Pendekar Baju Putih Jilid 01 karya Kho Ping Hoo - Puncak Thian-san menjulang tinggi di angkasa menembus awan putih. Sukar bagi manusia untuk mencapai puncak yang diliputi salju itu. Dusun-dusun yang ditinggali orangpun hanya sampai di lereng paling bawah, di tengah-tengah Pegunungan Thian-san itu.
Dari lereng yang tertinggi, kalau orang memandang ke bawah, akan menikmati tamasya alam yang amat indah menakjubkan. Bagaikan kain lebar berkembang-kembang, nampak dataran di bawah dengan sebagian besar warna hijau dan warna kuning di sana sini. Warna genteng-genteng rumah pedusunan nampak seperti bunga berkelompok-kelompok. Dan dataran di mana tumbuh rumput hijau seperti permadani hijau terhampar di dataran itu.
Di sebuah di antara lereng-lereng itu terdapat sebuah perkampungan yang cukup besar, dengan sedikitnya seratus buah rumah dan itulah pusat Thian-san-pang, sebuah partai Persilatan, yang biarpun tidak sebesar partai-partai Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai atau Go-bi-pai, namun cukup terkenal karena Thian-san-pang juga sudah menghasilkan banyak pendekar silat yang bijaksana, budiman dan tangguh.
Tamasya alam indah seperti yang terdapat di Thian-san merupakan anugerah Tuhan yang tersebar di mana-mnna. Alam semesta yang indah sekali diberikan Tuhan untuk manusia, untuk dimanfaatkan dan dinikmati karena selain indah juga mengandung sarana kehidupan bagi umat manusia dengan hasil-hasil sawah ladangnya, hasil-hasil air sungainya.
Keindahan dan kebesaran alam terdapat di mana saja, hanya tinggal bagi kita untuk membuka mata menikmatinya. Sayang, kebanyakan dari kita tidak mau membuka mata menemukan segala keindahan ini, karena mata kita sudah penuh dengan penderitaan, dengan masalah dan kedukaan.
Kita seperti buta terhadap sinar matahari yang cerah indah dan menghidupkan, kita seakan sudah tuli akan suara burung di angkasa, desah angin di antara daun-daun pohon, hidung kita sudah buntu untuk dapat menikmati kesedapan tanah tersiram air, bunga-bunga yang sedang mekar dan bau rumput bermandikan embun, sudah lupa untuk menikmati udara yang sedemikian sejuk dan segarnya memasuki hidung terus ke paru-paru.
Semua itu demikian indahnya, demikian nikmatnya, namun kita sudah tidak dapat merasakan semua itu. Keindahan dan kenikmatan yang diberikan Tuhan melalui alam di sekeliling kita, tidak terasa lagi karena hati akal pikiran kita sepenuhnya tertuju untuk mencari kesenangan dan akibatnya, kita dibelenggu dan tenggelam ke dalam ketidakpuasan, kekecewaan dan kesedihan.
Adakah yang lebih indah dari pada jutaan bintang di langit tanpa bulan, atau bulan sedang purnama, atau tamasya alam di pegunungan atau lautan? Adakah yang lebih indah didengar dari pada kicau burung-burung di pagi hari, menimpali gemercik air anak sungai, atau rintik hujan di malam hari, atau gemuruh gelombang samudera luas, atau tawa seorang ibu yang menimang anaknya? Adakah yang lebih harum semerbak dari pada tanah basah, rumput berembun, bunga berkembang dan aneka daun pohon?
Thian-san memiliki semuanya itu. Namun, sungguh manusia sudah menjadi budak nafsunya sendiri, manusia dengan nafsunya selalu mencari yang tidak dimilikinya, mencari yang tidak ada. Karena itulah, maka orang yang tinggal di pegunungan sudah tidak lagi dapat mengagumi dan menikmati tamasya alam pegunungan dan mereka yang tinggal di pesisir samudera tidak lagi dapat menikmati keindahan gelombang lautan.
Mereka itu, penduduk pegunungan dan pantai lautan, rindu akan kehidupan di kota! Seolah di kotalah letak semua keindahan yang didambakan. Padahal, orang-orang yang tinggal di kota merindukan keindahan alam pegunungan dan pantai lautan!
Selalu mencari yang baru, selalu mencari yang tidak dimilikinya, itulah ulah nafsu. Bosan dengan yang ada, mencari yang lain lagi yang dianggapnya akan lebih menyenangkan itulah kerjanya nafsu. Dia menuruti daya pikat nafsu ini yang kita namakan kemajuan!
Perkampungan Thian-san-pai nampak sibuk di pagi hari itu. Para anak buah atau murid Thian-san-pai mulai bekerja, dan mereka yang tidak membersihkan bangunan induk yang menjadi tempat tinggal ketua dan merupakan tempat pusat bagi mereka untuk mengadakan pertemuan atau berlatih silat, pergi ke sawah ladang. Mereka hidup sebagai petani, dan bumi di Pegunungan Thian-san itu memang subur.
Mereka menanam sayur mayur, juga menanam rempah-rempah yang tidak habis dimakan dan dipergunakan sendiri. Selebihnya dijual ke bawah gunung dan ditukar dengan kebutuhan lain. Mereka hidup sederhana dan menerima sokongan dari para murid Thian-san-pai yang sudah bekerja di luar sebagai guru silat atau piauwsu (pengawal barang).
