Pendekar Baju Putih Jilid 05 karya Kho Ping Hoo - “Di luar hutan, di lereng Bukit Menjangan.” Kakek itu lalu bangkit berdiri dan meninggalkan Cin Po. “Sudah, anak muda, aku sudah terlalu banyak bicara.”
Dan dia bergegas kembali ke kelompoknya. Di tengah kelompoknya barulah dia merasa aman. Cin Po pergi dari situ. Dia mengambil keputusan pasti. Agaknya yang dianggap siluman itu tentu orang jahat seperti yang diterangkan mendiang su-kongnya. Akan tetapi kalau orang jahat, untuk apa membunuhi anak-anak kecil. Dan luka-luka di leher dan kepala berlubang itu, untuk apa?
Dia teringat akan cerita guru pertamanya, yaitu Pat-jiu Pak-sian bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak orang yang mempelajari ilmu-ilmu gaib, ilmu-ilmu setan yang amat berbahaya, termasuk ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Dan untuk mempelajari ilmu ini, kadang orang menggunakan cara yang aneh-aneh dan keji.
Pat-jiu Pak-sian biarpun seorang datuk pula, tidak pernah sudi menggunakan cara-cara seperti itu, maka dia bercerita kepada muridnya dan mencela perbuatan semacam itu. Dia harus menyelidiki peristiwa ini, dan kabarnya masih ada dua orang anak lagi yang belum pulang. Siapa tahu dia akan dapat menyelamatkan dua orang anak itu. Bukit Menjangan menjulang di depannya. Dia lalu berangkat ke sana dan setelah tiba di luar hutan dia terus menyusup memasuki hutan itu.
Setelah tiba di tengah hutan, dia melihat sebuah pondok dan tiba-tiba terdengar tangis anak-anak dari belakang pondok. Cepat dia berlari ke sana dan melihat seorang pemuda sedang mengempit tubuh dua orang anak kecil, hendak dibawa masuk ke dalam pondok.
“Lepaskan anak-anak itu!” bentak Cin Po menghadang pemuda itu agar jangan memasuki pondok.
Dan dia terheran-heran melihat seorang pemuda berusia duapuluh tahunan yang wajahnya tampan sekali dan gagah, pakaiannya juga pesolek dan rapi, mengempit seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih tujuh tahun. Dua orang anak itu menangis ketakutan.
Melihat tiba-tiba muncul seorang pemuda remaja di depannya dan membentaknya, pemuda itu terkejut dan terheran, lalu tersenyum dan dia melepaskan dua orang anak itu. Dua orang anak kecil itu agaknya menyadari bahwa pemuda remaja itu hendak menolong mereka, maka mereka berdua lalu berlari dan bersembunyi di belakang Cin Po.
“Mau kau apakan dua orang anak itu?” bentak Cin Po. “Hendak kaubunuh seperti tujuh orang anak yang lain?”
Ditegur demikian, pemuda tampan itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong marah. “Apakah engkau seorang gila yang sudah bosan hidup, mencampuri urusan kami?”
Mendengar ini, Cin Po menjadi waspada. Agaknya pemuda ini tidak sendirian, dan tentu keadaan makin berbahaya. Tadi melihat cara pemuda itu mengempit dua orang bocah sambil berlari menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi dan akan merupakan lawan tangguh, apa lagi kalau masih ada temannya.
“Aku tidak hendak mencampuri urusan siapapun juga. Akan tetapi kalau ada siluman yang membunuhi anak-anak kecil entah untuk keperluan apa, aku harus mencegahnya!”
“Jahanam, sombong amat engkau. Siapakah engkau, jangan mati tanpa nama!”
Pemuda itu membusungkan dada. “Engkau agaknya tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Aku adalah Kam Song Kui yang berjuluk Kang-siauw Taihiap (Pendekar Besar Suling Baja). Hayo cepat pergi dan tinggalkan dua orang anak itu kalau engkau belum bosan hidup!”
Manusia yang sombong, pikir Cin Po. Akan tetapi agaknya kesombongannya bukan hanya bualan, melihat betapa tangan itu kini telah memegang sebatang suling yang mengkilat, agaknya baja itu disepuh perak. Sebatang suling yang panjangnya seperti pedang dan nampak indah. Sungguh cocok dengan orangnya yang tampan. Sayang ketampanan dan kegagahan pemuda ini agaknya palsu kalau benar dia yang membunuhi anak-anak itu.
“Kam Song Kui, namaku Sung Cin Po, dan aku tidak akan memusuhi siapapun juga. Akan tetapi aku minta engkau membebaskan dua orang anak ini. Mereka adalah anak-anak yang tidak berdosa, engkau mau apakan mereka? Dan tujuh orang anak yang tewas dengan leher dan kepala berlubang itu, apakah itu perbuatanmu?”
“Sung Cin Po, agaknya engkau seorang pemuda kang-ouw juga. Engkau tentu tahu bahwa tidak ada kematian tanpa sebab, dan tidak ada pembunuhan tanpa sebab. Guruku sedang mempelajari ilmu, maka membutuhkan anak-anak itu. Nah, aku sudah berterus terang, kalau engkau tetap menghalangiku, berarti engkau akan mati di sini.
“Sudah jelas aku menghalangi. Selama aku masih ada di sini, jangan harap engkau akan dapat membunuh dua orang bocah yang tidak berdosa ini!”
