Pendekar Baju Putih Jilid 07 karya Kho Ping Hoo - Ciok Hwa merasa betapa mukanya panas sekali. Akan tetapi karena sikap orang ini cukup sopan, ia lalu menjawab. “Perwira, pergilah dan jangan mengusikku lagi. Aku tidak akan membuka cadarku untuk siapapun juga. Pergilah!”
“Aih, nona, mengapa begitu galak?” Perwira itu terhuyung kembali ke kursinya.
Seorang serdadu bangkit berdiri dan menghampiri Ciok Hwa. “Hei, nona manis. Engkau berani menolak permintaan atasanku? Buka cadarmu seperti yang dia minta!” serdadu yang bertubuh tinggi besar itu menggertak dan menggebrak meja Ciok Hwa.
Semua tamu yang berada di situ memandang khawatir, mengkhawatirkan Ciok Hwa. Mengapa gadis itu tidak mau membuka saja cadarnya agar tidak menimbulkan perkara. Akan tetapi tentu saja Ciok Hwa tidak mau membuka cadarnya. Bahkan sekarang, berhadapan dengan serdadu yang bersikap kasar dan hendak memaksanya, menjawab,
“Aku tidak mau membuka cadarku! Pergilah, jangan mengganggu aku lagi. Engkau hanya menghilangkan selera makanku saja!”
Serdadu tinggi besar itu tidak seperti sang perwira. Dia adalah seorang yang sama sekali tidak terpelajar dan biasanya hanya menggunakan kedudukan untuk memaksakan kehendaknya kepada siapapun juga. “Buka cadarmu kataku!”
“Aku tiduk sudi!” jawab Ciok Hwa dengan suara lantang, menandakan bahwa iapun telah menjadi marah.
“Kalau engkau tidak mau membukanya, aku yang akan membukanya dengan paksa!” kata pula serdadu itu mengancam.
Ciok Hwa bangkit berdiri, di balik cadarnya, matanya mencorong dan cuping hidungnya kembang kempis saking marahnya. “Sudah lama aku mendengar bahwa kalian para serdadu hanyalah perampok-perampok yang berpakaian seragam. Kini aku melihat kenyataannya bahwa kalian mengandalkan kedudukan untuk memaksakan kehendak. Kuulangi, aku tidak sudi membuka cadarku dan siapapun juga yang berani memaksa dan membuka cadarku, akan kehilangan tangannya!”
Serdadu yang biasanya memang bertindak sewenang-wenang itu terkekeh, “He-he-heh, berani engkau menentang kami. Akan kurenggut terbuka cadarmu, hendak kulihat engkau dapat berbuat apa?”
Setelah berkata demikian, orang itu meraih dengan tangan kirinya, menyambar ke arah muka Ciok Hwa untuk membuka cadarnya. Ciok Hwa bangkit berdiri dan melompat ke belakang sehingga sambaran tangan itu luput. Akan tetapi serdadu itu menjadi penasaran, melompati meja dan menyerang terus, kini kedua tangannya bergerak, yang kiri mencengkeram ke arah cadar dan yang kanan mencengkeram ke arah dada!
Menghadapi serangan yang kurang ajar ini, Ciok Hwa menggerakkan tangan kanannya. Nampak sinar berkelebat dan terdengar suara “crakk!” disusul orang itu terhuyung ke belakang memegangi tangan kiri dengan tangan kanannya. Dan ternyata tangan kiri itu telah buntung sebatas pergelangan. Tangan yang buntung itu terlempar ke atas meja, masih membentuk tangan yang mencengkeram seperti cakar setan!
Tidak nampak ketika Ciok Hwa mencabut pedang dan membuntungi tangan terus memasukkan pedangnya kembali. Tadi yang nampak hanya sinar pedang berkelebat saja. Serdadu yang kehilangan tangan kirinya itu berteriak-teriak kesakitan dan tiga orang temannya lalu bangkit berdiri. Perwira itu marah melihat anak buahnya dibuntungi tangannya, maka bersama dua orang anak buahnya, dia lalu menyerang ke arah Ciok Hwa.
Dikeroyok tiga, Ciok Hwa sama sekali tidak gentar, ia tidak menggunakan pedangnya lagi melainkan menggunakan kedua tangannya, memainkan jurus Toat-beng-sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa). Ke dua tangan menyambar-nyambar dengan cepat dan tiga orang pengeroyok itu berpelantingan dan terkapar pingsan menabrak meja kursi.
Para tamu menjadi panik dan mereka segera membayar harga makanan dan meninggalkan rumah makan itu. Perkelahian dengan serdadu pemerintah hanya akan menimbulkan kesukaran bagi mereka. Pemilik rumah makan itu melihat betapa empat orang serdadu dibuat tidak berdaya dan pingsan, segera menghampiri Ciok Hwa dan berkata dengan suara lirih.
“Lihiap (Pendekar wanita) harap cepat pergi jauh-jauh dari sini. Lihiap telah menghajar serdadu pemerintah, tentu pasukannya akan segera datang menangkap lihiap. Lihiap tidak mungkin dapat melawan ratusan dari mereka.”
