Pendekar Baju Putih Jilid 03

Cerita silat Mandarin Pendekar Baju Putih Jilid 03 karya Kho Ping Hoo

Pendekar Baju Putih Jilid 03 karya Kho Ping Hoo - “Sekarang kita pergi,” kata kakek itu sambil mengusap mulutnya yang berlepotan minyak.

Novel Silat Mandarin Pendekar Baju Putih karya Kho Ping Hoo

Akan tetapi Cin Po masih belum puas. Dia menghadapi Ban Koan yang berdiri terbungkuk kesakitan dan mengancam. “Ban Koan, agaknya sudah tercapai niat jahatmu dan engkau kini menjadi ketua Thian-san-pang. Jadilah ketua yang baik, kalau tidak, kelak aku akan datang lagi untuk mengambil nyawamu!” Setelah berkata demikian barulah puas hatinya dan dia mengikuti gurunya yang sudah lebih dulu meninggalkan tempat itu.

“Engkau salah,” kata gurunya di tengah perjalanan.

“Salah bagaimana, Suhu?”

“Seharusnya tikus itu kau bunuh!”

“Teecu tidak berani membunuh orang, suhu. Dan siapa tahu dia akan mengubah wataknya dan menjadi orang baik-baik yang memimpin Thian-san-pang ke arah jalan yang baik.”

“Uuuh, percuma saja. Orang sesat tidak akan menjadi baik oleh ancaman. Kebaikan harus datang dari hati nurani sendiri, kalau tidak, maka kebaikan yang datang karena nasehat atau ancaman, tidak akan bertahan lama. Kemana kita sekarang? Apakah engkau masih mempunyai keperluan lain? Kalau tidak, kita langsung pulang ke tempat tinggalku.”

“Nanti dulu, Suhu. Kalau boleh, teecu ingin sekali berpamit kepda ibuku.”

“Ibumu? Hemm, engkau masih mempunyai ibu? Di mana ia sekarang?”

“Teecu kira ia berada di kuil Ban-hok-si di kaki bukit sana, di kuil yang diketuai nenek Liauw In Nikouw.”

“Dan ayahmu?”

“Ayahku telah meninggal dunia, terbunuh, orang jahat.”

“Hemm, jadi untuk ayahmu itu, engkau berkabung, mengenakan pakaian putih?”

“Benar, Suhu. Ibu berpesan agar teecu selalu mengenakan pakaian putih, berkabung, untuk ayah dan teecu baru boleh mengenakan pakaian berwarna apabila teecu sudah berhasil membalas dendam atas kematian ayah.”

“Wah, ibumu agaknya seorang yang berhati keras. Nah, mari kita ke sana!”

Kembali Cin Po menjadi petunjuk jalan, menuruni gunung dan menuju ke dusun di mana berdiri Ban-hok-si, kuil yang diketuai oleh Liauw In Nikouw itu. Ketika akhirnya Bi Li berhadapan dengan Cin Po, ibu itu menegur puteranya,

“Cin Po, engkau ke mana saja? Kemarin ketika aku berkunjung ke Thian-san-pang, engkau tidak berada di sana? Dan siapa pula kakek ini?”

“Ibu, agak panjang ceritanya, dan kakek ini adalah guruku, bernama Pat-jiu Pak-sian.”

Bi Li mengerutkan alisnya. Ia hendak menggembleng puteranya agar kelak dapat membalaskan dendam sakit hatinya. Ia tidak suka kalau ada orang lain menjadi gurunya, apa lagi kalau ia belum yakin benar akan kepandaian orang itu. Akan tetapi ia adalah seorang pendekar wanita yang mengenal sopan santun, maka cepat ia memberi hormat kepada Pat-jiu Pak-sian.

“Terima kasih bahwa locianpwee sudi menerima puteraku menjadi murid. Akan tetapi sebagai ibunya, aku berhak untuk menguji kepandaian orang yang akan menjadi guru puteraku. Maukah locianpwe kuuji dalam adu silat?”

“Ha-ha-ha, benar dugaanku, engkau seorang yang keras hati. Aku paling pantang untuk berkelahi dengan wanita, akan tetapi kalau hanya menguji ilmu saja, bolehlah. Nah, engkau boleh menyerangku, kalau dalam sepuluh jurus engkau mampu menyerangku, berarti aku kalah!”

Bi Li terkejut bukan main. Tingkat kepandaiannya sudah tinggi, dan di Thian-san-pang, selain mendiang gurunya, tidak ada yang dapat menandinginya. Tetapi kakek ini dengan sombongnya memberi waktu hanya sepuluh jurus kepadanya. Benarkah dalam sepuluh jurus ia akan kalah? Sungguh tidak masuk diakal.

“Sepuluh jurus, locianpwe? Baiklah, aku akan menggunakan pedang menyerangmu selama sepuluh jurus! Nah, bersiaplah, locianpwe!” Ia menghunus pedangnya dan kakek itu hanya tersenyum sambil berdiri biasa saja.

“Setiap saat aku sudah bersiap, nyonya muda.”

“Lihat pedang!!” Bi Li membentak dan ia sudah menyerang dengan tusukan pedangnya, menggunakan jurus Pek-hong-koan-jit (Bianglala Putih Tutup Matahari), pedangnya membuat gulungan sinar seperti pelangi melengkung.

