Pendekar Baju Putih Jilid 02 karya Kho Ping Hoo - “Mungkin karena dia amat mencinta Bi Li. Akan tetapi Bi Li menolaknya dan aku merasa kecewa sekali. Kalau saja ia mau, tentu bereslah semua persoalan, ia mendapatkan suami, anaknya mendapatkan seorang ayah dan aib itu akan terhapus.”
“Alasan penolakannya?”
“Ia hanya ingin hidup untuk memenuhi balas dendamnya kepada pria yang telah menodainya! Bahkan ketika aku menawarkan untuk menyeret Hek-siauw Siucai ke sini dan memaksanya mempertanggungjawabkan perbuatannya dan menikahi Bi Li, ia menolak keras. Ia mengatakan tidak sudi menjadi isteri laki-laki yang telah menodainya itu. Ia hanya ingin membalas dendam!”
“Ah, kasihan sekali Bi Li. Hatinya telah diracuni dendam,” kata isteri Tiong Gi Cinjin sambil menghela napas panjang dan mengelus perutnya yang sudah hamil muda itu.
“Kesehatanmu baik-baik saja, bukan?” tanya sang suami penuh perhatian dan kasih sayang.
“Baik-baik saja, aku hanya merasa khawatir setelah terjadi pengacauan itu.”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Engkau harus menjaga dirimu baik-baik, demi anak kita yang berada dalam kandunganmu itu.”
Pada saat itu, tiba-tiba di luar terdengar kentungan dipukul bertalu-talu tanda bahwa ada bahaya! Tiong Gi Cinjin cepat meninggalkan isterinya dan berlari keluar, dikejar isterinya yang juga merasa khawatir dan terkejut.
Ketika mereka tiba di luar, ternyata telah terjadi pertempuran antara lima orang melawan para murid Thian-san-pang yang dipimpin oleh Bi Li. Duapuluh orang lebih mengeroyok lima orang itu dan agaknya mereka kewalahan menghadapi lima orang yang amat lihai itu.
Tadinya Tiong Gi Cinjin menyangka bahwa yang menyerang adalah Huang-ho Ngo-liong, akan tetapi ketika memandang penuh perhatian, ternyata mereka itu bukan Huang-ho Ngo-liong, melainkan lima orang laki-laki yang baju atasnya bersisik seperti sisik ular atau naga. Sisik itu mengkilat dan ketika ada beberapa batang pedang para muridnya membacok, lima orang itu tidak mengelak, akan tetapi pedang-pedang itu mental kembali bertemu dengan baju yang bersisik itu!
“Tok-coa-pang (Perkumpulan Ular Beracun)!” seru Tiong Gi Cinjin dan dia teringat bahwa pernah dia bentrok dengan tiga orang dari perkumpulan itu dan kini agaknya mereka datang untuk membalas dendam. Dan yang datang ini bukanlah anggauta biasa karena kepandaian mereka amat lihai.
Melihat betapa Bi Li dan para murid kewalahan, Tiong Gi Cinjin lalu mencabut pedangnya dan meloncat ke dalam arena pertempuran. Begitu dia mengelebatkan pedangnya, lima orang itu mengeluarkan teriakan kaget akan tetapi mereka nampaknya gembira ketika melihat bahwa yang maju sendiri adalah Tiong Gi Cinjin yang memang mereka cari.
“Bagus, engkau mengantarkan nyawamu kepada kami, Tiong Gi Cinjin!” seru seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus. Kemudian dengan gerakan seperti seekor ular, tububnya menggeliat dan pedangnya sudah menusuk ke arah tenggorokan Tiong Gi Cinjin.
Ketua Thian-san-pang ini menggetarkan pedangnya menangkis dan pedang lawan itu terpental. Dua orang lain datang mengeroyok sehingga ketua Thian-san-pang dikeroyok tiga orang sedangkan yang dua orang lagi menghadapi pengeroyokan puluhan anak murid Thian-san-pang.
Terjadilah perkelahian yang amat seru, terutama antara Tiong Gi Cinjin yang dikeroyok tiga orang lawannya yang lihai itu. Yang membuat Tiong Gi Cinjin kewalahan adalah karena tiga orang lawan itu mengenakan baju yang kebal dan tahan bacokan atau tusukan pedangnya.
Pedangnya selalu meleset kalau mengenai tubuh mereka bagian atas, maka diapun mengubah caranya bermain pedang. Kini dia menyerang bagian bawah tubuh mereka yang tidak dilindungi pakaian kebal dan barulah dia dapat mengimbangi mereka.
Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat dan membantunya. Ternyata yang membantu adalah isterinya. Tentu saja Tiong Gi Cinjin merasa khawatir sekali. Ilmu kepandaian isterinya memang cukup tinggi dan akan meringankan dia kalau membantu, akan tetapi isterinya sedang mengandung dan berbahaya sekali kalau dipakai berkelahi, apalagi lawan-lawannya amat lihai.