Pada hari itu, ketua mereka tidak berada di rumah. Tiong Gi Cinjin ketua Thian-san-pang atau Thian-san-pai, sedang pergi ke luar kota, berkunjung ke rumah seorang sahabatnya dan kepergiannya makan waktu lima-enam hari. Akan tetapi, biarpun ketuanya tidak berada di rumah, para murid, laki perempuan, tetap saja bekerja dengan rajin dan di antaranya ada yang berlatih silat.
Pada pagi hari itu tiba giliran murid-murid wanita yang berlatih silat, dipimpin oleh seorang gadis yang menjadi murid kepala bagian wanita. Gadis ini bernama Song Bi Li, seorang gadis, berusia duapuluh tahun yang cantik dan gagah. Dia mengajarkan ilmu silat kepada belasan orang wanita yang menjadi murid di situ, ada yang masih gadis, ada pula yang sudah bersuami. Akan tetapi di antara para murid wanita ini, kecantikan Bi Li memang menonjol.
Ia berpakaian sederhana saja, dari kain kuning, rambutnya digelung ringkas ke atas, diikat pengikat rambut dari pita sutera merah. Ia baru memberi contoh bermain pedang kepada para murid lainnya. Memang di antara para murid, bahkan juga murid pria, tingkat kepandaian Bi Li paling tinggi. Ia merupakan murid kesayangan dari Tiong Gi Cinjin, seorang gadis yatim piatu yang sejak berusia enam tahun sudah dipelihara dan diambil murid Tiong Gi Cinjin sehingga kini menjadi murid yang paling pandai.
“Jurus Sin-liong-jut-tong (Naga Sakti Keluar Guha) ini memang agak sulit gerakannya, maka harap perhatikan baik-baik!” sekali lagi Bi Li menerangkan, lalu ia menggerakan pedangnya unluk memberi contoh gerakan itu.
Mula-mula pedangnya menusuk ke depan, lalu tubuhnya berputar namun terus menyerang ke depan sampai tiga langkah. Cara berputar itulah yang sukar dan semua murid satu demi satu disuruh mencoba sampai dapat menguasai gerakan itu dengan benar.
Ketika para wanita itu sedang berlatih di lian-bu-thia (ruang belajar silat) yang luas dan jendelanya terbuka, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa bergelak. Semua wanita kaget dan Bi Li cepat memutar tubuhnya dan melihat bahwa di luar sebuah jendela yang terbuka nampak seorang laki-laki sedang menonton sambil tertawa-tawa.
Laki-laki ini berusia kurang lebih tigapuluh tahun, berwajah tampan dan berpakaian mewah seperti seorang sasterawan, juga tangannya memegang sebatang suling yang warnanya hitam mengkilap.
“Ha-ha-ha, begini sajakah ilmu pedang Thian-san-pang yang terkenal itu? Dan murid-murid wanita begini bodoh, membuat gerakan Sin-liong-jut-tong saja tidak ada yang mampu, ha-ha-ha!”
Bi Li mengerutkan alisnya. Akan tetapi ia menjaga kesopanan sebagai nona rumah, maka iapun memberi hormat dan bertanya, “Engkau siapakah dan siapa pula yang memberi ijin kepadamu untuk masuk ke sini?”
Laki-laki yang tubuhnya jangkung itu tertawa dan mendengar teguran itu dia malah menggerakkan kakinya dan bagaikan seekor burung saja dia telah melayang masuk ke dalam lian-bu-thia itu.
“Nona, aku datang mencari Tiong Gi Cinjin. Panggil dia keluar untuk menemui aku. Katakan bahwa aku Hek-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Hitam) yang datang untuk membuat perhitungan dengannya!”
Bi Li memandang tajam. Ia maklum bahwa gurunya, sebagai ketua Thian-san-pang dan sebagai seorang pendekar, tidak aneh kalau mempunyai banyak musuh, terutama mereka yang pernah dikalahkan dan menaruh dendam. Agaknya Sasterawan Bersuling Hitam inipun seorang di antara mereka, pikirnya.
“Amat sayang, Suhu tidak berada di rumah.”
Orang itu mengerutkan alisnya. “Hemm, sesungguhnyakah? Dia pergi ke mana?”
“Suhu tidak pernah memberi tahu kami kemana perginya dan berapa lama.”
“Wah, sialan! Jangan-jangan dia sengaja menyembunyikan diri dan tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membuat perhitungan!”
Bi Li memandang dengan mata bernyala dan kepala ditegakkan. “Suhu bukan seorang pengecut! Kalau suhu berada di rumah, tentu engkau sudah dihajar sejak tadi!”
“Ha-ha-ha, aku memang minta pengajarannya. Dan siapa di antara muridnya yang terpandai di sini?”
“Akulah murid kepala!” kata Bi Li bukan karena sombong, melainkan karena ingin bertanggung jawab.
“Bagus sekali! Engkau sudah mewakili gurumu melatih murid-murid lain, tentu engkau sudah memiliki ilmu silat yang memadai. Sekarang begini saja, engkau mewakili gurumu dan kalau dalam waktu duapuluh jurus engkau mampu bertahan terhadap sulingku, anggap saja aku kalah dan aku tidak akan berani mengganggu gurumu.”
Bi Li adalah seorang gadis pemberani. Tantangan ini dianggap suatu penghinaan. Biar gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya dalam duapuluh jurus. Kalau orang ini benar dapat mengalahkannya dalam dua puluh jurus, berarti bahwa mungkin saja gurunya akan kalah melawannya.
“Aku tidak mencari permusuhan, akan tetapi kalau engkau datang untuk mencari Suhu, dalam beberapa hari kembalilah dan mungkin engkau akan dapat bertemu Suhu. Tidak perlu membuat kekacauan di sini karena kami tidak mencari permusuhan!”
