengarahkannya ke sana kemari dalam waktu singkat.
Makin dekat, makin kelihatan barisan terdepan dari barisan Manchu adalah prajurit-prajurit yang bersenjata perisai di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Sebelum kedua pasukan bertemu dalam perkelahian jarak dekat, seperti "kebiasaan" kedua belah pihak saling memanah dan melempar lembing. Menjatuhkan korban-korban pendahuluan di kedua pihak.
Namun ketika jarak antara kedua pasukan tinggal puluhan langkah, terjadi kejutan. Prajurit-prajurit Manchu yang dibarisan terdepan itu tiba-tiba malahan mundur, dan begitu mereka minggir segera terlihat kalau di barisan terdepan musuh sekarang berjongkok dan membiarkan pundaknya sebagai tempat untuk meletakkan laras, yang belakang siap menarik pelatuk.
Deng Hu-koan dan para pimpinan pasukan lainnya terkejut. Yo Kion-hi tak sempat lagi minta ijin kepada Deng Hu-koan, langsung berteriak, "Bertiarap! Bertiarap!”
Yo Kian-hi sendiri membanting dirinya bergulingan di tanah, bertepatan waktunya ketika moncong-moncong senapan itu menyemburkan kelereng-kelereng panasnya. Ratusan prajurit Pelangi Kuning terjungkal seketika. Teman-teman yang di belakang mereka kaget melihat yang di depan mereka bergelimpangan. Namun mereka terus menerjang maju karena diperintah komandan-komandan mereka.
Memang, karena dekatnya jarak, pasukan Manchu hanya sempat satu kali mengisi dan menembakkan senapan-senapan mereka. Selanjutnya musuh sudah sampai ke dekat mereka dan harus dilawan dengan pedang atau tombak.
Sementara itu, Yo Kian-hi dari bergulingan di tanah telah melambung tinggi dan menyambar prajurit-prajurit Manchu seperti burung elang. Sementara masih melayang, kedua tangannya meraih ke belakang pundaknya, mencabut sepasang pedangnya yang tergendong di pundaknya.
Dan begitu tiba di tengah-tengah para prajurit Manchu, sepasang pedangnya menjadi seperti gulungan cahaya keperak-perakan yang menumbangkan banyak prajurit musuh. Yo Kian-hi benar-benar melampiaskan kegeramannya yang terpendam sekian lama terhadap orang-orang Manchu.
la teringat usaha orang Manchu membunuh Jenderal Li Giam, membunuh gurunya, dan juga tipu-muslihat mereka yang membuat San-hai-koan jatuh ke tangan mereka, dan tipu-daya adu domba yang membuat kaum Pelangi Kuning gagal menggabungkan kekuatan dengan sisa-sisa dinasti Beng.
Kini, kekesalan yang menggumpal itu tersalur ke sepasang pedangnya yang cepat membuat sepasang pedangnya berubah warna menjadi merah. Amukan Yo Kian-hi menimbulkan semangat prajurit-prajurit Pelangi Kuning. Apalagi ketika tokoh-tokoh Pelangi Kuning lainnya seperti Ong Ling-po, Tek Un-hap, Pun Liok dan lain-lainnya juga mulai mengamuk ke depan.
Deng Hu-koan tidak ikut acara "mengamuk" itu, sebab meskipun pangkatnya tinggi, ia bukan jago silat. Tetapi di pihak Manchu juga tidak membiarkan pasukan mereka dirusak oleh Yo Kian-hi dan kawan-kawannya. Amukan Yo Kian-hi terhadang oleh seorang setengah baya yang tidak berseragam prajurit, rambutnya campuran hitam putih, yang istimewa adalah kulit wajahnya yang kuning hangus seperti warna perunggu.
Dia menghadang Yo Kian-hi dengan tangan kosong. “Bocah ingusan, hebat juga lagakmu. Siapa kau?”
“Yo Kian-hi. Kau siapa? Kenapa tidak memakai seragammu?”
“Aku jauh di atas prajurit-prajurit biasa, tidak butuh seragam. Namaku Yim Mo.”
“Ooo...”
“Pernah dengar namaku?”
“Pernah.”
“Tergolong berpengalaman juga kau, Anak muda. Kapan kau dengar namaku?”
“Baru saja, ketika kau sebutkan namamu."
Keruan Yim Mo gusar. Selama ini dia merasa sangat bangga karena menganggap namanya dikenal luas. Tetapi jawaban Yo Kian-hi yang seenaknya membuatnya gusar. “Anjing kecil, mulutmu sungguh lancang. Kalau kau tahu siapa yang sedang kau hadapi, kau akan menggigil ketakutan...”
