Pendekar Baju Putih Jilid 06 karya Kho Ping Hoo - Si brewok itu terbelalak heran. Baru sekarang dia bertemu seorang pemuda dusun yang tidak takut kepada dia dan kawan-kawannya bahkan mengatakan berani melawan mereka!
“Engkau sudah bosan hidup!” bentak si brewok dan karena marah, dia sendiri yang maju dan mengayun golok besarnya membacok ke arah leher Cin Po dengan keyakinan bahwa sekali goloknya melayang, pemuda bandel ini tentu akan terpenggal lehernya!
Akan tetapi dia kecelik. “Wuuuttt…!” Golok besar itu menyambar lewat dan luput dari sasaran. Dan sebelum si brewok dapat membalikkan goloknya, sebuah tendangan keras mengenai perutnya.
“Bukk…!” Biarpun tubuhnya kuat, tendangan kaki Cin Po itu membuat dia terjengkang! Semua anggauta bajak itu menjadi marah sekali. Dan tanpa dikomando lagi mereka segera menyerbu ke arah Cin Po dengan golok mereka. Duapuluh empat orang kini mengeroyok Cin Po bagaikan serombongan semut mengeroyok seekor jangkerik.
Dan Cin Po mengamuk! Kaki tangannya bergerak dan tubuhnya dapat bergerak sedemikian cepatnya sehingga duapuluh empat orang itu tidak dapat melihatnya, hanya melihat sebuah bayangan berkelebatan ke sana sini dan tubuh mereka bergelimpangan!
Melihat ini, kepala bajak yang brewok dan yang kini sudah bangkit kembali, lalu berseru. “Pergunakan jala!” dan anak buahnya lalu menaati perintah ini.
Setiap dua orang kini memegang jala yang lebar dan kuat, dan mereka lalu menyerang Cin Po dengan jala atau jaring yang biasa mereka pergunakan untuk menangkap ikan, juga kini dapat dipergunakan untuk berkelahi, sebagai senjata yang ampuh.
Biarpun memiliki gerakan gesit, karena di sana sini disambut tebaran jala, beberapa kali Cin Po tertangkap dalam jala. Dia meronta dan dengan kedua tangannya dapat merobek jala, akan tetapi sehelai jala lain sudah menutup tubuhnya lagi, disusul jala-jala lain.
Karena banyak jala yang menutup dirinya, agak sukar bagi Cin Po untuk melepaskan diri dan pada saat seperti itu, banyak golok menyambar ke arah tubuhnya. Cin Po terpaksa menggunakan sin-kang melindungi kedua lengannya yang dipakai untuk menangkis.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara tawa. “Ha-ha-ha, lagi-lagi sekawanan perampok busuk yang melakukan kejahatan!”
Dan tiba-tiba seorang kakek tinggi kurus berusia enampuluhan tahun sudah berada di situ. Sekali dia meraih, dia telah menangkap si brewok pada tengkuknya dan golok besar di tangan si brewok itu tahu-tahu telah berpindah tangan.
“Semua akan kubasmi!” kata kakek itu dan sekali tabas, golok itu memenggal leher si kepala bajak sampai putus!
Semua penjahat terkejut dan ketakutan, akan tetapi kakek itu sudah menggerakkan goloknya bertubi-tubi dan mayat-mayat jatuh bergelimpangan bermandikan darah sendiri. Dalam waktu beberapa menit saja, lebih dari sepuluh orang sudah roboh dan tewas, dengan leher atau tubuh terpotong! Sisanya lalu melarikan diri cerai berai, ketakutan menghadapi kakek tinggi kurus yang ganas itu.
Sesosok bayangan lain melakukan pengejaran, akan tetapi kakek tinggi kurus itu berkata, “Ciok Hwa, jangan kejar!” Setelah berkata demikian, kakek itu melontarkan golok rampasannya ke arah mereka yang berlari dan… dengan jitu sekali golok itu menyambar dan membikin putus leher dua orang sekaligus!
Cin Po melihat ini semua dari balik jala dan dia kini berusaha melepaskan semua jala, akan tetapi menemui kesukaran.
“Ciok Hwa, bebaskan ikan itu dari dalam jala!” kata pula kakek tinggi kurus dan gadis itu lalu meloncat ke dekat Cin Po.
Dari balik jala yang berlapis-lapis itu Cin Po tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan jelas, akan tetapi dia dapat melihat bentuk tubuh yang amat hebat. Dada dan pinggul membusung, pinggang ramping sekali dan kulit tangan itu putih kemerahan. Seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh yang amat menggairahkan dan jarang terdapat bentuk tubuh seperti itu.
Gadis itu menggerakkan pedangnya dan dengan hanya beberapa kali sambaran sinar pedangnya saja, jala itu telah putus semua dan Cin Po keluar dari jala- jala itu dengan bebas. Pertama-tama yang dipandangnya adalah sepasang mata yang aduhai bening dan indahnya, seperti mata burung Hong.