“Ha-ha-ha, begini sajakah murid kepala dari Tong Gi Cinjin? Jadi engkau tidak berani menerima tantanganku untuk mampu bertahan selama duapuluh jurus? Ha-ha-ha ternyata engkau tidak memiliki keberanian.
“Hek-siauw Siucai, siapa tidak berani melawanmu! Aku hanya tidak ingin melancangi Suhu, akan tetapi kalau engkau memaksa, aku tidak akan undur selangkahpun.”
“Bagus, tempat ini cukup luas, biar para anggauta Thian-san-pang menjadi saksi. Hayo, mulailah, nona. Aku sudah siap!” kata orang itu sambil memalangkan suling hitamnya di depan dadanya.
Karena ditantang di depan saudara-saudara seperguruannya, Bi Li tidak dapat mundur kembali. Apalagi saudara-saudaranya juga kelihatan ingin sekali melihat ia memberi hajaran kepada tamu yang dianggap terlalu memandang rendah itu.
Bi Li juga menghadapi tamu itu dan memasang kuda-kuda, lalu berkata dengan lantang, “Karena engkau memaksa, Hek-siauw Siucai, akupun siap menghadapimu. Lihat pedang!” Bi Li sudah menyerang dengan daya serang yang amat kuat dan cepat, pedangnya berkelebat menyambar dengan tusukan ke arah dada lawan.
“Singg.... tranggg......!” Bunga api berpijar ketika suling hitam itu menangkis pedang dan Bi Li merasa betapa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga yang mendukung suling itu sungguh amat kuat.
Namun ia membuat pedangnya yang terpental itu membalik dan digerakkannya pedang itu untuk membacok lawan dengan jurus “Naga Sakti Jungkir Balik”. Tubuhnya membuat gerakan membalik dan pedang yang tadinya terpental itupun membalik lalu menukik dengan bacokan ke arah leher lawan.
“Bagus!” Hek-siauw Siucai berseru memuji, akan tetapi suara yang memuji itu mengandung ejekan. Dengan menggerakkan tubuhnya mundur dia sudah menghindarkan bacokan pedang itu. Dan selagi pedang lawan menyambar lewat, dia sudah membalas dengan totokan sulingnya ke arah lambung gadis itu.
Bi Li mengelebatkan pedangnya menangkis. Akan tetapi, tangkisannya membuat tangannya tergetar dan suling itu kembali sudah menotok ke arah pundaknya. Terpaksa Bi Li membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik tiga kali agar tidak terdesak.
Akan tetapi Hek-siauw Siucai hanya memandang sambil menyeringai lebar dan setelah gadis itu berdiri kembali, dia sudah mengirim serangkaian serangan bertubi-tubi yang membuat Bi Li terdesak hebat. Gadis itu mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk bertahan, dan selama belasan jurus dia terdesak hebat.
Akhirnya pada jurus ke delapanbelas, ia mengeluarkan jurusnya yang ampuh, yang tadi diajarkan kepada saudara-saudaranya, yaitu jurus Sin-liong-jut-tong. Tubuhnya membuat gerakan membalik diikuti pedangnya yang tiba-tiba mencuat dengan tusukan cepat ke arah dada lawan. Hek-siauw Siucai menggerakkan sulingnya dan pedang itu bertemu suling, terus melekat dan tak dapat ditarik kembali!
Selagi Bi Li berusaha melepaskan pedangnya, tiba-tiba tangan kiri lawan bergerak ke arah pundaknya dan iapun menjadi lemas karena tertotok. Ia telah dikalahkan dalam sembilanbelas jurus, jadi kurang dari duapuluh jurus. Hek-siauw Siucai menangkap lengan gadis yang lemas itu sehingga tidak sampai jatuh.
Akan tetapi pada saat itu, semua murid Thian-san-pang yang menjadi marah lalu mengepung dengan pedang di tangan. Tidak kurang dari tigapuluh orang murid Thian-san-pang mengepung.
Melihat ini, tentu saja Hek-siauw Siucai menjadi gentar. Betapapun lihainya, kalau dikeroyok demikian banyaknya lawan, bisa berbahaya. Maka dia lalu menempelkan sulingnya pada kepala Bi Li dan berseru dengan nyaring. “Kalau ada yang berani mendekat, aku akan membunuh nona ini lebih dulu!”
Gertakannya ini tentu saja mengejutkan semua murid dan mereka menjadi takut akan ancaman itu. Melihat ini, Hek-siauw Siucai lalu memondong tubuh Bi Li yang lemas sambil tetap menodongkan sulingnya di tengkuk gadis itu. Kemudian dia melompat keluar dari kepungan tanpa ada yang berani menyerangnya.
“Kalau ada yang mengejar, gadis ini mati!” dia mengancam lalu melarikan diri.
Semua murid semula ragu-ragu, akan tetapi lalu ada yang melakukan pengejaran, namun lawan sudah lari jauh. Mereka lalu mencari ke semua jurusan, berkelompok karena lawan terlalu lihai untuk dihadapi sendirian saja. Hek-siauw Siucai dapat berlari cepat sekali sehingga dalam waktu sebentar saja dia sudah lari turun gunung. Setibanya di sebuah hutan di kaki gunung, dia lalu menurunkan tubuh Bi Li dan sekali menepuk tengkuk gadis itu, Bi Li terkulai pingsan.
Hek-siauw Siucai tertawa bergelak lalu meninggalkan tempat itu. Hatinya sudah puas karena biarpun dia belum dapat membalas kekalahannya terhadap Tiong Gi Cinjin, setidaknya dia sudah dapat mengacau Thian-san-pang dan mengalahkan murid utamanya. Dalam beberapa kali loncatan saja dia sudah lenyap dari situ, meninggalkan Bi Li menggeletak dalam keadaan pingsan.
Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda di tempat itu. Pemuda ini berusia duapuluh lima tahun, wajahnya tampan akan tetapi matanya yang sipit itu nampak licik. Melihat Bi Li menggeletak pingsan di atas tanah, dia memandang ke sekeliling. Pemuda ini bukan lain adalah suheng dari Bi Li sendiri yang bernama Ban Koan.
Sudah lama dia tergila-gila kepada sumoinya ini, akan tetapi tidak pernah mendapat tanggapan dari Bi Li. Bahkan Bi Li nampak tidak suka kepadanya. Sikap Bi Li itu menyakitkan hatinya, apalagi setelah mendapat kenyataan betapa guru mereka lebih sayang kepada Bi Li dan lebih mempercayainya, dianggap sebagai murid terpandai, maka hatinya lebih sakit lagi.
Kini, melihat Bi Li menggeletak tak berdaya dan pingsan, timbul pikiran jahatnya yang terdorong nafsu iblisnya. Dia menghampiri gadis itu, memondongnya dan membawanya ke balik semak belukar.
Nafsu bersarang di dalam panca-indera dan berpusat di dalam hati akal pikiran. Melalui mata hidung telinga rasa dan perasaan, nafsu menggelitik hati, akal pikiran manusia dan kalau sudah terangsang maka manusia menjadi lupa diri, tidak segan melakukan perbuatan apapun demi pemuasan nafsu yang sudah menguasainya.
Demikian pula dengan Ban Koan. Melihat Bi Li yang membuatnya tergila-gila itu menggeletak pingsan tak sadarkan diri, dia melihat kesempatan baik untuk melampiaskan nafsunya, yang tidak akan berani dia lakukan kalau gadis itu dalam keadaan sadar.
Kesempatan itu dipergunakannya dan setelah berhasil, dia menjadi ketakutan sekali dan cepat melarikan diri sebelum gadis itu sadar kembali. Totokan yang dilakukan Hek-siauw Siucai amat ampuh, dan memang dia sengaja menotok seperti itu untuk memperlihatkan kelihaiannya terhadap Tiong Gi Cinjin. Demikian ampuh totokan itu sehingga Bi Li tetap pingsan biarpun dirinya dipermainkan orang dan diperkosa.
Setelah ia sadar kembali, ia menjadi amat terkejut melihat dirinya tak berpakaian dan pakaian itu berserakan di situ. Tahulah ia apa yang terjadi. Ia telah ternoda, diperkosa orang selagi pingsan! Sambil mengenakan kembali pakaiannya, Bi Li menangis sejadi-jadinya.
Segala macam perasaan yang pahit getir melanda hatinya. Duka, malu, dan dendam bercampur aduk menjadi satu. Ia sudah mencabut pedangnya dan hampir saja ia menggorok leher sendiri.
“Apa artinya hidup bagi gadis yang sudah ternoda, lebih baik mati, mencuci aib dengan darah,” bisik perasaan dukanya. “Ah, kalau aku mati, lalu apakah perbuatan ini dibiarkan begitu saja tanpa dibalas? Perbuatan terkutuk ini hanya dapat dibalas dengan nyawa!” bisik pula perasaan dendamnya.
Terjadilah perang antara perasaan putus asa dan duka melawan perasaan dendam sakit hati, dan akhirnya perasaan dendam yang menang. Tidak, ia tidak boleh mati dan membiarkan perbuatan terkutuk itu lewat begitu saja tanpa dibalas. Biarlah ia menghabiskan sisa hidupnya untuk satu tujuan, yaitu membalas dendam!
“Hek-siauw Siucai, tunggulah, pada suatu saat aku akan memenggal batang lehermu dan mencincang hancur tubuhmu!” katanya dengan suara dingin dan wajah pucat. Akhirnya, ia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung keluar dari balik semak belukar di hutan itu.
Ketika tiba di sebuah tikungan, muncullah Ban Koan. Dengan pedang di tangan Ban Koan beraksi seolah mencari-cari musuh, dan ketika melihat Bi Li, dia segera lari menghampiri. “Sumo…! Engkau tidak apa-apa....!”
Bi Li memaksa diri tersenyum. “Aku selamat, suheng.”
“Di mana bedebah itu? Di mana si sombong itu? Akan kupenggal batang lehernya!” katanya sambil mengamangkan pedangnya ke udara.
“Engkau terlambat, suheng,” kata Bi Li sungguh-sungguh walaupun ia ragu apakah suhengnya ini mampu mencegah perbuatan Hek-siauw Siucai. “Dia sudah pergi dan aku ditinggalkan di hutan.”
“Ahh, sayang. Sumoi, mari kita kejar jahanam, itu!” kata Ban Koan bersikap amat gagah.
“Tidak ada gunanya, suheng. Andaikata terkejar juga, kita berdua bukanlah lawan dia.”
Kini bermunculan murid-murid Thian-san-pang dan semua orang menyatakan kegembiraan hati mereka melihat bahwa Bi Li dalam keadaan selamat. Bi Li menyambut kegembiraan para saudaranya itu dengan senyum duka, dan diam-diam ia mengeluh. Ia harus merahasiakan malapetaka yang lebih hebat dari pada kematian, yang menimpa dirinya. Akhh, andaikata kalian tahu, pikirnya sambil menahan mengucurnya air matanya.
“Mari kita pulang, tidak ada gunanya dikejar. Nanti saja apabila Suhu pulang, kits menceritakan semuanya!”