Tiga orang itu benar saja terdesak hebat begitu isteri Tiong Gi Cinjin ikut membantu suaminya. Mereka terdesak dan demikian pula dua orang rekan mereka yang dikeroyok puluhan orang itupun terdesak.
Si tinggi kurus mengeluarkan suara bersuit nyaring dan itu merupakan tanda bahwa mereka harus segera angkat kaki melarikan diri dari situ. Si jangkung sendiri memimpin teman-temannya untuk melepaskan senjata rahasia mereka berupa sisik-sisik yang sebesar uang logam.
Terdengar suara bersuitan ketika mereka menyambit-nyambitkan senjata rahasia ini dan beberapa orang anak buah Thian-san-pang berteriak roboh. Tiong Gi Cinjin sendiri dihujani senjata rahasia dan dia memutar pedangnya untuk meruntuhkan semua senjata rahasia.
Namun, sial bagi isterinya yang juga memutar pedangnya, sebuah senjata rahasia terpental dan mengenai perutnya! Ia mengeluh dan terhuyung. Kesempatan itu dipergunakan oleh orang-orang Tok-coa-pang untuk melarikan diri, dikejar anak buah Thian-san-pang.
Tiong Gi Cinjin sendiri tidak ikut mengejar karena dia sibuk menolong isterinya yang terluka. Dipondongnya isterinya itu masuk ke dalam rumah dan diperiksanya lukanya. Tidak hebat luka itu, tidak terlalu dalam, akan tetapi sekitar luka kecil itu menghitam, tanda bahwa luka itu beracun!
Sebagai ketua perkumpulan silat yang berpengalaman, Tiong Gi Cinjin memiliki bermacam obat luka, juga yang anti racun, maka dia segera mengobati luka di perut isterinya. Diam-diam dia merasa khawatir sekali. Isterinya tentu dapat diselamatkan, akan tetapi bagaimana dengan kandungannya? Kalau racun itu sudah menjalar dan mempengaruhi kandungannya, dapat berbahaya.
Sementara itu, puluhan orang Thian-san-pang melakukan pengejaran kepada lima orang Tok-coa-pang yang berlari cerai berai itu. Ban Koan juga melakukan pengejaran dan dia melihat seorang di antara musuh itu, si tinggi kurus, bersembunyi di balik rumpun bambu dan agaknya orang itu terluka.
Memang benar, tadi pedang di tangan Tiong Gi Cinjin sudah berhasil melukai paha kanannya sehingga mengeluarkan banyak darah. Melihat munculnya Ban Koan, orang itu menodongkan pedangnya dan siap melawan. Akan tetapi Ban Koan tidak menyerangnya.
“Engkau terluka? Aku tidak akan membunuhmu, dan kalau aku menolongmu memberi obat, apakah engkau kelak mau menolongku pula? Aku menghendaki agar Tok-coa-pang bersahabat denganku dan kelak membantuku menjadi ketua Thian-san-pang. Bagaimana?”
Laki-laki tinggi kurus itu memandang kepada Ban Koan dengan matanya yang tajam seperti mata ular. “Siapakah engkau?”
“Namaku Ban Koan, aku murid kepala dari Thian-san-pang. Nah, kau pilih mati ataukah bersahabat dengan aku?”
Orang itu menyeringai. “Tentu saja kami akan senang bersahabat dengan orang yang cerdik seperti engkau. Nah, mana obat luka-lukanya, berikan kepadaku.”
“Tunggu sebentar!” Ban Koan lalu merobek celana itu, dan memberikan obat bubuk, lalu membalut paha itu. “Lukanya tidak berbahaya dan untungnya bahwa kami tidak biasa menggunakan racun, jadi lukamu tidak beracun.”
“Terima kasih, Ban Koan. Aku akan melaporkan tentang dirimu kepada ketua kami.”
“Katakan, siapakah engkau? Agar kelak, aku tidak lupa dengan siapa aku berurusan.”
“Aku dijuluki Coa-siauw-kwi (Setan Cilik Ular), seorang di antara para pembantu utama dari ketua kami. Nah, selamat tinggal, Ban Koan. Engkau sudah kuanggap sahabatku.”
“Jangan mengambil jalan sana. Di sana menanti banyak murid Thian-san-pang. Sebaiknya kau mengambil jalan ini, jalan setapak yang akan membawamu turun gunung dengan selamat. Nah, selamat jalan, Coa-siauw-kwi!”
Orang itupun menyelinap pergi, meningggalkan Ban Koan yang tersenyum-senyum seorang diri dengan hati gembira sekali. Dia sudah berhasil menarik perhatian seorang tokoh Tok-coa-pang (Perkumpulan Ular Beracun) yang tentu kelak akan suka membantunya kalau saatnya sudah tiba!