Namun tusukan yang mengarah tenggorokan kakek itu, diterima oleh Pat-jiu Pak-sian dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Tahu-tahu ujung pedang itu telah terjepit dua buah jari itu dan sekali sentakan ke belakang pedang itu tidak dapat dipertahankan tangan Bi Li dan sudah berpindah tangan!

Bi Li terbelalak, akan tetapi kakek itu melemparkan pedang ke arah Bi Li. “Engkau boleh menyerang lagi, akan tetapi harus lebih hati-hati, jangan memandang rendah kepadaku seperti tadi!” katanya.

Maklumlah Bi Li bahwa kakek ini lihai bukan main. Diam-diam ia merasa girang kalau Cin Po dapat menjadi murid orang sakti ini, akan tetapi iapun masih penasaran dan kini ia menyerang dengan lebih dahsyat, menggunakan jurus Hun-in-toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung), sabetan yang amat kuat menuju ke arah leher.

Kakek itu kini menggerakkan tangannya dan lengan bajunya menangkis pedang, lalu langsung melibat pedang dan untuk kedua kalinya pedang itu terlepas dari tangan Bi Li.b“Terimalah pedangmu!” kata kakek itu dan melontarkan pedang dengan ujung lengan bajunya.

Ketika menerima pedang yang menyambar ke arahnya, Bi Li berhasil menangkapnya akan tetapi ia terhuyung ke belakang. Maklumlah ia kini bahwa ia sama sekali bukan tandingan kakek itu dan iapun memberi hormat sampai dalam sekali.

“Maafkan saya yang tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata. Ilmu kepandaian locianpwe hebat sekali dan saya merasa ikut bangga dan bahagia kalau locianpwe sudi menerima puteraku Cin Po sebagai murid. Cin Po, hayo mintakan maaf untukku kepada gurumu!”

Cin Po lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan gurunya dan berkata, “Suhu, harap maafkan kelancangan ibu yang hendak menguji kepandaian suhu.”

“Ha-ha, tidak apa, dan sekarang engkau boleh berbincang-bincang dengan ibumu. Aku menanti di luar. Berada di dalam kuil membuat aku merasa berdosa sekali.” Sekali berkelebat kakek itu sudah lenyap dari situ dan Bi Li merasa benar-benar tunduk kepada kakek yang sakti itu.

“Cin Po, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi denganmu, mengapa engkau tidak nampak ketika Thian-san-pang diserbu musuh dan bagaimana pula engkau dapat bertemu dengan gurumu itu.”

“Ceritanya dimulai dua hari sebelum serangan itu, ibu. Pada siang hari itu tanpa disengaja aku melihat pertemuan antara susiok Ban Koan dan seorang anggauta Tok-coa-pang. Mereka membicarakan rencana mereka untuk menyerbu Thian-san-pang.”

“Ahh, Ban Koan…? Sudah kuduga dia manusia yang jahat sekali!” seru Bi Li dengan gemas.

Pada saat itu Liauw In Nikouw masuk dan bertanya.“Siapa yang jahat, Bi Li? Dan ini Cin Po sudah datang!” Bersama nenek ini muncul pula Hui Ing yang segera mendekati Cin Po.

“Lama sekali engkau baru datang. Ke mana saja, Cin Po?” tanya Hui Ing, seperti biasa bersikap manja kalau berhadapan dengan Cin Po yang dianggap kakaknya sendiri.

“Bibi, dan Hui Ing. duduklah dan dengarkan cerita Cin Po. Baru saja dia menceritakan pengalamannya yang amat aneh. Cin Po, ulangi kembali ceritamu tadi agar nenek dan Hui Ing ikut mendengarkan.”

“Dua hari sebelum terjadi serangan di Thian-san-pang, aku melihat pertemuan rahasia antara susiok Ban Koan dan seorang anggauta Tok-coa-pang. Mereka merencanakan penyerbuan ke Thian-san-pang pada malam hari itu. Mendengar ini, tanpa mereka ketahui, aku lalu meninggalkan mereka dan aku bercerita kepada su-kong tentang hal itu.

“Su-kong merasa ragu dan kurang percaya kepadaku. Akan tetapi tetap saja Su-kong dan semua saudara melakukan persiapan dan penjagaan malam itu untuk melawan kalau Thian-san-pang diserbu musuh. Akan tetapi, ternyata tidak terjadi apa-apa. Agaknya Ban Koan sudah mengetahui bahwa rahasianya bocor maka dia menunda penyerangannya. Karena tidak terjadi seperti yang saya laporkan, Su-kong marah-marah kepadaku.”

Tiga orang itu mendengarkan dengan heran dan Bi Li merasa betapa sejak dulu anak ini seringkali mendapatkan marah, baik dari ia sendiri atau dari orang lain. Agaknya tidak ada yang suka kepada anak ini, kecuali mendiang Suhunya. Ia sendiri mengusahakan agar anak ini kelak berhadapan sebagai musuh dengan ayah kandungnya, untuk membunuh atau dibunuh! Itulah pembalasan dendamnya.

“Lalu bagaimana?” ia mendesak.

