Pendekar Baju Putih Jilid 04 karya Kho Ping Hoo - Para murid yang bertugas jaga, empat orang banyaknya, merasa kedinginan dan mereka membuat api unggun di dalam gardu penjagaan, merasa malas untuk pergi meronda. Perkampungan mereka biasanya aman dan siapa berani mengganggu Thian-san-pang sama dengan mencari penyakit sendiri! Tiba-tiba muncul Ban Koan di luar gardu penjagaan.
“Heii, kalian ini berjaga malam mengapa berada di gardu saja mendekati api unggun? Seharusnya kalian melakukan ronda!” tegurnya.
Empat orang itu menjadi terkejut dan merekapun keluar dari gardu penjagaan, terheran-heran melihat Ban Koan tahu-tahu muncul, padahal biasanya Ban Koan tidak pernah perduli tentang jaga malam. “Akan tetapi, suheng. Keadaan di sini aman.”
“Aman? Goblok kalian dan harus dihukum!” Tiba-tiba saja Ban Koan sudah mencabut pedangnya dan sekali menggerakkan pedangnya.
Dua orang penjaga roboh dan tewas seketika. Dua orang yang lain terkejut dan cepat menghunus pedang untuk melawan, akan tetapi segera bermunculan orang-orang Tok-coa-pang dan dengan beberapa gebrakan saja dua orang penjaga malam itupun roboh dan tewas.
“Mari…!” kata Ban Koan memberi isyarat kepada sekutunya.
Sedikitnya duapuluh lima orang Tok-coa-pang dengan senjata di tangan lalu mengikuti Ban Koan yang menuju ke rumah induk, rumah ketua Thian-san-pang. Dengan mudah Ban Koan mencokel pintu rumah dan mereka semua menyerbu ke dalam.
Tiong Gi Cinjin sedang tidur lelap. Tiba-tiba dia mendengar suara gaduh di luar kamarnya. Cepat ia menyambar pedangnya dan membuka pintu kamarnya. Dan dia melihat pemandangan yang mengerikan. Beberapa orang anak muridnya sedang dikeroyok oleh orang-orang yang berbaju sisik naga, orang-orang Tok-coa-pang! Dan dia melihat Ban Koan di antara mereka.
“Ban Koan, terkutuk kau…!” bentaknya dan segera dia menyerang muridnya sendiri itu.
Akan tetapi dengan tangkasnya Ban Koan menangkis dan pedangnya terpental ketika menangkis pedang gurunya sendiri itu. Secepat kilat pedang di tangan Tiong Gi Cinjin meluncur ke arah dadanya. Demikian cepat gerakan Tiong Gi Cinjin sehingga tahu-tahu pedang itu telah menusuk dada Ban Koan dengan tepat.
“Tukkk……!” Pedang mental kembali dan Ban Koan tertawa. Lalu dia membalas dengan serangan pedangnya.
Tiong Gi Cinjin terkejut dan meloncat kebelakang. Kiranya di balik jubah muridnya itu tersembunyi baju sisik naga yang membuat tubuhnya bagian atas menjadi kebal. “Kau… kau murid murtad… pengkhianat…!” bentak Tiong Gi Cinjin.
Akan tetapi pada saat itu muncul seorang berpakaian baju sisik naga yang tubuhnya tinggi besar dan bermuka hitam, dan seorang lagi bermuka kuning yang juga tinggi besar. Melihat mereka berdua, Tiong Gi Cinjin membentak.
“Bagus, kiranya kakak beradik Coa sudah datang pula! Kalian pengecut curang, kalau memang hendak mengadu ilmu, mengapa harus mempengaruhi seorang murid kami sehingga dia menjadi pengkhianat!”
Tiong Gi Cinjin tidak mendapat jawaban, akan tetapi kini bahkan Ban Koan yang membentak, “Orang tua rewel, saat kematian sudah tiba!”
Dan murid ini menyerang gurunya dengan cepat. Dua orang kakak beradik Coa yang menjadi pimpinan Tok-coa-pang juga sudah menerjang dengan pedang mereka sehingga kakek itu dikeroyok tiga!
Tiong Gi Cinjin mengamuk. Kalau dua orang saudara Coa itu maju satu demi satu, tidak mungkin mereka akan dapat mengalahkan Tiong Gi Cinjin. Akan tetapi mereka maju berdua dan dibantu pula oleh Ban Koan yang tentu saja mengenal ilmu pedang Suhunya.
Maka Ban Koan yang menjadi pelindung kakak beradik Coa itu, Ban Koan yang tahu ke arah mana pedang Suhunya berkelebat melakukan tangkisan-tangkisan dan lebih-lebih lagi tubuh mereka bertiga terlindung baju sisik naga, maka sebentar saja Tiong Gi Cinjin terdesak hebat.
Sementara itu, ribut-ribut telah mendatangkan semua murid Thian-san-pang. Kurang lebih limapuluh orang murid Thian-san-pang kini bertanding melawan duapuluh lima orang murid Tok-coa-pang.