Ciok Hwa menyadari keadaannya dan membenarkan pemilik rumah makan itu. Dia mengeluarkan sekeping emas. “Ini untuk mengganti kerusakan!” katanya dan iapun bergegas memasuki kamar hotel itu, mengambil buntalan pakaiannya dan mengeluarkan kudanya dari istal. Biarpun ia belum bermalam di rumah penginapan itu, ia membayarnya dan segera menunggang kuda membalap keluar dari kota Ceng-tao.
Benar saja, tak lama kemudian sepasukan serdadu yang puluhan orang banyaknya melakukan pengejaran keluar kota. Ciok Hwa membalapkan kudanya menuju ke sebelah utara kota itu, terus dikejar oleh pasukan. Ketika tiba di sebuah hutan, ia lalu memasuki hutan dan membiarkan kudanya lari terus dan ia sendiri melompat turun dan menyelinap di antara pohon-pohon.
Akan tetapi, ketika pasukan itu tiba di luar hutan, tiba-tiba ada sekelompok bajak laut yang menyemhunyikan diri di situ, muncul dari balik semak belukar dan menyerang pasukan itu. Terjadilah pertempuran hebat antara puluhan orang serdadu melawan puluhan orang bajak laut.
Ciok Hwa keluar dari tempat sembunyinya dan melihat betapa pihak bajak laut kewalahan, timbul suatu gagasan dalam pikirannya. Tidak mungkin ia kembali kepada ayahnya dan inilah kesempatan baik untuk mendapatkan pasukan bajak. Kalau ia dapat menguasai para bajak dan memimpinnya, ia akan bertualang dan akan melupakan semua kedukaannya.
Berpikir demikian ia lalu mencabut pedangnya dan membantu para bajak menerjang ke arah pasukan kerajaan! Begitu gadis itu mengamuk, di pihak pasukan segera menjadi kocar-kacir. Siapa saja yang berhadapan dengan gadis berkerudung itu pasti roboh terkapar!
Setelah banyak rekan menjadi korban, akhirnya sisa pasukan itu melarikan diri dan para bajak laut bersorak penuh kegembiraan karena menang. Seorang yang bermata satu, yang menutupi mata kirinya dengan kain hitam, menghampiri Ciok Hwa dan sejenak matanya yang tinggal satu itu menatap Ciok Hwa penuh kagum.
“Nona, kenapa nona membantu kami melawan para pasukan kerajaan?” tanyanya dengan suara parau.
Kini kawan-kawannya juga berdatangan mengepung karena merekapun kagum melihat sepak terjang gadis bercadar yang membuat pasukan itu kocar-kacir. Dan semua mata kagum menggerayangi bentuk tubuh yang indah itu, akan tetapi setelah melihat cadar itu, semua mata menjadi gentar dan ragu.
“Aku sengaja membantu kalian karena aku ingin menjadi pemimpin kalian!” jawabnya dengan singkat.
Mendengar ini, si mata satu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau seorang wanita hendak memimpin kami para bajak laut yang gagah berani! Ha-ha-ha, kawan-kawan, dengar baik-baik, kalian hendak dipimpin oleh ia ini, ha-ha!”
Semua bajak laut lalu tertawa bergelak karena memang lucu mendengar bahwa mereka akan dipimpin oleh seorang gadis yang bentuk tubuhnya mempesonakan itu. Seorang gadis akan menjadi bajak laut? Aneh dan menggelikan!
“Mata satu, jangan tertawa dulu! Apakah aku kurang gagah berani sehingga tidak dapat memimpin kalian? Lihat, apapun yang kau lakukan, akupun sanggup melakukannya!”
Kembali si mata satu tersenyum menyeringai. “Mungkin engkau mempunyai sedikit kepandaian bermain pedang. Akan tetapi lebih dari itu, engkau hanya seorang wanita. Wanita itu mahluk lemah, bagaimana mungkin akan memimpin kami, laki-laki yang jantan? Bagaimana kalau engkau menjadi isteriku saja, menjadi isteri kepala bajak laut. Begitu lebih baik, bukan? Ha-ha-ha!”
Semua bajak laut tertawa bergelak dan menyatakan setuju dengan pendapat kepala mereka itu. Bagaimanapun juga, mereka masih memandang rendah kepada Ciok Hwa, seorang wanita. Memang biasanya, para bajak laut itu menganggap wanita hanya sebagai benda mainan.
Ciok Hwa membentak. “Dengar kau, mata satu! Kalau engkau tidak mau menyerahkan kedudukan kepala bajak laut kepadaku secara baik-baik, terpaksa aku merampasnya dari tanganmu!”
Mata yang tinggal satu itu terbelalak. “Bagus! Coba majulah melawanku. Kalau engkau kalah, engkau harus menjadi isteriku, akan tetapi buka dulu cadarmu agar kami melihat mukamu.”
Semua bajak laut berteriak, “Buka cadarnya!”
Ciok Hwa memutar tubuhnya menghadapi mereka. “Siapa berani membuka cadarku berarti dia bosan hidup!”
Semua anak buah bajak agak gentar menghadapi bentakan ini, akan tetapi si mata satu lalu maju. “Marilah, hendak kucoba sampai di mana kelihaianmu, nona!”