Akan tetapi ketika matanya menjelajahi wajah itu, dia tertegun kaget. Wajah itu! Bentuk-bentuk hidung dan mulutnya memang bagus, akan tetapi kulit wajahnya itu penuh dengan cacat, seperti penyakit kudis yang tebal atau penyakit kusta. Wajah itu penuh benjolan yang berwarna hitam kebiruan membuat wajah itu nampak amat mengerikan, menakutkan dan bahkan menjijikkan!
Dia tidak mau memandang lebih lama lagi takut menyinggung perasaan yang punya wajah jelek, dan cepat dia menoleh kepada kakek tinggi kurus dan memandang penuh perhatian. Kakek itu berusia kurang lebih enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya seperti orang berpenyakitan.
Rambutnya jarang dan tipis sehingga kepalanya nampak kulitnya, kulitnya banyak keriput. Kumisnya hanya lima helai dan jenggotnya juga jarang. Karena kurusnya maka wajah itu nampak meruncing mirip wajah tikus, seekor tikus yang berpenyakitan. Bajunya juga sederhana dan lebar seperti jubah pendeta.
Setelah mengamati orang tua itu, Cin Po segera memberi hormat kepada kakek itu dan berkata, “Terima kasih atas bantuan locianpwe dan nona. Kalau ji-wi (kalian) tidak datang membantu, tentu aku sudah ditangkap seperti seekor ikan oleh para bajak itu.”
“Tidak perlu berterima kasih, orang muda. Para penjahat itu membikin keadaan tidak aman dan mengacau di Wu-yeh, sudah menjadi kewajiban kami untuk membasminya.
“Akan tetapi kulihat tadi ilmu silatmu hebat. Mereka itu sama sekali bukan lawanmu dan karena belum berpengalaman maka engkau dibikin kacau dan bingung oleh jala-jala itu.
“Engkau bahkan berani menangkis senjata mereka dengan kedua lenganmu. Apakah lenganmu tidak terluka? Coba aku memeriksanya.”
Cin Po melangkah maju dan kakek itu lalu menyingkap lengan baju Cin Po yang sudah robek-robek terkena senjata tajam. Akan tetapi kedua kulit lengan itu masih utuh, sedikitpun tidak ada tanda goresan, apalagi terluka.
“Hebat…! Semuda ini telah memiliki sin-kang yang demikian kuat. Heii, nanti dulu......” kakek itu kini meraba-raba dan menekan-nekan tulang di kedua lengan Cin Po. “Bukan main! Engkau memiliki tulang yang bersih dan berbakat sekali untuk menjadi seorang pendekar besar dan pantas orang seperti engkau menerima pelajaran ilmu-ilmu silat tertinggi. Siapa namamu?”
“Nama saya Sung Cin Po, locianpwe.”
“Tadi ketika engkau dikeroyok, aku melihat engkau seperti menggunakan ilmu silat Pat-jiu-sin-kun. Benarkah dugaanku?”
Cin Po diam-diam terkejut. Bukan orang sembarangan kalau dapat mengenal Pat-jiu-sin-kun, setidaknya orang ini pasti sudah mengenal Pat-jiu Pak-sian dan melihat ilmu silat itu. “Dugaan locianpwe memang benar dan ini menunjukkan bahwa locianpwe adalah seorang yang sakti.”
“Ha-ha-ha, siapa tidak mengenal ilmu pukulan Delapan Tangan dari Pat-jiu Pak-sian itu? Eh, Cin Po, kalau begitu engkau murid Pak-sian?”
“Saya pernah berguru kepada beliau, locianpwe.”
“Akan tetapi gerakanmu yang seperti terbang tadi mengingatkan aku akan gerakan ilmu ginkang Coan-hong-hui (Terbang Menembus Angin). Benarkah?”
Cin Po terbelalak. Bukan main kakek ini. Pengetahuannya tentang ilmu silat demikian luas. “Bagaimana locianpwe bisa tahu? Memang benar saya tadi menggunakan Coan-hong-hui.”
“Luar biasa, luar biasa! Jangan katakan bahwa engkau pernah menjadi murid Nam-san Sianjin pula!”
“Tidak salah, locianpwe. Memang pernah saya belajar ilmu silat kepada beliau selama tiga-empat tahun!”
“Sekaligus menjadi murid Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin! Luar biasa sekali. Akan tetapi kedua orang iblis tua itu sejak dahulu memang bersahabat. Tapi engkau beruntung, Cin Po. Berapa usiamu sekarang?”
“Sembila belas tahun, locianpwe.”
“Bagus! Dan engkau tentu belum menikah?”
“Belum.”
“Cocok! Anakku Ciok Hwa berusia delapanbelas tahun dan iapun belum bertunangan. Engkau murid Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin, sedangkan Ciok Hwa adalah puteriku, Tung-hai Mo-ong. Sudah cocok sekali. Cin Po, engkau pantas menjadi mantuku, menjadi calon suami anakku Ciok Hwa! Ha-ha-ha-ha!” kakek itu tertawa-tawa dengan riangnya.