Akan tetapi sungguh aneh, lebih dari setengah jumlah murid Thian-san-pang tidak bertempur dengan sungguh-sungguh dan mereka main mundur. Mereka ini adalah para murid yang sudah terpengaruh oleh Ban Koan, dijanjikan kehidupan yang lebih menyenangkan kalau dia yang menjadi ketua! Maka, pertempuran menjadi berat sebelah dan para murid Thian-san-pang yang setia kepada perkumpulannya mulai roboh seorang demi seorang.
Tiong Gi Cinjin sendiri juga tidak dapat bertahan lama. Ketika pedangnya menyambar, pedang itu diterima begitu saja oleh Ban Koan dengan dadanya, lalu lengannya mengempit pedang gurunya karena lengan itu terlindung baju sisik naga.
Kesempatan ini dipergunakan oleh kakak beradik she Coa untuk menusukkan pedang mereka dan robohlah Tiong Gi Cinjin dengan dua lubang di perut dan dadanya. Dia roboh, sambil menudingkan telunjuknya ke arah Ban Koan sambil berseru,
“Terkutuk engkau, Ban Koan…!” dan kakek itu terkulai, tewas.
Semua murid yang setia juga tewas, lebih dari duapuluh orang jumlahnya. Mereka yang tidak setia sudah melempar pedang dan berjongkok tanda takluk.
Ban Koan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, bagus, kalian menyerah. Dan mulai sekarang, akulah ketua Thian-san-pang. Siapa yang tidak setuju katakanlah!”
Semua murid itu lalu berseru, “Kami setuju, Pang-cu!”
Sebutan Pang-cu (ketua) itu terdengar amat merdu di dalam telinga Ban Koan dan diapun tertawa-tawa, disambut tawa pula oleh kakak beradik Coa. Para murid segera disuruh mengurus semua mayat, disuruh menguburkan malam itu juga dan Ban Koan sendiri bersama dua orang sekutunya lalu merayakan kemenangan di dalam sambil makan minum.
“Ban-pangcu, kami harap engkau tidak melupakan jasa kami malam ini dan akan memenuhi janji.”
“Tentu saja, harap ji-wi pang-cu tidak khawatir. Kalian menghendaki kitab Thian-san-kiam-sut? Akan segera kuberikan, dan mulai sekarang kita bersahabat, susah sama dipikul, senang sama dinikmati. Kita bekerja sama untuk mencari kekayaan dan kesenangan.”
Dua orang itu tertawa-tawa gembira dan Ban Koan lalu menyuruh seorang murid kepercayaan untuk mengambilkan kitab Thian-san-kiam-sut dan diberikan kepada kedua saudara Coa yang menjadi ketua Tok-coa-pang itu.
Pesta dilakukan sampai pagi dan lebih mengerikan lagi, Ban Koan memaksa isteri-isteri dari murid yang tewas, yang disukai oleh ke dua orang ketua Tok-coa-pang itu, untuk melayani mereka makan minum dan bersenang-senang! Yang tidak mau lalu dibunuh begitu saja.
Kekuasaan dapat membuat seseorang menjadi gila, gila kekuasaan, mabok kemenangan. Apapun yang dikehendaki harus terlaksana, demikianlah mimpi seorang yang menang dan berkuasa. Karena itu, seorang yang bijaksana selalu berhati-hati apabila dia memperoleh kedudukan dan kekuasaan.
Berhati-hati terhadap nafsunya sendiri dan kalau sudah waspada, dia akan mempergunakan kekuasaan demi kebaikan sesama manusia, bukan demi kesenangan diri pribadi. Karena kekuasaan membuat setiap orang yang memilikinya selalu menang, selalu benar, selalu di atas, maka mudah sekali memabokkan.
Orang bijaksana akan selalu menyadari bahwa kekuasaan, kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya adalah anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa, anugerah yang diberikan kepadanya untuk menggunakan kekuasaan itu di jalan yang benar, sesuai dengan kehendak Tuhan. Yang kuasa hanyalah Tuhan dan manusia yang diberi kekuasaan hanyalah alat belaka.
Ban Koan yang sudah lama sekali mencita-citakan kekuasaan, setelah mendapatkannya menjadi gila kekuasaan, menjadi mabok dan dia ingin memenuhi semua keinginan hatinya. Kitab Thian-san-kiam-sut adalah sebuah kitab pusaka perkumpulan itu, hanya dipelajari oleb para murid kepala yang sudah tinggi tingkatnya.
Kini, dengan mudah saja kitab itu dia berikan kepada kakak beradik Coa, hanya untuk membalas jasa mereka membunuh ketua Tiong Gi Cinjin, dan membantunya merampas kedudukan ketua Thian-san-pang.
Peristiwa penyerbuan Thian-san-pang oleh Tok-coa-pang itu tersiar luas dan terdengar pula oleh Bi Li yang sedang berada di kuil Ban-hok-si di kaki gunung. Liauw In Nikouw juga mendengar tentang diserbunya Thian-san-pang dan tewasnya kakaknya.
“Omitohud... apa yang terjadi di sana?” Nikouw itu berseru dan mulutnya komat-kamit membaca doa. Tidak seperti kakaknya, nikouw ini tidak pernah mempelajari ilmu silat tinggi, hanya memperdalam pengetahuannya tentang agama maka ia menjadi kepala kuil Ban-hok-si.