“Setelah mendapatkan marah dari su-kong, aku lalu pergi mencari kayu bakar dan datang ke hutan yang kemarin. Dan benar saja, kembali aku melihat Ban Koan mengadakan pertemuan dengan seorang anggauta Tok-coa-pang. Akan tetapi kehadiran mereka di situ agaknya untuk memancingku. Mereka mengetahui tempat persembunyianku dan mereka lalu memukuli aku dan menendang aku jatuh ke dalam jurang yang sangat curam!”

“Ihhh, jahat sekali mereka! Kasihan engkau, Cin Po!” kata Hui Ing dan agaknya kalau ada orang yang merasa sayang kepada Cin Po, satu-satunya orang adalah gadis cilik ini. Hal ini adalah karena Cin Po juga sayang kepadanya dan selalu menuruti permintaannya.

“Ketika aku terjatuh dalam keadaan tiga perempat mati, muncullah Suhu Pat-jiu Pak-sian…”

“Pat-jiu Pak-sian?” Tiba-tiba Liauw In Nikouw berseru, “Omitohud, dia itu bukankah datuk dari Utara yang namanya disohorkan orang sejak puluhan tahun yang lalu?”

“Bibi, aku belum pernah mendengar nama julukan itu!”

“Mungkin saja karena selama beberapa tahun ini namanya tidak lagi muncul di dunia kang-ouw. Akan tetapi puluhan tahun yang lalu, dia pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Biarpun aku tidak mempelajari ilmu silat, karena sahabatku banyak dari kalangan kang-ouw, maka aku mendengar pula namanya.”

“Pantas dia lihai bukan main!” kata Bi Li. “Lalu bagaimana, Cin Po?”

“Pat-jiu Pak-sian yang kemudian menerimaku sebagai murid itu lalu mengobatiku sampai sembuh. Aku disuruh bersamadhi melatih napas selama tiga hari tiga malam dan aku ternyata sembuh kembali. Kemudian aku mengajaknya ke Thian-san-pang untuk menengok keadaan di sana. Dan tadi… ketika kami ke Thian-san-pang, aku melihat kuburan-kuburan itu....”

Cin Po menghentikan suaranya yang gemetar dan dia mulai menangis, demikian pula Hui Ing karena semua orang teringat akan malapetaka yang menimpa Thian-san-pang dan mengakibatkan tewasnya Tiong Gi Cinjin pula.

“Omitohud, hentikan tangis-tangis itu, tidak ada gunanya ditangisi mereka yang sudah meninggal dunia,” kata Liauw In Nikouw.

“Teruskan ceritamu, Cin Po,” kata Bi Li menghentikan tangisnya.

“Melihat aku, Ban Koan hendak memukulku. Akan tetapi suhu membela dan aku bahkan oleh Suhu disuruh memukuli Ban Koan yang entah mengapa tidak bisa melawan sama sekali. Akhirnya suhu menggunakan tanganku memukul patah-patah tulang iga Ban Koan sebagai pembalasan ketika dia mematahkan tulang-tulang igaku dengan tendangannya. Dan para anak buah Thian-san-pang hendak membela Ban Koan, akan tetapi mereka semua dihajar oleh suhu.”

Hui Ing bertepuk tangan. “Bagus sekali, kenapa engkau tidak mengajak aku, Cin Po?”

“Lalu bagaimana, Cin Po!” tanya ibunya.

“Aku lalu mengancam kepada Ban Koan bahwa kalau dia membawa Thian-san-pang menyeleweng, kelak aku akan membunuhnya.”

“Bagus, apa yang kau lakukan itu sudah tepat sekali, anakku,” kata Bi Li, pada hal jarang ia menggunakan sebutan anakku seperti itu.

Tiba-tiba terdengar suara lirih namun jelas sekali seolah yang memanggil itu berada di dekat mereka, “Cin Po, hayo kita berangkat!”

Mendengar ini, Cin Po lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ibunya dan neneknya. “Nenek, ibu, aku mohon pamit, hendak ikut dengan suhu.”

“Baiklah, Cin Po. Belajarlah engkau baik-baik dan jangan engkau lupakan pesanku dahulu tentang musuh-musuh kita.”

“Jangan khawatir, ibu. Sampai mati aku tidak akan melupakannya.”

Cin Po bangkit dan tiba-tiba Hui Ing memeluknya. “Cin Po, aku ikut! Aku juga mau belajar kepada gurumu itu!”

“Hussh, Hui Ing, engkau belajar di sini saja bersama ibu,” kata Bi Li.

“Benar, Hui Ing, suhuku tidak mau menerima murid lain. Kelak kalau aku sudah pandai, aku akan mengajarimu!” kata Cin Po.

Hui Ing hendak merengek akan tetapi dibentak ibunya dan iapun bersungut-sungut dan matanya menjadi basah. Sekali lagi Cin Po memandang kepada mereka bertiga, lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Ternyata gurunya telah menanti di tepi jalan dan mereka lalu pergi meninggalkan dusun itu.


Pada waktu itu Kerajaan Zaman Lima Wangsa (907-960) berakhir. Pada tahun 960 itu, seorang panglima dari Wangsa Ke Lima yang bernama Cao Kuang Yin, memimpin pasukannya yang besar jumlahnya menundukkan penguasa-penguasa lainnya dan diapun diangkat menjadi Kaisar oleh para pengikutnya.