Pemuda tampan itu menjadi marah sekali. “Keparat, engkau memang sudah bosan hidup!” Dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerang dengan hebatnya, menggunakan sulingnya yang mengkilap itu dipukulkan ke arah kepala Cin Po.
Namun, Cin Po yang sudah siap dan tidak berani memandang rendah lawan, sudah mengelak dengan cepat ke samping dan kakinya mencuat dalam sebuah tendangan ke arah lambung lawan. Kam Song Kui yang berjuluk Kang-siauw Taihiap itupun dapat mengelakkan diri dari tendangan itu dan menyerang lagi.
Karena maklum bahwa lawannya lihai, Cin Po segera memainkan jurus-jurus dari ilmu silat Pat-jiu-sin-kun. Ilmu silat tangan kosong dari Pat-jiu Pak-sian ini memang hebat sekali. Terutama gerakan kedua tangan itu sedemikian cepatnya sehingga seolah tangan itu berubah menjadi delapan buah, sesuai dengan nama ilmunya, Pat-jiu-sin-kun (Silat Sakti Tangan Delapan)!
Dan Kam Song Kui terkejut bukan main, dia menjadi bingung melihat lawannya yang masih remaja itu bersilat sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu pundaknya terkena tamparan Cin Po, membuatnya terhuyung. Pada saat itu dari dalam pondok keluar seorang kakek berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan kepalanya bersorban seperti orang Sheik.
“Ada apakah, Song Kui?” tanya orang tua ini kepada pemuda bersuling itu, sambil memandang kepada Cin Po yang telah membuat lawannya terhuyung.
“Jahanam ini melarang teecu membawa dua orang anak itu, Suhu!” kata Song Kui sambil menunjuk ke arah dua orang anak yang bersembunyi di belakang Cin Po.
Kiranya si sorban itu adalah guru Kam Song Kui, guru yang sedang mempelajari ilmu aneh yang mengorbankan banyak anak kecil! “Heh, bocah gila, kau berani menghalangi kami?” Berkata demikian, kakek itu lalu mencengkeram dengan tangan kanannya ke arah kepala Cin Po.
Gerakan tangannya demikian cepatnya sehingga Cin Po terkejut dan cepat dia melompat ke belakang. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tangan itu mulur panjang dan tetap mengancam kepalanya dengan jari-jari tangan yang panjang itu membentuk cakar setan. Kalau kepalanya kena dicengkeram jari-jari itu, akan celakalah dia! Akan tetapi karena dia tidak dapat melompat lagi maka dia miringkan kepalanya dan mengangkat tangannya menangkis.
“Dukkk!” Tangannya terpental dan cengkeraman itu mengenai pundaknya! Cin Po meronta akan tetapi sia-sia belaka, karena cengkeraman itu seperti cengkeraman baja kuatnya, dan sebuah jari tangan menotoknya, membuatnya tak mampu bergerak lagi!
Akan tetapi tangan yang mencengkeram pundaknya itu kini lalu meraba-raba, menekan sana sini dan kakek itu berseru, “Hebat! Anak ini memiliki tulang yang hebat, tubuh yang sehat sekali. Mendapatkan tulang sumsumnya sama dengan mendapatkan tulang sumsum selusin kanak-kanak! Ha, aku beruntung sekali mendapatkan dia. Song Kui, kini tidak perlu lagi engkau mencari anak kecil. Pemuda remaja ini saja sudah mencukupi kebutuhanku akan sumsum tulang yang baik dan kuat.” Dan kakek itu tertawa terbahak saking girangnya.
Tentu saja Cin Po terkejut sekali dan bergidik ngeri. Kiranya anak-anak yang mati itu diambil tulang sumsumnya dan kini dia menjadi pengganti anak-anak itu. Akan diambil semua sum-sum dari tulangnya dan mungkin disedot semua darahnya!
Dia benar-benar berhadapan dengan manusia yang lebih pantas disebut siluman atau iblis! Dia hendak mengerahkan tenaganya, namun sia-sia. Totokan itu sedemikian ampuhnya sehingga dia tidak mampu menggerakkan tangan kaki sama sekali.
Tiba-tiba suara tawa itu berubah menjadi dua. Ada suara tawa lain yang menggetarkan tempat itu, seolah menandingi suara tawa guru Song Kui. Si sorban itu menjadi terkejut karena dari getaran suara tawa itu maklumlah dia bahwa ada orang pandai tertawa dan sengaja mengisi suara tawanya dengan khi-kang sehingga mengandung getaran yang sedemikian hebatnya.
Kakek bersorban itu adalah seorang datuk persilatan yang amat terkenal, terutama di dunia barat. Dia berjuluk See-thian Tok-ong (Raja Racun Dunia Barat), seorang datuk sesat yang ditakuti orang.
Kini dia terkejut mendengar suara tawa itu, maka jelaslah bahwa orang yang tertawa itu juga bukan orang sembarangan. Dan tahu-tahu di tempat itu telah muncul seorang kakek. Seorang kakek yang pendek kecil, nampaknya lemah saja, berusia enampuluh tahunan dan pakaiannya kebesaran sehingga kedodoran, seperti pakaian seorang pendeta dengan jubah berlengan lebar.