“Bi Li, sebaiknya engkau cepat-cepat naik ke sana dan lihat apa yang terjadi. Hui Ing biar kau tinggal di sini bersamaku, agar leluasa engkau bergerak.”
Bi Li segera berangkat mempergunakan ilmu berlari cepat naik di atas gunung. Ketika tiba di perkampungan Thian-san-pang, suasananya sepi sekali dan di luar perkampungan ia melihat gundukan-gundukan tanah kuburan yang masih baru. Hatinya terharu sekali dan air matanya sudah membasahi pipinya ketika masuk ke perkampungan itu.
Para murid Thian-san-pang berbisik-bisik ketika melihat Bi Li muncul, akan tetapi mereka tidak berani menegur. Bi Li juga tidak memperdulikan mereka, dan langsung ia memasuki rumah besar yang menjadi tempat tinggal gurunya dan juga tempat tinggalnya. Hampir saja ia bertabrakan dengan Ban Koan yang baru keluar dari dalam rumah karena dia mendengar bahwa Bi Li sudah kembali.
“Aih, sumoi…!” katanya dan suaranya gemetar seperti orang yang berduka sekali.
“Suheng, apa yang telah terjadi? Bagaimana... bagaimana dengan Suhu...??” Wajah wanita itu pucat sekali dan matanya terbelalak memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Ban Koan segera memegang tangan Bi Li dan menuntunnya duduk di atas kursi. “Tenanglah, akan kuceritakan semuanya kepadamu.”
Bi Li membiarkan saja dirinya dituntun karena memang perasaan tegang dan khawatir membuatnya terhuyung. Setelah saling berhadapan duduk di atas kursi terhalang meja, barulah Ban Koan bercerita.
“Terjadinya malam, tidak terduga-duga sama sekali. Karena semua nampak aman maka kami semua tidur. Tahu-tahu, ada duapuluh lima orang lebih memasuki perkampungan kita. Mereka adalah orang-orang Tok-coa-pang yang menyerang kami.
“Tentu saja kami melakukan perlawanan mati-matian. Namun mereka itu kebanyakan amat lihai sekali. Suhu sendiri tewas oleh mereka dan duapuluh orang lebih saudara kita tewas. Ada beberapa orang di antara merekapun tewas dan terluka, dan dibawa oleh kawan-kawan mereka yang tidak luka ketika akhirnya mereka melarikan diri.
“Nah, demikianlah terjadinya, sumoi. Kemudian atas permintaan semua saudara yang masih hidup, saya memimpin mereka menggantikan kedudukan Suhu karena khawatir kalau-kalau musuh akan datang kembali.”
“Suhu, ah, suhu....!” ia meratap. “Kenapa begitu tergesa-gesa mereka dimakamkan?”
“Tentu saja, sumoi. Korban demikian banyak dan luka-luka, mereka tentu akan membuat jenazah mudah membusuk. Maka, aku memutuskan untuk merawat dan mengubur semua jenazah pada malam hari itu juga. Juga jenazah Suhu telah kami kuburkan baik-baik.”
Bi Li masih menangis sampai terisak-isak. “Aku.... aku menyesal sekali kenapa aku tidak ada pada waktu itu!”
“Mengapa, sumoi. Beruntung engkau tidak ada sehingga engkau tidak sampai menjadi korban.”
“Suheng, kenapa engkau berkata demikian? Aku kalau ada di sini, tentu dapat membantu suhu dan belum tentu Suhu sampai tewas.”
“Sudahlah, sumoi. Semua telah terjadi, tidak dapat diubah kembali. Penyesalan tidak ada gunanya lagi.”
“Oya, di mana Cin Po……?” Tiba-tiba Bi Li baru teringat akan puteranya. Memang ia tidak begitu suka kepada puteranya itu, maka dalam kesedihan ini, baru sekarang teringat.
“Ahh, anak itu? Kami semua juga heran, karena tidak menemukan dia, juga tidak terdapat di antara korban. Mungkin dalam keributan itu, karena merasa ketakutan, dia melarikan diri dan sampai sekarang belum pulang.”
Bi Li tidak mengurus lagi kepergian Cin Po, melainkan bersama Ban Koan lalu pergi ke makam gurunya. Di depan makam yang baru itu ia berlutut dan menangis sesenggukkan. Ban Koan menghiburnya dan setelah mereka bersembahyang di depan setiap gundukan tanah kuhuran itu dan tangis Bi Li mereda.
Ban Koan lalu berkata, “Sumoi, di mana Hui Ing?”
“Kutinggalkan di rumah bibi.” Lalu disambungnya cepat. “Akupun hendak kembali ke sana sekarang juga suheng.”
“Eh, kenapa sumoi? Sebaiknya engkau kembali ke rumah Suhu, dan….. dan….. seandainya engkau tidak keberatan, setelah aku menjadi ketua Thian-san-pang, kupikir…… sudah waktunya kuberitahu, bahwa aku…… ingin sekali kalau engkau menemaniku memimpin Thian-san-pang, sebagai….. eh, sebagai isteriku.”
Bi Li mengangkat muka memandang dengan mata merah bekas tangis. Ia anggap suhengnya ini keterlaluan sekali. Dalam keadaan berkabung seperti itu, di depan makam yang tanahnya masih baru, membicarakan soal perjodohan!