Mereka semua kembali ke perkampungan Thian-san-pang dan semua orang membicarakan tentang kunjungan musuh yang lihai itu. Tak seorang menyadari bahwa Bi Li sendiri, orang yang menandingi musuh itu, bahkan tak pernah menyinggungnya dalam percakapannya, seolah ia telah melupakan lawan tangguh itu.
Beberapa hari kemudian Tiong Gi Cinjin pulang. Orang pertama yang melaporkan tentang kunjungan Hek-siauw Siucai adalah Bi Li. Ia menceritakan sejelasnya tentang kunjungan tiba-tiba dari siucai itu. Tentang bagaimana siucai itu mencari Tiong Gi Cinjin akan tetapi kemudian menantang Bi Li sehingga terjadi pertandingan yang akhirnya dimenangkan pihak musuh. Tentang Hek-siauw Siucai yang menyandera dirinya untuk loloskan diri dari kepungan murid-murid Thian-san-pang dan melepaskan dirinya di sebuah hutan bawah gunung.
Tiong Gi Cinjin mengepal tinjunya dan mengerutkan alisnya. Perbuatan Sasterawan Bersuling Hitam itu sungguh keterlaluan. Dia tahu bahwa perbuatan itu sengaja dilakukan untuk menghinanya lewat murid-muridnya.
“Suhu, kita harus membuat perhitungan dengan jahanam itu!” kata Bi Li mengakhiri laporannya.
“Benar, Suhu,” sambung Ban Koan yang juga hadir di situ. “Kalau Suhu tidak membuat perhitungan, tentu dia mengira kita takut kepadanya!”
Tiong Gi Cinjin menghela napas panjang. “Hemm, sudahlah! Dia pernah kalah olehku, maka kini melampiaskan penasarannya dengan mengalahkan Bi Li. Akan tetapi itu belum berarti bahwa dia telah mengalahkan aku. Sedikit kekacauan yang dilakukannya itu tidak ada artinya, belum patut kalau kita beramai harus melakukan penyerbuan ke tempat tinggal mereka.”
Tentu saja diam-diam Bi Li terkejut dan kecewa. Kalau gurunya tidak hendak membuat perhitungan, kapan ia akan dapat membalaskan dendamnya? Kalau Suhunya tidak mau, biarlah ia yang kelak akan membalas sendiri dendamnya. “Suhu, siapakah jahanam itu sebenarnya dan mengapa pula dia memusuhi Suhu?” tanya Bi Li, diam-diam hendak menyelidiki musuh besarnya itu. “Dan di mana tempat tinggalnya?”
“Permusuhan antara kami tidaklah hebat, hanya kami pernah saling salah paham sehingga timbul pertandingan di mana Hek-siauw Siucai itu mengalami kekalahan dariku. Ketika aku mengalahkannya, akupun menganggap bahwa urusan itu sudah selesai, siapa kira hari ini dia sengaja mencari aku dan membikin kacau di sini.
“Sebetulnya, dia bukan seorang jahat, bukan golongan sesat. Mereka semua ada lima orang yang terkenal sekali dengan sebutan Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Kuning). Orang yang pertama berjuluk Kim-liong Sin-eng, kedua Tok-jiauw-liong (Naga Cakar Beracun), ketiga adalah Toat-beng Cinjin (Manusia Sakti Pencabut Nyawa), keempat adalah Hek-siauw Siucai itu sendiri dan ke lima Sin-to Koai-hiap (Pendekar Aneh Golok Sakti).
“Seperti kukatakan tadi, mereka bukan orang-orang jahat, bahkan orang pertamanya yang berjuluk Kim-liong Sin-eng (Pendekar Sakti Naga Emas) adalah ketua dari partai Kim-liong-pang (Perkumpulan Naga Emas) yang terkenal gagah perkasa dan berjiwa pendekar. Karena itulah, maka aku minta kepada kalian untuk menghabiskan saja urusan ini dan tidak ada gunanya menanam bibit permusuhan dengan mereka.”
Semua murid dapat menerima alasan guru mereka itu, akan tetapi tentu saja Bi Li menjadi semakin penasaran. “Akan tetapi, Suhu. Hek-siauw Siucai itu sengaja datang ke sini untuk menghina, teecu (murid) sendiri merasa sangat terhina. Tidak bolehkah teecu untuk membalas penghinaan itu?”
“Tentu saja engkau bebas untuk membalas kekalahanmu darinya, Bi Li. Akan tetapi ingat, dia itu bukanlah lawanmu. Aku sendiri saja mungkin sekarang seimbang dengannya, apa lagi engkau. Kalau engkau hendak membalas kekalahanmu, engkau harus berlatih dengan tekun sekali sehingga tingkatmu dapat menyamai tingkatku atau melebihi.”
Mendengar ini tentu saja Bi Li berdiam diri dengan hati hancur. Apakah dendamnya harus selalu disimpan dan takkan pernah ia mampu membalasnya?
“Suhu, yang mengganggu kita bukan Huang-ho Ngo-liong, melainkan Hek-siauw Siucai seorang, maka yang lain-lain tidak ada hubungannya dengan kita. Kalau Suhu hendak menghajar Hek-siauw Siucai karena kekurang ajarannya di sini, tentu yang lain juga tidak akan mencampuri.”
“Aih, engkau tidak tahu, Bi Li. Hek-siauw Siucai itu merupakan seorang di antara Huang-ho Ngo-liong dan mereka itu adalah saudara-saudara angkat yang saling menyayang dan saling membela. Dahulu, ketika Hek-siauw Siucai kalah olehku, yang empat orangpun akan membelanya. Akan tetapi dicegah oleh Hek-siauw Siucai. Hal ini saja mendatangkan rasa kagumku.