Memang kakek ini bukan orang biasa. Kalau See-thian Tok-ong merupakan seorang datuk dari barat, maka kakek kecil ini adalah seorang datuk dari selatan yang juga amat terkenal, berjuluk Nam-san Sianjin (Manusia Dewa Pegunungan Selatan). Dan di sebelah kirinya berdiri seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun yang cantik manis dan gagah.
Gadis ini adalah seorang di antara murid-muridnya yang bernama Souw Mei Ling. Dari cara kedua orang itu muncul di situ tanpa diketahui dan tahu-tahu telah berada di situ saja sudah dapat dimengerti betapa lihainya guru dan murid itu. Setidaknya mereka memiliki ginkang yang hebat sekali. Dan dari suara tawanya, juga Nam-san Sianjin telah menunjukkan kekuatan sin-kangnya.
“Ha-ha-ha, kiranya Nam-san Sianjin si kecil yang muncul di sini. Angin apa yang meniupmu dari selatan ke tempat kami ini, Sianjin!”
“Angin baik yang meniupku ke sini, karena aku dapat memperingatkanmu akan tindakanmu yang keliru sama sekali dan akan membahayakan dirimu sendiri.”
See-thian Tok-ong mengerutkan alisnya yang tebal hitam itu dan memandang dengan mata mencorong. “Apa maksudmu!”
“Kumaksudkan pemuda remaja itu. Jangan jadikan dia sebagal korbanmu, Tok-ong, kalau engkau ingin selamat.”
“Kenapa? Apamukah pemuda ini?”
“Bukan apa-apaku.”
“Kalau bukan apa-apamu, lalu kenapa engkau melarangku?”
“Tok-ong, apakah engkau tidak melihat ketika dia melawan muridmu tadi?”
“Tidak, mengapa?”
“Kalau engkau melihatnya, engkau akan tahu bahwa dia telah menggunakan jurus-jurus ilmu silat Pat-jiu-sin-kun.”
“Ahh……? Kau mau bilang bahwa dia itu murid Pat-jiu Pak-sian?”
“Begitulah kenyataannya. Aku tidak salah lihat, pemuda itu tentu murid Pat-jiu Pak-sian!”
“Kalau begitu, kenapa? Aku tidak takut kepada Pat-jiu Pak-sian!”
“Ha-ha-ha, ho-ho! Engkau tidak takut kepada Pat-jiu Pak-sian, diapun tidak takut kepadamu seperti juga aku tidak takut kepadamu. Ketahuilah, Pat-jiu Pak-sian adalah sahabatku. Kalau aku melihat engkau hendak membunuh muridnya dan aku diam saja, sungguh aku merasa tidak enak kepadanya. Karena itu Tok-ong, engkau boleh membunuh berapapun orang anak aku tidak perduli karena itu urusanmu, akan tetapi kau lihatlah mukaku, jangan bunuh murid Pat-jiu Pak-sian dan bebaskanlah dia.”
“Enak saja kau bicara! Aku mau membebaskan dia. Kalau engkau sanggup mengalahkan aku!”
“He-he-ha-ha! Apa sukarnya mengalahkanmu?” Kakek kecil itu memainkan tongkat butut yang tadi dibawanya.
“Majulah!” See-thian Tok-ong menantang dan raksasa hitam ini mengeluarkan sebatang pedangnya yang melengkung, berwarna hitam agaknya mengandung racun berbahaya.
“Hati-hati menghadapi tongkat wasiatku!” Si kecil itu lalu mulai menyerang dan gerakannya hebat sekali. Tubuhnya seperti tidak berpijak kepada tanah, demikian tinggi ilmunya meringankan tubuh sehingga tahu-tahu seperti terbang saja dia sudah melayang ke atas dan menyerang raksasa itu dengan tong-katnya.
Tongkat itu menusuk bertubi-tubi ke arah kedua mata See-thian Tok-ong sehingga raksasa bersorban ini terkejut bukan main. Cepat dia memutar pedangnya untuk menangkis, akan tetapi kakek itu sudah melayang ke belakangnya dan menotok punggungnya.
Dia membalikkan tubuh dan pedangnya membuat gulungan sinar hitam untuk melindungi seluruh tubuhnya. Harus diakui bahwa dalam hal kecepatan gerakan dan keringanan tubuh, dia kalah jauh dibandingkan Datuk Selatan ini.
“Mei Ling, bebaskan anak itu!” kata Nam-san Sianjin sambil terus menghujankan tusukan dan totokan kepada tubuh lawannya.
Souw Mei Ling melompat ke dekat Cin Po. Melihat ini, Song Kui hendak menghalangi akan tetapi Mei Ling sudah mencabut pedangnya dan menyerang Song Kui. Song Kui terkejut. Serangan itu bukan main cepatnya dan pedang itu bagaikan seekor burung walet saja, ketika hendak ditangkis dengan sulingnya, sudah berubah arah membacok dari samping.
Diserang gencar dengan cepat, Song Kui terpaksa meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Mei Ling untuk menotok Cin Po. Harus diketahui bahwa selain amat lihai dalam hal gin-kang, Datuk Selatan itupun lihai dalam ilmu totok, maka muridnya pun lihai sehingga dalam dua kali totokan saja Cin Po telah berhasil dibebaskan dari totokan See-thian Tok-ong.
Begitu dibebaskan, Cin Po membantu gadis itu mengeroyok Song Kui yang menjadi kewalahan sekali. Menghadapi Song Kui, Cin Po kembali memainkan Pat-jiu-sin-kun dan Song Kui sudah kewalahan, apa lagi di situ terdapat gadis yang ilmu pedangnya amat cepat itu. Dia terdesak mundur.