Melihat wajah suhengnya, yang tersenyum dengan matanya yang sipit itu memandang tajam, timbul rasa tidak sukanya. Ia tidak akan pernah merasa suka kepada laki-laki ini, pikirnya.
“Suheng, pantaskah bicara tentang perjodohan di saat seperti ini. Tidak, suheng. Aku bahkan ingin pindah saja ke Kuil Ban-hok-si, ingin tekun mempelajari ilmu agama dari bibi pendeta Liauw In Nikouw.
“Tolong saja kalau Cin Po pulang, kau beritahu padanya agar menyusul ke Ban-hok-si. Sekarang aku hendak mengumpulkan semua pakaian dan milikku untuk kubawa pindah, suheng.”
Biarpun hatinya merasa kecewa, Ban Koan tidak berani memaksa. Memang kalau menurut siasat dan perhitungannya, Bi Li termasuk orang pertama yang harus dibunuh bersama Tiong Gi Cinjin, karena wanita ini akan menjadi penghalang dan pengganggu baginya kelak.
Akan tetapi dia mencinta Bi Li dan tidak tega untuk membunuhnya. Maka dia berusaha untuk membujuk agar Bi Li menjadi isterinya. Dan kalau Bi Li tidak mau, memang sebaiknya Bi Li pergi saja dari situ. Kalau tinggal di situ, pasti dia akan terpaksa membunuhnya dan dia tidak tega melakukannya.
“Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian, sumoi,” katanya dan dia malah membantu Bi Li berkemas.
Demikianlah, pada hari itu juga Bi Li pergi dan pindah ke dusun di kaki bukit, tinggal bersama Liauw In Nikouw di Ban-hok-si, dan biarpun tidak menjadi nikouw namun hidup sebagai seorang pertapa dan pendeta wanita, tekun mempelajari ilmu keagamaan dan bersamadhi.
Segala kehendak Tuhan Terjadilah! Kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, maka biar dia bersembunyi di lubang semut, maut akhirnya akan datang menjemput, tepat pada waktunya, tidak lebih atau tidak kurang semenit pun. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki dia hidup, biar terancam maut sampai selisih serambut, akhirnya dia akan luput dari cengkeraman maut.
Banyak sudah peristiwa membuktikan kebenaran mutlak ini, betapa kalau menurut akal manusia, seseorang yang terancam maut amat hebat tentu akan mati. Akan tetapi ternyata berkat Kehendak dan Kekuasaan Tuhan orang itu selamat. Sebaliknya orang yang pada hari kemarin masih segar bugar, bisa saja hari ini mendadak tewas!
Demikian pula dengan Cin Po. Semua orang kalau melihat keadaannya pada saat dia terkena pukulan beracun Coa-siauw-kwi, kemudian ditendang oleh Ban Koan, lalu terjatuh ke dalam jurang yang amat dalam, tentu tidak ada di antara mereka yang berani mengatakan bahwa anak itu selamat. Semua tentu mengira anak itu tewas, seperti yang disangka oleh Ban Koan dan Coa-siauw-kwi.
Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian! Ketika dia terjatuh kebetulan sekali dia tidak menimpa batu atau tanah keras, melainkan menimpa semak-semak yang tebal sehingga tubuhnya tidak sampai remuk, dan dia bergulingan ke bawah di atas tanah berumput dan inipun menolong nyawanya.
Akan tetapi ketika tiba di dasar jurang, Cin Po tidak bergerak lagi, seperti telah mati. Wajahnya pucat sekali dan dia pingsan. Dan kebetulan yang lain menyusul kebetulan yang satu. Pada saat itu, kebetulan sekali ada seorang tua yang sedang mencari daun-daun dan tanaman obat di dasar jurang itu.
Dan orang ini bukanlah orang biasa. Dia adalah seorang datuk dari utara! Dia di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Pat-jiu Pak-sian (Dewa Utara Bertangan Delapan)! Orangnya sudah berusia enampuluh tahun, namun masih nampak muda.
Tubuhnya sedang saja dan melihat ujudnya, tidak begitu mengesankan. Pakaiannya jubah yang longgar seperti seorang pendeta, kepalanya botak tanpa topi, sepatunya dari kulit yang nampak mengkilap, kepala yang botak itu besar dan alisnya tebal.
Matanya mencorong seperti mata harimau, hidungnya pesek dan mulutnya besar. Telinganya juga besar seperti telinga gajah. Pendeknya wajahnya tidak mengesankan dan bahkan dapat dikatakan buruk. Akan tetapi dunia kang-ouw amat mengenal nama ini. Jangankan bertemu orangnya, baru mendengar namanya saja orang yang mengenal namanya sudah merasa gentar dan ngeri.
Pat-jiu Pak-sian ini terkenal dengan wataknya yang ugal-ugalan, semaunya sendiri. Dia dapat saja menjadi seorang yang berwatak lembut dan baik budi, akan tetapi dalam sekejap mata dia dapat menjadi raja maut yang amat kejam dan tidak mengenal kasihan. Apalagi kalau bertemu dengan urusan yang tidak menyenangkan hatinya, bisa saja dia menyebar maut seenaknya.