Jantung Cin Po seolah berhenti berdetak. Menjadi mantunya? Tak terasa lagi Cin Po menoleh ke arah Ciok Hwa dan kebetulan sekali gadis itupun memandang kepadanya. Mata itu! Demikian lembut, demikian jeli. Akan tetapi pipi itu! Begitu buruk dan mengerikan. Benjolan-benjolan hitam itu sungguh menjijikkan. Bagaimana mungkin dia menikah dengan seorang yang cacat berat seperti itu?
Setiap orang anak menertawakannya. Kalau gadis itu lewat di depan banyak orang, tentu menimbulkan perhatian dan semua orang akan merasa ngeri dan jijik. Sejenak dua pasang mata itu bertemu dan bertaut, kemudian Ciok Hwa lebih dulu menundukkan mukanya, seolah hendak menyembunyikan wajah yang buruk sekali itu.
“Bagaimana pendapatmu, Cin Po? Ketahuilah bahwa Ciok Hwa seorang anak yang baik. Engkau tidak akan bisa menemukan wanita kedua seperti anakku ini. Ilmu silatnya sudah hampir menyusulku dan ia baik budi.”
“Maaf, locianpwe. Pada waktu ini saya sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan.”
Kakek itu membelalakkan matanya dan kini wajahnya yang seperti tikus itu nampak menyeramkan dan menakutkan, sepasang mata itu seperti mencorong mengeluarkan api. “Apa? Engkau berani menolak anakku?”
“Maaf, locianpwe. Saya sama sekali bukan menolak, hanya berkata terus terang bahwa saya belum memikirkan soal pernikahan. Wanita manapun yang hendak dijodohkan dengan saya, pasti tidak dapat saya menerimanya karena memang belum ada niat untuk mengikatkan diri dalam pernikahan. Pula, mengenai perjodohan saya tentu akan diatur oleh ibu saya.”
“Hem, engkau masih mempunyai ibu? Di mana ibumu?”
“Ibu saya tinggal di Bi-ciu, di kaki gunung Thian-san, dalam kuil Ban-hok-si.”
“Kalau begitu, aku akan ke sana mencari ibumu dan akan kuajak bicara tentang perjodohanmu dengan anakku.”
“Harap jangan lakukan itu, locianpwe. Biarpun yang mengurus perjodohanku adalah ibuku, akan tetapi tentu baru dapat terlaksana kalau ada kemauan dari saya. Pada waktu ini, saya belum mau menikah, locianpwe.”
“Siapa bilang menikah sekarang? Asalkan engkau mau menerima dan sudah bertunangan, soal pernikahan dapat dilangsungkan kemudian kalau engkau sudah bersedia!”
Sampai di situ, Ciok Hwa mencela ayahnya. “Ah, ayah…!” dan iapun sekali berkelebat lenyap dari tempat itu.
Tung-hai Mo-ong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, engkau melihat sendiri, Cin Po. Anakku pergi itu berarti ia malu, dan kalau ia malu itu berarti ia mau. Kalau ia menolak, sudah sejak tadi ia membantah dan menolak.”
“Maaf, locianpwe. Jawabanku tetap tidak. Saya tidak mau memenuhi permintaan locianpwe. Saya belum mau terikat…”
“Keparat, engkau berani menolak permintaan Tung-hai Mo-ong? Berarti itu penghinaan! Kalau perlu, aku akan menemui kedua orang gurumu itu, Pak-sian dan Sianjin, untuk mendapatkan perkenan mereka. Nah, kurang bagaimana?”
“Aku tidak dapat memenuhi permintaan itu.”
“Engkau tetap membangkang?”
“Saya tidak ingin menikah.”
“Kalau begitu aku akan memaksamu!”
“Locianpwe tidak akan dapat memaksaku. Perjodohan tidak dapat dipaksakan!”
“Aku akan menahanmu sampai engkau mau!” Dan tiba-tiba saja kakek ini menubruk dan melakukan serangan menotok ke tujuh jalan darah di tubuh Cin Po secara bertubi-tubi.
Cin Po sangat terkejut. Gerakan kakek ini memang luar biasa, akan tetapi diapun cepat mengelak dan menangkis, mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa dia menghadapi seorang datuk sakti.
Karena tujuh kali totokannya dapat dielakkan dan ditangkis, Tung-hai Mo-ong menjadi semakin marah dan dia mulai bersilat dengan ilmu yang amat diandalkannya dan yang mengangkat namanya menjadi besar sebagai seorang datuk. Ilmu silat tangan kosong ini bernama Toat-beng-sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa) dan gerakannya dahsyat bukan main.
Cin Po harus bersikap hati-hati sekali dan diapun mengerahkan gin-kangnya dan mengelak. Tubuhnya menjadi seperti bayangan saja yang sukar disentuh lawan. Akan tetapi, dia berhadapan dengan seorang datuk. Selain tingkatnya masih kalah, juga dia kalah pengalaman.
Setelah lewat limapuluh jurus, datuk itu menjadi marah dan penasaran sekali. Masa dia tidak mampu merobohkan seorang pemuda, biar pemuda itu murid Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin sekalipun?
“Hiaaaattt…!!” Kini pukulannya mengandung hawa pukulan amat dahsyat, pukulan jarak jauh yang mengandalkan khi-kang.