Dia lalu menyerang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang kokoh kuat dengan otot-otot menggelembung dan melingkar-lingkar. Akan tetapi, sampai tiga jurus dia menyerang, dia hanya menangkap dan memukul udara kosong belaka karena dengan sigap dan cepatnya Ciok Hwa sudah mengelak.
Begitu si mata satu menyerang lagi dalam jurus ke empat, dengan pukulan ke arah kepala Ciok Hwa dengan tangan kanan, gadis itu lalu mengelak sambil menggerakkan tangan menotok pergelangan tangan kanan itu sehingga seketika itu juga lengan kanan itu menjadi kejang. Dan sebelum Si mata satu sempat menyerang lagi, Ciok Hwa menampar dengan kerasnya, mengenai pundak si mata satu dan tanpa dapat dicegah lagi si mata satu terpelanting dan terbanting roboh dengan keras!
Semua bajak laut terlongong. Kepala mereka yang berjenggot itu roboh hanya dalam empat jurus! Si mata satu merangkak bangun dan matanya menjadi merah. Dia meraba goloknya dan di lain saat dia sudah menyerang dengan goloknya sambil berteriak nyaring seperti seekor biruang buas.
Namun kembali Ciok Hwa menggunakan kegesitannya. Kepala bajak itu terlalu lamban baginya dan sambaran goloknya dapat dilihat dengan jelas, maka mudah saja ia mengelak sampai sambaran golok yang ke lima kalinya. Begitu mendapat kesempatan, tangannya membacok ke arah pergelangan tangan kanan, kuat sekali sehingga golok itu terlepas dan di lain saat, kakinya menendang dan tubuh kepala bajak laut itu terlempar dan jatuh berdebuk. Dia nanar dan sejenak tak dapat bangkit kembali.
Ciok Hwa memandang ke sekeliling. “Hayo siapa lagi yang tidak setuju aku menjadi kepala bajak laut?” tantangnya. Mata di balik cadar itu menyambar-nyambar seperti kilat dan semua orang menjadi gentar.
Wanita itu benar-benar berbahaya sekali. Kepala merekapun dibuat tidak berdaya dalam beberapa gebrakan, hanya dengan tangan kosong, belum mempergunakan pedang. Mereka semua tidak berani menantang pandang mata dari balik cadar itu dan menundukkan kepalanya.
Ciok Hwa lalu menghadapi si mata satu yang sudah merangkak bangun. “Mata satu, bagaimana apakah engkau masih penasaran dan hendak melawanku lagi?”
Si mata satu yakin bahwa dia tidak akan menang melawan wanita yang aneh ini. “Aku mengaku kalah,” katanya merendah. “Kalau engkau mau, boleh saja engkau memimpin kami!”
“Bagus, kalau begitu, mari kita cepat kembali ke perahu kita dan kalian semua, tidak terkecuali, harus menaati semua perintahku. Siapa yang melanggar akan dihukum berat!”
Para bajak laut itu lalu pergi ke tepi laut di mana diikat perahu-perahu kecil mereka, kemudian mereka mendayung perahu-perahu kecil itu ke arah tengah di mana terdapat sebuah perahu besar yang membuang sauh di situ.
Ciok Hwa ikut di salah sebuah perahu bersama si mata satu. Dan sedikitpun ia tidak kelihatan gentar ketika perahu diombang-ambingkan ombak lautan. Ketika semua orang menggunakan tali bergelantungan naik perahu besar, tidak demikian dengan Ciok Hwa. Sekali mengayun tubuhnya, ia telah melompat dari perahu kecil ke atas perahu besar! Perbuatan ini disambut tepuk sorak para bajak laut, yang merasa kagum.
Akan tetapi pada saat itu, tanpa diketahui oleh Ciok Hwa, si mata satu yang berada dibelakangnya, mendorongnya keluar dari perahu. Ciok Hwa meraih lengan si mata satu sehingga keduanya terlempar keluar dari perahu besar, dan tercebur ke dalam lautan! Semua bajak laut menjenguk keluar.
Kini mereka merasa yakin bahwa kepala mereka, si mata satu, tentu akan dapat menundukkan wanita bercadar itu karena si mata satu terkenal sebagai ahli dalam air, pandai berenang dan menyelam seperti seekor ikan saja. Kedua orang itu telah tenggelam di dalam lautan dan para anak buah bajak yang memandang dan menanti telah menduga bahwa tak lama lagi si mata satu akan menyeret wanita itu dalam keadaan telah pingsan!
Air laut bergerak dan muncullah sebuah kepala ke permukaan air. Para anak buah bajak laut memandang dan mereka terbelalak, karena bukan kepala si mata satu yang muncul, melainkan kepala wanita bercadar itu!
Dan wanita itu yang menyeret si mata satu dengan menjambak rambutnya dan membawanya berenang ke atas sebuah di antara perahu kecil. Ia menarik si mata satu ke atas perahu kecil dan dengan kedua tangannya, ia melontarkan tubuh yang pingsan itu ke atas perahu besar dan jatuh berdebuk di atas dek perahu besar.
Lalu diikuti melayangnya tubuh Ciok Hwa ke atas perahu besar. Tubuhnya basah kuyup, pakaian yang basah itu mencetak tubuhnya sehingga nampak jelas bentuk tubuh yang indah menggairahkan dengan lekuk lengkung yang sempurna. Cadarnya masih menutupi muka dan air menetes-netes dari dagunya.