Kalau tidak menggunakan siasat seperti itu, bagaimana mungkin dia dapat menjadi ketua Thian-san-pang? Gurunya bahkan memilih Bi Li menjadi calon penggantinya, dan Bi Li tidak sudi menikah dengan dia!
Seperti yang dikhawatirkan Tiong Gi Cinjin, semenjak terkena senjata rahasia dari Tok-coa-pang, kesehatan isterinya amat memburuk. Sebetulnya racun sudah dapat dibersihkan, akan tetapi karena dia dalam keadaan mengandung, maka obat anti racun itupun mempunyai akibat sampingan yang membuat tubuhnya lemah sekali.
Dan ketika tiba saatnya wanita itu melahirkan seorang puteri, ia tidak dapat ditolong lagi. Anaknya lahir dengan selamat, akan tetapi ibunya tewas karena terlampau banyak mengeluarkan darah. Dapat dibayangkan kedukaan hati Tiong Gi Cinjin. Isterinya yang tercinta, dari siapa dia memperoleh seorang anak karena isterinya yang pertama tidak mempunyai anak, kini telah meninggalkannya.
“Ini semua gara-gara Tok-coa-pang, Suhu! Kita harus membuat pembalasan!” kata Bi Li gemas.
Gurunya menghela napas panjang. “Tidak ada gunanya balas membalas itu. Baru menghadapi persoalanmu saja, kita sudah mempunyai musuh, apakah perlu ditambah lagi dengan musuh baru? Tidak, kematian subomu adalah karena akibat perkelahian, sudahlah wajar bagi seorang ahli silat untuk tewas akibat perkelahian. Yang kusedihkan hanyalah anak ini…” Dia memondong anak bayi yang menangis keras seolah mengerti apa yang dikatakan ayahnya.
“Berikan kepadaku, suhu. Biar aku yang menjadi inang pengasuhnya, biar kuberi air susu bersama-sama Cin Po.”
Cin Po sudah agak besar, sudah tidak begitu membutuhkan lagi air susu ibunya. Bi Li menerima anak itu dari Suhunya, lalu mendekapnya dan memberinya minum dari dadanya dan anak itupun terdiam.
“Hui Ing, namanya Hui Ing, Kwan Hui Ing,” kata Tiong Gi Cinjin yang nama aselinya Kwan Bu Hok.
Demikianlah, mulai hari itu, Kwan Hui Ing dirawat oleh Bi Li, bersama-sama Cin Po yang sudah agak besar, lebih tua setengah tahun. Bahkan Bi Li agaknya lebih menyayang Hui Ing dari pada Cin Po. Hal ini tidak dapat dipersalahkan kepadanya, karena setiap kali ia teringat betapa Cin Po adalah hasil pemerkosaan atas dirinya.
Iapun teringat kepada Hek-siauw Siucai dan menjadi tidak senang kepada Cin Po, bahkan ada sedikit perasaan benci. Akan tetapi, ia harus memelihara bahkan mendidik anak itu agar kelak dapat diharapkan akan bisa membalaskan sakit hatinya, membunuh laki-laki yang telah merusak kehidupannya!
Demikian pandainya Ban Koan menyimpan rahasia sehingga selama bertahun- tahun dia mengadakan hubungan dengan Tok-coa-pang tanpa ada yang mengetahuinya. Bahkan dia berhasil pula mempelajari ilmu-ilmu dari para pimpinan Tok-coa-pang, yang melihat dalam dirinya seorang yang kelak amat berguna bagi Tok-coa-pang.
Tanpa ada yang mengetahuinya, Ban Koan telah mempelajari Ilmu silat dan iImu tentang racun dari pimpinan Tok-coa-pang, bahkan dia telah mendapat kepercayaan sedemikian besarnya sehingga secara sembunyi dia telah memiliki sebuah baju sisik naga yang kebal senjata.
Waktu melesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Kalau tidak diperhatikan, waktu begitu cepatnya lewat sehingga bertahun-tahun lewat bagaikan beberapa hari saja.
Pada suatu pagi yang cerah, di pekarangan depan rumah induk perkumpulan Thian-san-pang, yaitu rumah yang menjadi tempat tinggal Tiong Gi Cinjin, di mana juga tinggal Bi Li yang menumpang pada gurunya, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun sedang sibuk menyapu. Pekarangan itu terpelihara baik dan pagi itu penuh dengan daun gugur, maka merupakan pekerjaan yang lumayan membersihkannya.
Anak laki-laki itu adalah Cin Po, atau lengkapnya Song Cin Po. Ibunya memberinya marga Song, yaitu marga ibunya sendiri, karena ibunya bernama Song Bi Li. Dia seorang anak laki-laki yang termasuk jangkung dalam usianya, tubuhnya sehat dan kuat, gerak geriknya sederhana, bahkan agaknya merasa rendah diri.