"Dan ternyata kini, ketika membalas kekalahannya dariku, diapun datang sendiri, tidak bersama empat orang saudara angkatnya. Karena itu, sudahlah, lupakan semuanya. Kalau kita terlalu mendesak Hek-siauw Siucai, bukan mustahil kalau kita akan berhadapan sekaligus dengan Huang-ho Ngo-liong dan ini merupakan suatu keadaan yang amat berat. Kita hanya akan menderita malu, Bi Li.”
Malam itu Bi Li menangis dalam kamarnya. Habis sudah harapannya untuk membalas dendam mengandalkan suhunya. Akan tetapi, dendam itu sedemikian besarnya sehingga ia mengambil keputusan nekat untuk berlatih dengan tekun agar kelak ia dapat membalas sendiri dendamnya itu, tanpa bantuan orang lain.
Banyak sekali peristiwa yang nampaknya bagi kita aneh dan penuh rahasia terjadi di dunia ini. Misalnya seseorang yang kita kenal sabagai seorang yang baik, berbudi, dermawan, bijaksana dan saleh, mengalami mnsibah dan hidup dalam kesengsaraan. Sebaliknya orang yang kita anggap sejahat-jahatnya orang, dapat hidup sejahtera dan nampaknya amat berbahagia. Memang jalan yang diambil oleh kekuasaan Tuhan takkan dapat dimengerti oleh akal pikiran manusia.
Kita hanya dapat menerima kenyataan yang ada, dapat menerima apa saja yang menimpa diri kita dapat mengerti mengapa demikian. Akan tetapi bagi orang yang sudah menyerahkan segala-galanya kepada Tuhan, maka apapun yang terjadi dengannya diterima dengan bersabar karena segala Kehendak Tuhan Terjadilah.
Semua itu sudah pas, sudah adil, dan di mana letak keadilannya, hanya Tuhan Yang Tahu. Kita, dengan alam pikiran kita yang terbatas ini, tidak mampu menjenguk apa yang berada di balik rahasia besar itu. Nasib manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan.
Dan di dalam nasib ini tersembunyi Kekuasaan Tuhan yang mengatur segalanya, mengatur matahari dan bulan cerah, juga mengatur awan mendung, halilintar yang membawa badai mengamuk. Tidak ada baik buruk bagi Kekuasaan Tuhan, karena baik buruk hanya dikenal manusia nafsunya.
Bi Li mengandung! Bagi Bi Li, tentu saja hal ini merupakan malapetaka terbesar dalam sejarah hidupnya! Ia mengandung dan ia tahu bahwa ini adalah akibat perkosaan yang dideritanya dua bulan yang lalu. Ia hanya mampu menjerit dan menangis.
Hanya dendam jualah yang menahan ia tidak membunuh diri. Setiap kali timbul keinginan membunuh diri dan mengakhiri segala aib dan kehinaan itu, setiap kali pula muncul wajah Hek-siauw Siucai dan dendam sakit hatinya demikian hebat bergelora mengusir keinginan membunuh diri.
Setelah kandungannya tidak dapat disembunyikan lagi, pada suatu hari, di dalam kamar Suhunya, tidak terlihat oleh orang lain, Bi Li meratap dan menangis di kaki Suhunya. “Suhu, ah... Suhu… lebih baik suhu bunuh saja teecu sekarang juga…” Ia meratap dan menangis seperti seorang anak kecil, sesenggukan dan bergulingan di depan kaki gurnnya.
Tiong Gi Cinjin yang menganggap Bi Li seperti puterinya sendiri, terkejut melihat halnya Bi Li. Melihat betapa tangis Bi Li seperti kesetanan, dia menghampiri, mencengkeram pundak wanita itu dan menariknya bangkit berdiri, lalu menampar muka itu dua kali untuk menyadarkannya.
“Bi Li! Tenangkan hatimu! Tidak sepatutnya engkau bersikap seperti ini, begitu cengeng dan lemah. Huh, ceritakan dengan tenang apa yang terjadi dan hentikan tangismu!”
“Ah, suhu…!” Bi Li menangis terisak-isak, berlutut dan merangkul ke dua kaki suhunya.
Tiong Gi Cinjin mendiamkannya saja sampai akhirnya isak tangis itu berhenti dan mereda. “Nah, duduklah dan ceritakan kepadaku, anakku. Engkau membikin aku menjadi sedih dan bingung dengan sikapmu ini.”
“Suhu, teecu minta mati saja. Suhu.... teecu… teecu telah mengandung…!”
Kini Tiong Gi Cinjin yang meloncat berdiri, mukanya pucat, matanya terbelalak memandang kepada muka muridnya yang ditundukkan. “Apa…?!?” Dia mengepal tinjunya, agaknya siap untuk menghantam muridnya itu. “Jadi engkau... hamil? Engkau sudah berbuat…. tak patut…?” Sukar dia bicara saking marahnya.
“Suhu, bukan teecu yang berbuat, tapi Hek-siauw Siucai. Ketika teecu ditawan, teecu ditotok sampai pingsan dan ketika teecu siuman, teecu mendapatkan diri teecu sudah diperkosa orang, Hek-siauw Siucai itu....”
“Keparat! Jahanam! Kenapa engkau tidak ceritakan ketika itu?” Gurunya menghardik, akan tetapi kini tidak lagi marah kepada muridnya, melainkan kasihan karena muridnya tidak melakukan perbuatan hina, melainkan diperkosa orang selagi pingsan.