“Hayo, siapa lagi yang berani mencoba-coba denganku? Di darat atau di air pun boleh!” bentak Ciok Hwa dan kini para anak buah bajak laut tidak ada yang berani bergerak. Mereka semua sudah takluk dan ketakutan menghadapi wanita aneh itu.
Ketika si mata satu siuman, Ciok Hwa mendekati. Ketika dia hendak bangun. Ciok Hwa menginjak dadanya dan berkata. “Ini yang penghabisan, mengerti! Sekali lagi engkau melakukan perlawanan kepadaku, matamu yang tinggal sebelah akan kubikin buta. Mengerti?”
Si mata satu mengangguk. “Sekarang aku menyatakan takluk kepadamu, nona. Mulai saat ini, engkaulah pemimpin kami!”
Si mata satu sama sekali tidak mengerti bahwa gadis itu adalah puteri Tung-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Timur), seorang datuk yang bukan saja lihai ilmunya di darat, akan tetapi juga lihai dengan ilmunya di air. Sejak kecil Ciok Hwa telah mempelajari ilmu dalam air itu sehingga ia dapat bergerak seperti seekor ikan hiu saja di dalam air. Maka, tadipun dengan mudah ia dapat menalukkan si mata satu dalam pergumulan di dalam air.
Demikianlah, mulai hari itu, Ciok Hwa menjadi seorang pemimpin bajak laut yang limapuluh orang lebih banyaknya. Mereka semua takut dan taat kepadanya karena Ciok Hwa memimpin dengan tangan besi. Yang melanggar larangan dihukum berat.
Dan semenjak dipimpin Ciok Hwa, terjadi perubahan besar pada kelompok bajak laut ini. Mereka memang diperbolehkan membajak, akan tetapi kalau yang dibajak tidak melakukan perlawanan, mereka dilarang keras membunuhi orang yang tidak melawan.
Apa lagi memperkosa wanita merupakan larangan yang amat keras dengan ancaman hukuman mati bagi pelakunya. Hasil bajakan dibagi rata, bukan seperti ketika si mata satu menjadi kepala, dialah yang mendapat bagian terbesar. Ciok Hwa bahkan jarang minta bagian, semua dibagi rata kepada anak buahnya!
Larangan-larangan itu memang pada mulanya tidak ditaati oleh para bajak. Akan tetapi ketika Ciok Hwa benar-benar melakukan hukuman berat kepada pelanggarnya, mereka menjadi jerih. Yang masih penasaran hanyalah si mata satu.
Pada suatu hari, mereka membajak perahu besar seorang saudagar yang melakukan perjalanan bersama keluarganya. Mereka dihadang dan dibajak habis-habisan. Si mata satu melihat puteri saudagar itu yang amat cantik, tidak dapat menguasai dirinya dan dengan buas dia hendak memperkosa gadis itu. Ciok Hwa mendengar akan hal ini, maka ia segera datang dan sebuah tamparan di tengkuk si mata satu membuat si mata satu melepaskan korbannya.
Si mata satu bangkit dengan marah dan memberi isyarat dengan teriakannya. Lima orang bajak laut yang tinggi besar mengepung Ciok Hwa. Agaknya si mata satu sudah bersekongkol dengan lima orang rekannya untuk memberontak terhadap pimpinan wanita itu. Kini mereka mengepung Ciok Hwa dengan golok di tangan. Padahal, Ciok Hwa ketika itu tidak membawa senjatanya. Namun, wanita ini dengan tenang berdiri di tengah kepungan mereka.
“Keparat, kalian ini sudah bosan hidup. Kalian akan mampus semua kecuali si mata satu. Aku sudah berjanji akan membutakan matanya yang sebelah lagi agar dia hidup tersiksa, akan tetapi yang lain akan mampus. Hayo buang senjata kalau masih ingin hidup!”
“Serang....!” Si mata satu menggerakkan goloknya dan karena mereka maju berenam, hati mereka besar dan mereka segera menyerang Ciok Hwa. Mereka tidak tahu bahwa Ciok Hwa sudah siap dengan jarum-jarum beracunnya. Ia mengelak ke sana ke mari dan ketika ke dua tangannya bergerak mengirim pukulan, dari jari-jari tangannya menyambar jarum-jarum halus.
Pertama-tama si mata satu yang roboh dan menjerit-jerit menggaruk matanya yang tinggal satu karena mata itu kini ditembusi sebatang jarum. Saking sakitnya, dia menggunakan jarinya mencokel matanya sendiri sehingga biji matanya keluar dan kini butalah kedua matanya. Lima orang yang lain juga berteriak dan roboh, tubuh mereka ditendangi oleh Ciok Hwa sehingga tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu terlempar ke dalam lautan.
“Bawa dia ke darat! lepaskan dia di sana!” perintah Ciok Hwa kepada anak buahnya dan si mata satu yang masih meraung-raung itu lalu dibawa dengan perahu kecil ke darat dan ditinggalkan di sana.