“See-thian Tok-ong, hentikan perlawanan ini, kalau tidak muridmu tentu akan celaka di tangan muridku dan pemuda murid Pat-jiu Pak-sian itu,” kata Nam-san Sianjin.
Agaknya See-thian Tok-ong tahu diri dan tahu akan bahaya yang mengancam muridnya, maka diapun melompat mundur dan berseru, “Song Kui, lepaskan dia!”
Song Kui juga melompat mundur dan guru dan murid itu kini hanya melihat saja ketika Nam-san Sian-jin bersama dua orang muda itu pergi dari situ tanpa tergesa-gesa. Mereka maklum bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, pihak mereka yang akan menderita kerugian.
Biarpun See-thian Tok-ong belum tentu kalah oleh kakek kecil itu, akan tetapi muridnya tentu akan menderita kekalahan dikeroyok dua orang muda yang lihai itu. Pula, kalau sampai kelak Nam-san Sianjin bersatu dengan Pat-jiu Pak-sian memusuhinya, See-thian Tok-ong merasa jerih juga.
“Locianpwe, saya Sung Cin Po menghaturkan terima kasih kepada locianpwe, karena kalau tidak ditolong, saya tentu akan menderita kematian yang amat mengerikan di tangan iblis-iblis itu.”
“Ha-ha-ha, kau bilang mereka itu iblis? Mereka bukan iblis, melainkan rajanya setan! See-thian Tok-ong itu adalah datuk barat yang kejamnya melebihi iblis. Dan engkau tidak usah berterima kasih kepadaku, orang muda. Katakan saja kepada gurumu, si botak Pat-jiu Pak-sian itu bahwa perhitungan di antara kami telah lunas.
“Dahulu pernah dia menolong seorang muridku yang akan terbunuh oleh Tung-hai Mo-ong. Kini aku menolong muridnya yang akan terbunuh oleh See-thian Tok-ong. Jadi sudah lunas, tidak ada lagi hutang menghutang budi antara dia dan aku. Bahkan melihat engkau terpilih oleh See-thian Tok-ong untuk diambil sumsum tulangmu, aku menjadi tertarik. Ke sinilah mendekat padaku!”
Cin Po menurut dan dia mendekati kakek yaug tingginya hanya sepundaknya itu. Kakek itu seperti yang dilakukan See-thian Tok-ong tadi, meraba-raba dan memencet-mencet bagian tubuhnya dan mengeluarkan decakan kagum.
“Pantas engkau dipilih oleh See-thian Tok-ong. Aku juga suka memilihmu, akan tetapi bukan untuk kuambil sumsum tulangmu, melainkan untuk kuajarkan beberapa ilmu silat karena engkau bertulang baik dan berbakat sekali. Begaimana?”
Cin Po memang sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk kembali kepada gurunya, Pat-jiu Pak-sian. Dia sudah memberontak terhadap pasukan Khi-tan, kalau gurunya mendengar tentu akan marah sekali dan mungkin tidak akan mengampuninya. Maka, mendengar tawaran kakek kecil itu, yang memiliki murid demikian cantik dan yang telah menolongnya, dia merasa girang dan segera dia menjatuhkan diri berlutut.
“Kalau suhu berkenan mengambil murid teecu, tentu teecu merasa berterima kasih dan berbahagia sekali,” katanya.
“Ha-ha-ha-ho-ho, ingin kulihat bagaimana muka Pat-jiu Pak-sian kalau melihat muridnya mengangkat guru kepadaku. Cin Po, mulai sekarang engkau menjadi muridku, dan ini adalah Mei Ling suci mu.”
“Suci!” Cin Po memberi hormat kepada gadis manis itu.
Mei Ling tersenyum manis. “Biarpun engkau menjadi suteku, akan tetapi aku sendiri belum tentu akan dapat menandingimu, sute.”
“Ah, suci terlalu memuji. Aku yang masih harus mendapatkan banyak petunjuk dari suci!” kata Cin Po merendah dan gadis itu merasa senang sekali dengan sikap sutenya itu.
Alangkah berbeda sikap anak ini dengan para saudara seperguruannya, yang rata-rata karena mengandalkan nama besar guru mereka, bersikap sombong dan seolah-olah tidak ada yang akan mampu menandingi mereka.
Demikianlah, mulai hari itu Cin Po menjadi murid Nam-san Sianjin. Berbeda dengan Pat-jiu Pak-sian yang pro Khi-tan, dan See-thian Tok-ong yang tinggal di daerah kerajaan Hou-han dan juga mempunyai kecondongan membela Hou-han, sebaliknya Nam-san Sianjin yang tinggal di daerah kerajaan Nan-cao di selatan berpihak kepada kerajaan Nan-cao. Nam-san Sianjin tinggal di pegunungan Tai-liang-san, yaitu di perbatasan antara kerajaan Nan-cao dengan kerajaan Sung.
Biarpun Nam-san Sianjin tinggal di daerah kerajaan Nan-cao dan di dalam hatinya berpihak kepada kerajaan ini, namun dia tidak aktip seperti Pat-jiu Pak-sian yang pro Khi-tan, atau See-thian Tok-ong yang pro Hou-han. Kakek kecil ini seperti yang acuh saja, walaupun seringkali dia membantu pasukan Nan-cao kalau bentrok dengan pasukan Sung di perbatasan, dan sudah beberapa kali kakek ini membasmi bajak laut yang merajalela di pantai laut selatan.