Cin Po mencoba untuk menahan, akan tetapi tetap saja dia terhuyung. Dan selagi dia terhuyung, kakek itu kembali mengirim pukulan dengan tangan kosong. Sekali ini Cin Po menangkis.
“Plakk!” Pukulan itu tertangkis akan tetapi tiba-tiba Cin Po mengeluh dan terhuyung. Kiranya tangan Tung-hai Mo-ong yang memukul tadi, diam-diam mengeluarkan sebatang jarum ketika ditangkis yang sudah dipersiapkan di antara jari-jarinya dan jarum itu tepat mengenai pundak Cin Po. Jarum itu mengandung racun pembius dan Cin Po roboh pingsan!
“Ha-ha-ha, anak kecil mau melawan orang tua!” Lalu dia memondong tubuh itu, dibawanya lari. Setelah tiba di rumahnya yang berada di tepi kota Wu-couw, dia memasuki pekarangan rumahnya dan di depan pintu telah menanti Kui Ciok Hwa.
“Ayah, dia itu kenapa?” tanya gadis itu sambil menunjuk kepada tubuh Cin Po yang dipanggul ayahnya.
“Anak bandel ini perlu dihajar. Aku akan menahannya di sini sampai dia mau menerima uluran tanganku agar dia menikah denganmu.”
“Ah, ayah tidak boleh memaksa orang.”
“Apa yang kukehendaki harus kudapatkan. Dia seorang pemuda yang hebat, anakku. Dalam dunia ini sukar didapatkan keduanya. Semuda ini ilmu kepandaiannya sudah mengagumkan. Kalau dia lebih berpengalaman, kukira aku sendiri tidak akan mudah untuk merobohkannya. Dia akan menjadi suami dan mantu yang baik. Orang seperti ini kelak akan mengangkat derajatku sebagai ayah mertua, Ciok Hwa. Sekarang engkau cepat mengambil obat penawar racun, dan engkaulah yang harus merawat dan mengobatinya. Pundak kirinya terkena jarum beracunku.” Kakek itu membawa Cin Po ke sebuah kamar dan merebahkannya di tempat tidur.
“Agar aman dan dia tidak melarikan diri, biar kubelenggu lebih dulu kakinya. Nah, sekarang engkau kuserahi dia, rawatlah baik-baik, tentu dia akan merasa berterima kasih dan suka padamu. Aku hendak pergi, sore nanti baru akan kembali.”
Ciok Hwa tidak membantah semua ucapan ayahnya. Ia sudah mengenal benar watak ayahnya yang keras, makin dibantah semakin keraslah dia. Maka iapun diam saja dan setelah ayahnya membelenggu kaki Cin Po dengan rantai dan meninggalkannya, barulah dia menghampiri pemuda itu.
Ia duduk di tepi pembaringan dan mengamati wajah pemuda itu. Jantungnya berdebar tegang. Ayahnya memang benar. Pemuda ini hebat dan begitu melihatnya, hatinya telah jatuh cinta. Ia segera memeriksa pundak yang terkena racun jarum. Tanpa ragu lagi didekatkan mukanya pada pundak itu, lalu ditempelkan bibirnya pada luka kecil itu dan sambil mengerahkan sin-kang, iapun menyedot.
Setelah jarum itu keluar sedikit, lalu digigitnya dan dicabutnya keluar. Kemudian, tiga kali dihisapnya luka itu sampai banyak darah yang keluar. Setelah itu baru ia menempelkan obat bubuk ke atas luka dan membalut pundak itu.
Tak lama kemudian Cin Po siuman. Dia mengeluh karena pundak kirinya terasa panas dan nyeri. Dia membuka mata, melihat gadis buruk rupa itu duduk di pembaringannya, membuatnya terkejut dan berkata, “Maafkan, nona.” Dan diapun bangkit duduk.
Ciok Hwa bangkit berdiri dan pindah duduk ke atas kursi tak jauh dari pembaringan. Ketika Cin Po hendak turun dari pembaringan, baru dia tahu bahwa kedua kakinya dibelenggu dan diikatkan pada tiang rumah. Rantai untuk mengikat kakinya itu besar dan kuat sekali sehingga tidak mungkin dia membikin putus rantai seperti itu.
“Nona, kenapa kakiku dibelenggu?” tanyanya sambil memandang kepada gadis itu. Masih ngeri dia melihat wajah yang penuh benjolan itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada gadis itu.
Sebetulnya gadis itu tidak buruk, bahkan cantik dan bentuk tubuh yang amat menggairahkan, kulitnya putih kemerahan pada lehernya. Akan tetapi benjolan-benjolan pada muka itu. Mengerikan! “Ayah menghendaki engkau tinggal di sini maka kakimu dibelenggu ayah.”
Cin Po membuat gerakan akan berdiri dan merasa nyeri pada pundaknya. Dia meraba dan baru tahu bahwa pundaknya dibalut, lalu dia teringat sebelum pingsan bahwa pundaknya terasa nyeri ketika dia menangkis pukulan Tung-hai Mo-ong. “Siapa mengobati pundakku, nona?”