Pat-jiu Pak-sian sudah menduda. Isterinya meninggal dunia meninggalkan seorang anak laki-laki yang usianya ketika itu sekitar sepuluh tahun. Dan pada suatu hari anaknya itu sakit keras. Pat-jiu Pak-sian mendatangkan tabib-tabib yang pandai, dipaksanya untuk mengobati anaknya, akan tetapi sia- sia belaka. Menurut seorang tabib yang pandai, anaknya itu menderita penyakit hati yang amat gawat dan obatnya sukar dicari di dunia ini.
Ada semacam daun obat dan kabarnya daun itu dapat dicari di sekitar Thian-san. Karena itulah maka Pat-jiu Pak-sian pergi sendiri mencari obat itu dan kebetulan dia sedang mencari-cari obat ketika kebetulan sekali dia melihat tubuh Cin Po bergulingan dari atas dan jatuh pingsan tak jauh dari tempat dia berdiri.
Semula Pat-jiu Pak-sian acuh saja, sedikitpun tidak memperdulikan anak laki-laki yang menggelinding jatuh dari atas jurang itu karena dianggapnya itu bukan urusannya. Akan tetapi, ketika dia lewat dekat dan mengerling ke arah wajah anak itu, dia terbelalak dan mulutnya berseru, “Anakku!!”
Cepat sekali dia bergerak, tahu-tahu sudah berjongkok di dekat Cin Po. Setelah memeriksa teliti, barulah dia yakin bahwa anak itu bukan anaknya, akan tetapi ada kemiripan luar biasa antara anaknya yang sakit dan rebah di rumah dan anak ini. Dan kemiripan yang kebetulan inilah yang menolong Cin Po. Andaikata wajahnya dan bentuk tububnya tidak mirip dengan putera kakek itu, tentu dia ditinggalkan begitu saja dan mati. Akan tetapi, kini kakek itu memeriksanya.
Pat-jiu Pak-sian adalah seorang datuk yang juga memiliki keahlian pengobatan. Kalau anaknya sakit dia tidak mampu mengobati, hal itu adalah karena anaknya menderita semacam penyakit yang hanya dapat disembuhkan dengan obat. Akan tetapi kalau sakit yang diakibatkan pukulan atau racun sekalipun, dialah ahlinya untuk menyembuhkannya.
Setelah memeriksa dengan teliti keadaan Cin Po, dia merasa heran sendiri. “Luar biasa! Seorang anak sekecil ini sudah menderita luka-luka pukulan yang begini ganas. Siapa yang begitu gila untuk memukul seorang anak kecil seperti ini? Tulang-tulang iganya patah-patah dan ada pukulan beracun. Agaknya memang sudah takdir anak ini dan aku untuk bertemu di sini. Baiklah, aku akan menyembuhkanmu, nak!”
Dia lalu duduk bersila di dekat Cin Po, menelanjangi anak itu, menelentangkan anak itu dan kedua tangannya ditempelkan di dadanya. Dengan pengerahan sin-kangnya, dia mengobati anak itu, mengusir hawa beracun karena pukulan Coa-siauw-kwi, kemudian menelungkupkannya.
Dan setelah hawa beracun itu bersih terusir dari tubuh anak itu, mulailah dia menyambungkan tulang-tulang yang patah dari iga anak itu. Diambilnya daun-daun dari sekeliling tempat itu, ditaruh di sekeliling dada dan punggung anak itu, kemudian dibalut dengan kain panjang.
Setelah memeriksa lagi dengan teliti, dia lalu menggerakkan tangannya dengan cepat, menotok sana sini dan akhirnya Cin Po mengeluh dan merintih.nKakek itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum gembira.
“Anak yang memiliki tenaga dan daya tahan tubuh seperti ini sukar ditemukan keduanya di dunia ini!”
Ucapan itu seperti menyadarkan Cin Po. Dia membuka matanya dan begitu dia sadar, dia teringat akan peristiwa tadi dan melompat bangun, akan tetapi dia roboh terkulai kembali. Dia merasa terkejut dan terheran-heran melihat dirinya bertelanjang bulat dan pakaiannya berserakan di situ.
“Ha-ha-ha-ha, anak bodoh. Jangan mencoba-coba untuk banyak bergerak atau tulang-tulang igamu akan patah-patah kembali. Bangkitlah perlahan-lahan dan kenakan pakaianmu kembali.”
Cin Po adalah seorang anak yang cerdik sekali. Dia ingat bahwa dia tadi dipukul dan ditendang jatuh ke jurang, dan sekarang dada dan punggungnya dibalut, siapa lagi yang menolongnya kalau bukan kakek ini? Maka, serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila itu.
“Locianpwe telah menolong nyawa saya, budi locianpwe yang sebesar gunung sedalam lautan ini tidak pernah saya lupakan selama hidup.”
Kakek itu tertegun. Tak disangkanya anak yang ditemukan di dalam jurang di Thian-san ini dapat bersikap seperti itu, seperti seorang anak yang terpelajar saja. Dan timbul penyesalan dalam batinnya. Anak yang mirip puteranya ini sungguh menang dalam segala-galanya kalau dibandingkan puteranya. Menang dalam daya tahan tubuhnya, dan tadi dia sudah meraba-raba tulang anak ini yang ternyata berbakat baik sekali dalam ilmu silat, menang pula dalam sikap dan pembawaan diri. Anaknya sendiri kalah jauh!