Semenjak peristiwa itu, semua anak buah tidak ada lagi yang mencoba-coba untuk membantah perintah Ciok Hwa. Gadis bercadar ini lebih ditakuti dari pada pimpinan yang dahulu, bahkan ditakuti seperti takut setan. Perahu saudagar itu dilepaskan dan tidak diganggu setelah barang-barang berharganya dirampas.
Demikianlah, Ciok Hwa menjadi kepala bajak laut yang ditakuti. Anak buahnya yang merasa kagum dan bangga mempunyai pimpinan seperti ia, memberi julukan Huang-hai Sian-li (Dewi Laut Kuning) kepadanya dan sejak memberi julukan itu, mereka tidak lagi menyebut Nona, melainkan Sianli (Dewi)!
Ciok Hwa menerima saja julukan itu dan bahkan merasa bangga. Ayahnya adalah Tung-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Timur) dan ia adalah Huang-hai Sian-li (Dewi Laut Kuning). Sudah tepat sekali!
Akan tetapi, setiap kali terang bulan dan ia duduk melamun seorang diri di geladak perahunya, ia memandangi bulan dan kadang menangis seorang diri. Teringatlah ia kepada Cin Po dan berulang kali ia menghela napas panjang. Ia telah jatuh cinta kepada Cin Po!
Kalau bukan karena pemuda itu, tidak mungkin ia menjadi seperti sekarang ini, menjadi bajak laut! Ia merasa rindu sekali kepada Cin Po, akan tetapi juga bersedih kalau mengingat bahwa tidak mungkin Cin Po membalas cintanya karena wajahnya yang amat buruk.
Kita tinggalkan dulu Ciok Hwa yang menjadi kepala bajak laut di Lautan Kuning dan mari kita ikuti perjalanan Cin Po yang berhasil lolos dari tangan Tung-hai Mo-ong yang hendak memaksanya menjadi mantu, atas pertolongan Ciok Hwa.
Di dalam hatinya Cin Po berterima kasih sekali kepada Ciok Hwa yang biarpun berwajah buruk namun berhati mulia itu. Dia meninggalkan daerah kekuasaan kerajaan Wu-yeh dan langsung menuju ke utara untuk kembali ke wilayah kerajaan Song.
Ketika dia meninggalkan ibunya bersama Pat-jiu Pak-sian, dia berusia sebelas tahun. Dia menjadi murid Pak-sian selama lima tahun, kemudan menjadi murid Nam-san Sianjin selama tiga tahun. Usianya sekarang sudah sembilanbelas tahun!
Sebagai seorang pemuda yang berpakaian sederhana serba putih, Cin Po melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke Thian-san. Ibunya tinggal di kaki Pegunungan Thian-san, di kuil Ban-hok-si yang terletak di dusun Bi-ciu. Ke sanalah dia menuju. Ketika pegunungan Thian-san sudah nampak menjulang tinggi di depan, dia teringat akan semua pengalamannya di Thian-san-pang dan dia mengepal tinju, teringat akan perbuatan Ban Koan yang jahat.
Ban Koan telah berkhianat, telah bersekongkol dengan orang-orang Tok-coa-pang, membunuh kakek gurunya, Tiong Gi Cinjin dan membunuhi para murid Thian-san-pang, setelah itu mengangkat diri sendiri menjadi ketua Thian-san-pang. Orang sejahat itu sesungguhnya tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama lagi. Akan tetapi ketika itu dia masih kanak-kanak dan hanya mampu memberi hajaran karena bantuan gurunya, Pat-jiu Pak-sian.
Sekarang kalau mengingat akan semua itu, hatinya sudah mendorongnya untuk pergi ke Thian-san-pang melihat keadaan. Kalau Thian-san-pang dibawa menyeleweng oleh Ban Koan, dia harus membunuh orang itu dan membersihkan Thian-san-pang demi nama besar dan nama baik kakek gurunya dan juga ibunya.
Bagaimana kalau Ban Koan sudah berubah dan memimpin Thian-san-pang dengan baik? Dia menjadi bimbang ragu. Sebaiknya harus menanyakan pendapat ibunya tentang hal itu, maka dia tidak jadi mendaki pegunungan, melainkan menyimpang dan menuju ke dusun Bi-ciu.
Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di depan. Dia baru tiba di kaki pegunungan yang sunyi, di dekat sebuah hutan. Ketika dia berlari cepat ke arah tempat itu, dia melihat tujuh orang sedang mengepung dan mengeroyok seorang gadis yang berpakaian merah.
Gadis itu mempergunakan pedangnya, namun para pengeroyoknya yang menggunakan golok juga memiliki kepandaian lumayan sehingga gadis itu mulai terdesak. Agaknya tujuh orang itu tidak ingin melukai si gadis baju merah, hanya hendak menangkapnya saja. Bujukan-bujukan kotor terdengar dari mulut mereka. Jelas bahwa mereka mempunyai maksud yang jahat terhadap gadis itu.
“Nona manis, buang saja pedangmu dan mari ikut kami bersenang-senang!” kata seorang di antara mereka.
“Benar, nona, sayang kalau kulitmu yang halus itu tergores golok kami!”
“Menyerahlah saja, manis.”