“Aku yang melakukannya. Engkau dibawa pulang ayah dalam keadaan pingsan. Nih, minumlah dulu obat ini dan semua hawa beracun akan terusir keluar dari tubuhmu.” Dan gadis itu menghampiri, menyerahkan semangkok obat yang masih hangat.
Tanpa curiga dan ragu, Cin Po menerima mangkok itu dan minum isinya sampai habis. Rasanya sedap dan nyaman dan khasiatnya sungguh hebat dan cepat karena rasa nyeri di pundaknya itu seketika lenyap.
“Nona, ayahmu tidak berhak menahanku di sini. Nona, aku hendak bertanya kepadamu. Apakah engkau akan suka kalau dipaksa menikah di luar kehendakmu?”
Gadis itu menunduk dan menggeleng kepalanya.
“Dan tentu saja akupun demikian. Aku tidak suka dipaksa menikah dan biarpun ayahmu akan membunuhku, aku tetap menolak. Aku baru akan menikah kalau memang aku menghendakinya. Kalau aku belum mau, biar dipaksa sampai matipun aku tidak akan mau. Heran sekali, ayahmu seorang datuk yang berkedudukan tinggi, mengapa dapat melakukan paksaan seperti ini?”
“Ayah adalah seorang datuk besar, segala keinginannya harus dipenuhi orang, tidak ada yang boleh menolak kehendaknya. Dia menghendaki engkau menjadi mantunya, tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh melarangnya.”
“Akan tetapi persoalan ini mengenai kehidupan dua orang, nona! Kehidupanmu dan kehidupanku? Kita yang akan dinikahkan dan kita berdua yang akan menderita akibatnya, bukan dia!”
“Aku tahu…” kata gadis itu dengan nada sedih, “dan engkau menolak. Engkau pasti membenciku, bukan? Engkau amat tidak suka kepadaku karena wajahku yang buruk dan cacat ini, bukan?”
Tiba-tiba Cin Po merasa kasihan. “Tidak sama sekali, nona. Aku tidak benci padamu, juga bukan tidak suka kepadamu. Akan tetapi aku belum memikirkan tentang perjodohan, usiaku baru sembilan belas tahun. Aku masih ingin meluaskan pengetahuanku dan mencari pengalaman hidup, bahkan aku masih mempunyai tugas-tugas penting yang belum ku laksanakan. Bagaimana aku dapat memikirkan pernikahan? Pula, andaikata saatnya tiba, masih ada ibuku yang akan mengatur pernikahanku, bukan orang lain.”
Ciok Hwa menghela napas panjang. “Aku mengerti, dan seandainya aku tidak buruk rupa, tentu engkau akan bicara lain.”
“Tidak! Sungguh mati tidak. Biarpun gadis yang cantik seperti bidadari sekalipun, kalau aku dipaksa menikahinya seperti sekarang, aku akan menolak.”
“Benar kata-katamu itu, Cin Po?” Gadis itu memandang dengan sepasang matanya yang tajam, dan suaranya penuh harap.
“Aku berani bersumpah. Ucapanku itu keluar dari lubuk hatiku. Aku menolak bukan karena wajah cantik atau tidak cantik, melainkan karena pendirianku tadi. Terserah nona mau percaya kepadaku atau tidak.”
“Namaku Ciok Hwa, dan tidak perlu menyebut nona. Setidaknya, engkau mau bukan kalau bersahabat dengan aku?”
“Tentu saja aku mau, Ciok Hwa.”
“Nah, kalau engkau sudah menjadi sahabatku, aku juga mau menolongmu, Cin Po.” Gadis itu mengambil kunci dan membuka belenggu kaki, yang dikunci itu.
Seketika kaki Cin Po bebas dari rantai yang kokoh kuat itu. Tentu saja dia menjadi girang sekali. Tak disangkanya bahwa gadis yang buruk rupa ini tidak marah karena ditolaknya, bahkan sebaliknya menolongnya bebas. “Akan tetapi, ayahmu pasti akan marah sekali, Ciok Hwa.”
“Itu adalah urusanku, engkau tidak perlu memusingkannya, Cin Po. Nah, sekarang engkau boleh pergi dari sini sebelum ayah pulang.”
Cin Po merasa terharu sekali. Gadis ini hanya buruk wajahnya, akan tetapi hatinya sungguh berbeda sekali dengan ayahnya. “Mengapa engkau menolongku dan berkorban diri dimarahi ayahmu, nona?”
Gadis itu memandang dengan Sepasang matanya yang jernih tajam, lalu menunduk. “Aku juga tidak ingin ada orang menikahiku karena dipaksa. Aku… aku hanya ingin agar engkau mengenangku sebagai seorang sahabat, bukan sebagai musuh.”
“Tentu, tentu sekali, Ciok Hwa. Aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang paling baik hati dan aku telah berhutang budi kepadamu.”
“Pergilah, Cin Po. Kalau ayah pulang, aku tidak akan mampu melindungi atau membelamu lagi.”