“Simpan saja terima kasihmu dan pakailah pakaianmu kembali!” katanya dingin.
Cin Po sudah seringkali mendengar dari percakapan antara murid-murid Thian-san-pai bahwa orang orang sakti di dunia persilatan banyak yang berwatak aneh. Dia mengerti bahwa orang sakti ini tentu seorang tokoh kang-ouw dan juga berwatak aneh. Maka dia lalu mengangguk, dan mengenakan pakaiannya yang serba putih kembali.
“Sekarang duduk bersila di depanku,” kata Pat-jiu Pak-sian. Cin Po menaati perintah itu.
“Ambil pernapasan yang dalam, dan ikuti petunjukku. Tarik napas yang dalam dan hitung delapan kali dalam hati baru berhenti menarik napas, simpan di di dalam lalu dorong dari perut ke arah tulang-tulang igamu yang patah. Setelah tidak bertahan baru keluarkan napas dari mulut dengan suara mendesis seperti ini.”
Cin Po sudah pernah mendapat petunjuk cara pernapasan dari kakek gurunya, maka dia dapat menuruti petunjuk itu dengan baik. Dan setelah beberapa puluh kali mengulang petunjuk itu, dia merasa betapa dadanya tidak nyeri lagi!
“Cukup, dan sekarang ceritakan kenapa engkau terjatuh dari atas sana.”
Cin Po meragu. Sebetulnya, urusan Thian-san-pang tidak ingin dia ceritakan kepada orang luar. Akan tetapi, mengingat akan apa yang terjadi, tidak mungkin dia kembali lagi ke Thian-san-pang. Kakeknya sudah tidak mempercayainya. Kalau dia naik dan melaporkan kepada kakek gurunya bahwa dia ditendang oleh Ban Koan, tentu kakeknya juga tidak akan percaya karena tidak ada buktinya.
“Di atas sana saya bertemu dengan dua orang jahat yang hendak menyerbu Thian-san-pang, locianpwe. Karena saya melihat mereka, maka mereka lalu menyerangku, yang seorang memukulku dan orang kedua menendangku jatuh ke dalam jurang ini,” katanya singkat.
Dan anehnya, kakek itu juga agaknya acuh saja mendengar ceritanya. “Hemm, di dunia ini banyak orang baik, banyak pula orang jahat. Semua sama saja. Akan tetapi yang paling menjemukan adalah orang yang pengecut dan curang! Dan memukuli seorang anak yang tidak berdaya adalah pengecut dan curang, tidak akan dilakukan orang gagah.”
“Locianpwe, kalau boleh, saya ingin berguru kepada locianpwe. Biar saya disuruh bekerja apa saja, asal saya boleh berguru kepada locianpwe, akan saya taati,” Cin Po kini berlutut kembali ke depan kakek itu.
“Heh-heh, benarkah engkau akan menaati semua perintahku? Biarpun perintahku itu membuat engkau terancam bahaya maut sekalipun?”
“Locianpwe,” kata Cin Po dengan sungguh-sungguh. “Kalau tidak ada locianpwe tentu saya sudah mati. Maka, kalau locianpwe memerintahkan saya dengan pengorbanan nyawa sekalipun, saya akan menaati.”
“Bagus, kalau begitu aku mau menerima engkau menjadi muridku!”
“Suhu……!!” Cin Po mengangguk-angguk sampai delapan kali sambil berlutut dengan hati girang bukan main.
“Sekarang bangkitlah dan kau naik kepunggungku. Aku akan menggendongmu naik dari jurang ini.”
Tanpa ragu lagi Cin Po menurut. Di lain saat dia sudah menempel di punggung kakek itu, merangkul lehernya. Kakek itu tertawa lalu tubuhnya bergerak cepat sekali mendaki jurang itu! Cin Po terbelalak ketakutan. Bagaimana orang dapat mendaki jurang yang curam dan terjal itu?
Seperti seekor monyet besar kakek itu merayap naik, bukan merayap, melainkan berlari sehingga sebentar saja dia sudah tiba di atas tebing jurang. Cin Po lalu melorot turun dari gendongan dan memandang kakek ini dengan takjub.
“Sekarang, engkau perlu beristirahat semalam suntuk untuk memulihkan kekuatanmu,” kata kakek itu dan dia sendiri duduk bersila tidak memperdulikan anak itu.
Cin Po merasa tersiksa sekali. Dia harus bersila semalam suntuk tidak berani bergerak, padahal seluruh tubuhnya masih terasa nyeri dan perutnya terasa lapar sekali. Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi kakek itu sudah membuka matanya, mengeluarkan roti kering dari keranjang obatnya dan memberikan sepotong roti kering kepada Cin Po.
“Makanlah roti kering ini agar engkau tidak kelaparan. Sesudah makan, ini minumnya, hanya air jernih. Lalu kau istirahat lagi. Ambil pernapasan seperti yang kuajarkan kemarin. Ingat, engkau harus berlatih pernapasan dengan tekun, barulah tulang-tulangmu dapat pulih kembali dengan baik.”