Pakaiannya serba putih, dari kain kasar dan jahitannya juga bersahaja sekali. Dilihat dari pakaian dan pekerjaannya, dia lebih pantas kalau menjadi kacung di situ, bukan putera seorang tokoh besar Thian-san-pang. Anak itu sebetulnya tampan sekali. Wajahnya bundar dengan lekukan yang kuat pada pipi dan dagunya.
Sepasang alisnya tebal, sepasang matanya tajam dan mencorong seperti mata naga, hidungnya besar mancung, dan mulutnya yang pendiam itu kadang ditarik demikian keras sehingga membayangkan kejantanan dan keberanian.
Dia menyapu dengan penuh perhatian sehingga tidak ada sehelai daunpun terlewat dari sapuannya. Dan ketika menggerakkan sapu itu, maka jelaslah nampak bahwa dia telah menguasai ilmu silat dengan baiknya. Gerakan sapunya bertenaga dan juga begitu lentur, dengan langkah-langkah kaki yang tegap.
Memang, boleh jadi Bi Li kurang memperhatikan kesejahteraan anak ini, maka anak itupun kelihatan begitu sederhana, bahkan miskin. Akan tetapi ibu ini amat memperhatikan pelajaran silatnya. Sejak berusia lima tahun, Cin Po sudah digembleng oleh ibunya, bahkan juga oleh kakek gurunya, yaitu Tiong Gi Cinjin.
Ketika berusia tiga-empat tahun, sering kali dia dimandikan dengan arak dan dipukuli dengan sapu lidi sehingga tubuhnya menjadi amat kuat. Dan dalam usia sepuluh tahun, kalau hanya laki-laki dewasa biasa saja jangan harap akan mampu mengalahkannya dalam suatu perkelahian.
Bi Li memang tidak menyayang Cin Po. Setiap kali mengenang peristiwa itu sehingga terlahirnya Cin Po, makin bencilah ia kepada anak ini. Dan makin benci, semakin pula ia menggembleng anak itu agar kelak menjadi seorang yang lihai untuk membalaskan dendam hatinya. Pernah Cin Po bertanya kepada ibunya, setelah mereka beristirahat dari berlatih silat.
“Ibu, boleh aku bertanya?” Dia memang biasanya takut sekali kepada ibunya yang tidak segan-segan untuk bersikap galak kepadanya, memberi hukuman kalau sedikit saja dia melakukan kesalahan, terutama kalau lalai berlatih silat.
“Hem, tanyalah, kenapa tidak boleh?” jawab Bi Li acuh.
“Ibu, sejak dulu aku selalu memakai pakaian putih, demikian juga ibu. Aku mendengar dari orang-orang bahwa pakaian putih yang kupakai ini adalah untuk berkabung. Benarkah, ibu?”
“Benar,” jawabnya singkat.
“Ibu dulu bilang bahwa kita berkabung untuk ayah yang sudah mati. Benarkah ayah sudah mati, ibu? Siapa sih ayahku dan bagaimana dia masih muda sudah mati?”
“Ayahmu mati dibunuh orang. Dengar baik-baik, ayahmu mati dibunuh orang jahat. Karena itulah maka engkau harus selamanya memakai pakaian putih selama musuh yang membunuh ayahmu itu belum dapat kaubalas. Kalau kelak engkau sudah besar dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan berhasil membunuh musuh besar itu, barulah kita boleh memakai pakaian biasa, tidak lagi putih berkabung.”
“Ibu berilmu silat tinggi, kenapa ibu sendiri tidak pergi membunuh musuh besar itu? Juga kakek amat lihai, apakah kakek tidak mau membantu ibu untuk membunuhnya?”
“Kami berdua bukan lawannya, Cin Po. Ingat baik-baik ini. Engkau kelak harus memiliki ilmu yang lebih tinggi dari pada kami, sehingga engkau akan berhasil membunuh musuh-musuh besar kita.”
“Musuh besar kita yang membunuh ayahmu itu berjuluk Hek-siauw Siucai. Akan tetapi kalau engkau hendak membunuh dia, engkau akan harus berhadapan pula dengan saudara-saudaranya. Mereka semua ada lima orang yang dijuluki Huang-ho Ngo-liong. Musuhmu memang hanya Hek-siauw Siucai, akan tetapi mungkin engkau akan berhadapan dengan mereka berlima. Karena itu, engkau harus berlatih dengan tekun karena tanpa ilmu silat tinggi sekali, engkau tidak mungkin akan dapat membalas sakit hati ayahmu.”
Percakapan itu berkesan benar di hati Cin Po. Berulang kali nama Hek-siauw Siucai terngiang di telinganya dan nama ini tidak akan pernah dilupakannya, juga nama Huang-ho Ngo-liong. Dan cerita ibunya membuat dia semakin tekun berlatih silat. Tiong Gi Cinjin sendiri merasa bergembira sekali karena ternyata Cin Po merupakan seorang anak yang amat cerdik dan berbakat besar di dalam ilmu silat.