“Teecu malu. Tadinya teecu hendak merahasiakan dari semua orang, akan tetapi... ah, Suhu... teecu mengandung…. bagaimana baiknya, suhu? Teecu rela kalau Suhu turun tangan membunuh teecu…” Kembali ia menangis dan ketua Thian-san-pang itu kini berjalan hilir mudik seperti orang kebingungan.
“Dia harus bertanggung jawab. Harus! Biar aku mati di tangan Huang-ho Ngo-liong!”
“Tidak, Suhu tidak boleh berkorban diri untuk teecu. Teecu kelak akan membalas dendam semua ini seorang diri, teecu akan mempelajari ilmu dengan tekun. Dan tentang kandungan ini biar teecu bunuh saja!” Bi Li sudah menggerakkan tangan untuk dipukulkan pada perutnya sendiri, akan tetapi gurunya cepat bergerak.
“Plakkk!” Pukulan itu ditangkis gurunya dan Tiong Gi Cinjin memegangi kedua tangan muridnya. “Bi Li, dengar! Apa yang kau lakukan ini salah besar, berdosa besar. Apa kesalahan si kecil itu maka engkau hendak membunuhnya dalam kandungan? Kandungan ini adalah kehendak Thian dan engkau akan berdosa besar. Anak ini tidak bersalah, jangan sekali-kali engkau hendak membunuhnya. Biarkan ia lahir seperti haknya dan memeliharanya. Bahkan, siapa tahu anak ini yang kelak akan dapat mewakilimu membalas dendam!”
Kalimat terakhir dari gurunya ini membuat Bi Li tersentak kaget dan juga girang. Mengapa tidak? Ia akan memelihara dan mendidik anak itu kelak, dan pada suatu hari ia akan menyuruh anak itu membunuh ayahnya sendiri! Barulah akan puas hatinya. Untuk menjauhkan Bi Li dari pada rasa malu dan aib.
Maka diam-diam Tiong Gi Cinjin lalu mengirim Bi Li kepada seorang adik perempuannya yang tinggal di Bi-ciu, di kaki Gunung Thian-san, untuk beberapa bulan. Setelah ia melahirkan seorang putera, barulah murid itu ditarik kembali ke Thian-san-pang, membawa seorang anak laki-laki kecil.
Semua murid merasa heran, akan tetapi jawaban Bi Li bahwa ia memungut seorang anak laki-laki bayi yang ditinggal mati ayah ibunya, membuat mereka berdiam diri. Ada beberapa orang yang menduga bahwa itu adalah putera Bi Li sendiri, akan tetapi tidak ada yang berani berterang mempertanyakannya. Kembali Bi Li menjadi murid kepala di situ, dia seringkali disuruh Suhunya mewakilinya melatih para saudaranya.
Hal ini membuat Ban Koan menjadi semakin tak senang. Ketika Bi Li mengungsi ke rumah bibi guru mereka, dialah yang oleh suhunya dianggap murid kepala dan disuruh mewakili Suhunya. Bahkan dia mengharapkan kelak menjadi pengganti Suhunya, menjadi ketua Thian-san-pang. Akan tetapi kembalinya Bi Li membuat dia menjadi murid tidak berarti lagi.
Kemudian, dia mengajukan usul untuk berjodoh dengan Bi Li. Dengan terus terang Ban Koan mengaku bahwa dia mencinta Bi Li dan mohon perkenan gurunya untuk berjodoh dengan sumoinya itu.
“Suhu, sejak dahulu teecu mencinta sumoi, dan mengingat bahwa usia kami sudah cukup dewasa, teecu akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menjadi suami isteri dengan sumoi.”
Tiong Gi Cinjin mengangguk-angguk. Memang sebaiknya kalau Bi Li menikah dengan Ban Koan, dan tentu saja Ban Koan harus diberi tahu tentang keadaan Bi Li yang sebetulnya sudah bukan perawan lagi, bahkan sudah mempunyai seorang anak. Akan tetapi dia tidak berani membuka rahasia itu sebelum bertanya kepada Bi Li.
“Usulmu memang baik sekali, Ban Koan. Akan tetapi engkau sendiri tahu bahwa pernikahan baru dapat terjadi kalau ada persetujuan kedua pihak yang bersangkutan. Karena itu, aku akan lebih dulu bertanya kepada sumoimu, apakah ia mau menerima pinanganmu ataukah tidak?”
“Suhu, sepatutnya sumoi mau menerima pinanganku yang bagaimanapun juga telah mencuci aib dan noda yang dideritanya.”
Tiong Gi Cinjin terkejut setengah mati memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak. “Ban Koan! Apa maksudmu dengan ucapanmu itu?”
“Ah, hendaknya Suhu tidak berpura-pura lagi. Para murid banyak yang sudah dapat menduga bahwa anak itu adalah anak kandung sumoi Bi Li. Kami semua sudah melihat betapa sumoi kelihatan sakit dan seringkali muntah-muntah sebelum ia pergi berguru kepada bibi guru, dan sekarang ia pulang menggendong bayi. Anak siapa lagi kalau bukan anaknya sendiri?”
“Engkau yang sudah dapat menduga demikian masih mau untuk meminangnya sebagai isteri?”
“Teecu amat mencintanya, Suhu, dan teecu bahkan merasa kasihan kepadanya atas musibah yang membuatnya melahirkan anak. Teecu akan melindunginya penuh kasih sayang, dan menerima anak itu sebagai anak teecu sendiri.”
“Ahh, Ban Koan, betapa mulia hatimu. Kuharap saja Bi Li akan menyetujui.”