Dia mendirikan wangsa Sung dan kemudian terkenal dengan julukan Sung Thai Cu, kaisar pertama dari wangsa atau dinasti Sung. Sung Thai Cu (960-976) mempersatukan semua daerah yang tadinya terpecah belah. Dia menundukkan semua daerah itu dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung. Pusat kerajaan berada di tangan Kaisar dan pusat pemerintahan berada di kota raja.

Sung Thai Cu tidak membagi-bagikan propinsi kepada para jenderalnya, melainkan mengangkat mereka sebagai pegawal tinggi. Tidak ada jenderal yang diberi kekuasaan atas pasukan yang besar sehingga tidak ada kemungkinan untuk berontak. Akan tetapi, bagaimanapun juga, kerajaan Sung tidaklah sebesar kerajaan Tang dalam memulihkan wilayah di seluruh Cina.

Pada waktu itu daerah Timur Laut termasuk Mancuria selatan dan Ho-peh, berada dalam kekuasaan bangsa Khi-tan. Di barat, daerah San-si terdapat kerajaan Hou-han. Di sebelah Tenggara sepanjang pantai terdapat kerajaan Wu-yeh, dan di selatan, yaitu di Yunan terdapat kerajaan Nan-cao.

Bukan saja kerajaan Sung tidak dapat menundukkan ke empat kerajaan yang mengepungnya itu, bahkan ke empat kerajaan itu selalu berusaha untuk menjatuhkan kerajaan Sung dan mereka tidak mau mengakui kekuasaan dan kedaulatannya. Maka, sejak Kerajaan Sung berdiri, tiada henti-hentinya terjadi perang dengan empat kerajaan itu.

Di antara empat kerajaan yang selalu merongrong kerajaan Sung itu, yang terkuat adalah Kerajaan Khi-tan di utara dan timur laut. Bangsa Khi-tan memang merupakan bangsa nomad yang pandai berperang dan tahan uji. Mereka seringkali memindah-mindahkan perbentengan mereka sehingga sukarlah bagi pasukan Sung untuk menggempur mereka. Mereka pandai melakukan perang gerilya.

Pada suatu pagi, di perbatasan antara kerajaan Sung dan wilayah Khi-tan, nampak Pat-jiu Pak-sian dan Cin Po. Memang datuk utara itu tinggal di Bukit Merak, terletak di wilayah Tai-goan di Propinsi Ho-peh. Selagi mereka berjalan memasuki wilayah Ho-peh melewati perbatasan.

Tiba-tiba dari sebuah tikungan muncul belasan orang penunggang kuda. Mereka adalah para perajurit Khi-tan yang sedang mengadakan patroli dan melihat seorang kakek dan seorang bocah berjalan di tempat sunyi itu, mereka menjadi curiga dan cepat menghampiri.

“Hei, kakek. Siapa engkau dan mau apa memasuki wilayah kami?”

“Engkau mata-mata Sung, ya?”

“Tangkap mereka!”

Kakek itu terkekeh melihat tingkah para perajurit itu. “Aku adalah orang sini. tinggal di bukit Merak. Kalian mau apa sih?”

“Kami tidak percaya!” teriak pemimpin perajurit Khi-tan itu. “Geledah bawaan mereka!”

Dua orang perajurit meloncat turun dari kuda mereka dan dengan sikap kasar hendak menggeledah pakaian Pat-jiu Pak-sian dan Cin Po. Akan tetapi kakek itu mengibaskan tangannya dan dua orang itu terpelanting jatuh.

“Jangan kalian berbuat kurang ajar terhadap aku orang tua!” Bentak Pat-jiu Pak-sian. “Kalian belum tahu siapa aku?”

“Engkau tentu mata-mata Sung, buktinya berani memukul dua orang anggauta kami!” kata pemimpin itu dan diapun sudah mencabut goloknya dan bersama semua anak buahnya lalu menerjang dengan senjata golok sambil berlompatan turun dari atas kudanya.

Cin Po tidak tinggal diam, biarpun dia masih kanak-kanak berusia sepuluh tahun, akan tetapi ketika ada yang membacokkan golok ke arahnya, dia dapat mengelak dan meloncat ke depan mengirim tendangan dengan kakinya yang mengenai bawah pusar orang itu sehingga dia berjingkrak kesakitan. Akan tetapi yang hebat adalah gerakan kakek itu, dengan kibasan ujung lengan bajunya saja dia membuat semua orang bergulingan.

“Pasukan yang buta matanya!” Kakek itu berseru. “Kalau kalian tidak mengenal aku, tentu mengenal ini!” Dia mengeluarkan sehelai bendera dari saku bajunya dan melambaikan bendera itu.

Ketika melihat bahwa bendera itu adalah sebuah leng-ki bendera kekuasaan dari raja, serta merta mereka yang sudah bangkit kembali lalu menjatuhkan diri berlutut. “Harap paduka memaafkan kami yang seperti buta tidak mengenal paduka!” kata pemimpin pasukan tadi.