Selagi Cin Po asyik menyapu pekarangan, tiba-tiba dari dalam rumah berlari-larian keluar seorang anak perempuan yang mungil dan manis sekali. Usianya sebaya dengan Cin Po, akan tetapi walaupun Cin Po hanya setengah tahun lebih tua, nampak Cin Po jauh lebih tinggi. Anak itu hanya setinggi pundaknya.
“Cin Po!” anak perempuan itu memanggil dan suaranya terdengar manja sekali.
Cin Po menghentikan gerakan sapunya dan mengangkat muka memandang. Wajahnya yang tadinya pendiam itu kini menjadi cerah dan mulutnya, matanya, tersenyum gembira. “Hui Ing, sepagi ini engkau sudah bangun? Malah sudah mandi kulihat. Biasanya sepagi ini engkau masih tidur.”
“Cin Po, ambilkan setangkai bunga yang di pohon itu untukku. Untuk penghias rambutku. Ibu hendak mengajakku pergi!”
Cin Po tersenyum lalu dia memanjat pohon dan memetik dua tangkai bunga untuk gadis cilik itu. Hui Ing menerima dengan gembira lalu menancapkan setangkai di rambutnya sehingga menambah kecantikannya. “Ibu hendak mengajakmu pergi ke manakah, Hui Ing?”
“Ibu hendak mengajak aku pergi ke rumah nenek di kaki bukit.”
Cin Po mengerti siapa yang dimaksudkan, tentu yang disebut nenek oleh Hui Ing itu adalah adik dari kakek guru mereka, seorang pendeta wanita yang tinggal di kuil di bawah bukit. Dia belum pernah diajak ke sana namun dia sudah mendengar bahwa kakek gurunya mempunyai seorang adik di sana, menjadi kepala sebuah kuil, bahkan namanyapun dia sudah tahu, yaitu Liauw In Nikouw yang mengepalai kuil Ban-hok-si.
“Hui Ing...!” Bi Li muncul dari pintu memanggil Hui Ing. Puteri Suhunya ini sejak kecil ia yang merawatnya, sehingga anak itu menyebut ibu kepadanya dan merasa menjadi puterinya, sedangkan kepada ayah kandungnya sendiri ia menyebut kakek!
Hui Ing berlari mendekati ibunya. “Ibu, kenapa Cin Po tidak diajak? Ajaklah dia, ibu agar perjalanan lebih menyenangkan,” kata Hui Ing manis.
“Tidak, Cin Po mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Cin Po, ke sini kau!”
Cin Po berlari menghampiri ibunya. “Ya, ibu.”
“Kalau sudah selesai menyapu, engkau harus memikul air, penuhi semua tempat air, setelah itu carilah kayu bakar karena persediaan tinggal sedikit. Dan selebihnya waktunya pergunakan untuk berlatih jurus-jurus yang kuajarkan kemarin.”
“Baik, ibu...“
“Aku akan pergi dengan Hui Ing selama tiga hari. Setelah aku pulang engkau harus sudah dapat memainkan tiga jurus baru itu. Jangan malas, Cin Po!”
“Baik, ibu.”
Ibu dan anak itu lalu berangkat. Hanya sebentar Cin Po memandang ke arah mereka, sedikit perasaan ingin ikut ditekannya sehingga dia melupakannya dan melanjutkan pekerjaannya menyapu. Sesudah itu, dia lalu mengambil pikulan air dan mengambil air di sumber air terjun tak jauh dari puncak. Karena sudah terbiasa memikul air di jalan naik turun itu, maka dia tidak merasa berat lagi.
Setelah selesai pekerjaan itu, barulah dia membawa golok untuk pergi mencari kayu bakar dan memasuki hutan. Selagi dia memasuki sebuah hutan lebat di mana banyak terdapat kayu keringnya, tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat. Cepat dia menyusup ke balik semak belukar karena dia ingin tahu sekali siapa yang berkelebat cepat itu.
Alangkah herannya ketika dia melihat paman gurunya, Ban Koan, berdiri tak jauh dari situ. Setelah memandang ke sekeliling dan yakin bahwa di sini tidak ada orang lain, Ban Koan mengeluarkan suara siulan nyaring. Tak lama kemudian terdengar dari jauh jawaban siulan yang sama dan muncullah seorang laki-laki jangkung yang pakaian atasnya seperti sisik naga.
Orang itu bercakap-cakap dengan Ban Koan dan diam-diam Cin Po merangkak mendekat dan sembunyi di balik semak untuk mendengarkan apa yang dibicarakan. Biarpun dia belum pernah melihatnya, namun dia sudah mendengar bahwa orang yang memakai pakaian atas dari sisik naga itu adalah orang Tok-coa-pang yang menjadi musuh besar Thian-san-pang!