Tiong Gi Cinjin lalu pergi menemui Bi Li yang sedang menggendong anaknya. Baru sekarang teringat oleh ketua Thian-san-pang ini bahwa sejak peristiwa itu, Bi Li selalu mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung. Dan kini dia melihat bahwa anak bayi itupun mengenakan pakaian putih-putih.
“Bi Li, engkau dan anakmu memakai pakaian putih-putih, berkabung untuk siapa?”
“Kami berkabung untuk diri kami sendiri, Suhu. Juga berkabung untuk ayah anak ini yang pasti akan tewas di tangan anak teecu Cin Po pada suatu hari.”
Mendengar ini, Tiong Gi Cinjin hanya dapat menghela napas panjang. Dia tahu bahwa hati dan akal pikiran muridnya dipenuhi oleh dendam sakit hati yang setinggi langit sedalam samudera. “Bi Li, engkau selalu menolak dan menghalang kalau aku hendak pergi mencari Hek-siauw Siucai. Aku ingin memaksa dia untuk bertanggung-jawab dan mengawinimu.”
Bi Li hampir menjerit. “Kawin dengan dia? Seratus kali lebih baik mati, Suhu. Aku tidak sudi kawin dengan jahanam keparat busuk itu!”
“Tapi itu satu satunya jalan untuk mencuci aib dan noda dari diri dan namamu.”
“Teecu sudah ternoda, dendam teecu setinggi gunung. Teecu tidak mau menikah dengan orang iblis itu!”
“Bagaimana kalau ada orang lain yang hendak meminangmu menjadi isterinya, Bi Li?”
BI Li terkejut dan menatap wajah suhunya penuh pertanyaan. “Siapa yang mau? Siapa yang sudi menikah dengan teecu?”
“Ada orangnya. Dia seorang pemuda yang baik, juga berhubungan dekat sekali denganmu. Dia adalah suhengmu sendiri, Ban Koan. Baru saja suhengmu menyatakan kepadaku bahwa dia ingin meminangmu sebagai isterinya.”
Wajah Bi Li menjadi sebentar pucat, sebentar merah. Ia sudah tahu bahwa suhengnya menaruh hati kepadanya, akan tetapi selalu ia tidak menanggapinya. Biarpun suhengnya tampan dan gagah, ada sesuatu pada dirinya, mungkin pada pandang matanya, yang tidak berkenan di hatinya. “Tapi, Suhu, kalau saja suheng tahu keadaan diriku, tentu dia tidak sudi dan akan menghinaku…”
“Tidak, Bi Li. Dia sudah tahu… atau setidaknya sudah dapat menduga bahwa Cin Po adalah anak kandungmu.”
“Tapi, bagaimana dia bisa tahu, Suhu?”
“Menurut dia, banyak di antara murid yang sudah dapat menduga-duga, menghubungkan keadaanmu yang tidak sehat ketika akan pergi mengungsi ke rumah bibi gurumu, kemudian melihat engkau pulang menggendong anak. Mereka dapat menduga bahwa kepergianmu tentu untuk menyembunyikan bahwa engkau mengandung.”
“Ahh…!” Bi Li merasa terpukul sekali dan ia menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis, bahkan lalu melemparkan bayinya ke atas tempat tidur. Anak itu menangis pula, melebihi kerasnya tangis ibunya.
Setelah mereda tangis Bi Li, Tiong Gi Cinjin berkata, “Bi Li kukira ini suatu pemecahan yang baik. Suhengmu orang baik dan dia amat mencintaimu. Buktinya, biarpun sudah menduga bahwa engkau telah mempunyai anak, tetap saja dia meminangmu. Dan dia mengatakan bahwa dia akan menerima Cin Po sebagai anaknya sendiri.”
Bi Li merasa terharu juga, akan tetapi suaranya terdengar tegas ketika berkata, “Tidak Suhu. Biarpun teecu amat berterima kasih kepada suheng, akan tetapi teecu tidak mau menikah dengan dia. Dia seorang perjaka yang baik, biar dia memilih jodohnya di antara sumoi atau gadis lain, akan tetapi bukan teecu. Teecu hanya hidup untuk menanti membalas dendam kepada jahanam itu, dan teecu tidak ingin menyeret orang lain ke dalam urusan dendam pribadi ini.”
Tiong Gi Cinjin menjadi kecewa sekali. “Kalau begitu, sesuka hatimulah, Bi Li. Engkau yang berpegang kepada nasib dirimu dan anakmu sendiri.”
“Teecu telah menyerahkan nasib kami kepada Thian, Suhu.”
Dengan murung, Tiong Gi Cinjin memasuki rumahnya, disambut oleh isterinya yang masih muda, baru berusia tigapuluh tahun dan masih cantik. Ini adalah isterinya yang kedua, isteri pertamanya meninggal dunia karena penyakit. Dan isterinya ini sedang mengandung muda.
“Engkau kenapa, suamiku? Mengapa nampak murung?”
“Hatiku sedang kesal memikirkan kekerasan kepala Bi Li!”
“Kenapa ia?”
“Engkau sendiri tahu, ia mempunyai anak tanpa suami. Sekarang ada seorang pemuda yang dengan baik hati mau berkorban dan mau menikah dengannya, eh, ia malah menolak keras.”
“Siapa pemuda itu?”
“Dia Ban Koan.”
“Heran sekali kenapa Ban Koan mau menikahi Bi Li? Biasanya, seorang pria akan mengelak menikah dengan gadis yang bukan perawan lagi! Apa lagi seorang gadis yang mempunyai anak tanpa suami...!”