“Hemm, bangkit dan pergilah. Sampaikan saja hormatku kepada Sribaginda, katakan bahwa yang memberi hormat adalah Pat-jiu Pak-sian dari Bukit Merak.”

Mendengar disebutnya nama ini, semua orang menjadi semakin ketakutan. Masih untung mereka tidak dibunuh, padahal mereka mendengar bahwa datuk ini biasanya suka sekali membunuh orang. Datuk ini memang merupakan orang kepercayaan kaisar dan seringkali kalau kaisar membutuhkan bantuannya, dia dipersilakan datang ke istana. Akan tetapi datuk ini tidak mau memegang jabatan dan tidak suka pula tinggal di istana memilih di Bukit Merak yang sunyi.

Pat-jiu Pak-sian tidak memperdulikan lagi mereka itu. Dia memegang tangan muridnya dan dibawanya murid itu berlari cepat seperti terbang menuju ke Bukit Merak. Dia harus cepat pulang untuk mengobati puteranya dengan daun yang sudah dipetiknya jauh-jauh dari Thian-san.

Rumah di Bukit Merak yang terpencil itu nampak sunyi. Hal ini agaknya merupakan pertanda buruk bagi Pat-jiu Pak-sian. Cepat dia melompat ke dalam melalui pintu depan yang terbuka dan begitu dia masuk terdengarlah jerit tangis orang di dalam rumah itu.

Cin Po ikut masuk dan ia berdiri tertegun. Di ruangan tengah terdapat sebuah peti mati dan sedikitnya limabelas orang berada di situ, ada yang menangis dan ada yang hanya berdiri dengan muka pucat memandang kepada Pat-jiu Pak-sian yang berdiri sebagai sebuah patung di depan peti mati.

Wajahnya nampak menyeramkan dan pucat sekali, matanya terbelalak. Semua orang yang berada di situ berlutut dan tidak ada yang berani bergerak, hanya ada yang menangis terisak-isak bukan hanya karena duka melainkan terutama sekali karena takut.

Melihat ini, Cin Po teringat akan sikap suhunya ketika dia menangis di depan kuburan Su-kongnya. Maka, takut kalau Suhunya marah mendengar orang menangis, dia pun berseru, “Kalian menangis untuk apa? Mengapa mesti menangisi orang mati? Tidak ada gunanya lagi. Hayo kalian diam dan jangan menangis!”

Suasana yang tadi sunyi itu membuat suara Cin Po terdengar lantang sekali dan semua orang memandang heran, akan tetapi mereka yang menangis segera menghentikan tangisnya. Pat-jiu Pak-sian agaknya baru sadar bahwa sejak tadi dia hanya berdiri seperti patung. “Dia benar, tidak perlu ditangisi lagi! Kapan dia meninggal?”

“Baru kemarin, locianpwe,” jawab seorang diantara mereka. Mereka itu adalah para pembantu Pat-jiu Pak-sian yang ditugaskan menjaga puteranya selagi dia pergi mencari daun obat.

Mendengar bahwa kematian itu baru kemarin, kakek itu lalu membuka tutup peti mati dan dia memanggil Cin Po mendekat. “Lihat, lihat baik-baik wajah Hok Jin anakku ini. Pantas menjadi saudaramu, bukan?”

Cin Po mendekat dan dia melihat sebentuk wajah yang tampan akan tetapi pucat bukan main. Dia hanya mengangguk, tidak membantah atau membenarkan karena dia sendiri tidak hafal akan keadaan wajahnya sehingga dia tidak tahu apakah wajah itu mirip wajahnya sendiri ataukah tidak.

Pat-jiu Pak-sian menutupkan kembali peti mati itu lalu diapun melakukan sembahyang di depan meja sembahyang. “Hok Jin, mengasolah engkau dengan tenang, nak.” Demikian katanya dalam sembahyang itu.

Cin Po juga ikut sembahyang seperti orang lain. Pemakaman dilakukan hari itu juga, di belakang rumah besar itu. Ternyata rumah kakek itu cukup mewah. Hal ini adalah karena kaisar kerajaan Khi-tan memberi banyak hadiah kepada kakek ini yang banyak sudah jasanya untuk pemerintah Khi-tan.

Sesudah itu, Pat-jiu Pak-sian menyuruh pulang semua pembantunya. Setelah ada Cin Po dia tidak membutuhkan pembantu lagi. “Mulai sekarang, engkau harus menjadi pengganti anakku, juga pengganti pembantuku dan menjadi muridku sekaligus.”

“Baik, Suhu. Sudah teecu katakan bahwa teecu akan melakukan apa saja yang Suhu perintahkan,” kata anak itu dengan sikap bersungguh-sungguh.

Demikianlah, sejak hari itu, Cin Po menjadi murid Pat-jiu Pak-sian dan tinggal di rumah besar itu. Dia bekerja dengan rajin sekali, mengerjakan semua kebutuhan gurunya. Dan diapun mulai dilatih ilmu silat tinggi oleh kakek itu, terutama sekali latihan untuk menghimpun tenaga sin-kang tingkat tinggi.

Oleh karena Cin Po memang sudah memiliki dasar-dasar yang baik berkat gemblengan ibunya dan kakek gurunya dan memiliki bakat yang luar biasa, tulang kuat dan baik, maka dia dapat menyerap semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan mudah.