“Bagaimana, Ban Koan? Apakah engkau sudah siap?”
“Sudah, Coa-siauw-kwi, semua sudah siap. Bahkan kebetulan sekali sumoi pergi turun gunung untuk beberapa hari lamanya. Kinilah saatnya yang tepat untuk bergerak.”
“Bagus, kalau begitu, nanti malam kita bergerak. Siapa-siapa saja yang harus disingkirkan selain Tiong Gi Cinjin?”
“Sstt, jangan keras-keras. Mari kubisikkan nama-nama mereka yang harus dilenyapkan karena mereka itu tidak mendukung aku.” Ban Koan berbisik-bisik dan orang berpakaian sisik naga itu kelihatan terkejut.
“Wah, banyak benar. Kalau begitu bisa habis anggauta Thian-san-pang.”
“Tidak mengapa. Membasmi tikus harus sampai ke sarang dan anak-anaknya. Soal anggauta, mudah saja kan untuk menambah, berapapun yang kuinginkan. Bahkan anggauta baru akan selalu taat dan tunduk kepadaku.”
“Ha-ha-ha, engkau memang cerdik, Ban Koan. Sudah lama kuketahui ini dan para pimpinan kami juga senang bekerja sama denganmu.”
“Jangan khawatir, kalau aku sudah menjadi ketua Thian-san-pang tentu kami dapat membuat banyak demi keuntungan Tok-coa-pang.”
“Nah, sekarang aku harus membuat persiapan. Engkau juga. Sebentar malam kita bergerak.”
“Baik!” Orang yang berjuluk Coa-siauw-kwi itu lalu melompat dan lenyap dari situ.
Setelah tertawa-tawa seorang diri saking gembiranya, seperti seorang gila, Ban Koan juga pergi dari situ, meninggalkan Cin Po yang menggigil tubuhnya saking tegang hatinya mendengar semua itu. Setelah yakin benar bahwa kedua orang itu telah pergi jauh, Cin Po mengumpulkan kayu kering dan berlari pulang. Ibunya sudah pergi, maka satu-satunya orang yang dapat dilaporinya adalah kakek gurunya, Tiong Gi Cinjin.
Dia mencari orang tua itu yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya. Dia tidak berani masuk, melainkan berlutut di luar pintu kamarnya sambil berseru, “Su-kong (kakek guru), teecu hendak bicara soal penting sekali, su-kong. Mohon diperkenankan masuk!”
Sampai berulang kali dia memohon, agaknya belum terdengar juga oleh Tiong Gi Cinjin. Tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya, “Cin Po, apa yang kau lakukan di sini?”
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Cin Po ketika mengenal suara orang yang membentaknya itu. Ban Koan! Namun, dia adalah seorang anak yang tabah sekali. Wajahnya tidak menunjukkan kekagetannya dan suaranya juga tidak tergetar ketika dengan cepat dia dapat menjawab.
“Susiok (paman guru), teecu sedang dihukum oleh su-kong, disuruh berlutut di sini sampai su-kong membukakan pintu.”
“Dasar anak bodoh dan malas, pantas sudah dihukum. Untung kau tidak dihukum cambuk!” Ban Koan mengejek sambil pergi meninggalkan anak itu.
Ban Koan sepenuhnya menyadari bahwa anak yang bernama Cin Po ini sesungguhnya adalah darah dagingnya sendiri, akan tetapi dia bahkan membenci anak itu yang dianggap sebagai kunci rahasia yang busuk darinya. Sebaiknya kalau anak itu mati saja sehingga rahasianya yang busuk terhadap Bi Li dapat tertutup rapat-rapat. Terutama melihat anak laki-laki itu sedikitpun tidak mirip dia, melainkan mirip ibunya. Dia membenci anak itu!
Setelah Ban Koan pergi, Cin Po mengetuk daun pintu itu dan akhirnya terdengar suara dari dalam, suara yang besar dalam, suara Tiong Gi Cinjin. “Siapa itu?”
“Saya, su-kong. Maafkan kalau saya mengganggu su-kong, akan tetapi saya mempunyai hal yang amat penting untuk disampaikan kepada su-kong.”
Hening sejenak. Kalau ada orang yang menaruh kasihan dan rasa suka kepada anak ini, hanya orang tua itulah. Ibunya sendiri tidak suka kepadanya. Dan hanya Tiong Gi Cinjin yang merasa iba kepadanya, juga suka melihat kerajinannya, melihat ketekunannya berlatih dan melihat bakatnya yang besar. Terdengar langkah kaki dari dalam dan pintu dibuka. “Masuklah, Cin Po.”
Cin Po masuk, menutupkan lagi daun pintunya dan langsung saja dia menjatuhkan diri di depan kaki kakek itu. “Su-kong, celaka, su-kong!” katanya, kini menumpahkan semua perasaan cemas dan tegangnya yang sejak tadi ditahan-tahannya.