“Selamat tinggal, Ciok Hwa. Semoga Tuhan memberkahimu.”
Gadis itu menghela napas. “Tuhan sudah mengutukku dengan wajah seperti ini…”
Melihat gadis itu nampak berduka sekali, Cin Po melangkah maju dan meletakkan tangannya di kedua pundak gadis itu yang masih duduk. “Kalau saja aku dapat membantumu, Ciok Hwa. Tentu ada obat yang akan menyembuhkan penyakit di mukamu itu.”
Ciok Hwa menggeleng kepala. “Ayah saja sudah berusaha ke mana-mana akan tetapi tidak ada yang dapat menolongku. Tidak ada…” dan gadis itu lalu menutupi mukanya sambil menangis.
Cin Po semakin kasihan. “Ciok Hwa, aku berjanji, kelak aku akan ikut berusaha mencarikan obat untuk mukamu itu.”
Si Gadis itu mengangkat mukanya dari balik ke dua tangannya dan memandang Cin Po dengan muka basah air mata. “Engkau mau, Cin Po...?”
Cin Po tersenyum, mengangguk. “Tentu saja, bukankah seperti katamu tadi, kita sudah menjadi sahabat? Hari ini engkau menolongku, mungkin engkau telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman maut. Sudah sepatutnya kalau akan kuusahakan sedapatku untuk mencarikan obat untukmu. Nah, selamat tinggal, Ciok Hwa.”
“Selamat jalan, Cin Po. Harap jaga dirimu baik-baik.”
“Engkau juga jaga dirimu baik-baik, Ciok Hwa.” Setelah memberi hormat, Cin Po lalu keluar dari rumah itu dan melarikan diri dengan cepat.
Pada sore harinya, Tung-hai Mo-ong Kui Bhok pulang. Melihat tawanannya sudah tidak ada, dia menjadi marah sekali dan memanggil puterinya. “Di mana tawanan kita?” tanya ayah dengan alis berkerut.
“Ayah, dia tidak mau menikah denganku, maka aku membebaskannya!”
“Kau... apa…? Membebaskannya?”
“Aku tidak ingin memaksanya menjadi suamiku, ayah.”
“Kalau dia tidak mau, harus diusahakan agar mau. Kenapa engkau melepaskan dia? Engkau anak lancang, durhaka. Kau kira akan muda mencari seorang mantu seperti dia? Murid Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin, dengan tulang dan bakat yang baik sekali! Dan engkau melepaskannya. Kalau aku tidak memaksa seorang pria menjadi suamimu, mana ada yang mau secara suka rela? Siapa yang mau menikah dengan gadis berwajah mengerikan seperti kamu? Engkau sungguh tak tahu diri!” Ayah ini marah sekali dan menuding-nudingkan telunjuknya kepada puterinya.
“Ayah…!” Ciok Hwa menjerit dan lari kedalam kamarnya.
Tung-hai Mo-ong tidak memperdulikannya. “Dasar anak tak tahu diri, anak sial!” Dia malah memaki lagi dengan suara lantang. Saking marahnya dan jengkelnya terhadap anaknya yang dianggapnya mendatangkan sial dengan wajahnya yang buruk itu, Tung-hai Mo-ong tetap tidak perduli melihat puterinya itu keluar lagi membawa buntalan pakaian dan pergi dari rumah tanpa pamit lagi kepadanya.
Sebetulnya, Tung-hai Mo-ong sayang kepada puterinya, puteri yang ditinggal mati ibunya sejak masih kecil! Akan tetapi ketika berusia sepuluh tahun, anak itu terkena penyakit yang aneh, yang membuat mukanya timbul benjolan-benjolan hitam sehingga muka itu menjadi buruk menjijikkan. Datuk ini telah berusaha sedapat mungkin untuk mencarikan obatnya, namun tidak berhasil. Bahkan dia telah memaksa tabib-tabib yang pandai untuk mengobati anaknya, semua sia-sia belaka.
Hal ini membuatnya sedih dan juga kecewa. Sebelum sakit, puterinya amat membanggakan hatinya karena cantik, mungil dan cerdas pula. Ilmu-ilmunya telah dipelajari oleh anaknya itu dengan lancar sehingga kini ilmu kepandaian Ciok Hwa sudah mencapai tingkat tinggi.
Puterinya itu memiliki kulit yang putih kemerahan, bentuk tubuh yang menggairahkan, rambut yang hitam subur. Bahkan wajah itu memiliki bentuk yang cantik, dengan sepasang mata seperti bintang kembar. Akan tetapi benjolan-benjolan pada wajahnya itu sama sekali merusak semua kecantikan itu!
Setelah sehari semalam marah-marah, baru dia menyadari bahwa anak perempuannya telah minggat. Dia merasa menyesal sekali, lalu tak lama kemudian, Tung-hai Mo-ong juga pergi merantau untuk mencari anak perempuannya.
Kota Ceng-tao masih termasuk wilayah kerajaan Sung bagian timur, terletak di tepi Laut Kuning. Kota ini amat ramai karena selain menjadi kota pelabuhan di mana banyak perahu-perahu besar membawa dan mengangkut barang-barang dagangan, juga ramai para nelayan memperdagangkan hasil lautan.