Melihat betapa bakat yang ada pada muridnya ini jauh melebihi bakat yang terdapat pada mendiang puteranya, hati Pat-jiu Pak-sian segera terobati setelah kematian puteranya. Apa lagi Cin Po anaknya penurut dan taat sekali sehingga dia merasa semakin sayang kepadanya.


Sang waktu melesat lewat melebihi anak panah cepatnya. Kalau orang tidak memperhatikan, maka waktu melesat dengan amat cepatnya sehingga tanpa terasa lagi hari-hari, bulan-bulan, bahkan tahun demi tahun terlewat begitu saja tanpa dirasakan lagi.

Namun, apabila kita memperhatikan jalannya waktu, misalnya kita sedang menanti datangnya seseorang yang kita harap-harapkan, satu jam rasanya seperti sehari, sehari seperti sebulan dan sebulan seperti setahun!

Kalau kita teringat masa lalu, betapa cepatnya semua peristiwa itu terjadi, peristiwa puluhan tahun seolah hari kemarin saja terjadi. Tanpa merasa orang- pun makin hari makin menjadi tua dimakan usia, seperti perjalanan matahari, tanpa terasa. Dari pagi tahu-tahu sudah senja hari dan sebentar lagi tenggelam.

Maka, setiap orang perlu meneliti, dalam kurun waktu hidup yang tidak lama ini, apa saja yang sudah dilakukan demi diri sendiri, demi keluarga, demi orang lain, demi bangsa dan negara dan dunia? Ataukah kita hidup hanya untuk sekedar hidup lalu mati, tiada bedanya dengan semua mahluk lain?

Lalu apa artinya manusia dianggap sebagai mahluk tertinggi martabat dan harga dirinya kalau selama hidupnya sama sekali tidak ada manfaatnya bagi kemanusiaan dan dunia, kalau hidupnya hanya menunggu mati saja, sementara itu bahkan menyebar benih-benih kejahatan belaka?

Waktu terbang lalu dengan cepatnya dan empat-lima tahun telah lewat sejak Cin Po tinggal bersama Pat-jiu Pak-sian di rumah kakek itu. Siang malam dia digembleng oleh kakek itu yang amat menyayanginya karena Cin Po dianggap sebagai pengganti puteranya yang telah meninggal dunia.

Dalam waktu lima tahun itu, Cin Po menerima pelajaran ilmu silat, menghimpun tenaga sakti, dan sebagian besar ilmu Pat-jiu Pak-sian telah diresapinya sehingga dalam usianya yang baru limabelas tahun, masih perjaka remaja, Cin Po telah menjadi seorang ahli silat yang pandai bukan main.

Pat-jiu Pak-sian yang amat menyayang muridnya yang dianggap sebagai pengganti puteranya ini telah mengajarkan ilmu pedang Hwi-sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Api), dan Pat-jiu Sin-kun (Silat Sakti Tangan Delapan). Juga pemuda ini telah diajar menghimpun tenaga sin-kang sehingga dia memiliki tenaga yang kuat sekali, dan gerakan lincah karena gin-kangnya juga sudah mencapai tingkat tinggi. Pendeknya, sukar dicari seorang pemuda limabelas tahun yang sehebat itu kepandaiannya.

Dan kini, dalam usia limabelas tahun Cin Po sudah kelihatan dewasa, bukan saja dalam sikap dan pembawaan, juga tubuhnya sudah seperti seorang dewasa. Tinggi tegap, dengan wajah yang sangat gagah. Namun, sampai usia limabelas tahun dia masih setia kepada pesan ibunya, selalu mengenakan pakaian putih sehingga dia kelihatan sederhana sekali.

Biarpun gurunya seorang yang dapat disebut tidak kekurangan sesuatu, dan kalau dia menghendaki dia dapat minta dibelikan kain yang halus, namun Cin Po tidak menghendaki demikian. Dia tetap sederhana dan pakaiannya yang putih itu terbuat dari kain kasar saja dengan potongan sederhana.

Dan gurunya juga tidak perduli karena Pat-jiu Pak-sian sendiri seorang yang sederhana dalam hal berpakaian. Pada hal dia seringkali menghadap Kaisar Khi-tan! Bahkan di waktu menghadap sekalipun, pakaiannya juga biasa, jubah yang longgar, hanya bersih akan tetapi sama sekali tidak mewah.

Pada suatu hari Pat-jiu Pak-sian memanggilnya menghadap, gurunya berkata, “Cin Po, minggu depan Kaisar akan mengadakan pemilihan perwira-perwira muda yang baru. Nah, engkau boleh memasuki pemilihan perwira itu.”

“Akan tetapi suhu. Teecu tidak ingin menjadi perwira? Teecu ingin bebas seperti Suhu.”

“Aku mengerti maksudmu. Akupun tidak sudi terikat menjadi pembesar atau pejabat, akan tetapi ini hanya untuk menambah pengalamanmu saja. Kalau engkau kebetulan terpilih, dan engkau merasa suka menjadi perwira, engkau boleh mencari jasa dan siapa tahu engkau akan menjadi seorang panglima besar. Berarti engkau akan mengangkat namaku, Cin Po.”