Gadis itu menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi dan berhasil menusukkan pedangnya ke arah dada seorang pengeroyok. “Tak…!” Pedang itu meleset, seperti menusuk benda keras.
Melihat gadis itu memainkan ilmu pedang Thian-san Kiam-hoat mengertilah Cin Po bahwa gadis itu tentulah murid Thian-san-pang, dan setelah tadi tusukan itu tidak melukai para pengeroyok, diapun menduga bahwa tentu pengeroyok itu orang-orang Tok-coa-pang, karena para anggauta Tok-coa-pang memang memiliki baju kebal di balik baju biasanya. Mengingat bahwa gadis itu berada dalam bahaya, Cin Po segera melompat keluar dari tempat pengintaiannya dan dia berseru dengan nyaring.
“Orang-orang Tok-coa-pang jahat! Kalian pantas diberi hajaran!” Diapun bergerak cepat membagi-bagi pukulan. Karena maklum bahwa tubuh bagian atas mereka kebal, maka pukulan dan tamparannya dia tujukan kepada muka para pengeroyok itu.
Gerakan Cin Po sedemikian cepatnya sehingga setiap tamparan mengenai sasaran membuat yang ditampar terpelanting dan mengaduh-aduh tidak dapat bertanding lagi. Ada yang giginya rontok semua, ada yang pipinya menjadi bengkak besar sampai sebelah matanya terpejam, ada yang kepalanya benjol.
Dalam waktu beberapa gebrakan saja, tujuh orang itu telah kebagian tamparan semua dan mereka yang menyadari berhadapan dengan lawan yang amat lihai, lalu melarikan diri tanpa menanti aba-aba lagi!
Cin Po berdiri memandang mereka tanpa melakukan pengejaran, tidak tahu bahwa gadis berpakaian merah tadi memandangnya dengan mata terbelalak. Akhirnya pandang mata itu menariknya dan dia menoleh. Dua pasang mata bertemu dan bertaut sampai beberapa lamanya, penuh selidik dan keraguan.
Kemudian, mulut gadis cantik itu bergerak dan berseru lirih, “Ko… koko….!”
Seruan itu lirih dan masih penuh keraguan. Namun cukuplah bagi Cin Po yang segera maju dan berseru girang sekali. “Hui Ing…!!”
“Koko Cin Po…! Benar engkau ini…?!” Gadis itu maju dan kedua orang muda itu sudah saling berpegang tangan dengan penuh kegembiraan. Dari kedua mata gadis itu keluar dua titik air mata. Agaknya ia menyadari bahwa mereka bukan kanak-kanak lagi, maka dengan canggung dan malu-malu ia melepaskan pegangan tangannya.”
“Koko Cin Po… engkau baru datang…?”
“Hui Ing, nih, adikku! Engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita sekarang!” Cin Po memandang kagum.
Kalau tadi Hui Ing tidak memanggilnya terlebih dahulu, tentu dia tidak dapat mengenalnya. Mereka saling mengamati, dan Hui Ing melihat betapa kakaknya ini telah menjadi seorang pemuda yang tinggi besar dan gagah.
“Engkau juga, koko. Kalau tadi tidak melihat matamu yang sama sekali tidak berubah, masih seperti dulu, tentu aku tidak akan mengenalmu. Tadi aku ragu-ragu. Wah, engkau telah menjadi seorang yang sakti, koko. Aku girang dan bangga sekali!” Gadis itu memandang penuh kagum.
“Hui Ing-moi, kenapa engkau dikeroyok orang-orang tadi? Bukankah mereka itu orang-orang Tok-coa-pang?”
“Benar, koko. Mareka itu orang-orang Tok-coa-pang, mereka selalu mengganas di daerah ini dan sudah berulang kali aku bentrok dengan mereka. Akan tetapi mereka itu lihai-lihai sehingga ibu sering melarangku untuk bentrok dengan mereka.”
“Bagaimana dengan ibu?”
“Ia baik-baik saja, dan seringkali membicarakan engkau, koko. Ibu tentu girang sekali melihat engkau pulang telah menjadi seorang yang sakti. Melihat engkau merobohkan tujuh orang Tok-coa-pang tadi, sungguh mengagumkan sekali!”
“Kalau Tok-coa-pang mengganas di sini, mengapa Thian-san-pang mendiamkannya saja?”
“Aih, engkau tidak tahu, koko. Thian-san-pang yang dipimpin oleh pengkhianat Ban Koan bersahabat dengan Tok-coa-pang, bahkan melakukan kejahatan memeras penduduk bersama-sama.”
Cin Po mengepal tinjunya dan memandang ke arah lereng Thian-san, “Si keparat Ban Koan. Aku akan naik ke Thian-san-pang untuk menghajarnya!”
“Nanti dulu, koko. Sebaiknya kalau koko pulang dulu menemui ibu. Ibu sudah rindu sekali kepadamu! Marilah, koko, kita pulang dulu dan membicarakan tentang Thian-san-pang dengan ibu.”
Kini Hui Ing tidak ragu-ragu lagi, memegang dan menggandeng tangan Cin Po diajaknya menuju ke dusun Bi-ciu. Cin Po menurut saja. Masih banyak waktu untuk naik ke Thian-san dan mengunjungi Thian-san-pang.