Akan tetapi seringkali para pedagang dan nelayan ini mendapat gangguan para bajak laut yang kebanyakan berbangsa Jepang. Bahkan ada bajak laut yang berani mendarat di dekat kota itu untuk mengganggu penduduk pantai. Oleh karena itu pemerintah pusat menempatkan seorang panglimanya dengan pasukannya untuk menjaga keamanan di sepanjang pantai wilayah Ceng-tao, dengan markas besarnya berada di kota itu.
Akan tetapi, seringkali para serdadu pasukan penjaga keamanan ini bahkan mabok-mabokan dan mengganggu rakyat jelata, meminta sumbangan dengan paksa seperti perampok, bahkan berani pula melakukan pemaksaan dan perkosaan kepada para wanita. Ulah mereka tidak jauh bedanya dengan ulah para bajak laut sehingga rakyat menjadi semakin menderita, seolah menghadapi harimau kemudian keamanan mereka dijaga segerombolan anjing srigala!
Seperti lajimnya, rakyat tidak berdaya dan merekapun hanya dapat berusaha melakukan penyuapan kepada para perwira untuk melindungi mereka. Hanya mereka yang mampu menyuap para perwira sajalah yang lepas dari gangguan para serdadu itu. Mereka yang miskin dan tidak mampu menyogok, terpaksa harus berhati-hati jangan sampai bentrok dengan para serdadu, dan kalau mempunyai anak gadis yang cantik, cepat-cepat mereka pindahkan ke kota lain yang jauh.
Pada suatu pagi, seorang wanita yang menunggang kuda memasuki kota itu. Wanita ini amat menarik perhatian. Ketika duduk di atas punggung kudanya, nampak betapa indah menggairahkan bentuk tubuh wanita itu, duduknya tegak dan lekuk lengkung tubuhnya begitu mempesonakan.
Ia mengenakan pakaian sederhana akan tetapi tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang elok, kepalanya ditutup topi petani untuk melindungi muka dari sengatan matahari dan topi ini mempunyai kerudung yang menyembunyikan mukanya. Karena tertutup kerudung warna hitam maka muka itu tidak kelihatan bentuknya, hanya nampak kilatan matanya yang mencorong tajam dari balik kerudung.
Melihat betapa di punggung wanita ini tergantung sebatang pedang, mudah saja diduga bahwa wanita itu tentu seorang wanita kang-ouw. Dan biarpun wajahnya tidak nampak, dari bentuk tubuhnya yang padat berotot itu dapat diduga bahwa tentu ia masih muda.
Wanita ini bukan lain adalah Kui Ciok Hwa! Setelah meninggalkan rumah ayahnya ia lalu membeli seekor kuda, menutupi mukanya dengan kerudung hitam, dan ia menunggang kuda melanjutkan perantauannya menuju ke timur dan setelah tiba di pantai, ia lalu melanjutkan perjalanannya ke utara.
Dan pada pagi hari itu tibalah ia di Ceng-tao, menarik perhatian banyak orang akan tetapi gadis itu tidak memperdulikan pandangan semua orang dan menjalankan kudanya lambat-lambat mencari sebuah rumah penginapan.
Karena Ceng-tao merupakan kota perdagangan dan pelabuhan, di situ terdapat banyak sekali rumah penginapan dan rumah makan. Setelah menemukan rumah penginapan yang nampaknya bersih dan tidak terlalu sibuk, Ciok Hwa lalu membelokkan kudanya dan seorang pelayan rumah penginapan segera keluar menyambut.
“Apakah masih ada kamar kosong yang berada di pinggir, menghadap ke laut?” tanyanya.
Pelayan itu memandang wajah tertutup kerudung itu dengan penuh perhatian, seolah ingin menembusi kerudung itu dengan pandang matanya. Suara itu demikian merdu, akan tetapi terdengar dingin sekali.
“Ada, ada nona. Silakan turun.”
“Rawat kudaku baik-baik,” katanya sambil melompat turun dan menurunkan pula buntalan pakaiannya.
Pelayan meneriaki seorang rekannya untuk membawa kuda itu ke istal di belakang, dan dia sendiri lalu mengantarkan Ciok Hwa menuju sebuah kamar yang berada di pinggir, menghadap lautan. Ciok Hwa merasa cocok dengan kamar ini dan ia memesan agar diantar sebaskom air hangat untuk mencuci badan.
Setelah mencuci badan dan berganti baju bersih, dengan masih memakai cadar hitam iapun keluar dari kamarnya, lalu memasuki rumah makan yang berada di depan rumah penginapan itu karena rumah makan ini masih merupakan bagian dari rumah penginapan.
Sejak jaman dahulu, lebih dulu orang membuka rumah makan. Kemudian karena banyak tamu yang membutuhkan kamar untuk melewatkan malam, maka rumah-rumah makan yang besar membuka rumah penginapan dengan kamar-kamar terpisah untuk para tamu yang membutuhkannya.