Tiga hari tiga malam lamanya Cin Po disuruh berlatih seperti itu di dalam hutan di tepi jurang. Sehari hanya diberi makan roti kering dua kali dan minum air jernih. Tubuh anak itu lemas, akan tetapi rasa nyerinya lenyap berganti rasa tenang dan nyaman.
Pada hari keempatnya, barulah kakek itu bangkit berdiri. “Bagus dalam hal kesabaran engkaupun telah lulus. Sekarang, mari kita mencari makanan. Kita harus makan enak dan sekenyangnya, baru kita lanjutkan perjalanan kembali ke tempat tinggalku.”
“Di tempat ini, mana mungkin ada makanan enak, Suhu?”
“Apakah dekat sini tidak ada kampung atau dusun di mana kita dapat memperoleh makanan enak?”
“Yang terdekat hanyalah Thian-san-pang, perkampungan perkumpulan itu.”
“Kalau begitu, ke sanalah kita!”
“Ke Thian-san-pang, Suhu……?”
“Eehh, membantah, ya?”
“Tidak Suhu, hanya meragu.”
“Jangan pernah meragukan omonganku, kalau engkau ingin menjadi muridku. Hayo kita berangkat ke Thian-san-pang!”
Dengan hati berdebar-debar tidak karuan membayangkan bagaimana nanti penerimaan kakek gurunya kalau dia datang bersama guru barunya, bagaimana penerimaan paman gurunya, Ban Koan, yang sudah menganggap dia mati? Cin Po menjadi penunjuk jalan ke arah Thian-san-pang. Di luar perkampungan dia melihat begitu banyaknya tanah kuburan baru dan hatinya merasa tidak enak sekali.
“Eh, agaknya baru saja terjadi kematian yang besar-besaran,” kata Pat-jiu Pak-sian. “Siapa saja yang mati ini, muridku? Eh, siapa sih namamu, tidak enak memanggil engkau hanya muridku saja. Siapa namamu?”
“Nama saya Song Cin Po, Suhu.”
“Nama yang tidak bagus, tapi sudahlah. Kuburan siapa ini, Cin Po?”
“Teecu tidak tahu Suhu, karena sewaktu teecu pergi dari sini, empat hari yang lalu kuburan ini belum ada.”
Dengan hati tidak enak Cin Po memasuki perkampungan bersama gurunya. Para murid Thian-san-pang melihat Cin Po kembali, segera berseru heran karena anak itu sudah empat hari tidak nampak.
“Heii, Cin Po. Ke mana saja engkau selama ini? Semua orang mencarimu!”
“Aku pergi jauh dari sini. Ke mana Su-kong (kakek guru)?”
Ditanya demikian semua murid itu hanya saling pandang dan menunjuk ke rumah besar. Cin Po segera berjalan cepat ke arah rumah besar diikuti Pat-jiu Pak-sian. Tanpa ragu Cin Po memasuki rumah besar itu dan dia dihadang beberapa orang murid yang berjaga di situ.
“Eh, engkau hendak ke mana?” kata seorang sambil memegang lengan anak itu. “Tidak boleh sembarangan masuk kalau tidak mendapat ijin Pang-cu.”
“Ehh? Siapa Pang-cu. Su-kong, bukan?”
“Sekarang Pang-cunya adalah Ban-pangcu. Su-kong telah meninggal dunia.”
Cin Po menjadi pucat dan dia mengibaskan tangan itu, lalu berlari masuk ke dalam. Kakek itu mengikutinya. Ketika tiga orang murid Thian-san-pang hendak mencegahnya, hanya dengan mengebutkan ujung lengan bajunya, dia membuat tiga orang itu terlempar ke kanan kiri dan dengan tenangnya dia mengikuti Cin Po masuk.
Di ruangan dalam, Cin Po melihat Ban Koan duduk di kursi yang biasa diduduki su-kongnya. Ban Koan terbelalak kaget ketika melihat anak itu, seperti tidak percaya pada penglihatannya sendiri, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga.
“Kau... kau?” katanya tergagap.
“Susiok, di mana su-kong,” tanya Cin Po seolah tidak pernah terjadi sesuatu antara dia dan paman gurunya itu.
Mata Ban Koan kini tertuju kepada kakek tua yang berdiri di belakang Cin Po dan tahulah dia bahwa Cin Po tentu ditolong oleh kakek itu. Maka dia segera mengubah siasat dan sikapnya. “Ah, kau terlambat, Cin Po. Tempat kita diserbu musuh, kakek dan duapuluh orang lebih saudara kita tewas, itu kuburannya berada di luar perkampungan kita!”
“Su-kong....!” Cin Po menjerit dan diapun berlari keluar, diikuti kakek yang menjadi seperti bayangannya itu.
Setelah mereka pergi, Ban Koan cepat mempersiapkan anak buahnya untuk berjaga-jaga karena dia mendapat firasat tidak enak dengan munculnya Cin Po dan kakek tua itu.