“Kalau begitu, aku pilih tidak tahu saja daripada menggigil ketakutan. Nah, kita mulai!” kata Yo Kian-hi sambil menyarungkan sepasang pedangnya.
Yim Mo heran, "Kau mengajak mulai, kenapa malah pedang-pedangmu kau simpan?”
“Bukankah kau tidak bersenjata? Masa aku harus menggunakan senjata melawanmu?"
Yim Mo tiba-tiba tertawa mengejek, "Wah, gurumu pasti bangga sekali kalau mendengar kata-katamu ini, Anak manis. Kau begitu mentaati ajaran kaum kesatria tanpa menghiraukan resiko bahaya buat nyawamu sendiri. Tetapi ketahuilah, Anak muda, kerasnya dunia kaum pendekar jauh bedanya dengan ajaran-ajaran manis dalam perguruan. Karena aku kasihan kepadamu, aku ijinkan kau menggunakan sepasang pedangmu tadi. Ayo, hunus kembali kedua pedangmu!”
"Pak tua, mau berkelahi apa mengoceh?”
“Anak muda, tahu dirilah, aku ini kasihan kepadamu sebab..." Yim Mo tidak sempat menyelesaikan kata-katanya sebab tahu-tahu telapak kaki Yo Kian-hi hampir menginjak wajahnya.
Yim Mo kaget sekali, sebab ia tidak melihat bagaimana awal gerakannya dan tahu-tahu sudah hampir kena wajahnya. Untung Yim Mo yang mahir Siu-kut-kang (Ilmu Menyusutkan Tulang) sehingga bisa memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam guci arak. Dia dengan cepat menghindar ke belakang.
“Gila kau!” umpatnya, lalu dia balas menerkam Yo Kian-hi dengan cakar-cakarnya.
Keduanya pun bertempur sengit dengan tangan kosong. Dengan gaya bertempurnya masing-masing, pertarungan mereka jadi menarik ditonton. Yo Kian-hi kuat, keras dan lugas seperti seekor gajah mengamuk, sedangkan Yim Mo licin dan meliuk-liuk bagaikan ular.
Gaya tempurnya mengingatkan Yo Kian-hi akan si mata-mata Manchu yang semalam dibereskan Yo Kian-hi, yaitu O Yokma. Terdorong rasa ingin tahunya, di tengah-tengah pertempuran, Yo Kian-hi bertanya, "Orang tua, kau kenal seorang yang bernama O Yok-ma?"
Yim Mo agak terkesiap, kenapa perwira muda ini kenal adik-seperguruannya yang menjadi mata-mata dan disusupkan sampai ke dekat Jenderal Lau Cong-bin. Bahkan dalam laporan rahasianya yang terakhir kepada Pangeran Toh Sek-kun, Panglima Tertinggi Manchu, O Yok-ma melaporkan kalau dia sudah berhasil menjadi "orang nomor tiga" dalam jajaran perwira-perwira terdekat Lau Cong-bin.
Kini di tengah pertempuran, tiba-tiba Yim Mo mendengar perwira Pelangi Kuning yang masih muda yang menjadi lawannya ini menyebut-nyebut nama adik seperguruannya, Yim Mo jadi penasaran dan ingin mendengar lebih banyak. Ingin mendengar lebih banyak tetapi tidak mau bertanya, khawatir kalau pertanyaannya itu bisa membongkar kedok adik seperguruannya dan mencelakakannya.
Tak terduga Yo Kian-hi terus berkata, tanpa mengendorkan gerak tangan dan kakinya, "He, ditanya kok diam saja? Sebab cara bertempur kalian berdua mirip sekali. Itu lho, O Yok-ma yang menyamar jadi orang Han dengan nama Ong Yang-be..."
Yim Mo terkejut, "Dia adik seperguruku...”
“Ooo, pantas...”
“Kenapa dia?”
“Resiko mata-mata. Ketahuan, lalu aku potong lehernya."
Meledaklah kemarahan Yim Mo, "Keparat! Aku akan membalaskan sakit hatinya!”
Dan bertempurlah dia lebih sengit, tetapi Yo Kian-hi yang juga "membutuhkan" pertempuran itu sebagai pelampiasan kekesalannya, menandinginya dengan sengit pula. Di seluruh dataran, pertempuran berkecamuk hebat. Nyawa manusia semakin tidak dipedulikan, jumlah korban yang sudah tak pernah masuk pikiran benar.