Akhirnya Cin Po menurut nasihat gurunya dan ikut memasuki sayembara atau ujian yang diadakan oleh Kaisar kerajaan Khi-tan untuk memilih perwira-perwira baru. Ketika diadakan ujian kemahiran menunggang kuda dan memanah, kepandaian Cin Po biasa saja akan tetapi dia dapat lulus. Akan tetapi ketika diadakan ujian kepandaian perkelahian adu ilmu silat, tidak ada peserta sayembara yang dapat menandinginya, bahkan pengujinya sendiri kalah olehnya!

Tentu saja dia mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian itu dan serta merta diterima menjadi seorang perwira muda. Para panglima seolah berebutan untuk menarik dia dalam pasukan mereka karena mempunyai seorang perwira pembantu selihai pemuda itu amatlah menguntungkan.

Akhirnya, atas perkenan kaisar, Panglima Can berhasil memenangkan perebutan itu dan Cin Po diperbantukan dalam pasukannya. Akan tetapi, seminggu kemudian, Panglima Can mendapat tugas untuk memerangi perbatasan barat dengan kerajaan Hou-han. Perbatasan ini diperebutkan antara kerajaan Khi-tan dan kerajaan Hou-han.

Maka kaisar lalu memerintahkan Panglima Can membawa pasukannya untuk melakukan pembersihan di sekitar perbatasan barat itu. Cin Po tentu saja terbawa. Sebelum berangkat dia menghadap Suhunya, Suhunya memberi nasihat kepadanya,

“Nah sekaranglah saatnya engkau membuat jasa besar, Cin Po. Bunuh pihak musuh sebanyak mungkin. Panglima Can tentu akan mencatat jasamu dan engkau akan memperoleh kenaikan pangkat dengan cepat.”

Di dalam hatinya Cin Po meragu. Mengapa dia harus bertempur membela bangsa Khi-tan dan membunuhi orang Hou-han? “Akan tetapi, Suhu. Teecu sama sekali tidak ada permusuhan dengan orang-orang Hou-han. Bagaimana teecu harus membunuhi mereka?”

“Anak bodoh. Di dalam perang mana ada permusuhan pribadi? Yang bermusuhan adalah pemerintah melawan pemerintah, kerajaan melawan kerajaan. Adapun para perajuritnya hanya membela kerajaan masing-masing di mana dia bekerja. Dalam perang, yang ada hanya dua hal, membunuh atau dibunuh. Lebih baik membunuh dari pada dibunuh, bukan?”

Cin Po hanya mengangguk walaupun di dalam hatinya masih merasa bimbang harus membunuhi orang yang sama sekali tidak mempunyai kesalahan apapun terhadap dirinya. Kalau jasa dan kehormatan yang dicari maka berarti dia membunuhi orang untuk mendapatkan jasa dan kedudukan! Betapa bedanya ini dengan pelajaran yang dahulu diterimanya dari kakek gurunya, ketua Thian-san-pang.

Kakek gurunya selalu mengatakan bahwa mempelajari ilmu silat adalah untuk menghadapi kejahatan, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, sama sekali bukan untuk membunuh orang yang tidak berdosa, apapun alasannya. Namun, dia telah mengikuti ujian, dan telah diangkat menjadi perwira, maka dia tidak dapat mengelak lagi.

Aksi pembersihan yang dilakukan Panglima Can di sepanjang perbatasan Hou-han itu bagi Cin Po tidak lebih dari perampokan dan pembantaian rakyat pedusunan yang tidak tahu apa-apa. Memang terjadi pertempuran kecil ketika sepasukan Hou-han mempertahankan diri.

Dan dalam pertempuran ini diapun terpaksa ikut bertempur dan merobohkan banyak perajurit Hou-han karena dia tahu bahwa yang ada hanya membunuh atau dibunuh. Akan tetapi dia tidaklah haus darah, tidak sembarang membunuh, hanya kalau dia diserang dia merobohkan penyerangnya.

Akan tetapi ketika dia memimpin seregu pasukan melakukan pengejaran, regunya itu ketika tidak menemukan musuh, lalu menyerbu pedusunan dan melakukan perampokan, pembunuhan dan bahkan perkosaan terhadap gadis-gadis dusun. Hal itu membuat Cin Po marah bukan main.

Dengan pedangnya dia membunuhi mereka yang melakukan perkosaan itu dan melihat ini, anak buahnya memberontak dan dia dikeroyok limapuluh orang perajuritnya sendiri. Cin Po mengamuk dan para perajurit itu roboh satu demi satu dan selebihnya melarikan diri.

Setelah mengamuk itu, barulah Cin Po menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan besar terhadap pasukan Khi-tan. Seperti mimpi dia melihat betapa ratusan penduduk dusun berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya.

Dan dia membayangkan betapa dia kemudian ditangkap oleh pasukan kerajaan Khi-tan dan tentu akan dijatuhi hukuman mati. Takkan ada yang mampu menolongnya, bahkan gurunya sendiri juga tidak, karena gurunya juga tentu akan ikut membantu kerajaan Khi-tan untuk menangkap dan menghukumnya sebagai seorang pengkhianat!