Kerajaan Nan-cao mengakuinya sebagai seorang tokoh kang-ouw yang baik, dan bahkan beberapa kali Kaisar telah mengirim utusan untuk membujuknya agar menduduki jabatan membantu pemerintah, namun selalu ditolak halus oleh kakek ini.
Juga tidak seperti para datuk lainnya yang membatasi diri dalam menerima murid, Nam-san Sianjin mempunyai beberapa orang murid. Akan tetapi murid utamanya hanya ada dua orang, yaitu Souw Mei Ling yang disayangnya seperti anak sendiri, dan yang kedua adalah seorang suheng dari Mei Ling bernama Kim Pak Hun.
Hanya dua orang murid inilah yang tinggal bersama kakek itu di rumahnya yang berada di satu di antara puncak-puncak bukit Tai-liang-san. Murid-murid lain tinggal di luar dan sebagian besar sudah tamat belajar. Akan tetapi tidak ada di antara mereka yang tingkat kepandaiannya dapat menyamai tingkat kepandaian Souw Mei Ling atau Kim Pak Hun.
Cin Po diajak naik ke Tai-liang-san. Di sebuah puncak terdapat sebuah bangunan yang menjadi tempat tinggal Nam-san Sianjin dan mereka bertiga disambut oleh seorang pemuda tinggi besar berusia duapuluh tahun. Pemuda itu adalah Kim Pak Hun, seorang pemuda yang berwajah, tampan dan gagah.
Ketika Pak Hun melihat betapa suhu dan sumoinya pulang bersama seorang pemuda yang berperawakan gagah, dia mengerutkan alisnya karena tidak mengenalnya. Suhunya setelah menerima penghormatannya langsung masuk rumah, maka dia bertanya kepada Souw Mei Ling.
“Sumoi, siapakah sobat ini?”
“Dia bernama Sung Cin Po, murid suhu yang baru, jadi dia adalah sute kita, suheng. Sute, ini adalah suheng Kim Pak Hun. Suhu tinggal di sini bersama kami berdua, adapun para murid lain tinggal di luar. Perkenalkan, sute.”
Cin Po segera memberi hormat kepada Pak Hun dan berkata, “Suheng, aku mengharapkan banyak petunjukmu.”
“Suheng, biarpun sute ini murid baru, akan tetapi dia lihai sekali. Dia pernah menjadi murid Pat-jiu Pak-sian yang terkenal di utara itu. Kepandaiannya tidak kalah dengan kita, setidaknya berimbang,” puji Mei Ling.
Pak Hun mengerutkan alisnya. “Ah, begitukah? Ingin sekali aku menguji kepandaianmu, sute.” Alisnya yang berkerut menunjukkan bahwa hatinya merasa tidak senang mendengar pujian Mei Ling terhadap sute yang baru itu.
“Aku tidak berani, suheng.”
“Kenapa tidak berani, aku hanya akan memberi petunjuk kepadamu. Bukankah kau katakan tadi mengharapkan petunjuk dariku, sute?” Pak Hun mendesak.
Mei Ling melerai. “Suheng, sute belum pernah belajar sejuruspun ilmu silat kita, bagaimana engkau akan mengujinya? Kalau engkau memukul sute, tentu Suhu akan menjadi marah sekali kepadamu. Pula, sute masih remaja, usianya baru limabelas tahun dan sudah sepantasnya kalau engkau memberi petunjuk kepadanya, bukan menguji ilmunya yang sudah ada.”
Mendengar bahwa Cin Po baru berusia limabelas tahun, kemarahan Pak Hun mereda. Sebetulnya kemarahannya adalah terutama sekali karena cemburu. Dia tidak senang Mei Ling memuji pemuda lain.
“Engkau baru berusia limabelas tahun sute? Akan tetapi tubuhmu seperti seorang pemuda dewasa saja,” katanya agak ramah karena dia tidak merasa perlu cemburu kepada seorang berusia limabelas tahun, masih kanak-kanak!
Demikianlah, mulai hari itu Sung Cin Po mendapatkan guru baru. Memang peruntungannya baik sekali. Pertama kali dia digembleng ibunya sendiri dan kakek gurunya ketua Thian-san-pang, kemudian selama lima tahun kurang dia menerima gemblengan Pat-jiu Pak-sian, dan kini dia menjadi murid Nam-san Sianjin.
Dari Pat-jiu Pak-sian dia sudah menerima ilmu-ilmu silat yang tinggi, di antaranya Pat-jiu-sin-kun dan ilmu pedang Hwi-sin-kiam-sut, dan sekarang dia menerima gemblengan dalam ilmu gin-kang yang luar biasa dari kakek kerdil itu. Nam-san Sianjin memang seorang ahli gin-kang yang sukar dicari tandingnya di masa itu.
Cin Po dilatih gin-kang sehingga kini dia dapat bergerak lebih cepat lagi. Dengan penambahan tenaga gin-kang dengan sendirinya ilmu-ilmu silat yang telah dia kuasai menjadi lebih ampuh lagi karena digerakkan dengan tubuhnya yang ringan dan gerakan yang amat cepatnya.