Pasukan Manchu ini masih pasukan Manchu yang dulu mengusir pasukan Lau Cong-bin dari San-hai-koan, pasukan yang seolah-olah bisu tetapi garang bukan main. Tetapi kali ini menghadapi perlawanan yang jauh berbeda, meskipun pasukan Pelangi Kuning yang mereka hadapi juga masih pasukan yang dulu begitu mudah mereka gebah terbirit-birit dari San-haikoan.
Pasalnya, dulu di San-hai-koan itu prajurit-prajurit dalam keadaan kelelahan lahir-batin dan jenuh setelah sekian lama menggempur San-hai-koan tanpa hasil. Kedua, waktu itu prajurit-prajurit Pelangi Kuning baru saja mengira mereka sudah berhasil merebut San-hai-koan, ketika tiba-tiba menghadapi kenyataan yang merupakan kebalikannya sama sekali, yaitu bahwa pasukan Manchu lebih dulu merebut San-hai-koan.
Mental yang tidak siap, itulah biang-keladi utama kocar-kacirnya pasukan Pelangi Kuning. Tetapi hari itu, setelah menyegarkan diri lahir-batin selama beberapa hari, meskipun tidak luput dari beberapa guncangan, prajurit-prajurit Pelangi Kuning tampil jauh lebih baik dari ketika terpukul mundur di San-hai-koan dulu.
Semangat mereka jauh lebih tinggi, semangat juang kaum Pelangi Kuning yang digembleng keprihatinan dalam perjuangan menumbangkan dinasti Beng, semangat yang sempat hampir padam karena dibuai kemenangan, sekarang seperti bara yang dihembus dan menyala kembali. Karena itulah prajurit-prajurit Manchu kini menemui perlawanan berat. Apalagi, saat itu jumlah prajurit Pelangi Kuning dan prajurit Manchu adalah dua lawan satu.
Demikianlah di seluruh dataran itu suara senjata bergemerincing riuh, sorakan, bentakan dan jerit kesakitan bercampur-aduk. Kaki-kaki melangkah maju, menendang dan menginjak. Mata menjadi beringas dan senjata-senjata terayun ke orang-orang yang seragamnya tidak sama. Potongan-potongan tubuh bertebaran di rerumputan yang menghijau. Beberapa saat kedua pasukan itu tidak terlihat ada yang mundur.
Di tengah-tengah pasukannya, Deng Hukoan memperhatikan gerak-gerik pasukan Manchu, dan teringatlah dia akan pasukan yang pernah malam-malam menyerbu desa tempat kediaman Jenderal Lau. Pasukan misterius yang belum diketahui identitasnya, tetapi mirip benar dengan pasukan Manchu yang sekarang dihadapi.
Prajurit-prajuritnya "pendiam" semua, tidak bersorak dan tidak berteriak, tetapi maju terus sampai dihentikan oleh maut atau oleh perintah atasan mereka. Mata mereka tajam, dan kalau mereka maju ke depan mereka tidak menoleh-noleh ke kiri kanan apakah ada teman mereka di dekat mereka atau tidak. Mereka maju ya maju saja, mati ya mati.
“Kalau begitu, besar kemungkinannya bahwa pasukan yang malam itu menyerang desa adalah pasukan Manchu, hanya saja waktu itu mereka tidak berseragam, dan juga tidak menguncir rambut mereka..." Deng Hu-koan membatin.
Dan ia dikejutkan oleh pikirannya sendiri, "... dan itu juga berarti... ada pasukan Manchu di belakang punggung kami. Entah mereka itu berapa pasukan dan bersembunyi di mana, tetapi pastilah akan cukup mengganggu." Dan tak dapat disangkal, saat itu desa kediaman Jenderal Lau juga sedang diserang.
“Mudah-mudahan Biao San-tong dapat membereskannya," harapan Deng Hu-koan dalam hati.
Sementara itu, komandan pasukan Manchu tiba-tiba mengucapkan beberapa patah kata isyarat. Perintah itu didengar oleh petugas-petugas penghubung yang memang selalu bersiaga di sekitarnya, dan petugas-petugas itu menyampaikan perintah itu secara bersambung ke semua bagian dari pasukan.
Ketika aba-aba sekali lagi terdengar, maka pasukan Manchu itu pun mulai bergerak mundur serempak. Gerakan mereka lambat, selain sambil menyeret meriam-meriam mereka, mereka juga mengangkut teman-teman mereka yang terluka dan sekiranya masih bisa ditolong.
Prajurit-prajurit Pelangi Kuning bersorak, mengira musuh mulai terdesak, sesuatu yang memang mereka harapkan dan mereka perhitungkan sebab mereka berjumlah dua kali lipat dari lawan. Dan kini gerakan mundur lawan adalah wajar, pikir mereka....