Bayangan ini membuat dia menjadi ketakutan dan dia lalu melarikan diri, bukan kembali ke timur melainkan terus lari ke barat, memasuki daerah pedalaman kerajaan Hou-han! Dari uang bekalnya, Cin Po membeli beberapa stel pakaian putih dan membuang pakaian seragam perwiranya. Kemudian dia melanjutkan perjalanan dengan menggendong buntalan pakaian. Bahkan pedangnya juga dibuang, karena pedang itu merupakan ciri khas perwira Khi-tan, yang bentuknya agak melengkung.

Kini dia nampak sebagai seorang pemuda sederhana, pemuda petani biasa. Nampaknya sebagai seorang yang masih sangat muda, masih remaja dan sederhana, dan tidak akan ada orang percaya bahwa baru saja dia telah membunuh lebih dari tigapuluh orang perajurit Khi-tan yang melakukan perkosaan dan perampokan.

Takkan ada yang menyangka bahwa pemuda remaja ini telah menguasai ilmu silat sakti seperti Pat-jiu-sin-kun dan ilmu pedang Hwi-sin-kiam-sut, menguasai pula tenaga sin-kang dan gin-kang yang tinggi.

Pada suatu hari tibalah dia di luar sebuah dusun di kaki Bukit Menjangan. Dari jauh terdengar olehnya suara orang-orang menangis dan ketika dia mempercepat langkahnya, ternyata yang menangis itu adalah serombongan orang dusun yang sedang mengantar jenazah ke tanah kuburan. Yang mengherankan adalah banyaknya peti mati yang mereka pikul!

Ada empat orang yang sekaligus tewas dan empat buah peti mati itu kelihatan kecil-kecil, tanda bahwa yang tewas adalah anak-anak. Yang menangis adalah keluarga empat orang anak yang mati itu dan suasananya sungguh menyedihkan.

Hal ini mengingatkan Cin Po akan kematian yang diderita oleh su-kongnya dan para anggauta Thian-san-pang ketika dibantai oleh orang-orang Tok-coa-pai. Pada suatu hari dia akan membalas dendam kematian para anggauta Thian-san-pang itu.

Melihat iring-iringan itu, dia tertarik sekali dan dia mengikuti dari belakang, melihat betapa empat orang anak yang berada dalam empat buah peti mati itu dikubur. Ketika orang merubung penguburan itu, dia duduk menyendiri dengan hati yang ikut bersedih.

Dan teringatlah dia akan keadaan perang. Baru saja dia meninggalkan pasukan, meninggalkan perang di mana manusia saling bunuh membunuh. Tak terhitung banyaknya manusia yang dibunuh atau membunuh, juga tidak saling mengenal, bahkan tidak ada urusan pribadi antara mereka.

Betapa kejamnya perang dan dia membayangkan betapa keluarga yang ditinggal si mati juga akan bertangisan seperti orang-orang yang menguburkan empat orang anak itu. Bahkan menangisi kematian yang mayatnya saja tidak dapat mereka lihat dan rawat!

Seorang laki-laki tua yang ikut melayat melihat Cin Po dan dia merasa heran karena tidak mengenal pemuda itu. Bukan orang sedusun. Maka dia mendekati dengan heran. Cin Po juga cepat bangkit dan memberi hormat kepada laki-laki tua itu.

“Paman, apakah di dusun paman berjangkit penyakit menular maka sekaligus jatuh korban empat orang anak?” tanya Cin Po.

Kakek itu menghela napas panjang dan duduk di atas batu, memberi isyarat kepada Cin Po untuk duduk juga. “Sudah kuduga,” katanya, “Engkau tentu bukan orang dusun kami, sobat muda. Maka engkau tidak tahu. Bukan penyakit yang berjangkit di kampung kami, akan tetapi... siluman….”

Laki-laki tua itu menoleh ke kanan kiri dan kelihatan ngeri. “Dalam waktu sebulan ini sudah ada tujuh orang anak-anak menjadi korban.”

Tentu saja Cin Po terkejut bukan main. Dari hasil pendidikan ibunya dan su-kongnya, dia tahu bahwa penduduk dusun amat percaya akan adanya siluman-siluman.

“Sebetulnya belum pernah ada yang melihat siluman,” demikian kata kakeknya, “akan tetapi manusia yang jahat memang kadang ada yang lebih kejam dari pada siluman manapun yang terdapat di dalam dongeng.”

Dari keterangan kakeknya itu dapat disimpulkan bahwa kalau toh ada siluman maka siluman itu tentulah manusia yang amat jahat. “Bagaimana ceritanya, paman? Apa yang terjadi dengan adik-adik kecil itu?”

Kembali orang itu memandang ke sekeliling, agaknya takut kalau ada yang mendengar ceritanya. “Mereka semua menderita luka yang sama, di leher dan di kepala berlubang!”

Kakek itu menggigil. “Mengerikan sekali! Dan selain yang tujuh orang anak itu, sekarang masih ada dua lagi yang belum pulang.”

“Bagaimana mereka bisa terjatuh ke tangan siluman?”

“Mereka diambil dari rumah masing-masing pada malam hari. Orang-orang tidak melihat yang mengambilnya, hanya ada bayangan hitam berkelebat dan terbang ke atas genteng dan anak itupun hilang.”

“Dan mereka ditemukan di mana...?”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.