Selain ilmu gin-kang, diapun diajari ilmu totokan maut yang biasanya menggunakan tongkat atau jari tangan. Nama ilmu ini Tiam-hiat-tung (Tongkat Penotok Jalan Darah) dapat dipergunakan dengan tongkat atau hanya dengan jari tangan saja. Juga dia dilatih ilmu meringankan tubuh yang disebut Coan-hong-hui (Terbang Menembus Angin).
Tiga tahun lamanya Cin Po berlatih dengan giat sekali sehingga kepandaian silatnya meningkat dengan amat cepatnya. Memang dia bertulang baik dan berbakat sekali sehingga apa yang orang lain pelajari selama sepuluh tahun, dapat dikuasainya selama tiga tahun saja. Kini usianya sudah delapanbelas tahun, sudah dewasa!
Perubahan dirinya dari remaja menjadi dewasa agaknya mempengaruhi sikap Mei Ling kepadanya. Mei Ling memang lebih tua darinya, usianya sudah dua puluh satu tahun, akan tetapi karena tubuh Cin Po jauh lebih besar, maka kalau tidak diperhatikan, Cin Po nampak lebih tua.
Dan kini terjadi perubahan dalam sikap Mei Ling. Ia tidak lagi memandang Cin Po sebagai kanak-kanak dan sikapnya lebih akrab dengan sutenya ini karena memang Cin Po pandai membawa diri. Dan hanya Mei Ling lah yang suka menemani dia berlatih dan memberi petunjuk-petunjuk. Kadang-kadang keduanya berlomba lari mempergunakan ilmu Coan-hong-hui sehingga tubuh mereka melesat seperti kilat cepatnya menembus angin.
Biarpun selalu Cin Po masih kalah cepat, namun tidak begitu jauh selisihnya. Juga dalam ilmu silat menotok jalan darah, selalu Cin Po masih terdesak dan dia yang lebih banyak menerima totokan jari tangan gadis itu, yang tentu saja tidak menotok terus, melainkan hanya mencolek atau meraba saja. Demikian pula Cin Po, kalau sempat menyerang diapun hanya mencolek saja dengan jarinya sehingga mereka berdua itu seolah saling colek dan saling raba!
Namun, kalau di pihak Mei Ling hal ini membuat mukanya kemerahan dan terasa panas, bagi Cin Po biasa saja. Ketika mencolek atau meraba tubuh gadis itu, dia tidak merasa sesuatu di dalam hatinya.
Pada hal dia tidak tahu bahwa colekkannya membuat Mei Ling berdebar-debar dan salah tingkah sehingga permainan silatnya menjadi kacau. Dan ia seolah membiarkan dirinya lebih sering diraba atau dicolek oleh jari tangan Cin Po.
Hubungan akrab kedua orang muda ini tidak terlepas dari pandang mata Kim Pak Hun. Hatinya menjadi panas sekali. Sekarang Cin Po tidak boleh dibilang kanak-kanak lagi, melainkan seorang pemuda dewasa yang sudah mulai nampak membayang kumis melintang di bawah hidungnya!
Sore hari itu dia mendengar suara mereka berlatih di dalam taman bunga dan kadang dia mendengar kekeh Mei Ling yang kegelian karena tubuhnya teraba. Ketika Pak Hun mengintai, kedua telinganya terasa berdengung dan seluruh wajahnya menjadi merah dan terus panas. Hatinya menjadi panas sekali melihat kedua orang muda itu saling colek seperti itu!
Kenapa Mei Ling tidak pernah mau kalau dia yang mengajak berlatih Tiam-hiat-tung? Kenapa sekarang dengan Cin Po saling colek, bahkan gadis itu lebih banyak membiarkan dirinya diraba, dengan gerakan yang seolah sengaja diperlambat? Dan kekeh tawa itu!
Pak Hun menjadi marah bukan main. Rasa cemburu meracuni hatinya, menjadi api yang membakar hatinya sehingga dia tidak dapat menahan dirinya lagi. Dia segera menghampiri mereka dan kemunculannya menghentikan Cin Po dan Mei Ling yang seolah-olah sedang bercanda dalam latihan yang saling colek itu.
Melihat suhengnya, Cin Po bersikap biasa saja karena memang tadipun dia tidak terpengaruh sekali akan colekan-colekan itu. Berbeda dengan Mei Ling yang menjadi merah mukanya seolah tertangkap basah sedang bermesraan dengan Cin Po.
“Bagus!” kata Kim Pak Hun. “Ilmu yang kau pelajari dari Suhu sudah maju pesat, sute. Sekarang ingin sekali aku berlatih, denganmu dalam ilmu Tiam-hiat-tung dan agar lebih tepat, kita menggunakan tongkat, tidak main colek dengan jari seperti itu!”
Dia mengejek akan tetapi Cin Po tidak merasa diejek, hanya Mei Ling yang merasa. “Ladeni suheng, sute. Engkau belum tentu kalah!” kata Mei Ling yang menjadi marah juga karena merasa malu.
“Ah, aku belum mahir benar, suheng!”
Akan tetapi Pak Hun sudah melompat ke atas, menyambar dahan pohon, mematahkannya dan batang dahan itu patah menjadi dua potong, lalu menghampiri Cin Po. “Pilihlah!” katanya. Terpaksa Cin Po menerima sepotong.
“Awas, aku akan mulai menyerangmu. Lihat tongkat!” kata Pak Hun sambil menotokkan ujung dahan ke arah dada Cin Po.