Pagi itu rumah penginapan telah ramai dengan pengunjung. Hampir semua mata laki-laki memandang ketika Ciok Hwa memasuki rumah makan. Siapa yang tidak tertarik melihat seorang wanita dengan bentuk tubuh ramping menggairahkan itu dengan kulit tangan dan leher nampak putih kemerahan dan rambut yang hitam lebat! Semua orang menahan napas dan diam-diam mengeluh sayang bahwa si pemilik tubuh yang hebat itu menyembunyikan mukanya di balik cadar hitam sehingga mereka tidak dapat menikmati kecantikan wajah wanita itu.
Namun, melihat pedang di punggung wanita itu, tidak ada yang berani mengeluarkan suara menggoda. Dan suasana dalam rumah makan itu mendadak menjadi lebih meriah, suara para lelaki yang bicara mendadak menjadi lebih lantang dan suara tawa mereka lebih keras.
Memang selalu demikianlah. Di antara banyak lelaki, kalau ada seorang perempuan cantik datang hadir, tiba-tiba saja mereka menjadi lebih gembira, bicara dan tertawa keras seolah setiap orang ingin didengar oleh perempuan itu!
Ciok Hwa tidak memperdulikan pandang mata semua lelaki itu. Ia sudah seringkali melihatnya. Betapa menyakitkan hati, kalau ia ingat ketika ia masih belum memakai cadar, mata laki-laki yang tadinya memandangnya penuh kagum, tiba-tiba terbelalak ngeri ketika melihat wajahnya.
Seorang pelayan rumah makan segera menyambutnya dengan hormat dan membawanya ke sebuah meja yang masih kosong, yang berada di tengah ruangan itu sehingga Ciok Hwa menjadi tontonan dari segenap penjuru. Ia tidak perduli karena meja di pinggir telah penuh semua dan minta disediakan sarapan pagi berupa bak-pauw dan air teh.
Tak jauh dari meja di mana Ciok Hwa duduk, terdapat sebuah meja lain yang dikelilingi empat orang berpakaian serdadu. Mereka itu sepagi ini sudah agak mabuk karena terlalu banyak minum arak. Empat orang serdadu ini juga tertarik ketika melihat Ciok Hwa masuk dan kini mereka membicarakan Ciok Hwa sambil menuding-nuding tanpa sungkan lagi.
Kalau orang-orang gentar melihat pedang di punggung Ciok Hwa, agaknya tidak demikian dengan empat orang serdadu itu. Di antara mereka, seorang perwira, lalu berkata kepada tiga anak buahnya dengan suara lantang.
“Aih, sayang sekali seorang bidadari yang cantik menyembunyikan mukanya di balik cadar hitam! Aduh betapa ramping pinggang itu!”
“Lihat, ciangkun, betapa halus dan putih mulus kulit leher itu! Dan tangan itu, mungil sekali!”
“Aku berani bertaruh potong tangan bahwa ia tentu cantik jelita seperti dewi dari kahyangan!" Empat orang itu dengan terang-terangan membicarakan Ciok Hwa dan memuji-muji segalanya yang nampak.
“Akan tetapi hati-hati, ciangkun, ia membawa-bawa pedang,” kata seorang anak buah.
“Ha-ha-ha,” perwira itu terkekeh, “Itu menandakan bahwa ia cerdik. Pedang itu untuk menakut-nakuti orang yang ingin menggodanya! Seperti bunga mawar, tentu ada durinya, bukan?”
“Ciangkun, kita berempat akan mati penasaran kalau tidak dapat melihat wajahnya.”
“Benar, aku akan selalu digoda mimpi kalau tidak dapat melihat wajahnya,” kata perwira itu. Dia seorang perwira berusia tiga puluhan tahun, berwajah tampan gagah dan lagaknya angkuh dan sombong sekali.
“Ciangkun, kami bertiga tidak berani, akan tetapi beranikah ciangkun memintanya untuk bersikap baik dan mengasihani kita untuk dapat mengagumi wajahnya?”
“Kenapa tidak? Wanita cantik tentu berhati lembut seperti Kwan Im Pouwsat. Kalau kita meminta tentu ia akan mengabulkannya. Aduh, aku, sudah dapat membayangkan betapa senyumnya akan membuat kita terkagum-kagum.”
“Dan mulutnya pasti menggairahkan sekali, dengan bibir merah delima, hidungnya kecil mancung, matanya seperti mata burung Hong dan ahhh, tidak dapat aku membayangkan kecantikannya,” kata seorang serdadu lain.
Perwira yang sudah mulai mabok itu termakan bujukan anak buahnya dan diapun bangkit berdiri, lalu dengan terhuyung menghampiri meja Ciok Hwa yang sedang makan bak-pauw nya dengan kadang menggigitnya sepotong dari balik cadarnya. Perwira itu berhadapan dengan Ciok Hwa, memegangi meja agar jangan jatuh, lalu berkata,
“Nona, aku harap nona suka memenuhi permintaan kami untuk membuka cadar nona, agar kami dapat menikmati dan mengagumi kecantikanmu…”