Dalam perjalanan ini Hui Ing bercerita banyak tentang ibunya. Betapa ibunya kini lebih banyak berdoa dan bersamadhi memperdalam keagamaan walaupun tidak menjadi seorang nikouw. Dan ia mendesak dengan hujan pertanyaan tentang pengalaman Cin Po semenjak mereka saling berpisah.
“Nanti saja kuceritakan di depan ibu,” kata Cin Po.
“Aku ingin mendengar dulu, apakah engkau selama ini belajar silat kepada kakek botak yang berjuluk Pat-jiu Pak-sian itu?”
“Benar, aku belajar ilmu darinya selama lima tahun.”
“Dan selanjutnya, engkau belajar dari mana lagi, Koko? Ilmu silatmu demikian hebat, dengan tangan kosong mampu merobohkan tujuh orang Tok-coa-pang tadi dengan demikian mudahnya.”
“Aku masih mempelajari ilmu selama tiga tahun kepada Nam-san Sianjin.”
“Wah, Nam-san Sianjin? Aku mendengar dari nenek bahwa Nam-san Sianjin adalah datuk selatan, sama seperti Pat-jiu Pak-sian yang datuk utara itu! Jadi engkau murid dari dua orang datuk sakti?”
Gadis itu memandang dengan kagum dan Cin Po yang menoleh kepadanya harus mengakui kecantikan adiknya itu. Sepasang mata itu seperti mata burung Hong, demikian jernih dan tajam. Dan mulut itu sungguh manis, terhias lesung pipit di sebelah kiri.
“Dan engkau, adikku? Bagaimana dengan latihanmu? Kulihat engkau memainkan Thian-san-kiam-sut dengan cukup baik tadi.”
“Aih, memalukan! Aku sama sekali tidak berdaya menghadapi tujuh orang Tok-coa-pang tadi. Kalau engkau tidak segera datang, aku tentu sudah celaka di tangan mereka.”
“Engkau mampu menandingi tujuh orang dari mereka yang mengeroyokmu, itu sudah cukup baik, Ing-moi.”
“Tidak, aku minta engkau mengajariku ilmu-ilmu yang lebih tinggi, koko.”
Cin Po tersenyum melihat gadis itu masih manja seperti dulu. Mereka lalu berjalan cepat dan agaknya Hui Ing hendak memamerkan ilmu berlari cepatnya kepada kakaknya. Ia lalu mengerahkan tenaga dan berlari seperti terbang menuju ke dusun Bi-ciu. Ia tidak melihat kakaknya berlari cepat, akan tetapi sungguh aneh setiap kali ia menengok, kakaknya itu tetap berada di sebelahnya, tak pernah tertinggal selangkahpun!
Hal ini tidak mengherankan karena Cin Po telah menggunakan ilmu meringankan tubuh Coan-beng-hui (Terbang Menembus Angin) sehingga kalau dia menghendaki, tentu Hui Ing yang tertinggal jauh. Akan tetapi Cin Po tidak mau melakukan ini dan hanya mengimbangi kecepatan lari gadis itu dan selalu berada di sampingnya.
Ketika akhirnya mereka tiba di dusun Bi-ciu, Hui Ing sudah bermandikan keringatnya sendiri sedang Cin Po tidak apa apa. Dengan agak terengah Hui Ing tersenyum memandang kakaknya, dan kekagumannya bertambah besar. Tahulah ia bahwa kakaknya tadi mengalah dan sengaja tidak mau mendahului, buktinya untuk membarenginya tadi, kakaknya sama sekali tidak mengerahkan tenaga, berkeringatpun tidak, padahal ia sampai terengah-engah kewalahan.
“Larimu seperti terbang saja, Ing-moi.”
“Wah, dibandingkan denganmu, bukan apa-apa, koko. Engkau seperti tidak berlari saja, berkeringatpun tidak!” kata Hui Ing sambil mengusap keringatnya dengan satu tangan. Wajahnya berubah menjadi segar kemerahan karena berlari itu sehingga nampak lebih cantik jelita seperti sekuntum bunga tersiram embun pagi.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di depan kuil Ban-hok-si. Hui Ing langsung saja masuk sambil berteriak-teriak memanggil ibunya dan neneknya, tidak memperdulikan para nikouw yang berada di situ. Cin Po tidak berani sembarangan memasuki kuil untuk para pendeta wanita itu dan menanti di luar. Ketika dia melihat ibunya dan nenek gurunya keluar bergegas, dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan mereka.
“Cin Po…!” Seru Sung Bi Li dan hatinya tergetar melihat pemuda tinggi besar yang tampan itu berlutut di depan kakinya. Teringat ia betapa ia telah mengandung anak selama sembilan bulan dan menyusuinya selama setahun lebih. Matanya bersinar lembut dan ada air mata bergantung di pelupuknya.
“Ibu…! Ibu baik-baik saja, bukan?” kata Cin Po sambil memberi hormat.
“Berdirilah, Cin Po, biarkan aku melihatmu!” kata ibu ini dengan suara bergembira sekali.
Cin Po bangkit berdiri di depan ibunya dan Sung Bi Li harus berdongak untuk memandang wajah puteranya yang sekepala lebih tinggi darinya itu. “Kau… kau sudah dewasa…” katanya, akan tetapi tiba-tiba saja sinar mata yang lembut tadi kini berubah mengeras.