Pemuda ini cepat menangkis, akan tetapi serangan Pak Hun dilanjutkan secara bertubi-tubi sehingga Cin Po main mundur. Bagaimanapun juga, dia masih kalah matang dalam latihan dan gerakannya tidak dapat mengimbangi kecepatan gerakan Pak Hun. Setelah lewat tigapuluh jurus, Pak Hun berhasil menyarangkan ujung tongkatnya menotok lutut Cin Po sehingga Cin Po jatuh berlutut!
“Bangkitlah!” seru Pak Hun dan dengan tongkatnya dia mencokel dan memaksa Cin Po bangkit. Begitu Cin Po bangkit dia sudah diserang lagi, tertotok di sana sini sampai jatuh bangun.
“Suheng, hentikan!” teriak Mei Ling yang melihat Cin Po jatuh bangun.
“Tidak, kami belum puas berlatih. Hayo, sute. Bangkitlah, atau engkau sudah kehilangan keberanian?”
Diejek begitu, Cin Po bangkit kembali dan dia mulai membalas dengan serangan jurus-jurus Tiam-hiat-tung. Akan tetapi bagi Pak Hun, gerakannya masih kurang cepat sehingga mudah saja Pak Hun mengelak atau menangkis dan membalas dengan totokan yang lebih kuat, membuat Cin Po jatuh terjengkang! Dengan tangan kirinya Pak Hun menggapai Cin Po agar bangun kembali. Lagaknya amat mengejek dan kini Cin Po mulai menjadi panas hatinya.
“Sekarang aku akan memukulmu, suheng!” katanya dan diapun menyerang lebih ganas lagi, mengerahkan semua tenaganya, akan tetapi makin marah dia, semakin kacau gerakannya dan kembali lututnya tercium ujung tongkat Pak Hun sehingga kembali dia jatuh berlutut.
“Tidak perlu berlutut, sute, marilah keluarkan semua kepandaianmu! Ha-ha, begini saja yang kaudapatkan selama tiga tahun? Agaknya engkau malas berlatih, hanya bermain-main saja dengan sumoi! Aku akan melapor kepada Suhu tentang kemalasanmu!”
“Keluarkan semua kepandaianmu? Baik, akan kukeluarkan!” Dan kini Cin Po meloncat bangun lalu menyerang dengan tongkatnya.
Pak Hun terkejut bukan main. Kini ranting di tangan Cin Po itu bergerak sedemikian aneh dan cepatnya, seolah ranting itu berubah menjadi delapan dan mengandung hawa panas! Ini adalah karena Cin Po yang sudah marah itu menggunakan Hwi-sin-kiam-sut yang mendatangkan hawa panas dicampur dengan Pat-jiu-sin-kun yang membuat tongkatnya berubah menjadi delapan!
Pak Hun mencoba untuk membela diri, memutar tongkatnya dengan cepat. Akan tetapi tetap saja, dia dihujani totokan dan pukulan tongkat oleh Cin Po sehingga dia jatuh bangun, jatuh lagi dan setiap kali hendak bangun dipapaki tongkat yang membuatnya jatuh lagi bergulingan sehingga bajunya kotor semua.
Sekali ini dia yang menjadi bulan-bulanan tongkat Cin Po dan menjadi permainan seperti sebutir bola saja. Kalau dia jatuh, Cin Po mencokel dengan tongkatnya sehingga dia bangkit lagi, lalu dirobohkan lagi dengan totokan atau kemplangan dengan rantingnya. Berulang kali begitu sehingga Pak Hun sudah tidak berdaya sama sekali, tidak mampu membalas sekali seranganpun!
“Sute, cukup, sute!” Mei Ling menjerit. Tadinya gadis ini merasa senang melihat sutenya kini membalas mempermainkan Pak Hun, ia lalu menjerit, menghalangi Cin Po dengan kedua tangannya.
Cin Po berdiri dengan ranting di tangan, tubuhnya penuh keringat dan bajunya yang putih menjadi kotor semua ketika tadi dia dibuat jatuh bangun oleh Pak Hun. Melihat Pak Hun rebah dan tidak bangkit lagi, keduanya menjadi terkejut. Mei Ling cepat berlutut memeriksa dan ternyata Pak Hun jatuh pingsan, dengan pakaian kotor dan robek-robek.
“Celaka, sute. Kalau suhu tahu, tentu dia marah sekali. Apalagi engkau tadi menggunakan jurus lain. Suheng pasti mengadu dan kalau Suhu mendengar engkau menghajar suheng dengan jurus silat lain, pasti Suhu akan menghukummu!”
“Aku... aku telah lupa diri. Sebaiknya aku pergi saja sebelum Suhu datang dan membunuhku!”
Mei Ling bangkit berdiri lalu merangkul sutenya. “Aku terpaksa membenarkan engkau pergi, sute. Hatiku berat sekali untuk kau tinggal pergi, akan tetapi.... betul kata-katamu, kalau Suhu tahu engkau merobohkan suheng dengan jurus silat lain, mungkin Suhu akan membunuhmu.”
“Kalau begitu, selamat tinggal, suci....”
“Selamat jalan, jagalah dirimu baik-baik, sute dan janganlah engkau melupakan diriku.”
“Bagaimana mungkin melupakanmu, suci? Engkau begitu baik kepadaku. Selama hidupku akan kuingat engkau dalam hatiku. Nah, aku pergi, suci!” Cepat Cin Po meninggalkan tempat itu.