Cin Po menangis menggerung-gerung di depan makam Tiong Gi Cinjin. Dia amat mencinta kakek ini karena kakek itulah satu-satunya orang yang menyayangnya. Bahkan dari ibu kandungnya sendiri dia tidak pernah merasakan kasih sayang seperti dari kakeknya ini. Setelah puas menangis, dengan lunglai Cin Po menggeletak piagsan di depan makam kakeknya. Pat-jiu Pak-sian menotoknya beberapa kali dan dia siuman kembali.
“Bocah tolol. Untuk apa bertangis-tangisan sampai pingsan, menangisi orang mati? Perutmu lapar kau buat menangis seperti itu, tentu saja engkau tidak tahan dan pingsan. Hayo kita kembali ke perkampungan mencari makanan dan minuman!”
Sebetulnya Cin Po enggan kembali, akan tetapi dia ingat akan janjinya. “Suhu, yang membunuh su-kong dan semua saudara ini adalah paman guru Ban Koan tadi yang bersekutu dengan Tok-coa-pang:”
“Hemm, begitukah? Dia yang telah menendang sampai tulang igamu patah-patah?”
“Benar, Suhu.”
“Kalau begitu, hayo cepat ke sana untuk menghajarnya!” Kini kakek itu yang berjalan di depan.
Cin Po tentu saja ragu-ragu. Bagaimana dia bisa membalas menghajar paman gurunya? Akan tetapi dia harus patuh maka diapun mengikuti gurunya kembali memasuki perkampungan. Benar saja dugaannya. Baru saja tiba di depan rumah besar, mereka telah dikepung oleh duapuluh orang lebih murid Thian-san-pang yang memegang senjata pedang.
“Para paman harap jangan menyerang kami. Aku datang hanya untuk bicara dengan Ban-susiok!” kata Cin Po dengan tenang.
Pasukan itu terkuak dan muncullah Ban Koan dengan pedang di tangan. “Aku Ban-pangcu berada di sini! Engkau mau bicara apa, anak setan?”
“Ban-pangcu, engkau pernah menendang aku sampai terlempar ke dalam jurang, sekarang aku datang hendak menghajarmu!” kata Cin Po, teringat akan ucapan gurunya tadi.
Ban Koan terbelalak, lalu tertawa bergelak dan menyimpan kembali pedangnya. “Engkau? Hendak menghajar aku? Bocah setan, agaknya engkau sudah menjadi gila! Bukan engkau yang menghajar aku, melainkan aku yang harus menghajarmu karena sikapmu yang kurang ajar ini. Nah, rasakan pukulanku!”
Dia lalu memukul dengan sekuat tenaga ke arah kepala Cin Po. Anak ini hendak mengelak, akan tetapi tidak jadi karena pukulan paman gurunya itu tertahan di udara, tidak dilanjutkan seperti tertahan sesuatu.
“Cin Po, hayo kau pukul tulang-tulang iganya!” terdengar gurunya memerintah.
Cin Po menaati perintah itu. Dia menerjang ke depan dan memukul ke arah tulang iga lawan. Anehnya Ban Koan tidak mengelak dan menangkis sama sekali. Terdengar suara “bak-bik-buk” dan tubuh Ban Koan terhuyung ke belakang.
Semua murid Thian-san-pang menjadi terkejut dan heran bukan main. Yang lebih heran adalah Ban Koan karena setiap kali dia hendak menggerakkan tubuh untuk mengelak atau menangkis, tubuhnya itu tidak mampu dia gerakkan. Dia hanya melihat kakek itu mengibaskan lengan baju ke arahnya dari jarak jauh.
“Terus hantam tulang iganya sampai patah!” kata kakek itu kepada Cin Po. Biarpun baru berusia sepuluh tahun, namun tubuh Cin Po kuat sekali karena sudah terlatih maka pukulannya pun tidak dapat disamakan dengan pukulan anak biasa.
“Anak bodoh, begini kalau memukul!!” Pat-jiu Pak-sian memegang lengan kiri Cin Po lalu dipukulkan ke arah dada Ban Koan.
“Dessss…!” Tubuh Ban Koan terjengkang keras seperti dihantam kekuatan yang amat besar dan dia muntah darah.
Barulah para anak buah Thian-san-pang membelanya. Akan tetapi begitu kakek itu mengebutkan lengan bajunya ke kanan kiri, semua orang menjadi terlempar seperti daun-daun kering diterbangkan angin. Cin Po mendapat hati. Dia menghajar Ban Koan yang sudah roboh itu dan memukuli dadanya sampai Ban Koan berteriak-teriak kesakitan.
“Sudah, jangan bunuh dia,” kata kakek itu. “Minta saja disediakan makanan dan minuman untuk kita.”
Cin Po berdiri dan menginjak dada Ban Koan, lalu menghardik. “Hayo cepat menyuruh orang menyediakan makanan dan minuman yang lezat untuk Suhu dan aku!”
“Baik, baik…”
Cin Po melepaskan kakinya dan Ban Koan merangkak bangun. Ada beberapa tulang iganya yang patah oleh pukulan terakhir tadi. Sambil memegangi dadanya dia memerintahkan orang-orangnya yang menjadi jerih untuk menyediakan makanan dan minuman yang diminta Cin Po.
Guru dan murid ini lalu makan minum dengan lahapnya. Setelah tiga hari tiga malam hanya makan roti kering sepotong setiap hari, Cin Po merasa lapar sekali...