Ia teringat betapa pemuda yang berdiri didepannya ini adalah hasil perkosaan orang terhadap dirinya! Seketika kebencian yang dulu sering mengusik hatinya itu muncul kembali ke permukaan. “Cin Po, sudahkah kau laksanakan tugasmu seperti kupesankan dulu?”
Cin Po terkejut, tak menyangka akan ditanyakan hal itu. Dia menggeleng kepalanya. “Belum, ibu. Aku baru saja berhenti belajar dan akan pulang lebih dulu menemui ibu. Setelah itu, apapun yang ibu perintahkan akan kulaksanakan.”
“Marilah masuk dulu, Cin Po. Kita bicara didalam!” kata Lauw In Nikouw yang sudah mengetahui semuanya dari cerita Bi Li, dan maklum dalam hatinya bahwa kalau teringat masa lalu, Bi Li agaknya merasa benci kepada anaknya sendiri itu. Mereka semua lalu masuk.
Dan Hui Ing berkata dengan girangnya kepada ibunya, “Wah, ibu. Koko sekarang telah menjadi seorang yang sakti. Tadi, dialah yang menolongku ketika aku dikeroyok oleh tujuh orang Tok-coa-pang…”
“Hui Ing! Bukankah sudah kularang kepadamu untuk berkelahi dengan mereka!” cela Bi Li.
“Sudahlah,” kata Lauw In Nikouw. “Biarkan sekarang Cin Po menceritakan semua pengalamannya selama delapan tahun lebih meninggalkan kita.”
Bi Li mengangguk. “Nah, ceritakanlah pengalamanmu, Cin Po. Engkau berguru kepada Pat-jiu Pak-sian, bukan?”
Cin Po lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia menjadi murid Pat-jiu Pak-sian selama lima tahun. “Akan tetapi Suhu Pak-sian menyuruh aku menjadi perwira Khi-tan. Ketika aku melihat regu serdadu yang kupimpin itu merampok dan memperkosa, aku menjadi marah dan membunuhi mereka. Maka aku lalu takut untuk kembali karena tentu akan dihukum sebagai pemberontak, dan aku melarikan diri.”
“Hemm, baik engkau melarikan diri, aku tidak akan senang mendengar engkau menjadi seorang perwira Khi-tan,” kata ibunya dengan alis berkerut.
Cin Po melanjutkan kisahnya, betapa dia bertemu dengan See-thian Tok-ong dan muridnya yang bernama Kam Song Kui. Guru dan murid ini menangkapi anak-anak kecil untuk dipakai latihan ilmu sesat. Dia mencegah mereka dan malah tertawan oleh See-thian Tok-ong.
“Aku akan dibunuhnya dan diambil sum-sum tulang dan darahku. Aku nyaris tewas di tangan See-thian Tok-ong, akan tetapi pada saat itu muncul Nam-san Sianjin yang menyelamatkan aku.”
“Omitohud! Orang yang baik tentu akan berada dalam lindungan Thian. Nam-san Sianjin adalah datuk dunia selatan,” kata nenek ini. Biarpun ia sendiri bukan seorang tokoh persilatan, namun Lauw In Nikouw banyak mengetahui tentang dunia persilatan dan para tokoh besarnya.
“Nam-san Sianjin berhasil menggertak See-thian Tok-ong sehingga dia mau melepaskan aku. Aku ikut dengan Nam-san Sianjin dan diambil murid olehnya selama tiga tahun.”
Diam-diam Bi Li merasa girang sekali. Anaknya telah menjadi murid dua orang datuk besar, tentu akan tercapai cita-citanya membalas dendam kepada musuh besarnya.
“Pada suatu hari aku didesak oleh seorang murid suhu yang mengajak aku berlatih. Mula-mula dia yang lebih lama menjadi murid Suhu menghajarku jatuh bangun karena ilmuku masih kalah matang. Akan tetapi aku menggunakan ilmu dari suhu Pak-sian dan aku berhasil membuat dia jatuh bangun. Aku diingatkan suci bahwa suhu tentu akan menghukumku kalau mendengar betapa aku mengalahkan suhengku itu dengan ilmu lain, maka aku menjadi ketakutan dan melarikan diri lagi.”
Dia tidak mau banyak bercerita tentang Souw Mei Ling, sumoinya yang amat baik kepadanya sehingga ketika ia pergi atas anjuran sucinya, ia diberi uang dan kalung, yang kalungnya sampai sekarang masih dipakai di lehernya.
“Hemm, engkau selalu menjadi pelarian, koko. Kasihan benar,” kata Hui Ing sambil memandang wajah kakaknya. “Lalu bagaimana, koko?”
“Aku melarikan diri, maksudku hendak kembali ke wilayah Sung, akan tetapi aku tersesat jalan memasuki daerah Wu-yeh. Pada suatu hari aku dihadang puluhan orang perampok, aku dikeroyok dan mereka menggunakan senjata jaring. Aku melawan mati-matian dan muncul Tung-hai Mo-ong dan muridnya yang menolong dan membantuku membasmi para perampok...”