“Sute,” gadis itu memanggilnya dan Cin Po segera berhenti. Gadis itu menghampirinya sambil berlari. “Engkau jangan kembali ke rumah, takut Suhu mengetahuinya.”
“Aku hanya mengambil buntalan pakaianku.”
“Tidak usah. Ini… bawalah ini untuk bekal di jalan dan membeli pakaian.” Mei Ling melepaskan kalung dan gelangnya, menyerahkannya kepada Cin Po.
Cin Po merasa terharu sekali. Baru sekarang terasa olehnya betapa sucinya itu amat sayang kepadanya dan juga betapa berat hatinya berpisah dari sucinya yang selalu ramah dan baik kepadanya itu. “Suci... engkau baik sekali, aku….. tidak akan... melupakanmu.”
“Sudah, cepatlah pergi....” Mei Ling menyuruhnya pergi akan tetapi dalam suaranya terkandung isak.
Cin Po hendak bicara lagi akan tetapi ia membalikkan tubuh, agar tidak nampak beberapa butir air mata tergenang di matanya. Cin Po mendengar suara Suhunya dari rumah, agaknya memanggil Mei Ling. Maka diapun lalu berlari cepat meninggalkan rumah itu, meninggalkan semua pakaiannya dan hanya membawa kalung dan gelang sucinya.
Dia berlari terus dengan cepatnya menuju ke utara, dengan niat untuk kembali ke kerajaan Song. Akan tetapi karena kekurang tahuannya, dia malah menuju ke timur!
Tanpa disadarinya sendiri, Cin Po memasuki daerah kerajaan Wu-yeh, sebuah kerajaan lain di daerah Tenggara sepanjang pantai laut timur dan selatan. Pada suatu hari, setelah melewati tapal batas dan memasuki kota Wu-couw di tepi Sungai Mutiara, barulah dia mengetahui bahwa dia telah tersesat masuk ke wilayah kerajaan Wu-yeh!
Dia memasuki sebuah toko perhiasan dan terpaksa menjual gelang pemberian Mei Ling. Akan tetapi kalung pemberian gadis itu dia pakai di lehernya dan dia berjanji kepada diri sendiri tidak akan pernah menjual kalung itu dan akan disimpannya sebagai tanda mata atau tanda kenangan.
Ternyata gelang itu terbuat dari emas murni, maka ia menerima uang cukup banyak untuk biaya hidup selama beberapa bulan! Dia membeli beberapa stel pakaian putih dan membawanya dalam sebuah buntalan kain kuning. Lalu dia melanjutkan perjalanannya.
Dalam usianya yang hampir sembilanbelas tahun, Cin Po sudah merupakan seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah perkasa, pemuda yang selalu berpakaian putih bersih seperti orang berkabung! Dia berjalan terus menyusuri Sungai Mutiara. Ketika tiba di sebelah timur kota Wu-couw, dia memasuki sebuah hutan dan pegunungan di mana air sungai itu mengalir.
Jalannya sungguh sukar dan selagi dia mengambil keputusan untuk kembali ke barat dan menyeberangi sungai itu untuk melanjutkan perjalanan ke utara. Tiba-tiba berlompatan duapuluh lebih orang berpakaian serba hitam, dipimpin oleh seorang tinggi besar yang memegang sebatang golok besar. Orang tinggi besar ini mukanya brewok dan sikapnya galak sekali.
“Ha-ha, pemuda yang lewat. Jangan engkau pergi sebelum meninggalkan buntalan pakaianmu dan juga pakaian yang kaukenakan di tubuhmu harus kautinggalkan di sini! Engkau boleh merangkak pergi seperti anjing tanpa pakaian!”
Mendengar hinaan ini, para anak buahnya tertawa bergelak-gelak, seolah sudah melihat pemuda itu merangkak telanjang seperti anjing takut dipukul. Cin Po mengerutkan alisnya. Dia sudah dapat menduga bahwa orang-orang ini tentulah sebangsa perampok.
“Mengapa buntalan ini mesti kutinggalkan dan pakaian yang kupakai mesti ditanggalkan? Ini buntalan dan pakaian adalah milikku sendiri!”
“Ha-ha-ha, milikmu tadi, akan tetapi sekarang harus diserahkan kepada kami!” kata si brewok sambil tertawa lantang.
“Mengapa?” Cin Po bertanya penasaran walaupun dia tahu bahwa para perampok itu tentu saja pekerjaannya merampas barang-barang milik orang lain dengan kekerasan.
“Mengapa? Engkau lewat di jalan ini, harus membayar pajak kepada kami.”
“Ini jalan umum, milik pemerintah!”
“Ha-ha-ha, ini wilayah kami, milik kami. Hayo pilih saja, menyerahkan semua milikmu atau menyerahkan nyawa kepada kami!”
“Kalian perampok jahat!” kata Cin Po.
“Jangan menghina! Kami bukan perampok. Kami adalah bajak-bajak yang gagah perkasa. Seluruh lembah Sungai Mutiara ini termasuk kekuasaan kami. Hayo cepat serahkan buntalan itu!”
“Takkan kuserahkan kepada siapapun. Ini hanya pengganti pakaian yang tidak ada harganya. Harap kalian jangan mengganggu aku lagi. Sesungguhnya aku tidak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian memaksa, akan kulawan....”