“Hemm, tenanglah. Ada apa, apanya yang celaka?”
“Celaka, su-kong. Ada komplotan gelap hendak membunuh su-kong dan banyak paman dari Thian-san-pang, komplotan yang hendak menguasai Thian-san-pang!”
Tiong Gi Cinjin tersenyum. “Aih, engkau mimpi, barangkali, Cin Po, Mana ada komplotan yang demikian nekat hendak menguasai Thian-san-pang dan membunuhku?”
“Benar, su-kong, saya tidak berbohong. Tadi, ketika saya sedang mengumpulkan kayu kering di dalam hutan, saya melihat seorang paman guru mengadakan pertemuan dengan orang berbaju sisik naga, dan mereka bercakap-cakap mempersiapkan diri untuk malam ini mengadakan gerakan. Mereka akan membunuh su-kong, membunuh banyak paman guru di sini, kemudian paman guru itu yang akan menjadi ketua Thian-san-pang. Saya bersumpah tidak akan berbohong, su-kong!”
Tiong Gi Cinjin mengerutkan alisnya. “Hemm, siapa paman guru yang hendak berkhianat itu?”
“Dia adalah paman guru Ban Koan, su-kong.”
Kakek itu terbelalak dan mengerutkan alisnya. “Ban Koan? Ah, tidak mungkin dia berani. Cin Po, urusan ini bukan main-main, engkau tidak boleh berbohong, akibatnya akan hebat.”
“Saya bersumpah tidak berbohong dan malam ini mereka akan bergerak!”
Tanpa diketahui oleh kakek dan anak itu, di luar kamar itu berkelebat bayangan yang pergi dari situ. Bayangan itu adalah Ban Koan yang cepat seperti terbang mencari komplotannya dan di dalam hutan itu dia bertemu lagi dengan Coa-siauw-kwi.
“Wah, gawat! Rahasia kita sudah terbongkar oleh setan cilik itu!” kata Ban Koan. “Kita harus mengubah siasat!”
Coa-siauw-kwi mengerutkan alisnya, “Hemm, agaknya ketika kita bicara, ada, bocah setan yang ikut mendengarkan. Apakah Tiong Gi Cinjin percaya akan omongannya?”
“Mungkin juga tidak. Akan tetapi tentu saja mereka akan siap siaga menjaga segala kemungkinan.”
“Ha-ha, biarkanlah, Ban Koan. Kalau malam ini tidak terjadi sesuatu tentu anak itu dianggap berbohong dan mengkhayal, dan tentu Tiong Gi Cinjin tidak akan mengadakan persiapan apapun pada keesokan harinya. Maka, gerakan itu kita undurkan sampai besok malam. Biar mereka lengah dulu dan menganggap anak itu hanya membual.”
“Baik, sekarang begitu yang paling baik,” kata Ban Koan yang segera kembali ke Thian-san-pang agar tidak mencurigakan. Dia bersikap biasa, mewakili Bi Li yang sedang pergi untuk melatih ilmu silat kepada para murid Thian-san-pang.
Dia tahu bahwa dirinya diamati oleh Suhunya, akan tetapi dia pura-pura bodoh dan tidak tahu apa-apa sehingga Tiong Gi Cinjin menjadi semakin ragu akan kebenaran laporan Cin Po. Malam itu Tiong Gi Cinjin bersiap-siap untuk berjaga diri. Bahkan kepada semua murid diperintahkan untuk melakukan penjagaan ketat. Akan tetapi semua usaha itu sia-sia belaka. Tidak terjadi sesuatu di malam hari itu!
Pada keesokan harinya Tiong Gi Cinjin memanggil Cin Po dan memarahi anak itu. “Nah, apa yang telah kau perbuat! Engkau membuat kami semalaman tidak tidur. Semua ini gara-gara cerita khayalmu yang tidak ada kenyataannya.”
Banyak ucapan Tiong Gi Cinjin yang pada dasarnya memarahi anak itu yang dianggap berbohong dan berkhayal yang bukan-bukan. Cin Po merasa bersedih sekali dan ketika dia mendapat kesempatan mencari kayu bakar, kembali dia pergi ke hutan di mana dia melihat Ban Koan mengadakan pertemuan dengan Coa-siauw-kwi.
Dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika kembali dia melihat adegan yang sama, yaitu Ban Koan mengadakan pertemuan dengan tokoh Tok-coa-pang itu! Kembali dia mengintai, akan tetapi dia tidak tahu bahwa sekali ini, kedua orang itu bukan sekedar melakukan pertemuan melainkan memancing dia agar mendekat untuk mendengarkan percakapan mereka.
Dan sekali ini, karena memang sudah menduga sebelumnya, mereka dapat mendengar gerakan Cin Po yang mendekati tempat mereka, bersembunyi di balik semak belukar.
Tiba-tiba Ban Koan tertawa bergelak dan sekali melompat dia sudah berada di belakang Cin Po dan sekali dia menggerakkan tangan dia sudah menjambak rambut anak itu dan diangkatnya ke atas!
“Ha-ha-ha, kiranya engkau setan kecil masih tidak juga jera, berani mengintai kami dan melapor kepada Tiong Gi Cinjin!” kata Ban Koan yang membawa anak itu ke depan Coa-ciauw-kwi yang juga tertawa-tawa.
Cin Po tidak kehilangan keberaniannya. “Ban-susiok, aku memperingatkanmu agar jangan mengkhianati Thian-san-pang! Apakah engkau sebagai seorang gagah tidak merasa malu untuk melakukan sekongkol dengan orang luar dan hendak menghancurkan Thian-san-pang! Ingatlah, susiok, sebelum terlambat!”
“Ha-ha-ha, engkaulah yang terlambat bocah setan!” kata Coa-siauw-kwi sambil tertawa.
Pada saat itu Ban Koan melepaskan jambakan pada rambut Cin Po dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cin Po untuk menyerang orang Tok-coa-pang itu dengan golok kecil yang biasa dia pakai memotong kayu. Dan anak ini memang cerdik. Dia sudah mendengar bahwa orang Tok-coa-pang memakai baju yang kebal terhadap senjata tajam.
Maka ketika menubruk maju dia menerjang dan menyerang paha orang itu. Coa-siauw-kwi adalah seorang yang lihai, akan tetapi dia lengah dan memandang rendah anak kecil itu sehingga tahu-tahu golok kecil yang tajam itu sudah melukai pahanya!
“Anak setan!” bentaknya dan tangannya yang mengandung racun itu sudah menghantam ke arah dada Cin Po.
“Bukk...!!” Tubuh Cin Po terpental dan terguling-guling.
Ban Koan melompat dekat anak itu yang mukanya sudah menjadi kehitaman karena pukulan tadi mengandung racun yang amat ampuh. Akan tetapi sungguh luar biasa sekali dan di luar dari prikemanusiaan, Ban Koan yang mengetahui benar bahwa anak itu adalah anak kandungnya, tidak merasa kasihan sama sekali.
Dia menganggap anak itu berbahaya bagi siasatnya, karena itu harus dibunuh. Melihat bahwa anak itu telah tak berdaya dan rebah di dekat jurang amat dalam, diapun segera menggerakkan kakinya menendang.
“Mampuslah, anak setan!” Dan tubuh Cin Po terlempar jatuh ke dalam jurang yang amat dalam itu. Dari atas jurang, melihat tubuh anak itu terguling-guling ke bawah, Ban Koan tertawa bergelak-gelak dengan hati senang.
“Kenapa tidak dibunuh di sini saja?” tanya Coa-siauw-kwi. “Bagaimana kalau dia masih hidup di bawah jurang sana?”
“Ha-ha-ha, tidak mungkin. Tendanganku tadi kulakukan dengan keras, tentu semua tulang iganya sudah rontok!”
“Aku tidak khawatir karena pukulanku tadi juga mengandung racun yang mematikan. Mari kita pergi, jangan sampai ada orang lain lagi mengetahuinya. Ingat, malam nanti kita laksanakan siasat yang kita rencanakan.”
“Jangan khawatir, Coa-siauw-kwi. Beres!” Mereka berpisah.
Manusia kalau sudah diperbudak oleh hawa nafsu, dapat menjadi jahat melebihi binatang buas apapun. Binatang membunuh karena memang dia harus membunuh untuk penyambung hidupnya, membunuh untuk memperoleh makanan dari yang dibunuhnya. Andai kata harimau tidak membunuh, dia akan mati karena harimau tidak dapat makan sayuran.
Demikian pula ikan-ikan besar yang memakan ikan-ikan kecil. Memang sudah demikian hukum alam yang berkuasa atas dirinya. Akan tetapi manusia lain lagi. Manusia yang sudah diperbudak oleh nafsu, dapat saja membunuh bukan karena kepentingan mutlak, melainkan karena nafsu angkara murkanya.
Membunuh karena benci, membunuh karena ingin memiliki sesuatu, membunuh karena saling berebutan, kemudian saling bunuh antara ratusan ribu manusia hanya untuk mencari kemenangan dalam perang!
Malam yang dingin dan gelap. Perkampungan Thian-san-pang sudah sepi, sebagian besar murid Thian-san-pang sudah memasuki kamar mereka. Lenyapnya Cin Po tidak begitu menarik perhatian orang karena bukan saja Tiong Gi Cinjin yang marah kepada anak itu juga para murid Thian-san-pang merasa mendongkol, merasa dipermainkan oleh anak itu. Maka biarpun sejak sore Cin Po tidak nampak, mereka mengambil sikap tidak peduli...